Nasionalisme
Nasionalisme
sebagai landasan hidup bernegara, bermasyarakat dan berbudaya yang dipengaruhi oleh
kondisi historis dan dinamika sosio kultural yang ada di masing-masing negara.
Di Indonesia, gerakan nasionalisme mulai bangkit pada tahun 1908 yang ditandai
dengan berdirinya organisasi “Boedi Oetomo”. Hal ini serupa dengan yang ditulis oleh
Charles Wolf. Jr., yaitu: The formal nationalist movement in the Indies began in Java in 1908
with the organization of the Boedi Oetomo. Namun bentuk nasionalisme yang berkembang
pada saat itu kebanyakan masih bersifat kedaerahan kelompok, belum pada tatanan
kenegaraan.
Seperti halnya Indonesia yang merupakan negara bekas jajahan wilayah Timur bahwa
dalam hal pemikiran maupun gagasan kaum nasionalis tetap mengadopsi pemikiran Barat
dalam usaha menemukan ideologi pasca kemerdekaan, yaitu nasionalisme yang bersifat
antikolonialisme. Nasionalisme antikolonialisme memisahkan dunia materi dan dunia spirit
yang membentuk institusi dan praktik sosial masyarakat pascakolonial. Dunia materi adalah
"dunia luar" meliputi ekonomi, tata negara, serta sains dan teknologi. Dalam domain ini
superioritas Barat harus diakui dan mau tidak mau harus dipelajari dan direplikasi oleh
Negara Timur. Dunia spirit, pada sisi lain, adalah sebuah "dunia dalam" yang membawa tanda
esensial dari identitas budaya. Semakin besar kemampuan Timur mengimitasi kemampuan
Barat dalam dunia materi, semakin besar pula keharusan melestarikan perbedaan budaya
spiritnya. Di domain spiritual inilah nasionalisme masyarakat pascakolonial mengklaim
kedaulatan sepenuhnya terhadap pengaruh-pengaruh dari Barat.
Kendati demikian, dunia spirit tidaklah statis, melainkan terus mengalami
transformasi karena lewat media ini masyarakat pascakolonial dengan kreatif menghasilkan
imajinasi tentang diri mereka yang berbeda dengan apa yang telah dibentuk oleh modernitas
terhadap masyarakat Barat. Hasil dari pendaulatan dunia spiritual ini membentuk sebuah
kombinasi unik antara spiritualitas Timur dengan materialitas Barat yang mendorong
masyarakat pascakolonial memproklamasikan budaya "modern" mereka yang berbeda dari
Barat.
Dikotomi antara dunia spirit dan dunia material pada satu sisi mengikuti paradigma
Cartesian tentang terpisahnya raga dan jiwa. Namun, di sisi lain menunjukkan bahwa
penekanan dunia spirit dalam masyarakat pascakolonial adalah bentuk respons mereka
terhadap penganaktirian dunia spirit oleh peradaban Barat. Karena itu, masyarakat
pascakolonial mencoba mengambil peluang tersebut untuk membangun sebuah jati diri yang
autentik dan berakar pada apa yang telah mereka miliki jauh sebelumnya.
Selain itu, menurut kacamata keagamaan, Indonesia yang merupakan Negara dengan
penduduk mayoritas beragama Islam memiliki cara pandang tersendiri. Sebagaimana kaum
nasionalis muslim yang bergerak dan bersatu dalam ruang organisasi keislaman berupa
Sarekat Islam yang dipimpin oleh Haji Oemar Said (H.O.S) Tjokroaminoto. Pada dasarnya,
pemikiran maupun pergerakan mereka adalah mencoba mengapilkasikan pemikiran yang
bersumber pada Islam yaitu Alquran dan Hadits yang notabene menyeru pada persatuan dan
anti bercerai berai antar umat manusia. Dalam Islam, kebangsaan atau cinta tanah air adalah
merupakan sebagian dari Iman, sebagaimana doktrin hubbul wathan minal iman (cinta tanah
air merupakan bagian dari iman). Sebagai kepercayaan, Islam menentang semangat
memusuhi bangsa lain, dan sikap yang demikian ini merupakan ciri nasionalisme. Bukan
tanpa alasan mengapa Tjokroaminoto maupun nasionalis muslim lain berkeyakinan dan
berprinsip demikian.
Bhinneka Tunggal Ika seperti kita pahami sebagai motto Negara, yang diangkat dari
penggalan kitab Sutasoma karya besar Mpu Tantular pada jaman Kerajaan Majapahit (abad
14) secara harfiah diartikan sebagai bercerai berai tetapi satu (berbeda-beda tetapi tetap satu
jua). Motto ini digunakan sebagai ilustrasi dari jati diri bangsa Indonesia yang secara natural,
dan sosial-kultural dibangun diatas keanekaragaman
Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan bangsa yang tercantum dan menjadi bagian
dari lambang negara Indonesia, yaitu Garuda Pancasila. Sebagai semboyan bangsa, artinya
Bhinneka Tunggal Ika adalah pembentuk karakter dan jati diri bangsa. Bhinneka Tunggal Ika
sebagai pembentuk karakter dan jati diri bangsa ini tak lepas dari campur tangan para pendiri
bangsa yang mengerti benar bahwa Indonesia yang pluralistik memiliki kebutuhan akan
sebuah unsur pengikat dan jati diri bersama. Bhinneka Tunggal Ika pada dasarnya merupakan
gambaran dari kesatuan geopolitik dan geobudaya di Indonesia, yang artinya terdapat
keberagaman dalam agama, ide, ideologis, suku bangsa dan bahasa
Kebhinekaan Indonesia itu bukan sekedar mitos, tetapi realita yang ada di depan mata
kita. Harus kita sadari bahwa pola pikir dan budaya orang Jawa itu berbeda dengan orang
Minang, Papua, Dayak, Sunda dan lainnya. Elite pemimpin yang berasal dari kota-kota besar
dan metropolitan bisa jadi memandang Indonesia secara global akan tetapi elite pemimpin
nasional dari budaya lokal tertentu memandang Indonesia berdasarkan jiwa, perasaan dan
kebiasaan lokalnya. Ini saja menunjukkan kalau cara pandang kita tentang Indonesia berbeda.
Jadi tanpa kemauan untuk menerima dan menghargai kebhinekaan maka sulit untuk
mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa. Apa yang dilakukan oleh pendahulu bangsa ini
dengan membangun kesadaran kebangsaan atau nasionalisme merupakan upaya untuk
menjaga loyalitas dan pengabdian terhadap bangsa.
Selama ini sifat nasionalisme kita kurang operasional atau hanya berhenti pada tataran
konsep dan slogan politik. Nasionalisme bisa berfungsi sebagai pemersatu beragam suku,
tetapi perlu secara operasional sehingga mampu memenuhi kebutuhan objektif setiap warga
dalam suatu negara-bangsa. Tradisi dari suatu bangsa yang gagal memenuhi fungsi
pemenuhan kebutuhan hidup objektif akan kehilangan peran sebagai peneguh nasionalisme.
Saat ini diperlukan tafsir baru nasionalisme sebagai kesadaran kolektif di tengah pola
kehidupan baru yang mengglobal dan terbuka. Batas-batas fisik negara-bangsa yang terus
mencair menyebabkan kesatuan negara kepulauan seperti Indonesia sangat rentan terhadap
serapan budaya global yang tidak seluruhnya sesuai tradisi negeri ini. Disamping itu realisasi
otonomi daerah yang kurang tepat akan memperlemah nilai dan kesadaran kolektif
kebangsaan di bawah payung nasionalisme.
Untuk itu integrasi nasional bangsa Indonesia pun harus diwujudkan di tengah
masyarakat Indonesia yang majemuk karena masyarakat yang majemuk merupakan salah satu
potensi sumber konflik yang menyebabkan disintegrasi bangsa. Agar identitas bangsa
Indonesia di mata dunia terkenal dengan bangsa yang majemuk tetapi satu dalam
keanekaragaman (suku, bahasa, agama, dll, yang berbeda-beda) semboyan Bhinneka Tunggal
Ika harus diwujudkan.