Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH HUKUM PERKAWINAN ADAT SASAK

Di SusunOleh :
ANDIKA EKA SYAPUTRA YUSUF 2017174201049

UNIVERSITAS 45 MATARAM
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wata΄ala, karena berkat rahmat-
Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang bertema “Hukum Kekerabatan Dan Waris Adat
Suku Sasak Lombok Nusa Tenggara Barat”. Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata
kuliah Hukum Kekerabatan dan Waris Adat .

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga
makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan makalah ini.

Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk
pengembangan Hukum Kekerabatan dan Waris Adat .

Mataram, November 2018

Penulis .

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL --------------------------------------------------------------------------------- i


KATA PENGANTAR -------------------------------------------------------------------------------- ii
DAFTAR ISI ------------------------------------------------------------------------------------------- iii
BAB I. PENDAHULUAN --------------------------------------------------------------------------- 1
1.1. Latar Belakang ------------------------------------------------------------------------------ 1
1.2. Rumusan Masalah--------------------------------------------------------------------------- 2
1.3. Tujuan Penulisan ---------------------------------------------------------------------------- 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ------------------------------------------------------------------ 3
A. Letak Geografis ------------------------------------------------------------------------------ 3
B. Asal Nama ------------------------------------------------------------------------------------ 4
C. Adat Istiadat ---------------------------------------------------------------------------------- 4
D. Agama ----------------------------------------------------------------------------------------- 5
E. Bahasa ----------------------------------------------------------------------------------------- 6
F. Mata Pencaharian ---------------------------------------------------------------------------- 6
G. Kebudayaan ----------------------------------------------------------------------------------- 6

BAB III. PEMBAHASAN --------------------------------------------------------------------------- 8


A. Sistem Kekerabatan Adat Suku Sasak --------------------------------------------------- 8
B. Tradisi dan Hukum Perkawinan Suku Sasak-------------------------------------------- 12
C. Pengaturan dan Ketentuan Pewarisan Suku Sasak ------------------------------------- 23

BAB 1V. PENUTUP ---------------------------------------------------------------------------------- 24


A. Saran -------------------------------------------------------------------------------------------- 24
B. Kesimpulan------------------------------------------------------------------------------------- 25

DAFTAR PUSTAKA -------------------------------------------------------------------------------- 26

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah negara yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa dan
suku daerah yang sangat begitu beragam. Di lihat dari segi bahasa, budaya, ras dan tata cara
adat yang berbeda. Sehingga, sangat di mungkinkan terdapatnya perbedaan dalam sistem
kekerabatan, sistem perkawinan, dan sistem pengaturan pewarisan adat setiap daerah. Yang
merupakan kekayaan kebudayan tiap masing-masing daerah.
Kebudayaan merupakan suatu sistem gagasan, rasa dan tanggapan serta karya yang
dihasilkan oleh manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan sebagai pemiliknya
yang didapat melalui belajar. Masyarakat dan kebudayaan memiliki hubungan keterkaitan
yang sangat erat dimana budaya lahir dari tingkah laku manusia yang lama kelamaan budaya
tersebut menjadi tradisi yang di junjung tinggi oleh masyarakat. Kebudayaan yang terdapat
dalam masyarakat di suatu daerah berbeda dengan kebudayaan daerah lain. Hal ini
disebabkan karena latar belakang sejarah masyarakat yang berbeda sehingga akan
mempengaruhi dalam cara bertingkah laku masyarakat dan sistem tata nilai yang di anutnya.
Dalam kebudayaan Indonesia secara keseluruhan, hal ini di anggap menjadi faktor
terpenting yang menyebabkan lahirnya beragam corak kebudayaan daerah yang di anut oleh
masyarakat berdasarkan sejarah terbentuknya dan letak geografis daerahnya masing-masing.
Kebudayaan daerah yang beraneka ragam menjadi suatu daya tarik dan menjadi kebudayaan
tersendiri karna setiap daerah memiliki berbagai keunikan dalam adat dan kebiasaannya.
Materi yang dibahas dalam makalah ini adalah salah satu suku yang terdapat di
Provinsi Nusa Tenggara Barat tepatnya di pulau Lombok. Di pulau Lombok memiliki
kekayaan budaya yang beraneka ragam dalam bentuk adat istiadat, seni tradisional, dan
bahasa daerah.
Masyarakatnya terdiri atas beberapa suku, seperti suku mbojo (Bima), dompu,
sumawa (Sumbawa), jawa, dan hindu. Adapun suku yang dibahas dalam makalah ini adalah
suku sasak . Sasak merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia.
Suku Sasak adalah penduduk asli pulau Lombok, sebuah pulau terletak disebelah
Timur Bali. Suku sasak adalah salah satu suku terbesar di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Sekitar 80% penduduk di pulau Lombok ini diduduki oleh suku sasak dan selebihnya adalah
suku lainnya, seperti suku mbojo (Bima), dompu, sumawa (Sumbawa), jawa, dan hindu. Suku
1
sasak mendiami seluruh pulau Lombok, yang tersebar di tiga kabupaten Lombok Barat,
Lombok Tengah, dan Lombok Timur.
Meskipun Lombok sangat dipengaruhi oleh budaya Bali yang mayoritas memeluk
agama Hindu Bali tetapi suku Sasak di Lombok mayoritas memeluk Islam. Uniknya pada
sebagian kecil masyarakat suku Sasak, terdapat praktik agama Islam yang agak berbeda
dengan Islam pada umumnya yakni Islam Wetu Telu, namun hanya berjumlah sekitar 1%
yang melakukan praktek ibadah seperti itu. Ada pula sedikit warga suku Sasak yang
menganut kepercayaan pra-Islam yang disebut dengan nama "sasak Boda".
Dari uraian latar belakang diatas, penulisan dalam makalah ini difokuskan pada
masyarakat dan kebudayaan suku sasak yang terdapat di pulau Lombok Nusa Tenggara
Barat.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana tradisi dan hukum perkawinan suku sasak ?
2. Bagaimana pengaturan dan ketentuan pewarisan dalam suku sasak ?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui dan memahami tradisi dan hukum perkawinan adat sasak Lombok
2. Mengetahui dan memahami pengaturan dan ketentuan pewarisan dalam suku
sasak Lombok

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tradisi dan Hukum Perkawinan Suku Sasak

Sistem perkawinan yang dianut oleh suku Sasak lebih mengarah ke sistem indogami.
Bahkan di beberapa tempat, terutama pada masa lampau, sistem indogami dilaksanakan
secara ketat yang kemudian melahirkan kawin paksa dan pengusiran (istilah sasaknya bolang)
terhadap “terutama” anak gadis. Walaupun kecenderungannya indogami namun sistem
eksogami tidak diharamkan oleh adat. Adat perkawinan suku sasak, telah mengalami distorsi
disana sini. Hal ini akibat penagaruh nilai-nilai baru, baik yang berasal dari agama Islam
maupun dari nilai-nilai barat.

a. Adat sebelum perkawinan

Pembatasan jodoh
Maksud dari pembatasan jodoh adalah mencarikan jodoh.Di sini orang tualah yang
berperan penting untuk menentukan jodoh yang terbaik buat anaknya, Di dalam pembatasan
jodoh ini adalah adat sasak lebih mendominasi melakukan perkawinan dalam kerabat sendiri
lebih baik jika di bandingkan dengan perkawinan dengan orang kerabat luar.Mereka
menginginkan kawin dengan minasa sekali baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.
Apabila seorang wanita kawin dengan anak menasanya baik menasa sekali maupun menasa
dua perkawinana dinamakan dengan bero toaq nina atau basa mengina.
Cara memilih jodoh, ada 2 cara memilih jodoh yang lazim dikalangan suku bangsa
sasak antara lain :
1. Kemele mesaq artinya atas dasar kemauan sendiri dari kedua belah pihak yang kawin
yang dilakukan dengan cara melarikan tetapi sebelum acara melarikan terlebih dahulu
antar gadis dan pemuda telah terjalin suatu hubungan cinta yang disebut dengan
meleang atau kemelean yang pada puncaknya kedua belah pihak menyetujui suatu
perkawinan. Para penuda dan gadis bertemu pada beberapa kesempatan yang
dijadikan kesempatan berkenalan pada waktu potong padi. Perkenalan pertama akan
berlanjut pada kunjungan kerumah gadis pada waktu malam yang bertujuan
mendapatkan kesempatan berbicara sambil merencanakan perkawinan di sebut

3
midang. Di sini akan di buat rencana-rencana tanpa di ikuti pembicaraan orang tua
kemudian pihak laki-laki member tahukan pada orang tuanya tentang pernilahannya
dengan si gadis, pemberitahuan ini bukan bermaksud meminta persetujuan dari orang
tua melainkan menyangkut penyediaan biaya perkawinan kelak.
2. Suka lokaq atau kemauan orang tua. Dengan cara ini di maksudkan bahwa orang tua
dari kedua belah pihak atau dari salah satu pihak aja yang aktif sedangkan baik
pemuda maupun gadis hanya bersikap pasif saja. Pekawinan suka lokaq seringkali
tidak di awali dengan masa meleang atau kemelean bahkan antara pemuda dan gadis
kemungkinan belum saling kenal mengenal satu dengan yang lain. Kebanyakan
dengan cara ini seringkali berakhir dengan perceraian karena lemahnya dasar ikatan
yang di miliki suatu perkawinan.

Cara memilih jodoh di atas , semakin tidak mendapat tempat. Generasi sasak
melukiskan suka lokaq tersebut sebagai kawin paksa. Pemuda-pemuda sasak menginginkan
perkawinan yang di dasarkan kepada kebebasan menentukan sendiri pilihan masing-masing
tanpa dikotori oleh intervensi siapa pun termasuk orang tua dan keluarga.
Bentuk-bentuk perkawinan
Suku bangsa sasak mengenal beberapa bentuk perkawinan, yang terbagi menjadi 5
yakni:
1. Lari bersama atau memaling atau merarik

Adat sasak khusunya di kandang koaq pada dasarnya adalah setia mengikuti
terselenggaranya lembaga perkawinan dengan melarikan, ikatan perkawinan tersebut
dinamakan merarik. Perkawinan ini di lakukan tanpa persetujuan dari orang tua yang pemuda
melarikan si gadis. Melarikan dimaksudkan sebagai permulaan dari tindakan pelaksanaan
perkawinan. Setelah si gadis di bawa lari dan disuruh tinggal di bale penyeboqan yang
tujuannya melanjutkan proses ikatan perkawinan agar si gadis benar-benar menjadi istri dari
pemuda yang membawa tersebut.
2. Memagah

Memagah atau memagel adalah bntuk perkawinan dengan cara melarikan tetapi
dengan cara paksa serta dilakukan pada siang hari. Seorang pemuda dengan di bantu oleh
beberapa temannya secara paksa membawa lari gadis ketika gadis tersebut terlepas dari
pengawasan oaring tuanya. Dalam hal ini kemungkinan yang terjadi meneruskan perkawinan
dengan lelaki yang memagahnya dan kedua menolaknya.

4
3. Nyerah hukum

Yang merupakan memempon artinya terjun dari atas. Bahwa pelaksanaan adat dan
upacara perkawinan yang di serahkan pada keluarga pihak gadis yang semua pelaksanaan
pernikahan biayanya dari pihak laki-laki yang barasal dari suku lain atau suku bangsa sasak
yang agak berlainan aji atau adatnya.
4. Kawin gantung atau kawin tadong

Maksud di sisni adalah perkawinan yang di tunda atau di gantung untuk beberapa
lama sampai salah seorang atau kedua anak yang kawin menjadi dewasa. Perkawinan
gantung ini di lakukan seperti biasa yakni upacara perkawinan dan ketentuan hukum islam
seperti wali atau maskawin semuanya di laksanakan. Hanya yang di tunda adalah hidup
bersama suami istri hingga mereka dewasa.

b. Upacara-upacara sebelum perkawinan

Di bawah ini akan di uraikan adat pemuda dan pemudi sebelum sampai keputusan
untuk melangsungkan perkawinan yaitu:
1. Meleang atau bekemelean

Acara ini di lakukan oleh para pemuda datang kerumah si gadis selepas pukul 17.30-
23.00 malam. Para pemuda yang mengunjungi rumah gadis duduk bersila di berugaq, si gadis
duduk dalam jarak beberapa meter dari pemuda yang midang.
Midang akan berakhir dengan lahirnya kesepakatan di antara kedua belah pihak untuk
melangsungkan perkawinan. Pada waktu meleang di berikan suatu pemberian dari laki-laki
kepada sigadis seperti pakaian, sabun, uang atau bahkan selembar sapu tangan saja.
Pemberian tersebut dilakukan dibawah tangan bahkan melalui seorang subandar dilombok
pemberian tersebut akan di kembalikan kepada pihak yang memberikannya apabila sigadis
kawin dengan laki-laki lain dan suaminyalah yang membayarnya karena di anggap
bertanggung jawab atas gagalnya perkawinana dengan orang yang mula-mula memberikan
pelamar tersebut.
2. Merarik atau memaling

Apabila seorang gadis sudah terangan untuk kawin dengan pemuda yang
mencintainya, langkah berikut adalah penentuan waktu bag mereka untuk lari bersama.

5
Waktu itu biasanya tidak lebih dari setahun setelah terug dan ada kalanya begitu terug hanya
beberapa hari kemudian si gadis sudah bersedia untuk lari bersama. Membawa lari gadis yang
sudah menyetujui suatu perkawian di sebut memaren atau memaling yang di laksanakan pada
waktu malam 6.30-7.30) faktor penyebab terjadinya perkawinan Merarik pada masyarakat
Suku sasak di lombok antara lain: Merupakan suatu kebiasaan yang sudah ditetapkan dan
diatur dalam hukum adat Suku Sasak .
a) Mengurangi terjadinya konflik diantara para pihak
dapat menghindari perpecahan dalam keluarga akibat pilihan tidak sesuai dengan
keinginan orang tua dan bebas memilih pasangan yang diinginkan
b) Pelaksanaan kawin merarik
pada masyarakat Suku Sasak di Lombok yaitu lari bersama antara laki-laki dan
perempuan yang saling mencintai atas keinginan bersama yang merupakan awal dari
prosesi adat
c) Akibat dari perkawinan merarik
menurut hukum adat Suku Sasak apabila terjadi penyimpangan maka akan diambil
tindakan hukum oleh Tetua adat yang berupa pembayaran denda
d) Cara penyelesaian
penyelesaian secara adat yang ditempuh masyarakat adat Suku Sasak apabila salah satu
pihak membatalkan perkawinan Merarik yang telah disepakati terlebih dahulu akan
diselesaikan melalui “Gundern” (musyawarah adat) yang diikuti dengan pembayaran
denda dan sanksi adat.
3. Nyebaq

Orang tua membiarkan anak gadisnya tidak kembali kerumah karena orang tua sudah
tau bahwa anaknya pasti di bawa oleh pemuda untuk dikawininya. Gadis tersebut di
sembunyikan dirumah keluaga pemuda dan tidak di perbolehkan untuk keluar rumah dan jika
sigadis keluar rumah maka pihak keluarga menganggap bahwa sipemuda menghinanya
karena baik pemberitahuan maupun pelaksanaan adat yang dituntut bagi laki-laki tersebut
belum dilakukan dengan ketentuan adat.
4. Sejati atau mesejati

Merupakan kegiatan pertama yang di lakukan oleh pihak gadis di bawa lari.
Selambat-lambatnya 3 hari setelah memaren di kirim pemberitahuan kepada orang tua sigadis
melalui kepala kampong (keliang) di mana sigadis dan orang tuanya berdomisilii. Pengertian

6
lain sejati adalah pemberitahuan oleh orang tua sigadis kepada kelian bahwa anaknya telah
hilang di ambil orang untuk dikawininya sacara sah.
5. Pemuput selabar

Merupakan hari yang telah di tentukan untuk melaksanakan pemuput selabar biasanya
3 hari setelah sejati.Upacara dimaksudkan untuk membicarakan jumlah ajigama dan ajikrama
sebagai upaya untuk dapat melangsungkan akad nikah atau berbagai upacara lainnya
menjelang akad nikah.istilah pemput selabar dipergunakan di kandang kaoq dan desa-desa
sekitarnya. Ajikrama adalah sejumlah pembayaran yang telah ditetapkan oleh adat.
6. Sorong serah

Merupakan upacara khusus untuk membayar ajikrama yang sudah di sepakati pada
waktu melakukan pemuput pelabar yang biasanya di lakukan setelah 5 hari pemuput pelabar
dan waktu tersebut digunakan oleh pihak keluarga si pemuda di persiapkan segala Sesuatu
yang di perlukan sebagai ajikrama dan kirangan. Upacara sorong serah adalah upacara yang
penting sebelum akad nikah.Sebelum upacar sorong serah di mulai oleh kyai dusun dilakukan
upacara merosoh gigi kepada kedua calon pengantin. Upacara merosoh gigi artinya
meratakan gig dengan alat kikir sebagai tanda bahwa kedua calon mempelai sudah dewasa
jika upacara merosoh gigi telah dilaksanakan barilah di persiapkan sebuah rombongan yang
akan pergi kerumah calon pengantin wanita berupa jumlah uang dan barang dan setelah tiba
disana akan dijelaskan maksud kedatangan calon pengantin dengan menggunakan kalimat-
kalimat yang resmi
7. Naekang lekoq

Merupakan upacara yang dilakukan oleh dua orang dari anggota keluarga terdekat
dari pihak laki-laki dan wanita. Utusan tersebut membawa bakul kecil yang didalamnya diisi
sirih, pinang, lampu yang terbuat dari buah jarak kering.maksud dari kedatangannya
menyerahkan bakul kecil dengan isinya sabagi symbol bahwa kedua belah pihak telah bersatu
dan karna itu meminta pengesahan dan berkah. Upacara naekang lekoq dihadapan tuan lokaq
kampung .tuan lokaq jabatan dalam masyarakat yang mewakili seluruh penduduk kampung
dalam tanggung jawab pelaksanaan adat.
8. Nyongkol

Merupakan upacara mengunjungi rumah orang tua calon pengantin wanita oleh kedua
calon pengantin dengan diiringi oleh keluarga dan kenalan dalam suasana penuh kemeriahan.
Tujuannya adalah untuk menampakkan dirinya secara resmi dihadapan orang tuanya dan

7
keluarga-keluarga bahkan juga kepada seluruh masyarakat sambil meminta maaf serta
memberi hormat pada kedua orang tua calon pengantin wanita tetapi sebelum dilakukan
nyongkol terlebih dahulu kedua calon mempelai dipiyas(di hias) dengan menggunakan
pakaian adat. Calon pengantin mengenakan kain batik dan diatas kain batik di lilitkan sabuk
atau stagen yang langsung berfungsi sebagai baju. Calon pengantin laki-laki mengenakan
kain batik dodot seta geratin dikepalanya di gunakanpetitis.Kedua calon pengantin yang
sudah siap dengan pakaian adatnya langsung menuju rumah calon pengantin wanita, kedua
calon pengantin langsung menterbu pintu rumah orang tua pengantin wanita kemudian
menyalami kedua orang tuanya.Pertemuan ini adalah perpisahan bagi pengantin wanita yang
sering diwarnai denagn tetesan air mata. Demikian upacara nyongkol tersebut dapat di
anggap selesai dimana rombongan yang mengiringi tadi diberikan suguhan minuman ringan
seperti the, kopi atau kelapa muda.
Upacara nyongkol sebenarnya sama dengan upacara persandingan pengantin. Karena
upacar ini juga bertujuan memperlihatkan kedua pengantin yang kawin kepada umum, sambil
member kesempatan bagi teman dan kenalan memberikan acara selamat dan hadiah hadiah
perkawinan. Di bima upacara ini disebut dende atau pamaco.
9. Bedak keramas

Adalah upacara kecil yamg di lakukan oleh kedua mempelai sekembalinya dari
nyongkol. Upacara ini di lakukan dirumah calon pengantin laki-laki dan di pmpin oleh inaq
keliang (isteri kepala kampong) jalan upacara adalah sebagai berikut.
Inaq keliang mengeramasi kepala kedua calon pengantin dengan bedak langeh yakni
adonan kelapa parut, knyit srta beras sekadarnya. Bedak langeh dugunakan dalam upacara
bedak keramas itu yang telah sebelumnya telah di berikan berkah berupa do’a kyai oleh
kampung. Setelah keduanya dibedak keramasi keduanya dipersilahkan membersihkan diri
pada tempat yang berlainan. Dan setelah itu keduanya memakai pakaian yang bersih, dimana
keduanya siap untuk memasuki akad nikah, dengan mana mereka di antarkan mmasuki hidup
bersama yang sah menurut ajaran agama islam yang di anutnya.

c. Upacara pelaksanaan perkawinan

Adat perkawinan sasak, upacara pelaksanaan perkawinan yang di kandang kaoq


disebut ngawinang dan di tempat lain disebut nikahang. Upacara ngawinang di kandang kaoq
di lakukan di masjid kampung. Upacara upacara pernikahan dikandang akoq di pimpin oleh
kepala kantor urusan agama kecamatan tanjun dengan mengkti tata cara islam yang umum

8
yakni pembicaraan khotbah nikah dan ijab Kabul yang di lakukan langsung oleh orang tua si
calon pengantin wanita di hadapkan calon pengantin laki-laki. Khotbah nikah di bacakan
dengan bahasa arab sedangkan ijab Kabul di bacakan dengan menggunakan bahas setempat.

d. Upacara-upacara setelah perkawinan

Setelah perkawinan masih ada lagi upacara sederhana yang di sebut ngerapahang
pengantin. Upacara ini dilaksanakan di kandang kaoq pada waktu sore hari sehari setelah
akad nikah. Kunjungan yang dilakukan oleh kedua pengantin dengan disertai oleh beberapa
orang keluarga pengantin laki-laki. Mereka membawa bokor (pebuan) yang berisi lekoq
(sirih), tembakau, kapur, dan pinang. Dirumah orang tua pengantin wanita seoang laki-laki
wakil dari keluarga pengantin laki-laki secara resmi menyerahkan pebuan tersebut. Maka
pihak wanita langsung menjawab dan menerima pebuan kerapahan dari laki-laki. Setelah
saling saut menyaut barulah mereka bersalaman. Pebuan laki laki di ambil oleh pihak wanita
sedangkan pebuan pengantin wanita di ambil oleh pihak laki-laki.
Upacara yang kedua setelah perkawinan adalah ngelewaq yaitu kunjungan biasan
yang di lakukan oleh kedua pengantin kerumah orang tua pengantin wanita.Ada kalany
pengantin laki-laki tidur semalam diirumah orang tua pengantin.Ini untuk mendekatkan
keluarga baru itu dengan orang tua keluarga pengantin wanita.
Upacara yang ketiga adalah yang dinamakan menyapu.Selain upacara ngerapahang
pengantin dan ngelewaq di kandang kaoq masih ada upacara yang disebut menyapu, yang
dilakukan beberapa hari setelah akad nikah.Upacar ini di lakukan oleh kedua pengantin denga
disertai oleh kyai dan beberapa anggota keluarga pihak laki-laki.
Upacara menyapu artinya membersihka kuburan keluarga atau kuburan leluhur oleh
kedua pengantin dengan disertai do’a kyai yang menyrtainya. Tujuannya adalah agar
perkawinannya diberkahi oleh leluhurnya.Jika perkawinan tidak diberkahi leluhur, maka
dapat menyebabkan sakit, kematian anak, gila dan sebagainya. Karena itu pula perkawinan
perlu di restui oleh leluhurnya dengan cara menyapu tersebut.

e. Adat setelah perkawinan

Adat menetap sesudah kawin


Apabila keluarga baru terbentuk maka keluarga tersebut tidak langsung menemppati
rumah sendiri. Ada 3 kemungkinan yang umum dalam hal menetap sesudah kawin antara
lain:

9
a) Bale mesaq (rumah sendiri)

Bale mesaq merupakan rumah yang dibangun oleh suami sejak sebelum perkawinan.
Rumah tersebut biasanya dibangun disamping rumah orang tua. Menempati rumah
mesaq dipandang sebagi yang paling terhormat didalam adat menetap sesudah
perkawinan dalam adat sasak.
b) Nyodok (numpang)

Nyodok merupakan numpang tinggal di rumah pihak wanita.Ini seringkali terjadi


apabila perkawinan tidak didahului dengan persiapan perumahan. Dalam masa
numpang ini baik sipengantin dan orang tuanya sudah mulai mengumpulkan bahan-
bahan bangunan dan apabila telah cukup barulah di bangun rumah untuk kedua
pengantin.
c) Nurun nina (tinggal di rumah keluarga istri)

Nurun nina artinya ikut istri. Si suami baik atas kemauannya sendiri atau kemauan
istrinya tinggal dirumah ayah istrinya.

B. Pengaturan dan Ketentuan Pewarisan dalam Suku Sasak

Hukum waris adat dalam suku ini adalah bahwa telah terjadi pluralisasi dalam hukum
waris di daerah ini. Di dalam Suku Sasak berlaku hukum adat sasak sendiri, hukum Islam,
dan hukum waris yang ditetapkan oleh pengadilan negeri.
Hukum waris adat Sasak, mengharuskan wanita Sasak tidak mempunyai hak untuk
mewaris harta orang tuanya. Dalam sebuah struktur masyarakat hukum adat genealogis,
terdapat tiga macam dasar pertalian keturunan yaitu: Pertalian darah menurut garis bapak
(patrilineal), Pertalian darah menurut garis ibu (matrilineal) dan Pertalian darah menurut garis
ibu dan bapak (parental). Hukum Adat Sasak, Suku Sasak menarik garis keturunan dari pihak
laki-laki (patrilineal). Pada kaum bangsawan Suku Sasak, perempuan diberi gelar Baiq dan
kaum laki-lakinya mendapat gelar Lalu. Namun pada masyarakat lapisan bawah baik
perempuan maupun laki-laki tidak mempunyai gelar, namun kaum perempuannya dipanggil
Inaq dan laki-laki dipanggil Amaq.
Masyarakat yang tidak mempunyai lapisan bangsawan contohny adalah Desa Sade
yang seluruh penduduknya adalah bagian bawah dari masyarakat. Desa Sade adalah suatu
desa yang masih tradisional. Masyarakat Desa Sade sebagian besar beragama Islam.

10
Walaupun beragama Islam, mereka tetap tunduk pada Hukum Adat Sasak Tradisional.
Menurut Hukum Adat di desa ini wanita tidak menerima warisan dari orang tuanya yang
telah meninggal dunia. Pada dasarnya masyarakat Sasak Desa Sade menganut sistem
patrilineal, bahwa garis keturunan ditarik dari pihak laki-laki atau bapak. Anak perempuan
dianggap keluar dari keluarganya dan pindah menjadi keluarga suaminya, karena ia
mengikuti suaminya setelah mereka kawin.
Jika wanita Sasak di Desa Sade menikah, ia tinggal pada keluarga suaminya. Untuk
itu ia boleh membawa barang-barang perhiasan dari emas atau perak berbentuk cincin
dijarinya, giwang atau anting-anting, kalung di lehernya dan gelang yang dipakai pada
tangannya. Ia tidak akan mendapatkan tanah atau rumah. Tanah dan rumah hanya untuk anak
laki-laki.
Dalam masyarakat Desa Sade, perkawinan antar keluarga, misalnya, antar saudara
misan atau saudara sepupu menjadi kebiasaan untuk mempertahankan garis keturunan.
Pekerjaan di desa ini adalah bertani yang hasilnya untuk kebutuhan sehari-hari. Disamping
itu para wanita melakukan pekerjaan menenun, misalnya membuat sarung, selendang dan
penutup leher untuk dijual, dengan alat tenun yang amat sederhana. Wanita-wanitanya
mebuat benang dari kapas yang ditanam di sawah mereka bersama-sama dengan tanaman
padi. Sebagian besar dari mereka telah membeli benang berbagai warna di pasar. Pihak laki-
laki mengerjakan sawah mereka. Hasil padi tidak untuk dijual tetapi untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Wanita di Desa Sade, harus kawin dengan lelaki di desa tersebut. Bila
ia kawin dengan laki-laki luar desa, wanita itu harus keluar dari desa tersebut.
Wanita menenun sarung di Dusun Sade. Begitu juga pihak pria yang kawin dengan
wanita luar desa, ia harus meninggalkan Desa Sade. Belum ada sengketa waris yang dibawa
ke pengadilan sampai saat ini dari desa tersebut.
Wanita dalam masyarakat Sasak tunduk dalam tiga sistem hukum dalam hal waris.
Hukum tersebut adalah hukum adat seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Hukum Islam
yang bersumber pada Al-Quran dan Hadist karena mayoritas Suku Sasak beragama Islam,
dan hukum negara yang bersumber pada putusan hakim Pengadilan Negeri dan dikuatkan
oleh Pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung.
Sebagian besar masyarakat Sasak mengikuti hukum Islam yang bersumber dari Al-
Quran dan Hadist. Karena mayoritas Suku Sasak beragama Islam, banyak masyarakat Sasak
yang menggunakan hukum Islam untuk membagi warisan. Hal ini pernah dijelaskan oleh Van
den Berg dan Salmon Keyzer dalam teorinya Receptio in Complexu yang mengungkapkan
bahwa adat-istiadat dan hukum adat suatu golongan hukum masyarakat adalah receptio
11
(penerimaan) seluruhnya dari agama yang dianut oleh golongan masyarakat itu. Hukum adat
suatu golongan masyarakat adalah penerimaan secara bulat dari hukum agama yang dianut
oleh golongan masyarakat itu. Dalam hal ini, Suku Sasak secara mayoritas beragama Islam
dan menggunakan hukum Islam untuk membagi warisannya.
Dasar penggunaan hukum waris Islam bersumber pada Surat An-Nisa ayat 11 Dalam
bahasa Sasak, bagian wanita dikatakan sebagai “sepersonan” yaitu barang yang dijunjung di
atas kepala perempuan. Bagian laki-laki adalah “sepelembah” atau dua pikulan yang
diletakkan di atas bahu. Maka dikatakan dalam bahasa daerah sasak bagian laki-laki dan
wanita adalah “Sapelembah sepersonan”yaitu dua berbanding satu. Wanita menjunjung satu
bakul di kepalanya, sedangkan laki-laki membawa pikulan di bahunya yang terdiri dari dua
bakul keranjang.
Anak laki-laki mendapatkan dua bagian warisan dan perempuan satu bagian
mengikuti sepelembah sepersonan. Jika tidak ada anak laki-laki maka semua warisan tersebut
jatuh pada anak perempuan. Jika anak perempuan lebih dari satu orang, harta warisan dibagi
sama diantara mereka. Warisan tersbut tidak tidak dibagikan kepada saudara laki-laki dari
almarhum bapaknya. Bila anak perempuan hanya satu-satunya semua harta warisan jatuh
kepada anak perempuan satu-satunya tersebut. Untuk membagi warisan, masyarakat
menyerahkan segala urusan pembagiannya pada Tuan Guru, Pemimpin Agama Islam di desa
di Sasak. Namun tidak jarang pula sengketa waris diselesaikan oleh Pengadilan Agama dan
diselesaikan dengan Hukum Islam.
Walaupun sebagian besar masyarakat sasak beragama Islam, penyelesaian sengketa
warisan tidak selalu diselesaikan oleh Pengadilan Agama, namun juga ada beberapa
masyarakat yang mencari keadilan ke Pengadilan Negeri. Mahkamah Agung telah melakukan
perubahan terhadap hak wanita Sasak untuk mewaris dengan putusannya dalam kasus Inaq
Rasini vs Amaq Atimah. Mahkamah Agung memutuskan sesuai dengan yurisprudensi
Mahkamah Agung terhadap anak perempuan di Tapanuli (Sumatera Utara), anak perempuan
dijadikan ahli waris agar adil.
Perkembangan Hukum Adat Suku Sasak, sejak tahun 1951 di daerah pulau Lombok,
khususnya di daerah Kecamatan Masbagik (Lombok Timur) telah terjadi pergeseran nilai
dalam Hukum Waris Adat khususnya tentang kedudukan anak dan wanita. Jika menurut
hukum adat yang lama, anak wanita bukan ahli waris serta tidak berhak untuk mewaris
barang-barang tidak bergerak seperti tanah, maka kini dalam perkembangannya sudah diakui
dimana kedudukan wanita sebagai ahli waris dan berhak pula memperoleh harta warisan
peninggalan orang tuanya bersama-sama dengan saudara laki-lakinya.
12
Keadaan di atas mau tidak mau harus ditafsirkan bahwa telah terjadi pergeseran pola
pikir di kalangan warga suku ini ke arah kemajuan (modernisasi). Dari realita-realita yang
terjadi dalam masyarakat, maka secara filosofis dapat dibaca bahwa persamaan status hak dan
kedudukan antara anak laki-laki dengan anak wanita selama ini telah berjalan. Anak wanita
tidak lagi sebagai selalu berada di belakang keutamaan anak laki-laki. Tetapi keduanya
mempunyai harkat dan martabat yang sama.
Dari segi yuridis dapat dipertimbangkan antara lain, masyarakat adat suku Sasak telah
mengalami perkembangan yang cukup pesat. Perkembangan dan pertumbuhan masyarakat
tersebut ternyata diikuti pula oleh perkembangan akan kebutuhan hukum. Artinya bahwa
dalam masyarakat tersebut telah mengalami pergeseran nilai-nilai sosial khususnya nilai-nilai
hukumnya. Dalam kasus ini pergeseran tersebut telah terjadi dalam kedudukan wanita. Jika
sebelumnya wanita dianggap berkedudukan di bawah kaum laki-laki karena sistem
kekerabatan yang bersifat patrilinial.
Situasi dan kondisi saat ini telah berubah dan sangat berbeda. Dalam realita di tengah-
tengah masyarakat adat dalam suku ini telah timbul nilai-nilai hukum baru yang selaras dan
sejalan dengan kebutuhan perkembangan masyarakat itu sendiri. Dirasakan tidak adil lagi jika
anak wanita dianggap sebagai bukan ahli waris. Anak wanita sekarang sudah diakui sebagai
ahli waris. Oleh karena itu, kensekuensi logisnya, wanita harus mendapatkan bagian sebagai
ahli waris dari orang tuanya yang telah meninggal.
Bertitik tolak dari persamaan harkat dan martabat, serta persamaan hak dan
kedudukan setiap warga negara dihadapan hukum sesuai dengan Pancasila dan dalam
Undang-Undang Dasar 1945 dan mengingat pula keadilan umum, dan nilai-nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat, maka di dalam kasus ini Pengadilan sependapat dan layak untuk
berpedoman kepada yurisprudensi tetap Mahkamah Agung yang berlaku untuk seluruh
Indonesia tanggal 11 Nopember 1961, No.179 K/Sip/1961. Intinya bahwa “Anak perempuan
dan anak laki-laki dari seorang peninggal warisan bersama-sama berhak atas harta warisan
dalam arti bahwa bagian anak laki-laki sama dengan anak perempuan”.

13
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Suku Sasak adalah penduduk asli pulau Lombok, Suku sasak adalah salah satu suku
terbesar di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Sekitar 80% penduduk di pulau Lombok ini
diduduki oleh suku sasak dan selebihnya adalah suku lainnya, seperti suku mbojo (Bima),
dompu, sumawa (Sumbawa), jawa, dan hindu. Suku sasak mendiami seluruh pulau Lombok,
yang tersebar di tiga kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah, dan Lombok Timur.
Suku Sasak di Lombok mayoritas memeluk Islam. Uniknya pada sebagian kecil
masyarakat suku Sasak, terdapat praktik agama Islam yang agak berbeda dengan Islam pada
umumnya yakni Islam Wetu Telu, namun hanya berjumlah sekitar 1% yang melakukan
praktek ibadah seperti itu. Ada pula sedikit warga suku Sasak yang menganut kepercayaan
pra-Islam yang disebut dengan nama "sasak Boda".
Di daerah lombok secara umum terdapat 3 macam lapisan sosial masyarakat yaitu:
Golongan Ningrat, Golongan Pruangse, dan Golongan Bulu Ketujur (Masyarakat Biasa).
Sistem kekerabatan masyarakat Sasak, pada dasarnya memiliki pola patrilineal, yakni
mengikuti garis keturunan dari ayah.
Sistem perkawinan yang dianut oleh suku Sasak lebih mengarah ke sistem indogami.
Bahkan di beberapa tempat, terutama pada masa lampau, sistem indogami dilaksanakan
secara ketat yang kemudian melahirkan kawin paksa dan pengusiran (istilah sasaknya bolang)
terhadap “terutama” anak gadis. Walaupun kecenderungannya indogami namun sistem
eksogami tidak diharamkan oleh adat. Adat perkawinan suku sasak, telah mengalami distorsi
disana sini. Hal ini akibat penagaruh nilai-nilai baru, baik yang berasal dari agama Islam
maupun dari nilai-nilai barat.
Hukum waris adat dalam suku sasak telah mengalami pluralisasi dalam hukum waris
di daerah ini. Di dalam Suku Sasak berlaku hukum adat sasak sendiri, hukum Islam, dan
hukum waris yang ditetapkan oleh pengadilan negeri. Pada dasarnya masyarakat Sasak
menganut sistem patrilineal, bahwa garis keturunan ditarik dari pihak laki-laki atau bapak.
Anak perempuan dianggap keluar dari keluarganya dan pindah menjadi keluarga suaminya,
karena ia mengikuti suaminya setelah mereka kawin Hukum waris adat Sasak, mengharuskan
wanita Sasak tidak mempunyai hak untuk mewaris harta orang tuanya. Perkembangan
Hukum Adat Suku Sasak, sejak tahun 1951 di daerah pulau Lombok, khususnya di daerah
14
Kecamatan Masbagik (Lombok Timur) telah terjadi pergeseran nilai dalam Hukum Waris
Adat khususnya tentang kedudukan anak dan wanita. Bertitik tolak dari persamaan harkat dan
martabat, serta persamaan hak dan kedudukan setiap warga negara dihadapan hukum sesuai
dengan Pancasila dan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan mengingat pula keadilan
umum, dan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, maka di dalam kasus ini
Pengadilan sependapat dan layak untuk berpedoman kepada yurisprudensi tetap Mahkamah
Agung yang berlaku untuk seluruh Indonesia tanggal 11 Nopember 1961, No.179
K/Sip/1961. Intinya bahwa “Anak perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggal
warisan bersama-sama berhak atas harta warisan dalam arti bahwa bagian anak laki-laki sama
dengan anak perempuan”.

B. SARAN
Adanya penyelesaian Hukum Waris dalam masyarakat Suku Sasak dengan
menggunakan tiga cara akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat.
Masyarakat akan bingung memilih cara pembagian hukum waris diantara mereka. Bahkan
bukan tidak mungkin hal tersebut berpotensi menimbulkan konflik diantara para ahli waris.
Kaum wanita tentu lebih memilih menggunakan hukum yang digunakan oleh Pengadilan
Negeri dari pada harus diselesaikan dengan Hukum Adat Tradisional yang mengharuskan
wanita tidak menerima warisan karena sistem kekerabatan yang patrilineal. Sebaliknya, kaum
laki-laki labih memilih menggunakan sistem hukum waris adat tradisional Suku Sasak karena
akan menerima bagian penuh dari sebuah warisan.
Pengadilan Negeri seharusnya tidak menerima sengketa waris yang diajukan umat
Islam di Lombok karena hal tersebut adalah kewenangan dari Pengadilan Agama. Putusan
akhir dari Pengadilan Negeri pun sangat berbeda dengan ketentuan hukum adat dan hukum
Islam yang merupakan agama yang dianut oleh masyarakat mayoritas suku Sasak. Pengadilan
Negeri memberikan hak yang sama antara pria dan wanita dalam hal waris. Hal ini tentu saja
secara tidak langsung akan menghapuskan Hukum Adat Tradisional Suku Sasak.
Seharusnya ada kesepakatan di antara masyarakat dalam penyelesaian sengketa waris
agar tidak terjadi kebingungan dalam masyarakat. Apakah akan menggunakan Hukum Adat
Tradisional Suku Sasak, ataukah Hukum Islam sesuai dengan apa yang mereka anut dengan
dibantu oleh Pengadilan Agama, hal tersebut kembali pada masyarakat daerah itu sendiri,
bukan Pengadilan Negeri seharusnya yang menyelesaikan perkara waris dalam masyarakat
Suku Sasak yang beragama Islam karena hal tersebut adalah kompetensi dari Pengadilan
Agama.
15
DAFTAR PUSTAKA

Adonis. 1989. Suku Terasing Sasak Di Bayan Daerah Propinsi Nusa Tenggara Barat.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal
Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai-Nilai Tradisional Proyek Inventasrisasi
dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya.
Sasongko, I. 2005. Pembentukan Struktur Ruang Permukiman Berbasis Budaya, Studi
Kasus: Desa Puyung-Lombok Tengah. Dimensi Teknik Arsitektur.33 (1):1-8.
Daliem, Mimbarman, ” Lombok Selatan Dalam Pelukan Adat Istiadat Sasak” 1981-1982
Ali, Zainuddin. . 2008. Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia. Sinar Grafika: Jakarta
http://wisnu.blog.uns.ac.id/2011/05/15/pluralisme-hukum-waris-adat-suku-sasak/
http://shumarny.wordpress.com/2013/10/06/adat-suku-sasak-lombok/
http://marketermataram.blogspot.com/2013/10/masyarakat-hukum-adat-suku-sasak-di.html
https://www.academia.edu/9167631/hukum_waris_adat_sasak

16

Anda mungkin juga menyukai