Anda di halaman 1dari 25

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)


Jl. Terusan Arjuna No.6 Kebon Jeruk – Jakarta Barat

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT THT
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari/Tanggal Ujian/Presentasi Kasus : ……………………..
SMF ILMU PENYAKIT THT
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA JAKARTA

Nama : Tria Usma Putra Tanda tangan


Nim : 11.2018.022
Dr. pembimbing : dr. Irma Suryati ,Sp.THT-KL ……………..

I. IDENTITAS
Nama : Tn. H Agama : Islam
Umur : 52 tahun Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Swasta Pendidikan : SMA
Alamat : Kel. Pegangsaan dua B Status Menikah : Menikah

II. ANAMNESIS
Diambil secara : Autoanamnesa
Tanggal : 28 Desember 2018 Jam : 10.45 WIB
Keluhan Utama : Pendengaran pada telinga sebelah kiri berkurang
Keluhan Tambahan : Berdengung (+)
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke poli RSUD Koja dengan keluhan pendengaran telinga kiri berkurang sejak + 2
bulan yang lalu, pasien mengaku keluhan mulai dirasakan semenjak pasien mulai mengkonsumsi
obat jantung (antidiuretik) sejak 3 bulan yang lalu, pasien menyangkal adanya
keluar cairan dari telinga (-), batuk (-), pilek (-), nyeri tenggorokan (-), demam (-). Pasien juga
menyangkal adanya nyeri pada daerah telinga, riwayat trauma juga disangkal oleh pasien. Pasien
mengatakan terkadang sering mendengar suara dengungan pada telinga sebelah kiri. Rasa gatal
pada telinga juga disangkal oleh pasien. Sebelum nya pasien tidak pernah mengalami keluhan
seperti ini. Pendengaran pasien juga tidak dirasakan menurun ketika pasien belum mengkonsumsi
obat-obatan tersebut.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Diabetes Melitus, Jantung dan Hipertensi

Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada

PEMERIKSAAN FISIK :
Telinga
Kanan Kiri

Bentuk daun telinga Normotia Normotia

Kelainan congenital Tidak ada Tidak ada

Radang, Tumor Tidak tampak kelainan Tidak tampak kelainan

Nyeri tekan tragus Tidak ada Tidak ada

Penarikan daun telinga Tidak ada Tidak ada

Kelainan pre-, infra-, Tidak tampak ada kelainan Tidak tampak ada kelainan
retroaurikuler
Region mastoid Tidak tampak ada kelainan Tidak tampak ada kelainan

Liang telinga Lapang, furunkel (-), serumen (- Lapang, furunkel (-), serumen (-
), sekret (-) ), sekret (-)

Membrane tympani Intak, reflex cahaya (+) arah jam 5 Intak, reflex cahaya (+) arah jam 7

2
Tes Penala
Kanan Kiri

Rinne Positif Positif

Weber Tidak ada lateralisasi Tidak ada lateralisasi

Swabach Sesuai pemeriksa Memendek

Hidung
 Bentuk : malformasi (-), simetris, krepitasi (-)
 Tanda peradangan : Tidak ada tanda peradangan
 Daerah sinus frontalis dan maxilaris : Nyeri tekan (-)
 Vestibulum : Sekret (-), krusta (-), furunkel (-)
 Cavum nasi : Lapang dextra/sinistra
 Konka inferior kanan/kiri : Dalam batas normal, tampak merah muda
 Meatus nasi inferior kanan/kiri: Tampak merah muda dextra/sinistra
 Konka medius kanan/kiri : Dalam batas normal, tampak merah muda
 Meatus nasi medius kanan/kiri: Tampak merah muda dextra/sinistra
 Septum nasi : Deviasi (-)

Rhinopharynx
 Koana : tidak dilakukan
 Septum nasi posterior : tidak dilakukan
 Muara tuba eustachius : tidak dilakukan
 Tuba eustachius : tidak dilakukan
 Torus tubarius : tidak dilakukan
 Post nasal drip : tidak dilakukan

Pemeriksaan Transiluminasi
Tidak dilakukan

3
Tenggorok

 Pharynx
 Dinding pharynx : Hiperemis (-), ulkus (-), mukosa licin, perdarahan (-)
 Arcus : Tidak tampak kelainan
 Tonsil : T1-T1 kripta (-), detritus (-)
 Uvula : Tidak tampak kelainan tidak ada deviasi
 Gigi : Caries dentis (-)
 Lain-lain : KGB tidak ada pembesaran

 Larynx
 Epiglottis : tidak dilakukan
 Plica aryepiglotis : tidak dilakukan
 Arytenoids : tidak dilakukan
 Ventricular bands : tidak dilakukan
 Pita suara : tidak dilakukan
 Rima glotidis : tidak dilakukan
 Cincin trachea : tidak dilakuka
 Sinus piliformis : tidak dilakukan
 Kelenjar limfe submandibular dan servical : Tidak teraba membesar

Resume

Dari anamnesa didapatkan:


Pasien datang ke poli RSUD Koja dengan keluhan pendengaran telinga kiri berkurang sejak + 2
bulan yang lalu, pasien mengaku keluhan mulai dirasakan semenjak pasien mulai mengkonsumsi
obat jantung (antidiuretik) sejak 3 bulan yang lalu, pasien menyangkal adanya keluar cairan dari
telinga (-), batuk (-), pilek (-), nyeri tenggorokan (-), demam (-). Pasien juga menyangkal adanya
nyeri pada daerah telinga, riwayat trauma juga disangkal oleh pasien. Pasien mengatakan
terkadang sering mendengar suara dengungan pada telinga sebelah kiri. Rasa gatal pada telinga
4
juga disangkal oleh pasien. Sebelum nya pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini.
Pendengaran pasien juga tidak dirasakan menurun ketika pasien belum mengkonsumsi obat-
obatan tersebut.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan pada:


 Telinga
Kanan : lapang, sekret (-), serumen (-), membrane timpani utuh, reflex cahaya positif arah jam 5
Kiri : lapang, sekret (-), serumen (-), membrane timpani utuh, reflex cahaya positif arah jam 7

 Hidung (termasuk pemeriksaan transiluminasi)


Kanan : lapang, sekret (-), hiperemis (-), deviasi septum (-)
Kiri : lapang, sekret (-), hiperemis (-), deviasi septum (-)

 Tenggorok
T1-T1, uvula ditengah, faring tidak hiperemis, post nasal drip (-).

Diagnosa Banding
Gangguan pendengaran pada geriatri
Tuli mendadak

Working Diagnosis
Gangguan pendengaran akibat obat ototoksik

Penatalaksanaan
Mecobalamin 500 mg
S 3 dd 1

5
Planning
Pemeriksaan Audiometri

Anjuran
 Kemungkinan menggunakan alat bantu dengar
 Ganti obat tersebut dengan obat lain yang lebih aman untuk pasien.

6
Tinjauan Pustaka

I. Pendahuluan
Ototoksik sudah lama dikenal sebagai efek samping pengobatan kedokteran,
dan dengan bertambahnya obat-obatan yang lebih poten daftar obat-obatan ototoksik
makin bertambah.1 Obat-obatan dan zat kimia dapat mempengaruhi telinga dalam dan
mekanisme pendengaran. Umumnya efek yang muncul adalah gangguan vestibular dan
pendengaran. Efek yang timbul dapat bersifat reversibel atau ireversibel.2
Dari hasil ―WHO Multi Center Study” pada tahun 1998, Indonesia termasuk 4
negara di Asia Tenggara dengan prevalensi ketulian yang cukup tinggi (4,6%), 3 negara
lainnya adalah Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%), dan India (6,3%). Walaupun bukan
yang tertinggi tetapi prevalensi 4,6% adalah angka cukup tinggi, yang dapat
menimbulkan masalah sosial di tengah masyarakat. Hasil Survei Kesehatan Indera
Penglihatan dan Pendengaran tahun 1994-1996 yang dilaksankan di 7 propinsi di
Indonesia menunjukkan prevalensi gangguan pendengaran akibat obat ototoksik
sebesar 0,3%.3
Tinnitus, gangguan pendengaran, dan vertigo merupakan gejala utama
ototoksisitas. Banyak obat telah dilaporkan bersifat ototoksik. Golongan obat yang
telah diketahui secara umum dapat menimbulkan gangguan pendengaran adalah
golongan aminoglikosida, diuretik, Nonsteroidal antiinflamatory drugs (NSAID),
agen-agen kemoterapi, dan obat tetes telinga golongan aminoglikosida.1,4 Gangguan
pendengaran yang berhubungan dengan ototoksisitas kini sangat sering ditemukan oleh
karena penggunaan obat-obatan ototoksis yang semakin sering. Berhubung tidak ada
pengobatan untuk tuli akibat obat ototoksik, maka pencegahan menjadi lebih penting.
Dalam melakukan pencegahan ini termasuk mempertimbangkan penggunaan obat-
obatan ototoksik.1 Dengan mengetahui jenis obat dan mekanisme ototoksiknya,
diharapkan menjadi salah satu cara untuk mengurangi prevalensi ototoksisitas di
Indonesia.

7
Anatomi Telinga Dalam
Telinga dalam terdiri dari koklea yang berupa dua setengah lingkaran dan vestibular
yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak koklea disebut
helikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala vestibuli.1 Kanalis
semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk lingkaran yang tidak
lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah atas, skala timpani di
sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis).1

Gambar.1 Anatomi Telinga Dalam.5

Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media berisi endolimfa.
Ion dan garam yang terdapat di perilimfa berbeda dengan endolimfa. Dasar skala vestibuli
disebut sebagai membran vestibuli (Reissner’s membrane) sedangkan dasar skala media
adalah membran basalis. Pada membran ini terletak organ Corti. Pada skala media terdapat
bagian yang berbentuk lidahyang disebut membran tektoria, dan pada membran basal
melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis Corti, yang
membentuk organ Corti.1

8
Proses Mendengar
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam
bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran tersebut
menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang
pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran
dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong.1

Gambar.2 Proses Pendengaran.5

Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang
menggetarkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibula bergerak. Getaran
diteruskan melalui membran Reissner yang mendorong endolimfa, sehingga akan
menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini
merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel
rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan
sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan
neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf
auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius.1 Serabut-serabut saraf ini berjalan menuju
inti koklearis dorsalis dan ventralis dan menuju kolikulus inferior kotralateral,tetapi sebagian
serabut tetap berjalan ipsilateral. Penyilanga berikutnya terjadi pada lemnikus lateralis dan
kolikulus inferior yang selanjutnya berlanjut ke korpus genikulatum dan kemudian menuju

9
ke korteks pedengaran di lobus temporalis.5

Mekanisme Ototoksik

Ototoksisitas merupakan kemampuan obat atau zat kimia untuk merusak struktur
dan/atau fungsi dari telinga dalam. Kerusakan dapat terjadi pada struktur auditori dan/atau
vestibular telinga dalam.(Ballenger). Akibat penggunaan obat-obat yang bersifat ototoksik
akan dapat menimbulkan terjadinya gangguan fungsional pada telinga dalam yang
disebabkan telah terjadi perubahan struktur anatomi pada organ telinga dalam. Kerusakan
yang ditimbulkan oleh preparat ototoksik tersebut antara lain :1,4

1. Degenerasi stria vaskularis

2. Degenerasi sel epitel sensori

3. Degenerasi sel ganglion


Berikut uraian beberapa preparat ototoksik dan mekanisme ototoksiknya:
a. Aminoglikosida

Semua aminoglikosida memiliki potensi untuk menghasilkan toksisitas terhadap


koklea dan vestibula. Penelitian terhadap hewan dan manusia mencatat terjadinya akumulasi
obat-obat ini secara progresif dalam perilimfe dan endolimfe telinga dalam. Akumulasi
terjadi bila konsentrasi obat dalam plasma tinggi. Waktu paruh amioglikosida 5-6 kali lebih
lama di dalam cairan otik daripada di dalam plasma. Sebagian besar ototoksisitas bersifat
ireversibel dan terjadi akibat destruksi progresif sel-sel epitel sensorik.6 Aminoglikosida
dilaporkan menimbulkan kehilangan pendengaran pada 33% individu yang diterapi dengan
obat ini.7 Saat molekul obat ini memasuki sel rambut pada organ corti melalui mekanisme
mechano-electrical transducer channels, akan terbentuk kompleks aminoglikosida dengan
logam (Fe). Terbentuknya kompleks aminoglikosida-Fe mengaktifkan substansi Reactive
Oxygen Species (ROS), yaitu superoxide anion radical, hydrogen peroxide, hydroxyl
radical,peroxynitrite anion. Substansi-substansi tersebut mengaktifkan JNK (c-Jun- N-
terminal kinase) yang akan membuat mitokondria sel sensorik melepaskan cytochrome c
(Cyt c). Cyt c menginisiasi apoptosis sel. Kaskade inilah yang menyebabkan hilangnya sel-
sel rambut pada organ korti.7 Dengan dosis yang meningkat serta pemajanan yang diperlama,
kerusakan berkembang dari dasar koklea, tempat suara berfrekuensi tinggi di proses, ke

10
apeks, tempat suara berfrekuensi rendah di proses. Aminoglikosida diduga juga mengganggu
sistem transpor aktif yang penting untuk mempertahankan kesetimbangan ion pada
endolimfe. Jika sel sensorik hilang, regenerasi tidak akan terjadi. Hal ini akan diikuti dengan
degenerasi saraf pendengaran yang memburuk, sehingga menyebabkan hilangnya
pendengaran secara ireversibel.6

Gambar.3 Mekanisme Ototoksisitas Aminoglikosida (AG) pada Sel Rambut.7

Aminoglikosida lebih sering merusak sel rambut luar dari ordan korti dan sel rambut vestibular tipe 1. Sel
penunjang dan sel rambut dalam pada organ korti tidak terpengaruhi. Salah satu penyebab yang mungkin
dari pernyataan sebelumnya adalah kandungan antioksidan. Kadar glutathione, suatu antioksidan endogen
intraselular, pada sel rambut luar lebih rendah dibandingkan sel lainnya. Selain itu terdapat gradien level
glutathione dari basis ke apeks koklea. Sel rambut luar pada apeks koklea memiliki kadar glutathione
yang lebih tinggi dari sel rambut luar di basis koklea.

11
Gambar 4. Scanning dengan mikrograph elektron pada organ korti guinea pig ,
memperlihatkan kehilangan sel rambut setelah terapi aminoglikosida

Derajat terjadinya disfungsi permanen berkorelasi dengan jumlah sel-sel rambut sensorik
yang rusak dan berkaitan pula dengan lama pajanan obat. Penggunaan aminoglikosida secara
berulang, yang dalam setiap pemakaiannya menyebabkan hilangnya sel lebih banyak lagi,
dapat menyebabkan ketulian. Oleh karena jumlah sel menurun seiring bertambahnya usia,
pasien lanjut usia mungkin lebih rentan terhadap ototoksisitas. Obat seperti asam etakrinat
dan furosemid meningkatkan efek ototoksik aminoglikosida pada hewan coba. Walaupun
semua aminoglikosida mampu mempengaruhi fungsi koklea maupun vestibula, beberapa
toksisitas khusus dapat terjadi. Streptomisin dan gentamisin terutama menimbulkan efek
pada vestibula, sementara amikasin, kanamisin, dan neomisin terutama mempengaruhi
fungsi pendengaran. Tobramisin memberikan pengaruh yang sama pada keduanya. Selain
itu, 75% pasien yang menerima 2 gram streptomisin selama lebih dari 60 hari menunjukkan
gejala nistagmus atau ketidakseimbangan postural. Pasien yang menerima dosis tinggi
dan/atau pemakaian amioglikosida jangka panjang sebaiknya dipantau.6 Gejala pertama dari
toksisitas adalah timbulnya tinitus nada tinggi. Jika pemakaian obat tidak dihentikan,
gangguan pendengaran dapat terjadi setelah beberapa hari. Suara mendenging ini dapat
bertahan selama beberapa hari hingga 2 minggu setelah terapi dihentikan. Oleh karena
persepsi suara dalam rentang frekuensi tinggi (di luar rentang pembicaraan normal)

12
merupakan yang pertama hilang, maka individu yang terganggu ini terkadang tidak sadar
akan kesulitan ini, dan tidak akan dapat terdeteksi kecuali dilakukan pemeriksaan
audiometri.6

Pasien kebanyakan tidak akan memiliki keluhan gangguan pendengaran hingga pada
suatu saat mereka telah kehilangan 30 dB pada frekuensi 3000 Hz-4000 Hz. Monitoring
fungsi pendengaran penting pada pasien yang mengalami insufisiensi ginjal atau pada pasie
yang mendapatkan dosis terapi obat yang lebih tinggi dari dosis normal.(Balenger)
Pendekatan untuk memberikan perlindungan pada telinga akibat penggunaan aminoglikosida
(otoprotection) mencakup (1) upstream protection menggunakan antioksidan, free-radical
scavengers, metal chelators ; (2) downstream protection, seperti minoksiklin.

Eritromisin

Merupakan antibiotik golongan makrolida. Eritromisin biasanya bersifat


bakteriostatik, tetapi dapat bakterisida dalam konsentrasi yang tinggi terhadap
mikroorganisme yang sangat rentan. Laporan ototoksisitas eritromisin pertama kali dilaporka
pada tahun 1972. Gangguan pendengaran sementara merupakan komplikasi yang mungkin
timbul dalam pengobatan menggunakan eritromisin. Hal ini teramati setelah pemberian
intravena eritromisin gluseptat atau laktobionat dosis tinggi ( 4 gr/hari) atau konsumsi oral
eritromisin estolat dosis tinggi.6 Mekanisme dari ototoksisitas eritromisin belum sepenuhnya
dimengerti dan lokasi kerusakan masih belum jelas diketahui. Beberapa peneliti menyatakan
kerusakan terjadi pada striae vaskularis, yang pada akhirnya mengganggu potesial ionik.
Peneliti lain menyatakan obat ini mempengaruhi jaras pendengaran sentral. Faktor resiko
untuk terjadinya ototoksisitas eritromisisin adalah pasien dengan gangguan renal, hepar, dan
lanjut usia.7Gejala pemberian eritromisin intravena terhadap telinga adalah kurang
pendengaran, tinitus subjektif, dan terkadang vertigo. Pernah dilaporkan bahwa terjadi tuli
sensorineural nada tinggi bilateral dan tinitus setelah pemberian IV dosis tinggi atau oral.
Biasanya gangguan pendengaran dapat pulih setelah pengobatan dihentikan. Antibiotika lain
seperti Vankomisin, Viomisin, Minoksiklin dapat mengakibatkan ototoksisitas bila diberikan
pada pasien yang terganggu fungsi ginjalnya.1,2

13
Loop Diuretics

Ethycrynic acid, furosemid,dan bumetanid adalah diuretik kuat yang memblok


pompa Na+-K+-2Cl—di bagian asenden tebal ansa Henle, sehingga diuretikini disebut juga
sebagai diuretik loop.6 Ketiga obat yang tersebut di atas adalah obat yang paling ototoksik
dari golongan diuretik loop. Diuretik digunakan untuk memodifikasi komposisi dan/atau
volume dari cairan tubuh untuk menangani kondisi seperti hipertensi, gagal jantung
kongestif, gagal ginjal, sirosis dan sindrom nefrotik. Diuretik loop bekerja pada bagian
asending loop of Henle ginjal. Target kerja dari obat ini adalah protein soldium- potassium-
2 chloride (Na+-K+-2 Cl-) cotransporters. Protein ini ternyata banyak ditemukan pada sel
epitelial dan non-epitelial dan juga terlokalisasi pada stria vaskularis koklea. Inhibisi dari
kerja protein ko-transporter tersebut menyebabkan eksresi Na+ dari sel marginal ke ruang
intrastrial sehingga menimbulkan edema pada ruang intrastrial dan juga pada sel penyusun
stria vaskularis. Kondisi ini akan mempengaruhi potensial endokoklea, yang penting untuk
mempertahankan potensial sel rambut dalam batasan yang normal.9 Akan terjadi penurunan
potensial positif endolimfe. Furosemid dilaporkan memiliki efek langsung pada motilitas
sel rambut luar ( outer hair cell) yang akan menimbulkan disfungsi sensori.10 Diuretik loop
dapat menyebabkan munculnya gejala tinitus, gangguan pendengaran, ketulian, vertigo,
dan rasa ―penuh pada telinga. Gangguan pendengaran dan ketulian biasanya bersifat
reversibel, tetapi tidak selalu.

Gambar 5. Mekanisme Kerja Diuretik.6

14
Ototoksisitas paling sering terjadi pada pemberian intravena secara cepat dan sangat jarang
terjadi pada penggunaan oral, terlebih lagi bila diberikan pada pasien dengan insufisiensi
ginjal. Faktor resiko lainnya adalah pemberian IV secara cepat (≥ 25 mg/menit). Asam
etakrinat menginduksi ototoksisitas lebih sering dibandingkan diuretik lainnya. Bila
bersamaan digunakan bersama aminoglikosida, dapat memperberat ototoksisitas yang
muncul.1,6,10

Waktu paruh furosemid plasma adalah 45-92 menit pada orang sehat. Pada pasien dengan
gagal ginjal, waktu paruh obat ini memanjang menjadi 3 jam. Kadar plasma > 50 mg/L
berkaitan dengan munculnya gangguan pendengaran.

Obat Anti Inflamasi

Salah satu golongan obat yang saat ini digunakan secara luas adalah obat-obat anti
inflamasi non-steroid (NSAID). Digunakan sebagai analgetik-antipiretik, anti-inflamasi, dan
pencegah trombosis serebral. NSAID diketahui menghambat metabolisme asam arakidonat
menjadi prostaglandin. Namun, ternyata NSAID juga menghambat derivat non-
prostaglandin. NSAID merupakan molekul anion lipofilik, dan bila pH semakin rendah
(daerah inflamasi biasanya pH asam) maka semakin besar kelarutannya. Asam asetilsalisilat
(Aspirin) secara umum menghambat translokasi anion melewati membran sel, yang
berkontribusi pada munculnya ototoksisitas obat ini. Singkatnya, salisilat meenghambat
protein membran (prestin) dari sel rambut luar koklea memfasilitasi elektromotilitas melalui
translokasi transmembran dari anion monovalen seperti Cl-, sehingga mempengaruhi daya
choclear amplifier. Penelitian pada tulang temporal pasien yang sebelumnya telah diterapi
dengan salisilat menunjukkan struktur koklea yang normal. Hal ini menyatakan bahwa efek
ototoksisitas obat ini adalah reversibel.9 Konsentrasi serum asam salisilat 20-50 mg/dL
berhubungan dengan kehilangan pendengaran > 30 dB. Gangguan pendengaran yang
ditemukan adalah tuli sensorineural frekuensi tinggi dan tinitus. Namun apabila pengobatan
dihentikan pendengaran akan pulih kembali dan tinitus menghilang.1,9

Obat Anti Malaria

Kina dan kloroquin adalah obat anti malaria yang biasa digunakan.1 Pemberian
klorokuin atau hidroksiklorokuin dengan dosis harian yang tinggi (> 250 mg) untuk

15
mengobati penyakit-penyakit selain malaria dapat mengakibatkan ototoksisitas.6
Ototoksisitas terjadi pula bila obat diberikan secara parenteral, misalnya pada malaria
serebral. Efek ototoksisnya berupa gangguan pendengaran dan tinitus. Namun bila
pengobatan dihentikan maka pendengaran akan pulih kembali dan tinitus hilang. Klorokuin
dan kina dapat melalui plasenta sehingga dapat terjadi tuli kongenital dan hipoplasia koklea.1
Kuinin juga dilaporkan menimbulkan gangguan pendengaran bila digunakan dalam jangka
waktu yang panjang dan dengan dosis tinggi. Dosis oral kuinin yang fatal untuk dewasa
adalah 2-8 gram. Kerusakan N.VIII menimbulkan tinitus, berkurangnya ketajaman
pendengaran, dan vertigo.6

Obat Anti Tumor

Cisplatin merupakan agen kemoterapi yang umum digunakan dalam terapi tumor
ovarium, testis, vesica urinaria, dan tumor kepala- leher. Seperti banyak agen neoplastik lain,
cisplatin dapat menyebabkan efek-efek yang tidak diinginkan antara lain ototoksisitas. Efek
ini terjadi pada 30% pasien yang diterapi dan pada akhirnya menimbulkan ketulian
permanen/reversibel. Banyak studi penelitian menyatakan cisplatin menyebabkan kematian
sel rambut yang merupakan organ sensori penting. Setelah diinjeksi secara sistemik, cisplatin
terakumulasi di cairan telinga dalam dan diabsorbsi oleh sel epitel telinga. Platinated DNA
ditemukan pada sel rambut dan sel-sel penunjang. Pajanan cisplatin juga meningkatkan
Reactive Oxygen Species (ROS) di dalam sel rambut dan menyebabkan pengeluaran sitokin-
sitokin tertentu. Namun, studi lain menyatakan target primer cisplatin masih belum jelas, sel
rambut ataukah tipe sel epitel sensori telinga lain. Penelitian sebelumnya menyebutkan
terapi cisplatin menginduksi perubahan struktural pada sel-sel penunjang koklea.11

Gambar 6. Kehilangan sel rambut setelah 24 jam terapi cisplatin pada


koklea hewan.11

16
Gambar 7. Kehilangan sel rambut ujung distal lebih sering ( daerah
frekuensi rendah) terapi cisplatin pada hewan.11

Dari hasil penelitian pada sel rambut koklea hewan, didapatkan bahwa terapi dengan
cisplatin menyebabkan kehilangan progresif stereosilia, dimulai dari distal/basal ke
proksimal/apikal (distal-to-proximal pattern).11 Pola kerusakan ini berkaitan erat dengan
dimulainya penurunan fungsi pendengaran pada frekuensi tinggi terlebih dahulu. Selain itu
cisplatin juga menimbulkan kerusakan pada stria vaskularis. Sejak pertama kali dikenalkan,
dosis standar cisplatin adalah 50 mg/m2 . Peningkatan pemberian dosis menimbulkan
peningkatan kejadian dan derajat gangguan pendengaran. Dilaporkan bahwa pada pasien
yang mendapatkan terapi cisplatin 150-225 mg/m2 mengalami gangguan pendengaran.
Gangguan pendengaran biasanya terjadi secara bilateral dan muncul pertama kali pada
frekuensi tinggi ( 6000 Hz dan 8000 Hz). Penurunan ke frekuensi yang lebih rendah ( 2000
Hz dan 4000 Hz) dapat terjadi bila terapi dilanjutkan. Gejala ototoksisitas dapat menjadi
lebih berat setelah pemberian obat melalui bolus injeksi. Efek ototoksik dapat dikurangi
dengan cara pemberian secara lambat (slow infusion) dan pembagian dosis. (Balleger).

Anti Fungal

Efek ototoksik dari beberapa obat yaitu aminoglikosida, makrolida, diuretik loop,
cisplatin, salisilat, dan kloroquin sudah diketahui secara jelas. Namun terdapat data yang
terbatas mengenai ototoksisitas dari agen antifungal topikal.(CEO)

17
Obat Tetes Telinga

Banyak obat tetes telinga mengandung antibiotika golongan aminoglikosida seperti


Neomisin dan Polimiksin B. Terjadiya ketulian oleh karena obat tersebut dapat menembus
membran tingkap bundar (round window membrane). Walaupun membran tersebut pada
manusia lebih tebal 3 x dibandingkan pada baboon (semacam monyet besar) (± > 65
mikron), tetapi dari hasil penelitian masih dapat ditembus obat-obatan tersebut.1 Obat tetes
telinga diindikasikan untuk pasien yang menderita infeksi telinga luar. Beberapa laporan
pada literatur menguraikan gejala ototoksisitas muncul setelah pemberian agen ototopikal
pada pasien dengan perforasi membran timpani. Jalur untuk obat ototopikal melewati telinga
tengah ke telinga dalam adalah melewati tingkap bundar dan menuju perilimfe skala timpani.
Membran tingkap bundar terdiri atas 3 lapisan yang mengandung micropinocytotic vesicles.
Vesikel ini memberikan jalan pada banyak substansi, misalnya elektrolit, peroksidase, dan
albumin. Masuknya substansi tersebut melalui 3 mekanisme yaitu difusi, transpor inter-
epitelial, dan transpor-intraepitelial. Permeabilitas membran tingkap bundar ditemukan
secara eksperimental meningkat 48jam setelah munculnya infeksi telinga tengah. Selama
infeksi kronis (OMSK), membran tingkap bundar menjadi lebih tebal akibat deposisi dari
jaringan ikat dan juga terbentuknya mucosal web. Hal ini menyebabka membran mejadi
kurang permeabel selama inflamasi kronik berlangsung.12 Ototoksisitas dari penggunaan
topikal tetes telinga menampakkan derajat yang bervariasi dalam derajat toksisitas vestibular
dan koklea. Contohnya, pada pasien dengan kadar plasma aminoglikosida yang tinggi (dalam
jangka waktu yang lama), akan terjadi kerusakan vestibulo-koklea. Namun, pada kadar
teraupetikya (kadar plasma normal), pada beberapa pasien aminoglikosida dapat
menimbulkan ototoksisitas Hal ini disebabkan aminoglikosida dapat berada di telinga dalam,
terbebas dari ekresi renal atau metabolisme hepar. Preparat topikal telinga yang memiliki
efek protektif terhadap koklea dan vestibular adalah iron chelator, salisilat, kortikosteroid,
leupeptin, dan asam lipoik alfa.12

Faktor Resiko

Faktor resiko yang paling umum untuk menimbulkan gangguan pendengaran akibat
pemakaian obat ototoksik antara lain : ( ototoxic drug WHO)

18
1. Usia lanjut

2. Neonatus

3. Dosis harian dan rute pemberian obat

4. Rute pemberian obat ototoksik penting dalam menentukan onset kerusakan


pendengaran. Rute yang paling berbahaya hingga paling aman berturut-turut adalah
intraspinal, kemudian intravena, intramuskular, perkutaneus, dan oral.

5. Pajanan dalam jangka waktu yang lama oleh obat ototoksik

6. Kehamilan

7. Gagal ginjal

8. Insufisiensi hepar

9. Bekerja di lingkungan bising

10. Penggunaan bersamaan dengan obat ototoksik lainnya ( biasanya pada diuretik)

Gejala Ototoksik
Tinitus, gangguan pendengaran, dan vertigo merupakan gejala utama ototoksisitas.
Tinitus yang berhubungan dengan ototoksisitas cirinya kuat dan bernada tinggi, berkisar
antara 4 KHz sampai 6 KHz. Pada kerusakan yangmenetap, tinitus lama kelamaan tidak
begitu kuat, tetapi juga tidak pernah hilang.1 Loop diuretics dapat menimbulkan tinitus yang
kuat dalam beberapa menit setelah penyuntikan intravena, tetapi pada kasus-kasus yang tidak
begitu berat dapat terjadi tuli sensorineural secara perlahan-lahan dan progresif dengan hanya
disertai tinitus ringan. Tinitus dan kurang pendengaran yang reversibel dapat terjadi pada
penggunaan salisilat dan kina serta tuli akut yang disebabkan oleh loop diuretic dapat pulih
kembali dengan menghentikan pengobatan segera. Tuli ringan juga pernah dilaporkan
sebagai akibat aminoglikosida, tetapi biasanya menetap atau hanya sebagian yang pulih
kembali. Kurang pendengaran yang disebabkan oleh pemberian antibiotika biasanya terjadi
setelah 3 atau 4 hari.1
Tuli akibat ototoksik dapat menetap hingga berbulan-bulan setelah pengobatan
selesai. Biasanya tuli bersifat bilateral. Kurang pendengaran akibat pemakaian obat ototoksik
bersifat sensorineural. Antibiotika yang bersifat ototoksik mempunyai ciri penurunan yang
19
tajam untuk frekuensi tinggi pada audiogram, sedangka diuretik menghsilkan gambaran
audiogram yang mendatar atau sedikit menurun. Selain itu tidak jarang terdapat pula
gangguan keseimbangan badan dan sulit memfiksasi pandangan, terutama setelah perubahan
posisi.1

Pemeriksaan Audiologi
Monitoring adanya ototoksisitas dapat dilakukan dengan pemeriksaan audiologi.
Ultra-high frequency audiometry dan Otoacoustic emission (OAE) mendeteksi secara dini
gangguan pendengaran akibat obat-obat ototoksik dibandingkan dengan kovensional Pure-
tone threshold testing.13
Ultra High Frequency Audiometry (Ultra-HFA)
Efek awal dari obat ototoksik adalah kerusakan sel rambut luar di bagian basal dari
koklea. HFA merupakan tes hantaran udara (air-conduction threshold testing ) untuk
frekuensi diatas 8000 Hz, berkisar di atas 16 atau 20 kHz. HFA dapat mendeteksi gangguan
pendengaran akibat aminoglikosida atau cisplatin. Oleh karena itu HFA saat ini umum
digunakan untuk memonitoring kasus-kasus ototoksisitas.10 High Frequency Audiometry
tidak dipengaruhi oleh otitis media. Berbeda dengan OAE yang hasil pemeriksaannya sangat
dipengaruhi oleh kondisi patologis pada telinga tengah, misalnya otitis media.10
Otoacoustic emission (OAE)
Merupakan respons koklea yang dihasilkan oleh sel rambut luar yang dipancarkan
dalam bentuk energi akustik. Sel-sel rambut luar dipersarafi oleh serabut saraf eferen dan
mempunyai elektromotilitas, sehingga pergerakan sel-sel rambut akan menginduksi
depolarisasi. Pemeriksaan OAE dilakukan dengan cara memasukkan probe ke dalam liang
telinga luar. Dalam probe tersebut terdapat mikrofon dan pengeras suara yang berfungsi
untuk memberikan stimulus suara. Mikrofon berfungsi untuk menangkap suara yang
dihasilkan koklea setelah pemberian stimulus. Otoacoustic emission dibagi mejadi 2
kelompok, yaitu :1
Spontanneus Otoacoustic Emission (SOAE)
Evoked Otoacoustic Emission ( EOAE)
Evoked Otoacoustic Emission merupakan respon koklea yang timbul dengan adanya stimulus
suara. Terdapat 3 jenis, yaitu : 1). Stimulus-frequency Otoacoustic Emission; 2). Transiently-
evoked Otoacoustic Emission (TEOAE); 3). Distortion-product Otoacoustic Emission
20
(DPOAE).1

Gambar 8. Distortion-product Otoacoustic Emission (DPOAE).13

Untuk gangguan pendengaran akibat obat ototoksik DPOAE efektif untuk deteksi dini. DPOAE
menggunakan stimulus dua nada murni (F1,F2) dengan frekuensi tertentu.1,13

Pure Tone Audiometry (Audiometri nada murni )

Audiometri Nada Murni juga dapat mendeteksi adanya gangguan pendengaran akibat obat
ototoksik. Akan didapatkan tuli sensorineural frekuensi tinggi pada audiogram.13

21
Gambar 9. Audiometri Nada Murni pada pasien dengan terapi

cisplatin.13

Penatalaksanaan
Tuli yang diakibatkan oleh obat-obatan ototoksik tidak dapat diobati. Bila
pada waktu pemberian obat-obat ototoksik terjadi gangguan pada telinga dalan
setelah dilakukan pemeriksaan audiometri, maka pengobatan dengan obat-obatan
tersebut harus segera dihentikan. Berat ringannya ketulian yang terjadi tergantung
kepada jenis obat, jumlah, dan lamanya pengobatan. Kerentanan pasien termasuk
yang menderita insufisiensi ginjal, renal, serta sifat obat itu sendiri juga
mempengaruhi kemunculan gejala ototoksik.1 Apabila ketulian sudah terjadi dapat
dicoba melakukan rehabilitasi antara lain denga alat bantu dengar, psikoterapi,
auditory training, belajar berkomunikasi total dengan belajar membaca bahasa
isyarat. Pada tuli total bilateral mungkin dapat dipertimbangkan pemasangan implan
koklea.1,13

22
Pencegahan
Berhubung tidak ada pengobatan untuk tuli akibat obat ototoksik, maka
pencegahan menjadi lebih penting. Dalam melakukan pencegahan ini termasuk
mempertimbangkan penggunaan obat-obat ototoksik, menilai kerentanan pasien,
memonitor efek samping secara dini, yaitu dengan memperhatikan gejala-gejala
keracunan telinga dalam seperti tinitus, kurang pendengaran, dan vertigo.Pada pasien
yang telah menunjukkan gejala-gejala tersebut harus dilakukan evaluasi audiologi
dan menghentikan pengobatan.1
Prognosis
Prognosis sangat tergantung kepada jenis obat, jumlah, dan lamanya
pengobatan, serta kerentanan pasien. Pada umumnya pronosis tidak begitu baik malah
mungkin buruk.1
Kesimpulan
Berdasarkan hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
audiometri yang didapatkan dapat saya simpulkan bahwa pasien ini mengalami
gangguan pendengaran yang disebabkan oleh ada nya obat ototoksik. Dimana pasien
rutin mengkonsumsi obat anti diuretik yang diketahui memiliki efek ototoksik kepada
telinga walaupun tidak semua orang akan mengalaminya.

Daftar Pustaka

1. Soetirto, Indro, Bramantyo, B., dan Bashirudin, J. Gangguan


pendengaran akibat obat ototoksik. Dalam : Soepardi EA, Iskandar N,
Ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher.
Edisi kelima. Jakarta: FKUI, 2001, h. 53 – 56

2. Rybak, Leonard P., Touliatos, John. Ototoxicity. Dalam: Snow, James


B., Ballenger, John J, Ed. Ballenger’s Otorhinolaryngology head and
neck surgery. Edisi ke-16, Spain: Williams & Wilkins, 1996, h. 374 –
378.

3. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Rencana strategi


nasional penanggulangan gangguan pedengaran dan ketulian untuk

23
mencapai sound hearing 2030. 2006, h.4-5.

4. Miller, Monica L., Blakenship, Crystal. Ototoxicity. Dalam Tisdale J,


Miller D. Drug-induced disease. Edisi kedua.America:ASHP, 2010,
h.1049-1054.

5. Guyton, A.C, Hall, J.E. Indra pendengaran. Dalam : Guyton and hall
buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi ke-sebelas, Jakarta:EGC, 2007,
h.688-689.

6. Chambers, Henry F. Senyawa antimikroba aminoglikosida. Dalam :


Hardman Joel, Limbird Lee, E. Dasar farmakologi terapi. Volume 2.
Jakarta : EGC,2007, h. 1195-1204.

7. Reiter RJ, Tan D, Korkmaz A, Fuentes BL. Drug-mediated ototoxicity


and tinnitus: alleviation with melatonin. Journal of Physiology and
Pharmacology. 2011, h. 1-7.

8. Chambers, Henry F. Senyawa antimikroba makrolida. Dalam : Hardman


Joel, Limbird Lee, E. Dasar farmakologi terapi. Volume 2. Jakarta :
EGC,2007, h. 1230-1231.

9. Durrant JD, Campbell K, Fausti S, Guthrie O, Jacobson G, Poling G.


Ototoxicity monitoring. American Academy of Audiology Position
Statement and Clinical Practice Guidelines. 2009, hal. 5-25.

10. Van der Heijden AJ, Tibboel D, Bogers AJ. Cohen AF, Helbing WA.
Optimal furosemid therapy in critically ill infants. 2007, h. 15-16.

11. Slattery Eric L, dan Warchol Mark E. Cisplatin ototoxicity blocks


sensory regeneration avian inner ear. The Journal of Neuroscience.2010,
hal. 1-5.

12. Haynes DS, Rutka J, Hawke M, Roland PS. Ototoxicity of ototopical


drops-an update. Otolaryngologic Clinics of North America. 2007, hal.
670-675.

13. Martin DK, Gordon JS, Reavis KM, Wilmington DJ, Fausti SA.

24
Audiological monitoring of patient receiving ototoxicity drugs.

14. American Speechlanguage Hearing Association.2005, hal. 2-4.

25

Anda mungkin juga menyukai