Anda di halaman 1dari 48

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Apendisitis merupakan peradangan akibat infeksi pada usus atau

umbai cacing (apendiks). Usus buntu sebenarnya adalah sekum (cecum).

Infeksi ini bisa mengakibatkan peradangan akut sehingga memerlukan

tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya

(Nurarif & Kusuma , 2015).

Appendiktomi yaitu tindakan pembedahan yang dilakukan untuk

memotong jaringan appendiks yang mengalami peradangan. Appendiktomi

dilakukan dengan menginsisi transversal atau oblik di atas titik maksimal

nyeri tekan atau massa yang di palpasi pada fosa iliaka kanan (Afidah &

Nuryanto 2012).

Di Amerika Serikat, 250.000 kasus apendisitis dilaporkan setiap tahun.

Individu dari segala usia mungkin terpengaruh, dengan insiden tertinggi

terjadi pada remaja dan puluhan, namun kasus yang jarang terjadi pada

apendisitis neonatal dan prenatal yang telah dilaporkan (Kemenkes RI, 2018).

Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI),

mempublikasikan data mengenai penderita radang usus buntu di Indonesia

yang telah melampaui angka 590.000 pasien. Radang usus buntu umum terjadi

pada masyarakat berumur 10-30 tahun, kasus yang terjadi lebih dominan

dialami oleh laki-laki dibandingkan dengan perempuan (Kompas, 2018).


2

Salah satu kekhawatiran seseorang yang mengalami rasa nyeri yang

hebat pada bagian perut sebelah kanan adalah infeksi usus buntu. Gejala yang

sering timbul ketika seseorang mengalami apendisitis yaitu rasa nyeri (Sulsel,

2018).

Nyeri merupakan mekanisme perlindungan tubuh, dalam hal ini nyeri

bertindak sebagai control atau alarm terhadap bahaya. Nyeri bersifat sangat

subyektif karena intensitas dan responnya pada setiap orang berbeda-beda

( Lyndon, 2013).

Manajemen nyeri mempunyai beberapa tindakan atau prosedur baik

secara farmakologis maupun non farmakologis. Prosedur secara farmakologis

dilakukan dengan pemberian analgesik, yaitu untuk mengurangi atau

menghilangkan rasa nyeri. Sedangkan secara non farmakologis dapat

dilakukan dengan cara relaksasi, teknik pernapasan, pergerakan atau

perubahan posisi, masase, akupressur, terapi panas atau dingin, hypnobirthing,

musik, dan Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS), dan

distraksi (Puji, 2017).

Distraksi yaitu mengalihkan perhatian pada hal lain, sehingga pasien

akan lupa terhadap nyeri yang dialami. Terbagi atas distraksi visual, distraksi

pendengaran, distraksi pernafasan dan distraksi intelektual. Salah satu metode

distraksi pendengaran yang efektif adalah terapi murottal (Faridah dkk, 2017).

Murottal Al-Qur’an merupakan rekaman suara Al-Qur’an yang

dilagukan oleh seorang Qori’. Suara dapat menurunkan hormon-hormon stres,

mengaktifkan endorphin alami, meningkatkan perasaan rileks, dan


3

mengalihkan perhatian dari rasa takut, cemas, dan tegang, memperbaiki sistem

kimia tubuh sehingga menurunkan tekanan darah, memperlambat pernafasan,

detak jantung, denyut nadi, dan aktifitas gelombang otak (Turlina & Nurhayati,

2017).

Insentitas suara yang rendah antara 50-60 desibel menimbulkan

kenyamanan dan tidak nyeri serta membawa pengaruh positif bagi

pendengarnya. Responden diminta untuk mendengarkan murottal Al-Qur’an

selama 15 menit yang terdiri dari bacaan surat Al-Fatihah selama 1 menit,

surat Ar-Rahman selama 12 menit, surah Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan AN-Naas

selama 2 menit.

Morottal Al-Qur’an di dengarkan melalui MP3 atau Hp. Terapi bacaan

Al-Qur’an terbukti mengaktifkan sel-sel tubuh dengan mengubah gerakan

suara menjadi gelombang yang ditangkap oleh tubuh, menurunkan stimulasi

reseptor nyeri dan otak teransang mengeluarkan analgesik opioid natural

endogen untuk memblokade nociceptor nyeri (Yana dkk, 2015).

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rantiyana dkk

mengemukakan dalam penelitiannya tentang “Pengaruh Terapi Murottal Al

Qur'an Terhadap Nyeri Pada Pasien Luka Bakar Tahun 2017” dari hasil

penelitian menunjukkan bahwa rata - rata skala nyeri responden sebelum

diberikan terapi murottal yaitu sebesar 5,73 sedangkan setelah diberikan terapi

murrotal terjadi perubahan rata-rata nyeri responden menjadi 3,73. Hasil uji

paired t-test diperoleh t hitung =11,832 > ttabel 2,144 dan nilai p value =
4

0,001 > α =0,05. Terapi murrotal mempunyai pengaruh terhadap penurunan

skala nyeri responden.

Penelitian yang dilakukan oleh Alyensi & Arifin, mengemukakan

dalam penelitiannya tentang” Pengaruh Terapi Murottal Qur’an Terhadap

Intensitas Nyeri Persalinan Kala I Fase Aktif Di Bidan Praktik Mandiri (Bpm)

Ernita Kota Pekanbaru Tahun 2017” hasil penelitian menunjukkan bahwa

rata-rata (mean) intensitas nyeri persalinan sebelum diberikan terapi murottal

qur’an adalah 6,75 dan setelah diberikan terapi murottal qur’an adalah 4,80.

Ada perbedaan intensitas nyeri persalinan kala I fase aktif sebelum dan

sesudah diberikan terapi murottal Qur’an di BPM Ernita (p value=0,000).

Penelitian lain yang dilakukan oleh Siswanti & Kulsum tentang

“Pengaruh Terapi Murottal Terhadap Nyeri Pasien Post Seksio Sesaria Di Rsi

Sunan Kudus Kabupaten Kudus Tahun 2016” Hasil analisis menunjukan

sebelum dilakukan terapi murottal sebagian besar responden pada skala nyeri

6 sebanyak 16 orang (40%). Setelah dilakukan terapi murottal sebagian besar

responden pada skala nyeri 4 sebanyak 14 orang (28.6%) yang artinya ada

pengaruh yang signifikan terapi murottal terhadap nyeri klien post operasi

seksiosesaria di RSI Sunan Kudus. (α=0.000). Hasil penelitian ini dapat

menjadi masukan bagi perawat untuk menjadikan distraksi sebagai salah satu

intervensi keperawatan mandiri dan memasukkan dalam protap

penatalaksanaan pasien post operasi.


5

Menurut data dari Dinas Kesehatan Kota Palopo jumlah pasien yang

menderita penyakit apendisitis pada tahun 2017 sebanyak 100 orang kemudian

meningkat pada tahun 2018 sebanyak 160 orang.

Angka kejadian pada pasien apendisitis yang di peroleh dari Rekam

Medik RSUD Sawerigading Kota Palopo pada tahun 2016 sebanyak 290

orang dan menurun pada tahun 2017 sebanyak 82 orang, kemudian meningkat

pada tahun 2018 sebanyak 265 orang.

RSUD Sawerigading Palopo merupakan salah satu rumah sakit yang

ada di kota palopo yang melakukan teknik relaksasi nafas dalam untuk

intensitas nyeri dan belum melakukan terapi Murottal Al-Qur’an untuk

menurunkan nyeri.

Berdasarkan u raian diatas, maka peneliti ingin mengetahui ”Pengaruh

Terapi Murottal Al-Qur’an Terhadap Penurunan Nyeri Pada Pasien Post

Operasi Appendisitis di Ruang Rawat Inap RSUD Sawerigading Palopo tahun

2019”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka rumusan masalah

dalam penelitian ini “Apakah ada Pengaruh Terapi Murottal Al-Qur’an

Terhadap Penurunan Nyeri Pada Passien Post Operasi Appendisitis di Ruang

Rawat Inap RSUD Sawerigading Palopo tahun 2019?


6

C. Tujuan

1. Tujuan Umum :

Untuk mengetahui Pengaruh Terapi Murottal Al-Qur’an Terhadap

Penurunan Nyeri Pada Passien Post Operasi Appendisitis di Ruang Rawat

Inap RSUD Sawerigading Palopo tahun 2019

2. Tujuan Khusus:

a. Mengidentifikasi nyeri pada pasien dengan post operasi apendisitis

sebelum diberikan perlakuan terapi Murottal al-Qur’an di ruang rawat

inap RSUD Sawerigading Palopo.

b. Mengidentifikasi nyeri pada pasien dengan post operasi apendisitis

sesudah diberikan perlakuan terapi Murottal Al-Qur’an di ruang rawat

inap RSUD Sawerigading Palopo.

c. Mengidentifikasi pengaruh terapi Murottal Al-Qur’an terhadap

penurunan nyeri pada pasien dewasa dengan post operasi apendisitis di

ruang rawat inap RSUD Sawerigading Palopo.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Ilmiah

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu informasi dan

bahan baca bagi mahasiswa khususnya di bidang keperawatan tentang

pengaruh terapi murottal al-qur’an terhadap penurunan nyeri pada passien

post operasi apendisitis.


7

2. Manfaat pendidikan

Penelitian ini dapat dijadikan bahan rujukan bagi peneliti

selanjutnya terkait pengaruh terapi Murottal Al-Qur’an terhadap

penurunan nyeri pada passien post operasi apendisitis.

3. Manfaat Praktis

Penelitian ini dapat menambah pengetahuan, wawasan, dan

pengalaman peneliti dalam melakukan penelitian khususnya pengaruh

terapi murottal al-qur’an terhadap penurunan nyeri pada passien post

operasi appendisitis.

4. Manfaat bagi masyarakat

Penelitian ini dapat memberikan informasi tentang pentingnya

terapi Murottal Al-Qur’an sebagai salah satu upaya yang harus terus

menerus dilaksanakan dalam meningkatkan kualitas pelayanan kepada

pasien atau masyarakat.


8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Appendiktomi

1. Apendisitis

a. Definisi apendisitis

Apendisitis merupakan indikasi paling sering untuk

pembedahan kedaruratan abdomen pada anak-anak, kendati keadaan

inidapat ditemukan pada semua kelompok usia dengan usia puncak 15-

30 tahun (Hartono & Djuantoro, 2013).

Apendisitis adalah peradangan dari apendiks dan merupakan

penyebab penyakit di daerah perut akut yang paling sering. Penyakit

ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan,

tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia antara 10 sampai 30

tahun (Nurfanida, 2015).

Apendisitis adalah suatu proses obstruksi (hiperplasi limpo

nodi submukosa, fecolith, benda asing, tumor), kemudian diikuti

proses infeksi dan disusul oleh peradangan dari appendiks verniformis

(Taufan 2011).

b. Etiologi

Apendisitis akut dapat di sebabkan oleh beberapa sebab

terjadinya proses radang bakteri yang dicetuskan oleh beberapa faktor

pencetus diantaranya hyperplasia jaringan limfe, fekalith, tumor


9

apendiks, dan cacing aksaris yang menyumbat. Ukserasi mukosa

merupakan tahap awal dari kebabnyakan penyakit ini. Namun ada

beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang apendiks,

diantaranya :

1) Faktor sumbatan

Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya

apendisitis (90%) yang di ikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi

di sebabkan oleh hyperplasia jaringan lymphoid sub mukosa, 35%

karena statis fekal, 4% karena benda asing dan sebab lainnya 1%

diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing.obstruksi yang

disebabkan oleh fekalith dapat ditemui pada bermacam-macam

apenendisitis pada bermacam-macamm apendisitis akut

diantaranya : fekalith ditemukan 40% pada kasus apendisitis kasus

sederhana, 65% pada kasus apendisitis akut genggrenosa tanpa

ruptur atau 90% pada kasus apendisitis akut dengan rupture.

2) Faktor bakteri

Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer

pada apendisitis akut. Adanya fekolith dalamlumen apendiks yang

telah terinfeksi memperburuk dan memperberat infek, karena

terjadinya peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks, pada

kultur didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara

bacteriodes fragilis dan E.coli, lalu splanchicus, lacto-bacilus,

pseudomonas, bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang


10

menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob sebesar 96% dan

aerob lebih dari 10%.

3) Kecenderungan familiar

Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang

herediter dari organ, apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi

yang tidak baik dan letaknya yang mudah keluarga terutama

dengan diet rendah serat dapat memudahkan terjaadinya fekolith

dan mengakibatkan obstrusi lumen (Ratu & Adwan, 2013).

c. Manifestasi klinis

Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik

apendisitis adalah nyesi samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrius

disekitar umbilicus atau periumbilikus. Keluhan ini biasanya disertai

dengan rasa mual, bahkan terkadang muntah, dan pada umumnya nafsu

makan menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke

kuadran kanan bawah, ke titik mc burney. Di titik ini nyeri terasa lebih

tajam dan jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik setempat.

Namun terkadang, tidak dirasakan adanya nyeri di daerah epigastrium,

tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat

pencahar (Nurarif & kusuma, 2015).

Adapun tanda dan gejala apendisitis sebagai berikut :

1) Kram di daerah periumbilikus menjalar ke kuadrat kanan bawah

dengan intensitas nyeri tertinggi pada titik mcburney (yang terletak


11

di pertengahan antara Krista iliaka anterior superior kanan dan

umbilicus.

2) Anoreksia

3) Mual

4) Muntah (tanda awal yang umum : kurang umum pada anak yang

lebih besar)

5) Demam ringan diawal penyakit ; dapat peningkatan tajam pada

peritonitis

6) Nyeri leher

7) Bising usus menurun atau tidak ada sama sekali

8) Konstipasi

9) Diare (sedikit berair)

10) Kesulitan berjalan atau bergerak

11) Iritabilitas (Cecily 2009).

d. Patofisiologi

Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen

apendiks. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi

mukosa apendiks mengalami bendungan. Semakin lama mukus

tersebut semakin banyak, namun elastisitas dinding apendiks

mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan

intra lumen. Tekanan tersebut akan menghambat aliran limfe yang

mengakibatkan edema dan ulaserasi mukosa. Pada saat itu terjadi

apendisitis akut fokal yang ditandai dengan nyeri epigastrium.


12

Bila sekresi mukus berlanjut, tekanan akan terus meningkat.

Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah dan

bakteri akan menembus dinding sehingga peradangan yang timbul

meluas dan mengenai peritoneus yang dapat menimbulkan nyeri pada

abdomen kanan bawah yang disebut apendisitis supuraktif akut (Ratu

& Adwan, 2013).

e. Komplikasi

1) Perforasi

Komplikasi perforasi pada kasus apendisitis ditandai

dengan adanya nyeri abdomen yang berat,disertai demam yang

tinggi, dan peningkatan leukosit yang signifikan (Padmi & Widarsa,

2017).

2) Peritonitis

Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi

atau kondisi aseptik pada selaput organ perut (peritoneum).

Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus

organ perut dan dinding perut bagian dalam. Lokasi peritonitis bisa

terlokalisir atau difus dan riwayat akut atau kronik (Japanesa dkk,

2016).

3) Dehidrasi

4) Sepsis

5) Elektrolit darah tidak seimbang

6) Pneumonia
13

f. Pemeriksaan Penunjang

1) Hitung darah lengkap complete blood count (CBC) leukositosis,

neutrofilia, tanpa eosinofil

2) Urinalis untuk menyingkirkan infeksi saluran kemih

3) Pemeriksaan foto abdomen : lengkung tulang belakang konkaf

kekanan, fekalit berkalsifikasi

4) Ultrasonografi : fekalit tidak berkalsifakasi, apendiks tidak

berperforasi, abses apendiks tidak berpforasi, abses apendiks (Betz

& Sowden, 2009).

5) Pemeriksaan laboratorium

Kenaikan dari sel darah putih (leukosit) hinggs sekitar

10.000-18.000/mm3. Jika terjadi peningkatan yang lebih dari itu,

maka kemungkinan apendiks sudah mengalami perforasi (pecah)

(Nurarif & kusuma, 2015).

2. Appendiktomi

a. Definisi appendiktomi

Pembedahan atau operasi adalah semua tindakan pengobatan

yang menggunakan cara invasi dengan membukan atau menampilkan

bagian tubuh yang akan ditangani dan pada umumnya dilakukan

dengan penutupan dan penjahitan luka. Apendiktomi merupakan

pembedahan mengangkat apendiks yang dilakukan untuk menurunkan

resiko perforasi (Lasander & Rumende).


14

Appendiktomi adalah pembedahan untuk mengangkat apendiks

pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah di tegakkan.

Hal ini dilakukan segera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi.

Pilihan appendiktomi dapat cito (segera), untuk apendisitis akut, abses,

dan perforas. Pilihan appendiktomi elektif untuk apendisitis kronik

(Sulung & Rani, 2017).

b. Macam-macam apendiktomi

Teknik pembedahan pada penyakit radang usus buntu

dilakukan dengan bedah antara lain: (Diantari, 2016)

1) Apendiktomi terbuka merupakan teknik pembedahan dengan insisi

sepanjang 2-3 inci (7.6 cm) pada kuadrat kanan bawah atau insisi

oblik.

2) Apendiktomi laparoskopi adalah pembedahan invensi minimal

(tindakan dengan membuat sayatan kecil) yang memerlukan

bantuan kamera, monitor dan instrument-instrumen khusu

melakukan pembedahan melalui layar monitor.

c. Penatalaksanaan Appendiktomi

1) Perawatan praoperasi

a) Berikan tindakan pengurangan rasa nyeri dan tindakan

kenyamanan

(1) Posisi yang nyaman

(2) Hindari gerakan yang tidak perlu dan palpasi abdomen

yang juga tidak perlu


15

(3) Pemberian obat antinyeri jika diprogramkan

b) Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit

(1) Pertahankan status puasa

(2) Pantau aliran infus cairan intravenaa pada kecepatan

rumatan

(3) Pantau dan catat jumlah haluaran dari muntahan, urine,

tinja dan drainasen nasogastrik.

c) Pantau status anak untuk perkembangan gejala dan komplikasi

(1) Tanda syok – penurunan tekanan darah, penurunan

frekuensi pernapasan, pucat, diaporesis, nadi hamper tidak

teraba dan pucat

(2) Perforasi atau peritonitis – tidak ada bising usus, nadi apeks

meningkat, suhu meningkat, frekuensi pernapasan

meningkat, membebat abdomen, nyeri abdomen yang

menyebar yang kemudian akan hilang dengan tiba-tiba.

(3) Obstruksi usus- bising usus menurun atau hilang, distensi

abdomen, nyeri, muntah, tidak ada feses.

d) Siapkan anak untuk pembedahan

(1) Pertahankan status puasa

(2) Ambil specimen untuk analisis praoperasi

(3) Persiapkan anak dan dukung anak selama pemeriksaan

laboratorium dan diagnostic

(4) Jelaskan tindakan praoperasi yang akan di lakukan


16

2) Perawatan pascaoperasi

a) Kaji nyeri dan berikan tindakan penghilang nyeri sesuai

kebutuhan

(1) Berikan analgesic sesuai kebutuhan

(2) Lakukan teknik distraksi untuk meredakan nyeri dengan

mainan dan permainan

(3) Gunakan tindakan memberikan rasa nyaman, seperti

kompres dingin dan pengaturan posisi.

b) Cegah dan pantau distensi abdomen

(1) Pertahankan status puasa

(2) Pertahankan kepatenan slang nasogastrik

(3) Kaji kekakuan abdomen (keras, lunak)

c) Pantau status hidrasi

(1) Pantau asupan dan haluaran

(2) Pertahankan status puasa, kemudian lanjutkan sesuai

toleransi

(3) Pertahankan infuse IV dan tempat pemasukan IV sesuai

program

d) Pantau tanda-tanda infeksi dan cegah penyebaran infeksi

(1) Pantau tanda-tanda vital sesuai program

(2) Observasi luka dari tanda-tanda infeksi –hangat, drainase,

nyeri, bengkak, dan kemerahan

(3) Berikan antibiotik, pantau respons anak


17

(4) Lakukan perawatan luka sesuai indikasi dan pembuangan

balutan dengan tepat

(5) Ambulasikan anak bila mampu

e) Tingkatkan penyembuhan luka

(1) Lakukan perawatan luka – pertahankan daerah luka tetap

kering dan bersih

(2) Atau posisi anak semi-fowler untuk meningkatkan drainase

bila ada drainase

f) Bantu anak dan orang tua dalam mengatasi stress emosional

karena hospitalisasi dan pembedahan

(1) Berikan informasi sesuai usia sebelum dan setelah prosedur

(2) Anjurkan aktivitas pengalih yang menenangkan

(3) Tingkatkan kontak keluarga dan kunjungan teman sebaya

6) Libatkan rutinitas anak di rumah ke dalam aktivitas kehidupan

sehari-hari (Betz & Sowden, 2009).

B. Tinjauan Umum Nyeri

1. Defenisi nyeri

Berdasarkan international association for the study of pain (IASP),

nyeri adalah sensori subjektif dan emosional yang tidak menyenangkan

yang di dapat terkait dengan kerusakan jaringan actual maupun potensial,

atau mengambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Nyeri merupakan

mekanisme perlindungan tubuh, dalam halini nyeri bertindak sebagai


18

kontrol atau alaram terhadap bahaya. Nyeri bersifat sangat subjektif karena

intensitas dan responsnya pada setiap organ berbeda-beda (Saputra, 2013).

Nyeri merupakan suatu kondisi lebih dari sekedar sensasi tunggal

yang disebabkan oleh stimulus teretentu. Nyeri bersifat subyektif dan

sangat bersifat individu. Stimulus dapat berupa stimulus dapat berupa

stimulus fisik dan atau mental, sedangkan kerusakan dapat terjadi pada

jaringan aktual atau pada fungsi ego seseorang individu (Haswita &

Sulistyowati, 2017).

Nyeri merupakan mekanisme perlindungan tubuh, dalam hal ini

nyeri bertindak sebagai control atau alarm terhadap bahaya. Nyeri bersifat

sangat subyektif karena intensitas dan responnya pada setiap orang

berbeda-beda ( Lyndon, 2013).

2. Fisiologi nyeri

Indera nyeri merupakan ujung syaraf yang ditemukan hamper pada

semua jaringan tubuh. Rangsangan nyeri ditemukan pada ujung saraf

bebas yang disebut nosiseptor yang tersebar luas pada kulit dan mukosa

yang terdapat pada kulit dan mukosa yang terdapat pada struktur-struktur

lebih dalam seperti pada visceral, persendian, dinding arteri, hati dan

kandung empedu (Lusianah dkk 2012).

Adapun fisiologi nyeri sebagai berikut :

a. Stimulus

Nyeri selalu dikaitkan dengan adanya stimulus (rangsangan

nyeri) dan respon. Reseptor yang dimaksud adalah nosiseptor, yaitu


19

ujung-ujung saraf bebas pada kulit yang berespon terhadap stimulus

yang kuat. Munculnya nyeri dimulai dengan adanya stimulus nyeri.

Stimulus-stimulus tersebut dapat berupa biologi, zat kimia, panas,

listrik serta mekanik.

b. Reseptor nyeri

Reseptor merupakan sel-sel khusus yang mendeteksi

perubahan-perubahan partikuler disekitarnya, kaitannya dengan proses

terjadinya nyeri maka reseptor-reseptor inilah yang menangkap

stimulus-stimulus nyeri. Reseptor ini dapat terbagi menjadi :

1) Exteroreseptor

Yaitu reseptor yang berpengaruh terhadap perubahan pada

lingkungan eksternal, antara lain :

a) Corpusculum miessineri, corpusculum marker : untuk

merasakan stimulus taktik (sentuh/rabaan)

b) Corpusculum Krausse : untuk merasakan rangsangan dingin

c) Corpusculum ruffini : untuk merasakan rangsangan panas,

merupakan ujung saraf bebas yang terletak di dermis dan sub

kutis.

2) Telereseptor

Merupakan reseptor yang sensitive terhadap stimulus yang

jauh
20

3) Propioseptor

Merupakan reseptor yang menerima implus primer dari

organ otot, spindle dan tendon golgi.

4) Interoseptor

Merupakan reseptor yang sensitif terhadap perubahan pada

organ-organ visceral dan pembuluh darah (sigit 2010).

3. Bentuk-bentuk nyeri

Bentuk-bentuk nyeri sebagai berikut :

a. Bentuk nyeri umum

1) Nyeri akut

Nyeri akut merupakan nyeri yang bersifat sementara,

mendadak, area nyeri teridentifikasi. Genyala nyeri muncul seperti

berkeringat, pucat, peningkatan tekanan darah, nadi dan pernafasan,

dilatasi pupil, kekejangan otok, serta kecemasan. Semua itu

merupakan manifestasi dari adanya penyakit atau kerusakan.

2) Nyeri kronis

Nyeri kronis merupakan nyeri yang berlangsung lebih dari

5 bulan, lokasi nyeri tidak teridentifikasi, sulit dihilangkan, tidak

ada perubahan pada tanda-tanda vital tubuh. Merupakan

manifestasi adanya penyakit kronis

b. Bentuk nyeri spesifik

Adapun bentuk nyeri spesifik sebagai berikut :

1) Nyeri somatik
21

Nyeri somatik terbagi menjadi dua jenis yaitu nyeri

superfisual yang merupakan nyeri akibat kerusakan jaringan kulit

dan nyeri deep somatik yang merupakan nyeri akibat kerusakan di

dalam ligament dan tulang.

2) Nyeri viseral

Nyeri visceral merupakan nyeri yang timbul akibat adanya

gangguan pada organ bagian dalam, misalnya pada abdomen,

cranium, dan thorak.

3) Nyeri alih

Nyeri yang menjalar terasa pada lokasi lain daripada lokasi

yang sebenarnya terkena rangsangan. Bisa terjadi bila stimulus

tidak terasa pada daerah yang primer.

4) Nyeri psikogenetik

Nyeri yang tidak diketahui adanya penyebab fisiologi

5) Nyeri pantom (photom pain)

Merupakan nyeri yang dirasakan oleh individu pada salah

satu ekstremitas yang telah diamputasi.

6) Nyeri neurologi

Merupakan nyeri dalam sistem neurologi yang timbul

dalam berbagai bentuk seperti neurologi.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri

Beberapa faktor yang mempengaruhi respon seseorang terhadap

nyeri :
22

a. Pengalaman masa lalu

Individu yang mempunyai pengalaman multiple dan

berkepanjangan dengan nyeri akan lebih sedikit gelisah dan toleran

terhadap nyeri daripada orang yang hanya mengalami sedikit nyeri.

b. Ansietas

Ansietas yang relevan atau berhubungan dengan nyeri dapat

meningkatkan persepsi klien terhadap nyeri.

c. Budaya

Budaya dan etniksitas mempunyai pengaruh pada bagaimana

seseorang berespon terhadap nyeri.

d. Usia

Individu yang berumur lebih tua (lansia) mempunyai metabolism

yang lebih lambat dan rasio lemak tubuh terhadap masa otot lebih besar

dinding individu berusia lebih muda, sehingga analgetik dosis kecil

mungkin cukup untu k menghilangkan nyeri (Lusianah dkk, 2012).

5. Pengukuran intensitas nyeri

Intensitas nyeri dapat diukur dengan beberapa cara, antara lain

dengan menggunakan skala nyeri menurut Hayward, skala nyeri menurut

Mc Gill (Mc Gill scale), dan skala wajah atau Wong-Bakar Faces rating

scale.

a. Skala nyeri menurut Hayward

Pengaruh insentitas nyeri dengan menggunakan skala nyeri

hayward dilakukan dengan meminta penderita untuk memilih salah


23

satu bilangan (dari 0-10) yang menurutnya paling menggambarkan

pengalaman nyeri yang ia rasakan.

Skala nyeri menurut Hayward dapat dituliskan sebagai berikut.

0 = tidak nyeri

1-3 =nyeri ringan

4-6 = nyeri sedang

7-9=sangat nyeri, tetapi masih dapat dikendalikan dengan aktivitas

yang biasa dilakukan

10 = sangat nyeri dan tidak bisa dikendalikan.

(Gambar 2.1 Skala nyeri Hayward)

b. Skala nyeri menurut Mc Gill

Pengukuran intensitas nyeri dengan menggunakan skala nyeri

McGill dilakukan dengan meminta penderita untuk memilih salah satu

bilangan (dari 0-5) yang menurutnya paling menggambarkan

pengalaman nyeri yang ia rasakan.

Skala nyeri menurut Mc Gill dapat dituliskan sebagai berikut :

0 = tidak nyeri

1 = nyeri ringan

2 = nyeri sedang
24

3 = nyeri berat atau parah

4 = nyeri sangat berat

5 = nyeri hebat

c. Skala wajah atau Wong-baker FACES Rating scale

Pengukuran intensitas nyeri dengan skala wajah dilakukan

dengan cara memerhatikan mimik wajah pasien pada saat nyeri

tersebut menyerang. Cara ini diterapkan pada pasien yang tidak dapat

menyatakan intensitas nyerinya dengan skala angka, misalnya anak-

anak dan lansia.

(Gambar 13.3 Skala wajah) (Lyndon, 2013).

6. Penatalaksanaan nyeri

Adapun penatalaksanaan farmakologi dan non farmakologi sebagai

berikut :

a. Intervensi farmakologi

1) Agen anastetik dan analgesic spesifik

a) Agen anastesi lokal

Anastesi lokal bekerja dengan memblok konduksi saraf

saat diberikan rangsangan keserabut saraf. Anestesi lokal dapat


25

diberikan langsung ke tempat yang cedera atau secara langsung

ke serabut saraf melalui suntikan atau saat pembedahan.

b) Opioid

Opioid (narkotik) dapat diberikan melalui berangsang

rute termasuk oral, intravena, subkutan, intraspinal, rectal, dan

transdermal.

2) Obat-obat antiinflamasi non steroid (NSAID)

Obar-obat (NSAID) diduga dapat menurunkan nyeri

dengan menghambat produksi prostaglandin dari jaringan-jaringan

yang mengalami trauma atau inflamasi serta menghambat reseptor

nyeri yang sensitive terhadap stimulus menyakitkan sebelumnya.

Selain terdapat aktivitas antiprostaglandiin dari NSAID, agen ini

juga mempunyai suatu aksi sentral.

b. Intervensi non farmakologi

1) Stimulasi dan massase kutaneus

Massase adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum,

sering di pusatkan pada punggung dan bahu. Masase tidak secara

spesifik menstimulasi reseptor nyeri tetapi dapat mempunyai

dampak melalui sistem control desenden. Masase dapat membuat

klien lebih nyaman karena masase membuat relaksasi otot.

2) Stimulasi kulit

Terapi dingin dan panas dapat menjadi strategi pereda nyeri

yang efektif pada beberapa keadaan. Diduga bahwa terapi panas


26

dingin bekerja dengan menstimulasi reseptor tidak nyeri (non-

nosiseptor) dalam bidang reseptor yang sama seperti pada cedera.

3) Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS)

TENS diduga dapat menurunkan nyeri dengan

menstimulasi reseptor tidak nyeri (non-nosiseptor) dalam area yang

sama seperti pada serabut yang mentransmisikan nyeri. Mekanisme

ini sesuai teori gate control. Reseptor tidak nyeri diduga memblok

transmisi sinyal nyeri ke otak pada lengkung asenden system saraf

pusat.

4) Distraksi

Distraksi yaitu memfokuskan perhatian klien pada sesuatu

selain pada nyeri. Distraksi diduga dapat menurunkan persepsi

nyeri dengan menstimulasi system kontroldesenden yang

mengakibatkan lebih sedikit stimuli nyeri yang ditransmisikan ke

otak.

5) Teknik relaksasi

Relaksasi otot skelatel dipercaya dapat menurunkan nyeri

dengan merileskan ketegangan otot yang menunjukkan nyeri.

6) Imajinasi terbimbing

Imajinasi terbimbing adalah menggunakan imajinasi

seseorang dalam suatu cara yang direncanakan khusus untuk

mencapai efek positif tertentu.

7) Hipnosis
27

Hipnosis efektif dalam meredakan nyeri atau menurunkan

jumlah analgesic yang dibutuhkan pada nyeri akut dan kronis.

8) Metoda bedah-neuro

Beberapa pendekatan bedah neuro tersedia dan telah

digunakan secara berhasil bagi klien yang nyerinya tidak dapat

dihilangkan atau dikontrol secara memuaskan dengan medikasi dan

pendekatan nonbedah l ainnya (Lusianah dkk, 2012).

C. Tinjauan Umum Terapi Murottal Al-Qur’an

1. Definisi terapi murottal Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT membaca, menghafal, dan

mengamalkan akan sangat bermanfaat untuk seorang muslim dan umat.

Kunci untuk bisa membaca Al-Qur’an adalah ikhlas karena Allah SWT

(Rahman, 2016).

Al-Qur’an adalah obat istimewa bagi kegundahan hati,

keputusasaan, kesedihan, dan kekecewaan. Barang siapa membaca Al-

Qur’an niscaya akan sembuh dari berbagai siksaan yang menghantui

hatinya. Al-Qur’an memberikan harapan dan menajamkan keyakinan

bahwa Allah SWT senantiasa bersedia untuk memberikan pertolongan

kapan, di mana, dan bagaimana bagaimana saja keadaan hamba-Nya. Al-

Qur’an mengirimkan pesan kebahagiaan bagi siapa saja yang benar-benar

membaca dan memahaminya (Pedak, 2009).

Murottal adalah rekaman suara Al- Qur’an yang dilagukan oleh

seorang qori’ (pembaca Al-Qur’an). Lantunan Al-Qur’an secara fisik


28

mengandung unsur suara manusia. Suara dapat menurunkan hormon-

hormon stres, mengaktifkan hormon endorfin alami, meningkatkan

perasaan rileks, dan mengalihkan perhatian dari rasa takut, cemas dan

tegang (Pratiwi dkk, 2015).

Murottal merupakan salah satu musik yang memiliki pengaruh

positif bagi pendengarnya. Terapi murotal (mendengarkan bacaan ayat-

ayat suci Al- Qur’an) dapat mempercepat penyembuhan, terapi murotal

juga merupakan tehnik distraksi yang digunakan untuk mengatasi

kecemasan dan mengalihkan perhatian dari rasa nyeri (Handayani, 2016).

2. Manfaat membaca Al-Qur’an

Beberapa manfaat membaca Al-Qur’an antara lain sebagai berikut:

a. Membantu terhindar dari stres. Sembilan puluh tujuh persen efek

membaca Al-Qur’an adalah melahirkan ketenangan jiwa dan

penyembuhan penyakit. Membaca Al-Qur’an memngaruhi keadaan

pikiran seseorang sehingga menimbulkan perasaan tenang dan senang.

b. Meningkatkan kinerja otak dan mempertajam ingatan sampai 80%.

Tiga aktivitas yang biasa terjadi bersama saat seseorang membaca Al-

Qur’an yaitu melihat, mendengar dan membaca.

c. Lantunan ayat suci Al-Qur’an menciptakan frekuensi yang mencapai

telinga lalu bergerak ke sel otak sehingga menciptakan keseimbangan

alami (Rahayu, 2016).

3. Pengaruh membaca dan Mendengarkan Al-Qur’an


29

Menurut hasil penelitian Ir Abdel Daem Al Kaheel, pengaruh luar

biasa dari membaca dan Mendengarkan Al-Qur’an adalah :

a. Peningkatan kekebalan tubuh

b. Peningkatan kekapasitas untuk berinovasi

c. Peningkatan kemampuan untuk focus

d. Perubahan signifikan dalam perilaku

e. Kondisi jiwa yang lebih stabil

f. Mampu mengontrol emosi, marah dan tidak ceroboh

g. Mampu membantu keputusan yang baik

h. Menghilangkan rasa khwatir, ragu-ragu atau cemas

i. Kepribadian yang kuat

j. Menyembuhkan penyakit yang umum di derita, seperti alergi, dingin,

pilek, dan sakit kepala

k. Meningkatkan kemampuan berbicara dan kecepatan bicara

l. Mencegah penyakit ganas seperti kanker

m. Merubah kebiasaan buruk

n. Menghentikan kebiasaan merokok

o. Beragam khasiat positif lainnya

4. Gelombang suara

Setiap suara atau gelombang bunyi memiliki frekuensi dan panjang

gelombang tertentu. Maka bacaan Al-Qur’an dibaca dengan tertil

(membaca perlahan-lahan) yang bagus dan sesuai dengan tajwid

(menyampaikan dengan sebaik-baiknya dan sempurna dari tiap-tiap


30

bacaan ayat Al-Qur’an) memiliki frekuensi dan panjang gelombang yang

mampu mempengaruhi otak secara positif dan mengembalikan

keseimbangan dalam tubuh (Akhmad, 2015).

Ayat suci Al-Qur’an memiliki pengaruh mendatangkan ketenangan

dan menurunkan nyeri. Intemsitas suara yang rendah merupakan intensitas

suara yang kurang dari 60 desibel sehingga menimbulkan kenyamanan dan

penurunan nyeri. Murottal adalah salah satu music dengan intensitas 50

desibel yang membawa penagruh positif bagi pendengarnya. Murottal

merupakan rekaman suara Al- Qur’an yang dilagukan oleh seorang Qori’

(pembaca Al- Qur’an) (Siswanti & Kulsum, 2016).

D. Kerangka Konsep

Terapi Murottal Al-qur’an Penurunan Nyeri Post


Appendiktomi

Keterangan :

: Variabel Independen

:Variabel Dependen

: Tanda penghubung

Gambar 2.3 : Kerangka Konsep


31

E. Defenisi Operasional

No Variabel Defenisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala


(Kriteria
objektif)
Variabel Dependen
1 Penuruna Nyeri Skala nyeri Diukur secara Tidak nyeri : Ordinal
n nyeri merupaka menurut subyektif 0
Post n rasa Hayward dengan Nyeri
Appendikt sakit yang menjawab ringan : 1-3
omy di alami pertanyaan Nyeri
pasien tentang rasa sedang : 4-6
setelah nyeri yang sangat nyeri,
melakuka dirasakan tetapi masih
n operasi bisa di
apendikto kendalikan
my 1 – 3 dengan
hari aktivitas
yang biasa
dilakukan
: 7-9
sangat nyeri
dan tidak
bisa di
kendalikan :
10
Variabel Independen
2 Terapi Murottal Speaker/Hp Menganjurkan Ya : Jika Ordinal
Murottal merupaka pasien untuk skala nyeri
Al-Qur’an n rekaman fokus dan menurun
32

suara Al- rileks Tidak : Jika


Qur’an mendengarkan skla nyeri
yang iringan ayat- tetap
diberikan ayat suci Al-
kepada Qur’an selama
pasien 10-15 menit
untuk di dengan
dengarkan intensitas
selama suara rendah
10-15 50-60 desibel

F. Hipotesis Penelitian

1. Hipotesis null (Ho)

Tidak ada Pengaruh Terapi Murottal Al-qur’an Terhadap

Penurunan Nyeri Pada Pasien Post Appendiktomy di Ruang Rawat Inap

RSUD Sawerigading Palopo tahun 2019


33

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penenlitian ini menggunakan desain penelitian Pre and post test

without control, pada desain ini penelitian hanya melakukan intervensi pada

satu kelompok tanpa perbandingan. Efektifitas perlakuan dinilai dengan cara

membandingkan nilai post test dengan pre test.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi penelitian

Lokasi penelitian dilakuakn di RSUD Sawerigading Palopo.

2. Waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari-Juni Tahun 2019

C. Populasi Dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien post operasi

apendisitis di RSUD Sawerigading Palopo sebanyak 265 orang.

2. Sampel

Semua pasien post operasi apendisitis di Ruang Anggrek RSUD

Sawerigading Palopo.

Jumlah sampel dalam penelitian ini berdasarkan rumus :


34


𝑧 2 1 − 𝑧 𝑃 (1 − 𝑃) N
n = ∝
𝑑 2 (𝑁 − 1) + 𝑧 2 1 − 𝑧 𝑃 (1 − 𝑃)

Ketrangan :


z²1- = 1,96
𝑧

P = 0,5

N = Populasi

d² = 0,1

Karena jumlah populasi yang ada sebanyak 265 orang, jadi jumlah
sampel penelitian ini adalah


𝑧 2 1 − 𝑧 𝑃 (1 − 𝑃) N
n = ∝
𝑑 2 (𝑁 − 1) + 𝑧 2 1 − 𝑧 𝑃 (1 − 𝑃)

1.96 x 0,5 (1−0,5) 265


=
0,1² (265−1)+ 1,96 x 0,5 (1−0,5)

0,98 (0,5)265
=
0,01 (265)+ 0,98 (0,5)

0,49 x 265
=
2,64+0,49

129,85
= = 41,48
3,13

= 42

Pada penelitian ini sampel diambil menggunakan purposive


sampling yakni suatu metode pemilihan sampel yang dilakukan
berdasarkan maksud atau tujuan tertentu yang ditentukan oleh peneliti
(Dharma, 2011). Adapun kriterianya, yaitu :
35

a. Kriteria inklusi:
1) Bersedia menjadi responden
2) Responden yang beragama islam
b. Kriteria eksklusi:
1) Pasien yang tidak bersediah menjadi responden

D. Instrumen Penelitian

Instrumen yang di gunakan pada penelitian ini yaitu lembar observasi

skala nyeri menurut Hayward :

0 = tidak nyeri

1-3 = nyeri ringan

4-6 = nyeri sedang

7-9 = sangat nyeri, tetapi masih dapat dikendalikan dengan aktivitas yang

biasa dilakukan

10 = sangat nyeri dan tidak bisa dikendalikan.

Pengukuran nyeri di lakukan sebelum dan sesudah tindakan murottal

Al-Qur’an.

E. Pengumpulan Data

1. Data Primer

Dalam penelitian ini data primer di peroleh secara langsung dari

pasien post operasi apendisitis.

2. Data Sekunder

Dalam penelitian ini data sekunder diperoleh dari data hasil

pencatatan dan pelaporan dari Rekam Medik RSUD Sawerigadiing Palopo.


36

F. Pengelolaan dan Penyajian Data

1. Pengelolaan Data

Sebelum di analisah, data diolah terlebih dahulu. Kegiatan dalam

mengolah data meliputi :

a. Editing

Editing adalah memeriksa daftar pertanyaan yang telah

diserahkan oleh peserta pengumpulan data. Tujuannya adalah

mengurangi kesa;lahan atau kekurangan yang ada di daftar pertanyaan.

b. Coding

Coding adalah mengklasifikasikan jawaban dari para responden

kedalam kategori.

c. Scoring

Scoring adalah memberikan penilaian terhadap item-item yang

perlu diberi penilaian atau skor.

d. Tabulating

Tabulating adalah pekerjaan membuat tablel. Jawaban-

jawaban yang telah diberi kode kemudian dimasukkan kedalam table

(Setiawan, 2011).

2. Penyajian Data

Penyajian data ini disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi

nyeri sebelum dan sesudah pemberian murottal Al-Qur’an.


37

G. Analisa Data

Pada penelitian ini, data yang telah terkumpul dianalisis dengan teknik

analisis univariat (satu variabel) dan bivariat (dua variabel).

1. Analisa univariat

Analisa univariat bertujuan untuk memperlihatkan atau menjelaskan

distribusi frekuensi dari variabel independen (Murottal Al-Qur’an dan

variabel dependen (Nyeri post operasi apendisitis).

2. Analisa bivariat

Analisa bivariat merupakan analisis data yang dilakukan terhadap

dua variabel yang diduga berhubungan atau berkolerasi. Analisa bivariat

dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel dependen dan variabel

independen yaitu pengaruh peran perawat terhadap kemandirian keluarga

dalam pemberian mobilisasi fisik pada pasien stroke, dengan

menggunakan system komputerisasi SPSS versi 20 dan diolah

menggunakan uji beda dua mean dependen / paired t test digunakan untuk

menguji beda mean dari dua hasil pengukuran pada kelompok yang sama.

Jika asumsi tidak terpenuhi (data tidak berdistribusi normal), maka

gunakan wilcoxon test.

H. Etika Penelitian

Secara umum terdapat empat prinsip utama dalam etika penelitian

keperawatan :

1. Menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human dignity)


38

Penelitian harus dilakukan dengan menjunjung tinggi harta dan

martabat manusia. Subjek memeliki hak asasi dan kebebasan untuk

menentukan pilihan ikut atau menolak penelitian (autonomy). Tidak boleh

ada paksaan atau penekanan tertentu agar subjek bersedia ikut dalam

penelitian. Subjek dalam penelitian juga berhak mendapatkan informasi

yang terbuka dan lengkap tentang pelaksanaan penelitian meliputi tujuan

dan manfaat penelitian, prosedur penelitian, resiko penelitian, keuntungan

yang mungkin didapat dan kerahasiaan informasi.

2. Menghormati pripasi dan kerahasiaan subjek (respek for privacy and

confidentiolity)

Manusia sebagai sabjek penelitian memiliki privasi dan hak asasi

untuk mendapatkan kerahasian informasi. Namun tidak bisa di pungkiri

bahwa penelitian menyebabkan terbukanya informasi tentang subjek.

Sehingga peneliti perlu merahasiakan berbagai informasi yang

menyangkut privasi subjek yang tidak ingin indentitas dan segala

informasi tentang dirinya diketahui oleh orang lain. Prinsip ini dapat

diterapkan dengan cara meniadakan identitas se perti nama dan alamat

subjek kemudian diganti dengan kode tertentu. Dengan demikian segala

informasi yang menyangkut identitas subjek tidak terkspos secra luas.

3. Menghormati keadilan dan inklusivitas (respect for justice inclusiveness)

Prinsip keterbukaan dalam penelitian mengandung makna bahwa

penelitian dilakukan secara jujur, tepat, cermat, hati-hati dan dilakukan

secara propesional. Sedangkan prinsip keadilan mengandung makna


39

bahwa penelitian memberikan keuntungan dan beban secara merata sesuai

dengan kebutuhan dan kemampuan subjek.

4. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing

harm and benefits)

Prinsip ini mengandung makna bahwa setiap penelitian harus

mempertimbangkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi subjek penelitian

dan populasi dimana hasil penelitian akan diterapkan (Beneficience).

Kemudian meminimalisir resiko/dampak yang merugikan bagi subjek

penelitian (nonmaleficience). Prinsip ini yang harus diperhatikan oleh

peneliti ketika mengajukan usulan penelitian untukmendapatkan

persetujuan etik dari komite etik penelitian. Peneliti harus

mempertimbangkan rasio antara manfaat dan kerugian/resiko dari

penelitian (Dharma, 2011).


40

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil dan Pembahasan

Penelitian ini telah di lakukan di RSUD Sawerigading Kota Palopo

Tahun 2019, adapun gambaran lokasi penelitian sebagai berikut.

1. Gambaran lokasi penelitian

a. Lokasi Geografis Lokasi RSUD Sawerigading Kota Palopo

RSUD Sawerigading Kota Palopo terletak dijalan dr.Ratulangit

KM 7 Rampoang Kota Palopo kelurahan To’Bulung Kecamatan Bara

berbatasan dengan sebelah Utara Kelurahan Buntu Datu, sebelah timur

Kelurahan Mancani, sebelah Barat Kecematan Wara Barat.

b. Sejarah

RSUD Sawerigading Kota Palopo sebelumnya adalah rumah

sakit milik pemerinta Kabupaten Luwu yang di bangun pada masa

pemerintahan Belanda pada 1920. Merupakan salah satu bangunan

bersejarah yang ada pada pusat pemerintahan Kerajaan Luwu, dalam

perjalanan telah mengalami dua kali renovasi yakni renovasi pertama

dilaksanakan pada tahun 1981-1982, dimasa pemerintahan Buapati

Luwu Drs.Abdullah Suara dan peresmiannya dilakukan oleh Gubernur

Sulawesi Selatan Brigjen TNI Andi Oddang. Renovasi kedua pada

tahun 2001-2002 dimasa pemerintahan Bupati dr. H. Kamrul Kasim,


41

SH, MH. Banyak bangunan tidak layak dilakukan untuk di

pertahankan keasliannya sebagai suatu peninggalan bersejarah.

Rumah Sakit yang sebelumnya memiliki status Rumah Sakit

Tipe D,dan tahun 1994 ditingkatkan statusnya menjadi Rumah Sakit

kelas C, berdasarkan SK Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor : 396/ Menkes/KS/IV/1994 (sebagai kantor). Kemudian

berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Luwu Nomor : 9 tahun 2002

RSUD Sawerigading Kota Palopo yang sebelumnya sebagai kantor

berubah menjadi Badan Pengelola.

RSUD Sawerigading adalah satu dari sekian RS milik Pemkab

Kota Palopo yang berwujud RSUD, diurus oleh Pemerintak Kota Palo

dan tergolong kedalam RS Kelas B. RS ini telah teregistrasi sejak

12/10/2013 dengan Nomor Surat Izin 0002/P2T-

BKTMD/6.7.P/VII/04/2015 dan Tanggal Surat Izin 27/04/2015 dari

Gubernur Sulawesi Selatan dengan Sifat Tetap, dan berlaku sampai

Selama 5 Tahun (27 April 2015 s/d 27 April 2020). Sesudah

melangsungkan Proses AKREDITASI Rumah sakit Seluruh Indonesia

dengan proses Pentahapan I ( 5 Pelayanan) akhirnya diberikan dengan

status Lulus. RSUD ini berlokasi di Jl. Dr. Ratulangi KM.7 Rampoang

Kota Palopo, Kota Palopo, Indonesia.

RSUD Sawerigading Mempunyai Layanan Unggulan dalam

Bagian. RSUD Kepunyaan Pemkab Kota Palopo ini Mempunyai Luas

Tanah 5 Ha dengan Luas Bangunan ± 45,402 Km2


42

c. Nilai-Nilai Dasar

RSUD Sawerigading Kota Palopo memfokuskan kegiatannya

untuk menghasilkan pelayanan yang bernilai tinggi bagi kemanusiaan

dan senantiasa meningkatkan mutu pelayanan yang terus menerus yang

berlandasan pada : Kejujuran, Kerja Keras Dan Relegius

2. Karakteristik Responden

a. Umur

Tabel 4.1
Distribusi Responden Berdasarkan Umur di RSUD Sawerigading Kota
Palopo Tahun 2019 (N = 42)
Umur Frekuensi (f) Persentase (%)
7-20 7 16.7
21-34 17 40.5
35-48 12 28.6
49-62 5 11.9
63-78 1 2.4
Total 42 100.0
Sumber : Data Primer, 2019

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa dari 42 responden, dengan

presentase paling tinggi adalah umur 21-34 tahun sebanyak 17

(40,5%) responden.

b. Jenis Kelamin

Tabel 4.2
Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di RSUD
Sawerigading Kota Palopo Tahun 2019 (N = 42)
Jenis Kelamin Frekuensi (f) Persentase (%)
Laki-laki 21 50,0
Perempuan 21 50,0
Total 42 100,0
Sumber : Data Primer, 2019
43

Tabel 4.2 menunjukkan bahwa dari 42 responden, dapat dilihat


laki-laki dan perempuan memiliki nilai yang sama sebanyak 21
(50,0%) responden.
c. Pendidikan

Tabel 4.3
Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan di RSUD Sawerigading
Kota Palopo Tahun 2019 (N = 42)
Pendidikan Frekuensi (f) Persentase (%)
SD 11 26,2
SMP 9 21,4
SMA 18 42,9
S1 4 9,5
Total 42 100,0
Sumber : Data Primer, 2019

Tabel 4.3 menunjukkan bahwa dari 42 responden, dapat dilihat

berdasarkan tingkat pendidikan terdapat lebih banyak pada pendidikan

SMA sebanyak 18 (42,9%), dan yang terendah pendidikan S1

sebanyak 4 (9,5%) responden.

d. Pekerjaan

Tabel 4.4
Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan di RSUD Sawerigading
Kota Palopo Tahun 2019 (N = 42)

Pekerjaan Frekuensi (f) Persentase (%)


Petani 13 31,0
Wirasuasta 5 11,9
IRT 10 23,8
Pelajar 12 28,6
Guru 2 4,8
Total 42 100,0
Sumber : Data Primer, 2019

Tabel 4.4 menunjukkan bahwa dari 42 responden, dapat dilihat

berdasarkan pekerjaan terdapat lebih banyak pada pekerjaan petani


44

sebanyak 13 (31,0%), dan yang terendah guru sebanyak 2 (4,8%)

responden.

3. Analisis Univariat

Penelitian ini dilakukan analisis univariat pada karakterisik umum

responden. Analisis ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang

karakteristik umum nyeri sebelum daan sesudah terapi murottal Al-Qur’an.

Tabel 4.5
Pengaruh terapi murottal Al-Qur’an terhadap penurunan nyeri pada
pasien post appendiktomy di RSUD Sawerigading Kota Palopo 2019 (N =
42)
Terapi Murottal Al- Mean SD
Qur’an
Pretest 1.81 740
Posttest 1.50 634
Sumber : Data Primer, 2019

Tabel 4.5 didapatkan data bahwa nilai rata-rata dari 42 responden

sebelum di berikan terapi murottal Al-Qur’an adalah 1.81, setelah di

berikan terapi murottal Al-Qur’an adalah 1.50. dengan selisih mean

pretest dan posttest nyeri sebesar 0,31 sehingga terlihat bahwa ada

perubahan nyeri pada pasien post appendiktomi sebelum dan sesudah

diberikan terapi murottal Al-Qur’an.

4. Analisis Bivariat

a. Uji Normalitas

Uji normalitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah

variabel dalam penelitian mempunyai sebaran distribusi normal atau

tidak. Perhitungan uji normalitas ini menggunakan rumus one-sample


45

kolmogrov-smirnov test, dengan pengolahan menggunkan bantuan

komputer program SPSS.

Tabel 4.6
Uji Normalitas Data
Terapi Kolmogrov-smirnov test
Murottal Al- Mean Df p
Qur’an
Pretest 1.81 740 ,014
Posttest 1.50 634 ,000
Sumber : Data Primer, 2019

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa seluruh data

penelitian memiliki nilai P < ,05 maka data tidak berdistribusi normal,

maka uji yang digunakan adalah uji wilcoxon.

b. Uji Wilcoxon

Uji statistik dalam penelitian ini menggunakan uji wilcoxon

yang bertujuan untuk menguji perbedaan suatu perlakuan atau

intervensi terhadap suatu besaran variabel yang ingin ditentukan yaitu

untuk mengetahui pengaruh terapi murottal Al-Qur’an. Metode yang

digunakan ini menggambarkan bahwa akan diukur tingkat nyeri

sebelum (pretest) dan sesudah diberikan terapi murottal Al-Qur’an

(posttest),

Tabel 4.7
Hasil Uji Wilcoxon penurunan tingkat nyeri Sebelum (Pretest) dan
Sesudah Diberikan terapi murottal Al-Qur’an (Posttest) di RSUD
Sawerigading Kota Palopo Tahun 2019 (N = 42)
Terapi Mean SD Z p
Murottal
Al-Qur’an
Pretest 1.81 740 -2,968 ,003
Posttest 1.50 634
46

Sumber : Uji wilcoxon, 2019

Hasil tabel uji wilcoxon penurunan tingkat nyeri sebelum

(Pretest) dan sesudah diberikan terapi murottal Al-Qur’an (posttest),

di RSUD Sawerigading Kota Palopo, menunjukkan bahwa nilai p

= ,003. Jika hasil penelitian ini menunjukkan nilai p < ,05 maka H0

ditolak yang dapat diartikan bahwa ada perubahan tingkat nyeri

sebelum dan sesudah diberikan terapi murottal Al-Qur’an di RSUD

Sawerigading Kota Palopo Tahun 2019.

B. Pembahasan

Berdasarkan analisis pada tabel 4.7 dengan judul penelitian pengaruh

terapih murottal Al-Qur’an terhadap penurunan nyeri pada pasien post

appendiktomy di ruang rawat inap RSUD Sawerigading palopo tahun 2019

Menunjukkan bahwa ada perbedaan sebelum dan sesudah diberikan terapi

murottal Al-Qur’an hal ini dilihat dari nilai p < ,05 maka H0 ditolak yang

dapat diartikan bahwa ada pengaruh sebelum dan sesudah di berikan terapi

murottal Al-Qur’an.

Hasil ini diperoleh dari pasien post appendiktomy di RSUD

Sawerigading palopo didapatkan hasil dari 42 responden diberikan pretest

berupa lembar opservasi diberikan oleh peneliti, setelah dilakukan pretest

diberikan perlakuan berupa terapi murottal Al-Qur’an. Setelah 15 menit

perlakuan diberikan posttest untuk melihat penurunan nyeri responden.

Berdasarkan tabel 4.5 didapatkan data sebelum diberikan perlakuan

terapi murottal Al-Qur’an (pretest), hasil skor rata-rata dan standar deviasi
47

nyeri sebelum diberikan perlakuan terapi murottal Al-Qur’an sebesar

1,81±,740. Setelah diberikan perlakuan terjadi penurunan tingkat nyeri pada

saat di berikan terapi murottal Al-Qur’an, hasil rata-rata dan standar deviasi

setelah diberikan terapi murottal Al-Qur’an yaitu 1,50±634, sehingga dapat di

lihat bahwa ada perubahan nyeri sebelum dan sesudah di berikan terapi

murottal Al-Qur’an dengan selisih mean pretest dan posttest nyeri mencapai

0,31 dan standar deviasi dengan selisih 106, sehingga terlihat bahwa ada

perubahan nyeri pada pasien post appendiktomy.

Hasil uji wilcoxon pada tabel 4.7 menunjukkan nilai p < ,05 (,000

< ,05). Dapat diartikan bahwa ada perubahan nyeri pada pasien post

appendiktomy sebelum dan sesudah pemberian terapi murottal Al-Qur’an.

Berdasarkan hasil terapi murottal Al-Qur’an terhadap penurunan nyeri

pada pasien post appendiktomy menunjukkan hasil yaitu sebelum di berikan

terapi nyeri yang di rasakan pasien rata-rata nyeri sedang dan setelah

diberikan terapi nyeri yang dirasakan pasien rata-rata nyeri ringan. Terapi

murottal Al-Qur’an memiliki pengaruh terhadap tingkat nyeri pada pasien

post appendiktomy, pasien mengatakan terjadi penurunan nyeri yang di alami

setelah di lakukan terapi murottal Al-Qur’an selama 15 menit. Pasien yang di

dengarkan bacaan ayat suci Al-Qur’an merasa tenang dan rileks saat di

dengarkan bacaan tersebut.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Rochmawati Nanik Puji mengemukakan dalam penelitiannya tentang

“Pengaruh Murottal Qur’an Terhadap Nyeri Post Operasi Di Pavilium Asoka


48

RSUD Kab.Jombang” dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian

besar responden sebelum (pre test) di berikan terapi berada dalam rentang

nyeri sedang 24 responden (60,0%), hampir setengahnya responden berada

dalam rentang nyeri berat 14 responden (35,0%) dan sebagian kecil

responden yang berada dalam rentang nyeri sangat berat yaitu 2 responden

(5,0%). Sedangkan setelah (post test) menunjukkan bahwa sebagian besar

responden berada dalam rentang nyeri ringan 24 responden (60,0%) dan

hampir setengahnya dari responden berada dalam rentang nyeri sedang 16

responden (40,0%). Sehingga dapat di simpulkan bahwa sebelum dan

sesudah terapi murottal Al-Qur’an berpengaruh dalam penurunan nyeri.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Siswanti & Kulsum tentang

“Pengaruh Terapi Murottal Terhadap Nyeri Pasien Post Seksio Sesaria Di Rsi

Sunan Kudus Kabupaten Kudus Tahun 2016” Hasil analisis menunjukan

sebelum dilakukan terapi murottal sebagian besar responden pada skala nyeri

6 sebanyak 16 orang (40%). Setelah dilakukan terapi murottal sebagian besar

responden pada skala nyeri 4 sebanyak 14 orang (28.6%) yang artinya ada

pengaruh yang signifikan terapi murottal terhadap nyeri klien post operasi

seksiosesaria di RSI Sunan Kudus.

Dengan demikian pada penelitian ini dapat di tarik kesimpulan bahwa

Al-Qur’an terbukti dapat mendatangkan ketenangan jiwa dan akhirnya dapat

berpengaruh pada fisiologi tubuh terrmasuk untuk menurunkan nyeri.

Anda mungkin juga menyukai