Anda di halaman 1dari 36

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Stroke menurut World Health Organization (WHO) adalah tanda-

tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau

global), dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih,

dapat menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain selain vaskuler

(Israr, 2008). American Heart Association (AHA) menyebutkan bahwa 45

menit ada satu orang di Amerika terkena serangan stroke. Stroke menduduki

peringkat ke-3 setelah penyakit jantung dan kanker (Muttaqin, 2013)

Penyakit stroke telah menjadi masalah kesehatan yang menjadi

penyebab utama kecacatan pada usia dewasa dan merupakan salah satu

terbanyak di dunia. Negara yang berkembang menyumbang 85,5 % dari total

kematian akibat stroke di seluruh dunia. Dua pertiga penderita stroke terjadi

di negara yang sedang berkembang. Terdapat sekitar 13 juta korban baru

setiap tahun, dimana sekitar 4,4 juta diantaranya meninggal dalam 12 bulan

(WHO, 2010).

Prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan

sebesar 7 permil dan yang terdiagnosis tenaga kesehatan atau gejala sebesar

12,1 permil (Riskesdas, 2013).Prevalensi di Jawa Tengah pada tahun 2013

dengan stroke hemoragik mencapai 0,05% sedangkan stroke iskemik 0,09%

1
2

selama setahun (BPS, 2013). Prevalensi stroke di Kabupaten Sukoharjo tahun

2015 hanya 349 orang yang mengalami stroke (Dinkes Sukoharjo, 2015).

Sekitar 90% pasien yang terserang stroke tiba-tiba mengalami

kelemahan atau kelumpuhan separuh badan. Kelemahan atau kelumpuhan ini

sering kali masih dialami pasien sewaktu keluar dari rumah sakit dan

biasanya kelemahan tangan lebih berat dibandingkan kaki (Mulyatsih, 2008).

Pemulihan secara terpadu dan sedini mungkin maka semakin besar

kemungkinan pengembalian fungsi, juga komplikasi akibat imobilisasi dapat

dicegah dan kecacatan lebih lanjut dapat dihindari sehingga dapat mandiri

tanpa tergantung pada orang lain. Komplikasi lanjut terjadi setelah fase akut

stroke terlampaui. Komplikasi umum terjadi akibat tindakan rehabilitasi yang

kurang memadai. Berbagai komplikasi lanjut stroke akibat imobilisasi, salah

satunya inkontinensia alvi atau konstipasi. Umumnya penyebabnya adalah

imobilitas, kekurangan cairan dan intake makanan (Bethesda, 2008).

Konstipasi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami

kesulitan untuk buang air besar atau jarang buang air besar. Konstipasi biasa

atau sering disebabkan oleh berubahnya makanan atau berkurangnya aktivitas

fisik. Atropi otot karena kurangnya aktivitas dapat terjadi hanya dalam waktu

kurang dari satu bulan. Dengan tidak adanya pergerakan yang terjadi akan

mengakibatkan otot-otot menjadi lemah, sementara tonus perut dan otot

pelvik yang baik penting untuk defekasi (Lewis, 2007).


3

Dalam hal ini terapi setelah masa kritis yakni, pasien dibantu untuk bergerak

atau tubuh klien digerak-gerakan secara sistematis, yang biasa disebut

Rentang Gerak atau Range of motions (ROM).

ROM adalah latihan gerakan sendi yang memungkinkan terjadinya

kontraksi dan pergerakan otot, dimana klien menggerakkan masing-masing

persendiannya sesuai dengan gerakan normal baik secara aktif maupun pasif.

ROM pasif artinya pasien dibantu oleh perawat dalam melakukan pergerakan

sesuai dengan kemampuan. Kekuatan otot pasien yang dilakukan ROM pasif

adalah 50% (Irfan, 2010).

Penelitian Studi kasus yang telah dilakukan oleh Mira (2011),

didapatkan bahwa sebanyak 22 pasien, didapatkan pasien yang mengalami

konstipasi pada pasien stroke sebanyak 60%. Ini dikarenakan kelemahan yang

pasien rasakan dan ketidakmampuan untuk melakukan aktifitas fisik.

Pencegahan terhadap komplikasi dari tirah baring yang lama dapat dilakukan

dengan melakukan ROM yang teratur secara tepat waktu dan tepat teknik

sesuai dengan kondisi pasien.

Melakukan mobilisasi dini di Rumah Sakit pada penderita stroke

merupakan tugas penting bagi perawat, mengingat perawat merupakan tenaga

kesehatan yang paling lama berkomunisaksi dengan keluarga maupun dengan

pasien. Dengan tindakan keperawatan mobilisasi dini sudah dilakukan oleh

perawat, maka perlu diteliti apakah efektif tindakan ROM pasif dilakukan

pada pasien stroke untuk mengatasi masalah konstipasi (Mira, 2011).


4

Berdasarkan latar belakang di atas didapatkan bahwa kejadian

komplikasi konstipasi yang terjadi pada pasien stroke cukup banyak yang

menimbulkan ketidaknyamanan selama dirawat di rumah sakit. Selama pasien

dirawat pasien mengalami beberapa keterbatasan baik secara fisik maupun

secara mental emosional. Kondisi seperti ini yang mendorong tingginya

kejadian komplikasi konstipasi terutama pada pasien yang mengalami

imobilitas di tempat tidur. Sehingga keluarga sangatlah penting dalam

mendukung pasien stroke selama dirawat (Kokasih, 2011).

B. Rumusan masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Bagaimanakah

penatalaksanaan ROM pasif dengan masalah konstipasi pada pasien stroke?”

C. Tujuan

1. Tujuan umum

Mendeskripsikan penatalaksanaan ROM pasif dengan masalah

konstipasi pada pasien stroke.

2. Tujuan khusus

a. Mendeskripsikan pengkajian keperawatan dengan masalah konstipasi

pada pasien stroke.

b. Mendeskripsikan diagnosis keperawatan dengan masalah konstipasi

pada pasien stroke.


5

c. Mendeskripsikan perencanaan keperawatan ROM pasif dengan masalah

konstipasi pada pasien stroke.

d. Mendeskripsikan implementasi keperawatan ROM pasif dengan

masalah konstipasi pada pasien stroke.

e. Mendeskripsikan evaluasi keperawatan ROM pasif dengan masalah

konstipasi pada pasien stroke.

D. Manfaat

1. Manfaat teoritis

Memperkuat dan menambah ilmu keperawatan tentang penatalaksaan

ROM pasif untuk mengatasi konstipasi pada pasien stroke.

2. Manfaat praktis

a. Peneliti

Hasil karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat digunakan sebagai

pertimbangan dalam mengatasi masalah konstipasi pada pasien stroke

b. Pasien dan Masyarakat

Manfaat penyusunan karya tulis ilmiah ini bagi pasien dan

masyarakat adalah menambah informasi dan pengetahuan pasien,

masyarakat mengenai cara penatalakanaan ROM pasif pada pasien

stroke dengan masalah konstipasi.


6

c. Institusi Pendidikan

Hasil karya tulis tulis ilmiah ini diharapkan dapat digunakan sebagai

bahan masukan dalam kegiatan proses belajar mengajar terutama

mengenai cara penatalaksanaan ROM pasif pada pasien stroke.

d. Institusi Pelayanan Kesehatan

Hasil karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat digunakan sebagai

masukan bagi tenaga kesehatan, khususnya perawat agar lebih

meningkatkan perhatiannya pada pasien stroke.


7

BAB II

PEMBAHASAN

A. Tinjauan teori

1. Stroke

a. Pengertian

Stroke atau cedera serebravaskuler (CVA) adalah kehilangan

fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah kebagian

otak (Smeltzer & Suddart, 2002). Stroke adalah cedera otak yang

berkaitan dengan obstruki aliran darah otak. Stroke dapat terjadi

karena pembentukan trombus di suatu arteri serebrum, akibat emboli

yang mengalir ke otak dari tempat lain di tubuh, atau akibat

perdarahan otak (Corwin, 2001).

Stroke didefinisikan sebagai defisit (gangguan) fungsi sistem yang

terjadi mendadak dan disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak.

Stroke terjadi akibat gangguan pembuluh darah ke otak. Gangguan

peredaran darah otak dapat berupa tersumbatnya pembuluh darah otak

atau pecahnya pembuluh darah di otak. Otak yang seharusnya

mendapat pasokan oksigen dan zat makanan menjadi terganggu.

Kekurangan pasokan oksigen ke otak akan memunculkan kematian

saraf (neuron).

7
8

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa

stroke adalah gangguan peredaran otak yang dapat mengakibatkan

fungsi otak terganggu dan bila gangguan yang terjadi cukup besar

akan mengakibatkan kematian sebagian sel saraf.

b. Klasifikasi

Stroke dapat dibagi menjadi 2 kategori yaitu, stroke iskemik dan

stroke hemoragik. Kedua kategori ini merupakan suatu kondisi yang

berbeda, pada stroke hemoragik terdapat timbunan darah di

subarahchnoid atau intraserebral, sedangkan stroke iskemik terjadi

karena kurangnya suplai darah ke otak. Sehingga kebutuhan oksigen

dan nutrisi kurang mencukupi. Klasifikasi stroke menurut Wardhana

(2011), antara lain sebagai berikut:

1) Stroke iskemik

Stroke iskemik terjadi pada otak yang mengalami gangguan

pasokan darah yang disebabkan oleh penyumbatan pada pembuluh

darah otak. Penyumbatannya adalah plak atau timbunan lemak

yang mengandung kolesterol yang ada dalam darah. Penyumbatan

bisa terjadi pada pembuluh darah besar (arteri karotis), atau

pembuluh darah sedang (arteri serebri) atau pembuluh darah kecil.

Penyumbatan pembuluh darah bisa terjadi karena dinding

bagian dalam pembuluh darah (arteri) menebal dan kasar, sehingga

aliran darah tidak lancar dan tertahan.


9

Oleh karena darah berupa cairan kental, maka ada kemungkinan

akan terjadi gumpalan darah (trombosis), sehingga aliran darah

darah makin lambat dan lama-lama menjadi sumbatan pembuluh

darah. Akibatnya, otak mengalami kekurangan pasokan darah yang

membawa nutrisi dan oksigen yang diperlukan oleh darah. Sekitar

85% kasus stroke disebabkan oleh stroke iskemik atau infark,

stroke infark pada dasarnya terjadi akibat kurangnya aliran darah

ke otak. Penurunan darah yang semakin parah dapat menyebabkan

kematian jaringan otak. Penggolongan stroke iskemik atau infark

dikelompokan sebagai berikut:

a) Transtient Ischemic Attack (TIA)

Suatu gangguan akut dari fungsi lokal serebral yang

gejalanya berlangsung kurang dari 24 jam atau serangan

sementara dan disebabkan oleh thrombus atau emboli. Satu

sampai dua jam biasanya TIA dapat ditangani, namun apabila

sampai tiga jam belum bisa teratasi sekitar 50% pasien sudah

terkena infark (Gofir, 2009).

b) Reversible Ischemic Neurologis Defisit (RIND)

Gejala neurologis dari RIND akan menghilang kurang lebih

24 jam, biasanya RIND akan membaik dalam waktu 24-48

jam.
10

c) Stroke In Evolution (SIE)

Pada keadaan ini gejala atau tanda neurologis fokal terus

berkembang dimana terlihat semakin berat dan memburuk

setelah 48 jam. Defisit neurologis yang timbul berlangsung

bertahap dari ringan sampai menjadi berat.

d) Complete Stroke Non Hemoragic

Kelainan neurologis yang sudah lengkap menetap atau

permanen tidak berkembang lagi tergantung daerah otak mana

yang mengalami infark.

2) Stroke hemoragik

Stroke hemoragik adalah stroke yang disebabkan adanya

pembuluh darah dalam otak yang pecah sehingga darah yang

mengalir dari pembuluh darah tersebut dipaksa masuk ke dalam

jaringan otak, kemudian merusak sel-sel otak di daerah tertentu,

sehinggga pada akhirnya bagian otak yang terkena tidak dapat

berfungsi dengan baik. Stroke hemoragik menurut Rudianto (2013)

terbagi meliputi dua tipe, yaitu:

a) Perdarahan subaraknoid (PSA)

b) Perdarahan intraserebral (PIS)

c. Penyebab

Stroke biasa diakibatkan salah satu di antara empat kejadian,

sebagai berikut:
11

1) Trombosis (bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher)

Arteriosklerosis serebral dan pelambatan sirkulasi serebral

adalah penyebab utama trombosis serebral, yang adalah penyebab

utama dari stroke. Tanda tanda trombosis serebral bervariasi.

Sakit kepala dengan tanda-tanda umum. Beberapa pasien dapat

mengalami pusing perubahan kognitif, atau kejang. Secara umum,

trombosis serebral tida terjadi secara tiba-tiba, dan kehilangan

bicara sementara, dan hemiplegia.

2) Embolisme serebral (bekuan darah atau material lain yang terbawa

ke otak dari bagian tubuh yang lain)

Menyumbat arteri serebral tengah atau cabang-cabangnya,

yang merusak sirkulasi serebral.

3) Iskemia serebral

Iskemia serebral (infungsional suplai darah ke otak) terutama

karena konstruksi ateroma pada arteri yang menyuplai darah ke

otak.

4) Hemoragi serebral

Terjadi di luar dura mater (hemoragi ekstradural), di bawah

dura mater (hemoragi subdural), di ruang subaraknoid, atau di

dalam substansi otak.

5) Hemoragi subdural

Pada dasarnya sama dengan hemoragi epidural, kecuali

bahwa hematoma subdural biasanya jembatan vena robek.


12

Karenanya, periode pembentukan hematoma lebih lama dan

menyebabkan tekanan darah tinggi (Smeltzer & Bare, 2002).

d. Manifestasi klinik

Stroke menyababkan berbagai defisit neurologik, bergantung

pada lokasi lesi. Ukuran area yang perfusinya tidak adekuat, dan

jumlah aliran darah. Beberapa tanda gejala sroke adalah:

1) Kehilangan motorik

2) Kehilangan komunikasi (afasia, disartria, apraksia)

3) Gangguan persepsi

4) Kerusakan fungsi kognitif dan afek psikologi

5) Difungsi kandung kemih (Smeltzer & Bare, 2002)

e. Patofisiologi

Sebagian besar stroke merupakan jenis iskemik dan terjadi karena

oklusi arteri serebri oleh trombosis atau emboli yang berkaitan

aterosklerosis. Trombosis, yaitu penyebab stroke yang paling sering di

jumpai, biasanya terjadi pada lansia. Faktor risiko stroke meliputi

hipertensi, penyakit jantung, diabetes militus, hiperlipidemia, dan

riwayat serangan iskemik sepintas (Transient Ischemic Attack, TIA).

TIA dapat berlangsung beberapa menit hingga 24 jam dan biasanya

pulih tanpa kerusakan permanen. Keadaan ini disebabkan oleh

mikroemboli yang menimbulkan gangguan sementara pada

percabangan distl pembuluh darah serebral yang kecil dengan diikuti

oleh pemulihan ke fungsi yang normal, TIA merupakan tanda


13

peringatan atau timbulnya trombosis. Emboli dapat terjadi pada segala

usia, khususnya pada pasien jantung, fibrilasi atrial, penyakit katup

jantung, atau sesudah pembedahan jantung terbuka.

Pada ateroklerosis, mula-mula terbentuk daerah berlemak yang

berwarna kuning pada permukaan intima arteri. Sering waktu, terbentuk

plak sibrosis (ateroma) di lokasi yang terbatas, seperti di tempat

percabangan arteri dan bifurkasio arteri ekstraserebral yang berlawanan.

Trombosit selanjutnya melekat pada permukaan plak (agregasi) dan

bersama dengan fibrin, pelekatan trombosit secara perlahan

memperbesar ukuran plak sehingga terbentuk trombus. Dalam

pembuluh arteri yang lebih kecil, membran hialin-lipid terbentuk pada

dinding pembuluh darah. Pada kedua kasus tersebut, lumen pembuluh

darah serebral atau ekstraserebral, seperti arteri karotis menjadi sempit.

Pada emboli, sebagian trombus dan material lain, seperti tumor, lemak,

atau bakteri emboli, akan terlepas dan terbawa oleh darah hingga

terperangkap dalam pembuluh darah distal. Emboli septik dapat

menyebabkan pembentukan aunerisma serebral (temotik), yang

selanjutnya diikuti oleh ruptur pembuluh darah dan perdarahan.

Penyempitan atau oklusi pembuluh arteri serebral mengakibatkan

berkurangnya aliran darah serebral ke daerah yang biasanya disuplai

oleh pembuluh darah yang terkena dan pengurangan aliran darah ini

menentukan keparahan cidera pada otak. Iskemia setempat dan infark

ireversible di daerah jaringan otak yang di suplai oleh pembuluh arteri


14

yang terkena akan terjadi jika aliran darah tidak dipulihkan. Sebuah

daerah yang disebut penumbra iskemik mengelilingi inti jaringan yang

mengalami infark dan meskipun daerah penumbra tidak berfungsi,

neuron di daerah tersebut masih aktif, serta dapat pulih jika aliran darah

terbentuk kembali dan iskemia dan infark berikutnya dicegah.

Kekurangan oksigen dan pemecahan glukosa menyebabkan neuron

mengalami asidosis. Aktvitas elektrik neuron terganggu karen natrium,

klorida, dan air masuk kedalam sel saraf dan kalium meninggalkan sel

saraf, sehingga terjadi edema otak setempat. Masuknya kalsium akan

memicu serangkaian reaksi sel yang memproduksi radikal bebas

sehingga terjadi peroksidasi lipid dan perusakan membran sel. Neuron

akan mengerut dan mati serta respon inflamasi terpicu. Sel fagosit

mengabsorbsi jaringan nekrokit dan seiring waktu, jaringan nekrokit

diganti oleh jaringan parut.

Meskipun jarang terjadi, perdarahan yang disebabkan oleh ruptur

pembuluh arteri serebral merupakan penyebab kematian akibat stroke

yang paling sering ditemukan dan dapat terjadi pada segala usia,

kendati 50% terjadi pada individu berusia di atas 75 tahun. Penyakit

hipertensi dan ruptur aneurisma serebral merupakan penyebab umum

stroke jenis ini. Penyebab lain meliputi perdarahan dan malformasi

arteriovenosa, tumor otak, dan hipertensi yang disebabkan oleh obat,

seperti yang terjadi pada beberapa jenis obat mafetamin.


15

Stroke hemoragik menyebabkan berkurangnya suplai darah ke

daerah otak yang dialiri oleh pembuluh arteri yang terkena. Darah

dipaksa masuk ke dalam jaringan di sekitarnya sehingga terbentuk

hematom yang menyebabkan pergeseran dan kompresi jaringan

(parenkim) di sebelahnya.

Ketika aneurisma serebral pecah, darah memasuki ruang

subaraknoid dan menyebabkan tanda dan gejala iritasi meningen,

seperti telah terjadi pada meningitis. Iskemia serebral selanjutnya dapat

terjadi dalm waktu 4-7 hari sesudah perdarahan awal akibat spasme

pembuluh arteri serebral (Chang et al., 2010).

f. Komplikasi

Menurut Pudiastuti (2013) komplikasi stroke yaitu

1) Berhubungan dengan imobilisasi

a) Infeksi pernafasan

b) Nyeri yang berhubungan dengan daerah yang tertekan

c) Konstipasi

2) Berhubungan dengan mobilisasi

a) Nyeri pada daerah punggung

b) Dislokasi nyeri

3) Berhubungan dengan kerusakan otak

a) Epilepsi

b) Sakit kepala

c) kraniotomi
16

g. Pemeriksaan penunjang

1) MRI

2) Sinar-x

3) CT-scan

4) Angiografi serebral

5) Elektro encefalography

6) Foto thoraks

7) Pemeriksaan laboratorium (Doenges et al. , 2008)

h. Penatalaksanaan

1) Pasien ditempatkan pada posisi lateral atau semi telungkup

dengan kepala tempat tidur agak ditinggikan sampai tekanan vena

serebral berkurang.

2) Intubasi endotrakea dan ventilasi mekanik perlu untuk pasien

dengan stroke masif, karena henti pernafasan biasanya faktor

yang mengancam kehidupan pada situasi ini.

3) Pasien dipantau untu adanya komplikasi pulmonal (aspirasi,

atelektasis, pneumonia), yang mungkin berkaitan dengan

kehilangan refkleks jalan nafas, imobilitas, atau hipoventilasi.

4) Jantung diperiksa untuk abnormalitas dalam ukuran dan irama

serta tanda gagal jantung konestif


17

i. Fokus pengkajian

1) Biodata

Nama, umur, jenis kelamin, agama, status perkawinan,

pendidikan, pekerjaan, alamat, tanggal masuk RS, No. RM, dan

suku bangsa

2) Keluhan utama

Biasanya klien datang kerumah sakit dengan keadaan tidak

sadar disertai kelumpuhan dan keluhan sakit kepala hebat bila

masih sadar.

3) Riwayat kesehatan sekarang

Setelah melakukan aktivitas tiba-tiba terjadi keluhan

neurologis, misalnya: sakit kepala dan penurunan kesadaran.

4) Riwayat kesehatan dahulu

Perlu dilakukan adanya pengkajian DM, Hipertensi,

kelainan jantung, karena hal ini berhubungan dengan penurunan

kualitas pembuluh darah otak menjadi menurun.

5) Riwayat penyakit keluarga

Adakah riwayat penyakit yang sama diderita oleh anggota

keluarga yang lain atau riwayat penyakit lain baik bersifat genetik

maupun tidak

.
18

6) Pemeriksaan fisik

a) Keadaan umum

b) Pola fungsi kesehatan

1. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan pada klien

2. Pola aktivitas dan latihan

3. Pola nutrisi dan metabolisme

4. Pola eliminasi

5. Pola istirahat tidur

6. Pola kognitif dan perseptual

7. Pola konsep diri

8. Pola toleransi dan koping

9. Pola seksual dan reproduksi

10. Pola hubungan dan peran

11. Pola nilai dan keyakinan

j. Fokus intervensi

a. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan

penigkatan tekanan intrakranial (TIK)

1) Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan

ketidakefektifan perfusi jaringan serebral tidka terjadi.

2) Kriteria hasil:

a) Kesadaran composmenthis

b) Ttv dalam batas normal

c) GCS dalam batas normal


19

d) Pasien tidak merasa nyeri

3) Intervensi

a) Observasi kesadaran pasien dan GCS pasien

Rasional: untuk mengetahui kesadaran umum pasien

b) Berikan posisi kepala hand up 30 derajat

Rasional: berikan posisi yang nyaman untuk pasien

c) Berikan terapi oksigen

Rasional: utnuk menambah suplai oksigen

d) Kolaborasi dengan dokter pemberian obat

Rasional: untuk mengurangi penigktan intrakranial (TIK)

b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan

kekuatan otot

1) Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan

hambatan mobilitas fisik optimal

2) Kriteria hasil:

a) Pasien dapat mengerakkan ekstremitasnya

b) Pasien mampu melakukan mobilitas secara mandiri

3) Intervensi

a) Observasi tanda-tanda vital

Rasional: mengetahui tanda-tanda vital pasien

b) Mengajarkan ROM pasif

Rasional: untuk melatih kekuatan otot

c) Anjurkan keluarga untuk alih baring


20

Rasional: untuk mencegah risiko terjadi dekubitus

d) Kolaorasi dengan ahli fisioterapi

Rasional: untuk memberikan program khusus melatih

kekuatan otot

c. Konstipasi berhubungan aktifitas fisik

1) Tujuan: setelah dilakuakn tindakan keperawatan diharpakan

konstipasi tidak terjadi

2) Kriteria hasil:

a) Bising usus dalam batas normal 5-35 x/menit

b) Pasien mampu buang air besar (BAB)

3) Intervensi

a) Kaji keadaan pasien

Rasional: mengetahui keadaan umum pasien

b) Auskultasi bising usus

Rasional: untuk dapat mengetahui bising usus pasien

c) Memberikan makanan tinggi serat

Rasional: memperlancar proses pencernaan

d) Kolaborasi dengan ahli gizi

Rasional: untuk menigkatkan serat dan cairan dalam diet

pasien

d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan faktor biologis


21

1) Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan

ketidakseimbangan nutrisi dapat terpenuhi

2) Kriteria hasil:

a) Pasien tidak mengalami mual dan muntah

b) Nafsu makan pasien menigkat

3) Intervensi:

a) Kaji penyebab mual dan muntah

Rasional: untuk mengetahui penyebab mual dan muntah

b) Bantu perawatan diri pasien

Rasional: membantu pasien untuk makan

c) Ajarkan keluarga pasien memberikan makan dalam pori kecil

tapi sering

Rasional: untuk mnigkatkan nafsu makan dan asupan nutrien

pasien

d) Kolaborasi dengan dokter

Rasional: pemberian obat dalam mengurangi terjadinya asam

lambung

2. Konstipasi

a. Pengertian

Menurut Smeltzer, 2002 konstipasi merupakan defekasi

teratur yang abnormal, dan juga pengerasan feses tak normal yang

membuat sulit dan kadang menimbulkan nyeri. Konstipasi merupakan

satu keluhan, bukan penyakit. Konstipasi sering diartikan sebagai


22

kurangnya frekuensi buang air besar, biasanya kurang dari 3 kali

perminggu dengan feses yang kecil-kecil dan keras, serta kadang kala

disertai kesulitan sampai rasa sakit saat BAB. Sembelit (konstipasi)

adalah suatau keadaan dimana seseorang mengalami kesulitan buang air

besar atau jarang buang air besar.

Dalam praktek sehari-hari, konstipasi didefinisikan secara

berbeda beda oleh berbagai orang, bahkan diantara para praktisi medis.

Namun secara umum konstipasi didefinisikan sebagai keadaan dengan

kesulitan waktu defekasi dengan kotoran yang keras dan kering serta

frekuensi buang air besar yang kurang dari 3 kali perminggu (Mansjoer,

2010).

b. Patofisiologi

1) Konstipasi primer

Kondisi ini dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu:

a) Konstipasi transit normal, atau konstipasi fungsional merupakan

keadaan konstipasi yang paling sering ditemukan. Dalam

keadaan ini, feses didorong ke bagian distal saluran cerna dalam

waktu yang normal. Konstipasi pada keadaan ini diduga oleh

karena kesulitan pada saat evakuasi feses atau oleh karena feses

yang keras. Pasien biasanya mengeluh kembung dan rasa tidak

nyaman di perut atau bahkan nyeri perut.

b) Konstipasi transit lambat, ditandai dengan melambatnya pasase

feses di kolon. Konstipasi jenis ini umumnya terjadi pada wanita


23

usia muda dengan frekuensi defekasi sekali dalam seminggu

atau kurang. Keadaan ini sering mulai muncul pada usia

pubertas yang disertai kurangnya sensasi untuk defekasi,

kembung serta rasa tidak nyaman di perut.

c) Difungsi anorektal, terjadi koordinasi yang tidk efesien dari

otot-otot di daerah pelvis pada saat proses evakuasi. Keadaan ini

dapat terjadi akibat kebiasaan dalam jangka panjang menahan

buang air besar untuk menghindari timbulnya rasa sakit yang

disebabkan oleh massa feses yang besar dan keras, fissura ani

atau hemoroid. Penyebab lain dari disfungsi anorektal adalah

kelainan sruktural di daerah anorektal seperti intususepti rektum,

rektokel dan desensi daerah perinial yang aksesif. Pasien

umumnya mengeluh perasaan evakuasi yang tidak tuntas,

persaan tersumbat (obstruksi) serta memerlukan manipulasi

digital untuk evakuasi feses.

2) Konstipasi sekunder

Konstipasi sekunder adalah keadaan konstipasi yang

disebabkan berbagai kedaan atau berbagai penyakit sistemik.

Konstipasi sekunder dapat pula disebabkan oleh berbagai obat-

obatan seperti antasid, anti kolinergik, anti depresan, serta berbagai

obat lainya.

Adanya faktor penyebab konstipasi sekunder tersebut di

atas dapat disingkirkan dengan melakukan anamnesis dan


24

pemeriksaan fisik yang cermat serta bebagai pemeriksaan

penunjang yang memadai. Irritble bowel syndrome merupakan

salah satu penyebab konstipasi. Hal ini dapat dibedakan dari

konstipasi fungsional karena ada irrtable bowel syndrome biasanya

disertai dengan perasaan nyeri yang khas di abdomen (Mansjoer,

2010).

c. Penyebab

Penyebab konstipasi menurut Smeltzer & Bare (2002) yaitu:

1) Beurbahnya makanan atau berkurangnya aktivitas fisik

2) Obat-obatan

3) Gangguan rektal/anal

4) Kondisi metabolisme

5) Neurologis

6) Kelemahan imobilitas, kecacatan, keletihan, dan ketidakmampuan

utnuk menigkatkan tekanan intra-abdomen.

d. Komplikasi

Menurut Mansjoer (2010) berbagai komplikasi dapat terjadi pada

pasien dengan konstipasi, antara lain:

1) Perdarahan hemoroid

2) Infeksi saluran kencing

3) Terjadi firusa ani

4) Obstruksi kolon

5) Perforasi
25

e. Diagnosis

Konstipasi menurut Hodson (2008), meliputi paling sedikit dari keluhan

di bawah ini:

1) Konsistensi feses yang keras

2) Mengejan keras saat BAB

3) Rasa tidak tuntas saat BAB, meliputi 25% dari keseluruhan BAB

4) Frekuensi BAB 2 kali seminggu atau kurang.

f. Intervensi keperawatan

1) Auskultasi bising usus

2) Berikan intake cairan yang cukup (2 liter perhari) jika tidak ada

kontraindikasi

3) ROM pasif

4) Kolaborasi dengan tenaga medis lain

3. Range Of Motion (ROM)

a. pengertian

Range Of Motion (ROM) adalah latihan yang di lakukan untuk

mempertahankan atau memperbaiki tingkat kesempurnaan kemampuan

menggerakkan persendian secara normal dan lengkap untuk

menigkatkan masa otot dan tonus otot. Mobilisasi persendian dengan

latihan ROM merupakan salah satu benuk rehabilitasi yang dinilai

masih cukup efektif untuk mencegh terjadinya kecacatan pada pasien

stroke (Astrit, 2014)


26

Pemberian terapi latihan berupa gerakan pasif sangat bermanfaat

dalam menjaga sifat. Fisiologi dari jaringan otot dan sendi. Latihan ini

dapat diberikan sedini mungkin untuk menghindari adanya komplikasi

akibat kurang gerak, seperti adanya kontraktur kekakuan sendi, dan

lain-lain. Pemberian ROM dapat diberikan dalam berbagai posisi,

seperti tidur terlentang, tidur miring, tidur tengkurap, duduk, berdiri

atau posisi sesuai dengan latihan yang di gunakan (Irfan, 2012). ROM

adalah latihan gerakan sendi yang memungkinkan terjadinya kontraksi

dan pergerakan, otot, dimana klien menggerakkan masing-masing

persendiannya sesuai gerakan normal baik secara aktf maupun pasif

(Potter dan Perry, 2006)

b. Klasifikasi latihan ROM meliputi:

1) Latihan ROM pasif adalah latihan ROM yang dilakukan pasien

dengan bantuan perawat setiap gerakan.

2) Latihan ROM aktif adalah perawat melakukan gerakan persendian

klien sesuai dengan rentan gerak yang normal.

c. Jenis gerakan

1) Fleksi

2) Ekstensi

3) Hiper ekstensi

4) Rotasi

5) Sirkumduksi

6) Supinasi
27

7) Pronasi

8) Abduksi

9) Aduksi

d. Sendi yang digerakkan

1) ROM aktif: seluruh tubuh dari kepala sampai ujung jari kaki oleh

klien sendiri secara aktif.

2) ROM pasif: seluruh persendian tubuh atau hanya pada ekstremitas

yang terganggu dan klien tidak mampu

melaksanakannya secara mandiri.

a) Leher : fleksi/ekstensi, fleksi lateral.

b) Bahu tangan kanan dan kiri: fleksi/ekstensi, abduksi/adduksi,

rotasi bahu.

c) Siku tangan kanan dan kiri : fleksi/ektensi, pronasi/supinasi

d) Pergelangan tangan : fleksi/ekstensi, hiperekstensi,

abduksi/adduksi.

e) Jari-jari tangan : fleksi/ekstensi, hiperekstensi,

abduksi/adduksi, oposisi

f) Pinggul : fleksi/ekstensi, abduksi/adduksi,

rotasi internal/aksternal.

g) Pergelangan kaki : fleksi/ekstensi, rotasi

h) Jari kaki : fleksi/ekstensi.


28

e. Indikasi

1) Stroke atau penurunan tingkat kesadaran

2) Kelemahan otot

3) Fase rehabilitasi fisik

4) Klien dengan tirah baring

f. Tujuan ROM

1) Meningkatkan atau mempertahankan fleksibilitas dan kekuatan

otot.

2) Mempertahankan fungsi jantung dan pernafasan

3) Mencegah kontraktur dan kekakuan pada otot sendi

g. Manfaat

1) Mencegah kekakuan sendi

2) Memperlancar sirkulasi darah

3) Memperbaiki tonus otot

4) Menigkatkan mobilitas sendi

5) Menigkatkan peristaltik usus


29

B. Kerangka teori

Penyakit yang mendasari stroke


(alkohol,hiperkolesteroid, merokok, stres, depresi).

Aterosklerosis Penurunan darah ke Obtruksi


(elastisits pembuluh otak trombus di
darah menurun) otak

Hipoksia serebri

Infark jaringan otak

Kerusakan pusat gerakan motorik di lobus frontalis


hemiparase, hemiplagia

Gangguan Tirah
Difungsional baring
mobilitas fisik
saluran pencarnaan

Gangguan
Gangguan
eliminasi urin
eliminasi alvi
(konstipasi)

ROM pasif

Gambar 2.1 Kerangka teori


(Price, 2006)
30

C. Kerangka konsep

Stroke
Peningkatan
dengan ROM pasif peristaltik usus
konstipasi

Gambar 2.2 Kerangka konsep

D. Penelitian yang relevan

1. Penelitian yang dilakukan oleh Mira (2011) dengan judul “Efektifitas

ROM Pasif dalam Mengatasi Konstipasi pada Pasien Stroke di Ruang

Neuro Badan Layanan Umum Daerah (BULD) RSU DR.M.M DUNDA

KABUPATEN GORONTALO, dengan metode yang digunakan yaitu jenis

penelitian “Quasi eksperimen” Dengan rancangan rangkaian waktu (time

series design). Hasil dari penelitian bahwa didapatkan 75% keefektifan

ROM pasif dalam mengatasi konstipasi pada pasien stroke Non hemoragik

di BLUD RSU DR. M.M Dunda Kabupaten Gorontalo dengan kategori

“cukup”.

2. Penelitian yang dilakukan oleh nofie widiarto (2013) dengan judul

“Differences of Recovery Time of Intestinal Peritaltic on Surgical patients

with General Anesthesia Taken with Early Ambulation of Active and

Passive ROM in Wira Bhakti Tamtama Hospital Semarang”. Peneliti ingin

mengetahui perbadaan lama waktu pemulihan peristaltik usus antara

pasien yang dilakukan ambulasi ROM pasif dan ROM aktif. Dari hasil

penelitian menunjukkan bahwa dari 20 sampel, lebih dari separuhnya

(55%) responden lebih cepat pulih dalam pemulihan peristaltik usus


31

dengan pelaksanaan ROM pasif di bandingkan dengan ROM aktif, dengan

nilai p value < 0,05. Adanya hubungan atau perbedaan antara yang

melakukan ambulasi dini ROM aktif dan ROM pasif terhadap peristaltik

usus, dengan rentan waktu yang berbeda dan lebih cepat dengan ROM

pasif.
32

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah studi kasus deskriptif dengan menggunakan

pendakatan case study research.

B. Tempat Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2018 di RSUD dr.Soediran

Mangun Sumarso Wonogiri

C. Subjek Penelitian

Populasinya adalah semua pasien stroke dengan masalah kontipasi di

Rumah Sakit RSUD Dr.Soediran Mangoen Sumarso. Teknik sampling

penelitian ini adalah menggunakan non probalility Sampling dengan

pendekatan purposive sampling yaitu teknik pengambilan sampel dengan

pertimbangan atau tujuan tertentu. Subjek pada penelitian ini 5 partisipan pada

penderita stroke dengan masalah konstipasi dengan kriteria hasil inklusi:

pasien dengan stroke non hemoragik, pasien yang bedrest yang tidak

melakukan mobilisasi.
33

D. Definisi Istilah
32
Tabel 3.1 Definisi Istilah

variabel Definisi

Stroke Stroke didefinisikan sebagai defisit


(gangguan) fungsi sistem yang terjadi
mendadak dan disebabkan oleh gangguan
peredaran darah otak, Stroke terjadi akibat
gangguan pembuluh darah ke otak.
Konstipasi Sembelit (konstipasi) adalah suatau keadaan
dimana seseorang mengalami kesulitan
buang air besar atau jarnag buang air besar.

RangeOf Motion (ROM) Latihan ROM aktif adalah perawat


pasif melakukan gerakan persendian klien sesuai
dengan rentan gerak yang normal.

E. Metode Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian

1. Metode Pengumpulan Data

a. Metode observasi partisipasif, dengan mempertimbangkan kriteria

inklusi dan ekslusi. Kriteria inklusi sendiri adalah karateristik umum

subjektif dari suatu populasi target yang akan diteliti. Kritera eksklusi

adalah kriteri dimana subjek penelitian tidak dapat mewakili sample

karena tidak memenuhi syarat sebagai sample penelitian.

b. Wawancara, dengan menyusun pedoman wawancara yang akan

dilakukan pada pasien

c. Metode pengukuran, peneliti melakukan pengukuran data saat sebelum

dan sesudah tindakan


34

d. Metode dokumentasi, dengan catatan keperawatan dan medik,

keperawatan penunjang

2. Instrumen Studi Kasus

a. Format asuhan keperawatan, peneliti dalam pengambilan data melalui

proses asuhan keperawatan medikal-bedah.

b. Peneliti sendiri, adalah peneliti memfokuskan pada lembar observasi

atau lembar perkembangan pasien yang digunakan dalam studi kasus.

c. SOP atau instruksi kerja dalam penelitian ini, adalah peneliti

membutuhkan alat dan bahan, yaitu bolpoin, format asuhan

keperawatan medikal-bedah.

F. Metode Uji Keabsahan Data

Uji keabsahan data dimaksudkan dengan mengambil data baru (here

and now) dengan menggunakan instrument pengkajian yang sesuai sehingga

menghasilkan data dan validitas tinggi jika sudah melaksanakan prosedur

tindakan sesuai SOP/instruks kerja yaitu menggunakan klien, perawat,

keluarga klien sebagai sumber informasi, sumber dokumentasi, dan lain-lain.

Metode yang digunakan adalah triangulasi.

G. Metode Analisis Data

1. Pengumpulan data

Merupakan tahanpan dalam proes penelitian yang penting, karena

dapat mendapatkan data yang tepat maka proses penelitian akan


35

belrlangsung sampai peneliti mendapatkan jawaban dari perumusan

maslah yang sudah ditetapkan.

2. Reduksi data

Merupakan suatu bentu yang menajamkan, menggolongkan,

mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengkoordininasi data

dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpluan-kesimpulan finalnya

dapat ditarik dan diverifikasi.

3. Penyajian data

Peneliti mengembangkan sebuah deskripsi informasi tersusun untuk

menarik kesimpulan dan pengambilan data.

4. Kesimpulan

Peneliti berusaha menarik kesimpulan dan melakukan verifikasi

dengan mencari makna setiap gejala yang diperoleh dari lapangan,

keteraturan dan konfigurasi yang mungkin ada alur kausalitas dari

fenomena, dan propososi

H. Etika Penelitian meliputi:

1. Informed Consent (Persetujuan)

Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti

dengan responden dengan memberikan lembar persetujuan. Informed

consent persetujuan menjadi responden. Tujuannya agar subyek mengerti

maksud dan tujuannya studi kasus. Jika responden bersedia, maka mereka

harus menandatangani lembar persetujuan.


36

2. Anonymity (Tanpa Nama)

Anonymity merupakan pemberian jaminan dalam penggunaan subjek

studi kasus dengan cara tidak mencantumkan nama responden pada

lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan

data atau hasil studi kasus yang akan disajikan.

3. Confidentiality (Kerahasiaan)

Confidentiality merupakan pemberian jaminan hasil studi kasus,

baik informasi maupun masalah-masalah lainnya. Semua informasi yang

dikumpulkan dijamin kerahasiaan oleh penulis.

Anda mungkin juga menyukai