Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

SEDIAAN OBAT LIQUID DAN SEMI LIQUID


Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Pengantar Ilmu Farmasi

KELOMPOK 2 :
Albert Thengio (260110160132 Alda Anjella (260110160137)
Rezkia Azka (260110160133) Hazna Putri . (260110160138)
Restu Amelia (260110160134) Umi Azizah (260110160139)
Danaparamita (260110160135) Nicholas Sugianto (260110160140)
Dewi Sarah (260110160136) Iyan Rifky (260110160141)

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2016

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Seiring dengan perkembangan di bidang obat, bentuk sediaan dalam bidang
farmasi juga semakin bervariasi. Sediaan obat tersebut antara lain sediaan padat
seperti serbuk, tablet, kapsul. Sediaan setengah padat seperti salep, cream, pasta,
suppositoria dan gel, serta bentuk sediaan cair yaitu suspensi, larutan, dan emulsi.
Dengan adanya bentuk sediaan tersebut diharapkan dapat memberikan
kenyamanan dan keamanan bagi konsumen. Salah satu contoh sediaan farmasi
yang beredar di pasaran, Apotek, Instalasi kesehatan, maupun toko obat adalah
sediaan cair (liquid).
Dengan demikian pembuatan sediaan liquid dengan aneka fungsi sudah
banyak digeluti oleh sebagian besar produsen. Sediaan yang ditawarkanpun sangat
beragam mulai dari segi pemilihan zat aktif serta zat tambahan, sensasi rasa yang
beraneka ragam, hingga merk yang digunakan pun memiliki peran yang sangat
penting dari sebuah produk sediaan liquid.
Sediaan liquid merupakan sediaan dengan wujud cair, mengandung satu
atau lebih zat aktif yang terlarut atau terdispersi stabil dalam medium yang
homogen pada saat diaplikasikan. Sediaan cair atau sediaan liquid lebih banyak
diminati oleh kalangan anak-anak dan usia lansia, sehingga satu keunggulan
sediaan liquid dibandingkan dengan sediaan-sediaan lain adalah dari segi rasa dan
bentuk sediaan.
Sediaan cair juga mempunyai keunggulan terhadap bentuk sediaan solid
dalam hal kemudahan pemberian obat terkait sifat kemudahan mengalir dari
sediaan liquid ini. Selain itu, dosis yang diberikan relatif lebih akurat dan
pengaturan dosis lebih mudah divariasi dengan penggunaan sendok takar.
Dari penyataan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam pembuatan
sediaan liquid terdapat kelebihan dan kekurangan. Diharapkan agar dapat
mempertahankan kelebihannya, dan mengatasi kekurangan tersebut dengan

2
membuatnya lebih baik lagi, agar dapat diterapkan dalam dunia kerja dan bisa
didapatkan efek terapi yang diharapkan

1.2. RUMUSAN MASALAH


1. Apa saja macam-macam bentuk sediaan obat ?
2. Apa faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam membuat sediaan
obat liquid dan semiliquid ?
3. Apa saja kelebihan dan kekurangan dari bentuk sediaan obat liquid dan
semiliquid?

1.3. TUJUAN
1. Untuk mengetahui dan memahami sediaan obat.
2. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan dari bentuk sediaan obat.
3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang harus dipertimbangkan untuk
membuat obat.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. BENTUK SEDIAAN LIQUID


Bentuk sediaan liquid merupakan sediaan dengan wujud cair,
mengandung satu atau lebih zat aktif yang terlarut atau terdispersi stabil
dalam medium, yang homogen pada saat diaplikasikan. Bentuk sediaan liquid
dalam konsistensi cairnya, memiliki keunggulan terhadap bentuk sediaan
solid dalam hal kemudahan pemberian obat terkait sifat kemudahan mengalir
dari sediaan liquid ini. Selain itu, dosis yang diberikan relative lebih akurat
dan pengaturan dosis lebih mudah divariasi dengan penggunaan sendok takar.
Namun, bentuk sediaan ini tidak sesuai untuk zat aktif yang tidak stabil
terhadap air. Dengan kemasan botol dan penggunaan sendok takar untuk
sediaan oral, maka tingkat kepraktisan bentuk sediaan ini relative lebih
rendah jika dibanding bentuk sediaan solid.
Untuk pemakaian topical, keunggulan bentuk sediaan liquid, jika
dibanding bentuk sediaan solid maupun semisolid, terletak pada daya sebar
dan bioadhesivitasnya, selama viskositasnya optimum. Namun terkait daya
lekat dan ketahanan pada permukaan kulit, bentuk sediaan liquid relative
lebih rendah jika dibanding bentuk sediaan semisolid. Hal ini terutama
berhubungan dengan tingkat viskositas dari kedua bentuk sediaan tersebut.
Ragam bentuk sediaan liquid yang akan didiskusikan dalam makalah ini
adalah larutan, emulsi dan suspensi.
1. LARUTAN
Larutan merupakan sediaan liquid yang mengandung satu atau
lebih zat aktif (solute) yang terlarut dalam medium/pelarut/solvent yang
sesuai. Medium/pelarut/solvent yang universal adalah air. Namun
demikian, ada berbagai jenis solvent lain yang digunakan, antara lain
minyak dan etanol. Kriteria yang berlaku untuk suatu sediaan larutan
adalah bahwa sediaan tersebut harus:

4
a. Aman dalam penggunaannya (tidak toksik, tidak iritatif, tidak
alergenik)
b. Homogen
c. Zat aktif harus terlarut sempurna dan stabil dalam medium
Dengan persyaratan yang mendasar dari larutan bahwa semua
komponen solute harus terlarut, maka kelarutan (solubility) suatu
bahan dalam medium memegang peranan penting. Yang dimaksud
dengan kelarutan (solubility) adalah ratio sejumlah solute yang larut
dalam pelarut yang sesuai.
d. Tidak boleh ada partikel yang mengapung, melayang, atau
mengendap pada sistem larutan
e. Viskositas dan daya sebar memungkinkan untuk penuangan maupun
aplikasi dengan mudah.
Dalam larutan oral, dikenal istilah sirup dan elixir. Istilah sirup
terkait dengan penggunaan gula dengan kadar 60-80%, sedangkan elixir
terkait dengan keberadaan etanol (dengan proporsi bervariasi) yang
berfungsi sebagai cosolvent.
Cosolvent merupakan bahan yang dapat membentu kelarutan suatu
solute dalam medium utamanya. Contoh cosolvent selain etanol yang
sering digunakan adalah propylene glycol, isopropyl alcohol. Penggunaan
cosolvent selain mempertimbangkan kadar dan kapasitas cosolvensinya,
juga harus mempertimbangkan faktor keamanan pada pemakaian (tidak
toksik), halal/tidaknya solvent tersebut saat digunakan per oral (telan).
Sehubungan dengan pemakaian larutan oral, penggunaan sendok
takar memegang peranan penting, untuk memastikan kebenaran dosis
sediaan yang dikonsumsi oleh pasien. Sangat tidak dianjurkan untuk
menggunakan sendok makan atau sendok teh rumah tangga, mengingat
volume yang belum tentu sesuai dengan volume yang tertara sebagai
sendok makan (15 mL) atau sendok teh (5 mL) pada standar peresepan. Di
dalam Farmakope Indonesia edisi IV (1995) untuk merujuk takaran sendok
sudah digunakan istilah sendok besar (15 mL) dan sendok kecil (5 mL).

5
Larutan tidak hanya digunakan untuk keperluan per oral saja, namun juga
parenteral dan topical. Larutan parenteral memerlukan tambahan criteria
khusus yaitu sterilitas dan bebas pyrogen.
(http://romdhoni.staff.gunadarma.ac.id)

Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam desain sediaan


larutan, antara lain:
1. Tujuan terapi dan jalur pemberian. Dalam tujuan terapi ini perlu
dipastikan:
a. Apakah dibutuhkan sediaan yang mampu memberikan onset cepat,
b. Apakah perlu secara per oral atau parenteral.
c. Zat aktif apa yang sekiranya memberikan efikasi dan keamanan
dalam terapi tersebut.
2. Zat aktif dan pemilihan medium
a. Kelarutan zat aktif terpilih dalam medium yang sesuai.
b. Stabilitas zat aktif dalam medium
c. Kadar zat aktif yang akan diformulasikan
d. Kebutuhan peran viscocity enhancer atau cosolvent
e. Kebutuhan peran additives, seperti misalnya: gula/pemanis,
flavoring agent, coloring agent, preservative,antioksidant
3. Desain kemasan baik primer (yang bersentuhan dengan produk) ataupun
sekunder (yang mengemas kemasan primer).

Jenis Larutan
 Berdasarkan pemakaian:
1. Larutan oral
Adalah sediaan cair yang mengandung satu atau lebih zat dengan/
tanpa aroma, pemanis, pewarna yang larut dalam air atau campuran
kosolven air yang pemakaiannya melalui oral. Contohnya : sirup, sirup
simpleks, eliksir.
a. Potiones (Obat Minum)

6
Sediaan cair yang dibuat untuk pemberian oral, mengandung satu
atau lebih zat dengan atau tanpa bahan pengaroma, pemanis, atau
pewarna yang larut dalam air atau berbentuk emulsi atau suspensi.
b. Elixir
- Sediaan yang mengandung bahan obat dan bahan tambahan
(pemanis, pengawet, pewangi) sehingga memiliki bau dan rasa
yang sedap dan sebagai pelarut digunakan campuran air-etanol.
- Etanol berfungsi untuk mempertinggi kelarutan obat. Elixir dapat
pula ditambahkan glycerol, sorbitol, atau propilenglikol.
c. Sirup
- Sirup simplex, mengandung 65 % gula dalam larutan nipagin 0,25
%b/v
- Sirup obat, mengandung satu atau lebih jenis obat dengan atau
tanpa zat tambahan, digunakan untuk pengobatan.
- Sirup pewangi, tidak mengandung obat tetapi mengandung zat
pewangi atau penyedap lain. Penambahan sirup ini bertujuan
untuk menutup rasa atau bau obat yang tidak enak.
d. Netralisasi
Obat minum yang dibuat dengan mencampurkan bagian asam dan
bagian basa sampai reaksi selesai dan larutan bersifat netral. Mis;
solutio citratis magnesii.
e. Saturatio
- Obat minum yang dibuat dengan mereaksikan asam dan basa
tetapi gas yang terjadi ditahan dalam wadah sehingga larutan
jenuh dengan gas.
- Pembuatan:
Komponen basa dilarutkan dalam 2/3 bagian air yang tersedia.
Mis NaHCO3 digerus tuang kemudian masuk botol.
Komponen asam dilarutkan dalam 1/3 bagian air yang tersedia.

7
2/3 bagian asam masuk basa, gas dibuang seluruhnya. Sisa asam
dituang hati-hati lewat tepi botol, segera tutup dengan sampagne
knop sehingga gas yang terjadi tertahan.
f. Potio Effervescent
Saturatio yang CO2 nya lewat jenuh.
- Pembuatan :
i. Langkah 1 dan 2 sama dengan pada saturatio
ii. Langkah 3 : seluruh bagian asam dimasukkan ke dalam basa
dengan hati-hati, segera tutup dengan sampagne knop.Gas
CO2 umumnya digunakan untuk pengobatan, menjaga
stabilitas obat, dan kadang-kadang dimasudkan untuk
menyegarkan rasa minuman.
iii. Hal yang harus diperhatikan untuk sediaan saturatio dan potio
effervescent adalah :
iv. Diberikan dalam botol yang kuat, berisi kira-kira 9/10
bagian dan tertutup kedap dengan gabus atau karet yang
rapat. Kemudian diikat dengan sampagne knop.
v. Tidak boleh mengandung bahan obat yang sukar larut,
karena tidak boleh dikocok. Pengocokan menyebabkan
botol pecah karena botol berisi gas dalam jumlah besar.
- Penambahan Bahan-bahan
Zat-zat yang dilarutkan dalam bagian asam
 Zat netral dalam jumlah kecil. (jumlah besar dilarutkan dalam
asam sebagian dilarutkan dalam basa, berdasarkan
perbandingan jumlah airnya).
 Zat-zat mudah menguap.
 Ekstrak dalam jumlah kecil dan alkaloid
 Sirup
Zat-zat yang dilarutkan dalam bagian basa
 Garam dari asam yang sukar larut. Mis Natrii benzoas, Natrii
salisilas.

8
 Bila saturasi mengandung asam tartrat maka garam-garam
kalium dan amonium harus ditambahkan ke dalm bagian
basanya, bila tidak akan terbentulk endapan kalium atau
amonium dari asam tartrat.
g. Guttae (drop)
- Obat tetes : sediaan cair berupa larutan, emulsi atau suspensi,
apabila tidak dinyatakan lain dimaksudkan untuk obat dalam.
- Digunakan dengan cara meneteskan menggunakan penetes yang
menghasilkan tetesan yang setara dengan tetesan yang dihasilkan
penetes baku yang disebutkan dalam Farmakope Indonesia.
- Pediatric drop : obat tetes yang diguanakan untuk anak-anak atau
bayi.
2. Larutan topical
Adalah larutan yang biasanya mengandung air tetapi seringkali
mengandung pelarut lain seperti etanol dan poliol yang pemakaiannya
untuk bagian luar tubuh. Contohnya : Collyrium Guttae,
Ophthalmicae, Gargarisma, Guttae Oris, Guttae Nasalis, Inhalation,
Injectiones , Lavement, Douche.(Syamsuni, 2006)
a. Collyrium
- Sediaan berupa larutan steril, jernih, bebas zarah asing, isotonis
digunakan untuk membersihkan mata, dapat ditambahkan zat
dapar dan zat pengawet.
- Catatan :
- Pada etiket harus tertera : Masa penggunaan setelah tutup dibuka
dan ”obat cuci mata”.
- Collyrium yang tidak mengandung zat pengawet hanya boleh
digunakan lama 2 jam setelah botol dibuka tutupnya. Yang
mengandung pengawet dapat digunakan paling lama 7 hari
setelah botol dibuka tutupnya.

9
b. Guttae ophthalmicae
Obat tetes mata : larutan steril bebas partikel asing merupakan
sediaan yang dibuat dan dikemas sedemikian rupa hingga sesuai
digunakan pada mata.
Tetes mata juga tersedia dalam bentuk suspensi, partikel halus
dalam bentuk termikronisasi agar tidak menimbulkan iritasi atau
goresan pada kornea.
c. Gargarisma (Gargle)
Gargarisma atau obat kumur mulut adalah sediaan berupa larutan
umumnya dalam keadaan pekat yang harus diencerkan dahulu
sebelum digunakan.
Dimaksudkan untuk digunakan sebagai pencegahan atau
pengobatan infeksi tenggorokan.
Penandaan : Petunjuk pengencern sebelum digunakan dan ”hanya
untuk kumur, tidak ditelan”
d. Litus Oris
Oles bibir adalah sediaan cair agak kental dan pemakaiannya
secara disapukan dalam mulut.
Cth: Lar 10 % borax dalam gliserin
e. Guttae Nasales
Tetes hidung adalah obat yang digunakan untuk hidung dengan
cara meneteskan obat ke dalam rongga hidung,
Dapat mengandung zat pensuspensi, pendapar dan pengawet.
Minyak lemak atau minyak mineral tidak boleh digunakan sebagai
cairan pembawa.
f. Inhalationes
Sediaan yang dimaksudkan untuk disedot hidung atau mulut atau
disemprotkan dalam bentuk kabut ke dalam saluran pernafasan.
Tetesan butiran kabut harus seragam dan sangat halus sehingga
dapat mencapai bronkhioli.
Inhalasi merupakan larutan dalam air atau gas.

10
Penandaan : Pada etiket ditulis ”Kocok dahulu”

g. Epithema/Obat Kompres
Cairan yang dipakai untuk mendatangkan rasa dingin pada tempat
yang sakit dan panas karena radang atau berdasarkan sifat
perbedaan tekanan osmose, digunakan untuk mengeringkan luka
bernanah.
Cth : Sol Rivanol, campuran Borwater-revanol

 Berdasarkan sistem pelarut dan zat terlarut :


1. Spirit
Adalah larutan yang mengandung etanol atau hidroalcohol dari zat
yang mudah menguap, dari bahan-bahan yang berbau harum.
2. Tinctur
Adalah larutan yang mengandung etanol atau hidroalkohol dibuat
dari bahan tumbuhan atau senyawa kimia.(M.Anief, 2007)
Dalam Farmakope Edisi III Kelarutan suatu zat yang tidak diketahui secara
pasti dapat dinyatakan dengan istilah sebagai berikut:
Jumlah bagian pelarut yang diperlukan
Istilah kelarutan
untuk melarutkan 1 bagian zat
Sangat mudah larut <1
Mudah larut 1- 10
Larut 10-30
Agak sukar larut 30-100
Sukar larut 100-1000
Sangat sukar larut 1000-10000
Praktis tidak larut >10000

2. EMULSI

11
Menurut FI III : 9 Emulsi adalah sediaan yang mengandung
bahan obat cair atau cairan obat terdispersi dalam cairan pembawa
distabilkan dengan zat pengemulsi atau surfaktan yang cocok. Menurut
th
RPS 18 : 298 Emulsi adalah suatu sistem terdispersi yang terdiri dari
paling sedikit 2 fase cairan yang tidak saling bercampur. Sebagian besar
dari emulsi konvensional dalam farmasi memiliki ukuran partikel
terdispersi dalam diameter dari 0,1 sampai 100 mm. Menurut Lachman :
1029 Emulsi adalah suatu campuran yang tidak stabil secara
termodinamika yang terdiri dari 2 cairan yang tidak saling bercampur.
Menurut Parrot : 354 Emulsi adalah suatu sistem polifase dari 2
campuran yang tidak saling bercampur. Salah satunya tersuspensi dengan
bantuan emulgator keseluruh partikel lainnya. Ukuran diameter
partikelnya 0.2 – 50 m. Menurut Physical Pharmacy : 522 Emulsi adalah
sistem yang tidak stabil secara termodinamika mengandung paling
sedikit dua fase cair yang tidak bercampur satu diantaranya terdispersi
sebagai globul-globul (fase pendispersi) dalam fase cair lainnya (fase
kontinyu) distabilkan dengan adanya bahan pengemulsi/emulgator.
Emulgator adalah suatu bahan yang dalam strukturnya memiliki
bagian yang lyofilik maupun lyofobik, yang mampu mengakomodasi
droplet-droplet cairan yang tidak saling campur, untuk dapat terdispersi
dengan stabil. Contoh dari emulgator adalah: Pulvis Gummi Arabicum
(PGA), Tween, dan Span.
HLB (hydrophyl-lipophyl balance) merupakan suatu tingkat
keseimbangan bagian hidrofil dan bagian lipofil dari suatu emulgator
dalam membentuk emulsi yang stabil. Untuk mendesain suatu emulsi,
seorang formulator perlu memahami HLB dari emulgator atau campuran
emulgator yang akan digunakan, untuk menstabilkan emulsi sesuai tipe
emulsi yang dikehendaki. Lebih daripada itu, beberapa fase minyak juga
mengindikasikan kebutuhan HLB (required HLB) yang harus dipunyai
oleh emulgator untuk menstabilkan emulsi pada dua jenis tipe emulsi.
Kriteria emulsi yang baik adalah:

12
a. Aman
b. Efektif dan efisien sesuai dengan tujuan terapi
c. Merupakan disperse homogen antara minyak dengan air
d. Stabil baik secara fisik maupun khemis dalam penyimpanan
e. Memiliki viskositas yang optimal, sehingga mampu menjaga stabilitas
dalam penyimpanan, serta dapat dituangkan dengan mudah
f. Dikemas dalam kemasan yang mendukung penggunaan dan stabilitas
obat.
Dalam emulsi dikenal istilah fase dispers dan medium pendispersi. Ada
dua jenis tipe emulsi secara umum, yaitu:
1. Tipe air/minyak (A/M).
Tipe A/M berarti air (fase terdispersi) terdispersi dalam minyak
(medium).
2. Tipe minyak/air (M/A).
Tipe M/A berarti minyak (fase terdispersi) terdispersi dalam air
(medium).
Secara khusus dikenal pula tipe air/minyak/air dan tipe
minyak/air/minyak.
Untuk membedakan tipe emulsi tersebut dapat dilakukan dengan cara:
1. Pemberian pewarna yang larut pada salah satu fase, kemudian
dilakukan pengamatan secara mikroskopis terhadap kondisi
emulsi yang telah terwarnai salah satu fasenya.
Contoh: semisal digunakan methylen blue yang larut air, apabila
diamati melalui mikroskop, yang terwarnai adalah dropletnya,
maka emulsi tersebut bertipe A/M, begitu juga sebaliknya. Jika
digunakan Sudan III yang larut minyak, apabila diamati melalui
mikroskop, yang terwarnai adalah dropletnya, maka emulsi
tersebut bertipe M/A, begitu juga sebaliknya
Catatan: untuk pemastian hasil, emulsi perlu ditest dengan 2 jenis
pewarna tersebut.

13
2. Pengenceran dengan menggunakan cairan salah satu fase. Jika
cairan untuk mengencerkan tersebut bercampur dengan emulsi,
maka dapat dipastikan bahwa cairan tersebut berperan sebagai
medium pendispersi.
Catatan: untuk pemastian hasil, emulsi perlu ditest dengan 2 jenis
cairan tersebut.
Sistem emulsi merupakan sistem dispersi yang diupayakan untuk
memanipulasi dalam waktu tertentu, dua cairan yang secara alami
tidak saling menyatu, sehingga suatu saat fase-fase dalam sistem
tersebut dapat memisah sesuai dengan kealamiannya (by nature).
(M.Anief, 2000)

3. SUSPENSI
Suspensi merupakan sediaan yang merupakan sistem dispersi dari
partikel zat aktif solid yang memiliki kelarutan yang rendah pada medium.
Yang diharapkan dari suatu sediaan suspensi adalah bahwa sistem
terdistribusi homogen saat digunakan.
Untuk itu yang menjadi criteria dalam sediaan suspensi adalah:
a. Aman
b. Efektif dan efisien
c. Partikel solid stabil secara kimia dalam medium
d. Partikel solid terdistribusi merata, tidak boleh cepat mengendap,
kalaupun mengendap dapat diredispersikan kembali dengan
penggojogan ringan
e. Tidak membentuk cake (endapan massif yang kompak pada dasar
botol yang tidak dapat diredispersikan kembali)
f. Partikel solid tidak mengapung (floating).
Suspensi didesain dalam dunia kefarmasian untuk mengakomodasi
penghantaran zat aktif solid yang perlu dihantarkan dengan sediaan liquid,
yang memiliki kelarutan yang rendah terhadap medium. Dalam suspensi
dikenal dua sistem yaitu:

14
1. Sistem flokulasi
Dalam sistem ini, saat tidak dilakukan intervensi mekanik apa pun,
partikel-partikel solid saling bergabung perlahan membentuk flok
dengan ikatan yang lemah. Dengan terbentuknya flok ini, maka flok
akan cepat mengendap dan supernatant/medium akan tampak relatif
jernih. Namun dengan adanya kerenggangan dalam struktur flok ini,
apabila sistem digojog, maka partikel akan mudah terdispersi kembali.
2. Sistem deflokulasi.
Dalam sistem ini, partikel-partikel solid tidak membentuk flok, dan
sebagai akibat gravitasi, mengendap perlahan pada dasar. Berhubung
partikel tersebut mengendap perlahan, maka terjadi suatu penataan
partikel di dasar botol yang cenderung membuat endapan menjadi
kompak dan keras (terbentuk cake) yang relative sulit untuk
didispersikan kembali dengan penggojogan ringan. Kedua sistem
tersebut bukan merupakan suatu pilihan. Formulator perlu
mengakomodasi kebaikan dari dua sistem tersebut untuk sediaan
suspensi yang berkualitas (lama mengendap, sekalipun mengendap
dapat diredispersikan kembali dengan mudah, sehingga dalam
pemakaian/penggunaan obat dapat memberikan sejumlah partikel
yang terdistribusi homogen dalam medium) dalam penyimpanan
waktu yang dikehendaki..
Komposisi dari sediaan suspensi adalah:
1. Zat aktif dengan kelarutan yang rendah pada medium
2. Medium suspensi yang diharapkan (dapat berupa air atau minyak)
3. Wetting agent à surface active agent
Solid yang memiliki kelarutan yang rendah dalam medium
cenderung memiliki tegangan permukaan yang tinggi. Keperluan
menyertakan wetting agent disini adalah agar tegangan permukaan
solid dapat diturunkan, sehingga solid dapat terbasahi dengan baik,
dapat berada dalam medium, tidak terjadi pengapungan partikel
(floating).

15
4. Viscocity enhancer
Viscocity enhancer dibutuhkan untuk membentuk struktur
pembawa (structured vehicle) yang mampu menahan laju
pengendapan partikel. Semakin kental sistem, maka laju
pengendapan partikel akan semakin rendah (salah satu intepretasi
dari Hukum Stokes)
3. Agen pemflokulasi
Agen pemflokulasi dibutuhkan untuk menstimulasi partikel-
partikel membentuk flok, sehingga resiko terbentuknya cake dapat
dihindari. Namun, perlu diperhatikan penambahan agen
pemflokulasi ini, diarahkan untuk flokulasi yang terkendali
(controlled flocculation)
4. Additives
Sebagai additives disini dapat digunakan: gula (yang juga dapat
berfungsi sebagai viscocity enhancer) atau pemanis, pewarna,
antioksidant, pengawet (yang kesemuanya harus larut pada
medium).
Suspensi juga dapat digunakan secara oral, topical, maupun
parenteral. Namun hal yang perlu diperhatikan terutama dengan
penggunaan parenteral adalah kadar solid, ukuran partikel solid (micro
or nano sized) dan bentuk partikel solid (spheris), selain sterilitas dan
kondisi pyrogen-free. Demikian juga dengan penggunaan topical yang
ditujukan pada mata (ophthalmic suspension), perlu juga melihat
ukuran dan bentuk partikel, sealing sterilitas. Dalam ophthalmic
suspension, kondisi pyrogen free tidak dipersyaratkan, mengingat
pemberian dilakukan secara topical. (Syamsuni, 2006)

2.2. RUTE PEMBERIAN OBAT


A. Oral

16
Pemberian obat yang dilakukan dengan memasukkan obat kedalam
mulut pasien maupun dilakukan sendiri oleh pasien, misalnya : syrup,
tablet, Kaplet, kapsul, tetes puyer.
B. Sublingual
Memasukkan obat dengan meletakkannya pada bawah lidah pasien.
Biasanya obat seperti ini dilakukan pada pasien yang mengalami
penyakit jantung, diletakkan dibawah lidah dengan maksud agar obat
cepat terabsorbsi didalam darah sebab dibah lidah merupakan tempat
yang memiliki banyak kapiler – kepiler darah.
C. Parenteral
Pemberian obat yang dilakukan dengan pemberian suntikan baik itu
Intra Muscular (pada otot ), Intra Vena (pada pembuluh darah), dan
Intra Cutan (dibawah Kulit).
D. Topikal
Pemberian obat yang dilakukan dengan mengoleskan pada bagian
permukaan kulit misalnya pada salep yang dioleskan pada permukaan
kulit, dengan tujuan agar salep dapat menembus dinding lapisan kulit
namun absorbsi jenis pemberian obat seperti ini sangat lama.
E. Rektal
Pemberian obat yang dimasukkan melalui lubang anus dimana jenis
obat seperti ini bereupa suppositoria, biasanya pada pasien yang
mengalami gangguan BAB seperti Konstipasi.
F. Inhalasi
Pemberian obat berupa Inhalar atau dengan cara menghirup berupa
uap, biasanya pada pasien asma bronchial seperti obat Salbutamol.
G. Organ tertentu, seperti mata, hidung, telinga
Pemberian obatnya diberikan dengan cara tetes, dimana meneteskan
beberapa tetes kepada organ tertentu dengan dosis tertentu pula

17
2.3 KELEBIHAN DAN KEKURANGAN

Keuntungan sediaan cair


1. Cocok untuk penderita yang suka menelan
2. Absorbsi obat lebih cepat dibandingkan dengan sediaan oral lain.
Urutan kecepatan absorbsinya larutan > emulsi > suspense
3. Homogenitas lebih terjamin
4. Dosis dapat disesuaikan
5. Dosis obat lebih seragam dibandingkan sediaan padat, terutama bentuk
larutan. Untuk suspense dan emulsi, keseragaman dosis tergantung
pada pengocokan
6. Beberapa obat atau senyawa obat dapat mengiritasi mukosa lambung
atau dirusak cairan lambung bila diberikan dalam bentuk sediaan
padat. Hal ini dapat dikurangi dengan memberikan obat dalam bentuk
sediaan cair karena factor pengenceran

Kerugiaan sediaan cair


1. Tidak dapat dibuat untuk senyawa obat yang tidak stabil dalam air
2. Bagi obat yang rasanya pahit atau baunya tidak enak sukar ditutupi
3. Tidak praktis
4. Takaran penggunaan obat tidak dalam dosis terbagi, kecuali sediaan
dosis tunggal, dan harus menggunakan alat khusus
5. Air merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri dan
merupakan katalis reaksi
6. Pemberian obat harus menggunakan alat khusus atau oleh orang
khusus (sediaan parenteral).

2.4 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

1. Nilai Isotonisitas

Sebagaimana kita telah ketahui bahwa nilai tonisitas dapat di


kelompokan menjadi 3 yaitu isotonis, Hipertonis, dan Hipotonis dimana Isotonis

18
Menurut Scoville adalah larutan yang memiliki tekanan osmotik yang sama
dikatakan isotonik satu sama lain. Untuk cairan yang digunakan dalam tubuh
manusia, larutan isotonik adalah salah satu yang memiliki tekanan osmotik yang
sama dengan cairan tubuh. Demonstrasi menunjukkan tekanan osmotik itu, ketika
kedua larutan atau pelarut dari larutan memiliki konsentrasi yang lebih besar
sehingga meningkatkan volume larutan yang terakhir. , Hipertonis menurut ilmu
resep ekanan osmosis laruitan obat lebih besar daripada tekanan osmosis iran
tubuh. Jika larutan injeksi hipertonis disuntikkan, air dalam sel akan ditarik luar
dari sel sehingga sel akan mengerut, tetapi keadaan ini bersifat sementara dan idak
akan menyebabkan kerusakan sel tersebut. Keadaan hipertonis adalah jika nilai B
negatif; maka b,c > 0,52 , dan Hiotonis menurut Ilmu resep tekanan osmosis
larutan obat lebih kecil daripada tekanan osmosis cairan tubuh, jika larutan injeksi
yang hipotonis disuntikkan, air dari larutan injeksi akan diserap dan masuk
kedalam sel, akibatnya sel akan mengembang dan peeah, dan keadaan ini bersifat
tetap, Jika yang pecah itu sel darah merah, disebut "haemolisis".
Pecah sel ini akan dibawa aliran darah dan dapat menyumbat pembuluh darah
yang Kecil. Keadaan hipotonis adalah jika nilai B positif; maka b, C < 0,52.
Dimana Sebagian Besar haruslah bersifat isotonis dengan cairan Tubuh dan
beberapa ada yang bersifat hipertonis yergantung kebutuhan.
2.Pendaparan

Pendaparan merupakan salah satu cara untuk mempertahankan pH larutan


tetes mata. Penambahan dapar dalam pembuatan obat mata harus didasarkan pada
beberapa pertimbangan tertentu. Air mata normal memiliki pH lebih kurang 7,4
dan mempunyai kapasitas dapar tertentu. Secara ideal obat tetes mata harus
mempunyai pH yang sama dengan larutan mata, tetapi hal ini tidak selalu dapat
dilakukan karena pada pH 7,4 banyak obat yang tidak cukup larut ataupun tidak
stabil pada pH 7,4. Oleh karena itu system dapar harus dipilih sedekat mungkin
dengan pH fisiologis yaitu 7,4 dan tidak menyebabkan pengendapan atau
mempercepat kerusakan obat. Jika harga pH yang di tetapkan atas dasar stabilitas
berada diluar daerah yang dapat di terima secara fisiologis, maka kita wajib

19
menambahkan larutan dapar dan melakukan pengaturan pH melalui penambahan
asam atau basa.
3. Pengawetan
Ini harus di perhatikan karena dalam sediaan liquid dan semi liquid
mengandung banyak kandungan air yang menjadi tempat berkembang
biaknya mikroorganisme dan Jamur yang pada akhirnya akan menyebabkan
pembusukan. Jadi penggunaan Pengawet ini sendiri biasanya di tujukan untuk
menjaga kestabilan obat dalam penyimpanan agar dapat bertahan lebih lama
dan tidak ditumbuhi oleh mikroba atau jamur. Pada sediaan liquid dan semi
liquid ini juga dibutuhkan lebih banyak pengawet karena lebih rawan menjadi
media berkembangnya mikroorganisme.
4. Kekentalan
Kekentalan suatu cairan mempengaruhi pula kecepatan aliran dari cairan
tersebut, makin kental suatu cairan kecepatan alirannya makin turun
(kecil).Kecepatan aliran dari cairan tersebut akan mempengaruhi pula gerakan
turunnya partikel yang terdapat didalamnya. Dengan demikian dengan
menambah viskositas cairan, gerakan turun dari partikel yang dikandungnya
akan diperlambat. Tetapi perlu diingat bahwa kekentalan suspensi tidak boleh
terlalu tinggi agar sediaan mudah dikocok dan dituang.Kekentalan juga akan
berpengaruh terhadap daerah pemberian obat seperti untuk membran luarkah
seperti epidermis atau mukosa atau yang bersifat sistemik atau masuk ke
peredaran darah.
5. Pengkhelat
Zat khelat yang dipakai untuk membuang logam beracun (timbal) dari
dalam tubuh harus membentuk senyawa yang stabil dengan ion logam
tersebut. Adapun khelat yang cocok untuk digunakan adalah Kalsium
disodium EDTA (CaNa2EDTA) yang merupakan senyawa kompleks. Zat
pengkhelat ini hanya cocok untuk orang dewasa, sedangkan pada anak-anak
jarang digunakan zat ini. Di dalam tubuh, kalsium (Ca) akan digantikan oleh
timbal (Pb) karena bisa membentuk senyawa yang lebih stabil dengan EDTA.
Kalsium disodium EDTA (CaNa2EDTA) ini dalam bentuk infus yang

20
diberikan kepada penderita keracunan timbal (Pb). Faktor yang menentikan
stabilitas kompleks adalah berdasarkan pada sifat-sifat baik agen khelating
dan logam khelat. Stabilitas konstan kompleks dapat secara kuantitatif
dinyatakan dalam nilai persamaan kesetimbangan, yang tergantung pada
struktur atom dari logam khelated.

2.5 MEKANISME SEDIAAN OBAT LIQUID SEMI LIQUID


MEKANISME KERJA OBAT

Obat menghasilkan kerja dengan mengubah cairan tubuh atau membran


sel atau dengan beinteraksi dengan tempat reseptor. Jel aluminium hidroksida obat
mengubah zat kimia suatu cairan tubuh (khususnya dengan menetralisasi kadar
asam lambung). Obat-obatan, misalnya gas anestsi mum, beinteraksi dengan
membran sel. Setelah sifat sel berubah, obat mengeluarkan pengaruhnya.
Mekanisme kerja obat yang paling umum ialah terikat pada tempat reseptor sel.
Reseptor melokalisasi efek obat. Tempat reseptor berinteraksi dengan obat karena
memiliki bentuk kimia yang sama. Obat dan reseptor saling berikatan seperti
gembok dan kuncinya. Ketika obat dan reseptor saling berikatan, efek terapeutik
dirasakan. Setiap jaringan atau sel dalam tubuh memiliki kelompok reseptor yang
unik. Misalnya, reseptor pada sel jantung berespons pada preparat digitalis.
Suatu obat yang diminum per oral akan melalui tiga fase: farmasetik
(disolusi), farmakokinetik, dan farmakodinamik, agar kerja obat dapat terjadi.
Dalam fase farmasetik, obat berubah menjadi larutan sehingga dapat menembus
membrane biologis. Jika obat diberikan melaluirute subkutan, intramuscular, atau
intravena, maka tidak terjadi fase farmaseutik. Fase kedua, yaitu farmakokinetik,
terdiri dari empat proses (subfase):absorpsi, distribusi, metabolisme (atau
biotransformasi), dan ekskresi. Dalam fase farmakodinamik, atau fase ketiga,
terjadi respons biologis atau fisiologis.

A. Fase Farmasetik (Disolusi)

21
Sekitar 80% obat diberikan melaui mulut; oleh karena itu,
farmasetik(disolusi) adalah fase pertama dari kerja obat. Dalam saluran
gastrointestinal, obat-obat perlu dilarutkan agar dapat diabsorsi. Obat dalam
bentuk padat (tablet atau pil) harus didisintegrasi menjadi partikel-partikel kecil
supaya dapat larut ke dalam cairan, dan proses ini dikenal sebagai disolusi.
Tidak 100% dari sebuah tablet merupakan obat. Ada bahan pengisi dan pelembam
yang dicampurkan dalam pembuatan obat sehingga obat dapat mempunyai ukuran
tertentu dan mempercepat disolusi obat tersebut. Beberapa tambahan dalam obat
sperti ion kalium (K)dan natrium (Na)dalam kalium penisilin dan natrium
penisilin, meningkatkan penyerapan dari obat tersebut. Penisilin sangat buruk
diabsorbsi dalam saluran gastrointestinal, karena adanya asam lambung. Dengan
penambahan kalium atau natrium ke dalam penisilin, maka obat lebih banyak
diabsorbsi.
Disintegrasi adalah pemecahan tablet atau pil menjadi partikel-partikel
yang lebih kecil, dan disolusi adalah melarutnya partikel-partikel yang lebih kecil
itu dalam cairan gastrointestinal untuk diabsorbsi. Rate limiting adalah waktu
yang dibutuhkan oleh sebuah obat untuk berdisintegrasi dan sampai menjadi siap
untuk diabsorbsi oleh tubuh. Obat-obat dalam bentuk cair lebih cepat siap diserap
oleh saluran gastrointestinal daripada obat dalam bentuk padat. Pada umumnya,
obat-obat berdisintegrasi lebih cepat dan diabsorpsi lebih cepat dalam cairan asam
yang mempunyai pH 1 atau 2 daripada cairan basa. Orang muda dan tua
mempunyai keasaman lambung yang lebih rendah sehingga pada umumnya
absorpsi obat lebih lambat untuk obat-obat yang diabsorpsi terutama melalui
lambung.
Obat-obat dengan enteric-coated,EC (selaput enterik) tidak dapat
disintegrasi oleh asam lambung, sehingga disintegrasinya baru terjadi jika berada
dalam suasana basa di dalam usus halus. Tablet anti coated dapat bertahan di
dalam lambung untuk jangka waktu lama; sehingga, oleh karenanya obat-obat
demikian kurang efektif atau efek mulanya menjadi lambat.

22
Makanan dalam saluran gastrointestinal dapat menggaggu pengenceran dan
absorpsi obat-obat tertentu. Beberapa obat mengiritasi mukosa lambung, sehingga
cairan atau makanan diperluan untuk mengencerkan konsentrasi obat.

B. Fase Farmakokinetik

Farmakokinetik adalah ilmu tentang cara obat masuk ke dalam tubuh,


mencapai tempat kerjanya, dimetabolisme, dan keluar dari tubuh. Dokter dan
perawat menggunakan pengetahuan farmakokinetiknya ketika memberikan obat,
memilih rute pemberian obat, menilai resiko perubahan keja obat, dan
mengobservasi respons klien.Empat proses yang termasuk di dalamnya adalah :
absorpsi, distribusi, metabolism (biotransformasi), dan ekskresi(eliminasi).

Absorpsi

Absorpsi adalah pergerakan partikel-partikel obat dari konsentrasi tinggi


dari saluran gastrointestinal ke dalam cairan tubuh melalui absorpsipasif, absorpsi
aktif, rinositosis atau pinositosis.
Absorpsi aktif umumnya terjadi melalui difusi(pergerakan dari konsentrasi
tinggi ke konsentrasi rendah). Absorpsi aktif membutuhkan carier atau pembawa
untuk bergerak melawan konsentrasi. Pinositosis berarti membawa obat
menembus membran dengan proses menelan.
Absorpsi obat dipengaruhi oleh aliran darah, nyeri, stress, kelaparan, makanan dan
pH. Sirkulasi yang buruk akibat syok, obat-obat vasokonstriktor, atau penyakit
yang merintangi absorpsi. Rasa nyeri, stress, dan makanan yang padat, pedas, dan
berlemak dapat memperlambat masa pengosongan lambung, sehingga obat lebih
lama berada di dalam lambung. Latihan dapat mengurangi aliran darah dengan
mengalihkan darah lebih banyak mengalir ke otot, sehingga menurunkan sirkulasi
ke saluran gastrointestinal.

23
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi absorpsi obat antara lain rute
pemberian obat, daya larut obat, dan kondisi di tempat absorpsi.
Setiap rute pemberian obat memiliki pengaruh yang berbeda pada absorpsi obat,
bergantung pada struktur fisik jaringan. Kulit relatif tidak dapat ditembus zat
kimia, sehingga absorpsi menjadi lambat. Membran mukosa dan saluran nafas
mempercepat absorpsi akibat vaskularitas yang tinggi pada mukosa dan
permukaan kapiler-alveolar. Karena obat yang diberikan per oral harus melewati
sistem pencernaan untuk diabsorpsi, kecepatan absorpsi secara keseluruhan
melambat. Injeksi intravena menghasilkan absorpsi yang paling cepat karena
dengan rute ini obat dengan cepat masuk ke dalam sirkulasi sistemik.
Daya larut obat diberikan per oral setelah diingesti sangat bergantung pada
bentuk atau preparat obat tersebut. Larutan atau suspensi, yang tersedia dalam
bentuk cair, lebih mudah diabsorpsi daripada bentuk tablet atau kapsul. Bentuk
dosis padat harus dipecah terlebih dahulu untuk memajankan zat kimia pada
sekresi lambung dan usus halus. Obat yang asam melewati mukosa lambung
dengan cepat. Obat yang bersifat basa tidak terabsorpsi sebelum mencapai usus
halus.
Kondisi di tempat absorpsi mempengaruhi kemudahan obat masuk ke
dalam sirkulasi sistemik. Apabila kulit tergoles, obat topikal lebih mudah
diabsorpsi. Obat topikal yang biasanya diprogamkan untuk memperoleh efek lokal
dapat menimbulkan reaksi yang serius ketika diabsorpsi melalui lapisan kulit.
Adanya edema pada membran mukosa memperlambat absorpsi obat karena obat
membutuhkan waktu yang lama untuk berdifusi ke dalam pembuluh darah.
Absorpsi obat parenteral yang diberikan bergantung pada suplai darah dalam
jaringan.Sebelum memberikan sebuah obat melalui injeksi, perawat harus
mengkaji adanya faktor lokal, misalnya; edema, memar, atau jaringan perut bekas
luka, yang dapat menurunkan absorpsi obat. Karena otot memiliki suplai darah
yang lebih banyak daripada jaringan subkutan (SC), obat yang diberikan per
intramuskular (melalui otot) diabsorpsi lebih cepat daripada obat yang disuntikan
per subkutan. Pada beberapa kasus, absorpsi subkutan yang lambat lebih dipilih
karena menghasilkan efek yang dapat bertahan lama. Apabila perfusi jaringan

24
klien buruk, misalnya pada kasus syok sirkulasi, rute pemberian obat yang terbaik
ialah melalui intravena. Pemberian obat intravena menghasilkan absorpsi yang
paling cepat dan dapat diandalkan.

Obat oral lebih mudah diabsorpsi, jika diberikan diantara waktu makan.
Saat lambung terisi makanan, isi lambung secara perlahan diangkut ke duodenum,
sehingga absorpsi melambat. Beberapa makanan dan antasida membuat obat
berikatan membentuk kompleks yang tidak dapat melewati lapisan saluran cerna.
Contoh, susu menghambat absorpsi zat besi dan tetrasiklin. Beberapa obat hancur
akibat peningkatan keasaman isi lambung dan pencernaan protein selama makan.
Selubung enterik pada tablet tertentu tidak larut dalam getah lambung, sehingga
obat tidak dapat dicerna di dalam saluran cerna bagian atas. Selubung juga
melindungi lapisan lambung dari iritasi obat.
Rute pemberian obat diprogramkan oleh pemberi perawatan kesehatan.
Perawat dapat meminta obat diberikan dalam cara atau bentuk yang berbeda,
berdasarkan pengkajian fisik klien. Contoh, bila klien tidak dapat menelan tablet
maka perawat akan meminta obat dalam bentuk eliksir atau sirup. Pengetahuan
tentang faktor yang dapat mengubah atau menurunkan absorpsi obat membantu
perawat melakukan pemberian obat dengan benar. Makanan di dalam saluran
cerna dapat mempengaruhi pH, motilitas, dan pengangkuan obat ke dalam saluran
cerna. Kecepatan dan luas absorpsi juga dapat dipengaruhi oleh makanan. Perawat
harus mengetahui implikasi keperawatan untuk setiap obat yang diberikan.
Contohnya, obat seperti aspirin, zat besi, dan fenitoin, natrium (Dilantin)
mengiritasi saluran cerna dan harus diberikan bersama makanan atau segera
setelah makan. Bagaimanapun makanan dapat mempengaruhi absorpsi obat,
misalnya kloksasilin natrium dan penisilin. Oleh karena itu, obat-obatan tersebut
harus diberikan satu sampai dua jam sebelum makan atau dua sampai tiga jam
setelah makan. Sebelum memberikan obat, perawat harus memeriksa buku obat
keperawatan, informasi obat, atau berkonsultasi dengan apoteker rumah sakit
mengenai interaksi obat dan nutrien.

25
Distribusi

Distribusi adalah proses di mana obat menjadi berada dalam cairan tubuh
dan jaringan tubuh. Distribusi obat dipengaruhi oleh aliran darah (dinamika
sirkulasi), afinitas (kekuatan penggabungan) terhadap jaringan, berat dan
komposisi badan, dan efek pengikatan dengan protein.

Dinamika Sirkulasi

Obat lebih mudah keluar dari ruang interstial ke dalam ruang intravaskuler
daripada di antara kompartemen tubuh. Pembuluh darah dapat ditembus oleh
kebanyakan zat yang dapat larut, kecuali oleh partikel obat yang besar atau
berikatan dengan protein serum. Konsentrasi sebuah obat pada sebuah tempat
tertentu bergantung pada jumlah pembuluh darah dalam jaringan, tingkat
vasodilasi atau vasokonstriksi lokal, dan kecepatan aliran darah ke sebuah
jaringan. Latihan fisik, udara yang hangat, dan badan yang menggigil mengubah
sirkulasi lokal. Contoh, jika klien melakukan kompres hangat pada tempat
suntikan intramuskular, akan terjadi vasodilatasi yang meningkatkan distribusi
obat.
Membran biologis berfungsi sebagai barier terhadap perjalanan obat.
Barier darah-otak hanya dapat ditembus oleh obat larut lemak yang masuk ke
dalam otak dan cairan serebrospinal. Infeksi sistem saraf pusat perlu ditangani
dengan antibiotik yang langsung disuntikkan ke ruang subaraknoid di medula
spinalis. Klien lansia dapat menderita efek samping (misalnya konfusi) akibat
perubahan permeabilitas barier darah-otak karena masuknya obat larut lemak ke
dalam otak lebih mudah. Membran plasenta merupakan barier yang tidak selektif
terhadap obat. Agens yang larut dalam lemak dan tidak larut dalam lemak dapat
menembus plasenta dan membuat janin mengalami deformitas (kelainan bentuk),
depresi pernafasan, dan pada kasus penyalahgunaan narkotik, gejala putus zat.
Wanita perlu mengetahui bahaya penggunaan obat selama masa hamil.

26
Berat dan Komposisi Badan

Ada hubungan langsung antara jumlah obat yang diberikan dan jumlah
jaringan tubuh tempat obat didistribusikan. Kebanyakan obat diberikan
berdasarkan berat dan komposisi tubuh dewasa. Perubahan komposisi tubuh dapat
mempengaruhi distribusi obat secara bermakna. Contoh tentang hal ini dapat
ditemukan pada klien lansia. Karena penuaan, jumlah cairan tubuh berkurang,
sehingga obat yang dapat larut dalam air tidak didistribusikan dengan baik dan
konsentrasinya meningkat di dalam darah klien lansia. Peningkatan persentase
leak tubuh secara umum ditemukan pada klien lansia, membuat kerja obat
menjadi lebih lama karena distribusi obat di dalam tubuh lebih lambat. Semakin
kecil berat badan klien, semakin besar konsentrasi obat di dalam cairan tubuhnya,
dan dan efek obat yang dihasilkan makin kuat. Lansia mengalami penurunan
massa jaringan tubuh dan tinggi badan dan seringkali memerlukan dosis obat yang
lebih rendah daripada klien yang lebih muda.

Ikatan Protein

Ketika obat didistribusikan di dalam plasma kebanyakan berikatan dengan


protein (terutama albumin). Dalam derajat (persentase) yang berbeda-beda. Salah
satu contoh obat yang berikatan tinggi dengan protein adalah diazeipam (valium)
yaitu 98% berikatan dengan protein. Aspirin 49% berikatan dengan protein dan
termasuk obat yang berikatan sedang dengan protein. Bagian obat yang berikatan
bersifat inaktif,dan bagian obat selebihnya yanhg tidak berikatan dapat bekerja
bebas. Hanya obat-obat yang bebas atau yang tidak berikatan dengan proteinyang
bersifat aktif dan dapat menimbulkan respon farmakologik.
Kadar protein yang rendah menurunkan jumlah tempat pengikatan dengan protein,
sehingga meningkatkan jumlah obat bebas dalam plasma. Dengan demikian dalam

27
hal ini dapat terjadi kelebihan dosis, karena dosis obat yang diresepkan dibuat
berdasarkan persentase di mana obat itu berikatan dengan protein.
Seorang perawat juga harus memeriksa kadar protein plasma dan albumin plasma
klien karena penurunan protein (albumin) plasma akan menurunkan tempat
pengikatan dengan protein sehingga memungkinkan lebih banyak obat bebas
dalam sirkulasi. Tergantung dari obat yang diberikan akibat hal ini dapat
mengancam nyawa.Abses, aksudat, kelenjar dan tumor juga menggangu distribusi
obat, antibiotika tidak dapat didistribusi dengan baik pada tempat abses dan
eksudat. Selain itu, beberapa obat dapat menumpuk dalam jaringan tertentu,
seperti lemak, tulang, hati, mata dan otot.

Metabolisme Atau Biotransformasi

Hati merupakan tempat utama untuk metabolisme. Kebanyakan obat


diinaktifkan oleh enzim-enzim hati dan kemudian diubah menjadi metabolit
inaktif atau zat yang larut dalam air untuk diekskresikan. Tetapi, beberapa obat
ditransformasikan menjadi metabolit aktif, menyebabkan peningkatan respons
farmakologik, penyakit-penyakit hati, seperti sirosis dan hepatitis, mempengaruhi
metabolisme obat.
Waktu paruh, dilambangkan dengan t ½, dari suatu obat adalah waktu
yang dibutuhkan oleh separuh konsentrasi obat untuk dieliminasi, metabolisme
dan eliminasi mempengaruhi waktu paruh obat, contohnya, pada kelainan fungsi
hati atau ginjal, waktu paruh obat menjadi lebih panjang dan lebih sedikit obat
dimetabolisasi dan dieliminasi. Jika suatu obat diberikan terus – menerus, maka
dapat terjadi penumpukan obat.
Suatu obat akan melalui beberapa kali waktu paruh sebelum lebih dari
90% obat itu dieliminasi. Jika seorang klien mendapat 650mg aspirin (miligram)
dan waktu paruhnya adalah 3jam, maka dibutuhkan 3jam untuk waktu paruh
pertama untuk mengeliminasi 325mg, dan waktu paruh kedua 9 atau 6jam untuk
mengeliminasi 162mg berikutnya, dan seterusnya sampai pada waktu paruh
keenam atau 18jam dimana tinggal 10mg aspirin terdapat dalam tubuh, waktu

28
paruh selama 4-8jam dianggap singkat, dan 24jam atau lebih dianggap panjang.
Jika obat memiliki waktu paruh yang panjang (seperti digoksin: 36 jam), maka
diperlukan beberapa hari agar tubuh dapat mengeliminasi obat tersebut
seluruhnya, waktu paruh obat juga dibicarakan dalam bagian berikut mengenai
farmakodinamik, karena proses farmakodinamik berkaitan dengan kerja obat.

EkskresiAtau Eliminasi

Rute utama dari eliminasi obat adalah melalui ginjal, rute-rute lain
meliputi empedu, feses, paru- paru, saliva, keringat, dan air susu ibu. Obat bebas
yang tidak berkaitan dengan protein tidak dapat difiltrasi oleh ginjal. Sekali obat
dilepaskan bebas dan akhirnya akan diekskresikan melalui urin.
pH urin mempengaruhi ekskresi obat. pH urin bervariasi dari 4,5 sampai 8.
Urin yang asam meningkatkan eliminasi obat-obat yang bersifat basa lemah.
Aspirin, suatu asam lemah, diekskresi dengan cepat dalam urin yang basa. Jika
seseorang meminum aspirin dalam dosis berlebih, natrium bikarbonat dapat
diberikan untuk mengubah pH urin menjadi basa. Juice cranberry dalam jumlah
yang banyak dapat menurunkan pH urin, sehingga terbentuk urin yang asam.

C. Fase Farmakodinamik

Farmakodinamik mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia


selular dan mekanisme kerja obat. Respons obat dapat menyebabkan efek fisiologi
primer atau sekunder atau kedua-duanya. Efek primer adalah efek yang
diinginkan, dan efek sekunder bisa diinginkan atau tidak diinginkan. Salah satu
contoh dari obat dengan efek primer dan sekunder adalah difenhidramin
(benadryl) suatu antihistamin. Efek primer dari difenhidramin adalah untuk
mengatasi gejala-gejala alergi, dan efek sekundernya adalah penekanan susunan
saraf pusat yang menyebabkan rasa kantuk. Efek sekunder ini tidak diinginkan
jika sedang mengendarai mobil, tetapi pada saat tidur, dapat menjadi diinginkan
karena menimbulkan sedasi ringan.

29
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Sediaan obat bentuk liquid dan semi liquid dibagi menjadi beberapa
macam yaitu larutan, emulsi dan suspensi. Faktor-faktor yang dapat memengaruhi
obat bentuk sediaan liquid dan semiliquid antara lain adalah nilai isotonitas,
pendaparan, kekentalan dan pekhelat.

30
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1979, Farmakope Indonesia, edisi III, Departemen Kesehatan Republik


Indonesia, Jakarta.

Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, edisi IV, Departemen Kesehatan Republik


Indonesia, Jakarta, 298

Anonim. 2007. Mixing Technologies in the Pharmaceutical and Medicinal


Industries. A White Paper. Charles Ross and Son Company.

Dirjen Binfar. Pedoman Pencampuran Obat Suntik dan Penanganan Sediaan


Sitostatiska. Depertamen Kesehatan RI. 2009

Bhatt, Bhawna and Agrawal, S.S . 2007. Pharmaceutical Engineering – Mixing.


Delhi Institute of Pharmaceutical Science and Research Sector – 3. Pushp
Vihar. New Delhi

Gennaro, Alfonso R., (2000), Remington: The Science and Practice of


Pharmacy20th edition, Philadelphia College of Pharmacy and Science:
Philadelphia

Jenkins, Glenn L., (1957), Scoville’s the Art of Compounding Nineth edition, The
McGraw-Hill Book Company, Inc: USA

Lachman. L, dkk.1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri. Edisi III. Jakarta : UI
Press.
Lachman, L, Lieberman, H.A, Kanig, J.L. 1989. Teori dan Praktek Farmasi
Industri. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.

31
Martin, W., (1971), Dispending of Medication 7th edition, Marck Publishing
Company: USA

Moh. Anief. 1997. Ilmu Meracik Obat Teori dan Praktek. Yogyakarta : Gajah
Mada University Press.

Syamsuni, H.A. 2006. Ilmu Resep. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran.


Tousey. 2002. The Granulation Process 101 – Basic Technologies for Tablet
Making. Pharmaceutical Technology page 8-1.

Parrot, Eugene L., (1968), Pharmaceutical Technology, Burgess Publishing


Company: Iowa

32

Anda mungkin juga menyukai