Absen : 38
Tidak hanya merekam kisah-kisah heroik kepahlawanan, namun juga lengkap dengan
segala kemunafikkan kaum revolusioner, keloyoan, omong banyak tapi kosong dari
para pemimpin, penghianatan, dan sebenggol-benggol kisah percintaan. Dari
sepenggalan perjalanan Ara--dari pedalaman (Yogyakarta) ke daerah pendudukan
(Jakarta)--terpotret bagaimana manusia-manusia Republik memandang revolusi.
Bermula ketika Larasati mengadakan perjalanan ke Jakarta menaiki kereta api. Ia harus
berpisah dengan Kapten Oding, orang yang dicintainnya demi sebuah misi. Bertemu
dengan Ibunya di Jakarta. Dalam perjalanannya banyak bertemu dengan orang-orang
dimulai dari kakek-kakek Invalid, Pemuda yang mencurigakan, Opsir Belanda hingga
para pejuang Republik yang mengagumi kecantikan Ara. Hingga Ara memberikan
selendangnya untuk memberikan dukungan pada Pejuang tersebut. Selendang merah itu
Ia anggap sebagai perlambang semangat revolusi kaum muda.
Setibanya di Jakarta keadaan menjadi sangat sulit. Ara yang dulu seorang bintang Film
Propaganda Belanda sekarang ikut berjuang dalam Revolusi Indonesia. Sampai pada
waktunya ia dibawa untuk melihat suasana di dalam penjara. Begitu pilunya suasana di
dalam penjara tersebut, tak ada belas kasihan bagi mereka yang melawan.
Suatu hari seorang Arab datang untuk menemui Larasati. Jusman namanya. Ia meminta
Larasati untuk menjadi penyanyi di grup gambusnya. Larasati sendiri menolak ajakan
tersebut. Akibat dari penolakan tersebut, Jusman pun menahan Lasmidjah di rumahnya
yang mewah.
Setahun berlalu sejak terakhir kalinya Larasati bertemu dengan ibunya. Dalam suatu
hari perjalanannya yang tak tentu arahnya, ia bertemu dengan seorang teman lamanya,
seorang pengarang, Chaidir namanya. Chaidir sendiri beranggapan bahwa revolusi
sudah tercemar akibat ulah para pemimpin. Tak lama setelah Larasati menemui Chaidir,
Jusman memaksa Larasati untuk tinggal di rumahnya. Perjuangan revolusi Larasati
sepertinya sudah menemui jalan buntu. Ia tidak diizinkan keluar rumah oleh Jusman,
sampai-sampai pada suatu saat ia mendengar bahwa Chaidir telah meninggal. Baginya
revolusi seperti sudah tidak ada ketika mendengar kabar tersebut.
Dan perjuangan revolusi pun pada akhirnya membuahkan hasil beberapa tahun
kemudian. Awalnya Jusman ingin meminang Larasati dan membawanya pergi hijrah ke
Singapura. Namun, Ia menolak. Hingga akhirnya Jusman pergi meninggalkan Ara.
Larasati pun hidup dalam kemenangan revolusi itu bersama pria yang dicintainya yakni
Kapten Oding.
3. Latar/setting cerita:
Latar tempat: Gerbong kereta api, Stasiun Yogya, Perkemahan NICA
(Nederlands-Indies Civil Administration), Ruangan penjara, Rumah Lasmidjah,
Rumah Arab.
Latar waktu: pagi, siang, sore, malam.
Latar Suasana: menegangkan, mengharukan.
4. Sudut pandang: Orang pertama pelaku utama (ditandai dengan penggunaan kata
“aku”).
5. Penokohan/perwatakan:
Larasati/Ara: pemberani, pantang menyerah, rela berkorban, dermawan, keras
kepala.
Mardjohan: munafik, penghasut, egois.
Lasmidjah: penyabar, penuh kasih sayang, keibuan, rela berkorban, bijaksana.
Martabat: baik hati, pemberani, cerdik.
Jusman: egois, munafik, tegas, setia.
Chaidir: baik hati, rela berkorban.
Kapten Oding: baik hati, penyayang.
6. Konflik cerita: Larasati yang dulunya seorang bintang film propaganda Belanda, kini
harus menjadi bagian dari Revolusi. Dia yang mewakili kaum muda revolusioner,
harus berjuang di tengah pergolakan revolusi Indonesia setelah pascaproklamasi
dengan caranya sendiri.
7. Pesan/ amanat:
Pantang menyerah dalam mencapai tujuan.
Semangat juang yang tinggi serta tekad yang kuat dalam mempertahankan
kemerdekaan dari bangsa asing.
Emansipasi wanita, yang ditunjukkan oleh peran Larasati dalam usaha
mempertahankan kemerdekaan di era revolusi pascaproklamasi.
Rela berkorban, demi kepentingan orang banyak (masyarakat).
8. Gaya bahasa:
Hiperbola:
Curiga-curiga mata mereka yang setengah melotot berkilauan seperti bintang di
balik mendung tipis. (Hal.80)
Personifikasi:
Pohon cemara di sepanjang jalan itu menyanyi ngilu tertiup angin. Dan tajuknya
berayun-ayun seirama seperti sepasukan tawanan yang telah patah morilnya
terima komando dari musuhnya. (Hal.135)
Sarkasme:
“Buat apa? Buka semua! cepat! Anjing-anjing Soekarno suka belagak goblok.”,
perintah sersan. (Hal. 33)
Anjing! Teriak bintang film itu dalam hatinya, dia tidak pernah bisa berpikir
tanpa bawa dirinya sendiri. Dirinya sendiri yang korup itu! Korup! Itu penamaan
yang tepat. (Hal.46)
“Aku bukan kau anjing!”bisik pemimpin itu. “Aku bunuh!”. (Hal.101)
“Mampus! Kaya tikus saja mampusnya! Kau lihat!”Tapi hanya sedan terdengar
dari mulut Larasati. (Hal.102)
Dan uang itu lenyap. “Binatang! Anjing! Serigala!” ia menangis terisak-isak.
”Apa gunanya memaki? Mereka memang anjing, mereka binatang,”Lasmidjah
meneruskan. (Hal.113)
C. Analisis Unsur Ekstrinsik:
1. Sosial:
Dari balik pintu ia memerintahkan membelikan nasi rames untuk dua orang.
“Engkau seorang pemurah,” baru opsir baru itu mau memuji kebaikannya. (Hal.21)
Tamu itu makan dengan lahapnya. Larasati cenderung menduga, opsir, kau belum
makan dalam dua hari ini. Dengan cekatan dan baik hatinya, seperti biasa, ia
selipkan uang lembaran limaratus ke dalam saku tamunya, tanpa yang akhir ini
mengetahuinya. (Hal.23)
Ibunya tidak ada. Cari beras! Itu Ara tahu. Ia telah melarangnya. Tapi orang tua itu
tak sampai hati melihat anaknya lapar. (Hal. 83)
2. Budaya:
“Kami tiadalah jahat, nona. Kami mempunyai orkes gambus. Tentulah nona mau
menyanyi untuk orkes kami.” “Aku bukan penyanyi. Biarpun menyanyi juga bukan
gambus.”(Hal. 130)
3. Agama:
“Selamat aku ya Tuhan. Aku tidaklah sejahat seperti Kau sangkakan. Kau telah beri
aku tubuh molek ini, dan jadi hakku untuk mempergunakannya. Ya, Allah lewatkan
aku dengan selamat dari demarkasi. Hindarkan aku dari kecurigaan”. (Hal.15)
“Tuhan,” Larasati berdoa, “Dimanapun juga Kau selalu selamatkan aku, Kau
mudahkan perjalananku. Kau gampangkan hidupku. Terima kasih ya, Tuhanku.”
(Hal.25)
Ya Allah, benar-benarkah ini duniaku? Dunia manusia? Manusia makhluk tertinggi
ini? Dunia Tuhan yang diagungkan karena kesempurnaan penciptaan-Nya? Inikah
dunia ciptaan Allah? Bukankah ini dunia ciptaan-Nya tetapi bandit
memanfaatkannya? (Hal.46)
Ibuku jadi babu Arab! Alhamdulillah. Biarpun karena kesalahanku. (Hal.78)