Anda di halaman 1dari 9

BAB I

KONSEP MEDIS

A. Definisi
Graves disease berasal dari nama Robert J. Graves, MD, circa tahun1830.
Penyakit graves, penyebab tersering hipertiroidisme, adalah ganggguan auto imun yang bisanya
ditandai dengan produksi autoantibody yang mirip kerja TSH pada kelenjar tiroid. Auto antibody
igG ini, yang disebut tiroid stimulating immunoglobulin, menstimulasi produksi TH, namun
tidak dihammbat oleh kadar TH yang meningkat. Kadar TSH dan TH rndah karena keduanya
dihambat oleh kadar TH yang tinggi. Penyebab penyakit graves tidak diketahui; akan tetapi,
tampak terdapat predisposisi genetic pada penyakit autoimun.

B. Etiologi
Penyebab penyakit grave tidak diketahui ; akan tetapi tampak predisposisi genetic pada penyakit
auto imun. Reaksi silang tubuh terhadap penyakit virus mungkin merupakan salah satu
penyebabnya ( mekanisme ini sama seperti postulat terjadinya diabetes mellitus tipe I).Obat-
obatan tertentu yang digunakan untuk menekan produksi hormon kelenjar tiroid dan Kurang
yodium dalam diet dan air minum yang berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama
mungkin dapat menyebabkan penyakit ini.

C. Patofisiologi
Graves disease merupakan salah satu contoh dari gangguan autoimun hipersensitif tipe II.
Sebagian besar gambaran klinisnya disebabkan karena produksi autoantibodi yang berikatan
dengan reseptor TSH, dimana tampak pada sel folikuler tiroid ( sel yang memproduksi tiroid).
Antibodi mengaktifasi sel tiroid sama seperti TSH yang menyebabkan peningkatan produksi dari
hormon tiroid. Opthalmopathy infiltrat ( gangguan mata karena tiroid) sering terjadi yang tampak
pada ekspresi reseptor TSH pada jaringan retroorbital. Penyebab peningkatan produksi dari
antibodi tidak diketahui. Infeksi virus mungkin merangsang antibodi, dimana bereaksi silang
dengan reseptor TSH manusia. Ini tampak sebagai faktor predisposisi genetik dari Graves
disease, sebagian besar orang lebih banyak terkena Graves disease dengan aktivitas antibodi dari
reseptor TSH yang bersifat genetic.

1
D. Pathway (diagram)

2
E. Manifestasi klinis
1. Peningkatan frekuensi jantung
2. Peninngkatan tonus otot, tremor, iratabilitas, peningkatan sensitifitas terhadap katekolamin.
3. Peningktan laju metabolism basal dan produksi panas, intoleransi terhadap panas, keringat
berlebihan.
4. Penurunan berat badan, peningkatan rasa lapar.
5. Melotot
6. Dapat terjadi eksoftalmus (penonjulan bola mata).
7. Peningkatan frekunsi buang air besar.
8. Gondok (biasanya), yaitu peningtan ukuran kelenjar tiroid.
9. Perubahan kulit dan kondisi rambut dapat terjadi.

F. Komplikasi
1. Aritmia biasa terjadi pada pasien yang mengalami hipertiroidisme dan merupakan gejalah
yang terjadi pada gangguan tersebut. Setiap individu yang mengeluhkan artmia harus
dievaluasi untuk mengetahui terjadinya gangguan tiroid.
2. Komplikasi yang mengancam jiwa adalah krisis tirotoksik (badai tiroid), yang dapat terjadi
secara spontan pada pasien hipertiroidisme yang menjalani terpi atau selama pembedahan
kelenjar tiroid, atau dapat terjadi pada pasien yang tadak terdiagnosis hipertiroidisme.
Akibatnya adalah pelepasan TH dalam jumlah yang sangat besar yang menyebabkan
takikardia, agitasi, tremor, hipertermia (sampai 106°F) dan apabila tidak diobati, terjadi
kematian.

G. Pemeriksaan Penunjang
Untuk dapat memahami hasil-hasil laboratorium pada penyakit Graves dan
hipertiroidisme umumnya, perlu mengetahui mekanisme umpan balik pada hubungan (axis)
antara kelenjar hipofisis dan kelenjar tiroid. Dalam keadaan normal, kadar hormon tiroid perifer,
seperti L-tiroksin (T-4) dan tri-iodo-tironin (T-3) berada dalam keseimbangan dengan
thyrotropin stimulating hormone (TSH). Artinya, bila T-3 dan T-4 rendah, maka produksi TSH
akan meningkat dan sebaliknya ketika kadar hormon tiroid tinggi, maka produksi TSH akan
menurun.

3
Pada penyakit Graves, adanya antibodi terhadap reseptor TSH di membran sel folikel tiroid,
menyebabkan perangsangan produksi hormon tiroid secara terus menerus, sehingga kadar
hormon tiroid menjadi tinggi. Kadar hormon tiroid yang tinggi ini menekan produksi TSH di
kelenjar hipofisis, sehingga kadar TSH menjadi rendah dan bahkan kadang-kadang tidak
terdeteksi. Pemeriksaan TSH generasi kedua merupakan pemeriksaan penyaring paling sensitif
terhadap hipertiroidisme, oleh karena itu disebut TSH sensitive (TSHs), karena dapat mendeteksi
kadar TSH sampai angka mendekati 0,05mIU/L. Untuk konfirmasi diagnostik, dapat diperiksa
kadar T-4 bebas (free T-4/FT-4).(1,2,3)
Pemeriksaan penunjang lain seperti pencitraan (scan dan USG tiroid) untuk menegakkan
diagnosis penyakit Graves jarang diperlukan, kecuali scan tiroid pada tes supresi tiroksin.

H. Penatalaksanaan
Pengobatan terhadap Graves disease termasuk penggunaan obat-obat anti tiroid (OAT),
yodium radioaktif dan tiroidektomi (eksisi pembedahan dari kelenjar tiroid). Pengobatan
hipertiroid pada graves disease adalah dengan obat-obatan seperti methimazole atau
propylthiouracil (PTU), yang akan menghambat produksi dari hormon tiroid, atau juga dengan
yodium radioaktif . Pembedahan merupakan salah satu pilihan pengobatan, sebelum pembedahan
pasien diobati dengan methimazole atau propylthiouracil (PTU). Beberapa ahli memberikan
terapi kombinasi tiroksin dengan OAT dosis tinggi untuk menghambat produksi hormon tiroid
namun pasien tetap dipertahankan eutiroid dengan pemberian tiroksin. Penambahan tiroksin
selama terapi dengan OAT juga akan menurunkan produksi antibodi terhadap reseptor TSH dan
frekuensi kambuhnya hipertiroid.
Pengobatan dengan iodium radioaktif diindikasikan pada : pasien umur 35 tahun atau
lebih, hipertiroid yang kambuh setelah dioperasi, gagal mencapai remisi sesudah pemberian
OAT, tidak mampu atau tidak mau pengobatan dengan OAT dan pada adenoma toksik, goiter
multinodular toksik. Digunakan I131 dengan dosis 5-12mCi per oral.
Tiroidektomi subtotal sangat efektif untuk menanggulangi hipertiroid. Indikasi operasi
adalah :
a. Pasien umur muda dengan struma yang besar serta tidak mempan dengan OAT
b. Pada wanita hamil (trimester kedua) yang memerlukan OAT dosis tinggi.
c. Alergi terhadap OAT, pasien tidak bisa menerima iodium radioaktif.

4
d. Adenoma toksik atau struma multinodular toksik.
e. Pada penyakit grave yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul.

I. Pencegahan
1. Memperhatikan asupan yodium
2. Mengurangis stress
3. Menghindari cidera pada kelenjar tiroid
4. Kurangi obat steroid
5. Kurangi konsumsi gluten dan keledai
6. Berhenti merokok
7. Diet tiroid

5
BAB II
ASKEP

A. Pengkajian Keperawatan
1. Identitas Klien
2. Keluhan Utama
3. Pengkajian head to toe
a. Kepala
Inspeksi
Palpasi
b. Mata
Inspeksi
Palpasi
c. Hidung
Inspeksi
Palpasi
d. Telinga
Inspeksi
Palpasi
e. Mulut dan tenggorokan
f. Leher
Inspeksi
Palpasi
g. Dada
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
h. Abdomen
Inspeksi
Auskultasi

6
Palpasi
Perkusi
i. Ekstremitas
Inspeksi
Palpasi
4. Pemeriksaan penunjang
5. Terapi medik

B. Diagnosa Keperawatan
1. Penurunan curah jantung
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
3. Defisiensi pengetahuan
4. Kerusakan integritas kulit

C. Intervensi Keperawatan
1. Penurunan curah jantung
NOC
- TTV dalam rentang normal
- Dapat mentoleransi aktivitas, tidak ada kelelahan
- Tidak ada edema paru, perifer, dan tidak ada asites
- Tidak ada penurunan kesadaran
NIC
- Evaluasi adanya nyeri dada
- Catat adanya ditrimia jantung
- Catat adanya tanda dan gejala penurunan cardiac putput
- Monitor status kardiovaskuler
- Monitor status pernafasan yang menandakan gagal jantung
- Monitor balance cairan
- Monitor adanya perubahan tekanan darah

7
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
NOC
- Adanya peningkatan berat badan
- Berat badan ideal sesuai dengan berat badan
- Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi tidak ada tanda tanda malnutrisi
- Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti
NIC
- Kaji adanya alergi makanan
- Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake Fe
- Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C
- Berikan infirmasi tentang kebutuhan nutrisi

3. Defisiensi pengetahuan
NOC
- Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi, prognosis,
dan program pengobatan
- Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang djelaskan secara benar
- Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat/tim
kesehatan lainnya

8
DAFTAR PUSTAKA

Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC, Jakarta, 1996. Hal 932
Noer S, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. FKUI, Jakarta, 1996. Hal 766 – 72
Leksana, Mirzanie H. Chirurgica. Tosca Enterprise. Yogyakarta, 2005.
Buku saku Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012-2014 – NANDA International
Amin Huda Nurarif, Hardhi Kusuma. 2016, Asuhan Keperawatan Praktis: Berdasarkan
Penerapan Diagnosa NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC (Edisi Revisi). Jakarta:
ECG

Anda mungkin juga menyukai