Anda di halaman 1dari 13

KH)— Menurut sejarah lisan, sosok Ki Ageng Giring III yang keberadaan makamnya berada di Desa Sodo

Paliyan, erat kaitannya dengan awal mula Kerajaan Mataram yang kemudian pecah menjadi Keraton
Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Menyertai kisah Ki Ageng Giring III ternyata sekaligus
juga sebagai awal cerita terbentuknya Desa Sodo. Disampaikan beberapa waktu lalu oleh salah satu juru
kunci Makam Ki Ageng Giring III Yusuf Fajarudin atau dengan julukan Mas Bekel Anom Surakso Fajarudin,
bahwa kisah ini terjadi sekitar tahun 1500 M.

Dalam penuturannya, Ki Ageng Giring III berasal dari keturunan kerajaan Majapahit yakni anak Brawijaya
IV sedangkan sahabat atau dianggap adiknya Ki Ageng Pemanahan merupakan keturunan dari Brawijaya
V. Keduanya mengembara ke Kraton Pajang, berguru kepada Sunan Kalijaga. Lambat laun terjadi
perpecahan atau geger di Kraton Pajang yang mengakibatkan wahyu kraton oncat atau pergi dari Kraton
Pajang tersebut.

Kemudian, Ki Ageng Giring III atau yang memiliki nama kecil Raden Mas Kertanadi mendapat bisikan
perintah dari Sunan Kalijaga, disuruh untuk mencari wahyu kraton, pergilah Ia bersama Ki Ageng
Pemanahan atau yang sewaktu kecil bernama Ki Bagus Kacung ini. Ditunjuk oleh Sunan keduannya untuk
pergi ke wilayah yang sekarang dikenal dengan sebutan Gunungkidul.

Ki Ageng Giring III menempati wilayah Sodo Paliyan, sedangkan Ki Ageng Pemanahan di Kembanglampir,
Girisekar, Panggang. Selama bertahun-tahun, ia bercocok tanam dan menyebarkan Agama Islam. Suatu
saat ada perintah berupa bisikan suara lagi untuk menanam sepet kering (kulit kelapa) oleh Sunan,
kemudian ditanamlah sebuah kulit kelapa, lalu lambat laun tumbuh cikal atau tunas kelapa yang
kemudian menjadi pohon kelapa.

“Berbuahlah pohon kelapa tersebut. Terdapat satu buah degan atau kelapa muda yang hijau dengan
sebutan gagak emprit,” kata juru kunci. Ungkap Mas Bekel, itulah wahyu keraton yang dicari-cari.

Sementara itu juga, Ki Ageng Pemanahan sedang bertapa atau semedi di Kembanglampir. Semedi ini juga
bertujuan untuk mengetahui dan mendapat petunjuk keberadaan wahyu keraton. Pertanda wahyu
keraton mulai ada, Ki Ageng Giring III mendapat bisikan lagi yang berasal dari buah kelapa muda atau
degan Gagak Emprit. Isi bisikan bahwa siapa bisa meminum seketika sampai habis air kelapa muda Gagak
Emprit maka keturunannya akan menjadi raja-raja di tanah Jawa.
Lantas buah tersebut dipetik lalu ditaruh di dapur (paga), yaitu sebuah rak besar tempat menyimpan
hasil tani atau ada juga yang untuk menyimpan peralatan dapur. Sebelum berangkat ke ladang, Ki Ageng
Giring III berpesan kepada istrinya. “Nyi jangan ada yang meminum degan ini, ini sangat penting,”
begitulah Yusuf menirukan atau mengira-ira bunyi pesan suami Nyi Ageng Giring. Ki Ageng Giring III
berencana meminum degan tersebut saat pulang dari ladang, pada saat haus supaya terasa segar,
sekaligus agar dapat meminumnya sampai habis.

Sementara itu, dalam semedinya, Ki Ageng Pemanahan juga mendapat wangsit bahwa wahyu keraton
sudah diterima kakaknya Ki Ageng Giring III. Kemudian ia jengkar atau menyelesaikan semedinya. Ia
kemudian bergegas menuju kediaman sahabat tuanya Ki Ageng Giring III di Sodo.

Sesampainya di rumah, Ki Ageng Pemanahan lantas menuju dapur, tahu bahwa di dapur ada sebuah
degan di atas paga (tempat menaruh hasil tani), maka ia meminta ijin kepada Nyi Ageng Giring untuk
meminumnya. “Mbakyu, Kang Mas dimana?, saya akan meminum air kelapa itu,” tanya Ki Ageng
Pemanahan. “Jangan Dimas, nanti kakakmu marah,” jawab Nyi Ageng Giring.

“Tidak apa-apa Mbakyu, kalau ada apa-apa saya yang bertanggung jawab,” Mas Bekel seolah bermain
drama menceritakan kisah tersebut. Ki Ageng Pemanahan memang sedikit memaksa, karena tahu bahwa
wahyu kraton ada di degan tersebut. Bersamaan, pada saat itu Ki Ageng Giring sedang jamas atau mandi
di Kali Nyamat.

Seperti cerita turun temurun, orang jaman dahulu memang mempunyai perasaan cukup peka atau
waskita. Begitu pula dengan Ki Ageng Giring III, ia pun merasa kecolongan, tahu dan sangat merasa
kehilangan ia menangis. Air mata yang menetes di bebatuan itu membuat batuan berlubang, retak atau
pecah (Bahasa Jawa: gowang), sehingga di sungai tempat ia mandi hingga kini disebut Kali Gowang. Ini
menjadi pengingat di mana saat Ki Ageng Giring III hatinya sedih, patah atau gowang. Lantas dikejarlah Ki
Ageng Pemanahan oleh Ki Ageng Giring III, dengan maksud untuk meminta dikembalikan, atau meminta
bagian keturunan dari wahyu kraton. Sembari berjalan dan terus mengejar, ia meminta kepada Ki Ageng
Pemanahan, permintaan agar keturunannya dapat bergantian menjadi raja terus dilontarkan.

KEMBANG LAMPIR

Menjelajah kawasan Jogja bukan hal yang baru lagi apabila Anda menemukan banyak Adalah sebuah
situs bersejarah yang berkaitan dengan sebuah petilasan atau bekas pertapaan di desa Girisekar,
Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul. Situs Kembang Lampir, merupakan sebuah situs
bersejarah yang menunjukkan sebuah napak tilas dari pertapaan ki Ageng Pemanahan saat mencari
wahyu Kraton Mataram.

Ki Ageng Pemanahan adalah keturunan dari Brawijaya V dari kerajaan Majapahit. Saat bertapa, ia
mendapat perintah dari Sunan Kalijaga utuk berada di Dusun Giring, Kecamatan Paliyan, Gunungkidul.
Seusai melakukan pertapaan beliau selanjutnya singgah ke rumah sahabatnya yakni Ki Ageng Giring yang
mendapt wahyu untuk meminum degan saat kehauasan.

kembang lampir

Sumber: http://jogja.beritainternusa.com

Alhasil sebuah rasa kecewa dari Ki Ageng Giring terjadi saat kerabatnya tersebut yang meminum kelapa
muda sekaligus karena kehausan. Wahyunya jika meminum kelapa muda tersebut adalah keturunannya
dapat menjadi raja di tanah Jawa. Akhirnya beliaulah Ki Ageng Pemanahan yang menjadi raja Mataram.

Untuk menuju ke petilasan tersebut, pengunjung harus menaiki anak tangga yang cukup tinggi, namun
sudah terkelola dengan baik. Adapun denah dari kompleks Kembang Lampir adalah membentuk angka 9.
Bukan tidak ada maksud melainkan angka 9 tersebut menunjukan bahwa kompleks dibangun oleh Sri
Sultan Hamengkubuwono IX.

Bangunan yang ada di lokasi Kembang Lampir ini adalah bangunan induk yang mana sebagai tempat
penyimpanan pusaka Wuwung Gubug Mataram, Songsong Ageng Tunggul Naga, dan juga dua buah
Bangsal. Selain itu adapula Prabeyeksa di kanan dan di kirinya.

Sebagai bentuk penghormatan kepada para pepunden Mataram, kompleks tersebut juga dibangun
adanya beberapa patung Panembahan Senopati, dan Ki Ageng Pemanahan, serta ada juga Ki Juru
Mertani.

Sebuah situs bersejarah ini memang menjadi sebuah situs wisata religi yang bisa dijadikan tempat
kunjungan untuk menilik adanya peninggalan kisah dari Kerajaan Mataram baik dari peneliti, sejarawan
juga wisatawan umum.
Mengunjungi sebuah situs petilasan ini rupanya tidak melulu membawa seorang badan, namun juga ada
syarat. Syarat yang harus dipenuhi antara lain membawa kembang telon “tiga jenis”, minyak wangi, dan
juga kemenyan. Cukup menyulitkan terlebih adapula larangan kepada pengunjung untuk mengenakan
baju berwarna ungu terong dan juga hijau lumut.

Bagaimanapun keadaannya sebagai bentuk penghirmatan kepada pengelolaan kawasan, mau tidak mau
memang harus menurut sebentar. Seusainya sudah bukan lagi hal wajib. Salam Dolaners!

Ki ageng giring

Ki Ageng Giring, Mataram Islam Berawal dari Gunungkidul

Gapura Makam Ki Ageng Giring Foto: R Toto Sugiharto/Ensiklopedi Gunungkidul

Gapura Makam Ki Ageng Giring

Foto: R Toto Sugiharto/Ensiklopedi Gunungkidul

Berbicara soal Gunungkidul tak bisa lepas dari satu tokoh ini. Ki Ageng Giring. Bahkan sebenarnya dalam
skala yang lebih luas, Ki Ageng Giring memiliki peran besar dalam berdirinya Kerajaan Mataram Islam.
Siapa dia?

Ki Ageng Giring (mengacu pada Ki Ageng Giring III) adalah salah seorang keturunan Prabu Brawijaya IV
dari Retna Mundri, yang hidup dan menetap pada abad XVI di Desa Sodo Giring, Kecamatan Paliyan.
Desa Sodo terletak sekitar 6 km arah barat daya kota Wonosari. Beliau adalah sesepuh Trah Mataram
yang sangat dihormati.
Perlu diketahui, gelar ki ageng adalah gelar seseorang tokoh pada waktu sudah purna tugas kenegaraan,
atau setelah lengser dari jabatannya. Pada masa aktif menjabat biasanya disebut ki gede. Lalu setelah
sepuh, jabatan dialihterimakan kepada keturuannya dan sebagai sesepuh tokoh tersebut disebut ki
ageng. Demikian pula asal nama Ki Ageng Giring (mengacu kepada Ki Ageng Giring I, II, III dan IV). Makam
Ki Ageng Giring III dikelola oleh Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat karena merupakan pepunden Trah
Mataram sebagai penerima wahyu kraton.

Ayahanda Ki Ageng Giring I adalah Prabu Brawijaya IV raja Majapahit, sedangkan ibunya bernama Retno
Mundri. Ia bertemu dengan seorang wali besar yang bernama Sunan Kalijaga. Ia seperguruan dengan Ki
Ageng Pemanahan. Keduanya adalah para tokoh politik yang mengembara dari istana untuk
mengembangkan kekuatan spiritual dan mengajarkan Islam kepada penduduk sekitar. Perlu diketahui,
bahwa setelah hancurnya kerajaan Majapahit, putra-putri Prabu Brawijaya menyebar ke berbagai
wilayah di tanah Jawa, bahkan sampai Bali dan Lombok. Di tempatnya masing-masing, mereka berikhtiar
lahir batin untuk mendapatkan kembali tahta ayahanda beliau yang telah hilang. Keyakinan bahwa
wahyu kraton akan turun kepada putra yang memiliki kecakapan lahir batin ini sangat kuat menancap ke
dalam relung jiwa para trah darah biru ini, di antaranya adalah Ki Ageng Giring (I).

Loading...

Ki Ageng Giring berjalan jauh memasuki rerimbunan pohon, hutan dan semak belukar. Sungai, gunung
dan gua ditempuhnya tak kenal lelah. Hingga pilihannya jatuh pada daerah yang datar dengan
pemandangan perbukitan dan sungai-sungainya yang jernih. Di dekat sebuah mata air ia mendirikan
gubug peristirahatannya. Setiap hari berdoa bermunajat kepada Tuhan Yang Maha Esa agar
mendapatkan ketentraman lahir batin dengan seluruh anak cucu keturunan beserta para pengikutnya.
Meskipun hanya sebesar lidi, atau Sodo, ia tetap memiliki pengharapan agar mendapat anugerah yang
agung dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

Makam Kanjeng Ratu Giring di samping cungkup Makam Ki Ageng Giring Foto: R Toto
Sugiharto/Ensiklopedi Gunungkidul

Makam Kanjeng Ratu Giring di samping cungkup Makam Ki Ageng Giring

Foto: R Toto Sugiharto/Ensiklopedi Gunungkidul

Ia mengajarkan pertanian, menanam pohon kelapa dan menderesnya, membuat minuman legen dan
merajut kain. Ia juga mengajari penduduk mengalirkan air sungai untuk mengaliri persawahan dari
sungai yang airnya jernih. Ki Ageng Giring juga mengajarkan untuk menanam banyak pohon kelapa yang
sangat besar manfaatnya untuk kehidupan penduduk waktu itu. Kehidupan berlangsung damai hingga Ki
Ageng Giring I wafat dan digantikan kedudukannya oleh putranya, Ki Ageng Giring II dan Ki Ageng Giring
II pun wafat digantikan oleh putranya yang kita kisahkan di sini yakni Ki Ageng Giring III. Pada masa Ki
Ageng Giring III inilah Paliyan menjadi kisah menarik karena berbagai hal baik natural maupun
supranatural.

Ki Ageng Giring III menikah dengan Nyi Talang Warih melahirkan dari pernikahan tersebut dua orang
anak, yaitu Rara Lembayung dan Ki Ageng Wonokusumo yang nantinya menjadi Ki Ageng Giring IV.
Isyarat akan turunnya wahyu Kraton Mataram di perbukitan kidul itu atas petunjuk Sunan Kalijaga,
seorang tokoh spiritual yang mampu melihat dengan pandangan lahir batin atas suatu persoalan
masyarakat. Oleh Sunan Kalijaga, Ki Ageng Giring III dan Ki Ageng Pemanahan dianggap sebagai santri
yang mampu menjalankan tirakat dengan kuat untuk menyangga negeri. Untuk mengupas keterkaitan
kisah ini, tidak bisa lepas dari perjalanan Ki Ageng Pemanahan mengawal Sultan Hadiwijaya di Kraton
Pajang.

Pada saat itu, Ki Ageng Pemanahan masih lingkungan di Kraton Pajang di bawah kekuasaan Sultan
Hadiwijaya atau Joko Tingkir. Alkisah, setelah kemenangan Ki Ageng Pemanahan menaklukkan Aryo
Penangsang di Jipang Panolan, belum mendapatkan hadiah dari sultan sebagaimana dijanjikan dalam
sayembara, bahwa barang siapa yang bisa mengalahkan Aryo Penangsang akan mendapat hadiah tanah
perdikan yang luas. Ki Penjawi sudah diberi hadiah tanah Pati (Jawa Tengah), sementara Ki Ageng
Pemanahan yang sebenarnya paling berhak malah belum mendapatkan haknya.

Karena kecewa hatinya, Ki Ageng Pemanahan lantas pergi dari istana. Ia menuju ke rumah sahabatnya, Ki
Ageng Giring III, di daerah Gunungkidul. Ki Ageng Giring terkenal sebagai seorang petani pertapa
sekaligus penyadab nira kelapa. Bersamaan dengan itu, Sunan Kalijaga dawuh bahwa kelak wahyu Gagak
Emprit akan turun di tengah pegunungan selatan dalam sebuah air degan. Namun kapan wahyu itu akan
turun, Kanjeng Sunan tidak pernah menjelaskan dan pantang bagi murid untuk bertanya kepada Guru.

Oleh Sang Guru, Ki Ageng Pemanahan kemudian disuruh melakukan tirakat di daerah yang terdapat
pohon mati yang berbunga. Pohon mati yang berbunga itu ditemukan oleh Ki Pemanahan yang sekarang
disebut Kembang Lampir, wilayah Panggang, Gunungkidul. Adapun Ki Ageng Giring yang tinggal di daerah
Paliyan Gunungkidul disuruh menanam sepet atau sabut kelapa kering, yang kemudian tumbuh menjadi
pohon kelapa yang menghasilkan degan atau buah kelapa muda. Sabut kelapa kering yang secara nalar
tidak mungkin tumbuh, namun atas kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa, tumbuh menjadi sebatang
pohon kelapa.

Selama bertahun-tahun pohon kelapa itu dirawat dan dijaga Ki Ageng Giring di pekarangan rumahnya,
hingga menjadi tinggi dan besar. Namun Ki Ageng merasa heran pohon kelapa itu tidak juga berbuah,
sebagaimana yang pernah diisyaratkan oleh gurunya, Sunan Kalijaga. Namun Ki Ageng tidak pernah ragu
sedikit pun, kesabaran dan ketekunannya dalam ibadah diperkuat dan terus menjalankan laku prihatin
sebagaimana tuntutan ajaran Islam, hingga suatu ketika pohon kelapa itu muncul degan satu biji saja dan
beliau mendapatkan mimpi yang aneh.

Menurut mimpi itu, Ki Ageng harus segera memetik satu-satunya buah kelapa yang masih muda itu dan
meminum airnya saendegan atau sekali teguk agar kelak dapat menurunkan raja dengan kepribadian
yang utuh. Oleh karena itu, Ki Ageng Giring berjalan-jalan ke ladang terlebih dulu agar cukup haus
sehingga dengan demikian ia bisa menghabiskan air degan tersebut dengan sekali minum.

Namun sayang, ketika Ki Ageng Giring sedang di ladang, sahabatnya Ki Ageng Pemanahan datang dari
Kembang Lampir dengan maksud untuk silaturahmi. Tuan rumah baik Ki Ageng maupun Nyai Ageng
Giring rupanya tidak ada di rumah. Dalam keadaan capek dan haus Ki Ageng Pemanahan melihat buah
degan di dapur. Tanpa pikir panjang Ki Ageng Pemanahan memaras degan itu dan meminum air kelapa
muda itu sampai habis dengan sekali teguk. Ia merasa tidak perlu meminta izin karena ia yakin kedekatan
persaudaraan dengan sahabatnya itu.

Tak begitu lama kemudian datanglah Ki Ageng Giring dari ladang. Ia langsung menuju dapur bermaksud
meminum degannya. Ternyata didapati degan sudah dibelahdan isinya sudah habis. Ia mendapati sang
sahabat, Ki Ageng Pemanahan sedang bersantai di depan rumah. Dalam berbagai pentas kethoprak
rakyat, dilukiskan dengan dialog sebagai berikut:

“Lo Adi Pemanahan? Kapan tiba di gubugku ini, Di?” tanyanya sambil merangkul melepas rindu kepada
sahabatnya.

“Baru saja Kakang, sudah lama aku tidak berkunjung ke sini, bagaimana kabar Kakang Giring?” kata Ki
Ageng Pemanahan. “Kakang, karena kehausan dari perjalanan jauh, eh sampeyan dan mbakyu tidak ada.
Aku langsung njujug pawon dan meminum degan yang ada di babragan milik Kakang, aku mohon maaf
sebelumnya Kakang”, lanjut Pemanahan.

Ki Ageng Giring tertunduk lemas. Semestinya Ki Ageng Giring berhak marah, namun seorang yang
memiliki kualitas ruhani dan kepasrahan jiwa tidaklah perlu marah. Beliau sudah lama olah jiwa dengan
meper hawa nepsu. Betapapun dia menginginkan wahyu itu jatuh kepada dirinya, namun Tuhan bisa
berkata lain. Ini bagian takdir yang harus dilakoninya. Ia ingat betapa Ki Ageng Selo di Purwodadi dulu
sangat ingin mendapatkan wahyu kraton hingga berpuasa dan menjalankan laku batin dengan sangat
keras selama puluhan tahun. Namun tiba-tiba seorang pemuda yang baru saja mengabdi padanya
sebagai seorang murid, yang tidak pernah meminta dan ingin menjadi seorang raja, justru mendapatkan
karunia dari Tuhan sebuah mimpi yang menunjukkan dirinya akan menjadi sesembahan orang setanah
Jawa. Pemuda itu bernama Joko Tingkir. Ki Ageng Selo hendak marah, hingga ia berpikir untuk
membunuh saja anak kemarin sore itu. Namun, Ki Ageng cepat menahan diri melawan takdir. Akhirnya Ki
Ageng Selo pasrah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan ridha dengan Joko Tingkir.

“Ada apa Kakang kok tampak tidak berkenan. Maafkan atas kelancanganku”. Kata Pemanahan terbata-
bata.

“Ketiwasan Adi!”, sergah Ki Ageng Giring dengan nada lemas dan kecewa berat. “Sebenarnya Adi, degan
tersebut merupakan wahyu yang telah aku upadi dengan tapa brata yang sulit untuk mendapatkan
kemuliaan bagi anak cucuku kelak di kemudian hari”, ia menegaskan. Ia kemudian menceritakan
mengenai ‘wahyu gagak emprit’ yang diperolehnya berwujud degan tersebut. Dengan besar hati
akhirnya ia berkata, “Adi, barangkali ini semua memang sudah menjadi titah Gusti, sehingga aku harus
rela anak cucumulah kelak yang akan menjadi penguasa tanah Jawa ini. Namun Adi, apabila engkau tidak
berkeberatan izinkan juga anak cucuku setelah keturunan ke tujuh darimu juga ikut nunut mukti.”

Ki Ageng Pemanahan kemudian menjawab, “Aduh Kakang Giring aku minta maaf, karena
ketidaktahuanku aku menjadi penghalang kemuliaan anak cucumu. Akan tetapi barangkali ini memang
sudah garising pepesthen. Namun demikian, aku rela dengan permintaan Kakang agar setelah
keturunanku yang ketujuh nanti anak cucu Kakang ikut mukti wibawa. Dan untuk itu Kakang, apabila kita
kelak mempunyai anak kuusulkan agar kita berbesanan sebagai jalan tengah”. Akhirnya kedua sahabat
tersebut bersepakat.

Ki Ageng Giring pasrah dan memupus takdir, bahwa Ki Pemanahan rupanya lebih unggul dalam kualitas
ruhani sehingga dipilih Tuhan Yang Menguasai Alam Semesta untuk menjadi bapak bagi raja-raja Jawa.
Namun demikian, Ki Ageng mencoba menyampaikan maksud hatinya kepada Ki Ageng Pemanahan agar
salah seorang anak turunnya kelak bisa turut menjadi raja di Mataram. Ki Ageng Pemanahan yang
maqam jiwanya sudah ngerti sadurunge winarah pun juga nglenggana, memiliki keikhlasan yang tinggi.
Dari musyawarah diperoleh kesepakatan bahwa keturunan Ki Ageng Giring akan diberi kesempatan
menjadi raja tanah Jawa pada keturunan yang ketujuh.

Bagi Ki Ageng Giring, kesempatan menjadi raja Mataram pupus sudah, tinggal harapan panjang yang
barangkali bisa dinikmati pada generasi ketujuh. Setelah perginya Ki Ageng Pemanahan dari rumahnya, Ki
Ageng tidak bisa menyembunyikan masygul hatinya. Ia banyak merenung mupus takdir di pinggir sungai,
yang kini dikenal masyarakat dengan nama Kali Gowang. Nama Kali Gowang, karena hatinya lagi lagi
terluka, gowang, kecewa, teriris-iris atas kegagalannya memperoleh wahyu Mataram. Setelah kegagalan
itu, Ki Ageng Giring semakin banyak beribadah kepada Allah SWT dan tak lama kemudian kesehatannya
mulai rapuh lalu dimakamkan di dekat rumah beliau.

Kisah selanjutnya adalah kembalinya Ki Ageng Pemanahan ke Kraton Pajang, nagih janji kepada Sultan
Hadiwijaya dengan diantar oleh Sunan Kalijaga. Kisah ini akan dipaparkan lebih jauh pada bagian
Petilasan Kembang Lampir.

Kisah Ki Ageng Giring ini menjadi sangat khas Jawa. Betapapun membuktikan nasab hingga 7 turunan
tidaklah mudah. Apalagi intrik dan campur tangan politik Jawa pada kurun waktu itu sangat keras.
Kerajaan Mataram berpindah-pindah dari Kotagede ke Pleret, dari Pleret ke Kartasura dan akhirnya dari
Kartasura ke Surakarta. Kita hanya mengetahui bahwa Kerajaan Mataram kemudian didirikan oleh
Danang Sutawijaya putra Ki Ageng Pemanahan yang bergelar Panembahan Senopati. Panembahan
Senopati kemudian menurunkan Panembahan Sedo Krapyak, Panembahan Sedo Krapyak menurunkan
Raden Mas Rangsang yang kita kenal dengan Sultan Agung Hanyakrakusuma.

Pada masa Sultan Agung kerajaan Mataram mencapai puncak keemasannya secara kewilayahan,
keprajuritan, keagamaan, sosial budaya dan ekonomi. Namun pasca Sultan Agung, Mataram benar-benar
harus berjuang mempertahankan eksistensinya karena banyak intrik baik internal maupun eksternal
berupa kedatangan penjajah.

Babad Nitik Sultan Agung menguraikan perjalanan Sultan Agung, termasuk pembuktian bahwa Puger
memang keturunan Giring. Penulis babad ini menceritakan bahwa pada suatu ketika parameswari
Amangkurat I, Ratu Labuhan, melahirkan seorang bayi yang cacat. Bersamaan dengan itu isteri Pangeran
Arya Wiramanggala, keturunan Kajoran, yang merupakan keturunan Giring, melahirkan seorang bayi
yang sehat dan tampan. Amangkurat mengenal Panembahan Kajoran sebagai seorang ulama sepuh dan
dapat menyembuhkan orang sakit. Oleh karena itu puteranya yang cacat dibawa ke Kajoran untuk
dimintakan penyembuhannya. Kajoran merasa bahwa inilah kesempatan yang baik untuk merajakan
keturunannya. Dengan cerdiknya bayi anak Wiramanggalalah yang dikembalikan ke Amangkurat I ditukar
dengan menyatakan bahwa upaya penyembuhannya berhasil.

Dengan demikian, menjadi benarlah bahwa pada urutan keturunan yang ke-7 keturunan Ki Ageng
Giringlah yang menjadi raja, meskipun silsilah itu diambil dari garis perempuan. Paku Buwono I adalah
raja yang berdarah Giring.

Dalam kompleks makam Sunan Giring juga terdapat masjid, padepokan Ki Ageng Giring, Sendang, pohon
yang berusia seusia makam. Setelah peziarah memasuki pintu gerbang mereka akan melewati makam
para pengikut Ki Ageng Giring III kini juga menjadi pemakaman warga. Makam Ki Ageng Giring sendiri
berada di dalam tembok yang dibangun pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Kali Gowang yang mengalir di desa Giring sampai saat ini menjadi tumpuan warga desa Giring, Mulusan,
Karangasem dan desa Sodo. Terlebih pada setiap musim kemarau tiba. Sungai ini memiliki keterkaitan
erat dengan perjuangan Ki Ageng Giring. Secara ekologis Ki Ageng Giring terbukti mengajarkan simbiosis
mutualisme antara warga dengan lingkungan sekitarnya. Airnya sangat jernih dan tak pernah kering,
mengalir sampai ke laut selatan.

Selain airnya yang tak pernah kering, panorama kawasan kali Gowang juga amat indah dan alami
sehingga banyak orang yang merasa teduh dan nyaman berada di tempat ini. Karena keberadaan makam
Ki Ageng Giring ini, Desa Sodo memperoleh predikat sebagai desa wisata religi. Setiap hari tertentu di
tempat ini masyarakat sekitar sering melakukan berbagai macam ritual budaya yang turun-temurun
dilakukan dari dahulu kala. Yaitu setiap hari Kamis Wage, dusun-dusun yang berada di wilayah Desa
Giring, mengadakan malam tirakatan dan pada pagi harinya, Jum’at Kliwon, melakukan sedekah untuk
warga miskin di balai desa tempat upacara.

Masih di dalam kompleks makam, terdapat pendapa Padepokan Makam Ki Ageng Giring III, sendang dan
pohon beringin yang sudah berusia seusia makam. Padepokan ini sering digunakan oleh masyarakat
sekitar guna melakukan tirakatan, mujahadah, doa bersama, sarasehan-sarasehan kebudayaan,
pengajian haul, menerima kunjungan pejabat atau pun kegiatan sosial lain.
Sumber: Ensiklopedi Gunungkidul

Ingin tahu betapa hebatnya Indonesia? Negara ini seharusnya menjadi negara ditakuti. Tetapi kenapa
sekarang sepertinya tidak berdaya? baca di

http://earningloot.biz/?reflink=amiruddin

Loading...

Facebook Comments

NEXTLangse, Dari Sunan Kalijaga, Senopati, Hingga Soeharto »

PREVIOUS « Jonge, Telaga Abadi di Bukit Kapur

Comments are closed.

SHARE

TAGS:

asal usul gunungkidulasal usul pindulgoa jomblanggoa pindulgrubukGua pindulki ageng giringmanusia
purba gunungkidulmitos kerajaan matarammitos pindulpantai baronpantai indrayantipantai siungsejarah
gua pindulsiapa ki ageng giringwahyu mataramwisata goa gunungkidulwisata pantai gunungkidul

5 YEARS AGO

RELATED POST

Aegis Tak Mampu Deteksi Rudal Korea Utara, Jepang Gelisah

Drone Israel Jatuh di Jalur Gaza

Kapal Selam Asing Muncul di Perairan Kanada

RECENT POSTS
HEAD LINEMILITARYOUR PLANE

Dua Tahun Lagi Prototipe KF-X/IF-X Siap Diluncurkan

Korea Aerospace Industries (KAI) telah menyelesaikan tahap desain pesawat tempur KF-X/IF-X. Kini
pembangunan meningkat ke fase penting yakni pembangunan prototipe…

10 mins ago

HEAD LINEMILITARY

Airbus, Boeing dan Ilyusin akan Berebut Kontrak Rp28 Triliun dari India

Raksasa penerbangan Airbus Eropa, Boeing Amerika serta Ilyushin Aviation Rusia akan bersaing untuk
mendapatkan kontrak senilai US$ 2 miliar atau…

14 mins ago

HEAD LINEMILITARY

Putin Serukan Eropa dan Asia Hindari Penyebaran Rudal Jarak Menengah

Kremlin mengkonfirmasi Presiden Rusia Vladimir Putin telah meminta Eropa, NATO dan Asia untuk
menjauhkan diri dari penempatan rudal jarak menengah…

20 mins ago

NEED TO KNOW

Meski di Bawah Sanksi Ketat, Smartphone Korea Utara Berkembang Pesat, Gimana Caranya?

Korea Utara menjadi salah satu negara yang ada di bawah sanksi paling ketat dunia internasional sebagai
efek dari pengembangan senjata…

21 hours ago

HEAD LINEOUR PLANE

Angkatan Udara Amerika Ingin Ubah C-5 Galaxy Jadi Rumah Sakit Terbang
Angkatan Udara Amerika memiliki minat besar untuk menggunakan pesawat angkut raksasa C-5M Super
Galaxy untuk peran evakuasi aeromedis. Area kargo…

22 hours ago

HEAD LINEMILITARY

NATO: Proposal Rusia Tentang Larangan Penempatan Rudal Tidak Bisa Dipercaya

Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau NATO mengakui telah menerima surat dari Rusia mengenai
pengenalan moratorium penyebaran rudal jarak pendek dan…

22 hours ago

Privacy Policy About Us

All Rights ReservedView Non-AMP Version

https://www.jejaktapak.com/2014/03/31/ki-ageng-giring-mataram-islam-berawal-dari-gunungkidul/

Anda mungkin juga menyukai