Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN DIAGNOSA MEDIS

NEFROLITIASIS (BATU GINJAL) DI RUANG DAHLIA


RSUD DR. DORIS SYLVANUS PALANGKA RAYA

Oleh :

Nama : Nola Cristina Natalia.P

Nim : 2017.C.09a.0902

YAYASAN EKA HARAP PALANGKARAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, ser ta taufik dan hidayah-Nya untuk dapat menyelesaikan
Laporan dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Saya berharap
laporan pendahuluan penyakit ini dapat berguna dan menambah wawasan serta
pengetahuan.
Menyadari sepenuhnya bahwa di dalam laporan pendahuluan penyakit ini
terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna oleh sebab itu berharap adanya
kritik, saran dan usulan demi perbaikan laporan pendahuluan. Semoga laporan
sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sebelumnya saya
mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan saya
memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan

Palangka Raya, 24 November 2019


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiforis(Muttaqin,dkk.


2011). Apendisitis akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada
kuadran bawah kanan rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah
abdomen darurat (Smeltzer, 2001).

Di Amerika Serikat populasinya 11 kasus apendisitis per 10.000 populasi


tiap tahun.Berdasarkan data WHO tahun 2005 didapatkan bahwa jumlah penderita
apendiksitis berjumlah sekitar 50 %. Adapun jumlah penderita penyakit
apendiksitis pada tahun 2009 di Indonesia berjumlah sekitar 27% dari jumlah
penduduk Indonesia, di Kalimantan Timur berjumlah 26% dari jumlah penduduk
di Kalimantan Timur, di Samarinda berjumlah 25% dari jumlah penduduk
Samarinda. Dari data FKUI/RSCM tahun 2010 terdapat 59 kasus appendisitis
dengan peritonitis umum, 20 kasus dengan appendisitis akut dengan abses
peritoneal,122 kasus appendisitis akut tidak spesifik, 34 kasus appendisitis
dengan appendisitis kronis yang tidak spesifik. Pada periode Juli 2012 – Januari
2013 kasus appendisitis di RSUD Dr. Doris Sylvanus khususnya di Ruang E
(Bedah Wanita) berjumlah 92 kasus appendisitis.

Penyakit radang usus buntu ini umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri,
namun faktor pencetusnya ada beberapa kemungkinan yang sampai sekarang
belum dapat diketahui secara pasti.Di antaranya faktor penyumbatan (obstruksi)
pada lapisan saluran (lumen) appendiks oleh timbunan tinja/feces yang keras
(fekalit), hyperplasia (pembesaran) jaringan limfoid, penyakit cacing, parasit,
benda asing dalam tubuh.Diantara beberapa faktor diatas, maka yang paling sering
ditemukan dan kuat dugaannya sebagai penyebab adalah faktor penyumbatan oleh
tinja/feces dan hyperplasia jaringan limfoid.Penyumbatan atau pembesaran inilah

1
yang menjadi media bagi bakteri untuk berkembangbiak.Perlu diketahui bahwa
dalam tinja/feces manusia sangat mungkin sekali telah tercemari oleh
bakteri/kuman Escherichia Coli, inilah yang sering kali mengakibatkan infeksi
yang berakibat pada peradangan usus buntu.
Appendisitis Kronis perlu mendapatkan perhatian khusus, tindakan
appendiktomi dilakukan untuk menurunkan resiko perforasi. Untuk pencegahan
daripada appendisitis adalah memberikan penyuluhan kesehatan kepada
masyarakat untuk mengkosumsi makanan yang tinggi akan serat, agar
terhindarnya dari konstipasi yang dapat menyebabkan appendisitis.

1.2 Rumusan Masalah


1) Bagaimana pengkajian pada pasien dengan masalah Appendisitis Kronis ?
2) Apa saja Diagnosa Keperawatan pada pasien dengan masalah Appendisitis
Kronis ?
3) Bagaimana intervensi keperawatan pada pasien dengan masalah
Appendisitis Kronis ?
4) Bagaimana Implementasi keperawatan pada pasien dengan masalah
Appendisitis Kronis ?
5) Bagaimana Evaluasi Keperawatan pada pasien dengan masalah Appendisitis
Kronis ?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Tujuan Umum
Diperoleh kemampuan dalam menerapkan dan menyajikan laporan studi
kasus serta pengalaman nyata dalam pelaksanaan Asuhan Keperawatan
dengan menggunakan proses keperawatan pada kasus Appendisitis
KronisTujuan Khusus
1) Melakukan pengkajian pada pasien dengan masalah Appendisitis Kronis
2) Menegakkan diagnosa keperawatan pada pasien dengan masalah
Appendisitis Kronis
3) Menyusun intervensi Keperawatan pada pasien dengan masalah
Appendisitis Kronis
4) Melakukan implementasi Keperawatan pada pasien dengan masalah
Appendisitis Kronis
5) Melakukan Evaluasi Keperawatan pada pasien dengan masalah
Appendisitis Kronis
1.4 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan dari Laporan Studi Kasus ini adalah :
1.4.1 Teoritis
Laporan Studi Kasus ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu
acuan dalam peningkatan kualitas pelayanan Asuhan Keperawatan dengan
masalah Appendisitis Kronis
1.4.2 Praktis
1.4.2.1 Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Hasil studi ini dapat membuka wawasan dalam pengembangan ilmu
pengetahuan khususnya ilmu keperawatan dan kesehatan pada umumnya,
dalam hal ini berkaitan dengan penyakit Appendisitis Kronis
1.4.2.2 Bagi Mahasiswa
Memberikan pengetahuan tentang ilmu keperawatan khususnya Asuhan
Keperawatan pada pasien dengan Appendisitis Kronis
1.4.2.3 Bagi Institusi Rumah Sakit
Memberikan gambaran pelaksanaan Asuhan Keperawatan pada pasien
denganAppendisitis Kronis Meningkatkan mutu pelayanan perawatan di
Rumah Sakit kepada pasien dengan Appendisitis Kronismelalui Asuhan
Keperawatan yang dilaksanakan secara komphensif.
1.4.2.4 Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai sumber bacaan tentang Appendisitis Kronisdan Asuhan
Keperawatannya.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KONSEP PENYAKIT


2.1.1. Pengertian

Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermivormis, dan merupakan

penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua

umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki

berusia antara 10 sampai 30 tahun (Mansjoer, Arief,dkk, 2007).

Apendisitis merupakan inflamasi apendiks vermiformis, karena struktur

yang terpuntir, appendiks merupakan tempat ideal bagi bakteri untuk berkumpul

dan multiplikasi (Chang, 2010)

Apendisitis merupakan inflamasi di apendiks yang dapt terjadi tanpa

penyebab yang jelas, setelah obstruksi apendiks oleh feses atau akibat terpuntirnya

apendiks atau pembuluh darahya (Corwin, 2009).

Appendisitis adalah peradangan dari apendik vermiformis, dan merupakan


penyebab abdomen akut yang paling sering.Appendisitis akut adalah keadaan
yang disebabkan oleh peradangan yang mendadak pada suatu appendiks.
(Dermawan, dkk. 2010)

4
2.1.2. Anatomi Fisiologi
2.1.2.1.Anatomi
Appendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjang kira-

kira 10 cm dan brpangkal pada sekum. Appendiks pertama kali tampak saat

perkembangan embriologi minggu ke delapan yaitu bagian ujung dari protuberans

sekum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari sekum yang berlebih

akan menjadi appendiks yang akan berpindah dari medial menuju katup

ileocaecal.

Pada bayi appendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkal dan menyempit

kearah ujung. Keadaan ini menjadi sebab rendahnya insidens Apendisitis pada

usia tersebut. Appendiks memiliki lumen sempit di bagian proksimal dan melebar

pada bagian distal. Pada appendiks terdapat tiga tanea coli yang menyatu

dipersambungan sekum dan berguna untuk mendeteksi posisi appendiks. Gejala

klinik Apendisitis ditentukan oleh letak appendiks. Posisi appendiks adalah

retrocaecal (di belakang sekum) 65,28%, pelvic (panggul) 31,01%, subcaecal (di

bawah sekum) 2,26%, preileal (di depan usus halus) 1%, dan postileal (di

belakang usus halus) 0,4%, seperti terlihat pada gambar dibawah ini.

Appendiks pada saluran pencernaan


Anatomi appendiks Posisi Appendiks

2.1.2.2.Fisiologi

Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal

dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran

lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis Apendisitis.

Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh Gut Associated Lymphoid Tissue

(GALT) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk appendiks ialah

Imunoglobulin A (Ig-A). Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung

terhadap infeksi yaitu mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, serta

mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Namun,

pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah

jaringan sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan

seluruh tubuh.
2.1.3. Etiologi
Penyebab dari appendicitis adalah adanya obstruksi pada lumen
appendikeal oleh apendikolit, hiperplasia folikel limfoid submukosa, fekalit
(material garam kalsium, debris fekal), atau parasit (Katz, 2009).Selain penyebab
di atas apendisitis ini pada umumnya karena infeksi bakteri atau kuman. Infeksi
kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan streptococcus. Penyebab
lain yang diduga menimbulkan apendisitis adalah ulserasi mukosa apendiks oleh
parasit E. Histolytica.
2.1.4. Klasifikasi

Appendisitis dibagi menjadi beberapa klasifikasi yaitu :


2.1.4.1 Appendicitis akut (mendadak)
Pada stadium ini gejala yang ditimbulkan panas tinggi, mual,muntah, nafsu
makan menurun, nyeri sekitar pusar yang kemudian terlokalisir di perut kanan
bawah, nyeri akan bertambah bila buat berjalan. Namun tidak semua orang akan
menunjukkan gejala seperti ini, bisa juga hanya meriang atau mual dan muntah
saja.
2.1.4.2.Appendicitis kronik
Pada stadium ini gejala yang timbul sedikit mirip dengan sakit maag
dimana terjadi nyeri samar (tumpul) di daerah sekitar pusar dan perut terasa
kembung. Kemudian nyeri itu akan berpindah ke perut kanan bawah dengan tanda
tanda khas seperti pada appendicitis akut. Terkadang disertai demam yang hilang
timbul dan seringkali disertai dengan rasa mual bahkan kadang muntah.(Suzanne
C,2001)
2.1.5. Patofisiologi
Appendiks terinflamasi dan mengalami edema sebagai akibat tersumbat,
kemungkinan oleh fekalit (massa keras dari feses), tumor atau benda asing. Proses
inflamasi meningkatkan tekanan intraluminal yang akan menghambat aliran limfe
yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri dan ulserasi mukosa menimbulkan
nyeri abdomen atas atau menyebar hebat secara progresif, dalam beberapa jam,
terlokalisasi dikuadran kanan bawah dari abdomen. Akhirnya appendiks yang
terinflamasi berisi pus. (Smeltzer, Suzanne, C., 2001).Bila sekresi mukus
berlanjut, tekanan akan terus meningkat menyebabkan peradangan yang timbul
meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri kanan
bawah disebut apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu
akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Bila dinding
yang telah rapuh pecah akan terjadi apendisitis perforasi. Bila semua proses di
atas berjalan lambat, omentum dan usus berdekatan akan bergerak ke arah
apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrat apendikularis.
Peradangan appendiks dapat menjadi abses atau menghilang.
Pada anak-anak, omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding
apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang
menjadi kurang memudahkan terjadinya perforasi. Pada orang tua perforasi
mudah terjadi karena ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2000).

Pathway
2.1.6. Manifestasi Klinis
1) Nyeri kuadran bawah
2) Demam ringan
3) Mual-muntah
4) Hilangnya nafsu makan
5) Nyeri tekan lokal pada titik mc Burney
6) Nyeri tekan lepas (hasil atau intesifikasi dari nyeri bila tekanan dilepaskan)
(Smeltzer, Suzanne, C., 2001)
2.1.7. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi :
1) Perforasi
Keterlambatan penanganan merupakan alasan penting terjadinya perforasi.
Perforasi appendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai
dengan demam tinggi, nyeri makin hebat meliputi seluruh perut dan perut menjadi
tegang dan kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler di seluruh perut, peristaltik
usus menurun sampai menghilang karena ileus paralitik (Syamsuhidajat, 2004).
2) Peritonitis
Peradangan peritoneum merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi
dalam bentuk akut maupun kronis. Keadaan ini biasanya terjadi akibat penyebaran
infeksi dari apendisitis. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada
permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis generalisata. Dengan
begitu, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus
kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam
lumen usus menyebabkan dehidrasi, gangguan sirkulasi, oligouria, dan mungkin
syok. Gejala demam, lekositosis, nyeri abdomen, muntah, Abdomen tegang, kaku,
nyeri tekan, dan bunyi usus menghilang.
2.1.8. Pemeriksaan Diagnostik
1) Sel Darah Putih :Lekositosis diatas 12000/mm3, netrofil meningkat
sampai 75%
2) Urinalis :Normal, tetapi eritrosit/leukosit mungkin ada
3) Foto Abdomen :Adanya pergeseran material pada appendiks (fekalis)
ileus terlokalisir
4) Tanda Rovsing(+) :Dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri yang
secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa
dikuadran kanan bawah(Doenges, 1993; Brunner &
Suddart, 1997)
2.1.9. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium : Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein
reaktif (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit
antara 10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan
pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.
2) Radiologi : Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan.
Pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada
tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan
CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan apendikolit serta
perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran
sekum.
2.1.10. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita Apendisitis meliputi

penanggulangan konservatif dan operasi.

1) Penanggulangan konservatif

Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak

mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian

antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita Apendisitis perforasi,


sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian

antibiotik sistemik

2) Operasi

Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan Apendisitis maka tindakan

yang dilakukan adalah operasi membuang appendiks (appendektomi). Penundaan

appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan

perforasi. Pada abses appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah).

3) Pencegahan Tersier

Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah terjadinya komplikasi

yang lebih berat seperti komplikasi intra-abdomen. Komplikasi utama adalah

infeksi luka dan abses intraperitonium. Bila diperkirakan terjadi perforasi maka

abdomen dicuci dengan garam fisiologis atau antibiotik. Pasca appendektomi

diperlukan perawatan intensif dan pemberian antibiotik dengan lama terapi

disesuaikan dengan besar infeksi intra-abdomen.

2.2. MANAJEMEN KEPERAWATAN


2.2.1 PENGKAJIAN
1) Anamnese
(1) Identitas
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, tanggal atau jam masuk
rumah sakit, nomor register, diagnosa, nama orang tua, alamat, umur pendidikan,
pekerjaan, pekerjaan orang tua, agama dan suku bangsa.
(2) Riwayat penyakit sekarang
Klien dengan post appendiktomy mempunyai keluhan utama nyeri yang
disebabkan insisi abdomen.
(3) Riwayat penyakit dahulu
Meliputi penyakit apa yang pernah diderita oleh klien seperti hipertensi,
operasi abdomen yang lalu, apakah klien pernah masuk rumah sakit, obat-abatan
yang pernah digunakan apakah mempunyai riwayat alergi dan imunisasi apa yang
pernah diderita.
(4) Riwayat penyakit keluarga
Keluarga yang pernah menderita penyakit diabetes melitus, hipertensi,
gangguan jiwa atau penyakit kronis lainnya upaya yang dilakukan dan bagaimana
genogramnya.

2) Pola Fungsi Kesehatan


(1) Pola Persepsi dan Tatalaksana Hidup Sehat
Adakah kebiasaan merokok, penggunaan obat-obatan, alkohol dan
kebiasaan olahraga (lama frekwensinya), bagaimana status ekonomi keluarga
kebiasaan merokok dalam mempengaruhi lamanya penyembuhan luka.
(2) Pola Tidur dan Istirahat
Insisi pembedahan dapat menimbulkan nyeri yang sangat sehingga dapat
mengganggu kenyamanan pola tidur klien.
(3) Pola Aktifitas
Aktifitas dipengaruhioleh keadaan dan malas bergerak karena rasa nyeri
luka operasi, aktifitas biasanya terbatas karena harus bedrest berapa waktu
lamanya setelah pembedahan.

(4) Pola hubungan dan peran


Dengan keterbatasan gerak kemungkinan penderita tidak bisa melakukan
peran baik dalam keluarganya dan dalam masyarakat, penderita mengalami emosi
yang tidak stabil.
(5) Pola sensorik dan kognitif
Ada tidaknya gangguan sensorik nyeri, penglihatan, pearaan serta
pendengaran, kemampuan berfikir, mengingat masa lalu, orientasi terhadap orang
tua, waktu dan tempat.
(6) Pola penanggulangan stress
Kebiasaan klien yang digunakan dalam mengatasi masalah.
(7) Pola tata nilai dan kepercayaan
Bagaimana keyakinan klien pada agamanya dan bagaimana cara klien
mendekatkan diri dengan tuhan selama sakit.

3) Pemeriksaan Fisik
(1) Status kesehatan umum
Kesadaran biasanya kompos mentis, ekspresi wajah menahan sakit tanpa
sakit ada tidaknya kelemahan.
(2) Integumen
Ada tidaknya oedem, sianosis, pucat, pemerahan luka pembedahan pada
abdomen sebelah kanan bawah.
(3) Kepala dan Leher
Ekspresi wajah kesakitan pada konjungtiva lihat apakah ada warna pucat.
(4) Thoraks dan Paru
Apakah bentuknya simetris, ada tidaknya sumbatan jalan nafas, gerakan
cuping hidung maupun alat Bantu nafas frekwensi pernafasan biasanya normal
(16 – 20 kali permenit). Apakah ada ronchi, whezing, stridor.
(5) Abdomen
Pada post operasi biasanya sering terjadi ada tidaknya pristaltik pada usus
ditandai dengan distensi abdomen, tidak flatus dan mual, apakah bisa kencing
spontan atau retensi urine, distensi supra pubis, periksa apakah produksi urine
cukup, keadaan urine apakah jernih, keruh atau hematuri jika dipasang kateter
periksa apakah mengalir lancar, tidak ada pembuntuan serta terfiksasi dengan
baik.
(6) Ekstremitas
Apakah ada keterbatasan dalam aktivitas karena adanya nyeri yang hebat,
juga apakah ada kelumpuhan atau kekakuan.( Dermawan, dkk. 2010)
2.2.2 Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri b.d kerusakan jaringan lunak pascabedah
2) Pemenuhan informasi b.d adanya evaluasi diagnostik dan rencana perawatan
dirumah
3) Resiko tinggi infeksi b.d adanya port de entrée luka pascabedah.
4) Nutrisi kurang dari kebutuhan b.d kurangnya asupan makanan yang adekuat.
( Muttaqin, dkk , 2011)

2.2.3 Intervensi
Rencana tujuan dan intervensi disesuaikan dengan diagnosis dan prioritas
masalah keperawatan.
Diagnosa 1 : Nyeri b.d kerusakan jaringan lunak pascabedah
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam nyeri
berkurang/hilang atau teradaptasi.
Kriteria Hasil :
1) Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau teradaptasi
2) Skala nyeri 0-1 ( 0 – 4 )
3) Dapat mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri
4) Pasien tidak gelisah
5) TTV dalam batas normal.
Intervensi :
1) Kaji respon nyeri dengan pendekatan PQRST
Rasional : pendekatan komprehensif untuk menentukan rencana
intervensi.
2) Kaji TTV
Rasional :mengetahui pekembangan kesehatan klien.
3) Atur posisi semifowler
Rasional : posisi ini mengurangi tegangan pada insisi dan organ
abdomen yang membantu mengurangi nyeri.
4) Ajarkan teknik distraksi pada saat nyeri
Rasional : Distraksi (pengalihan perhatian) dapat menurunkan stimulus
internal
5) Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian analgetik
Rasional : analgetik memblok lintasan nyeri sehingga nyeri akan
berkurang.
Diagnosa 2 : Pemenuhan informasi b.d adanya evaluasi diagnostik dan rencana
perawatan dirumah
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24jam diharapkan
informasi kesehatan terpenuhi
Kriteria hasil :
1) Pasien mampu menjelaskan kembali pendidikan kesehatan yang diberikan
2) Pasien termotivasi untuk melaksanakan penjelasan yang telah diberikan.
Intervensi :
1) Kaji tingkat pengetahuan pasien tentang pembedahan appendiktomi dan
rencana perawatan dirumah.
Rasional : Tingkat pengetahuan dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi
pasien. Perawat menggunakan pendekatan yang sesuai dengan kondisi
individu pasien.
2) Beritahu informasi tentang manajemen nyeri keperawatan
Rasional : Manajemen nyeri dilakukan untuk peningkatan kontrol nyeri
pada pasien.
3) Beri penyuluhan pasien pasca appendiktomi tanpa komplikasi
Rasional : Apabila appendiktomi tidak mengalami komplikasi, pasien
dapat dipulangkan pada hari itu juga bila suhu dalam batas normal dan
area operatif terasa nyaman. Perawatan insisi dan pedoman aktifitas
didiskusikan.
4) Ajarkan keluarga dan pasien untuk melakukan pergantian balutan
pascabedah.
Rasional : Untuk membantu perawatan dan memantau terhadap adanya
komplikasi dan penyembuhan luka.

Diagnosa 3 : Resiko tinggi infeksi b.d adanya port de entrée luka pascabedah.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 12 x 24 jam tidak terjadi
infeksi, terjadi perbaikan pada integritas jaringan lunak
Kriteria Hasil : Jahitan dilepas pada hari ke- 12 tanpa adanya tanda – tanda infeksi
dan peradangan pada area luka pembedahan, leukosit dalam batas normal, TTV
dalam batas normal.
Intervensi :
1) Kaji adanya tanda – tanda infeksi
Rasional : Mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari tujuan yang
di harapkan
2) Buat kondisi balutan dalam keadaan bersih dan kering
Rasional : Kondisi bersih dan kering akan menghindari kontaminasi
komensial dan akan menyebabkan respons inflamasi lokal dan akan
memperlama penyembuhan luka.
3) Kaji TTV
Rasional : Untuk mengetahui tingkat perkembangan kesehatan pasien.
4) Lakukan perawatan Luka
Rasional : Meningkatkan personal hygiene dan menghindari luka
pascabedah dari infeksi
5) Kolaborasi penggunaan antibiotik
Rasional : Antibiotik injeksi diberikan selama satu hari pascabedahyang
kemudian dilanjutkan antibiotik oral sampai jahitan dilepas.

Diagnosa 4 : Nutrisi kurang dari kebutuhan b.d kurangnya asupan makanan yang
adekuat
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam di harapkan
nutrisi pasien terpenuhi.
Kriteria Hasil :
1) Nafsu makan meningkat
2) BB meningkat
3) Intake pasien tercukupi
Intervensi :
1) Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori.
Rasional: Mengetahui penyebab pemasukan yang kurang sehingga dapat
menentukan intervensi yang sesuai dan efektif.
2) Monitor adanya penurunan berat badan.
Rasional: Kebersihan nutrisi dapat diketahui melalui peningkatan berat
badan 500 gr/minggu.
3) Libatkan keluarga dalam kebutuhan nutrisi klien.
Rasional: Meningkatkan peran serta keluarga dalam pemenuhan nutrisi
untuk mempercepat proses penyembuhan.
4) Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C.
Rasional: Protein dan vitamin C dapat memenuhi kebutuhan nutrisi.
5) Anjurkan makan sedikit tapi sering
Rasional : Membantu dalam mengobservasi pola makan paisen.
6) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi
yang dibutuhkan pasien.
Rasional: Membantu dalam proses penyembuhan.
( Muttaqin, dkk , 2011)

2.2.4 Implementasi
Pelaksanaan adalah pemberian asuhan keperawatan secara nyata berupa
serangkaian kegiatan sistematis berdasarkan perencanaan untuk mencapai hasil
yang optimal. Pada tahap ini perawat menggunakan segala kemampuan yang
dimiliki dalam melaksanakan tindakan keperawatan terhadap klien baik secara
umum maupun secara khusus pada klien post apendektomi. Pada pelaksanaan ini
perawat melakukan fungsinya secara independen, interdependen dan dependen.
Pada fungsi independen adalah mencakup dari semua kegiatan yang
diprakarsai oleh perawat itu sendiri sesuai dengan kemampuan dan keterampilan
yang dimilikinya Pada fungsi interdependen adalah dimana fungsi yang dilakukan
dengan bekerja sama dengan profesi/disiplin ilmu yang lain dalam keperawatan
maupun pelayanan kesehatan, sedangkan fungsi dependen adalah fungsi yang
dilaksanakan oleh perawat berdasarkan atas pesan orang lain.
2.2.5 Evaluasi
Hasil yang diharapkan setelah mendapat intervensi keperawatan pada
pasien dengan masalah Appendisitis adalah sebagai berikut :

1) Nyeri epigastrium berkurang atau teradaptasi


2) Informasi kesehatan terpenuhi
3) Tidak terjadi infeksi luka pascabedah
4) Asupan nutrisi harian terpenuhi ( Muttaqin, dkk , 2011)

2.3.KONSEP DASAR KEBUTUHAN DASAR MANUSIA

2.3.1. Definisi Kebutuhan Rasa Aman

Keamanan adalah kondisi bebas dari cedera fisik dan psikologis (Potter &

Perry, 2006). Keselamatan adalah suatu keadaan seseorang atau lebih yang

terhindar dari ancaman bahaya/kecelakaan. Pemenuhan kebutuhan keamanan dan

keselamatan dilakukan untuk menjaga tubuh bebas dari kecelakaan baik pada

pasien, perawat, atau petugas lainnya yang bekerja untuk pemenuhan kebutuhan

tersebut.

2.3.1.1.Faktor –faktor yang mempengaruhi kebutuhan keamanan dan

keselamatan.

1. Usia

2. Tingkat kesadaran

3. Emosi

4. Status mobilisasi

5. Gangguan persepsi sensori

6. Informasi/komunikasi

7. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional

8. Keadaan imunitas.

9. Status nutrisi
10. Tingkat pengetahuan

2.3.2. Pengkajian Keperawatan

Kaji faktor -faktor yang berhubungan dengan sistem sensori komunikasi

(halusinasi, gangguan proses pikir, kelesuan, ilusi, kurang konsentrasi, kurang

koordinasi dan keseimbangan). Kaji juga faktor risiko yang berhubungan dengan

keadaan klien (kesadaran menurun, kelemahan fisik, imobilisasi, penggunaan alat

bantu).

2.3.3. Diagnosa keperawatan

a. Risiko injuri

b. Suatu kondisi pasien berisiko mengalami injuri akibat hubungan dengan

kondisi lingkungan, adaptasi, dan sumber-sumber yang mengancam.

Faktor yang berhubungan seperti kurang informasi tentang keamanan,

kelemahan, gangguan kesadaran, kurangnya koordinasi otot, epilepsi,

vertigo.

c. Perubahan proteksi

d. Suatu kondisi pasien mengalami penurunan kemampuan untuk melindungi

dirinya dari penyakit, baik dari luar maupun dari dalam. Faktor yang

berhubungan seperti: defisi imunologi, malnutrisi, efek pengobatan

e. Risti infeksi

f. Kondisi mempunyai risiko yang tinggi terhadap masuknya kuman patogen

dalam tubuh. Faktor yang berhubungan seperti: tidak adekuatnya

pertahanan primer, kerusakan jaringan, prosedur invasif, malnutrisi,

penyakit kronis.

2.3.4. Perencanaan keperawatan


a) observasi keadaan pasien secara rutin.

b) observasi vital sign

c) dampingi pasien dalam mobilisasi

d) berikan kie tentang faktor keamanan yang mengancam

e) delegatif/kolaborasi dengan tim kesehatan lainnya.

2.3.5. Kebutuhan Rasa Nyaman

2.3.5.1. Definisi rasa nyaman

Secara umum pemenuhan kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan rasa

nyaman bebas dari rasa nyeri, dan hipo/hipertermia. Hal ini disebabkan karena

kondisi nyeri dan hipo/hipertermia merupakan kondisi yang mempengaruhi

perasaan tidak nyaman pasien yang ditunjukan dengan timbulnya gejala dan tanda

pada pasien.

a) Keamanan adalah kondisi bebas dari cedera fisik dan psikologis atau bisa juga

keadaan aman dan tentram yang merupakan salah satu kebutuhan dasar

manusia yang harus dipenuhi. Lingkungan pelayanan kesehatan dan komunitas

yang aman merupakan hal yang penting untuk kelangsungan hidup klien.

(Potter&Perry edisi 4 volume 2, 2006)

b) Keselamatan adalah suatu keadaan seseorang atau lebih yang terhindar dari

ancaman bahaya/kecelakaan. Pemenuhan kebutuhan keamanan dan

keselamatan dilakukan untuk menjaga tubuh bebas dari kecelakaan baik pada

pasien, perawat, atau petugas lainnya yang bekerja untuk pemenuhan

kebutuhan tersebut. (Potter & Perry, 2006).

2.3.5.2. Etiologi
Penyebab nyeri dapat diklasifikasikan kedalam 2 golongan yaitu penyebab

yang berhubungan dengan fisik dan berhubungan dengan psikis.

1) Trauma pada jaringan tubuh, misalnya kerusakkan jaringan akibat bedah

atau cidera.

2) Iskemik jaringan.

3) Spasmus otot merupakan suatu keadaan kontraksi yang tak disadari atau tak

terkendali, dan sering menimbulkan rasa sakit. Spasme biasanya terjadi pada

otot yang kelelahan dan bekerja berlebihan, khususnya ketika otot teregang

berlebihan atau diam menahan beban pada posisi yang tetap dalam waktu

yang lama.

4) Inflamasi pembengkakan jaringan mengakibatkan peningkatan tekanan

lokal dan juga karena ada pengeluaran zat histamin dan zat kimia bioaktif

lainnya.

5) Post operasi setelah dilakukan pembedahan.

6) Neoplasma menyebabkan nyeri karena terjadinya tekanan atau keerusakan

jaringan yang mengandung reseptor nyeri dan juga terikan, jepitan atau

metaphase.

2.3.5.3.Manifestasi klinis

a) Gangguam tidur

b) Posisi menghindari nyeri

c) Gerakan menghindari nyeri

d) Raut wajah kesakitan (menangis,merintih)

e) Perubahan nafsu makan

f) Tekanan darah meningkat


g) Nadi meningkat

h) Pernafasan meningkat

i) Depresi

2.3.5.4.Fisiologi Nyeri

Antara stimulus cedera jaringan dan pengalaman subyektif nyeri terhadap

empat proses tersendiri: Transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi. Transduksi

nyeri adalah proses rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan

aktivitas listrik di reseptor nyeri. Trasmisi nyeri melibatkan proses penyaluran

impuls nyeri dari tempat terinduksi melewati saraf perifer sampai termal di

medula spinalis dan jaringan neoron-neuron pemancar yang naik dan medula

spinalis ke otak. Medulasi nyeri melibatkan aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf

desendens dari otak yang dapat mempengaruhi transmisi nyeri yang setinggi

medula spinalis. Medulasi juga melibatkan faktor-faktor kimiawi yang

menimbulkan atau meningkatkan aktivitas direseptor nyeri aferen primer.

Akhirnya, persepsi nyeri adalah pengalaman subyektif nyeri yang bagaimanapun

juga dihasilkan oleh aktivitas transmisi nyeri oleh saraf. Mual dapat dijelaskan

sebagai perasaan yang sangat tidak enak dibelakang tenggorokan dan epigastrium,

sering menyebabkan muntah. Terdapat berbagai perubahan aktivitas saluran cerna

yangberkaitan dengan mual seperti meningkatnya salivasi, menurunnya tonus

lambung dan peristaltik. Peningkatan tonus duodenum dan jejenum menyebabkan

terjadinya refluks isi dodenum kedalam lambung. Namun demikian, tidak terdapat

bukti yang mengesankan bahwa inimenyebabkan mual. Tanda dan gejala mual

sering kali adalah pucat, meningkatnya salivasi, hendak muntah, hendak pingsan,

berkeringat, da takikardia.
2.3.5.5.Patofisiologi

Pada saat sel saraf rusak akibat trauma jaringan, maka terbentuklah zat-zat

kimia seperti Bradikinin, serotonin dan enzim proteotik. Kemudian zat-zat

tersebut merangsang dan merusak ujung saraf reseptor nyeri dan rangsangan

tersebut akan dihantarkan ke hypothalamus melalui saraf asenden. Sedangkan di

korteks nyeri akan dipersiapkan sehingga individu mengalami nyeri. Selain

dihantarkan ke hypothalamus nyeri dapat menurunkan stimulasi terhadap reseptor

mekanin sensitif pada termosensitif sehingga dapat juga menyebabkan atau

mengalami nyeri (Wahit Chayatin, N.Mubarak, 2007).

2.3.5.6.Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik penting dilakukan agar menegtahui bagian mana dari

tubuh pasin yang mengalami nyeri agar segera mendapatkan penanganan.

2.3.5.7.Pemeriksaan diagnostik/penunjang

Pemeriksaan diagnostik sangat penting dilakukan agar dapat mengetahui

apakah ada perubahan bentuk atau fungsi dari bagian tubuh pasien yang dapat

menyebabkan timbulnya rasa nyeri seperti :

1. Melakukan pemeriksaan laboratorium dan radiologi

2. Menggunakan skala nyeri

1) Ringan = Skala nyeri 1-3 : Secara objektif pasien masih dapat

berkomunikasi dengan baik

2) Sedang = Skala nyeri 4-6 : Secara objektif pasien dapat menunjukkan

lokasi nyeri, masih merespon dan dapat mengikuti instruksi yang diberikan

3) Berat = Skala nyeri 7-9 : Secara objektif pasien masih bisa merespon,

namun terkadang klien tidak mengikuti instruksi yang diberikan.


4) Nyeri sangat berat = Skala 10 : Secara objektif pasien tidak mampu

berkomunikasi dan klien merespon dengan cara memukul.

2.3.5.8.Penatalaksanaan

1. Relaksasi

Relaksasi merupakan kebebasan mental dan fisik dari ketegangan dan stress.

Teknik relaksasi memberikan individu kontrol diri ketika terjadi rasa tidak

nyaman atau nyeri stress fisik dan emosi pada nyeri. Dalam imajinasi terbimbing

klien menciptakan kesan dalam pikiran, berkonsentrasi pada kesan tersebut

sehingga secara bertahap klien dapat mengurangi rasa nyerinya.

2. Teknik imajinasi

1) Biofeedback merupakan terapi perilaku yang dilakukan dengan

memberikan individu informasi tentang respon fisiologis misalnya tekanan

darah.

2) Hipnosis diri dapat membantu mengubah persepsi nyeri melalui pengaruh

sugesti positif dan dapat mengurangi ditraksi

3) Mengurangi persepsi nyeri adalah suatu cara sederhana untuk

meningkatkan rasa nyaman dengan membuang atau mencegah stimulus

nyeri.

3. Teknik Distraksi

Teknik distraksi adalah pengalihan dari focus perhatian terhadap nyeri ke

stimulus yang lain. Ada beberapa jenis distraksi yaitu ditraksi visual (melihat

pertandingan, menonton televise,dll), distraksi pendengaran (mendengarkan


music, suara gemericik air), distraksi pernafasan ( bernafas ritmik), distraksi

intelektual (bermain kartu).

4. Terapi dengan pemberian analgesic

Pemberian obat analgesic sangat membantu dalam manajemen nyeri seperti

pemberian obat analgesik non opioid (aspirin, ibuprofen) yang bekerja pada saraf

perifer di daerah luka dan menurunkan tingkatan inflamasi, dan analgesic opioid

(morfin, kodein) yang dapat meningkatkan mood dan perasaan pasien menjadi

lebih nyaman walaupun terdapat nyeri.

5. Immobilisasi

Biasanya korban tidur di splint yang biasanya diterapkan pada saat

kontraktur atau terjadi ketidakseimbangan otot dan mencegah terjadinya penyakit

baru seperti decubitus.

2.4.Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

2.4.1. Pengkajian

Kaji adanya faktor – faktor yang menyebabkan nyeri:

1. Pembedahan

2. Prosedur diagnostic infasif

3. Trauma (fraktur, luka bakar)

4. Lamanya penekanan pada bagian tubuh karena imobilitas

5. Penyakit kronis ( kanker )

6. Gangguan akut ditandai oleh sumbatan pada aliran darah atau embolisme

paru

Kaji nyeri yang berhubungan dengan:

1. P = Problem : pencetus nyeri


Faktor – faktor yang merangsang nyeri

1) Apa yang membuat nyeri bertambah buruk?

2) Apa yang mengurangi nyeri

2. Q = Quality : kualitas nyeri

1) Nyeri dirasakan seperti apa?

2) Apakah nyeri dirasakan tajam, tumpul, ditekan dengan berat, berdenyut

sperti diiris, atau tercekik?

3. R = Region : lokasi nyeri

1) Dimana nyeri tersebut?

2) Apakah nyeri menyebar atau menetap pada satu tempat?

4. S = Squerity = intensitas nyeri

1) Apakah nyeri ringan sedang atau berat?

2) Seberapa berat nyeri yang dirasakan?

5. T = Time : waktu

1) Berapa lama nyeri dirasakan?

2) Apakah nyeri terus menerus atau kadang – kadang?

2.4.2. Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul

Menurut nanda (2014), diagnosis keperawatan untuk klien yang

mengalami nyeri atau ketidaknyamanan:

1. Nyeri akut

Berhubungan dengan:

1) Trauma jaringan infeksi (cedera)

2) Ditandai dengan:

3) Melaporkan nyeri secara verbal atau non verbal


4) Menunjukan kerusakan

5) Posisi untuk mengurangi nyeri

6) Gerakan untuk melindungi

7) Tingkah laku untuk berhati – hati

8) Gangguan tidur ( mata sayu, tampak lelah, sulit atau gerakan kacau dan

menyeringai)

9) Fokus pada diri sendiri

2. Nyeri kronis

Berhubungan dengan:

1) Ketidakmapuan psiko sosial atau fisik secara kronis

2) Ditandai dengan

3) Perubahan berat badan

4) Perubahan pola tidur

5) KelelahanTakut cedera kembali

6) Interksi dengan orang lain menurun

7) Perubahan kemampuan dalam melakukan aktifitas


2.4.3. Rencana Tindakan Dan Rasionalis
NO DIAGNOSA INTERVENSI RASIONALISASI

1 Gangguan rasa nyaman 1. Kaji keadaan umum pasien dan 1. Keadaan umum pasien cukup, tanda-tanda vital
nyeri memonitortanda-tanda vital pasien normal

2. Kaji nyeri pasien 2. P: nyeri saat ditekan


& membungkuk
Q: nyeri ditusuk2
R: Perut kanan bawah
S: Skala nyeri 6
T: ± 2 menit setiap
gerak

3. Berikan posisi yang nyaman dari pasien 3. Pasien terlihat nyaman dengan kepala di
tinggikan.
4. Ajarkan latihan teknik relaksasi dan
distraksi 4. Pasien mau mendengarkan

5. Latih pasien untuk teknik relaksasi kembali 5. Pasien sudah mampu melakukan relaksasi
dan belajar untuk mandiri distraksi sendiri
2.4.4. Implementasi
NO Dx Kep Implementasi Respon
1 Gangguan rasa1. 1 Mengkaji keadaan umum pasien dan 1. Keadaan umum cukup
nyaman nyeri memonitor tanda-tanda vital N = 86 x/menit,
RR = 35-40 x/menit

2. Mengkaji nyeri pasien


2. P: nyeri saat ditekan
Q: nyeri ditusuk2
R: Perut kanan bawah
S: Skala nyeri 6
T: ± 2 menit setiap gerak
3. Memberikan posisi yang nyaman dari pasien
3.Pasien mengatakan nyaman jika kepala lebih tinggi

4. Mengajarkan latihan teknik relaksasidistraksi


4.Pasien mengatakansudah bisa melakukannya sendiri
5. Melatih pasien untuk teknik relaksasi kembali
dan belajar untuk mandiri 5.Pasien Kooperatif dan mau berlatih untuk mengurangi
nyerinya dibantu ibunya
50

2.4.5. Evaluasi
Evaluasi

S: Pasien mengatakan masih sedikit nyeri

O: RR = 20 x/menit, pasien sudah tidak terlihat


gelisah

A: Masalah nyeri teratasi sebagian

P : Lanjutkan intervensi 2 dan 4


a. Mengkaji keluhan nyeri,mengenai lokasi, intensitas
dan durasi, perhatikan petunjuk verbal dan non
verbal
b. Mengajarkan latihan teknik relaksasi dan distraksi
kembali
51

DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin,dkk. 2011

Smeltzer, Bare (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner &

suddart. Edisi 8. Volume 2. Jakarta, EGC

Anda mungkin juga menyukai