Anda di halaman 1dari 40

BAB 1

Pendahuluan
1.1 Latar Belakang

Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan air kencing.


Gangguan ini lebih sering terjadi pada wanita yang pernah melahirkan daripada yang
belum pernah melahirkan (nulipara). Diduga disebabkan oleh perubahan otot dan
fasia di dasar panggul. Kebanyakan penderita inkontinensia telah menderita desensus
dinding depan vagina disertai sisto-uretrokel. Tetapi kadang-kadang dijumpai
penderita dengan prolapsus total uterus dan vagina dengan kontinensia urine yang
baik.
Dalam proses berkemih secara normal, seluruh komponen sistem saluran
kemih bawah yaitu detrusor, leher buli-buli dan sfingter uretra eksterna berfungsi
secara terkordinasi dalam proses pengosongan maupun pengisian urin dalam buli-
buli. Secara fisiologis dalam setiap proses miksi diharapkan empat syarat berkemih
yang normal terpenuhi, yaitu kapasitas buli-buli yang adekuat, pengosongan buli-buli
yang sempurna, proses pengosongan berlangsung di bawah kontrol yang baik serta
setiap pengisian dan pengosongan buli-buli tidak berakibat buruk terhadap saluran
kemih bagian atas dan ginjal. Bila salah satu atau beberapa aspek tersebut mengalami
kelainan, maka dapat timbul gangguan miksi yang disebut inkontinensia urin
Angka kejadian bervariasi, karena banyak yang tidak dilaporkan dan
diobati. Di Amerika Serikat, diperkirakan sekitar 10-12 juta orang dewasa mengalami
gangguan ini. Gangguan ini bisa mengenai wanita segala usia. Prevalensi dan berat
gangguan meningkat dengan bertambahnnya umur dan paritas. Pada usia 15 tahun
atau lebih didapatkan kejadian 10%, sedang pada usia 35-65 tahun mencapai 12%.
Prevalansi meningkat sampai 16% pada wanita usia lebih dari 65 tahun. Pada
nulipara didapatkan kejadian 5%, pada wanita dengan anak satu mencapai 10% dan
meningkat sampai 20% pada wanita dengan 5 anak.
Pada wanita umumnya inkontinensia merupakan inkontinensia stres,
artinya keluarnya urine semata-mata karena batuk, bersin dan segala gerakan lain dan
jarang ditemukan adanya inkontinensia desakan, dimana didapatkan keinginan miksi
mendadak. Keinginan ini demikian mendesaknya sehingga sebelum mencapai kamar
kecil penderita telah membasahkan celananya. Jenis inkontinensia ini dikenal karena
gangguan neuropatik pada kandung kemih. Sistitis yang sering kambuh, juga
kelainan anatomik yang dianggap sebagai penyebab inkontinensia stres, dapat
menyebabkan inkontinensia desakan. Sering didapati inkontinensia stres dan desakan
secara bersamaan.

1.2.1 TujuanUmum

Setelah proses pembelajaran mata kuliah Keperawatan Perkemihan I diharapkan


mahasiswa semester 6 dapat mengerti dan memahami konsep teori dan asuhan
keperawatan pada klien dengan Neurogenic Bladder dengan menggunakan
pendekatan proses keperawatan.

1.2.2 TujuanKhusus

1. Untuk mengetahui definisi dari Inkontinensia urine


2. Untuk mengetahui Klasifikasi dari Inkontinensia urine

1.2 Manfaat

Penulisan makalah ini sangat diharapkan bermanfaat bagi seluruh pembaca dan
penulis untuk mengetahui dan menambah wawasan tentang Konsep Teori dan
Asuhan Keperawatan, terutama Asuhan Keperawatan pada klien dengan Neurogenic
Bladder.
BAB 2
Tinjauan Pustaka

2.1 Anatomi dan Fisiologis Sistem Urinaria

Sistem urinaria adalah suatu system tempat terjadinya proses penyaringan


darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh dan
menyerap zat-zat yang masih dipergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang tidak
dipergunakan oleh tubuh larut dalam air dan dikeluarkan berupa urine (air kemih).

1. Ginjal

Ginjal suatu kelenjar yang terletak di bagian belakang kavum abdominalis di


belakang peritonium pada kedua sisi vertebra lumbalis III, melekat langsung pada
dinding belakang abdomen. Bentuk ginjal seperti biji kacangm jumlahnya ada dua
buah kiri dan kanan, ginjal kiri lebih besar dari ginjal kanan dan pada umumnya
ginjal laki-laki lebih panjang dari ginjal wanita.
Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula renalis yang
terdiri dari jaringan fibrus berwarna ungu tua. Lapisan luar terdapat lapisan korteks
(substansia kortekalis), dan lapisan sebelah dalam bagian medulla (substansia
medularis) berbentuk kerucut yang disebut renal pyramid. Puncak kerucut tadi
menghadap kaliks yang terdiri dari lubang-lubang kecil disebut papilla renalis.
Masing-masing pyramid saling dilapisi oleh kolumna renalis, jumlah renalis 15-16
buah.
Garis-garis yang terlihat pada pyramid di sebut tubulus nefron yang
merupakan bagian terkecil dari ginjal yang terdiri dari glomerolus, tubulus proksimal
(tubulus kontorti satu), ansa Henie, tubulus distal (tubuli kontorti dua) dan tubulus
urinarius (papilla vateri).
Pada setiap ginjal diperkirakan ada 1.000.000 nefron, selama 24 jam dapat
menyaring darah 170 liter. Arteri renalis membawa darah murni dari aorta ke ginjal,
lubang-lubang yang terdapat pada pyramid renal masing-masing membentuk simpul
dan kapiler satu badan malfigi yang disebut glomerolus. Pembutuh aferen yang
bercabang mebentuk kapiler menjadi vena renalis yang membawa darah drai ginjal
ke vena kava inferior.
Fungsi ginjal adalah sebagai berikut :
a. Mengatur volume air (cairan) dalam tubuh. Kelebihan air dalam tubuh akan
diekskresikan oleh ginjal sebagai urine (kemih) yang encer dalam jumlah besar,
kekurangan air (kelebihan keringat) menyebabkan urine yang diekskresikan
berkurang dan konsentrasinya lebih pekat sehingga susunan dan volume cairan
tubuuh dapat dipertahankan relative normal.
b. Mengatur keseimbangan osmotic dan mempertahankan keseimbangan ion yang
optimal dalam plasma (keseimbangan elektrolit). Bila terjadi pemasukan/pengeluaran
yang abnormal ion-ion akibat pemasukan garam yang berlebihan/penyakit perdarahan
(diare, muntah) ginjal akan meningkatkan ekskresi ion-ion yang penting (mis na, K,
Cl, Ca dan fosfat).
c. Mengatur keseimbangan asam basa cairan tubuh bergantung pada apa yang
dimakan, campuran makanan menghasilkan urine yang bersifat agak asam, pH
kurang dari 6 ini disebabkan hasil akhir metabolism protein. Apabila banyak makan
sayur-sayuran, urine akan bersifat basa. pH urine bervariasi antara 4,8-8,2. Ginjal
menyekresi urine sesuai dengan perubahan pH darah.
d. Ekskresi sisa hasil metabolism (ureum, asam urat, kreatinin) zat-zat toksik,
obat-obatan, hasil metabolism hemoglobin dan bahan kimia asing (peptisida).
e. Fungsi hormonal dan metabolism. Ginjal menyekresi hormone rennin yang
mempunyai perananpenting mengatur tekanan darah (system rennin angiotensin
aldesteron) membentuk eritropoiesis mempunyai peranan penting untuk memproses
pembentukan sel darah merah (eritropoiesis). Di samping itu ginjal juga membentuk
hormone dihidroksi kolekalsiferol (vitamin D aktif) yang diperlukan untuk absorbsi
ion kalsium di usus.

Proses pembentukan urin


Glomerolus berfungsi sebagai ultrafiltrasi pada simpai Bowman, berfungsi
untuk menampung hasil filtrasi dari glomerolus. Pada tubulus ginjal akan terjadi
penyerapan kembali zat-zat yang sudah disaring pada glomerolus, sisa cairan akan
diteruskan ke piala ginjal terus berlanjut ke ureter.
Urine berasal dari darah yang dibawa arteri renalis masuk ke dalam ginjal,
darah ini terdiri dari bagian yang padat yaitu sel darah dan bagian plasma darah. Ada
tiga tahap pembentukan urine :

a. Proses filtrasi

Terjadi di glomerolus, proses ini terjadi karena permukaan aferen lebih besar
dari permukaan eferen maka terjadi penyerapan darah. Sedangkan sebagian yang
tersaring adalah bagian cairan darah kecuali protein. Cairan yang tersaring ditampung
oleh simpai Bowman yang terjadi dari glukosa, air, natrium, klorida, sulfat,
bikarbonat dll, yang diteruskan ke tubulus ginjal.

b. Proses reabsopsi

Pada proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar glukosa, natrium, klorida,
fosfat, dan ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara pasif yang dikenal dengan
obligator reabsorpsi terjadi pada tubulus atas. Sedangkan pada tubulus ginjal bagian
bawah terjadi kembali penyerapan natrium dan ion bikarbonat. Bila diperlukan akan
diserap kembali ke dalam tubulus bagian bawah. Penyerapannya terjadi secara aktif
dikenal dengan reabsorpsi fakultatif dan sisanya dialirkan pada papilla renalis.

c. Proses sekresi

Sisanya penyerapan urine kembali yang terjadi pada tubulus dan diteruskan ke piala
ginjal selanjutnya diteruskan ke ureter masuk ke vesika urinaria.

2. Ureter

Terdiri dari 2 saluran pipa, masing-masing bersambung dari ginjal ke kandung


kemih (vesika urinaria), panjangnya kurang lebih 25-30 cm, dengan penampang
kurang lebih 0,5 cm. Ureter sebagian terletak dalam rongga abdomen dan sebagian
terletak dalam rongga pelvis.
Lapisan dinding ureter terdiri dari:
a. Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa)
b. Lapisan tengah lapisan otot polos
c. lapisan sebelah dalam lapisa mukosa
Lapisan dinding ureter menimbulkan gerakan-gerakan peristaltic tiap 5 menit
sekali yang akan mendorong air kemih masuk ke dalam kandung kemih (vesika
urinaria). Gerakan peristaltic mendorong urine melalui ureter yang diekskresikan oleh
ginjal dan disemprotkan dalam bentuk pancaran, melalui osteum uretralis masuk ke
dalam kandung kemih.
Ureter berjalan hampir vertikal ke bawah sepanjang fasia muskulus psoas dan
dilapisi oleh peritoneum. Penyempitan ureter terjadi pada tempat ureter
meninggalkan pelvis renalis, pembuluh darah, saraf, dan pembuluh limfe berasal dari
pembuluh sekitarnya mempunyai saraf sensorik.
Pars abdominalis ureter dalam kavum abdomen ureter terletak di belakang
peritonium sebelah media anterior m. psoas mayor dan ditutupi oleh fasia subserosa.
Vasa spermatika/ovarika interna menyilang ureter secar oblique, selanjutnya ureter
akan mencapai kavum pelvis dan menyilang arteri iliaka ekterna.
Ureter kanan terletak pada pars desendens duodenum. Sewaktu tururn ke bawah
terdapat di kanan bawah dan disilang oleh kolon dekstra dan vosa iliaka iliokolika,
dekatt apertum pelvis akan dilewati oleh bagian bawah mesenterium dan bagian akhir
ilium. Ureter kiri disilang oleh vasa koplika sisintra dekat aperture pelvis superior dan
berjalan di belakang kolon sigmoid dan mesenterium.
Pars pelvis ureter berjalan pada bagian dinding lateral dari kavum pelvis
sepanjang tepi anterior dari insisura iskhiadika mayor dan tertutup oleh peritoneum.
Ureter dapat ditemukan di depan arteri hipogastrika bagian dalam nervus obturatoris
arteri vasialia anterior dan arteri hemoroidalis media. Pada bagian bawah insisura
iskhiadika mayor, ureter agak miring ke bagian medial untuk mencapai sudut lateral
dari vesika urinaria.
Ureter pada pria terdapat di dalam visura seminalis atas dan disilang oleh duktus
deferens dan dikelilingi oleh pleksus vesikalis. Selanjutnya ureter berjalan obloque
sepanjang 2 cm di dalam dinding vesika urinaria pada sudut lateral dari trigonum
vesika. Sewaktu menembus vesika urinaria, dinding atas dan dinding bawah ureter
akan tertutup dan pada waktu vesika urinaria penuh akan membentuk katup (valvula)
dan mencegah pengembalian dari vesika urinaria.
Ureter pada wanita terdapat di belakang fossa ovarika dan berjalan ke bagian
medial dan ke depan bagian lateralis serviks uteri bagian atas, vagina untuk mencapai
fundus vesika urinaria. Dalam perjalanannya, ureter didampingi oleh arteri uterine
sepanjang 2,5 cm dan selanjutnya arteri ini menyilang ureter dan menuju ke atas di
antara lapisan ligamentum. Ureter mempunyai 2 cm dari sisi serviks uteri. Ada tiga
tempat yang penting dari ureter yang mudah terjadi penyumbatan yaitu sambungan
ureter pelvis diameter 2 mm, penyilangan vosa iliaka diameter 4 mm dan pada saat
masuk ke vesika urinaria yang berdiameter 1-5 mm.

3. Vesika Urinaria

Vesika urinaria (kandung kemih) dapat mengembang dan mengempis seperti


balon karet, terletak di belakang simfisis pubis di dalam rongga panggul. Bentuk
kandung kemih seperti kerucut yang dikelilingi oleh otot yang kuat, berhubungan
dengan ligamentum vesika umbilicus medius. Bagian vesika urinaria terdiri dari:
1) Fundus yaitu, bagian yang menghadap kea rah belakang dan bawah, bagian ini
terpisah dari rectum oleh spatium rectovesikale yang terisi oleh jaringan ikat duktus
deferen, vesika seminalis, dan prostat.
2) Korpus, yaitu bagian antara verteks dan fundus.
3) Verteks, bagian yang memancung ke arah muka dan berhubungan dengan
ligamentum vesika umbilikalis.
Dinding kandung kemih terdiri dari lapisan sebelah luar (peritonium), tunika
muskularis (lapisan otot), tunika submukosa, dan lapisa mukosa (lapisan bagian
dalam). Pembuluh limfe vesika urinaria mengalirkan cairan limfe ke dalam nodi
limfatik iliaka interna dan eksterna.

4. Uretra

a. Uretra pria
Pada laki-laki ureta berjalan berkelok-kelok melalui tengah-tengah prostat kemudian
menembus lapisan fibrosa yang menembus tulang pubis ke bagian penis panjangnya
kurang lebih 20 cm. Uretra pada laki-laki terdiri dari:
1. Uretra prostatia
2. Uretra membranosa
3. Uretra kavernosa
Lapisan uretra laki-laki terdiri dari lapisan mukosa (lapisan paling
dalam), dan lapisan submukosa. Uretra pria mulai dari orifisium uretra interna di
dalam vesika urinaria sampai orifisium uretra ekterna. Pada penis panjangnya 17,5-20
cm yang terdiri dari bagian-bagian berikut :

a) Uretra prostatika

Uretra prostatika merupakan saluran terlebar, panjangnya 3 cm,


berjalan hamper vertikulum melalui glandula prostat, mulai dari basis sampai ke
apeks dan lebih dekat ke permukaan anterior. Bentuk salurannya seperti kumparan
yang bagian tengahnya lebih luas dan makin ke bawah makin dangkal kemudian
bergabung dengan pars membrane. Potongan transversal saluran ini menghadap ke
depan.
Pada dinding posterior terdapat Krista uretralis yang berbentuk kulit
yang dibentuk oleh penonjolan membrane mukosa dan jaringan di bawahnya dengan
panjang 15-17 cm dan tinggi 3 cm. pada kiri dan kanan Krista uretralis terdapat sinus
prostatikus yang ditembus oleh orifisium duktus prostatikus dari lobus lateralis
glandula prostate dan duktus dari lobus medial glandula prostate bermuara di
belakang Krista uretralis.
Bagian depan dari Krista uretralis terdapat tonjolan yang disebut
kolikus seminalis. Pada orifisium utrikulus, prostatikus berbentuk kantong sepanjang
6 cm yang berjalan ke atas dan ke belakang di dalam substansia prostate di belakang
lobus medial. Dindingnya terdiri dari jaringan ikat, lapisan muskularis dan membrane
mukosa. Beberapa glandula kecil terbuka ke permukaan dalam.
b) Uretra pars membranasea

Uretra pars membranasea ini merupakan saluran yang paling pendek


dan paling dangkal, berjalan mengarah ke bawah dank e depan di antara apeks
glandula prostate dan bulbus uretra. Pars membranasea menembus diafragma
urogenitalis, panjngnya kira-kira 2,5 cm, di bawah belakang simfisis pubis diliputi
oleh jaringan sfingter uretra membranasea, di depan saluran ini terdapat vena dorsalis
penis yang mencapai pelvis diantara ligamentum transversal pelvis dan ligamentum
equarta pubis.

c) Uretra pars kavernosus

Uretra pars kavernosus merupakan saluran terpanjang dari uretra dan


terdapat di dalam korpus kavernosus uretra, panjangnya kira-kira 15 cm, mulai dari
pars membranasea sampai ke orifisium dari difragma urogenitalis. Pars kavernosus
yratra berjalan ke depan dan ke atas menuju bagian depan simfisis pubis. Pada
keadaan penis berkontraksi, pars kavernosus akan membelok ke bawah dan ke depan.
Pars kavernosus ini dangkal sesuai dengan korpus penis 6 mm dan berdilatasi ke
belakang. Bagian depan berdilatasi di dalam gland penis yang akan membentuk fossa
navikularis uretra.
Orifisium uretra eksterna merupakan bagian erector yang paling
berkontraksi berupa sebuah celah vertikal di tutupi oleh kedua sisi bibir kecil dan
panjangnya 6 mm. glandula uretralis yang akan bermuara ke dalam uretra dibagi
dalam dua bagian, yaitu glandula dan lacuna. Glandula terdapat di bawah tunika
mukosa di dalam korpus kavernosus uretra (glandula pars uretralis). Lacuna bagian
dalam epithelium. Lacuna yang lebih besar di permukaan atas disebut lacuna magma
orifisium dan lacuna ini menyebar ke depn sehingga dengan mudah menghalangi
ujung kateter yang dilalui sepanjang saluran.
b. Uretra wanita

Uretra pada wanita, terletak di belakang simfisis pubis berjalan miring sedikitke arah
atas, panjangnya kurang lebih 3-4 cm. Lapisan uretra wanita terdiri dari tunika
muskularis (sebelah luar), lapisan spongiosa merupakan pleksusu dari vena-vena, dan
lapisan mukosa (lapisan sebelah dalam). Muara uretra pada wanita terletak di sebelah
atas vagina (antara klitoris dan vagina) dan urtra di sini hanya sebagai saluran
ekskresi. Apabila tidak berdilatsi diameternya hanya 6 cm. uretra ini menembus fasia
diafragma urogenitalis dan orifisium eksterna langsung di depan permukaan vagina,
2,5 cm di belakang gland klitoris. Glandula uretra bermuara ke uretra, yang terbesar
diantaranya adalah glandula pars uretralis (skene) yang bermuara ke dalam orifisium
uretra yang hanya berfungsi sebagai saluran ekskresi.
Diafragma urogenitalis dan orifisium eksterna langsung di depan
permukaan vagina dan 2,5 cm di belakang gland klitoris. Uretra wanita jauh lebih
pendek daripada uretra pria dan terdiri lapisan otot polos yang diperkuat oleh sfingter
otot rangka pada muaranya penonjolan berupa kelenjar dan jarongan ikat fibrosa
longgar yang ditandai dengan banyak sinus venosa mirip jaringan kavernosus.

2.2 Definisi

Inkontinensia Urine (IU) atau yang lebih dikenal dengan beser sebagai
bahasa awam merupakan salah satu keluhan utama pada penderita lanjut usia.
Inkontinensia urine adalah pengeluaran urin tanpa disadari dalam jumlah dan
frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan dan
sosial. Variasi dari inkontinensia urin meliputi keluar hanya beberapa tetes urin saja,
sampai benar-benar banyak, bahkan terkadang juga disertai inkontinensia alvi
(disertai pengeluaran feses) (brunner, 2011).
Inkontinensia urin (IU) oleh International Continence Society (ICS) didefinisikan
sebagai keluarnya urin yang tidak dapat dikendalikan atau dikontrol; secara objektif
dapat diperlihatkan dan merupakan suatu masalah sosial atau higienis. Hal ini
memberikan perasaan tidak nyaman yang menimbulkan dampak terhadap kehidupan
sosial, psikologi, aktivitas seksual dan pekerjaan. Juga menurunkan hubungan
interaksi sosial dan interpersonal. Inkontinensia urin dapat bersifat akut atau
persisten. Inkontinensia urin yang bersifat akut dapat diobati bila penyakit atau
masalah yang mendasarinya diatasi seperti infeksi saluran kemih, gangguan
kesadaran, vaginitis atrofik, rangsangan obat–obatan dan masalah psikologik.

2.3 Klasifikasi

Menurut Hidayat, 2006 berdasarkan sifat reversibilitasnya inkontinensia urin dapat


dikelompokkan menjadi 2 yaitu :

1. Inkontinensia urin akut ( Transient incontinence )

Inkontinensia urin ini terjadi secara mendadak, terjadi kurang dari 6 bulan dan
biasanya berkaitan dengan kondisi sakit akut atau problem iatrogenic dimana
menghilang jika kondisi akut teratasi. Penyebabnya dikenal dengan akronim
DIAPPERS yaitu : delirium, infeksi dan inflamasi, atrophic vaginitis, psikologi dan
pharmacology, excessive urin production (produksi urin yang berlebihan), restriksi
mobilitas dan stool impaction (impaksi feses).

2. Inkontinensia urin kronik ( Persisten )

Inkontinensia urin ini tidak berkaitan dengan kondisi akut dan berlangsung lama (
lebih dari 6 bulan ). Ada 2 penyebab kelainan mendasar yang melatar belakangi
Inkontinensia urin kronik (persisten) yaitu : menurunnya kapasitas kandung kemih
akibat hiperaktif dan karena kegagalan pengosongan kandung kemih akibat lemahnya
kontraksi otot detrusor. Inkontinensia urin kronik ini dikelompokkan lagi menjadi
beberapa tipe (stress, urge, overflow, mixed). Berikut ini adalah penjelasan dari
masing-masing tipe Inkontinensia urin kronik atau persisten :
a. Inkontinensia urin tipe stress

Inkontinensia urin ini terjadi apabila urin secara tidak terkontrol keluar akibat
peningkatan tekanan di dalam perut, melemahnya otot dasar panggul, operasi dan
penurunan estrogen. Gejalanya antara lain kencing sewaktu batuk, mengedan,
tertawa, bersin, berlari, atau hal lain yang meningkatkan tekanan pada rongga perut.
Pengobatan dapat dilakukan tanpa operasi (misalnya dengan Kegel exercises, dan
beberapa jenis obat-obatan), maupun dengan operasi.
Gambar 2. Perbandingan Normal Stress dan Stress Inkontinensia
Inkontinesia urin tipe stress dapat dibedakan dalam 4 jenis yaitu:

1) Tipe 0 :pasien mengeluh kebocoran urin tetapi tidak dapat dibuktikan melalui
pemeriksaan
2) Tipe 1 :IU terjadi pada pemeriksaan dengan manuver stress dan adanya sedikit
penurunan uretra pada leher vesika urinaria
3) Tipe 2 :IU terjadi pada pemeriksaan dengan penurunan uretra pada leher vesika
urinaria 2 cm atau lebih
4) Tipe 3 :uretra terbuka dan area leher kandung kemih tanpa kontraksi kandung
kemih. Leher uretra dapat menjadi fibrotik (riwayat trauma atau bedah sebelumnya)
dengan gangguan neurologic atau keduanya. Tipe ini disebut juga defisiensi sfingter
intrinsic

b. Inkontinensia urin tipe urge

Timbul pada keadaan otot detrusor kandung kemih yang tidak stabil, yang mana
otot ini bereaksi secara berlebihan. Inkontinensia urin ini ditandai dengan ketidak
mampuan menunda berkemih setelah sensasi berkemih muncul. Manifestasinya dapat
berupa perasaan ingin kencing yang mendadak ( urge ), kencing berulang kali (
frekuensi ) dan kencing di malam hari ( nokturia ).
c. Inkontinensia urin tipe overflow

Pada keadaan ini urin mengalir keluar akibat isinya yang sudah terlalu banyak di
dalam kandung kemih, umumnya akibat otot detrusor kandung kemih yang lemah.
Biasanya hal ini dijumpai pada gangguan saraf akibat penyakit diabetes, cedera pada
sumsum tulang belakang, atau saluran kencing yang tersumbat. Gejalanya berupa
rasa tidak puas setelah kencing ( merasa urin masih tersisa di dalam kandung kemih ),
urin yang keluar sedikit dan pancarannya lemah. Inkontinensia tipe overflow ini
paling banyak terjadi pada pria dan jarang terjadi pada wanita.

d. Inkontinensia tipe campuran (Mixed)

Merupakan kombinasi dari setiap jenis inkontinensia urin di atas. Kombinasi


yangpaling umum adalah tipe campuran inkontinensia tipe stress dan tipe urgensi
atau tipe stress dan tipe fungsional.
Gambar . Tipe Inkontinensia Urin

2.4 Etiologi
Kelainan klinik yang erat hubungannya dengan gejala inkontinensia urine antara
lain :
a. Kelainan traktus urinearius bagian bawah
Infeksi, obstruksi, kontraktiltas kandung kemih yang berlebihan, defisiensi
estrogen,kelemahan sfingter, hipertropi prostat.
b. Usia
Seiring bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi organ
kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali,
kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak
dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding
kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah
menimbulkan rasa ingin berkemih.
c. Kelainan neurologis
Otak (stroke, alzaimer, demensia multiinfark, parkinson, multipel sklerosis), medula
spinalis (sklerosis servikal atau lumbal, trauma, multipel sklerosis), dan persarafan
perifer (diebetes neuropati, trauma saraf).
d. Kelainan sistemik
Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin meningkat
dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan kemampuan ke toilet bisa
disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau gangguan mobilitas. Untuk
mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan
substitusi toilet.
e. Kondisi fungsional
Inkontinensia urine juga terjadi akibat kelemahan otot dasar panggul, karena
kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut, kurang
aktivitas dan operasi vagina. Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat
menyebabkan melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan.
Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan
otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan
risiko terjadinya inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar hormon estrogen
pada wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot
vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya
inkontinensia urine. Faktor risiko yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat
operasi kandungan dan lainnya juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin
tua seseorang semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena
terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar panggul.
f. Efek samping pengobatan
Diuretik, antikolionergik, narkotika, kalsium chanel bloker, inhibitor kolinestrase.

2.5 Manifestasi Klinis

Gejala yang terjadi pada inkontinensia urine antara lain :


1. Sering berkemih: merupakan gejala urinasi yang terjadi lebih sering dari normal
bila di bandingkan denga pola yang lazim di miliki seseorang atau lebih sering dari
normal yang umumnya di terima, yaitu setiap 3-6 jam sekali.
2. Frekuensi: berkemih amat sering, dengan jumlah lebih dari 8 kali dalam waktu
24 jam.
3. Nokturia: malam hari sering bangun lebih dari satu kali untuk berkemih.
4. Urgensi yaitu keinginan yang kuat dan tiba-tiba untuk berkemih walaupun
penderita belum lama sudah berkemih dan kandung kemih belum terisi penuh seperti
keadaan normal.
5. Urge inkontinensia yaitu dorongan yang kuat sekali unuk berkemih dan tidak
dapat ditahan sehingga kadang–kadang sebelum sampai ke toilet urine telah keluar
lebih dulu.
Orang dengan inkontinensia urine mengalami kontraksi yang tak teratur pada
kandung kemih selama fase pengisian dalam siklus miksi. Urge inkontinensia
merupakan gejala akhir pada inkontinensia urine. Jumlah urine yang keluar pada
inkontinensia urine biasanya lebih banyak daripada kapasitas kandung kemih yang
menyebabkan kandung kemih berkontraksi untuk mengeluarkan urine. Pasien dengan
inkontinensia urine pada mulanya kontraksi otot detrusor sejalan dengan kuatnya
keinginan untuk berkemih, akan tetapi pada beberapa pasien mereka menyadari
kontraksi detrusor ini secara volunter berusaha membantu sfingter untuk menahan
urine keluar serta menghambat kontraksi otot detrusor, sehingga keluhan yang
menonjol hanya urgensi dan frekuansi yaitu lebih kurang 80 %. Nokturia hampir
ditemukan 70 % pada kasus inkontinensia urine dan simptom nokturia sangat erat
hubungannya dengan nokturnal enuresis. Keluhan urge inkontinensia ditemukan
hanya pada sepertiga kasus inkontinensia urine.

2.6 Pemeriksaan Diagnostik

1. Tes diagnostik pada inkontinensia urin


Menurut Ouslander, tes diagnostik pada inkontinensia perlu dilakukan untuk
mengidentifikasi faktor yang potensial mengakibatkan inkontinensia,
mengidentifikasi kebutuhan klien dan menentukan tipe inkontinensia. Mengukur sisa
urin setelah berkemih, dilakukan dengan cara : Setelah buang air kecil, pasang
kateter, urin yang keluar melalui kateter diukur atau menggunakan pemeriksaan
ultrasonik pelvis, bila sisa urin > 100 cc berarti pengosongan kandung kemih tidak
adekuat.
Urinalisis Dilakukan terhadap spesimen urin yang bersih untuk mendeteksi
adanya faktor yang berperan terhadap terjadinya inkontinensia urin seperti hematuri,
piouri, bakteriuri, glukosuria, dan proteinuria. Tes diagnostik lanjutan perlu
dilanjutkan bila evaluasi awal didiagnosis belum jelas. Tes lanjutan tersebut adalah :
Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin,
kalsium glukosa sitologi.

2. Uji urodinamik

Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa menggunakan alat-alat mahal. Sisa-
sisa urin pasca berkemih perlu diperkirakan pada pemeriksaan fisis. Pengukuran yang
spesifik dapat dilakukan dengan ultrasound atau kateterisasi urin. Merembesnya urin
pada saat dilakukan penekanan dapat juga dilakukan. Evaluasi tersebut juga harus
dikerjakan ketika kandung kemih penuh dan ada desakan keinginan untuk berkemih.
Diminta untuk batuk ketika sedang diperiksa dalam posisi litotomi atau berdiri.
Merembesnya urin seringkali dapat dilihat. Informasi yang dapat diperoleh antara lain
saat pertama ada keinginan berkemih, ada atau tidak adanya kontraksi kandung
kemih tak terkendali, dan kapasitas kandung kemih.

3. Laboratorium
Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk
menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuria.
Menurut National Women’s Health Report, diagnosis dan terapi inkontinensia
urine dapat ditegakkan oleh sejumlah pemberi pelayanan kesehatan, termasuk dokter
pada pelayanan primer, perawat, geriatris, gerontologis, urologis, ginekologis,
pedriatris, neurologis, fisioterapis, perawat kontinensia, dan psikolog. Pemberi
pelayanan primer dapat mendiagnosis inkontinensia urine dengan pemeriksaan
riwayat medis yang lengkap dan menggunakan tabel penilaian gejala.
Tes yang biasanya dilakukan adalah urinealisa (tes urine untuk menetukan
apakah gejalanya disebabkan oleh inkontinensia urine, atau masalah lain, seperti
infeksi saluran kemih atau batu kandung kemih). Bila urinealisa normal, seorang
pemberi pelayanan primer dapat menentukan untuk mengobati pasien atau
merujuknya untuk pemeriksaan gejala lebih lanjut.
Pada beberapa pasien, pemeriksaan fisik yang terfokus pada saluran kemih
bagian bawah, termasuk penilaian neurologis pada tungkai dan perineum, juga
diperlukan. Sebagai tambahan , pasien dapat diminta untuk mengisi buku harian
kandung kemih (catan tertulis intake cairan, jumlah dan seringnya buang air kecil,
dan sensasi urgensi) selama beberapa hari untuk mendapatkan data mengenai gejala.
Bila setelah langkah tadi diagnosis definitif masih belum dapat ditegakkan, pasien
dapat dirujuk ke spesialis untuk penilaian urodinamis. Tes ini akan memberikan data
mengenai tekanan/ volume dan hubungan tekanan/ aliran di dalam kandung kemih.
Pengukuran tekanan detrusor selama sistometri digunakan untuk mengkonfirmasi
diagnosis overaktifitas detrusor.

2.5 Komplikasi

Penderita dengan penyakit inkontinensia urine biasanya dapat menyebabkan antara


lain :
- infeksi saluran kemih
- ulkus pada kulit
- problem tidur
- depresi dan kondisi medis lainnya.

2.7 Penatalaksanaan

1. Terapi non farmakologis

Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya


inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula
darah tinggi, dan lain-lain. Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah :
Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih)
dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari. Lansia
diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya. Lansia
dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam,
selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3
jam.Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan
kebiasaan lansia.
Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi berkemih
mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih.
Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir).
Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar panggul
secara berulang-ulang. Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar panggul
tersebut adalah dengan cara :
- Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan terbuka,
kemudian pinggul digoyangkan ke kanan dan ke kiri ± 10 kali, ke depan ke belakang
± 10 kali, dan berputar searah dan berlawanan dengan jarum jam ± 10 kali.
- Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita buang air besar dilakukan
± 10 kali.
Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul menjadi lebih kuat dan urethra dapat
tertutup dengan baik.

2. Terapi farmakologis

Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah


antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate, Imipramine.
Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine
untuk meningkatkan retensi urethra.Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis
seperti Bethanechol atau alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi
kontraksi, dan terapi diberikan secara singkat.
3. Terapi pembedahan

Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi,
bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe
overflow umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi
urin. Terapi ini dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan
prolaps pelvic (pada wanita).

4. Modalitas lain

Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan


inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang
mengalami inkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu
toilet seperti urinal, komod dan bedpan.
- Pampers
Dapat digunakan pada kondisi akut maupun pada kondisi dimana pengobatan sudah
tidak berhasil mengatasi inkontinensia urin. Namun pemasangan pampers juga dapat
menimbulkan masalah seperti luka lecet bila jumlah air seni melebihi daya tampung
pampers sehingga air seni keluar dan akibatnya kulit menjadi lembab, selain itu dapat
menyebabkan kemerahan pada kulit, gatal, dan alergi.
- Kateter
Kateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin karena dapat
menyebabkan infeksi saluran kemih, dan juga terjadi pembentukan batu. Selain
kateter menetap, terdapat kateter sementara yang merupakan alat yang secara rutin
digunakan untuk mengosongkan kandung kemih. Teknik ini digunakan pada pasien
yang tidak dapat mengosongkan kandung kemih. Namun teknik ini juga beresiko
menimbulkan infeksi pada saluran kemih.
2.8 Patofisiologis dan WOC

Inkontinensia urine bisa disebabkan oleh karena komplikasi dari penyakit infeksi
saluran kemih, kehilangan kontrol spinkter atau terjadinya perubahan tekanan
abdomen secara tiba-tiba. Inkontinensia bisa bersifat permanen misalnya pada spinal
cord trauma atau bersifattemporer pada wanita hamil dengan struktur dasar panggul
yang lemah dapat berakibat terjadinya inkontinensia urine. Meskipun inkontinensia
urine dapat terjadi pada pasien dari berbagai usia, kehilangan kontrol urinari
merupakan masalah bagi lanjut usia.
- Inkontinensia stres: keluarnya urin selama batuk, mengedan, dan sebagainya.
Gejala-gejala ini sangat spesifik untuk inkontinensia stres.
- Inkontinensia urgensi: ketidakmampuan menahan keluarnya urin dengan
gambaran seringnya terburu-buru untuk berkemih
- Enuresis nokturnal: 10% anak usia 5 tahun dan 5% anak usia10 tahun
mengompol selama tidur. Mengompol pada anak yang lebih tua merupakan sesuatu
yan abnormal dan menunjukkan adanya kandung kemih yang tidak stabil.
- Gejala infeksi urine (frekuensi, disuria, nokturia), obstruksi (pancaran lemah,
menetes), trauma (termasuk pembedahan, misalnya reseksi abdominoperineal), fistula
(menetes terus menerus), penyakit neurologis (disfungsi seksual atau usus besar) atau
penyakit sistemik (misalnya diabetes) dapat menunjukkan penyakit yang mendasari.

2.9 Prognosis

a. Inkontinensia tekanan urin: pengobatan tidak begitu efektif. Pengobatan yang


efektif adalah dengan latihan otot (latihan Kegel) dan tindakan bedah. Perbaikan
dengan terapi alfa agonis hanya sebesar 17%-74%, tetapi perbaikan dengan latihan
Kegel bisa mencapai 87%-88%.
b. Inkontinensia urgensi: dari studi, menunjukkan bahwa latihan kandung kemih
memberikan perbaikan yang cukup signifikans (75%) dibandingkan dengan
penggunaan obat antikolinergik (44%). Pilihan terapi bedah sangat terbatas dan
memiliki tingkat morbiditas yang tinggi.
c. Inkontinensia luapan: terapi medikasi dan bedah sangat efektif untuk
mengurangi gejala inkontinensia.
d. Inkontinensia campuran: latihan kandung kemih dan latihan panggul
memberikan hasil yang lebih memuaskan dibandingkan penggunaan obat-obata
antikolinergik.
BAB 3
Asuhan Keperawatan

3.1 Asuhan Keperawatan Umum

1. Pengkajian

a. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, alamat,
suku bangsa, tanggal, jam MRS, nomor registrasi, dan diagnosa medis.
b. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang mendahului
inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa, gerakan), masukan cairan, usia/kondisi fisik,
kekuatan dorongan/aliran jumlah cairan berkenaan dengan waktu miksi. Apakah ada
penggunaan diuretik, terasa ingin berkemih sebelum terjadi inkontenin, apakah terjadi
ketidakmampuan.
2) Riwayat kesehatan dahulu.
Apakah klien pernah mengalami penyakit serupa sebelumnya, riwayat urinasi
dan catatan eliminasi klien, apakah pernah terjadi trauma/cedera genitourinarius,
pembedahan ginjal, infeksi saluran kemih dan apakah dirawat dirumah sakit.
3) Riwayat kesehatan keluarga.
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit serupa
dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau keturunan, penyakit
ginjal bawaan/bukan bawaan.
c. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena respon
dari terjadinya inkontinensia.
2) Pemeriksaan Sistem
a) B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai oksigen
menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi.
b) B2 (blood)
Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah
c) B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
d) B4 (bladder)
 Inspeksi:
Periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat karena adanya
aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih serta disertai keluarnya
darah apabila ada lesi pada bladder, pembesaran daerah supra pubik lesi pada meatus
uretra,banyak kencing dan nyeri saat berkemih menandakan disuria akibat dari
infeksi, apakah klien terpasang kateter sebelumnya.

 Palpasi :
Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti rasa terbakar di urera
luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu kencing.
e) B5 (bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan abdomen,
adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan palpasi pada ginjal.
f) B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas yang
lain, adakah nyeri pada persendian.
2. Diagnosa keperawatan
a. Gangguan eliminasi urine b/d gangguan sensori motor.
b. Gangguan citra tubuh b/d kehilangan fungsi tubuh, perubahan keterlibatan sosial.
c. Ansietas b/d perubahan dalam status kesehatan.
3. Intervensi Keperawatan
Diagnose Criteria hasil Intervensi Aktivitas NIC
keperawatan berdasarkan NOC keperawatan
berdasarkan
NIC
I Urinary contiunence Urinary 1. Lakukan penilaian
Kriteria Hasil: retention kemih yang
1. Kandung kemih care komprehensif berfokus
kosong secara penuh. pada
2. Tidak ada residu inkontinensia(misalnya,
urine >100-200 cc. output urin, pola
3. Intake cairan dalam berkemih,
rentang normal. fungsikognitif)
4. Balance cairan 2. Pantau penggunaan
seimbang. obat dengan sifat
antikolinergik
3. Memantau intake
dan output
4. Memantau tingkat
distensi kandung kemih
dengan palpasi atau
perkusi
5. Bantu dengan
toilet secara berkala
6. Kateterisasi
II Body image Body image 1. kaji secara verbal
Kriteria Hasil: enhancement dan non verbal respon
1. Body image klien terhadap tubuhnya
positif 2. jelaskan tentang
2. Mampu pengobatan dan
mengidentifikasi perawatan penyakit
kekuatan personal 3. identifikasi arti
3. Mendeskripsikan pengurangan melalui
secara factual pemakaian alat bantu.
perubahan fungsi 4. Fasilitasi kontak
tubuh dengan individu lain
4. Mempertahankan dalam kelompok lain
interaksi sosial
III Anxiety self control Anxiety 1. Gunakan
Kriteria hasil: reduction pendekatan yang
1. klien mampu (penurunan menenangkan.
mengidentifikasi dan kecemasan) 2. Jelaskan semua
mengungkapkan gejala prosedur dan apa yang
cemas. dirasakan selama
2. Mengidentifikasi, prosedur.
mengungkapakan dan 3. Pahami prespektif
menunjukkan teknik klien terhadap situasi
untuk mengontrol stress.
cemas. 4. Temani pasien
3. Postur tubuh, untuk memberikan
ekspresi wajah, bahasa keamanan dan
tubuh dan tingkat mengurangi takut.
aktifitas menunjukkan 5. Dorong keluarga
berkurangnya untuk menemani pasien.
kecemasan.
Asuhan Keperawatan Kasus

Kasus
Ny.W berusia 63 tahun datang kerumah sakit Dr,soetomo dengan keluhan ingin BAK
terus menerus dan tidak bisa ditahan hingga sampai ke toilet. Ny.W mengatakan
kencing sebanyak lebih dari 12 kali dalam sehari. Ny.W juga mengatakan bahwa
dirinya tidak bisa menahan kencingnya untuk sampai ke toilet dan terasa perih pada
area perianalnya. Karena sering mengompol, Ny.W mengaku mengurangi minum dan
sering menahan haus. Ny.W merasa malu apabila keluar rumah karena mengompol
dan bau air kencingnya yang menyengat sehingga hanya tinggal di dalam rumah. Saat
ditanyakan tentang riwayat kehamilan, anak klien mengatakan bahwa klien memiliki
2 orang anak, dan tidak pernah mengalami keguguran. Anaknya mengatakan bahwa
keluarganya tidak ada yang mengalami penyakit seperti itu sebelumnya dan tidak ada
penyakit keturunan. Dulunya klien adalah seorang penjahit di rumahnya, namun
beberapa tahun yang lalu sudah tidak lagi bekerja. Setelah dilakukan pemeriksaan
awal pada Ny.W ditemukan membran mukosa kering, turgor kulit kering dan keriput
serta lecet-lecet pada kulitnya. Hasil dari TTVnya adalah TD: 160/90 mmHg, Nadi
90x/menit, RR 19x/menit, dan suhunya 37oC. Setelah dilakukan pemasangan kateter,
didapatkan data jumlah urin klien 1500-1600 mm selama 24 jam.

3.1 Pengkajian

1. Identitas klien :
Nama : Ny. W
Umur : 63 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
2. Keluhan utama :
Klien BAK terus-menerus, tidak bias menahannya sehingga mengompol.
3. Riwayat penyakit sekarang :
Klien datang kerumah sakit dengan keluhan BAK terus menerus dengan frekuensi
lebih dari 10 kali dalam sehari.Klien tidak bias menahan kencingnya untuk pergi ke
toilet sampai klien mengompol.Klien mengaku mengurangi minum dan menahan rasa
haus.
4. Riwayat penyakit dahulu : -
5. Riwayat penyakit keluarga :
Anak klien mengatakan anggota keluarganya tidak ada yang mengalami penyakit
seperti itu sebelumnya dan tidak ada penyakit keturunan.
6. Riwayat obat-obatan : -
7. Riwayat psikologis :
Klien merasa malu jika keluar rumah karena sering mengompol dan bau kencingnya
sangat menyengat.
8. Riwayat Pekerjaan : Klien dulunya adalah seorang penjahit
9. Riwayat Kehamilan : Klien memiliki 2 orang anak, dan tidak pernah mengalami
keguguran.
10. Pemeriksaan fisik (Review of System)
 B1 (breathing)
RR : 19 x/menit, normal tidak ada gangguan
 B2 (blood)
TD : 160/90 mmHg (peningkatan tekanan darah), nadi : 90x/menit
 B3 (brain)
Tingkat kesadaran :compos mentis
 B4 (bladder)
BAK > 10 x/hari, bau urin menyengat
 B5 (bowel) : -
 B6 (bone &integumen)
Kelemahan ekstremitas karena bolak-balik pergi ke toilet, kulit kering dan lecet-
lecet
3.2 Analisa data

No Data Etiologi Masalah


1. DS: Inkontinensia urin Kekurangan
- Ny.W mengatakan volum cairan
kencing sebanyak lebih Haluaran urine yang sering
dari 10 kali dalam sehari
Ny. A mengaku
mengurangi minum dan
Pembatasan intake cairan
sering menahan
- haus
Ketidakseimbangan intake
DO:
output cairan & elektrolit
- membran mukosa
kering
Kekurangan volume cairan
- turgor kulit kering
- Jumlah urine lebih
dari 1500-1600 mm
dalam 24 jam

2. DS: Seiring pertambahan usia Perubahan pola


- Klien mengatakan berkemih
ingin BAK terus Kelemahan pada sfingter
menerus externa
- Klien mengatakan
kencingnya lebih dari Inkontinensia urin
10x dalam sehari
- Klian mengatakan Gangguan pola eliminasi
tidak bisa menahan
kencingnya
DO: Klien sering
mengompol

3. DS: Klien merasa perih Inkontinensia urin Kerusakan


di area perianalnya integritas kulit
DO: lecet-lecet pada Urin keluar terus menerus
kulitnya
Meninggalkan sisa di area
perianal

Kelembaban meningkat

Lecet pada area perianal

Kerusakan integritas kulit

3.4 Diagnosa Keperawatan

1. Inkontinensia urin urgensi berhubungan dengan penurunan kapasitas kandung


kemih, sekunder akibat berkemih sering
2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan intake dan output yang tidak
adekuat
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan iritasi konstan oleh urine

3.5 Intervensi

Diagnosa 1 : Inkontinensia urin urgensi berhubungan dengan


penurunan kapasitas kandung kemih, sekunder akibat berkemih
sering.
TTujuan:
Dalam waktu 2x24 jam setelah diberikan intervensi klien mampu
mengontrol pola berkemih agar dapat berkemih normal
Kriteria evaluasi:
Klien akan menjadi kontinen dan mampu mengidentifikasi penyebab
inkontinens dan rasional untuk pengobatan
Intervensi Rasional
Tentukan pola berkemih normal Memberikan kesempatan menerima
klien dan tentukan variasi isu / salah konsep. Membantu klien /
orang terdekat menyadari bahwa
perasaan yang dialami tidak biasa
dan bahwa perasaan bersalah pada
mereka tidak perlu / membantu.
Klien perlu mengenali perasaan
sebelum mereka dapat menerimanya
secara efektif
Dorong meningkatkan Peningkatan hidrasi membilas
pemasukan cairan bakteri,
Selidiki keluhan kandung kemih Retensi urine dapat terjadi
penuh, palpasi untuk daerah menyebabkan distensi jaringan dan
suprapubik potensial resiko infeksi.
Kolaborasi: Menentukan adanya ISK, yang
Ambil urine untuk kultur dan penyebab atau gejala komplikasi
sensivitas

Diagnosa 2 : Kekurangan volume cairan berhubungan dengan


intake dan output yang tidak adekuat
Tujuan:
Dalam waktu 2x24 jam setelah diberikan intervensi klien mampu
menunjukkan hidrasi yang adekuat/kekurangan cairan dapat diatasi
Kriteria evaluasi:
- TTV stabil
- Membran mukosa bibir lembab
- Turgor kulit elastic
- Intake dan output seimbang
Intervensi Rasional
Dapatkan riwayat klien / orang Memperoleh data tentang penyakit
terdekat sehubungan dengan klien, agar dapat melakukan
lamanya gejala seperti tindakan sesuai dengan yang
pengeluaran urine yang dibutuhkan
berlebihan
Pantau TTV, catat adanya Indikator hidrasi/ volum sirkulasi
perubahan TD warna kulit dan dan kebutuhan intervensi
kelembaban-nya
Monitor status hidrasi dengan Kondisi turgor kulit, membran
mengkaji turgor kulit dan mukosa, dan peningkatan berat jenis
membran mukosa serta urin dapat mengindikasikan
memeriksa berat jenis urin setiap dehidrasi.
8 jam sekali
Pantau masukan dan pengeluaran Membandingkan keluaran aktual dan
setiap hari yang diantisipasi membantu dalam
mengevaluasi fungsi/ derajat stasis/
kerusakan sistem urinary.
Timbang BB setiap hari Peningkatan BB yang cepat mungkin
berhubungan dengan retensi
Pertahankan untuk memberikan Mempertahankan keseimbangan
cairan paling sedikit 2500 cairan
ml/hari dalam batas yang dapat
ditoleransi jantung
Kolaborasi: Memenuhi kebutuhan cairan tubuh
Berikan terapi cairan sesuai
indikasi
Berikan cairan IV Mempertahankan volum sirkulasi,
meningkatkan fungsi ginjal

Diagnosa 3 : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan iritasi


konstan oleh urine
TTujuan:
Dalam waktu 2x24 jam setelah diberikan intervensi klien mampu
menunjukkan perbaikan keadaan turgor dan mempertahankan keutuhan
kulit
Kriteria evaluasi:
- Jumlah bakteri < 100.000/ml
- Kulit periostomal tetap utuh
- Urin jernih dengan sedimen minimal
Intervensi Rasional
Kaji keadaan kulit terhadap
perubahan warna, turgor dan
adanya kemerahan
Pantau penampilan kulit Mengidentifikasi kemajuan serta
periostomal setiap 8 jam melihat adanya tanda-tanda
kerusakan integritas kulit.
Jaga agar kulit tetap kering Kulit atau daerah lipatan yang
lembab mudah terjadi tumbuhnya
kuman
Berikan perawatan kulit termasuk Kulit yang kotor dapat
kebersihan pada kulit menimbulkan rasa gatal sehingga
timbul keinginan untuk
menggaruk.
Ubah posisi setiap 2 jam sekali Menghindari tekanan dan
meningkatkan aliran darah
Berikan pakaian dari bahan yang Mencegah iritasi dermal dan
dapat menyerap air atau anjurkan meningkatkan kelembaban pada
klien untuk memakai pakaian kulit.
longgar.
BAB 4
Pembahasan

4.1 Tahap pengkajian

Sistem urinaria adalah suatu system tempat terjadinya proses penyaringan


darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh dan
menyerap zat-zat yang masih dipergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang tidak
dipergunakan oleh tubuh larut dalam air dan dikeluarkan berupa urine (air kemih).
Inkontinensia urine merupakan suatu jenis urge incontinence (keluarnya urine
secara tidak sadar, terjadi ketika tekanan kandung kemih melebihi tekanan uretra
selama fase pengisian) yang dihubungkan dengan keinginan kuat untuk buang air
kecil dan berhubungan dengan overaktif otot detrusor.
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan
fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan
berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan
seseorang tidak dapat menahan air seni.Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain
terkait dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi
urin meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet
BAB 5

Penutup

A.Kesimpulan
Hasil asuhan keperwatan yang telah di lakukan pada lansia Ny.W dengan masalah
inkotensia urine di lorong belanti kecamatan padang utara dapat di simpulkan
sebagai berikut:

1.Hsil pengkajian yang di dapatkan pada Ny.W dengan inkotensia urine. Kondisi
Ny.W didapatkan keluhan keluar air kencingnya dan kadang Ny.W tidak dapat
mencapai toilet untuk berkemih malam hari.

2.Diagnosa keperawatan yang di tegakkan yaitu inkotensia urine steres.

3.Rumusan intervensi keperawatan yang sesuai rumusan intervensi keperawatan


teoritis yaitu latihan otot dasar, panggul, latihan biasa berkemih dan perawatan
inkotenensia urine.

4.Implementasi keperawatan yang di berikan sesuai dengan intervensi yang sudah di


susun secara teori tetapi pelaksanaannya disesuaikan situasi dan keadaan klien.

5.Evaluasi asuhan keprawatan pad Ny.W menunjukkan bahwa asuhan keperawatan


yang di berikan dampak positif bagi kondisi Ny.W tidak lagi memiliki keluhan
terkencing di celana bila sedang bersin serta bertambahnya pengetahuan klien
tentang perawatan inkotenensia urine.

6.Penerapan manajemen layanan pada sistem pelayanan lansia di komunitas sudah


berhasil dilakukan yang ditandai dengan ikut sertanya kader dan adanya partisipasi
dari lansia tersebut.

B.Saran

1.kepada pasien yang mengalami inkotenensia urine diharapkan agar menjaga pola
makan dan pola hidup, misalnya memjauhkan dari faktor pencetus diantara peroko
aktif, mengkomsumsi kopi berat, pemanis batan karena dapat membahayakan
kesehatan pasien.
2.Untuk dapat meningkatkan mutu pelayanan keperawatan yang optimal dibuthkan
adaanya kerja sama yang baik antara perawat, pasien, keluarga dan keberhasilan
dari asuhan keperawatan.

3.Diharapkan kepada keluarga memberikan dukungan dan dorongan kepad pasien


terutama dalam memngambil pencehahan penyakit.

4.Bagi pembaca kiranya sudah dapat mengetahui apa itu inkotenensia urine dan
bagai mana cara pengobatannya serta penangulangan untuk dapat di terapkan bagi
kehidupan dimasa yang akan datang.
Daftar Pustaka

Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi. Jakarta : Salemba
Medika.
Darmojo B. 2009. Geriatri ilmu kesehatan usia lanjut. Edisi keempat. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
Hariyati, Tutik S. (2000). Hubungan antara bladder retraining dengan proses pemulihan
inkontinensia urin pada pasien stoke. Diakses dari
http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=76387&lokasi=lokal pada
tanggal 19 Mei 2014
Hidayat, A. Alimul. (2006). Pengantar kebutuhan dasar manusia: aplikasi konsep dan
proses keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Nanda. 2009. Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi. Jakarta: EGC
Potter, Patricia A. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan: Proses dan praktik. Ed. 4.
Jakarta: EGC
Rochani. (2002). Penduduk indonesia idap inkontinensia urin. Diakses dari
http://www.pdpersi.co.id pada tanggal 19 Mei 2014
Uliyah, Musfiratul. 2008. Ketrampilan Dasar praktik Klinik. Jakarta : Salemba Medika
Wilkinson M Judith. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan
NOC. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai