Anda di halaman 1dari 22

13

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian

Koagulasi Intravascular Diseminata atau DIC, yang juga dikenal dengan nama
koagulopati konsumsi, merupakan gangguan koagulasi sekunder yang terjadi
akibat komplikasi dari sejumlah proses patologik, seperti hipoksia, asidosis, syok,
dan kerusakan endotel. DIC dapat juga terjadi karena kelainan sistemik yang
berat, seperti penyakit jantung kongeniatal, enterokolitis, nekrotikans, sepsis
akibat bakteri gram-negatif, infeksi ricketsia, dan beberapa infeksi virus yang
berat. Gangguan ini ditandai oleh aktivasi dan akselerasi mekanisme pembekuan
normal secara sistemik yang tidak tepat (Wong, Donna L 2008 hal : 1135).

Klasifikasi dari koagulasi intravaskuler diseminata (DIC) dibagi menjadi dua,


yaitu akut dan kronis :

1. DIC akut

DIC akut berkembang ketika sejumlah besar prokoagulan (faktor jaringan)


memasuki sirkulasi pada jangka waktu yang singkat (beberapa jam hingga
beberapa hari), sangat besar kemampuan tubuh untuk mengisi faktor koagulasi
dan predisposisi pasien terhadap perdarahan. DIC akut terjadi pada endotoksemia,
trauma jaringan luas, wanita hamil dengan komplikasi pre-eklampsi, atau
terlepasnya jaringan plasenta. DIC akut juga terjadi pada penderita dengan
hipotensi atau syok oleh berbagai sebab (misalnya pada tindakan operasi, stroke
luas, atau serangan jantung.
23

2. DIC kronik

Pada DIC kronik, jumlah dari faktor jaringan yang terlibat lebih kecil, sehingga
stimulasi lebih kurang kuat dari sistem koagulasi dan memungkinkan tubuh
untuk mengkompensasi penggunaan protein koagulasi dan trombosit. DIC kronik
biasanya berkembang secara perlahan dalam waktu berminggu-minggu hingga
berbulan-bulan dengan manifestasi klinik lebih bersifat trombotik. DIC kronik
sering terjadi pada penyakit kanker (sindroma trousseau), aneurisme aorta, dan
penyakit inflamasi kronis. Pada penderita dengan penyakit kanker, faktor resiko
yang penting adalah usia lanjut, laki-laki, kanker lanjut dan nekrosis pada tumor.
Kebanyakan DIC kronik terjadi pada penederita kanker jenis adenokarsinoma
paru, payudara, prostat atau kolorektal.

Trombositopenia imun atau ITP merupakan kelainan perdarahan yang


disebabkan oleh penurunan jumlah trombosit yaitu dimana trombosit dalam
keadaan < 100.000/uL.

ITP adalah suatu keadaan perdarahan berupa petekie atau ekimosis di


kulit/selaput lender dan berbagai jaringan dengan penurunan jumlah kadar
trombosit karena penyebab yang belum diketahui dan lebir dominan terjadi pada
wanita.

Klasifikasi dari trombositopenia imun atau ITP dibagi menjadi dua, yaitu akut
dan kronis :

ITP akut

1. Awalnya dijumpai trombositopenia pada anak.


2. Jumlah trombosit kembali normal dalam 6 bulan setelah diagnosis (remisi
spontan).
3. Tidak dijumpai kekambuhan berikutnya.
33

ITP kronik

1. Trombositopenia berlangsung lebih dari 6 bulan setelah diagnosis.


2. Awitan tersembunyi dan berbahaya sehingga dapat menimbulkan komplikasi.

B. Etiologi

Perdarahan terjadi karena :

1. Hipofibrinogenemia
2. Trombositopenia
3. Beredarnya antikoagulan dalam sirkulasi darah (hasil perombakan
fibrinogen)
4. Fibrinolisis berlebihan.

Berikut merupakan kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya KID (Guidelines


DIC, 2009 ; Kusuma dan Schultz, 2009) :

1. Sepsis
2. Trauma : Cedera jaringan berat, cedera kepala, emboli lemak.
3. Kanker : Myeloproliferative disorder, tumor padat.
4. Komplikasi Obstetrik : Emboli cairan amnion, abruption placenta, pre-
eklampsia/eklampsia, abortus.
5. Kelainan pembuluh darah : Aneurisma aorta.
6. Reaksi terhadap toksin.
7. Gagal hepar berat.
8. Kelainan Imunologik : Reaksi alergi berat, reaksi hemolitik terhadap
transfuse.

Penyebab dari ITP yang pasti belum diketahui secara pasti, tetapi kemungkinan
ditimbulkan akibat dari :
43

1. Hipersplenisme.
2. Infeksi virus.
3. Intoksikasi makanan/obat (asetosal para amino salisilat (PAS), Fenil butazon,
diamokina, sedormid).
4. Bahan kimia.
5. Pengaruh fisik (radiasi, panas).
6. Kekurangan faktor pematangan (malnutrisi).
7. Koagulasi intravascular diseminata (KID).
8. Autoimun.

C. Patofisiologi
1. Proses perjalanan penyakit

Pada pasien dengan KID, terjadi pembentukan fibrin oleh trombin yang
diaktivasi oleh faktor jaringan.Faktor jaringan, berupa sel mononuklear dan
sel endotel yang teraktivasi, mengaktivasi faktor VII. Kompleks antara faktor
jaringan dan faktor VII yang teraktivasi tersebut akan mengaktivasi faktor X
baik secara langsung maupun tidak langsung dengan cara mengaktivasi faktor
IX dan VIII. Faktor X yang teraktivasi bersama dengan faktor V akan
mengubah protrombin menjadi trombin. Di saat yang bersamaan terjadi
konsumsi faktor antikoagulan seperti antitrombin III, protein C dan jalur
penghambat faktor jaringan, mengakibatkan kurangnya faktor-faktor tersebut
(Kusuma dan Schultz, 2009).

Patogenesis terjadinya KID meliputi peningkatan pembentukan trombin,


penurunan mekanisme fisiologis antikoagulan, dan terhambatnya proses
fibrinolisis. Antikoagulan fisiologis meliputi antitrombin III, protein C dan
TFPI (tissue factor pathway inhibitor). Pada KID kadar antitrombin III, yang
merupakan inhibitor trombin utama menurun sebagai respon terhadap proses
koagulasi yang sedang berlangsung, degradasi oleh elastase yang dikeluarkan
53

oleh neutrofil aktif, dan gangguan sintesis antitrombin III. ( Folley dan Strong,
1997).

Pembentukan fibrin yang terjadi tidak diimbangi dengan penghancuran fibrin


yang adekuat, karena sistem fibrinolisis endogen (plasmin) tertekan oleh
penghambat-aktivasi plasminogen tipe 1 yang kadarnya tinggi di dalam
plasma menghambat pembentukan plasmin dari plasminogen.Kombinasi
antara meningkatnya pembentukan fibrin dan tidak adekuatnya penghancuran
fibrin menyebabkan terjadinya trombosis intravaskular yang menyeluruh
(Kusuma dan Schultz, 2009).

Penyakit trombositopenia imun atau ITP merupakan penyakit auto imun yang
disebabkan adanya destruksi trombosit normal akibat adanya antibodi dan
gangguan produksi megakariosit. Penyakit ITP merupakan kelainan akibat
disregulasi imun dengan hasil akhir dengan adanya kehilangan toleransi
sistem imun terhadap antigen diri yang berada di permukaan trombosit dan
megakariosit. Sel T teraktivasi akibat pengenalan antigen spesifik trombosit
pada APC (antigen presenting cell) yang kemudian menginduksi ekspansi
antigen-spesifik pada sel B. Kemudian sel B menghasilkan autoantibodi yang
spesifik terhadap glikoprotein yang di ekspresikan pada trombosit dan
megakariosit. Trombosit yang bersirkulasi diikat oleh autoantibodi trombosit
kemudian terjadi pelekatan pada reseptor makrofag limpa yang
mengakibatkan penghancuran trombosit. Selain itu, terbentuk juga
autoantibodi anti megakariosit yang mengurangi kemampuan megakariosit
untuk menghasilkan trombosit. Terjadi produksi autoantibodi A yang
meningkatkan penghancuran trombosit oleh makrofag limpa B dan
menurunnya produksi trombosit akibat anti-megakariosit C.
63

2. Manifestasi Klinik

Manifestasi klinis DIC bervariasi. Gejala-gejala DIC umumnya sangat terkait


dengan penyakit yang mendasarinya, ditambah gejala tambahan akibat
trombosis, emboli, disfungsi organ, dan perdarahan Kebanyakan pasien
mengalami perdarahan yang luas pada kulit dan membran mukosa.
Manifestasi perdarahan yang tejadi dapat berupa peteki, purpura, ekimosis,
atau hematoma. Perdarahan yang terjadi akibat bekas suntikan atau tempat
infusa tau pada mukosa sering ditemukan pada DIC akut. Perdarahan ini juga
bisa masif dan membahayakan, misalnya pada traktus gastrointestinal, paru,
susunan saraf pusat atau mata. Sedangkan pasien dengan DIC kronik
umumnya hanya disertai sedikit perdarahan pada kulit dan mukosa. Gejala-
gejala umum seperti demam, hipotensi, asidosis, hipoksia, proteinuria dapat
menyertai.

Tanda dan gejala pada ITP biasanya menunjukan gambaran sebagai berikut :

a. Keletihan, demam dan nyeri abdomen.


b. Secara spontan timbul petekie dan ekimosis pada kulit.
c. Epitaksis.
d. Perdarahan mukosa mulut
e. Menoragia
f. Memar
g. Anemia terjadi jika banyak darah yang hilang karena perdarahan.
3. Komplikasi
a. Sirkulasi : Dapat terjadi syok hemoragik.
b. Susunan saraf pusat : Penurunan kesadaran dari ringan sampai koma,
perdarahan intrakranial.
c. Sistem kardiovaskular : Hipotensi, takikardia, kolapsnya pembuluh darah
perifer.
73

d. Sistem respirasi : Pada keadaan DIC yang berat dapat mengakibatkan


gagal napas yang dapat menyebabkan kematian.

Komplikasi yang timbul akibat dari ITP diantaranya sebagai berikut :

a. Melena
b. Perdarahan massive
c. Syok hemoragik
d. Perdarahan intrakranial

D. Penatalaksanaan Medis
Pengelolaan DIC bergantung pada penyakit yang mencetuskan terjadinya DIC
dan juga derajat dari DIC. Maka pengobatan kasus demi kasus berbeda satu
dengan lainnya. Kadang pemberian heparin pada kasus yang satu sangat
diperlukan, sebaliknya pada kasus yang lain sama sekali tidak. Jadi setiap
individu harus dilihat keuntungan dan kerugian dari pengobatan.

1. Antikoagulan

Terapi antikoagulan telah direkomendasikan sebagai untuk mengatasi


koagulasi yang berlebihan pada DIC. Heparin biasanya diberikan pada dosis
yang relatif rendah (510 unit / kg berat badan / jam) dengan infus intravena
kontinu atau injeksi subkutan untuk terapi rawat jalan jangka panjang. Dosis
rendah heparin subkutan tampaknya seefektif atau mungkin lebih efektif
daripada dosis yang lebih besar dari heparin intravena di DIC.

2. Antifibrinolitik

Penggunaan obat antifibrinolisis seperti asam traneksamat dapat mencegah


degradasi fibrin oleh plasmin sehingga dapat mengurangi pendarahan pada
pasien DIC dan yang mengalami hiperfibrinolisis.
83

3. Transfusi Komponen Darah

Pemberian komponen darah perlu dilakukan pada pasien yang kekurangan


komponen darah akibat konsumsi yang berkelanjutan. Secara khusus, terapi
penggantian hanya digunakan pada pasien yang memiliki gejala klinis
perdarahan dan tidak digunakan untuk mengobati pasien dengan kelainan
laboratorium tanpa adanya klinis perdarahan. Fresh frozen plasma (FFP)
merupakan pilihan utama karena memiliki faktorfaktor koagulasi yang lebih
lengkap. Terapi substitusi komponen darah direkomendasikan pada pasien
DIC akut maupun kronis dengan perdarahan aktif. Pasien tanpa adanya
perdarahan tidak anjurkan untuk dilakukan substitusi.

4. Natural Protease Inhibitor

Pada pasien DIC terdapat defisiensi inhibitor koagulasi. Pemberian protease


inhibitor dapat memulihkan jalur antikoagulan fisiologis sehingga jumlah
trombin yang berlebihan dapat dicegah. Natural protease inhibitor yang dapat
diberikan pada pasien DIC berupa anti thrombin dan protein C.

Berikut merupakan tindakan medis yang biasa diberikan pada pasien yang
mengalami ITP, antara lain :

1. Kortikosteroid

Pilihan awal adalah dengan pemberian kortikosteroid yang sering digunakan


adalah prednisone, dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1 – 3 bulan. Bila diperlukan
Injeksi Methylprednisolon 1 g/hari selama 3 hari ( RS dr.Soetomo, 2008 ).

2. Splenektomi

Splenektomi bertujuan untuk mencegah destruksi trombosit yang telah diliputi


antibodi dan menurunkan sintesis antibodi platelet ( RS. dr.Soetomo, 2008 ).
93

3. Kombinasi kemoterapi immunoglobulin


4. Terapi suportif ITP
a. Membatasi aktivitas yang berisiko trauma.
b. Hindari obat yang mengganggu fungsi trombosit.
c. Transfusi PRC sesuai kebutuhan.
d. Transfusi darah bila : perdarahan massive, adanya ancaman perdarahan
otak/SSP, persiapan operasi ( RS. dr.Soetomo, 2008 ).

E. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian merupakan proses dinamis yang terorganisir yang meliputi tiga
aktivitas dasar : mengumpulkan data secara sistematis, menyortir dan mengatur
data yang dikumpulkan, mendokumentasikan data dalam format yang dapat
dibuka kembali (Marilynn E. Dongoes, 2000 : hal : 14).
1. Aktivitas atau istirahat
Gejala : Lemah, lemas, ketidakmampuan saat beraktivitas, merasakan nyeri
Tanda : Keterbatasan gerak, gaya hidup yang monoton, kelelahan otot
2. Sirkulasi
Gejala : Hematom
Tanda : Keterbatasan gerak.
3. Integritas Ego
Gejala : Ketakutan, merasa khawatir dengan kondisi yang dihadapi, bingung,
Tanda : Gelisah, tegang
4. Makanan atau cairan
Gejala : Mual muntah,
Tanda : Perubahan berat badan
5. Neurosensori
Gejala : Sulit berkonsentrasi
Tanda : Kelelahan
103

6. Nyeri atau kenyamanan


Gejala :Nyeri sendi, otot, gelisah
Tanda : Terasa sakit pada sendi dan otot
7. Pernapasan
Gejala : Napas pendek
Tanda : Dispnea, takipnea
8. Keamanan
Gejala :Purpura yang teraba pada awalnya di dada dan abdomen
Tanda : Hematoma
9. Pembelajaran / penyuluhan
Gejala :Kurang menunjukkan pemahaman tentang perilaku sehat.
10. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan D-Dimer
Tes darah ini membantu menentukan proses pembekuan darah dengan
mengukur fibrin yang dilepaskan. D-dimer pada orang yang mempunyai
kelainan biasanya lebih tinggi dibanding dengan keadaan normal.
b. Prothrombin Time ( PTT )
Tes darah ini digunakan untuk mengukur berapa lama waktu yang
diperlukan dalam proses pembekuan darah. Sedikitnya ada belasan
protein darah, atau factor pembekuan yang diperlukan untuk
membekukan darah dan menghentikan pendarahan. Prothrombin atau
factor II adalah salah satu dari factor pembekuan yang dihasilkan oleh
hati.
c. Fibrinogen
Tes darah ini digunakan untuk mengukur berapa banyak fibrinogen
dalam darah. Fibrinogen adalah protein yang mempunyai peran dalam
proses pemnekuan darah. Tingkant fibrinogen yang rendah dapat
menjadi tanda DIC. Hal ini terjadi ketika tubuh menggunakan
fibrinogen lebih cepat dari yang diproduksi darah, atau factor
113

pembekuan yang diperlukan untuk membekukan darah dan


menghentikan pendarahan. Prothrombin atau factor II adalah salah satu
dari factor pembekuan yang dihasilkan oleh hati. PTT yang memanjang
dapat digunakan sebagai tanda dari DIC.
d. Complete Blood Count ( CBC )
CBC merupakan pengambilan sampel darah dan menghitung jumlah sel
darah merah dan sel darah putih.
e. Hapusan darah
Pada tes ini, tetes darah adalah di oleskan pada slide dan diwarnai
dengan pewarna khusus. Slide ini kemudian diperiksa dibawah
mikroskop jumlah, ukuran dan bentuk sel darah merah, sel darah
putih,dan platelet dapat di identifikasi.
f. Pemeriksaan sumsum tulang belakang
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat jumlah serta mengetahui
kondisi sel darah yang berada di dalam sumsum tulang.
g. Darah lengkap
Bertujuan untuk mengetahui ambang batas nilai sel darah.

F. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah proses keperawatan dimana data yang sudah


dikumpulkan dianalisis, dan melalui proses penentuan diagnosa, pernyataan
diagnosa pasien yang spesifik dibuat (PPNI 2016. Standar Diagnosis
Keperawatan Indonesia : Definisi dan indicator diagnostic, Edisi 1. Jakarta : DPP
PPNI).

1. Ansietas berhubungan dengan ancaman terhadap kematian.


2. Risiko ketikseimbangan cairan berhubungan dengan trauma/perdarahan.
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi
perifer.
123

4. Nyeri akut berhubungan dengan agen pecendera fisik (mis, prosedur operasi,
trauma).
5. Risiko perfusi cerebral tidak efektif berhubungan dengan koagulasi
intravascular diseminata fibrilasi atrium dan resiko perdarahan intra kranial.

G. Perencanaan Keperawatan
Perencanaan merupakan bukti tertulis dari tahap dua dan tahap tiga proses
keperawatan yang mengidentifikasi masalah / kebutuhan pasien, tujuan / hasil
perawatan, dan intervensi untuk mencapai hasil yang diharapkan dan menangani
masalah / kebutuhan pasien (Marilynn E. Dongoes, 2000 : hal 81).
1. Ansietas berhubungan dengan kematian
Rencana Tindakan
Mandiri
a. Identifikasi saat tingkat ansietas berubah (mis, kondisi, waktu, stressor)
Rasional : Untuk mengurangi faktor apa saja yang bisa memungkinkan
ansietas itu berubah.
b. Monitor tanda-tanda ansietas (verbal dan nonverbal)
Rasional : Untuk mengetahui tanda apa saja yang menyebabkan ansietas
supaya tidak terulang kembali.
c. Motivasi mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan
Rasional : Untuk membantu identifikasi klien dengan menceritakan situasi
yang dapat memicunya pada kecemasan.
d. Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi
Rasional : Untuk membantu sebagai langkah awal dalam mengatasi
perasaan dan persepsi terhadap identifikasi tindakan yang
dapat membantu diri dari kecemasan.
Kolaborasi :
a. Kolaborasi pemberian obat penenang (jika perlu)
b. Rasional : Untuk mengurangi rasa kecemasan
133

2. Risiko ketidakseimbangan cairan berhubungan dengan trauma/perdarahan


Rencana Tindakan
Mandiri :
a. Monitor tanda dan gejala perdarahan
Rasional : Untuk mengurangi risiko perdarahan yang mungkin terjadi.
b. Monitor koagulasi (mis, prothrombin time (PT), partial thromboplastin
time (PTT), fibrinogen, degradasi fibrin dan platelet)
Rasional : Untuk megetahui tanda dan gejala yang mungkin terjadi.
c. Pertahankan bed rest selama perdarahan
Rasional : Untuk mencegah agar tidak terjadinya perdarahan seperti
sebelumnya.
d. Anjurkan segera melapor jika terjadi perdarahan
Rasional : Agar tidak menyebabkan perdarahan yang berkelanjutan.
Kolaborasi
a. Anjurkan pemberian obat pengontrol perdarahan (jika perlu)
Rasional : Untuk mengurangi perdarahan yang mungkin akan tejadi.

6. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi


perifer
Rencana Tindakan
Mandiri :
a. Monitor pola napas (seperti bradipnea, takipnea)
Rasional : Untuk mengetahui tanda yang menyebabkan pola napas tidak
efektif.
b. Dokumentasikan hasil pemantauan
16

Rasional : Untuk memeriksa pola napas normal tidaknya.


c. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
Rasional : Dengan memberikan penjelasan akan dapat membantu
mengetahui terhadap penyakitnya.

3. Nyeri akut berhubungan dengan agen pecendera fisik (mis, prosedur operasi,
trauma).
Rencana Tindakan
Mandiri :
a. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
nyeri
Rasional : Untuk mengidentifikasi secara menyeluruh dengan menentukan
tingkat kenyamanan nyeri serta untuk menentukan perawatan
yang tepat pada nyeri.
b. Identifikasi skala nyeri
Rasional : Agar mengetahui seberapa besar tingkat keparahan nyeri yang
dirasakan.
c. Identifikasi respon nyeri non-verbal
Rasional :Untuk mengetahui respon klien terhadap nyeri yang dirasa.
d. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
Rasional : Untuk membantu mengindetifikasi nyeri yang dialami agar
dapat meringankan dan mengurangi nyeri pada kenyamanan
yang diterima.
e. Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri (mis, terapi
bermain)
Rasional : Dengan memberikan terapi nonfarmakologis seperti terapi
bermain akan mengalihkan pada rasa nyeri yang di alami dan
memberikan rasa senang.
26

f. Fasilitasi istirahat dan tidur


Rasional : Dengan memberikan istirahat dan tidur bisa menghilangkan
pada rasa nyeri yang dirasakan
Kolaborasi :
a. Kolaborasi dalam pemberian analgetik
Rasional : Untuk mengurangi rasa nyeri yang dialami.

4. Risiko perfusi cerebral tidak efektif berhubungan dengan koagulasi


intravascular diseminata dan fibrilasi atrium.
Rencana Tindakan :
Mandiri :
a. Periksa kontraindikasi terapi trombolitik (mis, riwayat traumaa, atau
pembedahan.
Rasional : Untuk mencegah kontraindikasi yang tidak di inginkan terjadi.
b. Monitor tekanan darah (setiap 15 menit pada 2 jam pertama)
Rasional : Untuk mengetahui normalnya tekanan darah agar tetap
terkontrol.
c. Pertahankan tirah baring selama 6 jam setelah terapi.
Rasional : Dengan tirah baring atau bed rest kondisi tubuh akan tetap
terjaga setelah terapi
d. Anjurkan membatasi aktivitas untuk menrunkan risiko cedera dan
perdarahan
Rasional : Dengan membatasi aktivitas yang bisa mengakitbatkan cedera
dan perdarahan yang tidak di inginkan diharuskan istirahat
atau bed rest.
36

H. Pelaksanaan Keperawatan
Pelaksanaan keperawatan adalah tahap keempat dari proses keperawatan
dimana rencana perawatan dilaksanakan, melaksanakan intervensi atau
aktivitas yang telah dilakukan (Marilynn E. Dongoes, 2000 : hal 105).

Pelaksanaan keperawatan merupakan catatan tentang tindakan yang diberikan


kepada klien. Pencatatan ini mencakup tindakan keperawatan yang diberikan
baik secara mandiri maupun kolaboratif, serta pemenuhan criteria hasil
terhadap tindakan yang diberikan kepada klien (Serri Hutahaean, 2010 : hal
120).

Pelaksanaan keperawatan merupakan bagian dari proses keperawatan.


Pelaksanaan keperawatan dicatat untuk mengkomunikasikan rencana
perawatan, mencapai tujuan dilakukan intervensi yang tepat sesuai dengan
masalah, serta tetap melakukan pengkajian untuk evaluasi efektif terhadap
perawatan (A. Aziz Alimul Hidayat, 2002 : hal 39).

I. Evaluasi Keperawatan
Tahap akhir proses keperawatan. Proses yang kontinu yang penting untuk
menjamin kualitas dan ketepatan perawatan yang diberikan, yang dilakukan
dengan meninjau proses pasien untuk menentukan keefektifan rencana
perawatan dalam memenuhi kebutuhan pasien (Marilynn E. Dongoes, 2000 :
hal 119).
Jenis-jenis evaluasi :
1. Formatif
Evaluasi setelah rencana keperawatan dilakukan untuk membantu keefektifan
tindakan yang dilakukan secara berkelanjutan hingga tujuan tercapai.
46

2. Sumatif
Evaluasi yang diperlukan pada akhir tindakan keperawatan secara obyektif,
fleksibel dan efisien.
Adapun evaluasi pada klien dengan koagulasi intravascular diseminata (DIC)
adalah sebagai berikut :
1. Ansietas
2. Risiko ketidakseimbangan cairan
3. Gangguan pertukaran gas
4. Nyeri akut
5. Risiko perfusi cerebral tidak efektif.
14
11
9
9

Anda mungkin juga menyukai