Anda di halaman 1dari 16

2.

1 Anatomi Saluran Pernapasan Ayam


Sistem pernapasan pada unggas berbeda dengan sistem pernapasan pada
mamalia. Perbedaan sistem pernapasan pada unggas terletak pada paru-paru yang
berhubungan langsung dengan kantong udara dan rongga tulang dimana hal tersebut
tidak terdapat pada hewan mamalia. Berikut adalah anatomi saluran pernafasan ayam
menurut Yuwanta (2004):
1. Paru-paru
Paru-paru pada unggas tidak berkembang secara sempurna seperti halnya pada
mamalia. Rangkaian saluran pernapasan dari luar ke dalam adalah lubang hidung luar
dan dalam (external dan internal nares), glottis, latynx, trakhea, syrinx (rongga suara),
bronkhi dan paru-paru. Paru-paru terletak di antara tulang rusuk dan vertebrae dorsalis.
Vertebrae dorsalis berfusi dengan rongga udara.
2. Rongga Udara (Kantong Udara)
Rongga udara atau kantong udara (air sac) pada unggas berjumlah 9 terdiri dari
4 buah rongga udara berpasangan dan 1 buah rongga udara tunggal. Rongga udara yang
berpasangan tersebut adalah sebagai berikut.
a. Abdominalis yang terletak pada bagian abdomen (perut) dan mencapai daerah pelvis.
b. Thoraxalis anterior (diafragmatik) yang terletak pada rongga dada bagian depan dan
berhubungan dengan tulang humerus.
c. Thoraxalis posterior yang terletak didalam rongga dada bagian belakang.
d. Servicalis yang terletak di antara abdominalis dan thoraxalis posterior serta
berhubungan dengan otot leher.

Rongga udara tunggal adalah rongga udara klavikularis yang terletak di tengah-
tengah antara kedua bagian paru-paru dan berhubungan dengan paru-paru.
Fungsi rongga udara adalah
a. membantu paru-paru unruk pernapasan
b. meringankan tubuh saat terbang
c. membantu mengapungkan tubuh saat unggas terbang (di udara)
d. membantu difusi air dari darah untuk diekskresikan lewat paru-paru sebagai uap air.
2.2
Penyakit
Sistem
Respirasi
pada
Ayam
2.2.1
Chronic

Respiratory Disease (CRD)


a. Etiologi
Chronic Respiratory Disease (CRD) adalah penyakit menular yang dapat
menyerang unggas pada segala umur. Penyebab utama dari CRD adalah
Mycoplasma gallisepticum (MG) yang termasuk famili Mycoplasmataceae dan
Ordo Mycoplasmatales. M.gallisepticum merupakan organisme prokaryotik
terkecil yang memiliki dinding sel lunak. Sel mikoplasma dikelilingi oleh 3 lapis
plasma membran yang elastis, oleh karena itu mikoplasma resisten terhadap
penisilin dan derivatifnya yang memiliki target pada dinding sel. Besar sel MG
bervariasi antara 0,2 – 0,8 μm, berbentuk pleomorpik bervariasi dari sperikal atau
seperti buah pear sampai filamen bercabang atau helikal. Sel dapat diwarnai
dengan pewarnaan Giemsa atau Gram. Bentuk koloni pada media agar seperti
telur mata sapi dengan ukuran 0,1 – 1,0 cm, bulat, permukaan halus dan di
tengahnya ada bagian yang padat dan menonjol yang disebut bleb
(Soeripto,2009).
CRD memiliki derajat morbiditas tinggi dan derajat mortalitas rendah.
Infeksi dapat menyebar secara vertikal melalui telur yang terinfeksi.
Mycoplasma lain yang dapat menginfeksi unggas adalah M.synoviae,
M.meleagridis dan M.iowae. Masa inkubasi CRD berkisar antara 4-21 hari. Bila
CRD menyerang, biasanya seluruh kelompok ayam akan terserang dengan
derajat keparahan yang berbeda. Kejadian CRD kecuali pada anak ayam
biasanya berhubungan dengan adanya infeksi oleh patogen lain dan juga adanya
faktor stres. Infeksi CRD biasanya tidak terjadi secara tunggal tetapi merupakan
infeksi kombinasi berbagai oleh agen penyakit. Berbagai agen penyakit yang
biasa ditemukan bersama CRD adalah Newcastle Disease (ND), Infectious
Brochitis (IB), Infectious Bursal Disease (IBD), E. coli, dan Haemophilus
galinarum (Hayati, 2014).
Sel MG sangat rentan terhadap suhu udara luar, dan dapat bertahan hidup
di luar tubuh ayam 1 hari pada suhu 37°C atau sampai 3 hari pada suhu 20°C.
selain itu juga dapat bertahan 18 minggu dalam kuning telur pada suhu 37° C
atau 6 minggu pada suhu 20°C, dalam cairan allantoik masih tetap infektif
selama 4 hari pada suhu 37°C, 6 hari pada suhu kamar dan 32-60 hari pada suhu
4°C. Dalam biakan cair MG tahan 2-4 tahun kalau disimpan pada suhu -30°C,
sedangkan yang dikering bekukan (lyophilized) tahan 7 tahun pada suhu 4°C.
M.gallisepticum menjadi non aktif oleh beta propiolakton dan sensitif terhadap
erytromycin, bacitracin, tylosin dan sinar matahari. Dari beberapa galur yang
telah diketahui, S-6 adalah galur utama penyebab CRD. M.gallisepticum dapat
merangsang pembentukan antibodi yang tidak sempurna, sehingga penderita
yang telah sembuh akan bertindak sebagai pembawa agen dan merupakan
sumber penularan (Soeripto,2009 ; Direktorat Kesehatan Hewan, 2014).
b. Patogenesa
MG masuk melalui rongga hidung kemudian melekat pada reseptor
epitel yang disebut sialoglycoprotein (Patern recognition receptors sites) yang
dimediasi oleh adhesin dan protein yang disebut bleb (Pathogen associate
molecular paterns) yang terletak pada ujung organ sel mikoplasma. Selanjutnya,
sel mikoplasma melakukan penetrasi dan merusak mukosa epitel sambil
memperbanyak diri. Dengan perantaraan gerakan silia epitel dan bleb, sel
mikoplasma bergerak menuju kantong membran udara abdominal. Mekanisme
infeksi MG sampai masuk ke indung telur atau oviduct dan menyebabkan
penyebaran vertikal sampai saat ini belum diketahui (Soeripto,2009).
Peradangan yang terjadi pada jaringan epitel bukanlah akibat dari toksin
mikoplasma tetapi lebih disebabkan karena respons imun dari induk semang
berupa reaksi peradangan. Peradangan ini menyebabkan terhambatnya
perkembangan sel T helper 1 (Th1 cell) sehingga sel T sitotoksik (killer
cytotoxic T cell) menjadi tidak aktif yang mengakibatkan infeksi patogen
menjadi persisten. Akibat lain yaitu terjadi peningkatan produksi Tumor necrosis
factor α (TNFα) yang mengakibatkan respon sel Th2 menurun, yang
mengakibatkan respon netralisasi antibodi terhadap infeksi bakteri atau virus
juga menurun drastis. Kondisi ini menjelaskan kenapa infeksi mikoplasma
menyebabkan imunosupresif terhadap ayam yang terinfeksi MG (Szathmary dan
Stipkovits 2006).
c. Gejala Klinis
Masa inkubasi CRD berkisar antara 4-21 hari. Bila terdapat infeksi
CRD, biasanya seluruh kelompok ayam terkena meskipun derajat keparahannya
berbeda. Tanpa komplikasi kelompok ayam yang terserang CRD tidak
menunjukkan gejala klinis yang jelas. Pada kelompok ayam dewasa
menunjukkan tanda klinis terdapat sekresi hidung katar yang makin lama makin
bertambah, batuk dan bersuara pada waktu bernafas. Sebagian ayam yang
terserang, menunjukkan muka bengkak akibat tertimbunnya eksudat dalam
sinus infraorbitalis (Direktorat Kesehatan Hewan, 2014). Penyakit CRD
kompleks biasanya terjadi pada peternakan dengan situasi kandang yang terlalu
padat dengan kualitas udara yang buruk. Ayam menunjukkan gejala khas yaitu
ngorok. Gambaran patologis anatomis menunjukkan adanya peradangan saluran
pernafasan bagian atas, kantung udara keruh dan menebal, serta pembentukan
jaringan fibrin pada selaput hati dan jantung. Infeksi terjadi jika bakteri
Mycoplasma gallisepticum masuk ke saluran pernafasan bersamaan dengan
aliran udara yang telah terkontaminasi, dan menempel pada mukosa saluran
pernafasan dan merusak sel- selnya. Selama beberapa minggu bakteri tetap
menetap dalam saluran pernafasan dan menginfeksi secara akut ketika ayam
mengalami stres dan terinfeksi agen lain sehingga berkembang CRD kompleks
(Wiedosari dan Sutiastuti, 2015).
Kelainan utama yang diakibatkan oleh CRD ialah radang sekresi hidung
katar dalam alat pernafasan mulai dari rongga hidung, sinus sampai kantong
udara. Kantong udara terlihat keruh dan bereksudat kasar. Bila terjadi
komplikasi dengan bakteri, perubahan hebat ditemukan berupa perikarditis,
perihepatitis fibrinosa atau fibrino purulenta disertai dengan radang masif
kantong udara. Selain gangguan alat pernafasan telah dilaporkan terjadi
salpingitis (Soeripto,2009).
d. Diagnosa
Diagnosa dapat dilakukan dengan melihat gejala klinis dan perubahan
patologi anatomi yaitu berupa airsacculitis mulai dari penebalan kantong udara
rongga perut sampai terlihat adanya perkejuan di satu atau kedua sisi rongga
perut, tergantung tergantung dari derajat keparahan infeksi (Soeripto,2009).
Serologi dengan metode RPA dan uji ELISA umumnya digunakan untuk
screening. Uji hambatan aglutinasi sering digunakan sebagai tes konfirmasi,
karena reaksi non-spesifik aglutinasi palsu dapat terjadi, terutama setelah
suntikan vaksin inaktif emulsi minyak atau infeksi M. synoviae. Uji RPA, uji
yang cepat, relatif murah, dan sensitifserta dapat digunakan sebagai screening
test pada monitoring flock dan serodiagnosis. Jika dibandingkan dengan uji
serologis yang lain (ELISA dan HI), RPA lebih sensitif namun kurang spesifik
(Hayati, 2014).
Akurasi diagnosis harus dilakukan dengan isolasi atau deteksi kuman
penyebab. Isolasi MG biasanya memerlukan waktu yang panjang, karena
pertumbuhannya memakan waktu 5 – 7 hari atau lebih lama (pengamatan
pribadi). Untuk identifikasi cepat dapat digunakan teknik immunofluorescent,
atau immunoperoxidase. Teknologi PCR yang sangat peka dapat juga
digunakan untuk identifikasi antigen MG. Serologi seperti uji serum aglutinasi
cepat (SAC), inhibisi hemaglutinasi (IH), enzyme linked immunosorbent assay
(ELISA) dapat digunakan untuk monitoring antibodi MG (Soeripto,2009).
MG dapat dibiakkan pada media buatan padat atau cair. Pertumbuhan
optimal pada media padat diperoleh pada pH 7,8 suhu 37°C-38°C dan
penambahan CO2. Koloninya sangat kecil dengan diameter 0,20-0,30 mm,
halus, bulat jernih dengan daerah yang menebal dan menonjol di tengahnya.
M.gallisepticum memfermentasi glukosa dan maltosa menjadi asam tanpa
pembentukan gas, mereduksi 2,3,5- triphenil-tetrazolium chloride serta
menghemolisa eritrosit kuda. Selain itu M.gallisepticum dapat mengaglutinasi
eritrosit marmut, ayam dan kalkun. Pada medium padat koloni M.gallisepticum
dapat mengabsorbsi eritosit dan sel epitel trakea ayam dan kalkun, marmut,
tikus dan kera (Direktorat Kesehatan Hewan, 2014).
Diagnosa pada ayam atau kalkun yang terinfeksi M. gallisepticum dapat
dilakukan dengan isolasi dan identifikasi organisme, DNA atau antibodi
humoral spesifiknya. Metode uji dapat dilakukan dengan identifikasi agen
penyebab dan/atau dengan uji serologiss sebagai berikut (Direktorat Kesehatan
Hewan, 2014):
1). Identifikasi agen penyebab CRD dapat dilakukan dengan:
a. Indirect Fluorecent Antibody Technique (FAT)
b. Growth Inhibition Test
c. Metoda penentuan DNA
2). Uji serologis dapat dilakukan dengan:
a. Uji Aglutinasi serum cepat (Rapid serum aglutination test)
b. Uji hambat hemaglutinasi atau Hemaglutination inhibition test (HI)
c. Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay (ELISA).
e. Pengendalian dan Pencegahan
Pengobatan terhadap CRD sudah sering dilakukan tetapi sampai saat ini
CRD masih tersebar di seluruh dunia. MG diketahui tidak memiliki dinding sel
sehingga pengobatan tidak bisa dilakukan dengan menggunakan penisillin dan
derivatnya karena daya kerja antibiotika ini pada dinding sel. Pengobatan
biasanya dilakukan dengan menggunakan antibiotika makrolid seperti tiamulin,
tylosin, lincomycin, oxytetracyclin dan enrofloxacin yang memiliki daya kerja
menghambat sintesis protein. Pengobatan ini hanya akan bermanfaat pada
tahap permulaan penyakit, untuk mencegah terjadinya radang pada air sac atau
sinus. Sebaiknya diberi pengobatan suportif seperti pemberian vitamin yang
bertujuan untuk mempercepat proses kesembuhan. Pengobatan yang terus
menerus dengan obat yang sama tidak disarankan, karena dapat menyebabkan
resistensi serta meninggalkan residu yang berbahaya bagi konsumen produk
ayam (Soeripto,2009).
Perlu dikembangkan program kontrol kesehatan untuk pencegahan
CRD pada ayam secara nasional, sehingga dapat dikontrol penyebarannya. Bila
ditemukan CRD di laporkan kepada Dinas yang membidangi fungsi Peternakan
dan Kesehatan Hewan setempat dan di teruskan ke Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan. Infeksi MG dapat disebarkan secara
vertikal, oleh karena itu untuk mendapatkan ayam yang bebas dari infeksi,
kualitas anak ayam harus berasal dari induk yang bebas infeksi MG. Kondisi
ini sulit dipenuhi di Indonesia karena pada umumnya peternakan ayam
pembibit tidak ada yang bebas dari CRD (Direktorat Kesehatan Hewan, 2014).
Untuk memutus mata rantai bibit penyakit yang masuk ke dalam
peternakan maka program biosekuriti harus diterapkan secara konsisten.
Program ini meliputi pengawasan ketat terhadap lalu lintas ternak, produk
ternak, pekerja, peralatan dan kendaraan yang masuk ke dalam kawasan
peternak. Program dekontaminasi terhadap kandang, peralatan, pakaian
pekerja, kendaraan serta orang yang masuk ke dalam wilayah peternakan harus
diterapkan dengan ketat. Fumigasi terhadap kandang- kandang yang habis
dipakai harus dilakukan dan dibiarkan selama 4 – 6 minggu sebelum digunakan
kembali. Pembakaran dan penguburan terhadap bangkai ayam, telur, kotoran
ternak serta pakan yang terkontaminasi agen infeksi harus dilakukan
(Soeripto,2009).
Dilakukan perbaikan manajemen seperti pengaturan kepadatan populasi
ayam. Kepadatan populasi ini menyebabkan lingkungan udara menjadi rentan
terhadap penyebaran infeksi di daerah tersebut. Pada kondisi seperti ini sangat
diperlukan program khusus untuk pencegahan penyakit. Monitoring dengan uji
serologi untuk mendeteksi terjadinya infeksi harus dilakukan secara berkala,
sehingga jika terdeteksi adaya infeksi, MG maka pengobatan dini dapat segera
dilakukan. Uji serologi seperti SAC, IH dan ELISA sangat baik untuk
monitoring infeksi (Szathmary dan Stipkovits 2006).
Vaksinasi merupakan program yang tepat untuk pencegahan. Generasi
awal program vaksinasi dimulai dengan pengembangan vaksin bakterin atau
killed vaccine, Vaksin ini dilaporkan mampu mencegah airsacculitis dan
penurunan produksi telur sekalipun hasilnya masih bervariasi. Kelebihan
vaksin bakterin adalah tidak menyebarkan infeksi, tetapi efikasinya rendah dan
tidak bertahan lama sehingga diperlukan vaksin ulang atau booster. Untuk
meningkatkan potensi vaksin bakterin diperlukan adjuvant (Soeripto,2009).
Vaksinasi biasanya untuk menghindari penurunan produksi telur pada
peternakan ayam komersial, namun dapat juga dimanfaatkan untuk mengurangi
tingkat penyebaran penyakit ini pada breeder. Vaksinasi penting dilaksanakan
sebelum kelompok tersebut terinfeksi dengan M.gallisepticum. Vaksin inaktif
terdiri dari suspensi M.gallisepticum yang pekat pada emulsi minyak.
Perlakuan dengan vaksin inaktif untuk pertumbuhan ayam dara pada umur 12-
16 minggu, cukup dengan pemberian dosis tunggal secara subkutan dan untuk
mencegah turunnya produksi (Direktorat Kesehatan Hewan, 2014).
2.2.2 Snot/ Coryza
a. Etiologi
Penyakit Coryza disebabkan oleh bakteri berbentuk batang pendek
(Coccobacilli) yang bersifat pleomorfik (adanya berbagai bentuk dalam spesies
yang sama), bersifat gram negatif yang dinamakan Haemophilus gallinarum.
Bakteri ini akan sangat baik tumbuhnya bila dibiakkan dalam BAP (Blod Agar
Plate). Sifat alami bakteri ini tidak bisa hidup lama, dan akan mati dalam waktu
4-5 jam. Bakteri ini bersifat polar, non-motil, tidak membentuk spora, fakultatif
anaerob, dan membutuhkan media khusus untuk tumbuh. Bakteri Haemophilus
paragallinarum merupakan organisme yang mudah mati secra cepat di luar
tubuh hospes. Eksudat yang mengandung bakteri ini yang dicampur dengan air
akan mengalami inaktivasi dalam waktu 4 jam pada temperatur yang fluktuatif

dan akan tetap infeksius selama 24 jam pada temperatur 37oC, bahkan dapat
sampai 48 jam (Tabbu, 2000).
Pada saat ini dikenal sekurang-kurangnya 3 serotipe
H.paragallinarum. Ketiga serotipe (A,B dan C) memiliki antigen bersama, oleh
karena itu uji aglutinasi dengan antigen yang dibuat dari salah satu serotipe
dapat dipakai sebagai cara diagnosa untuk ketiga serotipe tersebut. Ayam yang
sembuh dari serangan penyakit akan menjadi kebal untuk serotipe yang sama.
Saat ini di berbagai negara maju, beberapa pengusaha berusaha membuat vaksin
H.paragallinarum, akan tetapi sebegitu jauh belum ada yang benar-benar dapat
efektif (Shankar, 2008).
b. Patogenesa
Penularan penyakit coryza terjadi secara horizontal, ayam yang
menderita infeksi secara kronis atau carrier merupakan salah satu sumber utama
penularan penyakit. Infectous coryza ditemukan saat pergantian musim atau
diakibatkan stress, misalnya akibat cuaca, lingkungan kandang, nutrisi,
perlakuan vaksinasi dan penyakit imunosupresif. Penyakit ini dapat menular
secara cepat dari ayam satu ke ayam lainnya dalam satu flock atau dari flock
satu ke flock yang lain (Blackall, 2008).
Penularan dapat terjadi secara tidak langsung melalui kontak dengan
pakan atau berbgai bahan lain, alat/ perlengkapan peternakan atau pekerja yang
tercemar bakteri penyebab infectious coryza. Penularan melalui udara dapat
terjadi, jika kandang ayam terletak berdekatan sehingga udara yang tercemar
debu/ kotoran yang mengandung bakteri H. Paragallinarum dihirup oleh ayam
yang peka (Blackall and Soriano, 2008).
c. Gejala Klinis
Infeksi snot dapat dijumpai pada setiap peternakan unggas pada saat
pergantian musim. Morbiditasnya dari penyakit snot bervariasi 1-20% dan
mortalitasnya dapat diabaikan bila tidak terjadi komplikasi dengan penyakit lain.
Penyakit ini menyerang ayam sejak umur 3 minggu sampai bereproduksi
(Tabbu, 2000).
Agen penyebab snot adalah H.paragallinarum, serangan
H.paragallinarum memperlihatkan gejala khas, cairan mukoid dari rongga
hidung yang berbau busuk dan sedikit berbusa. Cairan hidung yang mengering
sering terlihat disekitar rongga hidung sampai di bagian atas paruh. Bakteri
H.paragallinarum tidak bisa hidup lama (tidak lebih 12 jam) di luar induk
semang. Samapel atau ayam utuh yang akan diisolasi bakteri harus sesegera
mungkin dikirim ke laboratorium. Proses pengiriman sampel yang harus
diperhatikan antara lain : sampel untuk pemeriksaan mikrobiologis harus dalam
keadaan segar dan dingin (dimasukkan dalam kontainer yang berisi es), swab
atau organ dimasukkan dalam media transpor, sedangkan organ untuk
pemeriksan histopatologi diawetkan dlam Buffer Neutral Formalin (BNF) 10%
(Bragg, 2004).
Gejala-gejala klinis dari penyakit ini ditandai dengan keluarnya eksudat
dari hidung yang mula-mula berwarna kuning dan encer (serous), dalam waktu
yang lama berubah menjadi kental dan bernanah dengan bau yang khas
(mucopurulent). Bagian paruh di sekitar hidung tampak kotor atau berkerak
dikarenakan sisa pakan yang menempel pada eksudat. Sinus infraorbitalis
membengkak, yang ditandai dengan pembengkakan sekitar mata dan muka.
Suara ngorok sering terdengar dan ayam penderita agak sulit bernafas.
Penurunan nafsu makan dan diare sering terjadi, sehingga pertumbuhan ayam
terhambat dan kerdil (Bragg, 2004).
d. Diagnosa
Diagnosa perlu didasarkan atas anamnesa dan sejarah penyakit
peternakan, gejala klinis dan patologi anatomi, yang terpenting harus didasarkan
atas isolasi dan identifikasi penyakit. Identifikasi penyakitnya dengan fenomena
satelit pada pemupukan bersama Staphylococcus epidermis atau Staphylococcus
aureus yang ditanam pada BAP (Blod agar plate). Disamping itu
H.paragallinarum adalah salah satu bakteri yang sensitif terhadap sulfathiazone,
oleh karena itu bila sembuh diobati dengan sulfathiazone maka diagnosa
menjadi positif palsu, akan tetapi bila tidak sembuh belum tentu bahwa ayam
tersebut tidak menderita coryza, namun tidak menutup kemungkinan ada infeksi
campuran dengan penyakit pernafasan lainnya (Akter et al, 2013).
e. Pengendalian dan Pencegahan
Pengendalian yang dilakukan yaitu apabila dalam suatu peternakan
tertular, supaya segera dilakukan pengobatan, ayam yang mati harus dibakar
pada tempat pembakaran khusus. Bila vaksin inaktif yang diperdagangkan sudah
cukup efektif makan vaksinasi yang teratur perlu dilakukan. Perlu memperbaiki
dalam manajemen peternakannya untuk mengendalikan penyakit antara lain
sanitasi kandang, biosecurity, dan pemberian obat-obatan yang bersifat
pencegahan (Shankar, 2008).
Pencegahan dapat dilakukan dengan pengurangan jumlah kelompok
umur yang sama dalam suatu lokasi peternakan sebaiknya dikurangi untuk
menghindari penularan ke ayam lain. Penyakit ini dapat dicegah dengan
pemberian vaksin inaktif sekitar 8-11 minggu dan 3-4 minggu sebelum produksi.
Pemberian vaksin inaktif pada ayam petelur atau parent stocks, pada fase
grower dan menjelang produksi telur. Sehubungan dengan kenyataan bahwa
vaksin snot hanya memberikan kekebalan silang yang minimal diantara berbagai
serotipe H.paragallinarum, maka vaksin yang terbaik seharusnya bersifat
otogenus atau homolog dengan bakteri penyebab snot yang terdapat di lapangan.
Dalam hal ini menggunakan vaksin snot yang mempunyai serotipe yang sama
atau serotipe yang dapat mengadakan reaksi silang dengan serotipe
H.paragallinarum yang berada di lapangan (Shankar, 2008).
2.3 Media Pertumbuhan Bakteri
Media adalah campuran nutrien atau zat makanan yang dibutuhkan oleh
mikroorganisme untuk pertumbuhan. Media selain untuk menumbuhkan mikroba juga
dibutuhkan untuk isolasi & inokulasi mikroba serta untuk uji fisiologi dan biokimia
mikroba. Media yang baik untuk pertumbuhan mikroba adalah yang sesuai dengan
lingkungan pertumbuhan mikroba tersebut, yaitu : susunan makanannya dimana media
harus mengandung air untuk menjaga kelembaban dan untuk pertukaran zat atau
metabolisme, juga mengandung sumber karbon, mineral, vitamin dan gas, tekanan
osmose yaitu harus isotonik, derajat keasaman/pH umumnya netral tapi ada juga yang
alkali, temperatur harus sesuai dan steril (Yusmaniar, dkk., 2017). Menurut Jawet, et al.,
(2001) berdasarkan bentuknyanya media dibedakan menjadi:
a. Media Cair
Media cair digunakan untuk pembenihan diperkaya sebelum disebarke media
padat, tidak cocok untuk isolasi mikroba dan tidak dapat dipakai untuk mempelajari koloni
kuman. Contoh media cair Nutrient broth (NB); Pepton dilution fluid (PDF); Lactose
Broth (LB); Mac Conkey Broth (MCB), dan lain-lain. Pepton merupakan protein yang
diperoleh dari peruraian enzim hidrolitik seperti pepsin, tripsin, papain. Pepton
mengandung Nitrogen dan bersifat sebagai larutan penyangga, beberapa kuman dapat
tumbuh dalam larutan pepton 4%.
b. Media Semi Padat
Adalah media yang mengandung agar sebesar 0.5 % untuk melihat gerak bakteri
c. Media Padat
Media padat mengandung komposisi agar sebesar 15 %. Media padat digunakan
untuk mempelajari koloni kuman, untuk isolasi dan untuk memperoleh biakan murni.
Contoh media padat Nutrient Agar (NA); Potato Detrose Agar (PDA); Plate Count Agar
(PCA), dan lain-lain.
d. Media Selektif
Media selektif merupakan media cair yang ditambahkan zat tertentu untuk
menumbuhkan mikroorganisme tertentu dan diberikan penghambat untuk mikroba yang
tidak diinginkan. Contoh media yang ditambahkan ampisilin untuk menghambat mikroba
lainnya.
Sedangkan berdasarkan tujuan penggunaannya media dibedakan menjadi
(Jawet, et al., 2001) :
a. Media Transportasi, yaitu media yang digunakan untuk mengirim dan menyimpan
sampel sementara. Contoh media: Carry and Blaire.
b. Media Umum, media yang bias ditumbuhi hamper semua jenis bakteri, meliputi media
diperkaya dan media sederhana. Media diperkaya (enrichment) media yang digunakan
untuk memperbanyak atau menumbuhkan bakteri lebih banyak. Contoh media: blood
agar, selenith broth, alkalis pepton water, BHI broth, BHI agar. Sedangkan contoh
media sederhana yaitu nutrient agar, nutrient broth, dan pepton water.
c. Media Selektif, media yang digunakan untuk menumbuhkan bakteri tertentu. Contoh
media EMBA (eosin methylene blue agar), MSA (manitol salt agar), BSA (bismuth
sulphate agar), SSA (salmonella shigella agar).
d. Media Differensial, media yang digunakan untuk membedakan tipe bakteri, contoh
media MCA ( Mac Conkey agar) dan Endo Agar.
e. Media Identifikasi, media untuk menentukan jenis bakteri, biasanya digunakan beberapa
jenis media bersama-sama. Contoh media yaitu media gula-gula , simmon's citrate agar,
SIM medium (Sulfide-Indol-Motility), TSIA (triple sugar iron agar).
2.4 Kultur Bakteri
Gerusan jaringan yang didapat adalah gerusan paru-paru, jantung, hepar dan
pangkal trakea. Gerusan tersebut kemudian di kultur pada media Blood Agar (BA), dan
gerusan hepar di kultur pada media MacConkay Agar (MCA). Sedangkan swab hidung di
kultur pada media Coklat Agar. Masing-masing media dibagi menjadi tiga kuadran dan
dikultur dengan menggunakan ose bulat. Kultur pada media dilakukan secara aseptis.
Media yang sudah di kultur kemudian di inkubasi selama 24 jam pada suhu 37º C.
a. MacConkey Agar (MCA)
Mac Conkey Agar termasuk media diferensial. Media yang digunakan untuk
membedakan bakteri golongan Enterobacteriaceae yang dapat memfermentasikan laktosa
(lactoce fermented) dan tidak memfermentasikan laktosa (non lactose fermented), dari
bakteri berbentuk batang, gram negatif. Media ini mengandung laktosa dan indikator
neutral red, sehingga bakteri yang positif (meragikan laktosa) akan berwarna merah dan
yang negatif tidak berwarna (colourless). Contoh bakteri yang positif (E. coli, Klebsiella,
Enterobacter), sedangkan bakteri yang negatif (Salmonella, Shigella, Proteus,
Pseudomonas) (Rosilawati, 2011).
b. Blood Agar (BA)
Media diperkaya yang digunakan untuk menumbuhkan hampir semua jenis bakteri
yang sulit ditumbuhkan pada media umum. Blood Agar membedakan bakteri hemolitik dan
non-hemolitik yaitu berdasarkan kemampuan mereka untuk melisiskan sel-sel darah merah.
Ada tiga jenis hemolisis yaitu beta hemolisis, alfa hemolisis dan gamma hemolisis. Beta
hemolisis merupakan lisis lengkap sel darah merah dan hemoglobin. Alfa hemolisis
mengacu pada lisis parsial/ lisis sebagian dari sel darah merah dan hemoglobin. Hal ini
menghasilkan perubahan warna disekitar menjadi abu-abu kehijauan. Gamma hemolisis
yaitu tidak terjadi hemolisis dimana tidak ada perubahan warna dalam media (Rosilawati,
2011.
2.5 Uji Identifikasi Bakteri
1. Uji TSIA (Triple Sugar Iron Agar)
Uji TSIA (Triple Sugar Iron Agar) bertujuan untuk membedakan jenis bakteri
berdasarkan kemampuan memecahkan dextrose, laktosa, sukrosa dan pembebasan sulfida,
selain itu uji TSIA berfungsi untuk mengetahui apakah bakteri tersebut menghasilkan gas,
H2S atau tidak. Media yang digunakan mempunyai dua bagian, yaitu slant (miring) dan
butt (tusuk). Pada mdeia TSIA terdapat asam amino metionin dan sistein, jika bkteri
menfermentasi kedua asam amino ini, maka gugus S akan keluar dan gugus S akan

bergabung dengan H2O membentuk H2S. Selanjutnya H2S bergabung dengan Fe2+
membentuk FeS berwarna hitam dan mengendap (Buchanan and Gibbons, 2003).
2. Uji gula
Uji gula bertujuan untuk mendeterminasi kemampuan bakteri dalam mendegradasi
gula dan menghasilkan asam organik yang berasal dari tiaptiap jenis gula, yaitu glukosa,
sukrosa, maltosa, arabinosa, manitol dan inositol. Media gula- gula ini terpisah dalam lima
tabung yang berbeda dan media yang digunakan adalah masing-masing gula dengan
konsetrasi 1% dalam pepton. Masing-masing gula ditambahkan indikator phenol red.
Interpretasi hasil :
Hasil negatif (-), jika tidak terjadi perubahan warna media dari merah menjadi kuning,
artinya bakteri tidak memfermentasi gula.
Hasil positif (+), jika terjadi perubahan warna media dari merah menjadi kuning, artinya
bakteri memfermentasi gula ditandai dengan membentuk tinta pada tutup kapas yang
berbeda-beda.
Untuk glukosa tidak berwarna, laktosa berwarna ungu, maltosa berwarna merah, manitol
berwarna hijau, dan sukrosa berwarna biru (Adam, 2001)
3. Uji Motilitas
Media yang digunakan adalah media yang bersifat semi solid dengan kandungan
agar-agar 0,2-0,4%. Tujuan dari uji ini adalah untuk mengetahui motilitas bakteri. Dapat
menggunakan media MO (Motilitas Ornitin) atau SIM (Sulfida Indol Motility). Pada
media SIM selain untuk melihat motilitas bisa juga untuk test indol dan pembentukan
H2S. Interpretasi hasil :
Hasil negatif (-), jika terlihat adanya penyebaran yang berwarna putih akar hanya pada
bekas tusukan inokulasi.
Hasil positif (+), jika terlihat adanya penyebaran yang berwarna putih akar disekitar
inokulasi. Hal ini menunjukan adanya pergerakan dari bakteri yang diinokulasikan, yang
berarti bahwa bakteri ini memiliki flagel (Burrows, et al., 2004).
4. Uji Indol
Uji indol digunakan untuk mengetahui apakah bakteri mempunyai enzim
triptophanase sehingga bakteri tersebut mampu mengoksidasi asam amino triptophan
membentuk indol. Produksi indol di dalam media dimungkinkan karena adanya
tryptophan. Tryptophan adalah asam amino esensial, yang teroksidasi oleh beberapa
bakteri yang mengakibatkan pembentukan indol, asam piruvat, dan amonia. Adanya indol
dapat diketahui dengan penambahan reagen Ehlich/Lovac’s yang berisi paradimetil amino
bensaldehid. Interpretasi hasil :
Negatif (-), jika tidak terbentuk lapisan cincin berwarna merah pada permukaan biakan,
artinya bakteri ini tidak membentuk indol dari triptophan sebagai sumber karbon.
Positif (+),jika terbentuk lapisan cincin berwarna merah pada permukaan biakan, artinya
bakteri ini membentuk indol dari triptophan sebagai sumber karbon (Cowan,2004).
5. Uji Sitrat
Media yang dipakai adalah Simons Sitrat. Tujuan dari uji ini adalah untuk
mendeteksi kemampuan suatu organisme untuk memanfaatkan sebagai satu-satunya
sumber karbon dan energi. Jika bakteri mampu menggunakan sitrat sebagai sumber
karbonnya maka akan menaikan pH dan mengubah warna medium biakan dari hijau
menjadi biru (Ratna, 2012).
Adam, M.r. 2001. Microbiology of Fermented Food. New York: Elsivier Applied
Science Publisher, Ltd.
Buchanan, R.E and Gibbons, N.E. 2003. Bergeys Manual of Determinative Bacteriology.
USA: The William & Wilkins Compsny Baltimore.
Burrows, W., J.M. Moulder, and R.M. Lewert. 2004. Textbook of Microbiology.
Philadelphia: W.B. Saunders Company.
Cowan, S.T. 2004. Manual for the Identification of Medical Fungi. London: Cambridge
University Press
Jawet, Melnick, and Adelberg. 2001. Medical Microbiology, ed. 22. California Appleton
and Lange. [20 Mei 2018]
Rosilawati E., R. Ratnasari, H.E. Narumi, Suryanie., W. Tyasningsih, S. Chusniati. 2011.
Buku Ajar Mikrobiologi I. Cetakan I. AUP. 177-183.
Tabbu, R. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya Penyakit Bacterial, Mikal
dan Viral, Vol. 1. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Wiedosari, E. dan S. Wahyuwardani. 2015. Studi Kasus Penyakit Ayam Pedaging Di
Kabupaten Sukabumi dan Bogor. Jurnal Kedokteran Hewan. Vol: 9 No: 1. ISSN:
1978-225X. Hal: 9.
Yusmaniar, Wardiyah, dan K. Nida.2017.Mikrobiologi dan Parasitologi. Bahan Ajar
Farmasi. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. hal: 12-14
Yuwanta, Tri. 2000. Beberapa Metode Praktis Penetasan Telur. Fakultas Peternakan.
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai