Anda di halaman 1dari 5

Pembangunan Busway dalam Mengatasi

Kemacetan Lalu Lintas di Jakarta dan


Peranan Polri di Dalamnya
OPINI | 25 January 2012 | 10:08 Dibaca: 1240 Komentar: 3 0

I. PENDAHULUAN

Kemacetan kota Jakarta saat ini menjadi keluhan hampir seluruh penduduk kota Jakarta. Sebagai
gambaran, seorang warga Pamulang, Tangerang Selatan harus berangkat meninggalkan rumah
sebelum pukul 06.00 WIB agar dapat tiba di kantornya di Jalan Jendral Sudirman Jakarta Pusat
sebelum pukul 08.00 WIB. Jika dia berangkat sesudah pukul 06.20 WIB saja, maka perlu waktu
selama 3 (tiga) jam untuk menempuh perjalanan sejauh 27 Km ke kantornya tersebut. Hal ini
disebabkan oleh karena jumlah pertumbuhan kendaraan tidak sesuai dengan jumlah pertumbuhan
ruas jalan di Jakarta. Data Dinas Perhubungan DKI Jakarta 2008 menunjukkan, pertambahan
jumlah sepeda motor sekitar 1.500 unit per hari dan jumlah mobil bertambah 250 unit per hari.
Sedangkan total panjang jalan di DKI Jakarta mencapai 5.621,5 kilometer dan hanya bertambah
0,01 persen per tahun.

Menurut Andrinof Chaniago, seorang pengamat politik dari Universitas Indonesia kemacetan
lalu lintas di Jakarta menyebabkan kerugian Rp. 43 trilliun per tahun. Kerugian ini bersumber
pada berbagai belanja tambahan yang harus dilakukan oleh masyarakat karena kemacetan lalu
lintas, diantaranya adalah belanja onderdil yang meningkat, pembelian Bahan Bakar Minyak
(BBM), serta timbulnya penyakit fisik dan psikis seperti Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA)
ataupun depresi.

Untuk mengatasi masalah kemacetan di Kota Jakarta tersebut, pemerintah Provinsi DKI Jakarta
menerapkan Kebijakan Transpotasi umum berupa Busway yang mulai beroperasi sejak 15
Januari tahun 2004. Kebijakan pembangunan Busway ini diharapkan dapat membantu
mengurangi tingkat kemacetan di kota Jakarta. Kendaraan umum busway ini didesain senyaman
mungkin, sehingga diharapkan dapat menarik minat para pengguna kendaraan pribadi untuk
beralih ke transporatasi umum busway, sehingga jumlah kendaraan pribadi di jalanan Jakarta
dapat berkurang. Sampai saat ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah membangun 15 koridor
busway yang siap beroperasi.

Pada pelaksanaannya, sebagai salah satu bentuk pelayanan kepada masyarakat, maka kelancaran
program Busway ini tidak dapat hanya diserahkan sepenuhnya kepada Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta saja, harus ada sinergi dengan Kepolisian sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara
di bidang pelayanan kepada masyarakat. Dalam hal ini, Kepolisian Negara Republik Indonesia
memiliki kewenangan untuk melakukan pembinaan Lalu lintas antara lain dalam bentuk
registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor dan pengemudi, penegakan hukum, operasional
manajemen rekayasa lalu lintas, serta pendidikan lalu lintas.
II. PERMASALAHAN

Setelah kurang lebih 7 tahun pengoperasian busway di Jakarta, pada perkembangannya justru
banyak menimbulkan efek negatif bagi para pengguna jalan raya di Jakarta. Kita ambil contoh
saja semenjak dioperasikannya jalur khusus bus transjakarta koridor IX atau sebut saja busway
IX jurusan Pinang Ranti (Jakarta Timur)-Pluit (Jakarta Utara), kemacetan lalu lintas di Jalan
Gatot Subroto-S Parman, khususnya ruas Semanggi-Slipi-Tomang justru menjadi sungguh luar
biasa. Jam-jam kemacetan justru bertambah parah. Kalau biasanya kemacetan terjadi hanya pada
saat jam-jam puncak yaitu pagi dan sore, sekarang malah terjadi sepanjang hari. Berkembangnya
penilaian masyarakat tentang kemacetan yang ditimbulkan oleh busway mengakibatkan semakin
berkembang pula opini bahwa kebijakan Busway adalah kebijakan yang gagal. Apalagi ditambah
banyaknya juga korban berjatuhan akibat kecelakaan lalu lintas yang melibatkan Busway di
Jakarta.

Dalam catatan Traffic Management Centre Polda Metro Jaya, kecelakaan lalu lintas yang
melibatkan busway adalah sebagai berikut : pada tahun 2004 terjadi 5 kecelakaan, tidak terdapat
korban, tapi kerugian materi mencapai Rp. 5.500.000. Tahun 2005 terdapat 13 Kecelakaan, 8
korban dan kerugian materi Rp. 39.000.000. Tahun 2006 terdapat 31 kecelakaan dengan 28
korban dan kerugian materi Rp34.400.000. Sedangkan tahun 2007 terjadi 66 kecelakaan dengan
72 korban dan kerugian materi Rp. 94.400.000. Dari data tersebut, dapat disimpulkan dari tahun
2004-2005 terjadi kenaikan sebesar 160% kecelakaan, dari tahun 2005-2006 kenaikan sebesar
138 %, tahun 2006-2007 peningkatan sebesar 35 %. Jika dibandingkan dari tahun 2004 -
November 2007 terjadi peningkatan sebesar 1.220%.

Dari data tersebut diatas, terlihat jelas bahwa terdapat suatu permasalahan besar dalam penerapan
kebijakan publik ini. Busway yang awalnya diusung dan diharapkan memecahkan salah
kemacetan di Jakarta yang sudah sangat meprihatinkan, justru berbalik menjadi salah satu faktor
pemicu kemacetan tersebut, ditambah lagi malah menambah masalah dengan semakin
banyaknya korban yang berjatuhan akibat kecelakaan yang melibatkan Busway.

Permasalahan kecelakan lalu lintas tersebut sebenarnya juga bersumber pada sulitnya menjaga
agar jalur busway tetap steril dari kendaraan lain non busway. Pada awal Januari 2011 saja,
tercatat 2.278 pengendara ‘nakal’ ditilang karena menggunakan jalur busway.

III. PEMBAHASAN

Kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang dipilih dan dialokasikan secara sah oleh
pemerintah/negara kepada seluruh anggota masyarakat yang mempunyai tujuan tertentu demi
kepentingan publik. Kebijakan ini muncul akibat adanya kebutuhan-kebutuhan atau
ketidakpuasan-ketidakpuasan manusia yang tidak dapat diatasi secara pribadi (privat), sehingga
harus ditangani secara sistematis, struktural, dan serius oleh pemerintah bersama dengan
masyarakat.

Proses munculnya kebijakan pembangunan Busway sebagai salah satu upaya mengurangi
kemacetan lalu lintas di Jakarta diawali dengan besarnya tekanan publik kepada Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta untuk mengurangi tingkat kemacetan di jalan-jalan Kota Jakarta. Kemudian
tekanan publik ini diterima oleh pemerintah dan dikonversi menjadi sebuah kebijakan yang
kembali mengatur publik dengan harapan kemacetan lalu lintas dapat teratasi.

Seiring dengan berjalannya waktu, kebijakan publik yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta tersebut seharusnya sudah mampu mengatasi persoalan kemacetan di Jakarta. Tetapi
pada kenyataannya, justru timbul permasalahan-permasalahan baru semenjak diterapkannya
kebijakan itu.

Menurut Smith (1973) dalam model prosesnya, pembentukan kebijakan yang ideal dapat berhasil
diterapkan jika didukung oleh 3(tiga) faktor utama, yaitu organisasi yang menerapkannya
(implementing organization), kelompok yang menjadi target kebijakan tersebut (target group),
serta faktor-faktor lingkungan (environmental factors) nya. Salah satu saja dari faktor tersebut
tidak memenuhi, maka tidak akan tercapai suatu kebijakan ideal yang dapat terlaksana.
Dari apa yang disampaikan oleh Smith (1973) mengenai model proses pembentukan kebijakan
publik, maka dalam kaitannya dengan penerapan Busway sebagai salah satu kebijakan publik
Pemprov DKI Jakarta dapat kita urai satu persatu.

Yang pertama kali kita harus perhatikan adalah, apakah organisasi yang bertugas untuk
menerapkan kebijakan penggunaan busway sudah siap untuk melakukan tugasnya dengan baik?
Dalam hal ini, organisasi tersebut adalah Badan Layanan Umum Transjakarta dan POLRI. Badan
Layanan Umum (BLU) Transjakarta adalah lembaga yang dibentuk oleh pemerintah Provinsi
DKI Jakarta untuk mengelola layanan angkutan umum massal dengan menggunakan moda bus.
Dalam perkembangannya, ternyata sampai saat ini pelayanan BLU Transjakarta justru semakin
memburuk, terutama headway yang semakin tidak menentu. Layanan Transjakarta menjadi tidak
dapat diandalkan oleh masyarakat umum karena tidak tetapnya waktu keberangkatan bus,
sehingga sering terjadi keterlambatan. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa BLU
Transjakarta belum siap dalam menerapkan kebijakan Busway di Jakarta.

Di sisi lain, untuk menjaga kesterilan jalur busway dari kendaraan non Busway, POLRI
mengklaim telah menerjunkan 2.500 personel untuk mengamankan semua koridor jalur Busway
dari para pengendara kendaraan bermotor yang nekad menerobos masuk ke dalam jalur Busway.
Walaupun hasilnya masih saja banyak kendaraan lain selain busway yang nekat menerobos
masuk ke dalam jalur busway.

Faktor selanjutnya yang menentukan keberhasilan kebijakan Busway ini adalah kesiapan
masyarakat sebagai kelompok sasaran (target group) diluncurkannya kebijakan ini. Sebenarnya
banyak sekali faktor yang dapat mendorong masyarakat jakarta untuk beralih dari kendaraan
pribadi ke Busway, diantaranya harga BBM yang terus melinjak dan kemacetan kota Jakarta
yang semakin parah. Hal ini terlihat dari data YLKI bahwa diketahui hingga 2008, jumlah
pengguna kendaraan pribadi yang beralih ke busway mencapai 21 persen dari 5,7 juta pengguna
kendaraan pribadi di DKI Jakarta. Artinya, selama fasilitas yang disiapkan pemerintah untuk
pelayanan Busway terpenuhi, maka masyarakat akan besar kecenderungannya untuk
meninggalkan penggunaan kendaraan pribadi dan beralih ke Busway untuk keperluan
transportasi sehari-harinya.

Faktor selanjutnya yang harus kita bahas adalah kesiapan sarana dan prasarana (environmental
factors) busway bagi masyarakat Jakarta. Salah satu hal yang paling dikeluhkan oleh pengguna
busway selama ini adalah masalah waktu tunggu bus yang lebih dari lima menit. Hal ini
diungkapkan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Hasil survei mereke
menyatakan bahwa sebanyak 41,4 persen responden mengeluhkan waktu tunggu di halte sebagai
pengalaman negatif saat menggunakan Bus Transjakarta.
Sebanyak 26,92 responden juga mengeluhkan angkutan massal ini sering over kapasitas. Mereka
juga menganggap kondisi ini membuat kejahatan di Bus Transjakarta meningkat. Dengan hasil
ini, menurut YLKI hal yang mendasar agar kualitas pelayanan Bus Transjakarta maka yang perlu
ditingkatkan pada aspek infrastruktur, SDM dan proses bisnis.

Sementara dari pihak Badan Layanan Umum (BLU) mengungkapkan bahwa antrean calon
penumpang di halte dan berjubelnya penumpang di dalam bus Transjakarta bukan karena
kurangnya armada, melainkan karena adanya antrean bus saat mengisi gas dan belum sterilnya
busway dari angkutan non Transjakarta. Antrean bus saat mengisi gas menggambarkan kurang
siapnya sarana dan prasarana bus, sedangkan tidak sterilnya jalur busway dari angkutan non-
transjakarta menggambarkan kesadaran masyarakat yang kurang dan juga penegakkan hukum
oleh kepolisian masih belum dapat menertibkannya.

IV. KESIMPULAN

Dari analisa yang dilakukan oleh penulis berdasarkan 3 (tiga) faktor yang dapat mewujudkan
kebijakan yang ideal, maka dapat diambil kesimpulan bahwa:

1. Faktor organisasi yang menerapkan (implementing organization) kebijakan busway yaitu BLU
dan Polri masih belum siap.

2. Faktor kelompok yang menjadi target (target group) sudah siap dan sangat berharap dengan
pelayanan yang baik dalam menggunakan busway.

3. Faktor sarana dan prasarana (environment factors) juga masih belum memadai.

Sehingga jika kita masukkan ke dalam teori model proses Smith, maka dengan kondisi seperti ini
tidak akan terwujud kebijakan publik yang ideal.

V. SARAN

Ada beberapa saran yang dapat penulis ajukan beradasarkan analisa yang telah dibuat
sebelumnya untuk membantu memperbaiki kebijakan penerapan busway ini supaya dapat
menjadi sebuah kebijakan publik yang ideal, antara lain:

1. Tambah jumlah armada busway.

2. Perbanyak SPBG (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas) khusus untuk busway.

3. Lakukan sterilisasi jalur busway oleh Polri secara konsisten.

4. Lakukan perawatan dan perbaikan sarana dan prasarana pendukung Busway secara rutin.

Semoga dengan adanya beberapa saran dari penulis dapat membantu menyelesaikan masalah
busway ini.

Anda mungkin juga menyukai