Rongga udara tunggal adalah rongga udara klavikularis yang terletak di tengah-
tengah antara kedua bagian paru-paru dan berhubungan dengan paru-paru.
Fungsi rongga udara adalah
a. membantu paru-paru unruk pernapasan
b. meringankan tubuh saat terbang
c. membantu mengapungkan tubuh saat unggas terbang (di udara)
d. membantu difusi air dari darah untuk diekskresikan lewat paru-paru sebagai uap air.
2.2
Penyakit
Sistem
Respirasi
pada
Ayam
2.2.1
Chronic
dan akan tetap infeksius selama 24 jam pada temperatur 37oC, bahkan dapat
sampai 48 jam (Tabbu, 2000).
Pada saat ini dikenal sekurang-kurangnya 3 serotipe
H.paragallinarum. Ketiga serotipe (A,B dan C) memiliki antigen bersama, oleh
karena itu uji aglutinasi dengan antigen yang dibuat dari salah satu serotipe
dapat dipakai sebagai cara diagnosa untuk ketiga serotipe tersebut. Ayam yang
sembuh dari serangan penyakit akan menjadi kebal untuk serotipe yang sama.
Saat ini di berbagai negara maju, beberapa pengusaha berusaha membuat vaksin
H.paragallinarum, akan tetapi sebegitu jauh belum ada yang benar-benar dapat
efektif (Shankar, 2008).
b. Patogenesa
Penularan penyakit coryza terjadi secara horizontal, ayam yang
menderita infeksi secara kronis atau carrier merupakan salah satu sumber utama
penularan penyakit. Infectous coryza ditemukan saat pergantian musim atau
diakibatkan stress, misalnya akibat cuaca, lingkungan kandang, nutrisi,
perlakuan vaksinasi dan penyakit imunosupresif. Penyakit ini dapat menular
secara cepat dari ayam satu ke ayam lainnya dalam satu flock atau dari flock
satu ke flock yang lain (Blackall, 2008).
Penularan dapat terjadi secara tidak langsung melalui kontak dengan
pakan atau berbgai bahan lain, alat/ perlengkapan peternakan atau pekerja yang
tercemar bakteri penyebab infectious coryza. Penularan melalui udara dapat
terjadi, jika kandang ayam terletak berdekatan sehingga udara yang tercemar
debu/ kotoran yang mengandung bakteri H. Paragallinarum dihirup oleh ayam
yang peka (Blackall and Soriano, 2008).
c. Gejala Klinis
Infeksi snot dapat dijumpai pada setiap peternakan unggas pada saat
pergantian musim. Morbiditasnya dari penyakit snot bervariasi 1-20% dan
mortalitasnya dapat diabaikan bila tidak terjadi komplikasi dengan penyakit lain.
Penyakit ini menyerang ayam sejak umur 3 minggu sampai bereproduksi
(Tabbu, 2000).
Agen penyebab snot adalah H.paragallinarum, serangan
H.paragallinarum memperlihatkan gejala khas, cairan mukoid dari rongga
hidung yang berbau busuk dan sedikit berbusa. Cairan hidung yang mengering
sering terlihat disekitar rongga hidung sampai di bagian atas paruh. Bakteri
H.paragallinarum tidak bisa hidup lama (tidak lebih 12 jam) di luar induk
semang. Samapel atau ayam utuh yang akan diisolasi bakteri harus sesegera
mungkin dikirim ke laboratorium. Proses pengiriman sampel yang harus
diperhatikan antara lain : sampel untuk pemeriksaan mikrobiologis harus dalam
keadaan segar dan dingin (dimasukkan dalam kontainer yang berisi es), swab
atau organ dimasukkan dalam media transpor, sedangkan organ untuk
pemeriksan histopatologi diawetkan dlam Buffer Neutral Formalin (BNF) 10%
(Bragg, 2004).
Gejala-gejala klinis dari penyakit ini ditandai dengan keluarnya eksudat
dari hidung yang mula-mula berwarna kuning dan encer (serous), dalam waktu
yang lama berubah menjadi kental dan bernanah dengan bau yang khas
(mucopurulent). Bagian paruh di sekitar hidung tampak kotor atau berkerak
dikarenakan sisa pakan yang menempel pada eksudat. Sinus infraorbitalis
membengkak, yang ditandai dengan pembengkakan sekitar mata dan muka.
Suara ngorok sering terdengar dan ayam penderita agak sulit bernafas.
Penurunan nafsu makan dan diare sering terjadi, sehingga pertumbuhan ayam
terhambat dan kerdil (Bragg, 2004).
d. Diagnosa
Diagnosa perlu didasarkan atas anamnesa dan sejarah penyakit
peternakan, gejala klinis dan patologi anatomi, yang terpenting harus didasarkan
atas isolasi dan identifikasi penyakit. Identifikasi penyakitnya dengan fenomena
satelit pada pemupukan bersama Staphylococcus epidermis atau Staphylococcus
aureus yang ditanam pada BAP (Blod agar plate). Disamping itu
H.paragallinarum adalah salah satu bakteri yang sensitif terhadap sulfathiazone,
oleh karena itu bila sembuh diobati dengan sulfathiazone maka diagnosa
menjadi positif palsu, akan tetapi bila tidak sembuh belum tentu bahwa ayam
tersebut tidak menderita coryza, namun tidak menutup kemungkinan ada infeksi
campuran dengan penyakit pernafasan lainnya (Akter et al, 2013).
e. Pengendalian dan Pencegahan
Pengendalian yang dilakukan yaitu apabila dalam suatu peternakan
tertular, supaya segera dilakukan pengobatan, ayam yang mati harus dibakar
pada tempat pembakaran khusus. Bila vaksin inaktif yang diperdagangkan sudah
cukup efektif makan vaksinasi yang teratur perlu dilakukan. Perlu memperbaiki
dalam manajemen peternakannya untuk mengendalikan penyakit antara lain
sanitasi kandang, biosecurity, dan pemberian obat-obatan yang bersifat
pencegahan (Shankar, 2008).
Pencegahan dapat dilakukan dengan pengurangan jumlah kelompok
umur yang sama dalam suatu lokasi peternakan sebaiknya dikurangi untuk
menghindari penularan ke ayam lain. Penyakit ini dapat dicegah dengan
pemberian vaksin inaktif sekitar 8-11 minggu dan 3-4 minggu sebelum produksi.
Pemberian vaksin inaktif pada ayam petelur atau parent stocks, pada fase
grower dan menjelang produksi telur. Sehubungan dengan kenyataan bahwa
vaksin snot hanya memberikan kekebalan silang yang minimal diantara berbagai
serotipe H.paragallinarum, maka vaksin yang terbaik seharusnya bersifat
otogenus atau homolog dengan bakteri penyebab snot yang terdapat di lapangan.
Dalam hal ini menggunakan vaksin snot yang mempunyai serotipe yang sama
atau serotipe yang dapat mengadakan reaksi silang dengan serotipe
H.paragallinarum yang berada di lapangan (Shankar, 2008).
2.3 Media Pertumbuhan Bakteri
Media adalah campuran nutrien atau zat makanan yang dibutuhkan oleh
mikroorganisme untuk pertumbuhan. Media selain untuk menumbuhkan mikroba juga
dibutuhkan untuk isolasi & inokulasi mikroba serta untuk uji fisiologi dan biokimia
mikroba. Media yang baik untuk pertumbuhan mikroba adalah yang sesuai dengan
lingkungan pertumbuhan mikroba tersebut, yaitu : susunan makanannya dimana media
harus mengandung air untuk menjaga kelembaban dan untuk pertukaran zat atau
metabolisme, juga mengandung sumber karbon, mineral, vitamin dan gas, tekanan
osmose yaitu harus isotonik, derajat keasaman/pH umumnya netral tapi ada juga yang
alkali, temperatur harus sesuai dan steril (Yusmaniar, dkk., 2017). Menurut Jawet, et al.,
(2001) berdasarkan bentuknyanya media dibedakan menjadi:
a. Media Cair
Media cair digunakan untuk pembenihan diperkaya sebelum disebarke media
padat, tidak cocok untuk isolasi mikroba dan tidak dapat dipakai untuk mempelajari koloni
kuman. Contoh media cair Nutrient broth (NB); Pepton dilution fluid (PDF); Lactose
Broth (LB); Mac Conkey Broth (MCB), dan lain-lain. Pepton merupakan protein yang
diperoleh dari peruraian enzim hidrolitik seperti pepsin, tripsin, papain. Pepton
mengandung Nitrogen dan bersifat sebagai larutan penyangga, beberapa kuman dapat
tumbuh dalam larutan pepton 4%.
b. Media Semi Padat
Adalah media yang mengandung agar sebesar 0.5 % untuk melihat gerak bakteri
c. Media Padat
Media padat mengandung komposisi agar sebesar 15 %. Media padat digunakan
untuk mempelajari koloni kuman, untuk isolasi dan untuk memperoleh biakan murni.
Contoh media padat Nutrient Agar (NA); Potato Detrose Agar (PDA); Plate Count Agar
(PCA), dan lain-lain.
d. Media Selektif
Media selektif merupakan media cair yang ditambahkan zat tertentu untuk
menumbuhkan mikroorganisme tertentu dan diberikan penghambat untuk mikroba yang
tidak diinginkan. Contoh media yang ditambahkan ampisilin untuk menghambat mikroba
lainnya.
Sedangkan berdasarkan tujuan penggunaannya media dibedakan menjadi
(Jawet, et al., 2001) :
a. Media Transportasi, yaitu media yang digunakan untuk mengirim dan menyimpan
sampel sementara. Contoh media: Carry and Blaire.
b. Media Umum, media yang bias ditumbuhi hamper semua jenis bakteri, meliputi media
diperkaya dan media sederhana. Media diperkaya (enrichment) media yang digunakan
untuk memperbanyak atau menumbuhkan bakteri lebih banyak. Contoh media: blood
agar, selenith broth, alkalis pepton water, BHI broth, BHI agar. Sedangkan contoh
media sederhana yaitu nutrient agar, nutrient broth, dan pepton water.
c. Media Selektif, media yang digunakan untuk menumbuhkan bakteri tertentu. Contoh
media EMBA (eosin methylene blue agar), MSA (manitol salt agar), BSA (bismuth
sulphate agar), SSA (salmonella shigella agar).
d. Media Differensial, media yang digunakan untuk membedakan tipe bakteri, contoh
media MCA ( Mac Conkey agar) dan Endo Agar.
e. Media Identifikasi, media untuk menentukan jenis bakteri, biasanya digunakan beberapa
jenis media bersama-sama. Contoh media yaitu media gula-gula , simmon's citrate agar,
SIM medium (Sulfide-Indol-Motility), TSIA (triple sugar iron agar).
2.4 Kultur Bakteri
Gerusan jaringan yang didapat adalah gerusan paru-paru, jantung, hepar dan
pangkal trakea. Gerusan tersebut kemudian di kultur pada media Blood Agar (BA), dan
gerusan hepar di kultur pada media MacConkay Agar (MCA). Sedangkan swab hidung di
kultur pada media Coklat Agar. Masing-masing media dibagi menjadi tiga kuadran dan
dikultur dengan menggunakan ose bulat. Kultur pada media dilakukan secara aseptis.
Media yang sudah di kultur kemudian di inkubasi selama 24 jam pada suhu 37º C.
a. MacConkey Agar (MCA)
Mac Conkey Agar termasuk media diferensial. Media yang digunakan untuk
membedakan bakteri golongan Enterobacteriaceae yang dapat memfermentasikan laktosa
(lactoce fermented) dan tidak memfermentasikan laktosa (non lactose fermented), dari
bakteri berbentuk batang, gram negatif. Media ini mengandung laktosa dan indikator
neutral red, sehingga bakteri yang positif (meragikan laktosa) akan berwarna merah dan
yang negatif tidak berwarna (colourless). Contoh bakteri yang positif (E. coli, Klebsiella,
Enterobacter), sedangkan bakteri yang negatif (Salmonella, Shigella, Proteus,
Pseudomonas) (Rosilawati, 2011).
b. Blood Agar (BA)
Media diperkaya yang digunakan untuk menumbuhkan hampir semua jenis bakteri
yang sulit ditumbuhkan pada media umum. Blood Agar membedakan bakteri hemolitik dan
non-hemolitik yaitu berdasarkan kemampuan mereka untuk melisiskan sel-sel darah merah.
Ada tiga jenis hemolisis yaitu beta hemolisis, alfa hemolisis dan gamma hemolisis. Beta
hemolisis merupakan lisis lengkap sel darah merah dan hemoglobin. Alfa hemolisis
mengacu pada lisis parsial/ lisis sebagian dari sel darah merah dan hemoglobin. Hal ini
menghasilkan perubahan warna disekitar menjadi abu-abu kehijauan. Gamma hemolisis
yaitu tidak terjadi hemolisis dimana tidak ada perubahan warna dalam media (Rosilawati,
2011.
2.5 Uji Identifikasi Bakteri
1. Uji TSIA (Triple Sugar Iron Agar)
Uji TSIA (Triple Sugar Iron Agar) bertujuan untuk membedakan jenis bakteri
berdasarkan kemampuan memecahkan dextrose, laktosa, sukrosa dan pembebasan sulfida,
selain itu uji TSIA berfungsi untuk mengetahui apakah bakteri tersebut menghasilkan gas,
H2S atau tidak. Media yang digunakan mempunyai dua bagian, yaitu slant (miring) dan
butt (tusuk). Pada mdeia TSIA terdapat asam amino metionin dan sistein, jika bkteri
menfermentasi kedua asam amino ini, maka gugus S akan keluar dan gugus S akan
bergabung dengan H2O membentuk H2S. Selanjutnya H2S bergabung dengan Fe2+
membentuk FeS berwarna hitam dan mengendap (Buchanan and Gibbons, 2003).
2. Uji gula
Uji gula bertujuan untuk mendeterminasi kemampuan bakteri dalam mendegradasi
gula dan menghasilkan asam organik yang berasal dari tiaptiap jenis gula, yaitu glukosa,
sukrosa, maltosa, arabinosa, manitol dan inositol. Media gula- gula ini terpisah dalam lima
tabung yang berbeda dan media yang digunakan adalah masing-masing gula dengan
konsetrasi 1% dalam pepton. Masing-masing gula ditambahkan indikator phenol red.
Interpretasi hasil :
Hasil negatif (-), jika tidak terjadi perubahan warna media dari merah menjadi kuning,
artinya bakteri tidak memfermentasi gula.
Hasil positif (+), jika terjadi perubahan warna media dari merah menjadi kuning, artinya
bakteri memfermentasi gula ditandai dengan membentuk tinta pada tutup kapas yang
berbeda-beda.
Untuk glukosa tidak berwarna, laktosa berwarna ungu, maltosa berwarna merah, manitol
berwarna hijau, dan sukrosa berwarna biru (Adam, 2001)
3. Uji Motilitas
Media yang digunakan adalah media yang bersifat semi solid dengan kandungan
agar-agar 0,2-0,4%. Tujuan dari uji ini adalah untuk mengetahui motilitas bakteri. Dapat
menggunakan media MO (Motilitas Ornitin) atau SIM (Sulfida Indol Motility). Pada
media SIM selain untuk melihat motilitas bisa juga untuk test indol dan pembentukan
H2S. Interpretasi hasil :
Hasil negatif (-), jika terlihat adanya penyebaran yang berwarna putih akar hanya pada
bekas tusukan inokulasi.
Hasil positif (+), jika terlihat adanya penyebaran yang berwarna putih akar disekitar
inokulasi. Hal ini menunjukan adanya pergerakan dari bakteri yang diinokulasikan, yang
berarti bahwa bakteri ini memiliki flagel (Burrows, et al., 2004).
4. Uji Indol
Uji indol digunakan untuk mengetahui apakah bakteri mempunyai enzim
triptophanase sehingga bakteri tersebut mampu mengoksidasi asam amino triptophan
membentuk indol. Produksi indol di dalam media dimungkinkan karena adanya
tryptophan. Tryptophan adalah asam amino esensial, yang teroksidasi oleh beberapa
bakteri yang mengakibatkan pembentukan indol, asam piruvat, dan amonia. Adanya indol
dapat diketahui dengan penambahan reagen Ehlich/Lovac’s yang berisi paradimetil amino
bensaldehid. Interpretasi hasil :
Negatif (-), jika tidak terbentuk lapisan cincin berwarna merah pada permukaan biakan,
artinya bakteri ini tidak membentuk indol dari triptophan sebagai sumber karbon.
Positif (+),jika terbentuk lapisan cincin berwarna merah pada permukaan biakan, artinya
bakteri ini membentuk indol dari triptophan sebagai sumber karbon (Cowan,2004).
5. Uji Sitrat
Media yang dipakai adalah Simons Sitrat. Tujuan dari uji ini adalah untuk
mendeteksi kemampuan suatu organisme untuk memanfaatkan sebagai satu-satunya
sumber karbon dan energi. Jika bakteri mampu menggunakan sitrat sebagai sumber
karbonnya maka akan menaikan pH dan mengubah warna medium biakan dari hijau
menjadi biru (Ratna, 2012).
Adam, M.r. 2001. Microbiology of Fermented Food. New York: Elsivier Applied
Science Publisher, Ltd.
Buchanan, R.E and Gibbons, N.E. 2003. Bergeys Manual of Determinative Bacteriology.
USA: The William & Wilkins Compsny Baltimore.
Burrows, W., J.M. Moulder, and R.M. Lewert. 2004. Textbook of Microbiology.
Philadelphia: W.B. Saunders Company.
Cowan, S.T. 2004. Manual for the Identification of Medical Fungi. London: Cambridge
University Press
Jawet, Melnick, and Adelberg. 2001. Medical Microbiology, ed. 22. California Appleton
and Lange. [20 Mei 2018]
Rosilawati E., R. Ratnasari, H.E. Narumi, Suryanie., W. Tyasningsih, S. Chusniati. 2011.
Buku Ajar Mikrobiologi I. Cetakan I. AUP. 177-183.
Tabbu, R. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya Penyakit Bacterial, Mikal
dan Viral, Vol. 1. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Wiedosari, E. dan S. Wahyuwardani. 2015. Studi Kasus Penyakit Ayam Pedaging Di
Kabupaten Sukabumi dan Bogor. Jurnal Kedokteran Hewan. Vol: 9 No: 1. ISSN:
1978-225X. Hal: 9.
Yusmaniar, Wardiyah, dan K. Nida.2017.Mikrobiologi dan Parasitologi. Bahan Ajar
Farmasi. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. hal: 12-14
Yuwanta, Tri. 2000. Beberapa Metode Praktis Penetasan Telur. Fakultas Peternakan.
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta