Anda di halaman 1dari 8

Definisi Sindrom Down

Sindrom Down merupakan kelainan genetik yang dikenal sebagai trisomi, karena
individu yang mendapat sindrom Down memiliki kelebihan satu kromosom. Mereka mempunyai
tiga kromosom 21 dimana orang normal hanya mempunyai dua saja. Kelebihan kromosom ini
akan mengubah keseimbangan genetik tubuh dan mengakibatkan perubahan karakteristik fisik
dan kemampuan intelektual, serta gangguan dalam fungsi fisiologi tubuh (Pathol, 2003).
Terdapat tiga tipe sindrom Down yaitu trisomi 21 reguler, translokasi dan mosaik.
Tipe pertama adalah trisomi 21 reguler. Kesemua sel dalam tubuh akan mempunyai tiga
kromosom 21. Sembilan puluh empat persen dari semua kasus sindrom Down adalah dari tipe ini
(Lancet, 2003).
Tipe yang kedua adalah translokasi. Pada tipe ini, kromosom 21 akan berkombinasi
dengan kromosom yang lain. Seringnya salah satu orang tua yang menjadi karier kromosom
yang ditranslokasi ini tidak menunjukkan karakter penderita sindrom Down. Tipe ini merupakan
4% dari total kasus (Lancet, 2003)
Tipe ketiga adalah mosaik. Bagi tipe ini, hanya sel yang tertentu saja yang mempunyai
kelebihan kromosom 21. Dua persen adalah penderita tipe mosaik ini dan biasanya kondisi si
penderita lebih ringan (Lancet, 2003).

2.2. Faktor Risiko


Risiko untuk mendapat bayi dengan sindrom Down didapatkan meningkat dengan
bertambahnya usia ibu saat hamil, khususnya bagi wanita yang hamil pada usia di atas 35 tahun.
Walau bagaimanapun, wanita yang hamil pada usia muda tidak bebas terhadap risiko mendapat
bayi dengan sindrom Down.
Harus diingat bahwa kemungkinan mendapat bayi dengan sindrom Down adalah lebih
tinggi jika wanita yang hamil pernah mendapat bayi dengan sindrom Down, atau jika adanya
anggota keluarga yang terdekat yang pernah mendapat kondisi yang sama. Walaubagaimanapun
kebanyakan kasus yang ditemukan didapatkan ibu dan bapaknya normal (Livingstone, 2006).
Berikut merupakan rasio mendapat bayi dengan sindrom Down berdasarkan umur ibu
yang hamil:
- 20 tahun: 1 per 1,500
- 25 tahun: 1 per 1,300
- 30 tahun: 1 per 900
- 35 tahun: 1 per 350
- 40 tahun: 1 per 100
- 45 tahun: 1 per 30

2.3 Skrining
Terdapat dua tipe uji yang dapat dilakukan untuk mendeteksi bayi sindrom Down.
Pertama adalah uji skrining yang terdiri daripada blood test dan/atau sonogram. Uji kedua adalah
uji diagnostik yang dapat memberi hasil pasti apakah bayi yang dikandung menderita sindrom
Down atau tidak (American College of Nurse-Midwives, 2005).
Pada sonogram, tehnik pemeriksaan yang digunakan adalah Nuchal Translucency (NT
test). Ujian ini dilakukan pada minggu 11 – 14 kehamilan. Apa yang diuji adalah jumlah cairan
di bawah kulit pada belakang leher janin. Tujuh daripada sepulah bayi dengan sindrom Down
dapat dikenal pasti dengan tehnik ini (American College of Nurse-Midwives, 2005).
Hasil ujian sonogram akan dibandingkan dengan uji darah. Pada darah ibu hamil yang
disuspek bayinya sindrom Down, apa yang diperhatikan adalah plasma protein-A dan hormone
human chorionic gonadotropin (HCG). Hasil yang tidak normal menjadi indikasi bahwa
mungkin adanya kelainan pada bayi yang dikandung (Mayo Foundation for Medical Education
and Research (MFMER), 2011).
Terdapat beberapa uji diagnostik yang boleh dilakukan untuk mendeteksi sindrom Down.
Amniocentesis dilakukan dengan mengambil sampel air ketuban yang kemudiannya diuji untuk
menganalisa kromosom janin. Kaedah ini dilakukan pada kehamilan di atas 15 minggu. Risiko
keguguran adalah 1 per 200 kehamilan. Chorionic villus sampling (CVS) dilakukan dengan
mengambil sampel sel dari plasenta. Sampel tersebut akan diuji untuk melihat kromosom janin.
Tehnik ini dilakukan pada kehamilan minggu kesembilan hingga 14. Resiko keguguran adalah 1
per 100 kehamilan. Percutaneous umbilical blood sampling (PUBS) adalah tehnik di mana
darah dari umbilikus diambil dan diuji untuk melihat kromosom janin. Tehnik dilakukan pada
kehamilan diatas 18 minggu. Tes ini dilakukan sekiranya tehnik lain tidak berhasil memberikan
hasil yang jelas. Resiko keguguran adalah lebih tinggi (Mayo Foundation for Medical Education
and Research (MFMER), 2011).

2.4. Patofisiologi
Kromosom 21 yang lebih akan memberi efek ke semua sistem organ dan menyebabkan
perubahan sekuensi spektrum fenotip. Hal ini dapat menyebabkan komplikasi yang mengancam
nyawa, dan perubahan proses hidup yang signifikan secara klinis. Sindrom Down akan
menurunkan survival prenatal dan meningkatkan morbiditas prenatal dan postnatal. Anak – anak
yang terkena biasanya mengalami keterlambatan pertumbuhan fisik, maturasi, pertumbuhan
tulang dan pertumbuhan gigi yang lambat. Lokus 21q22.3 pada proksimal lebihan kromosom 21
memberikan tampilan fisik yang tipikal seperti retardasi mental, struktur fasial yang khas,
anomali pada ekstremitas atas, dan penyakit jantung kongenital.
Hasil analisis molekular menunjukkan regio 21q.22.1-q22.3 pada kromosom 21
bertanggung jawab menimbulkan penyakit jantung kongenital pada penderita sindrom Down.
Sementara gen yang baru dikenal, yaitu DSCR1 yang diidentifikasi pada regio 21q22.1-q22.2,
adalah sangat terekspresi pada otak dan jantung dan menjadi penyebab utama retardasi mental
dan defek jantung (Mayo Clinic Internal Medicine Review, 2008).
Abnormalitas fungsi fisiologis dapat mempengaruhi metabolism thiroid dan malabsorpsi
intestinal. Infeksi yang sering terjadi dikatakan akibat dari respons sistem imun yang lemah, dan
meningkatnya insidensi terjadi kondisi aotuimun, termasuk hipothiroidism dan juga penyakit
Hashimoto. Penderita dengan sindrom Down sering kali menderita hipersensitivitas terhadap
proses fisiologis tubuh, seperti hipersensitivitas terhadap pilocarpine dan respons lain yang
abnormal. Sebagai contoh, anak – anak dengan sindrom Down yang menderita leukemia sangat
sensitif terhadap methotrexate.
Menurunnya buffer proses metabolic menjadi faktor predisposisi terjadinya hiperurisemia
dan meningkatnya resistensi terhadap insulin. Ini adalah penyebab peningkatan kasus Diabetes
Mellitus pada penderita Sindrom Down (Cincinnati Children's Hospital Medical Center, 2006).
Anak – anak yang menderita sindrom Down lebih rentan menderita leukemia, seperti Transient
Myeloproliferative Disorder dan Acute Megakaryocytic Leukemia. Hampir keseluruhan anak
yang menderita sindrom Down yang mendapat leukemia terjadi akibat mutasi hematopoietic
transcription factor gene yaitu GATA1. Leukemia pada anak – anak dengan sindrom Down
terjadi akibat mutasi yaitu trisomi 21, mutasi GATA1, dan mutasi ketiga yang berupa proses
perubahan genetic yang belum diketahui pasti (Lange BJ,1998).

Mortalitas/Morbiditas
Diperkirakan sekitar 75% kehamilan dengan trisomi 21 tidak akan bertahan. Sekitar 85%
bayi dapat hidup sampai umur satu tahun dan 50% dapat hidup sehingga berusia lebih dari 50
tahun. Penyakit jantung kongenital sering menjadi faktor yang menentukan usia penderita
sindrom Down. Selain itu, penyakit seperti Atresia Esofagus dengan atau tanpa fistula
transesofageal, Hirschsprung disease, atresia duodenal dan leukemia akan meningkatkan
mortalitas (William, 2002).
Selain itu, penderita sindrom Down mempunyai tingkat morbiditas yang tinggi karena
mempunyai respons sistem imun yang lemah. Kondisi seperti tonsil yang membesar dan
adenoids, lingual tonsils, choanal stenosis, atau glossoptosis dapat menimbulkan obstruksi pada
saluran nafas atas. Obstruksi saluran nafas dapat menyebabkan Serous Otitis Media, Alveolar
Hypoventilation, Arterial Hypoxemia, Cerebral Hypoxia, dan Hipertensi Arteri Pulmonal yang
disertai dengan cor pulmonale dan gagal jantung (Cincinnati Children's Hospital Medical Center,
2006).
Keterlambatan mengidentifikasi atlantoaxial dan atlanto-occipital yang tidak stabil dapat
mengakibatkan kerusakan pada saraf spinal yang irreversibel. Gangguan pendengaran, visus,
retardasi mental dan defek yang lain akan menyebabkan keterbatasan kepada anak – anak dengan
sindrom Down dalam meneruskan kelangsungan hidup. Mereka juga akan menghadapi masalah
dalam pembelajaran, proses membangunkan upaya berbahasa, dan kemampuan interpersonal
(Cincinnati Children's Hospital Medical Center, 2006).

2.6. Efek Pada Fisik Dan Sistem Tubuh


2.6.1. Temuan Fisik
Fisikalnya pasien sindrom Down mempunyai rangka tubuh yang pendek. Mereka sering
kali gemuk dan tergolong dalam obesitas. Tulang rangka tubuh penderita sindrom Down
mempunyai ciri – ciri yang khas. Tangan mereka pendek dan melebar, adanya kondisi
clinodactyly pada jari kelima dengan jari kelima yang mempunyai satu lipatan (20%), sendi jari
yang hiperekstensi, jarak antara jari ibu kaki dengan jari kedua yang terlalu jauh, dan dislokasi
tulang pinggul (6%) (Brunner, 2007).
Bagi panderita sindrom Down, biasanya pada kulit mereka didapatkan xerosis, lesi
hiperkeratosis yang terlokalisir, garis – garis transversal pada telapak tangan, hanya satu lipatan
pada jari kelima, elastosis serpiginosa, alopecia areata, vitiligo, follikulitis, abses dan infeksi
pada kulit yang rekuren (Am J., 2009).
Retardasi mental yang ringan hingga berat dapat terjadi. Intelegent quatio (IQ) mereka
sering berada antara 20 – 85 dengan rata-rata 50. Hipotonia yang diderita akan meningkat
apabila umur meningkat. Mereka sering mendapat gangguan artikulasi. (Mao R., 2003).
Penderita sindrom Down mempunyai sikap atau prilaku yang spontan, sikap ramah, ceria,
cermat, sabar dan bertoleransi. Kadang kala mereka akan menunjukkan perlakuan yang nakal
dengan rasa ingin tahu yang tinggi (Nelson, 2003)
Infantile spasms adalah yang paling sering dilaporkan terjadi pada anak – anak sindrom
Down sementara kejang tonik klonik lebih sering didapatkan pada yang dewasa. Tonus kulit
yang jelek, rambut yang cepat beruban dan sering gugur, hipogonadism, katarak, kurang
pendengaran, hal yang berhubungan dengan hipothroidism yang disebabkan faktor usia yang
meningkat, kejang, neoplasma, penyakit vaskular degeneratif, ketidakmampuan dalam
melakukan sesuatu, pikun, dementia dan Alzheimer dilaporkan sering terjadi pada penderita
sindrom Down. Semuanya adalah penyakit yang sering terjadi pada orang – orang lanjut usia
(Am J., 2009).
Penderita sindrom Down sering menderita Brachycephaly, microcephaly, dahi yang rata,
occipital yang agak lurus, fontanela yang besar dengan perlekatan tulang tengkorak yang lambat,
sutura metopik, tidak mempunyai sinus frontal dan sphenoid serta hipoplasia pada sinus
maksilaris (John A. 2000).
Mata pasien sindrom Down bentuknya seperti tertarik ke atas (upslanting) karena fissura
palpebra yang tidak sempurna, terdapatnya lipatan epicanthal, titik – titik Brushfield, kesalahan
refraksi sehingga 50%, strabismus (44%), nistagmus (20%), blepharitis (33%), conjunctivitis,
ruptur kanal nasolacrimal, katarak kongenital, pseudopapil edema, spasma nutans dan
keratoconus (Schlote, 2006).
Pasien sindrom Down mempunyai hidung yang rata, disebabkan hipoplasi tulang hidung
dan jembatan hidung yang rata (Schlote, 2006). Apabila mulut dibuka, lidah mereka cenderung
menonjol, lidah yang kecil dan mempunyai lekuk yang dalam, pernafasan yang disertai dengan
air liur, bibir bawah yang merekah, angular cheilitis, anodontia parsial, gigi yang tidak terbentuk
dengan sempurna, pertumbuhan gigi yang lambat, mikrodontia pada gigi primer dan sekunder,
maloklusi gigi serta kerusakan periodontal yang jelas (Selikowitz, Mark., 1997).
Pasien sindrom Down mempunyai telinga yang kecil dan heliks yang berlipat. Otitis
media yang kronis dan kehilangan pendengaran sering ditemukan. Kira – kira 60–80% anak
penderita sindrom Down mengalami kemerosotan 15 – 20 dB pada satu telinga (William W. Hay
Jr, 2002).

2.6.2. Hematologi
Anak penderita sindrom Down mempunyai risiko tinggi mendapat Leukemia termasuklah
Leukemia Limfoblastik Akut dan Leukemia Myeloid. Diperkirakan 10% bayi yang lahir dengan
sindrom Down akan mendapat klon preleukemic, yang berasal dari progenitor myeloid pada hati
yang mempunyai karekter mutasi pada GATA1, yang terlokalisir pada kromosom X. Mutasi
pada faktor transkripsi ini dirujuk sebagai Transient Leukemia, Transient Myeloproliferative
Disease (TMD), atau Transient Abnormal Myelopoiesis (TAM) (Lanzkowsky, 2005).2.6.2.

2.6.3. Penyakit Jantung Kongenital


Penyakit jantung kongenital sering ditemukan pada penderita sindrom Down dengan
prevelensi 40-50%. Walaubagaimanapun kasus lebih sering ditemukan pada penderita yang
dirawat di RS (62%) dan penyebab kematian yang paling sering adalah aneuploidy dalam dua
tahun pertama kehidupan. Antara penyakit jantung kongenital yang ditemukan Atrioventricular
Septal Defects (AVD) atau dikenal juga sebagai Endocardial Cushion Defect (43%), Ventricular
Septal Defect (32%), Secundum Atrial Septal Defect (ASD) (10%), Tetralogy of Fallot (6%),
dan Isolated Patent Ductus Arteriosus (4%). Lesi yang paling sering ditemukan adalah Patent
Ductus Arteriosus (16%) dan Pulmonic Stenosis (9%). Kira - kira 70% dari endocardial cushion
defects adalah terkait dengan sindrom Down. Dari keseluruhan penderita yang dirawat, kira –
kira 30% mempunyai beberapa defek sekaligus pada jantung mereka (Baliff JP, 2003).
Atrioventricular septal defects (AVD)
Atrioventricular septal defects (AVD) adalah kondisi dimana terjadinya kelainan
anatomis akibat perkembangan endocardial cushions yang tidak
sempurna sewaktu tahap embrio. Kelainan yang sering di hubungkan dengan AVD adalah patent
ductus arteriosus, coarctation of the aorta, atrial septal defects, absent atrial septum, dan
anomalous pulmonary venous return. Kelainan pada katup mitral juga sering terjadi. Penderita
AVD selalunya berada dalam kondisi asimtomatik pada dekade pertama kehidupan, dan masalah
akan mula timbul pada decade kedua dan ketiga kehidupan. Pasien akan mula mengalami
pengurangan pulmonary venous return, yang akhirnya akan menjadi left-to-right shunt pada
atrium dan ventrikel. Akhirnya nanti akan terjadi gagal jantung kongestif yang ditandai dengan
antara lain takipnu dan penurunan berat badan (William 2002). AVD juga boleh melibatkan
septum atrial, septum ventrikel, dan pada salah satu, atau kedua dua katup atrioventikuler.
Pada penderita dengan penyakit ini, jaringan jantung pada bagian superior dan inferior
tidak menutup dengan sempurna. Akibatnya, terjadi komunikasi intratrial melalui septum atrial.
Kondisi ini kita kenal sebagai defek ostium primum. Akan terjadi letak katup atrioventikuler
yang abnormal, yaitu lebih rendah dari letak katup aorta. Perfusi jaringan endokardial yang tidak
sempurna juga mangakibatkan lemahnya struktur pada leaflet katup mitral. Pada penderita sering
terjadi predominant left-to-right shunting. Apabila penderita mengalami kelainan yang parsial,
shunting ini sering terjadi melalui ostium primum pada septum. Kalau penderita mendapat defek
yang komplit, maka dapat terjadi defek pada septum ventrikel dan juga insufisiensi valvular.
Kemudian akan terjadi volume overloading pada ventrikel kiri dan kanan yang akhirnya diikuti
dengan gagal jantung pada awal usia. Sekiranya terjadi overload pulmonari, dapat terjadi
penyakit vaskuler pulmonari yang diikuti dengan gagal jantung kongestif (Kallen B.,1996).

Ventricular Septal defect (VSD)


Ventricular Septal Defect kondisi ini adalah spesifik merujuk kepada kondisi dimana
adanya lubang yang menghubungkan dua ventrikel. Kondisi ini boleh terjadi sebagai anomali
primer, dengan atau tanpa defek kardiak yang lain. Kondisi ini dapat terjadi akibat kelainan
seperti Tetralogy of Fallot (TOF), complete atrioventricular (AV) canal defects, transposition of
great arteries,dan corrected transpositions (Freeman SB, 1998)

Secundum Atrial Septal Defect (ASD)


Pada penderita secundum atrial septal defect, didapatkan lubang atau jalur yang
menyebabkan darah mengalir dari atrium kanan ke atrium kiri, atau sebaliknya, melalui septum
interatrial. Apabila tejadinya defek pada septum ini, darah arterial dan darah venous akan
bercampur, yang bias atau tidak menimbulkan sebarang gejala klinis. Percampuran darah ini juga
disebut sebagai ‘shunt’. Secara medis, right-to-left-shunt adalah lebih berbahaya (Freeman SB,
1998).

Tetralogy of Fallot (TOF)


Tetralogy of Fallot merupakan jenis penyakit jantung kongenital pada anak yang sering
ditemukan. Pada kondisi ini, terjadi campuran darah yang kaya oksigen dengan darah yang
kurang oksigen. Terdapat empat abnormalitas yang sering terkait dengan Tetralogy of fallot.
Pertama adalah hipertrofi ventrikel kanan. Terjadinya pengecilan atau tahanan pada katup
pulmonari atau otot katup, yang menyebabkan katup terbuka kearah luar dari ventrikel kanan. Ini
akan menimbulkan restriksi pada aliran darah akan memaksa ventrikel untuk bekerja lebih kuat
yang akhirnya akan menimbulkan hipertrofi pada ventrikel. Kedua adalah ventricular septal
defect. Pada kondisi ini, adanya lubang pada dinding yang memisahkan dua ventrikel, akan
menyebabkan darah yang kaya oksigen dan darah yang kurang oksigen bercampur. Akibatnya
akan berkurang jumlah oksigen yang dihantar ke seluruh tubuh dan menimbulkan gejala klinis
berupa sianosis. Ketiga adalah posisi aorta yang abnormal. Keempat adalah pulmonary valve
stenosis. Jika stenosis yang terjadi ringan, sianosis yang minimal terjadi karena darah masih lagi
bisa sampai ke paru. Tetapi jika stenosisnya sedang atau berat, darah yang sampai ke paru adalah
lebih sedikit maka sianosis akan menjadi lebih berat (Amit K, 2008).

Isolated Patent Ductus Arteriosus (PDA)


Pada kondisi Patent ductus arteriosus (PDA) ductus arteriosus si anak gagal menutup
dengan sempurna setelah si anak lahir. Akibatnya terjadi bising jantung. Simptom yang terjadi
antara lain adalah nafas yang pendek dan aritmia jantung. Apabila dibiarkan dapat terjadi gagal
jantung kongestif. Semakin besar PDA, semaki buruk status kesehatan penderita (Amik K,
2008).

2.6.4. Immunodefisiensi
Penderita sindrom Down mempunyai risiko 12 kali lebih tinggi dibandingkan orang
normal untuk mendapat infeksi karena mereka mempunyai respons sistem imun yang rendah.
Contohnya mereka sangat rentan mendapat pneumonia (William W. Hay Jr. 2002).

2.6.5. Sistem Gastrointestinal


Kelainan pada sistem gastrointestinal pada penderita sindrom Down yang dapat
ditemukan adalah atresia atau stenosis, Hirschsprung disease (<1%), TE fistula, Meckel
divertikulum, anus imperforata dan juga omphalocele. Selain itu, hasil penelitian di Eropa dan
Amerika didapatkan prevalensi mendapat Celiac disease pada pasien sindrom Down adalah
sekitar 5-15%. Penyakit ini terjadi karena defek genetik, yaitu spesifik pada human leukocyte
antigen (HLA) heterodimers DQ2 dan juga DQ8. Dilaporkan juga terdapat kaitan yang kuat
antara hipersensitivitas dan spesifikasi yang jelek (Livingstone, 2006).

2.6.6. Sistem Endokrin


Tiroiditis Hashimoto yang mengakibatkan hipothyroidism adalah gangguan pada sistem
endokrin yang paling sering ditemukan. Onsetnya sering pada usia awal sekolah, sekitar 8 hingga
10 tahun. Insidens ditemukannya Graves disease juga dilaporkan meningkat. Prevelensi
mendapat penyakit tiroid seperti hipothirodis kongenital, hipertiroid primer, autoimun tiroiditis,
dan compensated hypothyroidism atau hyperthyrotropenemia adalah sekitar 3-54% pada
penderita sindrom Down, dengan persentase yang semakin meningkat seiring dengan
bertambahnya umur (Merritt's, 2000).

2.6.7. Gangguan Psikologis


Kebanyakan anak penderita sindrom Down tidak memiliki gangguan psikiatri atau
prilaku. Diperkirakan sekitar 18-38% anak mempunyai risiko mendapat gangguan psikis.
Beberapa kelainan yang bisa didapat adalah Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD),
Oppositional Defiant Disorder, gangguan disruptif yang tidak spesifik dan gangguan spectrum
Autisme (Cincinnati Children's Hospital Medical Center, 2006).
2.6.8. Trisomi 21 mosaik
Trisomi 21 mosaik biasanya hanya menampilkan gejala – gejala sindrom Down yang
sangat minimal. Kondisi ini sering menjadi kriteria diagnosis awal bagi penyakit Alzheimer.
Fenotip individu yang mendapat trisomi 21 mosaik manggambarkan persentase sel – sel trisomik
yang terdapat dalam jaringan yang berbeda di dalam tubuh (Andriolo, 2005).
2.7. Perawatan Medis
Walaupun berbagai usaha sudah dijalankan untuk mengatasi retardasi mental pada
penderita sindrom Down, masih belum ada yang mampu mengatasi kondisi ini. Walau demikian
usaha pengobatan terhadap kelainan yang didapat oleh penderita sindrom Down akan dapat
memperbaiki kualitas hidup penderita dan dapat memperpanjang usianya.

2.7.1. Pemeriksaan Kesehatan Reguler pada Anak Penderita


Sindrom Down
Beberapa pemeriksaan secara reguler dapat dilakukan untuk memantau perkembangan
tingkat kesehatan penderita sindrom Down, baik anak ataupun dewasa. Beberapa hal yang dapat
dilakukan adalah pemeriksaan audiologi, pemeriksaan optalmologi secara berkala sebagai
pencegah keratokonus, opasitas kornea atau katarak. Untuk kelainan kulit seperti follikulitis,
xerosis, dermatitis atopi, dermatitis seboroik, infeksi jamur, vitiligo dan alopesia perlu dirawat
segera. Masalah kegemukan pada penderita sindrom Down dapat diatasai dengan pengurangan
komsumsi kalori dan meningkatkan aktivitas fisik (Breslow, 2002).
Skrining terhadap penyakit Celiac juga harus dilakukan, yang ditandai dengan kondisi
seperti konstipasi, diare, bloating, tumbuh kembang yang lambat dan penurunan berat badan.
Selain itu, kesulitan untuk menelan makanan harus juga diperhatikan, dipikirkan kemungkinan
terjadi sumbatan pada jalan nafas Perhatian khusus harus diberikan terhadap proses operasi
dikarenakan tidak stabilnya atlantoaxial dan masalah yang mungkin terjadi pada sistem respirasi.
Selain itu, jangan lupa untuk melakukan skrining untuk kemungkinan tejadinya penyakit
Hipothiroidism dan Diabetes Mellitus. Jangan dilupakan untuk memberi perhatian terhadap
kebersihan yang berkaitan dengan menstrual, seksual, kehamilan dan sindrom premenstruasi
(Tolmie, 2006).
Kelainan neurologis dapat menyebabkan retardasi mental, hipotonia, kejang dan stroke.
Pastikan juga perbaikan kemampuan berkomunikasi dan terapi bicara diteruskan, dengan
memberi perhatian pada aplikasi bahasa nonverbal dan kecerdasan otak (Merritt's, 2002).
Bagi pasien sindrom Down, baik anak atau dewasa harus sentiasa dipantau dan dievaluasi
gangguan prilaku, seperti fobia, ketidakmampuan mengatasi masalah, prilaku streotipik, autisme,
masalah makanan dan lain – lain. Tatalaksana terhadap kondisi mental yang timbul pada
penderita sindrom Down harus dilakukan (National Down Syndrome Society, 2007).
Selain dari aspek medis, harus diperhatikan juga aspek sosial dan pergaulan. Yaitu
dengan memberi perhatian terhadap fase peralihan dari masa anak ke dewasa. Penting untuk
memberi pendidikan dasar juga harus diberikan perhatian seperti dimana anak itu akan
bersekolah dan sebagainya. Hal – hal berkaitan dengan kelangsungan hidup juga perlu
diperhatikan, contohnya bagaimana mereka akan meneruskan kehidupan dalam komunitas
(National Down Syndrome Society, 2007).
Komplikasi Pada Jantung dan Sistem Vaskular
Walapupun lahir secara normal, asimptomatik dan tidak dijumpai murmur,
anak penderita sindrom Down tetap mempunyai risiko mendapat defek pada jantung. Apabila
resistensi pada vaskular pulmonari dapat dideteksi, kemungkinan terjadinya shunt dari kiri ke
kanan dapat dikurangi, sehingga dapat mencegah terjadinya gagal jantung awal. Apabila tidak
dapat dideteksi, keadaan ini akan menyebabkan hipertensi pulmonal yang persisten dengan
perubahan pada vaskular yang ireversibel (Cincinnati Children's Hospital Medical Center, 2006).
` Umumnya tatalaksana operatif untuk memperbaiki defek pada jantung dilakukan setelah
anak cukup besar dan kemampuan bertahan terhadap operasi yang dilakukan lebih baik.
Biasanya tindakan operasi dilakukan apabila anak sudah berusia 6-9 bulan. Saat ini, hasil operasi
sudah lebih baik dan anak yang dioperasi mampu hidup lebih lama (Kallen B, 1996).
Bagi penderita sindrom Down yang menderita defek septal atrioventrikuler, simptom
biasanya timbul sewaktu usia kecil, ditandai dengan shunting sistemik-pulmonari, aliran darah
pulmonari yang tinggi, disertai dengan peningkatan risiko terjadinya hipertensi arteri pulmonal.
Resistensi pulmonal yang meningkat dapat memicu terjadinya kebalikan dari shunting sistemik-
pulmonal yang diikuti dengan sianosis (Baliff JP, 2005).
Penderita sindrom Down mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk menderita hipertensi
arteri pulmonal dibandingkan dengan orang normal. Hal ini disebabkan berkurangnya jumlah
alveolus, dinding arteriol pulmonal yang lebih tipis dan fungsi endotelial yang terganggu (Galley
R, 2005).
Tindakan operatif perbaikan jantung pada usia awal dapat mencegah terjadinya kerusakan
vaskuler pulmonal yang permanen pada paru - paru. Apalagi dengan pengobatan yang terkini
(prostacyclin, endothelin, antagonis reseptor dan phosphodiesterase-5-inhibitor) didapatkan
mampu memperbaiki status klinis dan jangka hidup bagi penderita hipertensi arteri pulmonal
(Livingstone, 2006).
Meskipun demikian penyakit jantung koroner didapatkan rendah pada penderita sindrom
Down. Hal ini dibuktikan melalui pemeriksaan patologi dimana didapatkan rendahnya
kemungkinan terjadi aterosklerosis pada penderita sindrom Down (Tyler, 2004).

Anda mungkin juga menyukai