OBSTRUKSI USUS
Disusun Oleh:
Fauziya Dzakirani G99172076
Rindu Permata Putri G99172141
Riswanda Satria Adi P G99181055
Satria Ardi Nurdani G99181060
Pembimbing:
dr. Prasetyo Sarwono P, Sp.Rad (K) RI
Halaman Judul..........................................................................................................1
Daftar Isi...................................................................................................................2
Bab 1 Pendahuluan ...................................................................................................3
Bab 2 Tinjauan Pustaka ............................................................................................4
2.1 Anatomi ..................................................................................................4
2
BAB 1
PENDAHULUAN
Hambatan pasase usus dapat disebabkan oleh obstruksi lumen usus atau oleh
gangguan peristaltis. Obstruksi usus disebut juga obstruksi mekanik.
Penyumbatan dapat terjadi dimana saja di sepanjang usus. Obstruksi usus yang
disebabkan oleh hernia, invaginasi, adhesi dan volvulus mungkin sekali disertai
strangulasi, sedangkan obstruksi oleh tumor atau askariasis adalah obstruksi
sederhana yang jarang menyebabkan strangulasi. Obstruksi pada intestinal juga
dapat menimbulkan berbagai macam komplikasi seperti peritonitis dan
terganggunya keseimbangan cairan dan elektrolit yang dapat menimbulkan gagal
ginjal akut. Kedua kondisi tersebut merupakan kondisi serius sehingga
memerlukan penanganan cepat dan tepat sehingga dapat menurunkan angka
morbiditas dan mortilitas akibat ileus obstruksi
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Intestinum tenue atau usus halus merupakan bagian dari
tractus digestivus yang paling panjang, membentang dari orificium
pyloricum hingga plica ileocecalis. Intestinum tenue berbentuk
seperti tabung dengan diameter yang semakin ke distal akan
semakin menyempit, panjangnya 6-7m. Intestinum tenue terdiri
atas duodenum, jejunum, dan ileum. Duodenum terletak
retroperitoneal kecuali pada pars superiornya dan merupakan
bagian pertama dari intestinum tenue. Duodenum atau disebut juga
usus 12 jari merupakan bagian intestinum tenue yang berbentuk
seperti huruf C yang menghubungkan gaster dengan jejunum.
Duodenum melengkung di sekitar caput pancreas.
Duodenum merupakan muara dari sistem apparatus biliaris
dari hepar maupun dari pankreas. Organ ini juga merupakan batas
akhir dari saluran cerna atas, dimana saluran cerna dipisahkan
menjadi saluran cerna atas dan bawah oleh adanya ligamentum
Treitz (M. suspensorium duodeni) yang terletak pada flexura
duodenojejunales yang merupakan batas antara duodenum dan
jejunum. Duodenum memiliki panjang 20-25cm dan terletak kira-
kira setinggi level umbilicus. Duodnum terletak pada regio
epigastrica dan regio umbilicalis. Duodenum terdiri dari beberapa
bagian yaitu duodenum pars superior, duodenum pars descendens,
duodenum pars horizontal, dan duodenum pars ascendens.
Jejunum dan ileum merupakan organ intraperitoneal dan
mempunyai panjang sekitar 6m. 2/5 proksimal merupakan jejunum
dan 3/5 distal merupakan ileum. Jejunum dimulai pada junctura
duodenojejunalis dan ileum berakhir pada junctura ileocaecalis.
Alat penggantung jejunum dan ileum adalah mesenterium.
4
Perlekatan mesenterum pada dinding dorsal abdomen, yang
membentang dari flexura duodenalis setinggi VL II sebelah kiri, ke
kanan caudal dari ventral pars ascendens duodeni atau menyilang
columna vertebralis, disebut radix mesenterii.
5
Intestinum crassum terbagi menjadi:
1. Caecum dan appendix vermivormis (organ intraperitoneal)
Caecum terletak di perbatasan ileum dan intestinum crassum.
Memiliki panjang sekitar 6cm dan seluruhnya tertutupi oleh
peritoneum. Caecum terletak di fossa iliaca dextra di atas M.
Illiopsoas tepat di belakang dinding abdomen. Caecum
berhungan dengan ileum melalui ostium ileale dan
berhubungan dengan colon ascendens melalui lubang yang
disebut ostium ileocaecale. Appendix vermivormis merupakan
tonjolan buntu dari bagian apex caecum yang kaya akan
jaringan limfoid. Bagian dasarnya melekat pada permukaan
posteromedial caecum di bawah junctura ileocaecalis. Panjang
appendix vermivormis bervariasi antara 8-13cm.
Keseluruhannya diliputi oleh pertioneum, yang melekat pada
lapisan bawah mesenterium intestinum tenue melalui
mesenteriumnya sendiri yang pendek dan dikenal sebagai
mesoappendix.
2. Colon
a. Colon ascendens (organ retroperitoneal)
Membentang ke atas dari caecum sampai ke permukaan
inferior lobus hepatis dexter, lalu membelok ke kiri
membentuk flexura coli dextra dan melanjutkan diri
menjadi colon transversum.
b. Colon transversum (organ intraperitoneal)
Bagian ini berjalan menyilangi abdomen mulai dari flexura
coli dextra sampai flexura coli sinistra. Flexura coli sinistra
lebih tinggi daripada flexura coli dextra dan digantung ke
diafragma oleh lgamentum phrenocolicum.
6
c. Colon descendens (organ retroperitoneal)
Colon descendens terletak pada kuadran kiri atas dan
bawah, berjalan ke bawah dari flexura coli sinistra sampai
ke pinggir pelvis.
d. Colon sigmoideum (organ intraperitoneal)
Merupakan bagian tersempit dari colon yang terletak di
fossa iliaca sinistra (dasar cavum pelvicum). Organ ini
terletak intraperitoneal dengan penggantungnya yang lebar
yang disebut mesocolon sigmoideum. Colon sigmoideum
melanjutkan diri ke rectum setinggi corpus VS III.
3. Rectum (organ retroperitoneal)
Rectum merupakan bagian terminal dari intestinum crassum
yang merupakan kelanjutan dari colon sigmoideum. Rectum
terletak di linea mediana sebelah anterior dari sacrum. Rectum
berjalan descendens dari flexura sigmoidea sampai orificium
anal. Penggantungnya disebut mesorectum. Rectum terbagi
menjadi dua bagian yaitu rectum proprium dan danalis analis.
Batas antara keduanya disebut ampulla recti.
7
2.2 Definisi
Obstruksi usus atau ileus merupakan suatu kondisi terjadinya
gangguan pasase isi usus yang menyebabkan isi usus tidak dapat
melewati lumen usus. Ileus merupakan suatu keadaan yang darurat
sehingga memerlukan penanganan segera. Berdasarkan proses
terjadinya, ileus dapat dibedakan menjadi obstruksi dan obstruksi
non mekanik. Obstruksi mekanik terjadi karena penyumbatan fisik
langsung yang bisa disebabkan karena adanya tumor atau hernia
sedangkan obstruksi non mekanik terjadi karena tidak adanya
gerakan peristaltik.
2.3 Epidemiologi
Ileus menempati sekitar 20% dari seluruh pembedahan
darurat. Mortalitas dan morbiditas kondisi ini sangat bergantung
pada pengenalan awal dan diagnosis yang tepat. Apabila tidak
diatasi maka obstruksi usus halus dapat menyebabkan kematian
pada 100% pasien. Data di Indonesia tahun 2004 tercatat sekitar
7.024 kasus ileus obstruktif yang dirawat inap. Obstruksi usus
sering ditemukan pada neonatus yakni sekitar 1 dari 1500 kelahiran
hidup. Data dari Amerika Serikat diperkirakan 3000 dalam setahun
bayi dilahirkan dengan disertai obstruksi usus.
Di Indonesia jumlahnya tidak jauh berbeda dibandingkan
dengan negara lain dan untuk seluruh dunia jumlahnya jauh
melebihi 50.000 dalam setahun. Data dari rumah sakit di Cirebon
tahun 2006 tercatat bahwa obstruksi usus merupakan peringkat ke
6 dari 10 penyebab kematian tertinggi pada anak usia 1 – 4 tahun
dengan proporsi 3,34%, yakni sebanyak 3 kasus dari 88 kasus.
Selain itu berdasarkan data dari Rumah Sakit Umum Daerah dr
Pringadi Medan pada tahun 2007 – 2010 didapatkan kasus ileus
obstruksi sebanyak 11,5% dari 111 kasus.
8
2.4 Etiologi
Obstruksi pada usus halus dapat disebabkan oleh :
a. Perlekatan usus atau adhesi, dimana pita fibrosis dari jaringan
ikat menjepit usus.
b. Jaringan parut karena ulkus, pembedahan terdahulu atau
penyakit Crohn.
c. Hernia inkarserata, usus terjepit di dalam pintu hernia
d. Neoplasma.
e. Intususepsi.
f. Volvulus.
g. Benda asing, kumpulan cacing askaris
h. Batu empedu yang masuk ke usus melalui fistula
kolesisenterik.
i. Penyakit radang usus, striktur, fibrokistik dan hematoma.
Sekitar 15% obstruksi usus terjadi di usus besar. Obstruksi
dapat terjadi di setiap bagian kolon tetapi paling sering di sigmoid.
Penyebabnya antara lain :
a. Karsinoma.
b. Volvulus.
c. Kelainan divertikular (Divertikulum Meckel), Penyakit
Hirschsprung
d. Inflamasi.
e. Tumor jinak.
f. Impaksi fekal.
9
ditemukan pada proses intraabdominal seperti pembedahan perut
dan saluran cerna atau iritasi dari peritoneal (peritonitis,
pankreatitis, perdarahan), sakit berat seperti pneumonia, gangguan
pernafasanyang memerlukan intubasi, sepsis atau infeksi berat,
uremia, dibetes ketoasidosis, dan ketidakseimbangan elektrolit
(hipokalemia, hiperkalsemia, hipomagnesemia,hipofosfatemia) dan
obat-obatan yang mempengaruhi motilitas usus (opioid,
antikolinergik, fenotiazine). Setelah pembedahan, usus halus
biasanya pertamakali yang kembali normal (beberapa jam), diikuti
lambung (24-48 jam) dan kolon(48-72 jam).
2.5 Patofisiologi
Pada ileus obstruksi, hambatan pasase muncul tanpa disertai
gangguan vaskuler dan neurologik. Makanan dan cairan yang
ditelan, sekresi usus, dan udara terkumpul dalam jumlah yang
banyak jika obstruksinya komplit. Bagian usus proksimal distensi,
dan bagian distal kolaps akibat adanya gas/udara dan air yang
berasal dari lambung, usus halus, pankreas, dan sekresi biliary.
Fungsi sekresi dan absorpsi membran mukosa usus menurun, dan
dinding usus menjadi oedema dan kongesti. Distensi intestinal
yang berat, dengan sendirinya secara terus menerus dan
progresif akan mengacaukan peristaltik dan fungsi sekresi
mukosa dan meningkatkan resiko dehidrasi, iskemia,
nekrosis, perforasi, peritonitis, dan kematian.
Cairan yang terperangkap di dalam usus halus ditarik oleh
sirkulasi darah dan sebagian ke interstisial, dan banyak yang
dimuntahkan keluar sehingga akan memperburuk keadaan pasien
akibat kehilangan cairan dan kekurangan elektrolit. Jika terjadi
hipovolemia mungkin akan berakibat fatal.
Mekanisme yang terlibat pada ileus paralitik dapat bersifat
neurogenik, miogenik atau humoral. Ketiga faktor tersebut dapat
menghambat secara berlebihan maupun kurangnya rangsangan
10
terhadap aktivitas otot pada usus. Sebagian besar kasus
berhubungan dengan substansi di pembuluh darah, sedangkan
mekanisme yang lain adalah mekanisme refleks dan kegagalan
fungsi otot.
Tiga sistem saraf yang berperan dalam mengatur motilitas
gastrointestinal yaitu sistem saraf simpatik dan parasimpatik yang
mengatur motilitas dan sistem saraf intrinsik. Saraf parasimpatik
meningkatkan motilitas dan saraf simpatik menghambatnya. Ileus
paralitik mungkin terjadi karena peningkatan aktivitas saraf
simpatik yang berkepanjangan. Hormon-hormon dapat bekerja
lokal atau melakukan fungsinya dari jauh melalui aliran darah.
Gangguan pada refleks-refleks neural yang menentukan motilitas
usus yang terkoordinir dan atau kejadian inflamasi otot-otot
intestinal dianggap merupakan pusat dari patogenesis ileus yang
dipicu tindakan manipulasi usus.
Obstruksi yang berlangsung lama mungkin akan
mempengaruhi pembuluh darah vena, dan segmen usus yang
terpengaruh akan menjadi edema, anoksia dan iskemia pada
jaringan yang terlokalisir, nekrosis, perforasi yang akan mengarah
ke peritonitis, dan kematian. Septikemia mungkin dapat terjadi
pada pasien sebagai akibat dari perkembangbiakan kuman anaerob
dan aerob di dalam lumen. Usus yang terletak di bawah obstruksi
mungkin akan mengalami kolaps dan kosong.
Secara umum, pada obstruksi letak tinggi (obstruksi usus
halus), semakin sedikit distensi dan semakin cepat munculnya
muntah. Sebaliknya, pada pasien dengan obstruksi letak rendah
(obstruksi usus besar), distensi setinggi pusat abdomen mungkin
dapat dijumpai, dan muntah pada umumnya muncul terakhir sebab
diperlukan banyak waktu untuk mengisi semua lumen usus. Kolik
abdomen mungkin merupakan tanda khas dari obstruksi distal.
Pada permulaan, bunyi usus pada umumnya keras, dan
11
frekuensinya meningkat, sebagai usaha untuk mengalahkan
obstruksi yang terjadi. Jika abdomen menjadi diam, mungkin
menandakan suatu perforasi atau peritonitis dan ini merupakan
tanda akhir suatu obstruksi.
Obstruksi
Usus
Tekanan intralumen
meningkat
Volume ECF
menurun
Iskemia dinding usus
Peritonitis
septikemia
12
2.6 Klasifikasi
Klasifikasi obstruksi usus berdasarkan:
1. Kecepatan timbul (speed of onset)
a. Akut
b. Kronik
c. Kronik dengan serangan akut
2. Letak sumbatan
a. Obstruksi letak tinggi, bila mengenai usus halus (dari gaster
sampai ileum terminal)
b. Obstruksi letak rendah, bila mengenai usus besar (dari
ileum terminal sampai anus)
3. Sifat sumbatan
a. Simple obstruction : sumbatan tanpa disertai gangguan
aliran darah
b. Strangulated obstruction : sumbatan disertai gangguan
aliran darah sehingga timbul nekrosis, gangren dan
perforasi
2.7 Manifestasi Klinis
a. Ileus Obstruktif
Gejala utama dari ileus obstruktif antara lain nyeri kolik
abdomen, mual, muntah, perut distensi dan tidak bisa buang air
besar. Mual muntah umumnya terjadi pada obstruksi letak
tinggi. Bila lokasi obstruksi di bagian distal maka gejala yang
dominan adalah nyeri abdomen. Distensi abdomen terjadi bila
obstruksi terus berlanjut dan bagian proksimal usus menjadi
sangat dilatasi.
Obstruksi pada usus halus menimbulkan gejala seperti
nyeri perut sekitar umbilikus atau bagian epigastrium. Pada
pasien dengan suatu obstruksi sederhana yang tidak melibatkan
pembuluh darah, sakit cenderung menjadi kolik yang pada
13
awalnya ringan, tetapi semakin lama semakin meningkat, baik
dalam frekuensi atau derajat kesakitannya. Sakit mungkin akan
berlanjut atau hilang timbul. Pasien sering berposisi knee-chest,
atau berguling-guling. Pasien dengan peritonitis cenderung
kesakitan apabila bergerak.
Pasien dengan obstruksi parsial bisa mengalami diare.
Kadang dilatasi dari usus dapat diraba. Obstruksi pada kolon
biasanya mempunyai gejala klinis yang lebih ringan dibanding
obstruksi pada usus halus. Umumnya gejala berupa konstipasi
yang berakhir pada obstipasi dan distensi abdomen. Muntah
adalah suatu tanda awal pada obstruksi letak tinggi atau
proksimal. Pada awalnya muntah berisi semua yang berasal
dari lambung, yang mana segera diikuti oleh cairan empedu,
dan akhirnya muntah akan berisi semua isi usus halus yang
sudah basi.
Jika obstruksi terletak di bagian tengah atau letak tinggi
dari usus halus (jejunum dan ileum bagian proksimal) maka
nyeri bersifat konstan/menetap. Pada pemeriksaan abdomen
didapatkan abdomen tampak distensi, terdapat darm contour
(gambaran usus), dan darm steifung (gambaran gerakan usus),
pada auskultasi terdapat hiperperistaltik berlanjut dengan
Borborygmus (bunyi usus mengaum) menjadi bunyi metalik
(klinken) / metallic sound. Pada tahap lanjut dimana obstruksi
terus berlanjut, peristaltik akan melemah dan hilang. Pada
palpasi tidak terdapat nyeri tekan, defans muscular (-), kecuali
jika ada peritonitis.
Pada tahap awal, tanda vital normal. Seiring dengan
kehilangan cairan dan elektrolit, maka akan terjadi dehidrasi
dengan manifestasi klinis takikardi dan hipotensi postural.
Suhu tubuh biasanya normal tetapi kadang dapat meningkat.
Hipovolemia dan kekurangan elektrolit dapat terjadi dengan
14
cepat kecuali jika pasien mendapat cairan pengganti melalui
intravena. Derajat tingkat dan distribusi distensi abdominal
dapat mencerminkan tingkatan obstruksi. Pada obstruksi letak
tinggi, distensi mungkin minimal. Sebaliknya, distensi pusat
abdominal cenderung merupakan tanda untuk obstruksi letak
rendah.
b. Ileus Paralitik
Ileus paralitik (adinamik) ditandai oleh tidak adanya
gerakan usus yang disebabkan oleh penghambatan
neuromuskular dengan aktivitas simpatik yang berlebihan.
Sering terjadi setelah semua prosedur abdomen, gerakan usus
akan kembali normal pada usus kecil 24 jam, lambung 48 jam,
kolon 3-5hari. Pasien ileus paralitik akan mengeluh
perutnya kembung (abdominal distention), anoreksia, mual
dan obstipasi. Muntah bisa ada atau tidak ada. Keluhan perut
kembung pada ileus paralitik ini perlu dibedakan dengan
keluhan perut kembung pada ileus obstruksi. Pasien ileus
paralitik mempunyai keluhan perut kembung, tidak disertai
nyeri kolik abdomen yang paroksismal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya distensi
abdomen, perkusi timpani dengan bising usus yang lemah dan
jarang bahkan dapat tidak terdengar sama sekali. Pada palpasi,
pasien hanya menyatakan perasaan tidak enak pada perutnya.
Tidak ditemukan adanya reaksi peritoneal (nyeri tekan dan
nyeri lepas negatif). Apabila penyakit primernya
peritonitis, manifestasi klinis yang ditemukan adalah
gambaran peritonitis.
15
2.8 Diagnosis
2.8.1 Ileus Obstruktif
a. Anamnesis
1. Nyeri kolik
Obstruksi usus halus: nyeri dirasakan disekitar
umbilikus
Obstruksi kolon: nyeri dirasakan disekitar
suprapubik.
2. Muntah
Stenosis Pilorus: Encer dan asam
Obstruksi usus halus: Berwarna kehijauan
Obstruksi kolon: onset muntah lama.
3. Perut Kembung (distensi)
4. Konstipasi: tidak ada defekasi dan tidak ada flatus
b. Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi
Perut distensi, dapat ditemukan kontur dan steifung.
Benjolan pada regio inguinal, femoral dan skrotum
menunjukkan suatu hernia inkarserata. Pada
intussusepsi dapat terlihat massa abdomen
berbentuk sosis. Adanya adhesi dapat dicurigai bila
ada bekas luka operasi sebelumnya.
2. Auskultasi
Hiperperistaltik, bising usus bernada tinggi,
borborhygmi. Pada fase lanjut bising usus dan
peristaltik melemah sampai hilang.
3. Perkusi
Hipertimpani
4. Palpasi
Kadang teraba massa seperti pada tumor, invaginasi,
hernia.
16
5. Rectal Toucher
Isi rektum menyemprot : Hirschprung disease-
Adanya darah dapat menyokong adanya
strangulasi, neoplasma
Feses yang mengeras : skibala
Feses negatif : obstruksi usus letak tinggi
Ampula rekti kolaps : curiga obstruksi
Nyeri tekan : lokal atau general peritonitis
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Tes laboratorium membantu memberikan
penilaian pada berat ringannya kondisi dan
membantu dalam resusitasi. Pada tahap awal,
ditemukan hasil laboratorium yang normal.
Selanjutnya ditemukan adanya hemokonsentrasi,
leukositosis dan nilai elektrolit yang abnormal.
Hematokrit yang meningkat dapat timbul pada
dehidrasi. Analisa gas darah mungkin
terganggu, dengan alkalosis metabolik bila muntah
berat, dan metabolik asidosis bila ada tanda-tanda
syok, dehidrasi dan ketosis.
2. Pemeriksaan Radiologi
Posisi supine tampak herring bone appearance.
Posisi setengah duduk atau LLD tampak step ladder
appearance atau cascade. Adanya dilatasi dari usus
disertai gambaran “step ladder” dan “air fluid level”
pada foto polos abdomen dapat disimpulkan bahwa
adanya suatu obstruksi.
17
a. Foto polos abdomen 3 posisi
1. Ileus obstruktif letak tinggi
1) Usus halus terlihat berdilatasi di sentral
(herring bone appearance).
18
5) Gambaran string of beads/pearls.
19
4) Bila terdapat kecurigaan perforasi
lakukan foto toraks tegak atau foto
lateral dekubitus.
b. CT–Scan harus dilakukan dengan memasukkan
zat kontras kedalam pembuluh darah. Pada
pemeriksaan ini dapat diketahui derajat dan
lokasi dari obstruksi.
c. USG. Pemeriksaan ini akan mempertunjukkan
gambaran dan penyebab dari obstruksi.
20
perasaan tidak enak pada perut dan tidak dapat
menunjuk dengan jelas lokasi nyeri.
3. Perkusi
Hipertimpani
4. Auskultasi
Bising usus lemah atau tidak ada sama sekali (silent
abdomen) dan borborigmi.
c. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan radiologi dapat dilihat:
1. Gambaran udara tampak pada seluruh usus baik
usus halus maupun kolon.
2. Lambung seringkali ikut distensi.
3. Air fluid level lebih sedikit dibandingkan ileus
obstruksi. Bila ada, biasanya berbentuk memanjang.
21
Kadang-kadang suatu penyumbatan sembuh dengan
sendirinya tanpa pengobatan, terutama jika disebabkan oleh
perlengketan. Penderita penyumbatan usus harus di rawat di
rumah sakit.
Dasar pengobatan ileus obstruksi adalah koreksi
keseimbangan elektrolit dan cairan, menghilangkan
peregangan dan muntah dengan dekompresi, mengatasi
peritonitis dan syok bila ada, dan menghilangkan obstruksi
untuk memperbaiki kelangsungan dan fungsi usus kembali
normal. Pada resusitasi yang perlu diperhatikan adalah
mengawasi tanda-tanda vital, dehidrasi dan syok. Pasien
yang mengalami ileus obstruksi mengalami dehidrasi dan
gangguan keseimbangan ektrolit sehingga perlu diberikan
cairan intravena seperti ringer laktat. Respon terhadap
terapi dapat dilihat dengan memonitor tanda-tanda vital dan
jumlah urin yang keluar. Selain pemberian cairan intravena,
diperlukan juga pemasangan nasogastric tube (NGT). NGT
digunakan untuk mengosongkan lambung, mencegah
aspirasi pulmonum bila muntah dan mengurangi distensi
abdomen.Pemberian obat-obat antibiotik spektrum luas
dapat diberikan sebagai profilaksis. Antiemetik dapat
diberikan untuk mengurangi gejala mual muntah.
Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi
nasogastrik untuk mencegah sepsis sekunder. Operasi
diawali dengan laparotomi kemudian disusul dengan teknik
bedah yang disesuaikan dengan hasil eksplorasi selama
laparotomi.
a. Persiapan Operasi
Pipa lambung harus dipasang untuk mengurangi
muntah, mencegah aspirasi dan mengurangi distensi
abdomen (dekompresi). Pasien dipuasakan, kemudian
22
dilakukan juga resusitasi cairan dan elektrolit untuk
perbaikan keadaan umum. Setelah keadaan optimum
tercapai barulah dilakukan laparatomi.
b. Operasi
Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi
nasogastrik untuk mencegah sepsis sekunder. Operasi
diawali dengan laparotomi kemudian disusul dengan teknik
bedah yang disesuaikan dengan hasil eksplorasi selama
laparotomi. Operasi dapat dilakukan bila sudah tercapai
rehidrasi dan organ-organ vital berfungsi secara
memuaskan. Tetapi yang paling sering dilakukan adalah
pembedahan sesegera mungkin. Tindakan bedah dilakukan
bila terjadi:
1. Strangulasi
2. Obstruksi lengkap
3. Hernia inkarserata
4. Tidak ada perbaikan dengan pengobatan konservatif
(dengan pemasangan NGT, infus, oksigen dan kateter)
c. Pasca Operasi
Pengobatan pasca bedah sangat penting terutama
dalam hal cairan dan elektrolit. Harus dicegah terjadinya
gagal ginjal dan harus memberikan kalori yang cukup.
Perlu diingat bahwa pasca bedah, usus pasien masih dalam
keadaan paralitik. Tujuan pengobatan yang paling utama
adalah dekompresi kolon yang mengalami obstruksi
sehingga kolon tidak perforasi, tujuan kedua adalah
pemotongan bagian yang mengalami obstruksi.
Persiapan sebelum operasi sama seperti persiapan
pada obstruksi usus halus, operasi terdiri atas proses
sesostomi dekompresi atau hanya kolostomi transversal
23
pada pasien yang sudah lanjut usia. Perawatan sesudah
operasi ditujukan untuk mempersiapkan pasien untuk
menjalani reseksi elektif kalau lesi obstruksi pada awalnya
memang tidak dibuang.
b. Ileus Paralitik
Penanganan ileus paralitik bersifat konservatif dan
suportif. Tindakannya berupa dekompresi, menjaga
keseimbangan cairan dan elektrolit, mengobati kausadan
penyakit primer dan pemberiaan nutrisi yang adekuat.
Untuk dekompresi dilakukan pemasangan pipa nasogastrik
(bila perlu dipasang juga rectal tube). Pemberian cairan,
koreksi gangguan elektrolitdan nutrisi parenteral hendaknya
diberikan sesuai dengan kebutuhan dan prinsip-prinsip
pemberian nutrisi parenteral. Beberapa obat yang
dapat dicoba yaitu metoklopramid bermanfaat untuk
gastroparesis, sisaprid bermanfaat untuk ileusparalitik
pascaoperasi, dan klonidin dilaporkan bermanfaat untuk
mengatasi ileusparalitik karena obat-obatan.
1. Konservatif
Penderita dirawat di rumah sakit.
Penderita dipuasakan
Kontrol status airway, breathing and circulation.
Dekompresi dengan nasogastric tube.
Intravenous fluids dan elektrolit
Dipasang kateter urin untuk menghitung balance
cairan.
2. Farmakologis
Antibiotik broad spectrum untuk bakteri anaerob
dan aerob.
Analgesik apabila nyeri.
Prokinetik: Metaklopromide, cisapride
24
2.10 Komplikasi
Nekrosis usus
Perforasi usus
Sepsis
Syok hipovolemik
Abses
Sindrom usus pendek dengan malabsorpsi dan malnutrisi
Pneumonia aspirasi dari proses muntah
Gangguan elektrolit
2.11 Prognosis
Mortalitas obstruksi usus dipengaruhi banyak faktor
seperti umur, etiologi, tempat dan lamanya obstruksi. Jika umur
penderita sangat muda ataupun tua maka toleransinya terhadap
penyakit maupun tindakan operatif yang dilakukan sangat
rendah sehingga meningkatkan mortalitas. Pada obstruksi
kolon mortalitasnya lebih tinggi dibandingkan obstruksi usus
halus. Keterlambatan dalam melakukan pembedahan atau jika
terjadi strangulasi atau komplikasi lainnya akan meningkatkan
mortalitassampai sekitar 35% atau 40%. Prognosisnya baik bila
diagnosis dan tindakan dilakukan dengan cepat.
Obstruksi usus halus yang tidak mengakibatkan
strangulasi mempunyai angka kematian 5 %. Kebanyakan
pasien yang meninggal adalah pasien yang sudah lanjut usia.
Obstruksi usus halus yang mengalami strangulasi mempunyai
angka kematian sekitar 8 % jika operasi dilakukan dalam
jangka waktu 36 jam sesudah timbulnya gejala-gejala, dan 25
% jika operasi diundurkan lebih dari 36 jam. Pada obstruksi
usus besar, biasanya angka kematian berkisar antara 15–30 %.
25
BAB 3
KESIMPULAN
1. Ileus adalah gangguan pasase isi usus yang merupakan tanda adanya obstruksi
usus akut yang segera memerlukan pertolongan atau tindakan.
2. Etiologi ileus diantaranya adhesi, hernia inkaserata, neoplasma, volvulus,
cacing askaris, radang usus, peritonitis, pankreatitis, perdarahan, sakit berat
seperti pneumonia, dibetes ketoasidosis, dan ketidakseimbangan elektrolit.
3. Gejala yang sering ditemukan pada ileus adalah nyeri kolik, mual, muntah,
perut distensi, obstipasi.
4. Pada pemeriksaan fisik ditemukan hipotensi, takikardi, adanya distensi
abdomen, hiperperistaltik, borborigmus, methallic sound.
5. Pada pemeriksaan foto polos abdomen ditemukan adanya dilatasi pada
proksimal sumbatan, herring bone appearance, dan air fluid level.
6. Penanganan pada ileus adalah koreksi keseimbangan cairan dan
menghilangkan obstruksi dengan laparotomi.
7. Komplikasinya adalah nekrosis usus, perforasi usus, sepsis, abses, sindrom
usus pendek dengan malabsorpsi dan malnutrisi, pneumonia aspirasi dari
proses muntah, gangguan elektrolit, dan syok hipovolemik.
8. Prognosis ileus jika lebih dari 36 jam tidak segera ditangani 25 %
menyebabkan kematian.
26
DAFTAR PUSTAKA
Drake R, Vogl A, Mitchell. 2015. Gray’s Atlas of Human Anatomy
2nd edition. United Kingdom: Elsevier.
Jumhana A, Syam AF. 2009. Ileus Paralitik, dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, Jilid I Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.
J. Corwin, Elizabeth. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC
Hopkins C. Small-Bowel Obstruction. Last Updated: December 29,
2017. Diakses dari:
https://emedicine.medscape.com/article/774045-clinical#b3
Manaf M, Niko dan Kartadinata, H. Obstruksi Ileus. 1983. Diakses
pada 9 Februari 2019.
Wibisono E, Jeo WS. 2014. Ileus Mekanik. Dalam: Kapita Selekta
Kedokteran Edisi Ke-4 Jilid 1. Jakarta: Penerbit Media
Aesculapius.
Netter F. 2014. Atlas of Human Anatomy 6th edition. United
States: Elsevier.
Sherwood L. 2014. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 8.
Jakarta: EGC.
Sjamsuhidajat R, De Jong W. 2003. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi
2. Jakarta : EGC
Soetikno RD. 2011. Radiologi Emergensi. Bandung: PT. Refika
Aditama.
27