Nama Jurnal dan edisi : Indian J Ophthalmol (R Jafari et al). 2015
Sep;63(9):710-5. doi: 10.4103/0301-4738.170986.
Judul Artikel : Ocular abnormalities in multi‑transfused
beta‑thalassemia patients.
Latar Belakang : Thalassemia beta adalah salah satu
hemoglobinopati yang paling sering terjadi. Terapi transfusi darah secara berkala merupakan tatalaksana utama untuk thalassemia beta. Meskipun tindakan transfusi dapat mentatalaksana kondisi anemia, tetapi tindakan tersebut dapat mengarah ke deposisi simpanan besi yang masif dan pada akhirnya dapat mengakibatkan disfungsi multi-organ. Terapi kelasi besi sering digunakan untuk mengurangi kelebihan zat besi pada penderita Efektivitas deferoxamine sebagai terapi kelasi besi telah dibuktikan pada studi sebelumnya. Namun, pengobatan dengan deferoxamine cukup rumit, mahal, dan tidak nyaman di penderita serta menimbulkan beberapa efek toksik jangka panjang. Deferiprone dan deferasirox adalah dua obat kelasi besi baru yang telah diperkenalkan untuk penggunaan klinis sebagai efektif secara oral gantikan deferoxamine. Perubahan mata mungkin terjadi sebagai akibat dari penyakit thalassemia itu sendiri atau maupun sebagai efek samping dari pemberian kelasi besi dan termasuk gangguan permukaan okular, katarak, garis angioid, vena retina tortuosity, toksisitas retina, degenerasi dan bercak pada epitel pigmen retina (RPE), neuropati optik, dan menurunnya ketajaman visual.
Tujuan : Penelitian ini dilakukan untuk menilai prevalensi
kelainan okluar pada pasien thalasemia beta multi- transfusi dan untuk menentukan hubungan kelainan tersebut dengan kadar feritin serum, konsentrasi hemoglobin, dan jenis, dosis, dan lamanya terapi kelasi besi.
Metodologi : Sebuah studi cross-sectional. Subjek penelitian
sebanyak 54 orang penderita thalassemia mayor dipilih sebagai kelompok kasus, dan 54 subyek sehat yang sesuai usia dan jenis kelamin dianggap sebagai kelompok kontrol. Pemeriksaan mata termasuk ketajaman visual, pengujian refraksi, pemeriksaan slit-lamp, funduscopy, tonometry, perimetry, uji waktu break-up, dan pengujian penglihatan warna dilakukan untuk semua para subjek penelitian. Peneliti menghitung frekuensi dan durasi transfusi darah, rata-rata tingkat kadar serum feritin, konsentrasi hemoglobin pre- transfusi, dan jenis, durasi, serta dosis terapi kelasi besi harian pasien thalassemia.
Hasil : Semua subjek dengan thalassemia tidak
menunjukkan keluhan gejala (asimptomatik), tetapi kelainan okular ditemukan seperti mata kering (33,3%), katarak (10,2%), degenerasi epitel pigmen retina (16,7%), defisiensi penglihatan warna (3,7%), dan defek lapang pandang (33,7%) terlihat pada 68,5% kelompok thalassemia. Prevalensi kelainan okular pada kelompok normal adalah 19,4%, yang secara signifikan lebih rendah dari pada penderita thalassemia (P = 0,000). Tidak ada korelasi signifikan yang ditemukan antara kelainan okular dan rerata serum tingkat feritin (P = 0,627) dan konsentrasi hemoglobin rata-rata (P = 0,143). Korelasi jumlah transfusi darah dengan adanya kelainan okular ditemukan signifikan secara statistik (P = 0,005).
Kesimpulan : Meskipun pasien thalassemia pada penelitian ini
tidak menunjukkan gejala (asimptomatik), sebagian dari subjek penelitian ditemukan kelainan okular. Peneliti tidak menemukan korelasi yang signifikan antara prevalensi kelainan okular dengan kadar feritin serum, hemoglobin konsentrasi, dan jenis dan dosis terapi kelasi besi. Hubungan antara kelainan okular dan jenis kelasi besi belum dapat ditetapkan dalam penelitian ini. Oleh karena itu, investigasi prospektif lebih lanjut dengan sampel thalassemia yang lebih besar sangat diperlukan.
Rangkuman dan Hasil : Thalassemia adalah suatu keadaan
Pembelajaran hemoglobinopati yang memerlukan terapi transfusi darah secara berkala, meskipun mengatasi kondisi anemianya, transfuse darah menyebabkan efek samping berupa penumpukan kadar besi yang berlebihan pada multi-organ sehingga terapi kelasi besi perlu diberikan kepada penderita thalassemia. Penelitian menunjukan bahwa kelainan okular yang timbul sebagian besar asimptomatik, tetapi meskipun asimptomatik, prevalensi kelainan mata yang ditemukan cukup besar yaitu sebanyak 68,5% pada penderita thalassemia dengan mata kering (33,3%), katarak (10,2%), degenerasi epitel pigmen retina (16,7%), defisiensi penglihatan warna (3,7%), dan defek lapang pandang (33,7%). Meningkatnya harapan hidup untuk pasien beta- thalassemia, pemeriksaan oftalmologis teratur untuk mendeteksi perubahan awal dalam sistem mata sangat dianjurkan.