Anda di halaman 1dari 50

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fraktur adalah gangguan dari kontuinitas yang normal dari suatu tulang,

fraktur terjadi dikarenakan hantaman langsung sehingga sumber tekanan lebih

besar dari pada yang diserap. Dan ketika tulang mengalami fraktur maka

struktur sekitarnya akan ikut terganggu, fraktur merupakan suatu keadaan

dimana terjadi diintegritas pada penurunan intetensitas nyeri, (Black &

Hawks, 2014)

Internasional Association for the Study of Pain (IASP) meberikan

defenisi medis nyeri yang sudah diterima sebagai pengalaman atau sensori

dan emosional yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan

jaringan, aktual maupun potensial atau digambarkan sebagai kerusakan yang

sama, (Joyce dan Jane, 2014).

Manajemen untuk mengatasi nyeri secara garis besar ada 2 yaitu

farmakologi meliputi tindakan dokter yang mampu menghilangkan sensasi

nyeri dan non farmakologi meliputi tindakan mandiri perawat untuk

menghilangkan nyeri dengan menggunakan manajemen nyeri, misalnya

teknik Transcutan Electrik Nervous Stimulang (TENS), guided imageri,

terapi musik, dan massage, (Pangestika, dkk, 2014)

Salah satu metode menghilangkan nyeri yaitu terapi musik. Terapi

musik adalah usaha meningkatkan kualitas fisik dan mental dengan


2

rangsangan suara yang terdiri dari melodi, ritme, harmoni, timbre, bentuk dan

gaya yang di organisir sedemikian rupa sehingga menciptakan musik yang

bermanfaat untuk kesehatan fisik dan mental. Musik memiliki kekuatan untuk

mengobati penyakit dan meningkatkan kemampuan pikiran seseorang,

(Astuti, dkk 2016).

Saat ini banyak jenis musik yang dapat di perdengarkan namun musik

yang menempatkan kelasnya sebagai musik bermakna medis adalah musik

klasik karena musik ini magnitude yang luar biasa dalam perkembangan ilmu

kesehatan, diantaranya memiliki nada yang lembut dan teratur, memberikan

stimulasi gelombang alfa, ketenangan, dan membantu pendengarnya lebih

rileks, (Permatasari, dkk, 2015)

Manfaat relaksasi terapi musik dapat membantu menurunkan skala

nyeri juga dapat memberikan perasaan nyaman dan rileks sehingga perhatian

akan nyeri yang timbul teralihkan. Musik jenis sedatif atau musik relaksasi

menurunkan detak jantung dan tekanan darah, menurunkan tingkat rangsang

dan secara umum membuat tenang, (Padang, dkk 2017)

Musik menghasilkan perubahan status kesadaran melalui bunyi,

kesunyian, ruang, dan waktu. Musik didengarkan selama 15 menit agar dapat

memberikan efek terapeutik. intensitas suara yang rendah antara 50-60

desibel menimbulkan kenyamanan dan tidak nyeri serta membawah pengaruh

positif bagi pendengarnya. Pada keadaan perawatan akut, mendengarkan

musik dapat memberikan hasil yang sangat efektif dalam upaya mengurangi

nyeri. (Djamal, dkk, 2015)


3

Musik dan nyeri mempunyai persamaan penting yaitu bahwa keduanya

bisa digolongkan sebagai input sensor dan output. Sensori input berarti bahwa

ketika musik terdengar, sinyal dikirim keotak ketika rasa sakit dirasakan. Jika

getaran musik dapat dibawa kedalam resonansi dekat dengan getaran rasa

sakit, maka persepsi psikologis rasa sakit akan diubah dan dihilangkan,

(Karendehi, 2015)

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Ani dan Diah, 2016)

menunjukkan bahwa skala nyeri sebelum diberikan terapi musik klasik pada

pasien post operasi didapat hasil mayoritas pasien me ngalami nyeri sedang

sebanyak 36 (100%) responden dan skala nyeri setelah diberikan terapi musik

klasik pada pasien post operasi didapat hasil mayoritas pasien mengalami

nyeri ringan sebanyak 23 (63,9%) responden.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh (Jamaludin dan Nur, 2017)

manajemen nyeri de ngan menggunakan terapi guided imagery dan iringan

musik pada pasien post appendiktomi menunjukkan adanya penurunan nyeri

yang semula dari skala nyeri berat pada pengelolaan hari pertama menjadi

skala nyeri ringan pada pengelolaan hari keempat dengan ekspresi wajah

pasien terlihat rileks. Hasil Pemberian terapi guided imagery terbukti

berpengaruh terhadap penurunan nyeri pada pasien post apendiktomi.

Penelitian Karendehi dkk, yang dilakukan di Ruang Perawatan Bedah

Flamboyan Rumah Sakit Tk. III 07.06.01 R.W Mongisidi Manado 2015,

Sampel yang diambil pada penelitian berjumlah 30 orang, 15 responden

diberi terapi musik dan 15 responden tidak diberi terapi musik dengan
4

karakteristik responden yang bersedia menjadi subjek, Pemberian musik pada

15 responden pada saat perawatan luka bedah pada pasien pasca operasi

sangat efektif dalam menurunkan skala nyeri sedang yang menunjukkan

adanya pengaruh musik terhadap skala nyeri akibat perawatan luka bedah

pada pasien pasca operasi.

Dari data Rekam Medik didapatkan di RSUD Sawerigading Palopo di

dapatkan pada tahun 2016 sebanyak 445 pasien fraktur kemudian pada tahun

2017 mengalami penurunan yaitu terdapat 408 pasien. Pada tahun 2018

mengalami peningkatan yang signifikan yaitu sebanyak 477 pasien. Data 3

bulan terakhir bulan 11-12 sebanyak 87 pasien.

Rumah sakit umum daerah (RSUD) sawerigading palopo merupakan

salah satu rumah sakit yang ada di kota palopo yang melakukan teknik

relaksasi nafas dalam untuk intensitas nyeri dan belum melakukan terapi

musik (klasik) untuk menurunkan nyeri.

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti ingin mengetahui pengaruh

pemberian terapi musik terhadap tingkat nyeri pada pasien fraktur di Ruang

Rawat Inap RSUD Sawerigading palopo tahun 2019.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam

penelitian ini apakah ada Pengaruh pemberian terapi musik (klasik) terhadap

tingkat nyeri pada pasien pre operasi fraktur di RSUD Sawerigading Palopo

Tahun 2019
5

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui hasil penelitian pengaruh pemberian terapi

musik terhadap tingkat nyeri pada pasien pre operasi fraktur di RSUD

sawerigading palopo tahun 2019.

2. Tujuan khusus

a. Terindentifikasi hasil penelitian nyeri pada pasien pre operasi fraktur

sebelum diberikan perlakuan terapi musik (klasik) di RSUD

sawerigading palopo.

b. Terindentifikasi hasil penelitian nyeri pada pre operasi fraktur sesudah

diberikan perlakuan terapi musik (klasik) di RSUD sawerigading

palopo.

c. Diketahui hasil penelitian pengaruh pemberian terapi musik (klasik)

terhadap tingkat nyeri pada pasien pre operasi fraktur RSUD

sawerigading palopo

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Ilmiah

Memberikan sumbangan ilmu pengetahuan dan wawasan peneliti

serta sebagai media untuk menerapkan ilmu telah didaptakan selama

kuliah. Memberika informasi ilmiah dibidang kesehatan mengenai

pengaruh pemberian terapi musik terhadap tingkat nyeri pada pasien pre

operasi fraktur di RSUD sawerigading tahun 2019.


6

2. Manfaat Praktis

Bagi Instansi Kesehatan yang terkait dalam kiranya dapat

memanfaatkan informasi dari hasil penelitian ini sebagai bahan

perencanaan dan penyuluhan kesehatan, dalam rangka pembangunan

masyarakat yang berkualitas dan memberikan masukan agar bisa menjadi

bahan evaluasi terhadap pre operasi fraktur.

3. Manfaat bagi instansi

Sebagai bahan masukan dalam meningkatkan kualitas pembelajaran

dan sebagai acuan dalam melakukan penelitian untuk peneliti selanjutnya.

4. Manfaat bagi masyarakat

Memberikan informasi tentang dan masukan dalam meningkatkan

pengetahuan masyarakat tentang pengaruh pemberian terapi musik

terhadap tingkat nyeri pada pasien pre operasi fraktur.


7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Fraktur

1. Defenisi

Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau

tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan

jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang

terjadi itu lengkap atau tidak lengkap, (Amin dan Hardhi, 2015)

Fraktur adalah gangguan dari kontuinitas yang normal dari suatu

tulang. Jika terjadi fraktur, maka jaringan lunak disekitarnya juga sering

kali terganggu. Radiografi (sinar-x) dapat menunjukkan keberadaan cedera

tulang, tetapi tidak mampu menunjukkan otot atau ligamen yang robek,

saraf yang putus, atau pembuluh darah yang pecah yang dapat menjadi

komplikasi pemulihan klien, (Black & Hawks, 2014)

Fraktur adalah terjadi bila ada kekuatan yang melebihi kekuatan

tulang untuk menahan tekanan atau rengangan mempunyai prognosis yang

bervariasi, tergantung dari seberapa besar kerusakannya dan status

kesehatan dan nutrisi pasien sebelumnya, (Estrada, dkk, 2014)


8

2. Etiologi

Penyebab fraktur antara lain karena trauma tulang atau sendi, dan

proses patologis osteoporosis atau neoplasma. Trauma tulang dapat terjadi

paling sering akibat jatuh. (Fatimah, 2010)

a. Klasifikasi etiologis, (Amin dan Hardhi, 2015)

1) Fraktur traumatic

2) Fraktur patologis terjadi pada tulang karena adanya

kelainan/penyakit yang menyebabkan kelemahan pada tulang

(infeksi, tumor, kelainan bawaan) dan dapat terjadi secara spontan

atau akibat trauma ringan.

3) Fraktur stress terjadi karena adanya stress yang kecil dan berulang-

ulang pada daerah tulang yang menopang berat badan. Fraktur stress

jarang sekali ditemukan pada anggota gerak atas.

b. Klasifikasi klinis

1) Fraktur tertutup (simple fraktur), bila tidak terdapat hubungan antara

fragmen tulang dengan dunia luar.

2) Fraktur terbuka (com[oun fraktur), bila terdapat hubungan anatara

fragmen tulang dengan dunia luar. Karena adanya perlukaan di

kulit.

3) Fraktur dengan komplikasi misal malunion, delayed, union, nonuion,

infeksi tulan.
9

Fraktur terbuka dibagi atas tiga yaitu :

a) Derajat I :

(1) Luka < 1 cm

(2) Kerusakan jaringan lunak sedikit, tidak ada tanda luka remuk

(3) Fraktur sederhana, transversal, atau kominutif ringan

(4) Kontaminasi minimal

b) Derajat II

(1) Laserasi > 1 cm

(2) Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/avulsi

(3) Fraktur kominutif sedang

(4) Kontaminasi sedang

c) Derajat III

(1) Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur

kulit, otot, dan neurovaskuler serta kontaminasi derajat

tinggi.

3. Manifestasi klinis

a. Tidak dapat menggunakan anggota gerak

b. Nyeri pembengkakan

c. Terdapat trauma (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian atau jatuh

dikamar mandi pada orang tua, penganiayaan, tertimpa benda berat,

kecelakaan kerja, trauma olahraga)

d. Gangguan fungsi anggota gerak.

e. Deformitas
10

f. Kelainan gerak

g. Krepitasi penyembuhan fraktur pada orang dewasa, (Amin dan Hardhi,

2015)

4. Pemeriksaan penunjang

a. X-ray menentukan lokasi/luasnya fraktur

b. Scan tulang memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi

kerusakanjaringan lunak

c. Arteriogram dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan

vaskuler

d. Hitung darah lengkap : hemokonsentrasi mungkin meningkat, menurun

pada perdarahan, meningkat sebagai lekosit sebagai respon terhadap

peradangan.

e. Kretenin :trauma otot meningkat beban kretenin untuk kirens ginjal.

f. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kelihan darah, transfusi

atau cedera hati, (Amin & Hardhi, 2015)

5. Patofisologi

Pada saat terjadi fraktur otot dapat mengalami spasme dan menarik

fragmen fraktur keluar posisi. Kelompok otot yang besar menciptakan

spasme yang kuat dan bahkan mampu menggeser tulang besar, sperti

femur. Walaupun bagian proksimal dari tulang patah tetap pada

tempatnya, namun bagian distal dapat bergeser karena gaya penyebab

patah maupun spasme otot-otot sekitar. Fragmen fraktur dapat bergeser ke

samping, pada suatu sudut (membentuk sudut). Atau menimpa segmen


11

tulang lain. Fragmen juga dapat berotasi atau berpindah, (Black & Hawsk,

2014)

6. Komplikasi

Komplikasi bergantung pada jenis cedera, usia klien, dan adanya

masalah kesehatan lain (komorbiditas), dan gangguan obat yang

mempengaruhi perdarahan, seperti warfarin, kortikostiroid dan NSAID,

(Black & Hawks, 2014).

Adapun komplikasi menurut (Betz, 2009) yaitu :

a. Deformitas ekstremitas

b. Perbedaan panjang ekstremitas

c. Keterbatasan gerak

d. Cedera saraf yang menyebabkan mati rasa dan atau paralisis saraf

e. Gangguan sirkulasi

f. Kontraktur iskemik volkmann

g. Sindrom kompartemen

7. Penatalaksanaan

a. Atasi syok perdarahan, serta dijaga lapangan jalan napas.

b. Sebelum penderita diangkut, pasang bidai untuk mengurangi nyeri,

mencegah (bertambahnya) kerusakan jaringan lunak dan makin

buruknya kedudukan fraktur.


12

c. Fraktur tertutup

1) Reposisi

Pada reposisi diperlukan anestesi. Tergantung pada persiapan

penderita dan fasilitas yang tersedia, amak anstesi penderita dapat

dilakukan secara umum, regional ataupun lokal.

2) Fiksasi atau imobilisasi

Sendi-sendi atas dan di bawa garis fraktur biasanya di

imobilsasi. Pada fraktur yang sudah direposisi dan stabil maka gips

berantal cukup untuk imobilisasi. Bila reposisi dan imobilisasi tidak

mencukupi, maka dilakukan traksi kulit atau traksi skeletal. Traksi

dapat dipasang secara fixed atau secara balanced.

3) Restorasi

Sedapat mungkin pembidaian dilakukan dalam posisi

fungsional sendi yang bersangkutan. Sesudah periode immobilisasi

akan terjadi kelemahan otot dan kekakuan sendi, hal ini di atasi

dengan fisioterapi atau aktivitas yang sesuai dengan fungsi sendi

tersebut.

d. Fraktur terbuka

1) Tindakan pada saat pembidaian diikuti dengan menutupi daerah

fraktur dengan kain steril ( jangan dibalut).

2) Dalam anastesi, dilakukan pembersihan luka dengan menggunakan

akuades steril atau larutan garam fisiologik secara irigasi. Pemakaian


13

antiseptik (terutama konsentasi tinggi) tidak dianjurkan karena dapat

menimbulkan kerusakan jaringan.

3) Eksisi jaringan mati (debridement), cabikan-cabikan mulai dari kulit

lemak subkutan, fasia, otot serpihan tulang dan benda asing lainnya

di eksisi dan luka dicuci kembali sedalam-dalamnya.

4) Penutupan luka

a) Masa kurang dari 6-7 jam pertama merupakan the golden period

dimana kontaminasi tidak luas dan dapat dilakukan penutupan

luka secara primer.

b) Masa lebih dari 7 jam atau luka yang sangat kotor, penutupan

luka memerlukan jahitan situasi, beberapa hari kemudian (jangan

lebih dari 10 hari) dilakukan eksisi dan jahitan kembali (dilayed

primary closure).

c) Kulit yang luas diganti skin graf.

e. Pengobatan

a) Antibiotik dosis tinggi secara oral atau suntikan

b) Anti tetanus serum dan toksoid

c) Anti inflamasi

d) nalgetik, (Purwadianto & Sampurna, 2013)

B. Tinjauan Umum Tentang Tingkat Nyeri

1. Defenisi Nyeri

Nyeri adalah keadaan ketidak nyamanan sensasi yang sangat bersifat

subyektif sehingga tidak dapat disamakan dengan orang lain. Asosiasi


14

nyeri internasional mendeskripsikan nyeri sebagai rangsang sensori yang

tidak menyenangkan dan pengalaman emosional yang berhubungan

dengan adanya kerusakan jaringan maupun potensial timbulnya kerusakan

jaringan (Lusiana, dkk, 2012).

Internasional Association for the Study of Pain (IASP) meberikan

defenisi medis nyeri yang sudah diterima sebagai pengalaman atau sensori

dan emosional yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan

kerusakan jaringan, aktual maupun potensial atau digambarkan sebagai

kerusakan yang sama, (Joyce dan Jane, 2014).

Nyeri merupakan suatau sensori yang tidak menyenangkan dari

suatau pengalaman emosional yang disertai kerusakan jaringan secara

aktual/potensial, (Maryunani, 2010)

Mouncastle mendefinisikan nyeri sebagai pengalaman sensori yang

dibawa oleh stimulus sebagai akibat adanya ancaman atau kerusakan

jaringan, dapat disimpulkan bahwa nyeri adalah ketika seseorang terluka

(secara fisik) (Sigit, 2010).

2. Fisiologi Nyeri

Cara nyeri merambat dan dipersepsikan oleh individu masih belum

seperuhnya dimengerti. Namun, biasa tidaknya nyeri dirasakan dan

dearajat nyeri tersebut mengganggu dipengaruhi oleh sistem algesia tubuh

dan transmisi sistem saraf serta interprestasi stimulus, (Saputra, 2013).


15

a. Nosisepsi

Sistem saraf perifer mengandung saraf sensorik perimer yang

berfungsi mendeteksi kerusakan jaringan dan membangkitkan beberapa

sensasi, salah satunya adalah nyeri. Nyeri dihantarkan oleh reseptor

yang disebut nosiseptor. Nosiseptor merupakan ujung saraf perifer yang

bebas dan tidak bermielin atau hanya memiliki ssedikit mielin. Reseptor

ini tersebar di kulit dan mukosa, khususnya pada visera, persendian,

dinding arteri, hati, dan kandung empedu. Reseptor nyeri tersebut dapat

di rangsang oleh stimulus mekanis, termal, listrik, atau kimiawi

(misalnya histamin, bradikinin, dan prostaglandin).

1) Tranduksi

Rangsangan (stimulus) yang membahayakan memicu

pelepasan mediator biokimia (misalnya histamin, bradikinin,

prostaglandin, dan substansi P).

2) Transmisi

Tahap transmisi terdiri atas tiga bagian, yaitu sebagai berikut :

a) Stimulasi yang diterima oleh reseptor ditransmisikan berupa

impuls nyeri dari serabut saraf perifer kemedula spinalis. Jenis

nosiseptor yang terlibat dalam transmisi ini ada dua jenis, yaitu

serabut C dan serabut A-delta. Serabut C mentransmisikan nyeri

tumpul dan menyakitkan, sedangkan serabut A-delta

menstransmisikan nyeri yang tajam dan terlokalisasi.


16

b) Nyeri ditransmisikan dari medula spinalis kebatang otak dan

talamus melalui jalur spinotalamikus (spinothalamic tracct atau

STT) yang membawa informasi tentang sifat dan lokasi stimulus

ke talamus.

c) Sinyal diteruskan kekorteks sensorik somatik (tempat nyeri

dipersepsikan). Impuls yang ditransmisikan melalui STT

mengaktifkan respons otonomik dan limbik.

3) Persepsi

Individu mulai menyadari adanaya nyeri dan tampaknya

persepsi nyeri tersebut terjadi distruktur korteks sehingga

memungkinkan timbulnya berbagai strategi perilaku kognitif untuk

mengurangi komponn sensorik dan efektif nyeri.

4) Modulasi atau sistem desenden

Neuron di batang otak mengirimkan sinyal-sinyal kembali ke

tanduk dorsal medula spinalis yang terkonduksi dengan nosiseptor

impuls supresif. Serabut desenden tersebut melepaskan substansi

seperti opioid, serotonin, dan norepinefrin yang akan menghambat

impuls asenden yang membahayakan dibagian dorsal medula

spinalis.

b. Teori Gate Control (Dikemukakan oleh Melzack dan Well)

Berdasarkan teori gate control, fisiologi nyeri dapat dijelaskan

sebagai berikut. Akar dorsal pada medula spinalis terdiri atas beberapa

lapisan atau laminae yang saling bertautan. Di antara lapisan dua dan
17

tiga lapisan terdapata substansi gelatinosa (substantia gelatinosa atau

SG) yang berperan seperti layaknya pintu gerbang yang memungkinkan

atau mengahalangi masuknya impuls nyeri menuju otak. Substansi

gelatinosa ini dilewati oelh saraf besar dan saraf kecil yeng berperan

dalam menghantarkan nyeri.

Pada mekanisme nyeri, rangsangan nyeri dihantarkan melalui

serabut saraf kecil. Rangsangan pada serat kecil dapat menghambat

substansi gelatinosa dan membuka pintu mekanisme sehingga

merangsang aktivitas sel T yang selanjutnya akan menghantarkan

rangsangan nyeri.

Rangsangan nyeri yang dihantarkan melalui saraf kecil dapat

dihambat apabila terjadi rangsangan pada saraf besar. Rangsangan pada

saraf besar akan mengakibatkan aktivitas substansi gelatinosa

meningkat sehingga pintu mekanisme tertutup dan hantaran rangsangan

pun terhambat. Rangsangan yang melalui saraf besar dapat langsung

merambat ke korteks serebri agar dapat diidentifikasi dengan cepat.

3. Klasifikasi nyeri

a. Jenis nyeri

Berdasarkan jenisnya, nyeri dapat dibedakan menjadi :

1) Nyeri perifer

Nyeri perifer dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu sebagai

berikut :
18

a) Nyeri superfisial, rasa nyeri muncul akibat rangsangan pada kulit

dan mukosa.

b) Nyeri viseral, rasa nyeri timbul akibat rangsangan pada reseptor

nyeri di rongga abdomen, kranium, dan toraks.

c) Nyeri alih, rasa nyeri dirasakan di daerah lain yang jauh dari

jaringan penyebab nyeri.

2) Nyeri sentral

Nyeri sentral adalah nyeri yang muncul akibat rangsangan

pada medula spinalis, batang otak, dan talamus.

3) Psikogenik

Nyeri psikogenik adalah nyeri yang penyebab fisiknya tidak

diketahui. Umumnya nyeri ini disebabkan oleh faktor psikologi.

b. Bentuk nyeri

Bentuk nyeri secara umum dapat dibedakan menjadi nyeri akut

dan nyeri kronis.

1) Nyeri akut

Nyeri akut merupakan nyeri yang timbul secara mendadak dan

cepat menghilang. Umumnya nyeri ini berlangsung tidak lebih dari

enam bulan. Penyebab dan lokasi nyeri biasanya sudah diketahui,

nyeri akut ditandai dengan peningkatan tegangan otot dan

kecemasan.
19

2) Nyeri kronis

Nyeri kronis merupakan nyeri yang berlangsung

berkepanjangan, berulang atau menetap selama lebih dari enam

bulan. Sumber nyeri dapat diketahui atau tidak. Umumya nyeri ini

tidak dapat dissembuhkan. Nyeri kronis dapat dibagi sindrom nyeri

kronis, dan nyeri psikosomatis.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri

Beberapa faktor yang mempengaruhi respon seseorang terhadap

nyeri : (Lusiana, 2012)

a. Pengalaman masa lalu

Individu yang mempunyai pengalaman multiple dan

berkepanjangan dengan nyeri akan lebih sedikit gelisah dan toleran

terhadap nyeri daripada orang yang hanya mengalami sedikit nyeri.

b. Ansietas

Ansietas yang relevan atau berhubungan dengan nyeri dapat

meningkatkan persepsi klien terhadap nyeri.

c. Budaya

Budaya dan etniksitas mempunyai pengaruh pada bagaimana

seseorang berespon terhadap nyeri (bagaimana nyeri diuraikan atau

seseorang berperilaku dala berespon terhadap nyeri).

d. Usia

Individu yang berumur lebih tua (lansia) mempunyai metabolisme

yang lebih lambat dan rasio lemak tubuh terhadap masa otot lebih besar
20

dibanding individu berusia lebih muda, sehingga analgesik dosis kecil

mungkin cukup untuk menghilangkan nyeri.

5. Pengukuran intensitas nyeri

Intensitas nyeri dapat diukur dengan beberapa cara, antara lain

dengan menggunakan skala nyeri menurut Hayward, skala nyeri menurut

Mcgill (Mcgill scale), dan skala wajah atau Wong-Bakar Faces rating scale

(Saputra, 2013).

a. Skala nyeri menurut Hayward

Pengaruh insentitas nyeri dengan menggunakan skala nyeri

hayward dilakukan dengan meminta penderita untuk memilih salah satu

bilangan (dari 0-10) yang menurutnya paling menggambarkan

pengalaman nyeri yang ia rasakan.

Skala nyeri menurut Hayward dapat dituliskan sebagai berikut.

0 = tidak nyeri

1-3 =n yeri ringan

4-6= nyeri sedang

7-9 = sangat nyeri, tetapi masih dapat dikendalikan dengan aktivitas

yang biasa dilakukan

10 = sangat nyeri dan tidak bisa dikendalikan.


21

Gambar 2.2 Skala Nyeri Hayward

b. Skala nyeri menurut McGill

Pengukuran intensitas nyeri dengan menggunakan skala nyeri

McGill dilakukan dengan meminta penderita untuk memilih salah satu

bilangan (dari 0-5) yang menurutnya paling menggambarkan

pengalaman nyeri yang ia rasakan.

Skala nyeri menurut McGill dapat dituliskan sebagai berikut :

0 = tidak nyeri

1 = nyeri ringan

2 = nyeri sedang

3 = nyeri berat atau parah

5 = nyeri sangat berat

5 = nyeri hebat

c. Skala wajah atau Wong-baker FACES Rating scale

Pengukuran intensitas nyeri dengan skala wajah dilakukan dengan

cara memerhatikan mimik wajah pasien pada saat nyeri tersebut

menyerang. Cara ini diterapkan pada pasien yang tidak dapat

menyatakan intensitas nyerinya dengan skala angka, misalnya anak-

anak dan lansia.


22

Skala wajah dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.3 Skala Wajah

6. Penatalaksanaan nyeri

a. Intervensi farmakologi

1) Agen anastetik dan analgesic spesifik

a) Agen anastesi lokal

Anastesi lokal bekerja dengan memblok konduksi saraf saat

diberikan rangsangan keserabut saraf. Anestesi lokal dapat

diberikan langsung ke tempat yang cedera atau secara langsung

ke serabut saraf melalui suntikan atau saat pembedahan.

b) Opioid

Opioid (narkotik) dapat diberikan melalui berangsang rute

termasuk oral, intravena, subkutan, intraspinal, rectal, dan

transdermal.

2) Obat-obat antiinflamasi non steroid (NSAID)

Obar-obat (NSAID) diduga dapat menurunkan nyeri dengan

menghambat produksi prostaglandin dari jaringan-jaringan yang

messngalami trauma atau inflamasi serta menghambat reseptor nyeri

yang sensitive terhadap stimulus menyakitkan sebelumnya. Selain


23

terdapat aktivitas antiprostaglandiin dari NSAID, agen ini juga

mempunyai suatu aksi sentral (Lusianah, 2012).

b. Intervensi nonfarmakologi

Pada tatalaksana nyeri dengan teknik non farmakologi dikenal

teknik distraksi yaitu salah satunya dengan teknik mendengarkan

musik. Musik menghasilkan perubahan status kesadaran melalui bunyi,

kesunyian, ruang, dan waktu. Pada keadaan perawatan akut,

mendengarkan musik klasik dapat memberikan hasil yang sangat efektif

dalam upaya mengurangi nyeri, (Martini, 2018)

C. Tinjauan Umum Tentang Terapi Musik (Klasik)

1. Defenisi

Relaksasi merupakan metode yang efektif untuk mengatasi nyeri

kronis. Relaksasi yang sempurna dapat mengurangi ketegangan otot,

kejenuhan, dan ansietas sehingga dapat mencegah peningkatan intensitas

nyeri. (Kusyanti dkk, 2014)

Teknik relaksasi dapat menurunkan nyeri dengan merileksakan

ketegangan otot yang menunjang nyeri. Teknik relaksasi terdiri atas nafas

abdomen dengan frekuensi lambat, berirama. Pasien dapat memejamkan

matanya dan bernafas dengan perlahan dan nyaman, (Aini & Reskita,

2018)

Terapi musik adalah usaha meningkatkan kualitas fisik dan mental

dengan rangsangan suara yang terdiri dari melodi, ritme, harmoni, timbre,

bentuk dan gaya yang di organisir sedemikian rupa sehingga menciptakan


24

musik yang bermanfaat untuk kesehatan fisik dan mental. Musik memiliki

kekuatan untuk mengobati penyakit dan meningkatkan kemampuan

pikiran seseorang, (Astuti, 2016).

Terapi musik merupakan terapi yang dilakukan menggunakan musik

dan aktivitas musik untuk memfasilitasi proses terapi dalam membantu

kliennya. Sebagaimana halnya terapi yang merupakan upaya yang

dirancang untuk membantu orang dalamkonteks fisik atau mental, terapi

musik mendorong klien untuk berinteraksi, improvisasi, mendengarkan,

atau aktif bermain musik, (Geraldina, 2017)

Musik klasik memiliki perangkat musik yang beraneka ragam,

sehingga di dalamnya terangkum warna warni suara yang rentang

variasinya sangat luas. Pemberian terapi musik klasik membuat seseorang

menjadi rileks, menimbulkan rasa aman dan sejahtera, melepaskan rasa

gembira dan sedih, melepaskan rasa sakit dan menurunkan tingkat stress,

(Faridah, 2016)

2. manfaat musik

Menurut Spawnthe Antony (2003), musik mempunyai beberapa

manfaat, (Dayat, 2012)

a. Efek mozart adalah salah satu istilah untuk efek yang bisa dihasilkan

sebuah musik yang dapat meningkatkan indegensia seseorang.

b. Refresing, pada saat pikiran seseorang lagi kacau atau jenih, dengan

mendengarkan musik walauoun sejenak, terbukti dapat menenangkan

dan menyegarkan pikiran.


25

c. Motivasi adalah hal yang hanya bisa dilahirkan dengan “feeling”

tertentu. Apabila ada motivasi, semangatpun akan muncul dan segala

kegiatan bisa dilakukan.

d. Komunikasi, musik mampu menyampaikan berbagai pesan ke seluruh

bangsa tanpa harus memahami bahasanya. Pada kesehatan mental,

terapi musik diketahui dapat memberi kekuatan komunikasi

keterampilan fisik pada penggunanya.

3. Jenis terapi musik

Salah satu terapi musik klasik yaitu terapi musik mozart yang

muncul 250 tahun yang lampau tepatnya pada tanggal 27 januari 1756. Di

ciptakan oleh Joannes Chysostomus Wolfgangus Theophilus dengan nama

panggilan Wolfgang yang akhirnya lebih dikenal dengan nama Wolgang

Amadeus Mozart, dilahirkan di kota Salzburg Austria. Dan meninggal

dunia pada usia 35 (5 Desember 1791 di Wina). Dalam masa hidupnya

yang singkat itu, ia menghasilkan 626 karya musik. Kita mungkin tidak

asing lagi dengan musik Mozart, kemampuannya untuk menyembuhkan

berbagai penyakit, memberikan efek positif pada ibu hamil dan bayi yang

masih didalam rahim ibunya, disamping itu musik Mozart juga terbukti

bisa mengurangi penderitaan rasa nyeri yang dirasakan oleh seseorang,

sehingga banyak praktek Dokter Gigi di Eropa menggunkan musik Mozart

dalam mengurangi nyeri pasien.

Waktu yang ideal untuk melakukan mendengarkan musik selama

kurang lebih 30 menit hingga satu jam tiap hari, namun jika tidak memiliki
26

waktu yang cukup 10 menit juga bisa menjadi efektif, karena selama

waktu 10 menit musik telah membantu pikiran seseorang beristrahat,

(Proverawati dan Misarah, 2009).

Musik menghasilkan perubahan status kesadaran melalui bunyi,

kesunyian, ruang, dan waktu. Musik didengarkan selama 15 menit agar

dapat memberikan efek terapeutik. intensitas suara yang rendah antara 50-

60 desibel menimbulkan kenyamanan dan tidak nyeri serta membawah

pengaruh positif bagi pendengarnya. Pada keadaan perawatan akut,

mendengarkan musik dapat memberikan hasil yang sangat efektif dalam

upaya mengurangi nyeri. (Djamal, dkk 2015)

Bebarapa studi tentang intervensi musik dan mengemukakan bahwa

waktu mendengarkan musik pada sebagian besar studi adalah 15-30 menit,

(Sesrianti & Wulandari, 2018). Terapi musik diberikan pada hari ke 7 post

partum satu kali sehari selama tujuh hari berturut-turut dengan

menggunakan Earphone dan MP3 Player selama 30 menit, (Permatasari,

2015)

4. Prosedur terapi musik

Terapi musik tidak selalu membutuhkan kehadiran ahli terapi, walau

mungkin membutuhkan bantuannya saat mengawali terapi musik, (Dayat,

2012)

a. Untuk memulai terapi musik, khususnya untuk relaksasi, peneliti dapat

memilih sebuah tempat yang tenang, yang bebas dari gangguan.


27

b. Untuk mempermudah, peneliti dapat mendengarkan berbagai jenis

musik pada awalnya. Ini berguna untuk mengetahui respon dari tubuh

responden.

c. Saat musik dimainkan, dengarkan dengan seksama instrumennya,

seolah-olah pemainnya sedang ada di ruangan memainkan musik

khusus untuk responden. Peneliti bisa memilih tempat duduk lurus di

depan speaker, atau bisa juga menggunakan headphone. Tapi yang

terpenting biarkan musik mengalir keseluruh tubuh responden.

d. Bayangkan gelombang suara itu datang dari speaker dan mengalir

keseluruh tubuh responden. Bukan hanya dirasakan secara fisik tapi

juga fokuskan dalam jiwa.

e. Saat peneliti melakukan terapi musik, responden akan membangun

metode ini melakukan yang terbaik bagi diri sendiri. Sekali telah

mengetahui bagaimana tubuh merespon pada instrumen, warna nada

dan gaya musik yang didengarkan, responden dapat mendesain sesi

dalam serangkaian yang telah dilakukan sebagai hal yang berguna bagi

diri sendiri.

f. Idealnya, peneliti dapat melakukan terapi musik selama kurang lebih 30

menit hingga 1 jam tiap hari, namun jika tidak memiliki cukup waktu

10 menitpun jadi, karena selama waktu 10 menit telah membantu

pikiran responden istrahat.


28

D. Kerangka Konsep

Terapi musik Tingkat Nyeri


(klasik) Fraktur

Keterangan :

: Variabel Independen

: Variabel Dependen

: Garis Penghubung

Gambar 2.1 Kerangka Konsep

E. Desain Operasional dan Kriteria Objektif

No Variabel Defenisi Alat ukur Cara ukur Hasil ukur Skala

(Kriteria

objektif

Variabel Dependen

1. Tingkat Nyeri yang Skala Diukur 1. Tidak nyeri Ordinal


dimaksud =0
Nyeri nyeri secara
dalam 2. Nyeri
Fraktur menurut subjektif
penelitian ringan = 1-3
ini adalah Hayward dengan 3. Nyeri
nyeri yang sedang = 4-
menjawab
diraskan 6
29

oleh pasien pertanyaan 4. Sangat


fraktur nyeri, tetapi
tentang
yang di masih dapat
nyeri yang
ukur dikendalika
dengan dirasakan n dengan
menggunak aktivitas
an skalah yang biasa
nyeri dilakukan =
Hayward 1- 7-9
10 dengan 5. Sangat nyeri
nyeri yang dan tidak
di rasakan bisa
pasien nyeri dikendalika
sedang 4-6 n = 10

Variabel Independen

1. Terapi Terapi Speaker/Hp Menganjur Sebelum Ordinal


Musik musik yang kan pasien
diberikan
(Klasik) dimaksud untuk fokus
terapi musik
dalam mendengar
penelitian kan iringan (klasik) selama
ini adalah musik
15 menit.
terapi selama 15
Sesudah
musik yang menit
diberikan dengan diberikan
oleh pasien intesitas
terapi musik
fraktur suara
(klasik) selama
untuk rendah 50-
membantu 60 dB 15 menit.
merilekska (desibel)
30

n selama 15
menit
perasaan
pasien
dengan
musik brain
power
mozart
menciptaka
n suasana
damai dan
meredahka
n
ketegangan
saraf otak

F. Hipotesis Penelitian

1. Hipotesis null (Ho)

Tidak ada pengaruh pemberian Relaksasi Terapi Musik (Klasik)

Terhadap Tingkat Nyeri Pada Pasien Fraktur di Ruang Rawat Inap RSUD

Sawerigading Palopo Tahun 2019.


31

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan eksperimen dengan desain penelitian Pre

and Post test whithout control, pada desain ini penelitian hanya melakukan

intervensi pada satu kelompok tanpa pebandingan. Efektifitas perlakuan

dinilai dengan cara membandingkan nilai Pre Test dengan Post Test.

Pretest x Posttest
O1 O2

Ket :
O1: Pengukuran intensitas nyeri pasien Pre Operasi Fraktur sebelum

pemberian terapi musik.

X : Intervensi pemberian terapi musik

O2: Pengukuran intensitas nyeri pasien Pre Operasi Fraktur sesudah

pemberian terapi musik.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi penelitian

Lokasi penelitian adalah RSUD Sawerigading Palopo.

2. Waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan pada tanggal 20 juni - 19 Agustus 2019


32

C. Populasi dan sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien fraktur di Ruang

Rawat Inap RSUD Sawerigading Palopo sebanyak 477 pasien.

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang dianggap mewakili dari

keseluruhan populasi (Suryanto, 2011). Teknik pengambilan sampel

dengan menggunakan Accidental Sampling merupakan teknik penentuan

sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja secara kebetulan bertemu

dengan peneliti, dapat digunakan sebagai sampel. Bila dipandang orang

yang kebetulan ditemui cocok sebagai sumber data. (Hasmi,2012)

Besarnya sampel dalam penelitian ini dihitung menggunakan rumus

Lameshow :


𝑧 2 1 − 𝑧 𝑃 (1 − 𝑃) N
n = ∝
𝑑 2 (𝑁 − 1) + 𝑧 2 1 − 𝑧 𝑃 (1 − 𝑃)

Ketrangan :


z²1- = 1,96
𝑧

P = 0,5

N = Populasi

d² = 0,1
33

Karena jumlah populasi yang ada sebanyak 477 orang, jadi jumlah
sampel penelitian ini adalah


𝑧 2 1 − 𝑧 𝑃 (1 − 𝑃) N
n = ∝
𝑑 2 (𝑁 − 1) + 𝑧 2 1 − 𝑧 𝑃 (1 − 𝑃)

1.96 x 0,5 (1−0,5) 477


n =
0,1² (477−1)+ 1,96 x 0,5 (1−0,5)

0,98 (0,5)477
n =
0,01 (476)+ 0,98 (0,5)

0,49 x 477
n =
4,76+0,49

233,73
n = = 44,52 dibulatkan (45)
5,25

Adapun Kriteria yaitu :

a. Kriteria insklusi

1) Bersedia menjadi responden.

2) Pasien fraktur yang mengalami nyeri sedang 4-6.

3) Pasien fraktur pre operasi.

b. Kriteria eksklusi

1) Pasien yang tidak bersedia menjadi responden


34

A. Instrumen Penelitian

Instrumen yang di gunakan pada penelitian ini yaitu lembar observasi

skala nyeri menurut Hayward :

0 = tidak nyeri

1-3 = nyeri ringan

4-6= nyeri sedang

7-9= sangat nyeri, tetapi masih dapat dikendalikan dengan aktivitas yang

biasa dilakukan

10 = sangat nyeri dan tidak bisa dikendalikan.

Skala nyeri di lakukan sebelum dan sesudah terapi musik di

lakukan.

B. Pengumpulan Data

1. Data Primer

Data yang di peroleh secara langsung dari pasien.

2. Data Sekunder

Dalam penelitian ini data sekunder diperoleh dari data hasil

pencatatan dan pelaporan dari Rekam Medik RSUD Sawerigadiing

Palopo.

C. Pengolahan dan Penyajian Data

1. Pengelolaan Data

Sebelum di analisa, data diolah terlebih dahulu. Kegiatan dalam

mengolah data meliputi : (Setiawan, 2011)


35

a. Editing

Editing adalah memeriksa daftar pertanyaan yang telah

diserahkan oleh peserta pengumpulan data. Tujuannya adalah

mengurangi kesalahan atau kekurangan yang ada di daftar pertanyaan.

b. Coding

Coding adalah mengklasifikasikan jawaban dari para responden

kedalam kategori.

c. Scoring

Scoring adalah memberikan penilaian terhadap item-item yang

perlu diberi penilaian atau skor.

d. Tabulating

Tabulating adalah pekerjaan membuat table. Jawaban-jawaban

yang telah diberi kode kemudian dimasukkan kedalam table.

2. Penyajian Data

Penyajian data ini disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi

nyeri sebelum dan sesudah pemberian Terapi Musik (Klasik).

D. Analisa Data

Pada penelitian ini, data yang telah terkumpul dianalisis dengan teknik

analisis univariat (satu variabel) dan bivariat (dua variabel).

1. Analisa univariat

Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau

mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian. Bentuk analisis

univariat tergantung dari jenis datanya. Untuk data numerik di gunakan


36

data mean atau rata-rata, median dan standar deviasi. Pada umumnya

dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase

dari tiap variabel. Misalnya distribusi frekuensi responden berdasarkan

umur, jenis kelamin dan sebagainya.

2. Analisa bivariat

Analisa bivariat merupakan analisis data yang dilakukan terhadap

dua variabel yang diduga berhubungan atau berkolerasi. Analisa bivariat

dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel dependen dan variabel

independen yaitu pengaruh pemberian terapi musik (klasik) terhadap

tingkat nyeri pada pasien pre operasi fraktur, dengan menggunakan system

komputerisasi SPSS versi 16 dan diolah menggunakan uji beda dua mean

dependen / paired t test digunakan untuk menguji beda mean dari dua hasil

pengukuran pada kelompok yang sama. Jika asumsi tidak terpenuhi (data

tidak berdistribusi normal), maka gunakan wilcoxon test.

E. Etika Penelitian

Secara umum terdapat empat prinsip utama dalam etika penelitian

keperawatan (Dharma, 2011):

1. Menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human dignity)

Penelitian harus dilakukan dengan menjunjung tinggi harta dan

martabat manusia. Subjek memeliki hak asasi dan kebebasan untuk

menentukan pilihan ikut atau menolak penelitian (autonomy). Tidak boleh

ada paksaan atau penekanan tertentu agar subjek bersedia ikut dalam

penelitian. Subjek dalam penelitian juga berhak mendapatkan informasi


37

yang terbuka dan lengkap tentang pelaksanaan penelitian meliputi tujuan

dan manfaat peneli tian, prosedur penelitian, resiko penelitian, keuntungan

yang mungkin didapat dan kerahasiaan informasi.

2. Menghormati pripasi dan kerahasiaan subjek (respek for privacy and

confidentiolity)

Manusia sebagai sabjek penelitian memiliki privasi dan hak asasi

untuk mendapatkan kerahasian informasi. Namun tidak bisa di pungkiri

bahwa penelitian menyebabkan terbukanya informasi tentang subjek.

Sehingga peneliti perlu merahasiakan berbagai informasi yang

menyangkut privasi subjek yang tidak ingin indentitas dan segala

informasi tentang dirinya diketahui oleh orang lain. Prinsip ini dapat

diterapkan dengan cara meniadakan identitas seperti nama dan alamat

subjek kemudian diganti dengan kode tertentu. Dengan demikian segala

informasi yang menyangkut identitas subjek tidak terkspos secra luas.

3. Menghormati keadilan dan inklusivitas (respect for justice inclusiveness)

Prinsip keterbukaan dalam penelitian mengandung makna bahwa

penelitian dilakukan secara jujur, tepat, cermat, hati-hati dan dilakukan

secara propesional. Sedangkan prinsip keadilan mengandung makna

bahwa penelitian memberikan keuntungan dan beban secara merata sesuai

dengan kebutuhan dan kemampuan subjek.


38

4. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing

harm and benefits)

Prinsip ini mengandung makna bahwa setiap penelitian harus

mempertimbangkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi subjek penelitian

dan populasi dimana hasil penelitian akan diterapkan (Beneficience).

Kemudian meminimalisir resiko/dampak yang merugikan bagi subjek

penelitian (nonmaleficience). Prinsip ini yang harus diperhatikan oleh

peneliti ketika mengajukan usulan penelitian untukmendapatkan

persetujuan etik dari komite etik penelitian. Peneliti harus

mempertimbangkan rasio antara manfaat dan kerugian/resiko dari

penelitian.
39

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai dari tanggal 20 Juni sampai dengan

19 Agustus tahun 2019. Responden dalam penelitian ini adalah pasien pre

operasi fraktur di RSUD Sawerigading Kota Palopo. Adapun besar

sampelnya yaitu sebanyak 45 responden dengan metode pengambilan sampel

secara accidental sampling dimana pasien diberikan perlakuan dengan terapi

musik (klasik).

1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

a. Keadaan geografis

1) Luas wilayah

RSUD Sawerigading terletak di Kota Palopo yang

mempunyai luas ± 5 Ha dengan luas bangunan ± 45,402 Km yang

secara administratif berada di Jl. Dr. Ratulangi KM 7 Kecamatan

Rampoang kota Palopo.

2) Kondisi geografis

Pada letak geografis diwilayah RSUD Sawerigading dapat

dilihat batas-batas wilayah sebagai berikut:

a) Sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Buntu Batu

b) Sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Mancani

c) Sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Rampoang


40

d) Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Wara Barat

b. Visi dan Misi

Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya BLUD RSUD

Sawerigading Kota Palopo mempunyai Visi dan Misi sebagai

berikut :

1) Visi RSUD Sawerigading Kota Palopo adalah :

“Terwujudnya RSUD Sawerigading Kota Palopo sebagai rumah

sakit pusat rujukan terbaik di Provinsi Sulawesi Selatan”.

2) Misi RSUD Sawerigading Kota Palopo adalah :

a) Memberikan pelayanan kesehatan yang menyeluruh, bermutu

dan terjangkau pada masyarakat.

b) Meningkatkan sumber daya manusia agar lebih profesional

dalam bidang pelayanan kesehatan dan manajemen rumah

sakit demi tercapainya pelayanan prima.

c) Meningkatkan kesejahteraan karyawan rumah sakit.

d) Menerapkan konsep manajemen mutu paripurna dalam

pengelolaan rumah sakit.

e) Melaksanakan prinsip-prinsip pelayanan prima dalam

pelayanan kesehatan di rumah sakit.

f) Meningkatkan kerjasama dengan stake holder dalam

pengelolaan rumah sakit.


41

2. Karakteristik Responden

Jumlah responden yang memenuhi syarat sebagai sampel penelitian

sebanyak 45 responden. Pemaparan karakteristik responden ini akan di

uraikan dalam data umum.

Tabel 4.1
Distribusi frekuensi karakteristik responden penelitian (N=45)
Variabel Frekuensi Presentase (%)
Umur
14-23 Tahun 17 37,8
24-33 Tahun 11 24,4
34-43 Tahun 8 17,8
44-53 Tahun 7 15,6
54-63 Tahun 2 4.4

Jenis Kelamin
Laki-laki 33 73,3
Perempuan 12 26,7

Agama
Islam 32 71,1
Kristen 13 28,9

Pendidikan
SD 13 28,9
SMP 10 22,2
SMA 20 44,4
S1 2 4,4

Pekerjaan
Petani 13 28,9
IRT 5 11,1
Pelajar 22 48,9
Wiraswasta 5 11,1
Sumber Data Primer 2019

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa dari 45 responden, dengan

presentase paling tinggi adalah kelompok umur 14-23 tahun sebanyak 17

(37,8%) responden. Dan presentase paling rendah adalah kelompok umur

54-63 tahun sebanyak 2 (4,4%) responden.


42

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa dari 45 responden, dapat dilihat

berdasarkan jenis kelamin terdapat lebih banyak pada jenis kelamin laki-

laki sebanyak 33 (73,3%), dibandingkan jenis kelamin perempuan

sebanyak 12 (26,7%) responden.

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa dari 45 responden, dapat dilihat

bahwa dengan presentase paling tinggi adalah yang agama Islam sebanyak

32 (71,1%) responden, dan agama Kristen sebanyak 13 (28,9%)

responden.

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa dari 45 responden, dapat dilihat

bahwa dengan presentase paling tinggi adalah responden dengan

pendidikan terakhir SMA sebanyak 20 (44,,4%) responden dan presentase

paling rendah adalah responden dengan pendidikan terakhir S1 sebanyak 2

(4,4%) responden.

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa dari 45 responden, dapat dilihat

bahwa dengan presentase pekerjaan paling tinggi adalah petani sebanyak

19 (42,2%) responden, dan presentase pekerjaan paling rendah adalah IRT

dan Wiraswasta yang masing-masing sebanyak 5 (6,7%) responden.

3. Analisis Univariat

Penelitian ini dilakukan analisis univariat pada karakterisik umum

responden. Analisis ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang

karakteristik umum nyeri sebelum dan sesudah terapi musik (klasik).


43

Tabel 4.2
Pengaruh Pemberian Terapi Musik (klasik) Terhadap Tingkat Nyeri pada
Pasien Pre Operasi Fraktur di RSUD Sawerigading Kota Palopo 2019 (N
= 45)
Terapi Musik (Klasik) Mean SD
Pretest 5.18 ,936
Posttest 2.78 ,636
Sumber : Data Primer, 2019

Tabel 4.2 didapatkan data bahwa nilai rata-rata dari 45 responden

sebelum diberikan perlakuan mendengarkan musik (klasik) adalah 5,18.

Setelah diberikan perlakuan mendengarkan musik (klasik) adalah 2,78,

dengan selisih mean pretest dan posttest responden sebesar 2,4 sehingga

terlihat bahwa ada penurunan perilaku pemberian terapi musik (klasik)

sebelum dan sesudah diberikan perlakuan.

4. Analisis Bivariat

a. Uji Normalitas

Uji normalitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah

variabel dalam penelitian mempunyai sebaran distribusi normal atau

tidak. Perhitungan uji normalitas ini menggunakan rumus one-sample

kolmogrov-smirnov test, dengan pengolahan menggunkan bantuan

komputer program SPSS.

Tabel 4.3
Uji Normalitas Data
Perlakuan One Sample-Kolmogrov-smirnov test
terapi musik Mean Df P
(klasik)
Pretest 5,18 ,936 ,006
Posttest 2,78 ,636 ,001
Sumber Data Primer 2019
44

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa data pre test

memiliki nilai P ,006 dan post test ,001 yang berarti data tidak

berdistribusi normal, maka uji yang digunakan adalah uji wilcoxon.

b. Uji wilcoxon

Uji statistik dalam penelitian ini menggunakan uji wilcoxon

yang bertujuan untuk menguji perbedaan suatu perlakuan atau

intervensi terhadap suatu besaran variabel yang ingin ditentukan yaitu

untuk mengetahui pengaruh pemberian terapi musik (klasik). Metode

yang digunakan dalam penelitian ini menggambarkan bahwa akan

diukur tingkat nyeri sebelum (pretest) dan sesudah diberikan perlakuan

(posttest).

Tabel 4.4
Hasil Uji Wilcoxon tingkat nyeri dalam pemberian terapi musik (klasik)
Sebelum (Pretest) dan Sesudah Diberikan Perlakuan (Posttest) di
RSUD Sawerigading Kota Palopo Tahun 2019 (N = 45)
Perlakuan Mean SD Z P
terapi
musik
(klasik)
Pretest 5,18 ,936 -4,747 ,000
Posttest 2,78 ,636
Sumber : Uji wilcoxon, 2019

Hasil tabel uji wilcoxon penurunan tingkat nyeri pasien sebelum

(Pretest) dan sesudah diberikan perlakuan mengenai terapi musik

(klasik) (posttest), di RSUD Sawerigading Kota Palopo, menunjukkan

bahwa nilai p = ,000. Jika hasil penelitian ini menunjukkan nilai p <

,05 maka H0 ditolak yang dapat diartikan bahwa ada perubahan tingkat

nyeri pada pasien sebelum dan sesudah diberikan perlakuan mengenai


45

pemberian terapi musik (klasik) di RSUD Sawerigading Kota Palopo

tahun 2019.

B. Pembahasan
Berdasarkan analisis pada tabel 4.4 didapatkan pre test dengan nilai

mean 5,18 dengan standar deviasi ,936 dan post test di dapatkan nilai 2,78

dengan standar deviasi ,636. Terdapat perubahan yang signifikan antara pre

test dan post test, setelah diberikan perlakuan terapi musik (klasik).

Terapi musik klasik yaitu terapi musik mozart yang muncul 250 tahun

yang lampau tepatnya pada tanggal 27 januari 1756. Di ciptakan oleh Joannes

Chysostomus Wolfgangus Theophilus dengan nama panggilan Wolfgang

yang akhirnya lebih dikenal dengan nama Wolgang Amadeus Mozart,

dilahirkan di kota Salzburg Austria. Dan meninggal dunia pada usia 35 (5

Desember 1791 di Wina). Dalam masa hidupnya yang singkat itu, ia

menghasilkan 626 karya musik salah satunya yaitu musik Brain power mozart

yang menciptakan suasana damai dan meredahkan ketegangan saraf otak

(Proverawati dan Misarah 2009). Musik didengarkan selama 15 menit agar

dapat memberikan efek terapeutik, intensitas suara yang rendah antara 50-60

desibel menimbulkan kenyamanan dan tidak nyeri serta membawa pengaruh

postif bagi pendengarnya, (Djamal, dkk, 2015), Musik klasik bermanfaat

untuk membuat seseorang menjadi rileks, menimbulkan rasa aman dan

sejahtera, melepaskan rasa gembira dan sedih, menurunkan rasa sakit dan

menurunkan tingkat stress, (Sesrianty dan Wulandari, 2018)

Hasil ini diperoleh dari pasien pre operasi fraktur di RSUD

sawerigading palopo didapatkan hasil dari 45 responden diberikan pretest


46

berupa lembar skala nyeri menurut Hayward diberikan oleh peneliti, setelah

dilakukan pretest diberikan perlakuan berupa mendengarkan musik (klasik).

Setelah 15 menit perlakuan diberikan posttest untuk melihat penurunan

tingkat nyeri pada responden.

Hal ini sejalan dengan teori padang (2017), bahwa terapi musik klasik

dapat membantu menurunkan skala nyeri juga dapat memberikan perasaan

nyaman dan rileks sehingga perhatian akan nyeri yang timbul teralihkan.

Musik jenis sedatif atau musik relaksasi menurunkan detak jantung dan

tekanan darah, menurunkan tingkat rangsang dan secara umum membuat

tenang.

Pada umumnya, terapi musik meningkatkan kualitas fisik dan mental

dengan rangasangan suara yang terdiri dari melodi, ritme, harmoni, tombre

bentuk dan gaya yang di organisir sedemikian rupa sehingga menciptakan

musik yang bermanfaat untuk kesehatan fisik dan mental. Musik memiliki

kekuatan untuk mengobati penyakit dan meningkatkan kemampuan pikiran

seseorang. Terapi musik merupakan terapi yang dilakukan menggunakan

musik dan aktivitas untuk memfasilitasi proses terapi dalam membantu klien.

Sebagaimana halnya terapi yang merupakan upaya yang dirancang untuk

membantu orang dalam konteks fisik atau mental.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh padang

(2017) menunjukkan bahwa pengaruh terapi musik instrumental terhadap

perubahan skala nyeri pada pasien pre operasi fraktur di Rumkit Tk.III R.W.

Monginsidi teling dan RSU GMIM bethesda tomohon hasil uji statistik
47

Wilcoxon signed rank test dengan peningkatan kepercayaan 95% (α=0,05)

dan diperolah p value 0,000 < 0,05. Kesimpulan yaitu terdapat pengaruh

terapi musik instrumental terhadap perubahan skala nyeri pada pasien pre

operasi fraktur di Rumtik Tk.III R.W Monginsidi teling dan RSU GMIM

bhetesda tomohon.

Penelitian Astuti (2016), juga menunjukkan bahwa pengaruh terapi

musik klasik terhadap penurunan tingkat skala nyeri pasien post operasi dari

hasil uji statisti univariat diketahui sebelum dilakukan terapi musik klasik

rata-rata skal nyeri adalah 4,64 dan setelah diberikan terapi musik klasik rata-

rata skala nyeri adalah 2,92 berdasarkan hasil analisi bivariat diketahui bahwa

ada pengaruh terapi musik terhadap penurunan skala nyeri pada pasien post

operasi dengan p-value 0,002.

Menurut asumsi penelitian, nyeri yang timbul pada pasien pre operasi

fraktur disebabkan karena adanya kerusakan jaringan tubuh yang disebakan

karena fraktur dan spasme otot sebagai salah satu respon tubuh adanya

kerusakan jaringan tubuh. Selain itu juga, persepsi setiap individu dalam

menanggapai nyeri itu berbeda-beda, tergantung bagaimana individu itu

mengartikan nyeri, apakah sebagai sesuatu yang positif atau negatif serta

banyak faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang terhadap nyeri

misalnya usia, jenis kelamin dan tingkat keparahan nyeri. Salah satu metode

nonfarmakologi untuk mengatasi nyeri adalah mendengarkan musik (klasik).

responden mengalami nyeri ringan sesudah mendengarkan terapi musik


48

(klasik), musik (klasik) yang mempunyai alunan nada lembut akan membuat

pasien merasa nyaman dan rasa nyeri teralihkan sehingga rasa nyeri menurun.

Berdasarkan hasil analisa statistik menunjukkan bahwa ada perubahan

sebelum (pretest) dan sesudah (posttest) diberikan terapi musik (klasik) di

RSUD Sawerigading Palopo. Dimana hasil uji statistik wilcoxon, yang

diperoleh nilai P = 0,000, dimana nilai P lebih kecil dari nilai a= 0,05 maka

Ho di tolak.
49

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dijabarkan

pada bab sebelumya, maka kesimpulan yang ditarik dalam penelitian ini

adalah terdapat ada Pengaruh Pemberian Terapi Musik (Klasik) Terhadap

Tingkat Nyeri Pada Pasien Pre Operasi Fraktur di RSUD Sawerigading Kota

Palopo 2019.

B. Saran

1. Bagi Rumah Sakit

Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi dan data

dasar untuk mengembangkan suatu intervensi dalam mengatasi masalah

nyeri pasien pre operasi melalui penelitian yang cakupan yang luas dan

diharapkan terapi musik (klasik) dipertimbangkan untuk dijadikan sebagai

salah satu intervensi dalam menurunkan nyeri.

2. Bagi Perawat

Dapat menerapkan dan mengajarkan terapi musik (klasik) kepada

pasien dalam meningkatkan dan menurunkan nyeri secara berkelanjutan

dan menjadi terapi musik (klasik) sebagai salah satu intervensi pada pasien

pre operasi fraktur.


50

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini direkomendasikan untuk penelitian lebih lanjut

tentang pengaruh terapi musik (klasik) pada pasien pre operasi fraktur atau

jenis pre operasi lain dengan jumlah responden lebih banyak, kriteria lebih

spesifik dan waktu terapi dan frekuensi yang lebih panjang serta pre

operasi yang tingkat nyeri lebih tinggi, untuk melihat apakah terapi musik

(klasik) masih bermanfaat untuk mengurangi intensitas hebat.

Anda mungkin juga menyukai