Bab VI
Bab VI
Pada 2 September 1948, sebagai Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri dan
Menteri Pertahanan Mohammad Hatta memberikan keterangan kepada Badan Pekerja KNIP
tentang kedudukan politik Negara Indonesia saat itu RI menghadapi berbagai kesulitan yang
tidak sedikit. Perundingan dengan Belanda yang dimediasi oleh Komisi Tiga Negara dari
PBB terputus. Dari dalam negeri oposisi dari aksi Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang
dipimpin oleh Muso menghebat.
Untuk menangkis serangan-serangan yang ditujukan kepada pemerintah RI, diadakan
sidang BP KNIP. Mengenai pertentangan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet dalam
perang dingin di masa itu, fraksi FDR PKI dalam Badan Pekerja mendesak supaya RI
memilih pihak Uni Soviet. Terkait desakan tesebut, Hatta menyatakan bahwa politik RI tidak
memilih pro ini atau pro itu, melainkan memilih jalan sendiri untuk mencapai kemerdekaan.
Sejak keterangan Hatta tersebut politik luar negeri RI disebut politik bebas dan aktif. Bebas
artinya menentukan jalan sendiri, tidak terpengaruh oleh pihak manapun juga; aktif artinya
menuju perdamaian dunia dan bersahabat dengan segala bangsa.
Dalam situasi dunia yang terbelah dalam dua Blok, Amerika Serikat dan Uni Soviet,
yang saling berusaha memasukkan negara-negara yang baru merdeka pasca Perang Dunia
Kedua ke dalam bloknya masing-masing, Indonesia telah mempunyai sikap yang tegas,
sebagaimana diungkapkan Hatta dalam pidatonya. “...pendirian yang harus kita ambil ialah
supaya kita jangan menjadi objek dalam pertarungan politik internasional, melainkan kita
harus menjadi subjek yang menentukan sikap kita sendiri, berhak memperjuangkan tujuan
kita sendiri, yaitu Indonesia merdeka seluruhnya...” (Bagian dari isi pidato Hatta. sumber:
Sejarah Diplomasi RI dari Masa ke Masa, Deplu, 2004).
Meskipun saat ini perang dingin telah berakhir dan dunia tidak terbelah dalam dua
blok, bukan berarti tantangan bagi Indonesia berakhir juga. Kini mulai tampak
kecenderungan kuat munculnya Republik Rakyat Cina sebagai kekuatan yang dapat
menghadapi Amerika Serikat dan memungkinkan Indonesia dihadapkan pada pilihan atau
mempengaruhi bebas aktif kita. Oleh karena itu maka esensi pidato Hatta masih relevan
untuk mengantisipasi masalah-masalah yang ditimbulkan dari pertikaian kepentingan politik
antar bangsa.
A. Landasan Ideal dan Konstitusional Politik Luar Negeri Indonesia Bebas Aktif
Politik luar negeri suatu negara lahir ketika negara itu sudah dinyatakan
sebagai suatu negara yang berdaulat. Setiap entitas negara yang berdaulat memiliki
kebijakan yang mengatur hubungannya dengan dunia internasional, baik berupa
negara maupun komunitas internasional lainnya. Kebijakan tersebut merupakan
bagian dari politik luar negeri yang dijalankan negara dan merupakan pencerminan
dari kepentingan nasionalnya. Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat juga
menjalankan politik luar negeri yang senantiasa berkembang disesuaikan dengan
kebutuhan dalam negeri dan perubahan situasi internasional.
Landasan Ideal dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia adalah
Pancasila yang merupakan dasar negara Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila dijadikan sebagai pedoman, pijakan dalam melaksanakan politik luar negeri
Indonesia. Mohammad Hatta menyebutnya sebagai salah satu faktor yang membentuk
politik luar negeri Indonesia. Kelima sila yang termuat dalam Pancasila, berisi
pedoman dasar bagi pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara yang ideal dan
mencakup seluruh sendi kehidupan manusia. Hatta lebih lanjut mengatakan, bahwa
Pancasila merupakan salah satu faktor objektif yang berpengaruh atas politik luar
negeri Indonesia. Hal ini karena Pancasila sebagai falsafah negara mengikat seluruh
bangsa Indonesia, sehingga golongan atau partai politik manapun yang berkuasa di
Indonesia tidak dapat menjalankan suatu politik negara yang menyimpang dari
Pancasila.
Sedangkan landasan konstitusional dalam pelaksanaan politik luar negeri
Indonesia adalah Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 alinea pertama
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu
maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan” dan alinea keempat”....dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial....”.
Tujuan politik luar negeri bebas aktif adalah untuk mengabdi kepada tujuan
nasional bangsa Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea
keempat yang menyatakan: “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
perdamaian abadi dan keadilan sosial....”
Kemudian agar prinsip bebas aktif dapat dioperasionalisasikan dalam politik
luar negeri Indonesia, maka setiap periode pemerintahan menetapkan landasan
operasional politik luar negeri Indonesia yang senantiasa berubah sesuai dengan
kepentingan nasional.
Sejak awal kemerdekaan hingga masa Orde Lama, landasan operasional dari
politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif sebagian besar dinyatakan melalui
maklumat dan pidato-pidato Presiden Soekarno. Beberapa saat setelah kemerdekaan,
dikeluarkanlah Maklumat Politik Pemerintah tanggal 1 November 1945 yang isinya
adalah; politik damai dan hidup berdampingan secara damai; tidak campur tangan
dalam urusan dalam negeri negara lain; politik bertetangga baik dan kerjasama
dengan semua negara di bidang ekonomi, politik dan lain-lain; serta selalu mengacu
pada piagam PBB dalam melakukan hubungan dengan negara lain.
Selanjutnya pada masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965 landasan operasional
politik luar negeri Indonesia adalah berdasarkan UUD 1945 yang terdapat dalam
pembukaan UUD 1945 alinea pertama, pasal 11 dan pasal 13 ayat 1 dan 2 UUD 1945,
Amanat Presiden yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” pada 17 Agustus
1959 atau dikenal sebagai “Manifesto Politik Republik Indonesia”.
Amanat Presiden itu sendiri kemudian dijadikan sebagai Garis Besar Haluan
Negara. Berkaitan dengan kebijakan politik luar negeri, Manifesto tersebut memuat
tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek, yaitu :
Tudjuan djangka pendek jaitu melandjutkan perdjuangan anti imperialisme ditambah
dengan mempertahankan kepribadian Indonesia di tengah-tengah tarikan-tarikan ke
kanan dan ke kiri jang sekarang sedang berlaku kepada negara kita dalam
pergolakan dunia menudju kepada suatu imbangan baru. Sementara dalam djangka
pandjang di bidang luar negeri, Revolusi Indonesia bertudjuan melenjapkan
imperialisme di mana-mana, dan mentjapai dasar-dasar bagi perdamaian dunia jang
kekal dan abadi. Menurut Manipol, diplomasi jang sesuai dengan fungsinja sebagai
art jang berhubungan dengan tjara melaksanakannja harus tidak mengenal
kompromi, harus radikal dan revolusioner.
( Panitia Penulisan Sedjarah Departemen Luar Negeri,, 1971 . Jakarta: Deplu, 1971,
hlm.259)
Tujuan jangka pendek dan jangka panjang tidak terlepas dari sejarah
Indonesia, sebagai bangsa yang pernah mengalami penjajahan. Walaupun Indonesia
sudah merdeka, perjuangan untuk melenyapkan imperialisme belum berakhir, sebab
negara-negara yang dianggap imperialis dan kolonialis (Barat), masih ada dan
berusaha menanamkan pengaruhnya. Indonesia berusaha pula menghindari dari
keberpihakan pada dua blok yang bersengketa dan masuk menjadi anggota Non Blok.
Pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik/Manipol Indonesia berdasarkan pada
amanat Presiden tanggal 17 Agustus 1960 yang terkenal dengan nama “Djalanja
Revolusi Kita”, yang menetapkan penegasan mengenai cara-cara pelaksanaan
Manipol di bidang politik luar negeri. Politik luar negeri Indonesia tidak netral, tidak
menjadi penonton dan tidak tanpa prinsip. Politik bebas tidak sekedar “cuci tangan”,
tidak sekedar defensif, tapi aktif dan berprinsip serta berpendirian.
Manipol, Djarek (Djalanja Revolusi Kita), merupakan embrio kelahiran serta
doktrin baru, yaitu dunia tidak terbagi dalam Blok Barat , Blok Timur dan Blok Asia
Afrika/Blok ketiga. Akan tetapi dunia terbagi menjadi dua Blok yang saling
bertentangan yaitu New Emerging Forces /Nefos dan Old Established Forces/Oldefos.
Nefos merupakan kekuatan-kekuatan baru yang sedang bangkit. Sementara
Oldefos merupakan kekuatan-kekuatan lama yang sudah mapan. Doktrin Nefos dan
Oldefos menjadi dasar politik luar negeri anti imperialis dan kolonialis yang lebih
militan. Soekarno mewujudkan gagasan Nefos dan Oldefos itu dengan suatu strategi
diplomasi yang agresif dan konfrontatif dengan negara-negara Barat.
Pada masa Orde Baru, landasan operasional politik luar negeri Indonesia
kemudian semakin dipertegas dengan beberapa peraturan formal, diantaranya adalah
Ketetapan MPRS no. XII/ MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966 tentang penegasan kembali
landasan kebijaksanaan politik luar negeri Indonesia. TAP MPRS ini menyatakan
bahwa sifat politik luar negeri Indonesia adalah:
1. Bebas aktif, anti-imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk
manifestasinya dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
2. Mengabdi kepada kepentingan nasional dan amanat penderitaan rakyat.
Selanjutnya landasan operasional kebijakan politik luar negeri RI dipertegas lagi
dalam Ketetapan MPR tanggal 22 Maret 1973, yang berisi:
1. Terus melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif dengan mengabdikannya
kepada kepentingan nasional, khususnya pembangunan ekonomi;
2. Mengambil langkah-langkah untuk memantapkan stabilitas wilayah Asia
Tenggara dan Pasifik Barat Daya, sehingga memungkinkan negara-negara di
wilayah ini mampu mengurus masa depannya sendiri melalui pembangunan
ketahanan nasional masing-masing, serta memperkuat wadah dan kerjasama
antara negara anggota perhimpunan bangsa-bangsa Asia Tenggara;
3. Mengembangkan kerjasama untuk maksud-maksud damai dengan semua negara
dan badan-badan internasional dan lebih meningkatkan peranannya dalam
membantu bangsa-bangsa yang sedang memperjuangkan kemerdekaannya tanpa
mengorbankan kepentingan dan kedaulatan nasional.
Ketetapan-ketetapan MPR era Orde Baru dijabarkan dalam pola umum
pembangunan jangka panjang dan pola umum pelita dua hingga enam, pada intinya
menyebutkan bahwa dalam bidang politik luar negeri yang bebas dan aktif diusahakan
agar Indonesia dapat terus meningkatkan peranannya dalam memberikan
sumbangannya untuk turut serta menciptakan perdamaian dunia yang abadi, adil dan
sejahtera. Namun demikan, menarik untuk dicatat bahwa TAP MPR RI No.
IV/MPR/1973 berbeda dengan TAP MPRS tahun 1966. Perbedaan ini seiring dengan
pergantian pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto, sehingga konsep perjuangan
Indonesia yang selalu didengung-dengungkan oleh Soekarno sebagai anti-
kolonialisme dan anti-imperialisme tidak lagi memunculkan dalam TAP MPR tahun
1973 di atas. selain itu, sosok politik luar negeri Indonesia juga lebih difokuskan pada
upaya pembangunan bidang ekonomi dan peningkatan kerjasama dengan dunia
internasional.
Selanjutnya TAP MPR RI No. IV/MPR/1978, pelaksanaan politik luar negeri
Indonesia juga telah diperluas, yaitu ditujukan untuk kepentingan pembangunan di
segala bidang. Realitas ini berbeda dengan TAP-TAP MPR sebelumnya, yang pada
umumnya hanya mencakup satu aspek pembangunan saja, yaitu bidang ekonomi.
Pada TAP MPR RI No. II/MPR/1983, sasaran politik luar negeri Indonesia dijelaskan
secara lebih spesifik dan rinci. Perubahan ini menandakan bahwa Indonesia sudah
mulai mengikuti dinamika politik internasional yang berkembang saat itu.
Pasca-Orde Baru atau dikenal dengan periode Reformasi yang dimulai dari
masa pemerintahan B.J. Habibie sampai pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
secara substansif landasan operasional politik luar negeri Indonesia dapat dilihat
melalui: ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tanggal 19 Oktober 1999 tentang garis-
garis besar haluan negara dalam rangka mewujudkan tujuan nasional periode 1999-
2004. GBHN ini menekankan pada faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya
krisis ekonomi dan krisis nasional pada 1997, yang kemudian dapat mengancam
integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Diantaranya adanya
ketidakseimbangan dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi yang demokratis
dan berkeadilan. Oleh karena itu, GBHN juga menekankan perlunya upaya reformasi
di berbagai bidang, khususnya memberantas segala bentuk penyelewengan seperti
korupsi, kolusi, dan nepotisme serta kejahatan ekonomi dan penyalahgunaan
kekuasaan.
Selanjutnya ketetapan ini juga menetapkan sasaran-sasaran yang harus dicapai dalam
pelaksanaan politik dan hubungan luar negeri, yaitu:
1. Menegaskan kembali pelaksanaan politik bebas dan aktif menuju pencapaian
tujuan nasional;
2. Ikut serta di dalam perjanjian internasional dan peningkatan kerja sama untuk
kepentingan rakyat Indonesia;
3. Memperbaiki performa, penampilan diplomat Indonesia dalam rangka
suksesnya pelaksanaan diplomasi pro-aktif di semua bidang;
4. Meningkatkan kualitas diplomasi dalam rangka mencapai pemulihan
ekonomi yang cepat melalui intensifikasi kerja sama regional dan
internasional
5. Mengintensifkan kesiapan Indonesia memasuki era perdagangan bebas;
6. Memperluas perjanjian ekstradisi dengan negara-negara tetangga;
7. Mengintensifkan kerja sama dengan negara-negara tetangga dalam kerangka
ASEAN dengan tujuan memelihara stabilitas dan kemakmuran di wilayah
Asia Tenggara.
Ketetapan MPR diatas, secara jelas menegaskan arah politik luar negeri
Indonesia yang bebas dan aktif, berorientasi untuk kepentingan nasional,
menitikberatkan pada solidaritas antarnegara berkembang, mendukung perjuangan
kemerdekaan bangsa, menolak segala bentuk penjajahan serta meningkatkan
kemandirian bengsa dan kerjasama internasional bagi kesejahteraan rakyat.