Anda di halaman 1dari 8

KISAH PULAU DADAP

Asslamuallaikum wr... wb... disini saya akan menyampaikan lagi tentang Kisah Pulau Dedap,
yang kemaren sudah saya singgung juga yakni tentang Dedap Durhaka. berikut lanjutannya
tentang kisah pulau dedap durhaka. Di dalam kebudayaan kita tersimpan pesan kekayaan
moral yang mengandung tunjuk ajar dalam kehidupan masyarakat. Kekayaan itu terpelihara
dengan baik di tengah masyarakat kita karena memang kita memiliki sistem dan mekanisme
pewarisan nilai-nilai kebudayaan yang hidup dan berkembang melintasi batas-batas abad dan
generasi, bak kata pepatah “ tak luput oleh hujan dan tak lekang oleh panas”.
Begitu banyak legenda tentang anak durhaka yang tersebar di santero Nusantara, yang mana
dengan kekuatan sumpah dan kutukan seorang ibu berubah seketika menjadi kenyataan. Jika
di Sumatera Barat kita kenal anak durhaka yang bernama Malin karena kebiadabannya
disumpah menjadi batu, demikian pula di daerah Mandailing Natal Sumatera Utara seorang
anak gagah nan ganteng bernama Sampuraga karena kedurhakaannya berubah menjadi sebuah
sumur berisi air panas.

Tak hanya itu, di sebuah kecamatan di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan,
seorang anak bernama Andung Kuswara yang dulunya berjiwa ksatria namun karena
keangkuhannya dengan sang bunda dikutuk menjadi batu berbentuk bangkai manusia.
Demikian pula halnya dengan Riau yang memiliki sumber daya alamnya yang berlimpah ruah
ternyata memiliki arsip rapi yang perlu dipublikasikan dalam era konseptual saat ini.

Sejenak kita buka lembaran demi lembaran sosio kultural historis masyarakat yang diabadikan
di daerah Bengkalis dikemas dalam bentuk legenda yakni Dedap Durhaka. “Tanggang” itulah
nama asli Dedap sebelum pergi merantau ke Negeri Seberang. Tersebut kisah di Selat
Bengkalis, sebuah Desa terpencil di tengah warga masyarakat yang kala itu masih relatif
sedikit, terdapat satu keluarga yang ekonominya tergolong lemah, orang tuanya hanya mencari
kayu bakar untuk menghidupi keluarganya.

Di saat Tanggang beranjak remaja pemikiran dan perasaannya mulai berkembang, acapkali ia
termenung dan terlintas keinginanya untuk merubah nasib keluarganya dengan cara merantau
ke Negeri Seberang. Keinginan Tanggang tersebut semula dilarang oleh ibunya sebab ia
khawatir dan takut kehilangan anak semata wayangnya. Belakangan keinginannya kian
membuncah seakan tak dapat dicegah lagi, hingga pada akhirnya dengan keiklasan sang ibu
diberkahilah anaknya untuk merantau.

Kepergian Dedap ternyata membuahkan hasil yang gemilang dan terbilang di Negeri
perantauan. Iapun cukup berhasil dan kaya raya di Negari seberang, sehingga dengan
kekayaannya namanya termasyhur di mana-mana, masyarakatpun menyanjung dan mengelu-
elukan akan keberhasilan si Dedap (Tanggang) ini. Di perantauan masyarakat di Negei
Seberang lebih populer memanggil dan menyebut nama Dedap (bukan Tanggang).
Pada suatu hari Dedap melakukan pesiar keliling pulau dan tibalah di sebuah pulau yang mana
pulau tersebut adalah tempat kelahirannya, kampung tersebut bernama Tanjung Padang. Orang
tuanya sumringah dan bergegas menemui si Tanggang (Dedap) kala mendengar anak
kesayangannya pulang. Namun kepulangan Dedap tidak sepenuhnya menjenguk dan salam
sembah kepada orang tuanya, akan tetapi ia memiliki maksud dan lain tujuan yakni ingin
memamerkan kekayaan yang diperolehnya dan balas dendam kepada teman-teman sebayanya,
di karenakan mereka dulu selalu menghina dan mencaci Tanggang (Dedap) atas a
kemiskinannya. Demikian deskriptif dari Kantor Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten
Bengkalis (2007).
Ketika ibunya hendak menemui si Tanggang (Dedap) anaknya secara langsung, namun tatkala
Dedap melihat keadaan ibunya yang tua renta sepontan ia merasa malu dan terhina jika
memiliki orang tua seperti ibunya saat itu. Tanpa pertimbangan Dedap pun memerintahkan
anak buahnya untuk memukuli ibunya. Akibat pukulan yang begitu keras sang ibu pun
mengerang kesakitan seiring air matanya berlinang kemudian ia mengeluarkan kata-kata yang
mengandung sumpah berbunyi : “kalau benar kau BUKAN anakku maka selamatlah kau, tapi
jika BENAR kau anakku maka musibahlah yang menimpamu”. baru saja ibunya selesai berdoa
tiba-tiba angin puting beliung yang begitu kencang disertai sambaran kilat dan petir yang
hingar-bingar menghantam tongkang (kapal) Dedap. Seiring tenggelamnya kapal tersebut,
tenggelam pula 12 awak lainnya termasuk ayah dan ibunya.
Setelah beberapa tahun kemudian efek dari peristiwa tersebut muncullah gumpalan tanah yang
menjorok ke permukaan air yang kian membesar dan luas sehingga membentuk sebuah pulau
yang belakangan dikenal bagi masyarakat Bengkalis dengan sebutan Pulau Dedap.
Berselang tahun kemudian tumbuhlah dua pohon mempelam yang berbeda rasa, yang satu rasa
manis dan yang satu lagi rasanya asam. Konon kabarnya mempelam manis adalah simbol sang
ayah yang memaafkan kelancangan si Dedap. Sedangkan mempelam asam adalah simbol sang
ibu yang enggan memaafkan anaknya, terbukti sumpahnya berlaku.

Demikian pula berdasarkan deskriptif historis di Pulau tersebut tumbuh sepohon mempelam
yang bercabang dua dengan arah yang berbeda. Cabang pertama mengarah ke laut (perairan
Pulau Padang), sedangkan cabang yang kedua mengarah ke daratan Pulau Padang.
Sebagaimana yang diungkapkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bengkalis,
pohon tersebut laksana manusia mengacungkan kedua tangannya ke atas dengan arah yang
berbeda.

PROYEKSI NILAI LELUHUR DI BALIK PERISTIWA


LEGENDA PULAU DEDAP

Sebuah cerita yang membuahkan makna begitu berharga bagi setiap anak yang terlahir dari
rahim ibundanya, menurut pakar pendidikan bahwa cerita tersebut dapat membangkitkan
keteladanan dalam membentuk kepibradian seorang anak. Oleh karena itu tak salah jika
orang tetua dulu sebelum menidurkan anak ucunya selalu diawali dengan berkisah atau
mendongeng terlebih dahulu.
Kak Seto juga mengilustrasikan bahwa cerita legenda sarat akan hikmah dan pesan-pesan
moral yang dapat dijadikan mau’izoh (pelajaran) dan why of life (pedoman hidup, tunjuk
ajar) bagi generasi ke generasi berikutnya. Lihat : Kak Seto dalam Evie Manai (2001). Inilah
harapan orang tua agar memiliki keturunan yang berbakti, santun, hormat, berbudi pekerti
terhadap kedua orang tuanya dari cerminan legenda Pulau Dedap tersebut.
Bahkan lebih konkrit Sitta A Muslimah (harian kompas:2008) dalam catatannya di media
cetak menyimpulkan, bahwa ternyata mendongeng merupakan upaya preventif dalam
membentuk character building terhadap anak.
Bagi orang Melayu terutama para orang tua sebagaimana yang dituturkan Rustam S. Abrus
(1999:56), berharap agar anaknya menjadi “anak bertuah” yang dapat membawa
kebahagiaan, kelapangan, kerukunan dan kesejahteraan baik bagi keluarga maupun bagi
agama, bangsa dan negara. Sebab pepatah orang tua-tua Melayu mengatakan’ “kalau kecil
menjadi tuah rumah, besar menjadi tuah negeri,” ungkapan lain yang tak kalah sarat makna
berbunyi “tuahnya selilit kepala, mujurnya selilit pinggang, ke tengah menjadi manusia, ke
tepi menjadi orang.”
Tutur bertuah di atas memaknai akan seorang anak yang telah menjadi “orang” disebut juga
menjadi “anak bertuah”, karena mereka dapat melahirkan kebahagiaan, kebanggaan, dan
keberuntungan bagi keluarga, mayarakat, bangsa dan negaranya. Terkait Pulau Dedap dalam
legenda di atas sebagai simbol anak durhaka, sesat dan jahat selain mencoreng muka orang
tuanya juga akan menjadi aib bagi kerabat dan merusak nama baik keluarga dan
kampungnya.
Dalam perspektif sosiologi terkadang kedurhakaan seorang anak bersumber dari kesalahan
orang tuanya yang gagal mendidik, mengajar dan menyelamatkan anaknya dari hal-hal yang
bersifat negatif kepada hal yang positif. Sebaliknya kedurhakaan itu datang dari anak itu
sendiri, meskipun orang tuanya bersusah payah mendidik, mengajar, dan mengarahkannya,
namun si anak tetap saja membangkang dan menolak seiring apa kemauannya sendiri.
Inilah cuplikan tempramental yang tedapat pada legnda Pulau Dedap tersebut, bahwa
kemasyhuran yang diraih dengan bergelimang harta dan tahta mengalahkan kesantunan,
kerendahan hati dan penghormatan terhadap orang lain terutama kepada kedua orang tua.
Terlebih sikap Dedap yang amat tak terpuji karena ia malu mengakui ibunya yang telah
berjasa melahirkan, membesarkan dan memperhatikannya dikarenakan ibunya tua renta dan
miskin papa.
Oleh karena legenda tersebut mengandung education values (nilai-nilai pendidikan) dalam
kehidupan bermasyarakat, bertetangga, dan berkeluarga, maka muncullah klise yang
dituturkan para seniman dan budayawan melalui lirik lagu yang dilantunkan oleh Osman dan
Rini dalam syairnya berikut ini:
“Tersebut kisah di Selat Bengkalis, dekat Bandul Tanjung Sekodi
tersebut kisah Dedap Durhaka, anak yang tidak membalas guna
Pais Dedak Panggang Keluang, Bekal si Dedap pergi merantau
Setelah kaya lupakan diri, Bunda Kandungnya tak diakuinya
Dedap Durhaka Budak Celaka, tak tau diri apa jadinya
Bagaikan Kacang lupakan Kulit, setelah kering ditimpa panas
Lahirlah Sumpah Bunda Kandungnya, turunlah Angin Puting Beliung
Lancang si Dedap menjadi Pulau, tumbuhlah Mempelam Manis dan Masam”.

Dalam karya lain terungkap dalam untaian kata-kata sastra yang tidak lain sebagai tunjuk ajar
dalam rumpun keluarga, masyarakat beradat atas urgennya nilai-nilai pendidikan itu
sebagaimana yang diillustrasikan oleh budayawan Riau yang mumpuni di bidangnya yakni
Dr. (HC) H. Tennas Effendi dengan piawainya merangkai kata-kata bertuah berikut ini:

“Anak dididik pada yang baik, diajar pada yang benar


Dibela pada yang mulia, dituntun pada yang santun
Ditunjuk pada yang elok, dipelihara pada yang sempurna
Dijaga pada yang berguna, anak dididik dengan kasih,
Kasih jangan berlebih-lebihan, kasih berlebih membutakan
Anak dididik dengan keras, tetapi jangan terlalu keras,
terlalu keras menjadi naas”

Di era konseptual sekarang ini batas penghormatan dan kepatuhan sudah mulai memudar.
Hardikan anak, bentakan dan sanggahan anak terhadap orang tua seakan menjadi tradisi yang
lepas kendali baik moral, adat, hukum dan agama, laksana irama kedurhakaan yang
membosankan, Inilah PR kita untuk menyelamatkan Negeri agar tetap santun, terhormat dan
bermartabat dimanapun kita berada, juga dalam kondisi apapun yang dijumpa.
Sedangkan dalam prespektif cultural approach (pendekatan budaya) menurut Fadillah Om
(2007:44) menyimpulkan bahwa mendongeng atau story telling ternyata dapat dijadikan
sebagai media membentuk kepribadian karakter dan moralitas anak usia dini. Sebab dari
kegiatan mendongeng tersebut mengandung manfaat yang bersentuhan secara langsung
(persuasif) kepada siapapun yang membaca dan mendengarnya demikian pula terhadap yang
mengutarakannya, sehinggga terjalinnya kultur interaksi komunikasi yang harmonis dalam
rumah tangga.
Hal tersebut menjadi modal penting untuk menciptakan komunikasi dalam komponen
keluarga sehingga melahirkan suasana akrab, bersahaja, damai sekaligus mengarahkan anak
kepada pola pikir yang konstruktif bukan deskruktif. Inilah didikan yang harus dirawat agar
senantiasa terjaga dan terpelihara dari bias-bias dekadensi moral ketika anak beranjak remaja
dan dewasa, demikian ungkapan Elmustian Rahman (2001:447).
Jadi titik terpenting dalam membentuk moral sang anak adalah lingkungan sekitar rumah,
setelah itu lingkungan sekolah dan terakhir adalah lingkungan masyarakat sekitar. Analisis ini
pada hakikatnya sudah ada 15 abad yang silam sebgaiamana terukir dalam al-Qur’an surat
At-Tahrim ayat 6 yang berbunyi:

yang Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-
malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-
Tahrim: 6)
Sangatlah wajar jika kita mengharapkan keluarga sebagai pelaku utama dalam mendidik
dasar–dasar moral pada anak. Namun, ketika di lingkungan rumahnya sudah tidak nyaman,
biasanya anak-anak akan memberontak di luar rumah (kalau tidak di sekolah, pasti di
lingkungan masyarakat). Oleh karenanya agar tidak terjadi hal demikian, maka sudah
sewajarnya orang tua membina interaksi komunikasi yang baik dengan sang buah hati supaya
di masa mendatang anak tetap meminta jalan keluar kepada orang tuanya bukan kebayakan
orang saat ini malah mengadu kepada tetangga dan teman sebaya.

C. Tradisi Story Telling Yang Bermakna


Tradisi Story Telling (Mendongeng) merupakan upaya preventif agar tidak terjadi
pembangkangan dari sang buah hati terhadap tatanan moral yang berlaku adalah dengan
mengtradisikan kembali dongeng sebelum tidur. Tentu saja, kisah yang didongengkan itu
harus berisi hikmah hidup yang berbasis akhlaqul karimah dan nilai moral yang visioner dan
positif bagi perkembangan hidupnya di masa depan. Salah satu khazanah dari Bengkalis
adalah Legenda Dedap Durhaka karena merupakan cerminan bagi anak yang melakukan
kedurhakaan terhadap orang tuanya, bukankah pepatah asing juga mengungkapkan:
experience is the best teacher (pengalaman adalah guru yang paling bijaksana).
Pesan leluhur di atas jika dilanggar, maka peristiwa yang terjadi pada masa silam itu akan
terulang kembali di era modern saat ini. Meskipun tidak dalam bentuk kutukan seperti Pulau
melainkan dalam bentuk lain, berupa musibah kecelakaan, kebakaran, kehilangan dan lain
sebagainya. Itulah keramat seorang ibu yang berjasa melahirkan kita bercucur peluh tak
pernah mengeluh, ternyata memiliki kemuliaan yang teramat agung.
Karena memang kemuliaan orang tua terletak kepada kemuliaan Allah dan murkanya Allah
terletak jua dari murka bundanya. Hal yang senada kanjeng Nabi Muhammad shallahu alaihi
wasallam bersabda:

Artinya: “Ridha Allah terletak kepada Ridha orang tua, dan murkanya Allah terletak kepada
murkanya orang tua” (HR. Bukhari dan Muslim).
Aktivitas story telling (mendongeng) merupakan tradisi yang dilakukan para orang tetua kita
dulu sekian abad yang silam. Ini dibuktikan dengan adanya legenda, misalnya Dedap
Durhaka dan masih banyak lagi. Bukti tersebut mengindikasikan bahwa telah sejak dahulu
kala, nenek moyang kita melakukan kegiatan mendongeng kepada anak-cucunya agar
tertanam nilai moral sejak usia dini. Biasanya dongeng yang lebih berpengaruh kepada anak-
anak adalah kisah-kisah keteladanan yang ada relevansinya dengan dunia anak yang
imajinatif.
Merrill Hermin dalam bukunya berjudul How to Plan a Program for Moral Education (1990)
berpendapat bahwa bercerita atau mendongeng memungkinkan orang berbicara tanpa
memaksakan pendapatnya kepada orang lain. Sebab setiap pendengar memiliki kebebasan
untuk setuju atau tidak setuju dan akan berusaha menempatkan posisinya di mana ia mau
dalam setiap cerita.
Selain itu, cerita atau dongeng bisa menjadi wahana untuk mengasah imajinasi dan alat
pembuka bagi cakrawala pemahaman seorang anak. Ia akan belajar pada pengalaman-
pengalaman atas kejadian yang terjadi, setelah itu memilah mana yang dapat dijadikan
panutan olehnya sehingga membentuknya menjadi moralitas yang dipegang sampai dewasa.
Dengan demikian peran pendongeng atau orang tua dalam mendeskriptifkan sebuah cerita
kepada anak-anak mestinya menjadi seorang penjelas yang piawai. Sehingga seorang anak
akan mampu memahami intisari dari kisah tersebut dan diharapkan ke depan
mengaplikasikannya dalam kehidupan realistis. Agar tidak terjadi penanaman bibit moral
yang paradoksal, maka orang tua selayaknya memberikan penafsiran secara rasional,
konstruktif, dan tidak terjebak pada pengisahan yang klenik.
Seperti legenda ini menginspirasikan dan menyelipkan pesan bijak kepada anak,
bahwasannya orang tua harus menjadi panutan dalam kehidupan sehari-hari. Sebab perintah
birrul walidain (berbakti kepada orang tua) sebuah anjuran dalam Islam. Seiring Allah
Pencipta Jagat Raya memerintahkan kepada seluruh umat manusia agar bertauhid kepadaNya
dan berbakti kepada kedua orang tua, ungkapan ini terukir dalam al-Qur’an surat An-Nisa
ayat 36 yang berbunyi :
yang Artinya: ”dan sembahlah Allah dan janganlah menyekutukannya dengan sesuatu
apapaun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua...”
Perintah berbakti kepada orang tua adalah perintah yang langsung datang dari Allah, maka
barang siapa yang melaksnakan perintah tersebut maka ia taat atas anjuran yang Allah
berikan, namun sebaliknya siapa yang membangkang dan menimbulkan kemarahan kedua
orang tuanya, maka ia sama dengan mengundang angkara dan kemarahan Allah sebagai
pencipta.
Oleh karenanya kita dituntut agar berhati-hati di saat kita diuji dengan kekayaan dan diuji
dalam bentuk kemiskinan terutama terhadap kedua orang tua agar senantiasa amarah dan
emosi tetap terkendali sehingga tidak melukai perasaan orang lain terlebih kepada kedua
orang tua yang doanya mustajab sumpahnya mujarab.

D. Menumbuhkan Rasa Cinta Terhadap Orang Tua


Dewasa ini kedurhakaan anak terhadap orang tua tidak dalam bentuk fisik, mendorong dan
memukulinya seperti yang dilakukan Dedap kepada orang tuanya, tapi lebih dari itu anak
lebih sasarannya kepada mental orang tuanya. Seperti orang tua hanya lulusan SD sementara
anak lulusan perguruan tinggi, sehingga tidak jarang kita mendengar perkataan ”Ibu tau apa
tentang saya, ibu tamatan SD sementara saya sudah sarjana S1” nauzubillah summa
nauzubillahi min zalik.
Sementara al-Qur’an yang agung begitu keras memberikan peringatan kepada anak, sampai-
sampai mengucapkan ah saja sudah dilarang apalagi lebih dari itu. Firman Allah berbunyi:

yang Artinya: “dan Tuhanmu telah memrintahkan supaya kamu jangan menyembah selain
Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu dan bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika
salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka jangan sekali-kali kamu mengatakan “ah” dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkalah perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu
terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah : Wahai Tuhanku,
kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berbuat telah mendidik aku waktu
kecil.”(QS. Israa :23-24)
Tindakan yang dianggap trend adalah seorang anak dengan sengaja menitipkan orang tuanya
ke panti jompo dianggap aib dan malu kalau dipelihara di rumahnya. Sungguh perbuatan keji
yang tidak manusiawi dilakukan anak meskipun dititipkan ke institusi resmi di Republik ini.
Dengan demikian, salah satu cara menumbuhkan kecintaan anak terhadap orang tua di zaman
yang kian populer ini adalah dengan cara berkomunikasi dua arah, antara anak dan orang
tuanya, orang tua saling mengerti kebutuhan anak, begitu sebaiknya anak wajib mengerti dan
mengetahui apa yang diinginkan orang tua.
Salah satu bentuk menumbuhkan kepatuhan anak terhadap orang tua adalah pendidikan yang
dilakukan oleh Lukman diabadikan dalam al-Qu’an. Pokok-pokok pikiran pendidikan
Luqmanul Hakim tertuang pada pesan beliau kepada anaknya, yang meliputi pesan yang
berkenaan antara hubungan hamba dengan Robnya, antara hamba dengan sesama. Berikut ini
adalah pesan-pesan pendidikan Luqman kepada anaknya:
1. Tidak mempersekutukan Allah
Pesan ini beliau katakan seperti dalam firman Allah : “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata
kepada anaknya, diwaktu ia memberi pelajaran kepada anaknya : “Hai anakku, janganlah
kamu mensekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar
kedzaliman yang benar.”.(Luqman:13).
Tanggung jawab pendidikan terhadap anak didiknya dalam Islam meliputi tanggung jawab
untuk menyelamatkan hidupnya kelak di akhirat. Karena itulah pendidikan tauhid menempati
kedudukan yang utama. Dengan prinsip tauhid inilah sang anak akan bisa beramal hanya
untuk Allah, tanpa dicampuri dengan tujuan yang lain. Orang yang memiliki jiwa tauhid kuat,
ia tidak akan mudah diiming-imingi
untuk melakukan penyimpangan hanya edngan sejumlah harta dunia. Dia tahu bahwa Allah
lebih kaya dari orang yang ada di dunia ini. Dia tahu melakukan kecurangan akan
menimbulkan murka Allah, sehingga ia pun akan berpantang untuk melakukan kecurangan.
Apalagi jika kecurangan itu sampai mendhalimi orang lain.
2. Berbuat Baik Kepada Kedua Orang Tua
Luqmanul Hakim mengajarkan kepada anak untuk berbuat baik kepada orang tua sejak sedini
mungkin, karena orang tua menyebabkan kita terlahir di dunia ini.
Pesan ini Allah abadikan dalam firman-Nya :
“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua ibu bapaknya, ibunya
telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya
dalam dua tahun”. (Luqman : 14)
Tetapi jika kita melihat kehidupan medern sekarang, banyak anak yang tidak mengerti sopan
dan santun kepada orang tuanya, bahkan tidak sedikit yang mendurhakainya. Berani
kepadanya dan melawan keduanya. Bahkan tidak sedikit anak yang memperbudak orang
tuanya. Mengucapkan terima kasih kepada seseorang yang telah berjasa adalah suatu sikap
siopan. Dan sikap ini disepakati oleh seluruh umat manusia di dunia ini. Apalagi kepada
orang tua, yang oleh Allah telah dijadikan wasilah lahirnya seorang anak, lalu mengasuhnya,
membesarkannya dengan kasih saying. Tetapi jika tidak dididik untuk bisa hormat kepada
orang tua, anak ini tidak akan bias berbuat baik kepada orang tuanya. Sebab itulah pendidikan
harus menekankan kewajiban ini bagi anak.
3. Menanamkan Cinta Pada Amal Shalih Pada Anak Usia Dini
Menanamkan kebiasaan beramal shalih pada diri anak harus dilakukan sejak dini. Harus
ditanamkan bahwa amal baik, sebesar apapun pasti akan dibalas oleh Allah, dan sebaliknya
amal keburukan sebesar apapun pasti akan dibalas oleh Allah. Firman Allah;
“(Luqman berkata) : “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji
sawi, dan berada dalam batu atau langit atau dalam bumi, niscaya Allah akan
mendatangkannya (membalasnya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha
mengetahui”.(Luqman:16).
Ketika anak mengerti bahwa Allah akan membalas semua jerih payahnya, maka ia akan
selalu berusaha untuk beramal yang baik. Ia akan senantiasa meningkatkan amalnya dan
selalu taat kepada perintah-Nya serta selalu berbakti kepada kedua orang tuanya.

4. Mengenalkan Kepada Anak Untuk Menunaikan Kewajiban Kepada Allah.


“Hai anakku, dirikanlah sholat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah
mereka dari perbuatan yang mungkar dan besabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.
Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. (Luqman :
17)

Kewajiban kepada Allah sangat banyak, ada yang berupa sikap, dan ada yang berupa
perbuatan. Sholat, puasa, jihad, amar ma’ruf dan nahi mungkar, sabar, tawakkal dan lain-lain
adalah beberapa contoh kewajiban kepada Allah. Luqman hanya menyebutkan beberapa
kewajiban sebagaimana difirmankan oleh Allah.
Ketika anak mengerti dan faham akan kewajiban yang harus ia tunaikan, maka dengan
sendirinya ia akan melakukan amalan tersebut dengan baik dan dengan lapang hati.

5. Mengajarkan Sikap Tawadlu’.

Akhlak adalah penghias diri seseorang. Bahkan Rasulullah diutus adalah untuk
menyempurnakan akhlak manusia. Dengan akhlak inilah seseorang akan dihormati dan
dihargai, semerntara ia akan dihina dan dilecehkan kerena kesombongan dan akhlaknya yang
tercela. Luqmanul Hakim kepada anaknya memesankan agar ia tidak sombong. Sikap santun,
tawadlu’ dan tidak sombong menjadi kunci penting tertanamnya akhlak yang mulis. firman
Allah :
yang Artinya : “Dan jangalah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong)
dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanakanlah kamu
dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesunguhnya seburuk-buruk suara ialah suara
keledai”. (Luqman : 18-19).

Di dalam ayat-ayat tersebut, Allah mendahulukan penanaman nilai daripada pengetahuan.


Dengan nilai itulah karakter anak akan muncul. Sementara tanpa pengajaran karakter,
pengetahuan akan digunakan untuk memenuhi syahwatnya sendiri, tanpa mempedulikan
orang lain. Lalu dengan apakah kita mendidik anak-anak kita
PENUTUP

a. Kesimpulan

Untuk menutup makalah ini penulis mencoba menyuguhkan kesimpulan dalam bentuk
ilustrasi kejadian. Konon dahulu di Jepang pernah ada tradisi membuang orang yang sudah
tua ke hutan. Mereka yang dibuang adalah orang tua yang sudah tidak berdaya.
Pada suatu hari ada seorang pemuda yang berniat membuang ibunya ke hutan, karena si Ibu
telah lumpuh dan agak pikun. Si pemuda tampak bergegas menyusuri ke hutan sambil
menggendong ibunya. Si ibu yang kelihatan tak berdaya berusaha menggapai setiapranting
pohon yang bisa diraihnya lalu mematahkannya dan menaburkannya disepanjang jalan yang
mereka lalui.
Sesampai di dalam hutan yang sangat lebat, si anak menurunkan ibu tersebut dan
mengucapkan kata perpisahan sambil berusaha menahan sedih karena dia tidak meyanga
melakukan perbuatan ini kepada ibunya. Justru si ibu tampak tegar dalam senyumnya dia
berkata “ anakku, ibu sangat menyayangi,u sejak kau kecil sampai dewasa ibu selalu
merawatmu dengan segenap cintaku, bahkan sampai hari ini rasa sayangku tidak berkurang
sedikitpun. Tadi ibu sudah menandai sepanjang jalan yang kita lalui dengan ranting-ranting
kayu, ibu takut kamu tersesat, ikutilah tanda tersebut agar engkau selamat sampai di rumah.
Setelah mndengar kata-kata tersebut si anak menangis dengan sangat keras. Kemudian
langsung memeluk dan menggendong ibunya sampai pulang ke rumah, sehingga pada
akhirnya si Ibu dirawat oleh sang anak sampai akhir hayatnya.
Orang tua bukanlah barang ronsokan yang bisa dibuang atau diabaikan setelah terlihat tidak
berdaya. Karena pada saat engkau menggapai kesuksesan atau kesedihan hanya orang tua
yang mengerti kita dan bathinnya akan menderita kalau ita susah, bukan isteri, suami ataupun
teman.
Orang tua kita tidak pernah meninggalkan kita, bagaimanapun keadaan kita, mulai sekarang
mari kita lebih mengasihi dan menyayangi orang tua kita selagi mereka masih hidup.

b. Saran

Musabaqah Tilawatil Qur’an tahun demi tahun sudah menampakan perkembangan yang
cukup signifikan, tidak hanya dalam bidang Tilawah tapi kini sudah masuk ke ranah
intelektual seperti dalam halnya bidang yang penulis geluti saat ini. M2IQ jangan hanya
sebagai sarana ajang untuk ceremonial saja tapi lebih dari itu dijadikan sarana untuk
mengimplementasikan nilai-nilai kepatuhan terhadap orang tua, karena orang tua adalah
orang yang sangat berjasa di dunia ini. Dengan demikian ada ungkapan yang bijak yang
menyebutkan terhadap ibu hendaklah hormat, semoga diri dapat selamat, dengan bapak
janganlah durhaka supaya Allah tidaklah murka.

Anda mungkin juga menyukai