KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT THT
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari/Tanggal Ujian/Presentasi Kasus : ……………………..
SMF ILMU PENYAKIT THT
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA JAKARTA
I. IDENTITAS
Nama : Tn. H Agama : Islam
Umur : 52 tahun Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Swasta Pendidikan : SMA
Alamat : Kel. Pegangsaan dua B Status Menikah : Menikah
II. ANAMNESIS
Diambil secara : Autoanamnesa
Tanggal : 28 Desember 2018 Jam : 10.45 WIB
Keluhan Utama : Pendengaran pada telinga sebelah kiri berkurang
Keluhan Tambahan : Berdengung (+)
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke poli RSUD Koja dengan keluhan pendengaran telinga kiri berkurang sejak + 2
bulan yang lalu, pasien mengaku keluhan mulai dirasakan semenjak pasien mulai mengkonsumsi
obat jantung (antidiuretik) sejak 3 bulan yang lalu, pasien menyangkal adanya
keluar cairan dari telinga (-), batuk (-), pilek (-), nyeri tenggorokan (-), demam (-). Pasien juga
menyangkal adanya nyeri pada daerah telinga, riwayat trauma juga disangkal oleh pasien. Pasien
mengatakan terkadang sering mendengar suara dengungan pada telinga sebelah kiri. Rasa gatal
pada telinga juga disangkal oleh pasien. Sebelum nya pasien tidak pernah mengalami keluhan
seperti ini. Pendengaran pasien juga tidak dirasakan menurun ketika pasien belum mengkonsumsi
obat-obatan tersebut.
PEMERIKSAAN FISIK :
Telinga
Kanan Kiri
Kelainan pre-, infra-, Tidak tampak ada kelainan Tidak tampak ada kelainan
retroaurikuler
Region mastoid Tidak tampak ada kelainan Tidak tampak ada kelainan
Liang telinga Lapang, furunkel (-), serumen (- Lapang, furunkel (-), serumen (-
), sekret (-) ), sekret (-)
Membrane tympani Intak, reflex cahaya (+) arah jam 5 Intak, reflex cahaya (+) arah jam 7
2
Tes Penala
Kanan Kiri
Hidung
Bentuk : malformasi (-), simetris, krepitasi (-)
Tanda peradangan : Tidak ada tanda peradangan
Daerah sinus frontalis dan maxilaris : Nyeri tekan (-)
Vestibulum : Sekret (-), krusta (-), furunkel (-)
Cavum nasi : Lapang dextra/sinistra
Konka inferior kanan/kiri : Dalam batas normal, tampak merah muda
Meatus nasi inferior kanan/kiri: Tampak merah muda dextra/sinistra
Konka medius kanan/kiri : Dalam batas normal, tampak merah muda
Meatus nasi medius kanan/kiri: Tampak merah muda dextra/sinistra
Septum nasi : Deviasi (-)
Rhinopharynx
Koana : tidak dilakukan
Septum nasi posterior : tidak dilakukan
Muara tuba eustachius : tidak dilakukan
Tuba eustachius : tidak dilakukan
Torus tubarius : tidak dilakukan
Post nasal drip : tidak dilakukan
Pemeriksaan Transiluminasi
Tidak dilakukan
3
Tenggorok
Pharynx
Dinding pharynx : Hiperemis (-), ulkus (-), mukosa licin, perdarahan (-)
Arcus : Tidak tampak kelainan
Tonsil : T1-T1 kripta (-), detritus (-)
Uvula : Tidak tampak kelainan tidak ada deviasi
Gigi : Caries dentis (-)
Lain-lain : KGB tidak ada pembesaran
Larynx
Epiglottis : tidak dilakukan
Plica aryepiglotis : tidak dilakukan
Arytenoids : tidak dilakukan
Ventricular bands : tidak dilakukan
Pita suara : tidak dilakukan
Rima glotidis : tidak dilakukan
Cincin trachea : tidak dilakuka
Sinus piliformis : tidak dilakukan
Kelenjar limfe submandibular dan servical : Tidak teraba membesar
Resume
Tenggorok
T1-T1, uvula ditengah, faring tidak hiperemis, post nasal drip (-).
Diagnosa Banding
Gangguan pendengaran pada geriatri
Tuli mendadak
Working Diagnosis
Gangguan pendengaran akibat obat ototoksik
Penatalaksanaan
Mecobalamin 500 mg
S 3 dd 1
5
Planning
Pemeriksaan Audiometri
Anjuran
Kemungkinan menggunakan alat bantu dengar
Ganti obat tersebut dengan obat lain yang lebih aman untuk pasien.
6
Tinjauan Pustaka
I. Pendahuluan
Ototoksik sudah lama dikenal sebagai efek samping pengobatan kedokteran,
dan dengan bertambahnya obat-obatan yang lebih poten daftar obat-obatan ototoksik
makin bertambah.1 Obat-obatan dan zat kimia dapat mempengaruhi telinga dalam dan
mekanisme pendengaran. Umumnya efek yang muncul adalah gangguan vestibular dan
pendengaran. Efek yang timbul dapat bersifat reversibel atau ireversibel.2
Dari hasil ―WHO Multi Center Study” pada tahun 1998, Indonesia termasuk 4
negara di Asia Tenggara dengan prevalensi ketulian yang cukup tinggi (4,6%), 3 negara
lainnya adalah Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%), dan India (6,3%). Walaupun bukan
yang tertinggi tetapi prevalensi 4,6% adalah angka cukup tinggi, yang dapat
menimbulkan masalah sosial di tengah masyarakat. Hasil Survei Kesehatan Indera
Penglihatan dan Pendengaran tahun 1994-1996 yang dilaksankan di 7 propinsi di
Indonesia menunjukkan prevalensi gangguan pendengaran akibat obat ototoksik
sebesar 0,3%.3
Tinnitus, gangguan pendengaran, dan vertigo merupakan gejala utama
ototoksisitas. Banyak obat telah dilaporkan bersifat ototoksik. Golongan obat yang
telah diketahui secara umum dapat menimbulkan gangguan pendengaran adalah
golongan aminoglikosida, diuretik, Nonsteroidal antiinflamatory drugs (NSAID),
agen-agen kemoterapi, dan obat tetes telinga golongan aminoglikosida.1,4 Gangguan
pendengaran yang berhubungan dengan ototoksisitas kini sangat sering ditemukan oleh
karena penggunaan obat-obatan ototoksis yang semakin sering. Berhubung tidak ada
pengobatan untuk tuli akibat obat ototoksik, maka pencegahan menjadi lebih penting.
Dalam melakukan pencegahan ini termasuk mempertimbangkan penggunaan obat-
obatan ototoksik.1 Dengan mengetahui jenis obat dan mekanisme ototoksiknya,
diharapkan menjadi salah satu cara untuk mengurangi prevalensi ototoksisitas di
Indonesia.
7
Anatomi Telinga Dalam
Telinga dalam terdiri dari koklea yang berupa dua setengah lingkaran dan vestibular
yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak koklea disebut
helikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala vestibuli.1 Kanalis
semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk lingkaran yang tidak
lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah atas, skala timpani di
sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis).1
Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media berisi endolimfa.
Ion dan garam yang terdapat di perilimfa berbeda dengan endolimfa. Dasar skala vestibuli
disebut sebagai membran vestibuli (Reissner’s membrane) sedangkan dasar skala media
adalah membran basalis. Pada membran ini terletak organ Corti. Pada skala media terdapat
bagian yang berbentuk lidahyang disebut membran tektoria, dan pada membran basal
melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis Corti, yang
membentuk organ Corti.1
8
Proses Mendengar
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam
bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran tersebut
menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang
pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran
dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong.1
Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang
menggetarkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibula bergerak. Getaran
diteruskan melalui membran Reissner yang mendorong endolimfa, sehingga akan
menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini
merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel
rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan
sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan
neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf
auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius.1 Serabut-serabut saraf ini berjalan menuju
inti koklearis dorsalis dan ventralis dan menuju kolikulus inferior kotralateral,tetapi sebagian
serabut tetap berjalan ipsilateral. Penyilanga berikutnya terjadi pada lemnikus lateralis dan
kolikulus inferior yang selanjutnya berlanjut ke korpus genikulatum dan kemudian menuju
9
ke korteks pedengaran di lobus temporalis.5
Mekanisme Ototoksik
Ototoksisitas merupakan kemampuan obat atau zat kimia untuk merusak struktur
dan/atau fungsi dari telinga dalam. Kerusakan dapat terjadi pada struktur auditori dan/atau
vestibular telinga dalam.(Ballenger). Akibat penggunaan obat-obat yang bersifat ototoksik
akan dapat menimbulkan terjadinya gangguan fungsional pada telinga dalam yang
disebabkan telah terjadi perubahan struktur anatomi pada organ telinga dalam. Kerusakan
yang ditimbulkan oleh preparat ototoksik tersebut antara lain :1,4
10
apeks, tempat suara berfrekuensi rendah di proses. Aminoglikosida diduga juga mengganggu
sistem transpor aktif yang penting untuk mempertahankan kesetimbangan ion pada
endolimfe. Jika sel sensorik hilang, regenerasi tidak akan terjadi. Hal ini akan diikuti dengan
degenerasi saraf pendengaran yang memburuk, sehingga menyebabkan hilangnya
pendengaran secara ireversibel.6
Aminoglikosida lebih sering merusak sel rambut luar dari ordan korti dan sel rambut vestibular tipe 1. Sel
penunjang dan sel rambut dalam pada organ korti tidak terpengaruhi. Salah satu penyebab yang mungkin
dari pernyataan sebelumnya adalah kandungan antioksidan. Kadar glutathione, suatu antioksidan endogen
intraselular, pada sel rambut luar lebih rendah dibandingkan sel lainnya. Selain itu terdapat gradien level
glutathione dari basis ke apeks koklea. Sel rambut luar pada apeks koklea memiliki kadar glutathione
yang lebih tinggi dari sel rambut luar di basis koklea.
11
Gambar 4. Scanning dengan mikrograph elektron pada organ korti guinea pig ,
memperlihatkan kehilangan sel rambut setelah terapi aminoglikosida
Derajat terjadinya disfungsi permanen berkorelasi dengan jumlah sel-sel rambut sensorik
yang rusak dan berkaitan pula dengan lama pajanan obat. Penggunaan aminoglikosida secara
berulang, yang dalam setiap pemakaiannya menyebabkan hilangnya sel lebih banyak lagi,
dapat menyebabkan ketulian. Oleh karena jumlah sel menurun seiring bertambahnya usia,
pasien lanjut usia mungkin lebih rentan terhadap ototoksisitas. Obat seperti asam etakrinat
dan furosemid meningkatkan efek ototoksik aminoglikosida pada hewan coba. Walaupun
semua aminoglikosida mampu mempengaruhi fungsi koklea maupun vestibula, beberapa
toksisitas khusus dapat terjadi. Streptomisin dan gentamisin terutama menimbulkan efek
pada vestibula, sementara amikasin, kanamisin, dan neomisin terutama mempengaruhi
fungsi pendengaran. Tobramisin memberikan pengaruh yang sama pada keduanya. Selain
itu, 75% pasien yang menerima 2 gram streptomisin selama lebih dari 60 hari menunjukkan
gejala nistagmus atau ketidakseimbangan postural. Pasien yang menerima dosis tinggi
dan/atau pemakaian amioglikosida jangka panjang sebaiknya dipantau.6 Gejala pertama dari
toksisitas adalah timbulnya tinitus nada tinggi. Jika pemakaian obat tidak dihentikan,
gangguan pendengaran dapat terjadi setelah beberapa hari. Suara mendenging ini dapat
bertahan selama beberapa hari hingga 2 minggu setelah terapi dihentikan. Oleh karena
persepsi suara dalam rentang frekuensi tinggi (di luar rentang pembicaraan normal)
12
merupakan yang pertama hilang, maka individu yang terganggu ini terkadang tidak sadar
akan kesulitan ini, dan tidak akan dapat terdeteksi kecuali dilakukan pemeriksaan
audiometri.6
Pasien kebanyakan tidak akan memiliki keluhan gangguan pendengaran hingga pada
suatu saat mereka telah kehilangan 30 dB pada frekuensi 3000 Hz-4000 Hz. Monitoring
fungsi pendengaran penting pada pasien yang mengalami insufisiensi ginjal atau pada pasie
yang mendapatkan dosis terapi obat yang lebih tinggi dari dosis normal.(Balenger)
Pendekatan untuk memberikan perlindungan pada telinga akibat penggunaan aminoglikosida
(otoprotection) mencakup (1) upstream protection menggunakan antioksidan, free-radical
scavengers, metal chelators ; (2) downstream protection, seperti minoksiklin.
Eritromisin
13
Loop Diuretics
14
Ototoksisitas paling sering terjadi pada pemberian intravena secara cepat dan sangat jarang
terjadi pada penggunaan oral, terlebih lagi bila diberikan pada pasien dengan insufisiensi
ginjal. Faktor resiko lainnya adalah pemberian IV secara cepat (≥ 25 mg/menit). Asam
etakrinat menginduksi ototoksisitas lebih sering dibandingkan diuretik lainnya. Bila
bersamaan digunakan bersama aminoglikosida, dapat memperberat ototoksisitas yang
muncul.1,6,10
Waktu paruh furosemid plasma adalah 45-92 menit pada orang sehat. Pada pasien dengan
gagal ginjal, waktu paruh obat ini memanjang menjadi 3 jam. Kadar plasma > 50 mg/L
berkaitan dengan munculnya gangguan pendengaran.
Salah satu golongan obat yang saat ini digunakan secara luas adalah obat-obat anti
inflamasi non-steroid (NSAID). Digunakan sebagai analgetik-antipiretik, anti-inflamasi, dan
pencegah trombosis serebral. NSAID diketahui menghambat metabolisme asam arakidonat
menjadi prostaglandin. Namun, ternyata NSAID juga menghambat derivat non-
prostaglandin. NSAID merupakan molekul anion lipofilik, dan bila pH semakin rendah
(daerah inflamasi biasanya pH asam) maka semakin besar kelarutannya. Asam asetilsalisilat
(Aspirin) secara umum menghambat translokasi anion melewati membran sel, yang
berkontribusi pada munculnya ototoksisitas obat ini. Singkatnya, salisilat meenghambat
protein membran (prestin) dari sel rambut luar koklea memfasilitasi elektromotilitas melalui
translokasi transmembran dari anion monovalen seperti Cl-, sehingga mempengaruhi daya
choclear amplifier. Penelitian pada tulang temporal pasien yang sebelumnya telah diterapi
dengan salisilat menunjukkan struktur koklea yang normal. Hal ini menyatakan bahwa efek
ototoksisitas obat ini adalah reversibel.9 Konsentrasi serum asam salisilat 20-50 mg/dL
berhubungan dengan kehilangan pendengaran > 30 dB. Gangguan pendengaran yang
ditemukan adalah tuli sensorineural frekuensi tinggi dan tinitus. Namun apabila pengobatan
dihentikan pendengaran akan pulih kembali dan tinitus menghilang.1,9
Kina dan kloroquin adalah obat anti malaria yang biasa digunakan.1 Pemberian
klorokuin atau hidroksiklorokuin dengan dosis harian yang tinggi (> 250 mg) untuk
15
mengobati penyakit-penyakit selain malaria dapat mengakibatkan ototoksisitas.6
Ototoksisitas terjadi pula bila obat diberikan secara parenteral, misalnya pada malaria
serebral. Efek ototoksisnya berupa gangguan pendengaran dan tinitus. Namun bila
pengobatan dihentikan maka pendengaran akan pulih kembali dan tinitus hilang. Klorokuin
dan kina dapat melalui plasenta sehingga dapat terjadi tuli kongenital dan hipoplasia koklea.1
Kuinin juga dilaporkan menimbulkan gangguan pendengaran bila digunakan dalam jangka
waktu yang panjang dan dengan dosis tinggi. Dosis oral kuinin yang fatal untuk dewasa
adalah 2-8 gram. Kerusakan N.VIII menimbulkan tinitus, berkurangnya ketajaman
pendengaran, dan vertigo.6
Cisplatin merupakan agen kemoterapi yang umum digunakan dalam terapi tumor
ovarium, testis, vesica urinaria, dan tumor kepala- leher. Seperti banyak agen neoplastik lain,
cisplatin dapat menyebabkan efek-efek yang tidak diinginkan antara lain ototoksisitas. Efek
ini terjadi pada 30% pasien yang diterapi dan pada akhirnya menimbulkan ketulian
permanen/reversibel. Banyak studi penelitian menyatakan cisplatin menyebabkan kematian
sel rambut yang merupakan organ sensori penting. Setelah diinjeksi secara sistemik, cisplatin
terakumulasi di cairan telinga dalam dan diabsorbsi oleh sel epitel telinga. Platinated DNA
ditemukan pada sel rambut dan sel-sel penunjang. Pajanan cisplatin juga meningkatkan
Reactive Oxygen Species (ROS) di dalam sel rambut dan menyebabkan pengeluaran sitokin-
sitokin tertentu. Namun, studi lain menyatakan target primer cisplatin masih belum jelas, sel
rambut ataukah tipe sel epitel sensori telinga lain. Penelitian sebelumnya menyebutkan
terapi cisplatin menginduksi perubahan struktural pada sel-sel penunjang koklea.11
16
Gambar 7. Kehilangan sel rambut ujung distal lebih sering ( daerah
frekuensi rendah) terapi cisplatin pada hewan.11
Dari hasil penelitian pada sel rambut koklea hewan, didapatkan bahwa terapi dengan
cisplatin menyebabkan kehilangan progresif stereosilia, dimulai dari distal/basal ke
proksimal/apikal (distal-to-proximal pattern).11 Pola kerusakan ini berkaitan erat dengan
dimulainya penurunan fungsi pendengaran pada frekuensi tinggi terlebih dahulu. Selain itu
cisplatin juga menimbulkan kerusakan pada stria vaskularis. Sejak pertama kali dikenalkan,
dosis standar cisplatin adalah 50 mg/m2 . Peningkatan pemberian dosis menimbulkan
peningkatan kejadian dan derajat gangguan pendengaran. Dilaporkan bahwa pada pasien
yang mendapatkan terapi cisplatin 150-225 mg/m2 mengalami gangguan pendengaran.
Gangguan pendengaran biasanya terjadi secara bilateral dan muncul pertama kali pada
frekuensi tinggi ( 6000 Hz dan 8000 Hz). Penurunan ke frekuensi yang lebih rendah ( 2000
Hz dan 4000 Hz) dapat terjadi bila terapi dilanjutkan. Gejala ototoksisitas dapat menjadi
lebih berat setelah pemberian obat melalui bolus injeksi. Efek ototoksik dapat dikurangi
dengan cara pemberian secara lambat (slow infusion) dan pembagian dosis. (Balleger).
Anti Fungal
Efek ototoksik dari beberapa obat yaitu aminoglikosida, makrolida, diuretik loop,
cisplatin, salisilat, dan kloroquin sudah diketahui secara jelas. Namun terdapat data yang
terbatas mengenai ototoksisitas dari agen antifungal topikal.(CEO)
17
Obat Tetes Telinga
Faktor Resiko
Faktor resiko yang paling umum untuk menimbulkan gangguan pendengaran akibat
pemakaian obat ototoksik antara lain : ( ototoxic drug WHO)
18
1. Usia lanjut
2. Neonatus
6. Kehamilan
7. Gagal ginjal
8. Insufisiensi hepar
10. Penggunaan bersamaan dengan obat ototoksik lainnya ( biasanya pada diuretik)
Gejala Ototoksik
Tinitus, gangguan pendengaran, dan vertigo merupakan gejala utama ototoksisitas.
Tinitus yang berhubungan dengan ototoksisitas cirinya kuat dan bernada tinggi, berkisar
antara 4 KHz sampai 6 KHz. Pada kerusakan yangmenetap, tinitus lama kelamaan tidak
begitu kuat, tetapi juga tidak pernah hilang.1 Loop diuretics dapat menimbulkan tinitus yang
kuat dalam beberapa menit setelah penyuntikan intravena, tetapi pada kasus-kasus yang tidak
begitu berat dapat terjadi tuli sensorineural secara perlahan-lahan dan progresif dengan hanya
disertai tinitus ringan. Tinitus dan kurang pendengaran yang reversibel dapat terjadi pada
penggunaan salisilat dan kina serta tuli akut yang disebabkan oleh loop diuretic dapat pulih
kembali dengan menghentikan pengobatan segera. Tuli ringan juga pernah dilaporkan
sebagai akibat aminoglikosida, tetapi biasanya menetap atau hanya sebagian yang pulih
kembali. Kurang pendengaran yang disebabkan oleh pemberian antibiotika biasanya terjadi
setelah 3 atau 4 hari.1
Tuli akibat ototoksik dapat menetap hingga berbulan-bulan setelah pengobatan
selesai. Biasanya tuli bersifat bilateral. Kurang pendengaran akibat pemakaian obat ototoksik
bersifat sensorineural. Antibiotika yang bersifat ototoksik mempunyai ciri penurunan yang
19
tajam untuk frekuensi tinggi pada audiogram, sedangka diuretik menghsilkan gambaran
audiogram yang mendatar atau sedikit menurun. Selain itu tidak jarang terdapat pula
gangguan keseimbangan badan dan sulit memfiksasi pandangan, terutama setelah perubahan
posisi.1
Pemeriksaan Audiologi
Monitoring adanya ototoksisitas dapat dilakukan dengan pemeriksaan audiologi.
Ultra-high frequency audiometry dan Otoacoustic emission (OAE) mendeteksi secara dini
gangguan pendengaran akibat obat-obat ototoksik dibandingkan dengan kovensional Pure-
tone threshold testing.13
Ultra High Frequency Audiometry (Ultra-HFA)
Efek awal dari obat ototoksik adalah kerusakan sel rambut luar di bagian basal dari
koklea. HFA merupakan tes hantaran udara (air-conduction threshold testing ) untuk
frekuensi diatas 8000 Hz, berkisar di atas 16 atau 20 kHz. HFA dapat mendeteksi gangguan
pendengaran akibat aminoglikosida atau cisplatin. Oleh karena itu HFA saat ini umum
digunakan untuk memonitoring kasus-kasus ototoksisitas.10 High Frequency Audiometry
tidak dipengaruhi oleh otitis media. Berbeda dengan OAE yang hasil pemeriksaannya sangat
dipengaruhi oleh kondisi patologis pada telinga tengah, misalnya otitis media.10
Otoacoustic emission (OAE)
Merupakan respons koklea yang dihasilkan oleh sel rambut luar yang dipancarkan
dalam bentuk energi akustik. Sel-sel rambut luar dipersarafi oleh serabut saraf eferen dan
mempunyai elektromotilitas, sehingga pergerakan sel-sel rambut akan menginduksi
depolarisasi. Pemeriksaan OAE dilakukan dengan cara memasukkan probe ke dalam liang
telinga luar. Dalam probe tersebut terdapat mikrofon dan pengeras suara yang berfungsi
untuk memberikan stimulus suara. Mikrofon berfungsi untuk menangkap suara yang
dihasilkan koklea setelah pemberian stimulus. Otoacoustic emission dibagi mejadi 2
kelompok, yaitu :1
Spontanneus Otoacoustic Emission (SOAE)
Evoked Otoacoustic Emission ( EOAE)
Evoked Otoacoustic Emission merupakan respon koklea yang timbul dengan adanya stimulus
suara. Terdapat 3 jenis, yaitu : 1). Stimulus-frequency Otoacoustic Emission; 2). Transiently-
evoked Otoacoustic Emission (TEOAE); 3). Distortion-product Otoacoustic Emission
20
(DPOAE).1
Untuk gangguan pendengaran akibat obat ototoksik DPOAE efektif untuk deteksi dini. DPOAE
menggunakan stimulus dua nada murni (F1,F2) dengan frekuensi tertentu.1,13
Audiometri Nada Murni juga dapat mendeteksi adanya gangguan pendengaran akibat obat
ototoksik. Akan didapatkan tuli sensorineural frekuensi tinggi pada audiogram.13
21
Gambar 9. Audiometri Nada Murni pada pasien dengan terapi
cisplatin.13
Penatalaksanaan
Tuli yang diakibatkan oleh obat-obatan ototoksik tidak dapat diobati. Bila
pada waktu pemberian obat-obat ototoksik terjadi gangguan pada telinga dalan
setelah dilakukan pemeriksaan audiometri, maka pengobatan dengan obat-obatan
tersebut harus segera dihentikan. Berat ringannya ketulian yang terjadi tergantung
kepada jenis obat, jumlah, dan lamanya pengobatan. Kerentanan pasien termasuk
yang menderita insufisiensi ginjal, renal, serta sifat obat itu sendiri juga
mempengaruhi kemunculan gejala ototoksik.1 Apabila ketulian sudah terjadi dapat
dicoba melakukan rehabilitasi antara lain denga alat bantu dengar, psikoterapi,
auditory training, belajar berkomunikasi total dengan belajar membaca bahasa
isyarat. Pada tuli total bilateral mungkin dapat dipertimbangkan pemasangan implan
koklea.1,13
22
Pencegahan
Berhubung tidak ada pengobatan untuk tuli akibat obat ototoksik, maka
pencegahan menjadi lebih penting. Dalam melakukan pencegahan ini termasuk
mempertimbangkan penggunaan obat-obat ototoksik, menilai kerentanan pasien,
memonitor efek samping secara dini, yaitu dengan memperhatikan gejala-gejala
keracunan telinga dalam seperti tinitus, kurang pendengaran, dan vertigo.Pada pasien
yang telah menunjukkan gejala-gejala tersebut harus dilakukan evaluasi audiologi
dan menghentikan pengobatan.1
Prognosis
Prognosis sangat tergantung kepada jenis obat, jumlah, dan lamanya
pengobatan, serta kerentanan pasien. Pada umumnya pronosis tidak begitu baik malah
mungkin buruk.1
Kesimpulan
Berdasarkan hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
audiometri yang didapatkan dapat saya simpulkan bahwa pasien ini mengalami
gangguan pendengaran yang disebabkan oleh ada nya obat ototoksik. Dimana pasien
rutin mengkonsumsi obat anti diuretik yang diketahui memiliki efek ototoksik kepada
telinga walaupun tidak semua orang akan mengalaminya.
Daftar Pustaka
23
mencapai sound hearing 2030. 2006, h.4-5.
5. Guyton, A.C, Hall, J.E. Indra pendengaran. Dalam : Guyton and hall
buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi ke-sebelas, Jakarta:EGC, 2007,
h.688-689.
10. Van der Heijden AJ, Tibboel D, Bogers AJ. Cohen AF, Helbing WA.
Optimal furosemid therapy in critically ill infants. 2007, h. 15-16.
13. Martin DK, Gordon JS, Reavis KM, Wilmington DJ, Fausti SA.
24
Audiological monitoring of patient receiving ototoxicity drugs.
25