Anda di halaman 1dari 6

Nama : Muhammad Iqbal Maulana

NIM : 197055001
Mata Kuliah : Konservasi Flora dan Fauna
Dosen : Dr. Alfan Gunawan Ahmad, S.Hut, M.Si

1. Dalam rangka memenuhi kebutuhan listrik masyarakat, PT PLN melakukan


pengembangan instalasi jaringan listrik Saluran Udara Tegangan Tinggi
(SUTT) 150 KV yang melintasi kawasan hutan konservasi Taman Nasional
Gunung Leuser (TNGL), yang di beberapa titik lokasi merupakan habitat
orangutan. Bagaimana pendapat Anda terkait dengan permasalahan tersebut?
Berikan penjelasan secara ilmiah berdasarkan regulasi dan data dari berbagai
sumber pustaka ilmiah!

Tenaga listrik merupakan sumber energi yang sangat penting bagi


kehidupan manusia. Namun demikian, dalam pembangunannya juga
berdampak pada hutan, termasuk hutan tersebut mempunyai banyak potensi
dan berstatus sebagai hutan konservasi. Menanggapi kasus di atas saya tidak
setuju pembangunan SUTT ini dilakukan. Ada beberapa dampak yang yang
terjadi apabila pengembangan instalasi jaringan listrik SUTT dilakukan
melintasi kawasan hutan konservasi Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL)
yaitu: populasi endemik flora dan fauna, tempat bersarang satwa liar, spesies
yang terancam punah dan luas area hutan (Gunawan, 2009). Selain itu juga,
TNGL dianggap sebagai rumah terakhir bagi populasi gajah Sumatera,
orangutan Sumatera, harimau Sumatera, dan badak Sumatera dan merupakan
tempat terakhir di muka bumi di mana dapat ditemukan ke empat spesies ini di
habitat yang sama (OIC, 2009). Apalagi kini status orangutan menurut (IUCN)
adalah critically endangered (CR) atau spesies yang terancam punah dengan
resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam liar (Singleton et al., 2017).
Menurut Wantouw dan Mandagi (2014), pengembangan SUTT berpotensi
menimbulkan beberapa dampak terhadap lingkungan di sekitarnya. Potensi-
potensi dampak tersebut adalah potensi dampak yang muncul pada tahap pra
konstruksi, konstruksi dan operasi. Ancaman pada tahap pra konstruksi dan
kontruksi, menyebabkan pembukaan area hutan karena adanya pembukaan
jalur, hilangnya keanekaragaman jenis dan berpotensi terjadinya fragmentasi
habitat.
Pembukaan hutan ini juga beresiko munculnya perambahan ilegal oleh
pihak yang tidak bertanggung jawab. Mengingat perambahan hutan
merupakan permasalahan utama dari dulu hingga sekarang yang masih
dihadapi dalam pengelolaan TNGL. Menurut hasil penafsiran Citra Landsat
tahun 2002 luas kerusakan kawasan hutan TNGL di wilayah Kabupaten
Langkat seluas 43.623 ha termasuk kawasan bukan berupa hutan seluas
20.688 ha. Menurut pantauan Yayasan Leuser Internasional (YLI) tahun 2002
menunjukkan kerusakan seluas 22.000 ha, tanpa menyebutkan luas kawasan
tak berhutan (Subhan, 2010). Sebagian besar kerusakan ini akibat dari
perambahan.
Ancaman pada tahap operasi, sebagai contoh kasus yaitu primata berjenis
Macaca fascicularis di daerah DTA Danau Toba, sering sekali menggunakan
kontruksi listrik sebagai sarana beristirahat ataupun untuk melintas
(bergelantungan) dan tak jarang primata tersebut mati karena terkena setruman
listrik. Begitu pula di TNGL, apabila pengembangan instalasi jaringan listrik
SUTT dilakukan akan sangat beresiko bagi satwa arboreal seperti orangutan,
monyet dan lainnya. Selain itu juga, dalam jangka panjang radiasi yang
ditimbulkan juga berdampak dan membahayakan pada satwa dan flora
disekitarnya.
Sebaiknya pembangunan tenaga listrik ini perlu dilakukan peninjauan
ulang dan dilakukan kajian ilmiah yang lebih mendalam terkait dampak yang
ditimbulkan baik jangka pendek maupun panjang. Lokasi titik pembangunan
SUTT diusahakan tidak berada di hutan, terlebih lagi berstatus sebagai hutan
konservasi yang merupakan habitat spesies-spesies kunci. Mengingat sektor
pembangunan tidak bisa dilakukan dari satu sisi saja namun juga
mempertimbangkan kaidah konservasi.

Sumber :
Gunawan, F. 2009. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press.
OIC. 2009. Buku Saku Menuju Taman Nasional Gunung Leuser. Diunduh dari
: http://www.orangutansumaters.org.
Singleton, I., Wich , S.A., Nowak, M., Usher, G., Utami-Atmoko, S.S. 2017.
Pongo abelii. The IUCN Red List of Threatened Species 2017.
Subhan. 2010. Analisis Kerusakan Hutan di Kawasan Hutan Taman Nasional
Gunung Leuser Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah VI Besitang.
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara. Medan.
Wantouw, F., Mandagi, R. J. 2014. Manajemen Resiko Proyek Pembangunan
Saluran Udara Tegangan Tinggi (Sutt) 150 Kv Lopana-teling. Jurnal
Ilmiah Media Engineering, 4(4).
2. Saat ini konservasi terhadap flora dan fauna langka sudah sangat mendesak
dilakukan baik di dalam kawasan konservasi maupun di luar kawasan
konservasi. Uraikan dengan jelas prosedur konservasi flora atau fauna di luar
kawasan konservasi! Boleh mengambil satu contoh kasus konservasi flora atau
fauna tertentu.
Salah satu strategi konservasi flora dan fauna di luar kawasan konservasi
adalah Kawasan Ekosistem Esensial (KEE). Kawasan Ekosistem Esensial
(KEE) merupakan kategori baru ‘kawasan’ konservasi di Indonesia, yang
membuka harapan baru bagi perlindungan hutan yang tersisa di luar kawasan
konservasi. Ini merupakan inisiasi penting, memperhatikan sebagian
keanekaragaman hayati di Indonesia berada di luar kawasan hutan/konservasi.
Salah satu contoh KEE adalah di Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan
Barat. Beberapa unit manajemen (UM) sawit berkomitmen untuk
mengalokasikan Areal Bernilai Konservasi Tinggi (ABKT) sebagai KEE pada
tahun 2017 (Yayasan Tropenbos Indonesia, 2019).
Menanggapi soal no. 2 ini saya juga mengambil satu contoh kasus yakni
konservasi orangutan Sumatera di luar kawasan konservasi. Sebagaimana kita
ketahui satwa liar termasuk orangutan hidup di habitat alaminya tanpa
memperdulikan status apakah kawasan itu termasuk kawasan konservasi atau
tidak. Kawasan konservasi ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan yang
dilindungi karena memiliki keunikan dan kekhasan serta peranan yang penting
bagi lingkungan di sekitarnya agar kondisinya tetap lestari. Di luar dari pada
itu, masih ada kawasan yang berpotensi dan menjadi habitat satwa-satwa
penting termasuk orangutan, seperti pada areal pemanfaatan hutan (HPH),
hutan tanaman indutri (HTI), areal perkebunan, dan areal pertambangan.
Perubahan yang terjadi pada populasi dan habitat orangutan saat ini
berjalan dengan cepat, namun sangat disayangkan, perubahan yang cepat ini
cenderung kearah negatif. Berdasarkan hasil analisis tearkhir yang dilakukan
terhadap populasi orangutan didapatkan bahwa populasi orangutan yang
berada di kawasan konservasi hanya 22% sedangkan sebagian besar (78%)
berada di luar kawasan konservasi, baik di kawasan hutan produksi maupun di
areal penggunaan lain (Wich et al., 2012). Melihat kenyataan ini maka
disadari bahwa pengelolaan populasi orangutan in situ di luar kawasan
konservasi menjadi sangat penting.
Dalam operasinya, prosedur konservasi orangutan di luar kawasan
konservasi dimulai dari identifikasi habitat orangutan. Identifikasi ini
dilakukan dengan melakukan koordinasi dengan pihak penanggung jawab
(dalam hal ini BKSDA), lembaga swadaya masyarakat, masyarakat atau pihak
berkaitan lainnya yang mengetahui informasi kawasan yang berpotensi
dan/menjadi habitat orangutan. Selanjutnya dilakukan ground check atau
pengecekan lapangan untuk memastikan kawasan potensial sebagai habitat
orangutan. Dan melakukan analisis potensi konflik orangutan-manusia dengan
menggunakan tenaga ahli dan melibatkan para pihak yang berkaitan. Tahap
dalam analisis potensi konflik orangutan-manusia meliputi studi populasi,
distribusi dan prilaku orangutan, analisis spasial (memetakan kawasan habitat
orangutan), analisis sosial (interaksi masyarakat dengan orangutan) dan
analisis dampak dan keterancaman (FORINA, 2015).
Sumber :

FORINA. 2015. Prosedur Konservasi in situ Orangutan di Luar Kawasan


Konservasi. Forum Orangutan Indonesia (FORINA).

Wich, S. A., Gaveau, D., Abram, N., Ancrenaz, M., Baccini, A., Brend, S., &
Goossens, B. (2012). Understanding the impacts of land-use policies on a
threatened species: is there a future for the Bornean orang-utan?. PLoS
One, 7(11), e49142.
Yayasan Tropenbos Indonesia. 2019. Konservasi di Luar Kawasan Konservasi
(KEE): Pembelajaran dari Kalimantan Barat. No 1, Mei 2019.

3. Kegiatan pemanfaatan kayu di hutan produksi selama berpuluh tahun secara


eksploitatif telah berdampak pada penurunan atau bahkan menghilangnya
jenis-jenis flora dan fauna tertentu. Uraikan dengan jelas strategi konservasi
flora dan fauna di dalam kawasan hutan produksi! Berikan penjelasan secara
ilmiah berdasarkan regulasi dan data dari berbagai pustaka ilmiah.

Pemanfaatan kawasan pada hutan produksi dapat berupa : pemanfaatan


kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan dan pemungutan hasil
hutan kayu dan non kayu. Semua hutan, baik hutan produksi maupun hutan
lindung/kawasan konservasi harus mampu mengampu fungsi-fungsi ekologi
dan lingkungan. Di hutan produksi, kelola lingkungan disinergikan dengan
rencana produksi. Selain itu, akan dilakukan penanaman jenis-jenis yang
mempunyai fungsi konservasi di hutan produksi. Salah satu konsep strategi
konservasi flora dan fauna di dalam kawasan hutan produksi adalah konsesi
konservasi.
Konsesi konservasi atau conservation concession merupakan satu konsep
baru dalam pengelolaan hutan. Konsep ini mendekatkan antara perlindungan
sumber daya hutan dengan pembangunan (Rice, 2001; Rice, 2003). Konsesi
konservasi berbeda dengan konsesi logging. Jika dalam konsesi logging,
pemegang konsesi membayar pemerintah untuk haknya mengambil kayu dari
hutan, maka dalam konsesi konservasi, pemegang konsesi membayar
pemerintah untuk haknya melindungi hutan (CIFOR, 2001).
Dasar pendekatannya adalah bagaimana menciptakan mekanisme berbasis
pasar untuk konservasi hutan (Pagiola et al., 2002). Melalui mekanisme ini
diharapkan hutan terselamatkan di satu sisi, dan masyarakat tetap
mendapatkan keuntungan secara ekonomi dari hutan tersebut melalui
penjualan jasanya di sisi lain. Melalui konsesi konservasi, aspek ekologi,
ekonomi, dan sosial berjalan bersama dalam satu pengelolaan hutan. Konsep
konsesi konservasi coba diterapkan oleh Pemerintah Indonesia melalui
kebijakan restorasi ekosistem di hutan produksi. Suatu kebijakan yang muncul
dari keprihatinan para kalangan pecinta lingkungan atas kondisi hutan
Indonesia yang terus mengalami degradasi dan deforestasi.
Kebijakan restorasi ekosistem merupakan terobosan baru dalam sejarah
kehutanan Indonesia, dengan memungkinkan hutan produksi tidak ditebang
dalam jangka waktu tertentu. Melalui restorasi ekosistem, hutan produksi di
hutan alam diharapkan akan berfungsi kembali sebagai penyeimbang
ekosistem, baik biotik maupun abiotik. Selain itu, juga akan memberikan
kontribusi dalam upaya menyelamatkan keragaman hayati dan mitigasi
perubahan iklim. Pelaksanaan kegiatan restorasi ekosistem dilakukan melalui
mekanisme dan prosedur pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu-Restorasi Ekosistem (IUPHHKRE).
Kebijakan pemanfaatan hutan produksi melalui restorasi ekosistem ini
telah mendorong perubahan cara pandang terhadap hutan dan pengelolaannya.
Hutan yang semula dianggap sebagai pepohonan dan penghasil kayu semata,
kini diperhitungkan sebagai satu kesatuan ekosistem dengan hasil hutan
beragam sesuai tipe ekosistem dan karakteristiknya. Berdasarkan Keputusan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.
2382/MenhutVI/BRPUK/2015 tanggal 29 Mei 2015, luas areal kawasan hutan
produksi yang dialokasikan untuk UPHHK-RE adalah 1.791.680 ha, dengan
rincian sebagai berikut:
a. Di wilayah Sumatera seluas 312.210 ha;
b. Di wilayah Nusa Tenggara seluas 103.960 ha;
c. Di wilayah Kalimantan seluas 480.310 ha;
d. Di wilayah Sulawesi seluas 379.375 ha;
e. Di wilayah Maluku seluas 245.235 ha; dan
f. Di wilayah Papua seluas 270.590 ha.
(Qodriyatun, 2016).

Sumber :

CIFOR (Center for International Forestry Research). 2003. “Konsesi untuk


Konservasi (Izin Usaha Konservasi Hutan)”. Warta Kebijakan. No. 12.
Juni 2003. Bogor: CIFOR.
Qodriyatun, S. N. (2016). Konsesi Konservasi Melalui Kebijakan Restorasi
Ekosistem di Hutan Produksi. Jurnal Aspirasi, 7(1), 49-62.
Rice, Richard. 2001. Conservation Concessions – Concept Description. Center
for Applied Biodiversity Science, September 2001.
Rice, Richard. 2003. “Conservation Consessions – Concept Description”.
Paper presented at Vth Work Parks Congress: Sustainable Finance Stream.
September 2003. Durban, South Africa.
4. Setujukah anda jika Sumatera Utara ditetapkan sebagai Provinsi Konservasi?
Berikan penjelasan secara ilmiah berdasarkan regulasi dan data dari berbagai
pustaka ilmiah.

Baru-baru ini dunia konservasi Indonesia dihebohkan oleh Papua Barat


yang menyebut diri sebagai Provinsi Berkelanjutan yang mengedepankan
aspek konservasi dalam pembangunannya. Legalitas tersebut tertuang dalam
Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang rancangannya diluncurkan dalam
pembukaan ICBE ini. Bagian penting dari kebijakan baru ini termasuk
pemberdayaan orang Papua melalui perlindungan hak-hak sumber daya alam
dan penyediaan pembangunan yang adil dan berkelanjutan. Merupakan rumah
bagi 870.000 orang, 80% penduduk Papua bergantung pada alam untuk
penghidupan mereka.
Menanggapi soal No. 4 saya kurang setuju jika Sumatera Utara ditetapkan
sebagai Provinsi Konservasi. Bukan tidak mungkin tetapi sangat sulit jika
Sumatera Utara ditetapkan sebagai Provinsi Konservasi. Mengingat
banyaknya permasalahan yang dihadapi di Sumatera Utara terutama dalam
konservasi sumber daya alam seperti alih fungsi lahan, ilegal logging, dan
pembangunan yang tidak berdasarkan izin lingkungan yang benar.
Tidak seperti di Papua dengan 90% tutupan hutannya, pada tahun 2013
Sumatera Utara tercatat memiliki hutan alam seluas 1,73 juta Ha. Pada tahun
2016 hutan alam yang tersisa di provinsi ini hanya 1,64 juta ha, yaitu 23% dari
luas daratan provinsi ini. Umumnya hutan alam yang tersisa di Sumatera Utara
ini adalah hutan alam yang berada di dalam kawasan konservasi.
Kecondongan pembangunan daerah Sumatera Utara juga lebih kepada sektor
pertanian dan perkebunan. Pada tahun 2016 tercatat sekitar 24% dari daratan
provinsi ini merupakan perkebunan kelapa sawit (FWI, 2018).
Tidak dipungkiri bahwa Sumatera utara memiliki potensi sumberdaya
alam yang besar. Merupakan habitat dari berbagai spesies penting mulai dari
tipe penggunungan dataran rendah hingga penggunungan dataran tinggi.
Terdapat beberapa jenis tipe ekosistem hutan dengan flora dan fauna yang
berbeda-beda yaitu pegunungan dataran tinggi, pegunungan dataran rendah,
gambut, pantai, mangrove dan rawa. Namun demikian, dalam pengelolaannya
masih belum optimal, masih dijumpai tumpang tindih antar pemangku
kepentingan baik lokal maupun daerah.

Sumber :

FWI, 2018. Deforestrasi tanpa henti (Potret deforestasi di Sumatera Utara,


Kalimantan Timur dan Maluku utara). Forest Watch Indonesia. Bogor.

Christopel Paino. 2018. ICBE 2018: Semangat Papua Barat Sebagai Provinsi
Konservasi. Diakses dari https://www.mongabay.co.id/2018/10/09/icbe-
2018-semangat-papua-barat-sebagai-provinsi-konservasi.

Anda mungkin juga menyukai