Anda di halaman 1dari 26

Macam-Macam Obat Uterotonika:

1. Alkaloid Ergot
Sumber alkaloid ergot ialah claviceps purpurea suatu jamur yang hidup sebagai parasit
dalam butir rye dan gandum, banyak terdapat di Eropa dan Amerika. Penyebaran penularan
terjadi melalui perantaraan serangga dan angin yang memindahkan spora ke kepala putik
yang sudah di buahi. Selanjutnya spora mengeluarkan miselium yang akan menembus putik,
kemudian membentuk jaringan padat berwarna ungu dan menjadi keras. Substansi ini
dinamai sklerosium. Sklerosium inilah yang merupakan sumber ergot. Zat- zat dalam ergot.
Ergot mengandung zat yang penting yaitu alkohol ergot dan zat lain seperti zat organik,
karbohidrat, gliserida, steroid, asam amino, amin dan basa amonium kuatener. Beberapa amin
dan basa memiliki efek farmakologi penting, misalnya histamin, tiramin, kolin, dan
asetilkolin. Jamur Claviceps purpurea dibiak in vitro, seperti jamur penghasil antibiotik.
Alkaloid ergot terdapat sebagai isomer 1 dan d.Isomer 1 merupakan zat aktif (penamaan
dengan akhiran -in), sedangkan isomer d tidak aktif sama sekali (penamaan dengan akhiran -
inin). Yang pertama merupakan alkaloid alam, sedangkan yang kedua merupakan hasil
perubahan oleh pengaruh zat kimia sewaktu isolasi. Alkaloid pertama yang berhasil di isolasi
dalam bentuk kristal dan aktif ialah ergotoksin, yang waktu itu dianggap sebagai alkaloid
murni. Sekarang terbukti bahwa ergotoksin merupakan campuran 4 zat, yaitu
ergokristin,ergokornin,α- ergokriptin, dan β- ergokriptin. Ergotamin. Ergotamin yang paling
kuat dari kelompok alkaloid asam amino yang aktif, dan ergotamin yang tidak aktif
merupakan alkaloid ergot murni yang pertama ditemukan.
Kemudian ditemukan zat uterotonik larut air dinamakan ergonovin (ergometrin.
Ergonovin dan turunannya menghasilkan asam lisergat dan amin pada hidrolisis, maka
disebut juga alkaloid amin. Alkaloid dengan berat molekul tinggi yang mengandung asam
lisergal, amonia, asam piruvat, prolin dan asam amino lainnya dikenal juga sebagai alkaloid
asam amino atau ergopeptin. Salah satu derivat ergopeptin adalah bromokriptin
Farmakodinamik
Berdasarkan efek dan struktur kimianya alkaloid ergot dibagi menjadi 3 kelompok :
1. Alkaloid asam amino dengan prototip ergotamin
2. Derivat dihidro alkaloid asam amino dengan prototip dihidro-Ergotamin.
3. Alkaloid amin dengan prototip ergonovin
Farmakokinetik
Alkaloid asam amino, yaitu ergotamin di absorpsi secara lambat dan tidak sempurna
melalui saluran cerna. Obat ini mengalami metabolisme lintas pertama, sehingga kadarnya
dalam darah sangat rendah. Kadar puncak plasma dicapai dalam 2 jam. Pemberian 1 mg
ergotamin bersama 100 mg kafein akan meningkatkan kecepatan absorpsi dan kadar puncak
plasma ergotamin sebesar dua kali, namun biovailibitasnya tetap di bawah 1 persent.
Indikasi
Oksitosik : Sebagai stimultan uterus pada perdarahan paska persalinan atau paska abortus,
yaitu :
1. Induksi partus aterm
2. Mengontrol perdarahan dan atoni uteri pasca persalinan.
3. Merangsang konstraksi setelah operasi Caesar/operasi uterus lainnya
4. Induksi abortus terapeutik
5. Uji oksitoksin
Kontra Indikasi
Persalinan kala I dan II :
1. Hipersensitif
2. Penyakit vascular
3. Penyakit jantung parah
4. Fungsi paru menurun
5. Fungsi hati dan ginjal menurun
6. Hipertensi yang parah
7. Eklampsi
Pada Uterus
Semua alkaloid ergot alam meningkatkan kontraksi uterus dengan nyata. Dosis kecil
menyebabkan peninggian amplitudo dan frekuensi, kemudian diikuti relaksasi. Dosis besar
menimbulkan kontraksi tetanik, dan peninggian tonus otot dalam keadaan istirahat. Dosis
yang sangat besar menimbulkan kontraktur yang berlangsung lama. Sediaan ergot alam yang
paling kuat adalah ergonovin.
Cara Pakai Dan Dosis
a. Oral: mulai kerja setelah sepuluh menit
b. Injeksi: intravena mulai kerja 40 detik
c. IM : mulai kerja 7-8 menit. Hal ini lebih menguntungkan karena efek samping lebih sedikit.
Dosis :
Oral 0,2-0,4 mg , 2-4 kali sehari selama 2 hari
IV / IM 0,2 mg , IM boleh diulang 2–4 jam bila perdarahan hebat.
Contoh obat
Nama generic : metal ergometrin, metal ergometrina, hydrogen maleat
Nama paten : methergin, met6hernial, methorin, metilat, myomergin.
Epek samping
1. Ergotamine merupakan ergotamin merupakan alkaloid yang paling toksik.
2. Dosis besar dapat menyebabkan : mual, muntah, diare, gatal, kulit dingin, nadi lemah dan
cepat, bingung dan tidak sadar
3. Dosis keracunan fatal: 26 mg per oral selama beberapa hari, atau dosis tunggal 0,5-1,5 mg
parenteral
4. Gejala keracunan kronik: perubahan peredaran darah ( tungkai bawah, paha, lengan dan
tangan jadi pucat), nyeri otot, denyut nadi melemah, gangren, angina pectoris, bradikardi,
penurunan atau kenaikan tekanan darah
5. Keracunan biasanya disebabkan: takar lajak dan peningkatan sensitivitas

2. Oksitosin
Oksitosin merupakan hormone peptide yang disekresi olah pituitary posterior yang
menyebabkan ejeksi air susu pada wanita dalam masa laktasi. Oksitosin diduga berperan pada
awal kelahiran. (Ismania.2001). Oksitosin merangsang otot polos uterus dan kelenjar mama.
Fungsi perangsangan ini bersifat selektif dan cukup kuat. sehingga pada akhir kehamilan
kadar oksitosin meninggi dimana berikatan dg reseptor oksitosin yg terletak di dlm
miometrium yaitu dlm membran plasma sel otot polos uterus , oksitosin adalah golongan obat
yang digunakan untuk merangsang kontraksi otot polos uterus dalam membantu proses
persalinan, pencegahan perdarahan pasca persalinan (P3) serta penguatan persalinan ,
Oksitosin merangsang otot polos uterus dan mammae → selektif dan cukup kuat Stimulus
sensoris pada serviks, vagina dan payudara → merangsang hipofisis posterior melepaskan
oksitosin. Sensitivitas uterus meningkat dng pertambahan usia kehamilan. Stimulus sensoris
pada serviks, vagina, dan payudara secara refleks melepaskan oksitosin dari hipofisis
posterior. Sensitivitas uterus terhadap oksitosin meninggi bersamaan dengan bertambahnya
umur kehamilan.
Pada kehamilan tua dan persalinan spontan, pemberian oksitosin meningkatkan kontraksi
fundus uteri meliputi peningkatan frekuensi, amplitudo dan lamanya kontraksi. Partus dan
laktasi masih tetap berlangsung meskipun tidak ada oksitosin, tetapi persalinan menjadi lebih
lama dan refleks ejeksi susu (milk ejection) menghilang. Oksitosin dianggap memberikan
kemudahan dalam persalinan serta memegang peranan penting dalam refleks ejeksi susu.
Mekanisme Cara Kerja
Oksitosin diabsorsi denagn cepat melalui mukosa mulut sehingga memungknkan
oksitosin diberkan secara tablet hisap. Cara pemberian nasal atau tablet hisap did / cadangan
untuk penggunaan pasca persalinan, selama kehamilan kadar amino peptidase dalam plama (
oksitosin atau vasopresinase ) meniongkat 10x dan menurun setelah persalinan. Enzim
mengaktifkan oksitosin dan ADH melalui pemecahan ikatan peptida enzim meregulasi
kosentrasi oksitosin.
Meskipun sudah lazim di gunakan di banyak klinik bersalin atau bagian obstetric rumah
sakit, namun potensi oksitoksin dalam mengganggu keseimbangan cairan dan tekana darah
membuat obat ini tidak tepat untuk digunakan pada ibu hamil dengan pre-eklamsia aau
penyakit kardiovaskuler atau pada ibu hamil yang berusia di atas 3 tahun. Pemberian infuse
oksitoksin merupakan kontraindikasi pada ibu hamil yang menghadapi resiko karena
melahirkan pervaginam, misalnya kasus dengan melpresentasi atau solosio plasenta atau
denagn resiko rupture uteri yang tinggi. Pemberian infuse oksitoksin yang terus-menerus
pada kasus dengan resistensi dan inersia uterus merupakan kontraindikasi.
Uterus yang starvasi. Kontraksi otot uterus memerlukan glukosa maupun oksigen. Jika
pasokan keduanya tidak terdapat pada otot yang berkontraksi tersebut dan keadaan ini
mungkin terjadi karena starvasi atau pemberian oksitoksin tidak akan adekuat sehingga
pemberian oksitoksin secara sedikit demi sedikit tidak akan efektif. Situasi ini lebih
cenderung di jumpai pada persalinan yang lama. lokal di uterus tetapi sedikit pengaruhn ya
terhadap eliminasi kadar oksitosin dalam plasma.
Farmakologi
a. Uterus
Oksitosin merangasang frekuensi dan kekuatan kontraksi otot polos uterus. Efek ini
tergantung pada konsentrasi estrogen. Pada konsentrasi estrogen yang rendah, efek oksitosin
terhadap uterus juga berkurang. Progestin digunakan secara luas di klinik untuk mengurangi
aktivitas uterus pada kasus abortus habitualis meskipun efektivitasnya tidak jelas. Pada
kehamilan trimester I dan II aktivitas motorik uterus sangat rendah, dan aktivitas ini secara
spontan akan meningkat dengan cepat pada trimester III dan mencapai puncaknya pada saat
persalinan. Oksitosin dapat memulai atau meningkatkan ritme kontraksi uterus pada setiap
saat, namun pada kehamilan muda diperlukan dosis yang tinggi. Oksitosin menyebabkan
pengelepasan prostaglandin pada beberapa spesies, tetapi tidak jelas apakah ini merupakan
efek primernya atau berhubungan dengan kontraksi uterus.
b. Kelenjar Mama
Bagian alveolar kelenjar mama dikelilingi oleh jaringan otot polos, yaitu mioepitel. Kontraksi
mioepitel menyebabkan susu mengalir dari saluran alveolar ke dalam sinus yanng besar,
sehingga mudah dihisap bayi. Fungsi ini di namakan ejeksi susu. Mioepitel sangat peka
terhadap oksitosin. Sediaan oksitosin berguna untuk memperlancar ejeksi susu, bila oksitosin
endogen tidak mencukupi. Juga berguna untuk mengurangi pembengkakan payudara pasca
persalinan.
c. Sistem Kardiovaskuler
Apabila oksitosin diberikan dalam dosis besar akan terlihat relaksasi otot polos pembuluh
darah secara langsung. Terjadi penurunan tekanan sistolik dan terutama penurunan tekanan
sistolik dan terutama penurunan tekanan diastolik, warna kulit menjadi merah, dan aliran
darah ke ekstermitas bertambah. Bila dosis besar diberikan terus menerus secara infus, maka
penurunan tekanan darah akan diikuti sedikit penggian tekanan darah tetapi menetap. Dosis
oksitosin untuk indikasi obstetrik, tidak jelas menimbulkan penurunan tekanan darah.
Penurunan tekanan darah jelas terjadi pada penderita yang mendapat dosis besar, yang
diberikan selama anestesia dalam. Otot polos yang sensitif terhadap oksitosin hanyalah
uterus, pembuluh darah dan miopitel kelenjar payudara.
Fafrmakokinetik
Oksitosin memberikan hasil baik pada pemberian parenteral. Pemberian oksitosin
intranasal, meskipun kurang efisien lebih disukai daripada pemberian parenteral. Oksitosin
diabsorpsi dengan cepat melalui mukosa mulut dan bukal sehingga memungkinkan oksitosin
diberikan sebagai tablet hisap. Cara pemberian nasal atau tablet hisap dicadangkan untuk
penggunaan pasca-persalinan.
Selama kehamilan, kadar aminopeptidase dalam plasma(oksitosinase atau sistil
aminopeptidase) meningkat sepuluh kali dan menurun setelah persalinan. Enzim ini
menginaktifkan oksitosin dan ADH melalui pemecahan ikatan peptida. Enzim ini diduaga
meregulasi konsentrasi oksitosin lokal di uterus tetapi sedikit pengaruhnya terhadap eliminasi
kadar oksitosin dalam plasma. Di duga sumber oksitosinase ini adalah plasenta. Waktu paruh
oksitosin sangat singkat, antara 12-17 menit. Penurunan kadar plasma sebagian besar
disebabkan ekskresi oleh ginjal dan hati. Penggunaan klinik adalah :
1. Untuk diagnosa janin mengalami gangguan atau tidak, terjadinya sirkulasi pada placenta.
2. Untuk terapi; Mempercepat proses persalinan, tidak mungkinnya keluar janin secara
sempurna, meningkatkan pancaran air susu ibu, perdarahan setelah melahirkan,dan sulitnya
air susu keluar.
Mempunyai efek samping,yaitu kematian janin karena adanya hipertensi , sobeknya uterus
karena kontraksi kuat, afibrinogeremia ( menurunnya fibrin dalam darah). Dan mempunyai
kontra indikasi,prematur dan keadaan janin abnormal. Pada janin yang tidak normal tdk boleh
diberi oxytocin.
Indikasi dan Kontraindikasi
a. Indikasi
1. Indikasi oksitosik.
2. Induksi partus aterm
3. Mengontrol perdarahan dan atuni uteri pasca persalinan
4. Merangsang konstraksi uterus setelah operasi Caesar
5. Uji oksitoksik
6. Menghilangkan pembengkakan payudara.
b. Kontra Indikasi
1. Kontraksi uterus hipertonik
2. Distress janin
3. Prematurisasi dan gawat janin
4. Letak bati tidak normal
5. Disporposi sepalo pelvis
6. Predisposisi lain untuk pecahnya rahim
7. Obstruksi mekanik pada jalan lahir
8. Peeklamsi atu pemnyakit kardiovaskuler atu pada ibu hamil yang berusia 35 tahun
9. Resistensi dan mersia uterus
10. Uterus yang starvasi
11. Cara pakai dan dosis
Penggunaan Dan Dosis
Untuk induksi persalinan intravena 1-4 m U permenit dinaikkan menjadi 5-20 m U /
menit sampai terjadi pola kontraksi secara fisiologis. Untuk perdarahan uteri pasca partus,
ditambahkan 10-40 unit pada 1 L dari 5 % dextrose, dan kecepatan infuse dititrasi untuk
mengawasi terjadinya atonia uterus. Kemungkinan lain adalah, 10 unit dapat diberikan secara
intramuskuler setelah lahirnya plasenta. Untuk menginduksi pengaliran susu, 1satu tiupan (
puff ) disemprotkan ke dalam tiap lubang hidung ibu dalam posisi duduk 2-3 menit sebelum
menyusui.
Contoh obat
Tablet oksitosina Pitosin tablet (PD)
Efek Samping :
adapun Efeksamping dari pemakaian Oksitosin yaitu :
1. Spasme uterus ( pada dosis rendah )
2. Hiper stimulasi uterus 9 membahayan janin : kerusakan jaringan lunak /uterus )Keracunan
cairan dan hiporatremia ( pada dosis besar)
3. Mual,muntah, aritmia, anafilaksis, ruam kulit, aplasia plasenta, emboli amnion.
4. Kontraksipembuluh darah tali pusat
5. Kerja antidiuretik
6. Reaksi hipersensitifitas
7. Reaksi anafilaktik
8. Hiper stimulasi uterus yang membahayakan janin : kerusakan jaringan lunak / rupture uterus
9. Keracunan cairan dan hiporatremia ( pada dosis besar )
10. Mual, muntah,ruam kulit, aplasia plasenta, emboli amnion.
11. Kontraksi pembuluh darah tali pusat
12. Aritmia jantung
13. Hematoma panggul

3. Misoprostol / Prostagladin
Prostaglandin pertama kali diketemukan dari cairan semen manusia pada sekitar tahun
1930 oleh Ulf von Euler dari Swedia. Oleh karena diduga berasal dari kelenjar prostat, sang
penemu memberinya nama prostaglandin. Prostaglandin, seperti hormon, berfungsi layaknya
senyawa sinyal tetapi hanya bekerja di dalam sel tempat mereka tersintesis. Rumus bangun
prostaglandin adalah asam alkanoat tak jenuh yang terdiri dari 20 atom karbon yang
membentuk 5 cincin. Prostaglandin tersintesis dari asam lemak dan asam arakidonat.
Prostaglandin F2α memberi efek peningkatan MMP-1 dan MMP-3.

Di dalam tubuh terdapat berbagai jenis prostaglandin (PG) dan tempat kerjanya berbeda-
beda, serta saling mengadakan interaksi dengan autakoid lain, neurotransmitor, hormon serta
obat- obatan. Prostaglandin ditemukan pada ovarium, miometrim dan cairan menstrual
dengan konsentrasi berbeda selama siklus haid. Sesudah senggama ditemukan PG yang
berasal dari semer; dalam sistem produksi wanita. PG (prostaglandin) ini diserap dari vagina
dan cukup untuk menghasilkan kadar dalam darah, yang menimbulkan efek fisiologis.
Walaupun PG (prostaglandin) ini sudah dipastikan sebagai oksitosik, namun status peranan
fisiologiknya pada saat menstruasi dan kehamilan masih diperdebatkan.

Dalam hal ini haruslah dibedakan antara efek fisiologik dan efek farmakologik; dosis
farmakologik relatif tinggi dan lebih nyata. Pada manusia PG berperan penting dalam
peristiwa persalinan. Berlainan dengan oksitosin, PG dapat merangsang terjadinya persalinan,
pada setiap usia kehamilan. Pada saat persalinan spontan, konsentrasi PG dalam darah perifer
dan cairan amnion meningkat.

Framakologi
Prostaglandin dapat dianggap sebagai hormon lokal, karena kerjanya terbatas pada organ
penghasil dan segera diinaktifkan di tempat yang sama. Prostaglandin yang terdapat pada
uterus, cairan menstrual dan cairan amnion ialah PGE dan PGF. Di bidang keperawatan
penggunaan PG terbatas pada PGE2 dan PGF2α . Semua PGF merangsang kontraksi uterus
baik hamil maupun tidak. Sebaliknya PGE2 merelaksasi jaringan uterus tidak hamil in vitro,
tetapi memperlihatkan efek oksitosik lebih kuat dari PGF2α . Prostaglandin memperlihatkan
kisaran dosis- respons yang sempit dalam menimbulkan kontraksi fisiologik, dan ini
memudahkan terjadinya hipertoni uterus yang membahayakan.bahaya ini dapat dicegah
dengan pengamatan yang cermat dan meningkatkan kecepatan infus secara sedikit demi
sedikit.
Untuk mengakhiri kehamilan pada trimester II pemberian PGE2 DAN PGF2α ke dalam
rongga uterus dengan menggunakan kateter atau suntikan memberikan hasil yang baik,
disertai efek samping yang ringan. Sebaliknya untuk menghentikan kehamilan
muda(menstruasi yang telat beberapa minggu); diperlukan dosis yang sangat besa, sehingga
menyebabkan efek samping yang berat, dan derajat keberhasilan yang rendah.
PGE2 dan 15- metil PGF2α meningkatkan suhu tubuh sekilas dan diduga kerjanya
melalui pusat pengatur suhu di hipotalamus. Dosis besar PGF2α menyebabkan hipertensi
melalui kontraksi pembuluh darah, sebaliknya PGE2 menimbulkan vasodilatasi.
Prostaglandin terdapat merata di dalam miometrium dan bekerja secara sinergis dengan
oksitosin terhadap kontraksi uterus. Pemberian prostaglandin lokal pada serviks,
menyebabkan serviks matang tanpa mempengaruhi motilitas uterus.
Indikasi Dan Kontra Indikasi
a. Indikasi
1. Induksi partus aterm
2. Mengontrol perdarahan dan atoni uteri pasca persalinan
3. Merangsang kontraksi uterus post sc atau operasi uterus lainya
4. Induksi abortus terapeutik
5. Uji oksitosin
6. Menghilangkan pembengkakan mamae
b. Kontra Indikasi
1. Terdapat ruptura membran amnion
2. Adanya riwayat sikatris
3. Apabila telah ada perdarahan antepartum yang signifikan (perdarahan vagina selama
kehamilan) atau dimana terdapat plasenta previa dengan atau tanpa perdarahan, prostaglandin
tidak digunakan
4. Dalam kondosi mata yang dikenal sobagai glaukoma
5. jika ada infeksi pada jalan lahir
6. Pada kehmilan melintang sungsang atau miring
Mekanisme Cara Kerja
Prostaglandin bekerja pada sejumlah reseptor prostaglandin yang berlainan. Substansi ini
mempengaruhi banyak sistem dan menyebabkan berbagai efek samping
. Dosis Dan Cara Pakai
1. Karbopros trometamin: Injeksi 250 ug/ml
2. Dinoproston (PGE): Supositoria vaginal 20 mg
3. Gemeprost: Pesari 1mg ( melunakan uterus)
4. Sulpreston: Injeksi 25, 50, 100 ug/ml IM atau IV
Efek samping
1. Hiperstimulasai uterus
2. Pireksia
3. Infalamasi
4. Sensitisasi terhaap rasa nyeri
5. Diuresis+kehilangan elektrolit
6. Efek pada sistem syaraf pusat( tremor merupakan efek samping yang jarang terjadi )
7. Pelepasan hormon hipofise renin steroid adrenal
8. Sakit persisten pada punggung bwah dan perut

C. Cara Menghindari Efek Samping Obat


Sebagai konsumen kesehatan, Anda sendirilah yang harus waspada terhadap potensi efek
samping obat. Beberapa tips berikut dapat menjadi panduan Anda :

1. Baca dosis dan aturan pakainya.


2. Lihat tanda peringatan.
3. Ketahui efek samping obat.
4. Jangan sembarangan memberikan obat bebas kepada anak.
5. Bacalah kandungan isi dan tanggal daluwarsa obat.
6. Beritahu dokter bila ada gejala komplikasi
7. Mintalah dokter mengevaluasi pengobatan jangka panjang Anda.
8. Yang paling Utama belilah obat ke Apotik yang resmi.
.
Definisi Vaksin

Vaksin berasal dari bahasa latin vacca (sapi) dan vaccinia (cacar sapi). Vaksin adalah bahan
antigenik yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan aktif terhadap suatu penyakit
sehingga dapat mencegah atau mengurangi pengaruh infeksi oleh organisme alami atau liar.

Vaksin dapat berupa galur virus atau bakteri yang telah dilemahkan sehingga tidak
menimbulkan penyakit. Vaksin dapat juga berupa organisme mati atau hasil-hasil
pemurniannya (protein, peptida, partikel serupa virus, dsb.). Vaksin akan mempersiapkan
sistem kekebalan manusia atau hewan untuk bertahan terhadap serangan patogen tertentu,
terutama bakteri, virus, atau toksin. Vaksin juga bisa membantu sistem kekebalan untuk
melawan sel-sel degeneratif (kanker).

Pemberian vaksin diberikan untuk merangsang sistem imunologi tubuh untuk membentuk
antibodi spesifik sehingga dapat melindungi tubuh dari serangan penyakit yang dapat dicegah
dengan vaksin. Ada beberapa jenis vaksin. Namun, apa pun jenisnya tujuannya sama, yaitu
menstimulasi reaksi kekebalan tanpa menimbulkan penyakit.

JENIS-JENIS VAKSIN

1. Live attenuated vaccine

Vaksin hidup yang dibuat dari bakteri atau virus yang sudah dilemahkan daya virulensinya
dengan cara kultur dan perlakuan yang berulang-ulang, namun masih mampu menimbulkan
reaksi imunologi yang mirip dengan infeksi alamiah. Sifat vaksin live attenuated vaccine,
yaitu :

 Vaksin dapat tumbuh dan berkembang biak sampai menimbulkan respon imun
sehingga diberikan dalam bentuk dosis kecil antigen
 Respon imun yang diberikan mirip dengan infeksi alamiah, tidak perlu dosis berganda
 Dipengaruhi oleh circulating antibody sehingga ada efek netralisasi jika waktu
pemberiannya tidak tepat.
 Vaksin virus hidup dapat bermutasi menjadi bentuk patogenik
 Dapat menimbulkan penyakit yang serupa dengan infeksi alamiah
 Mempunyai kemampuan proteksi jangka panjang dengan keefektifan mencapai 95%
 Virus yang telah dilemahkan dapat bereplikasi di dalam tubuh, meningkatkan dosisi
asli dan berperan sebagai imunisasi ulangan

Contoh : vaksin polio (Sabin), vaksin MMR, vaksin TBC, vaksin demam tifoid, vaksin
campak, gondongan, dan cacar air (varisela).

2. Inactivated vaccine (Killed vaccine)


Vaksin dibuat dari bakteri atau virus yang dimatikan dengan zat kimia (formaldehid) atau
dengan pemanasan, dapat berupa seluruh bagian dari bakteri atau virus, atau bagian dari
bakteri atau virus atau toksoidnya saja. Sifat vaksin inactivated vaccine, yaitu :

 Vaksin tidak dapat hidup sehingga seluruh dosis antigen dapat dimasukkan dalam
bentuk antigen
 Respon imun yang timbul sebagian besar adalah humoral dan hanya sedikit atau tidak
menimbulkan imunitas seluler
 Titer antibodi dapat menurun setelah beberapa waktu sehingga diperlukan dosis
ulangan, dosis pertama tidak menghasilkan imunitas protektif tetapi hanya memacu
dan menyiapkan system imun, respon imunprotektif baru barumuncul setelah dosis
kedua dan ketiga
 Tidak dipengaruhi oleh circulating antibody
 Vaksin tidak dapat bermutasi menjadi bentuk patogenik
 Tidak dapat menimbulkan penyakit yang serupa dengan infeksi alamiah

Contoh : vaksin rabies, vaksin influenza, vaksin polio (Salk), vaksin pneumonia
pneumokokal, vaksin kolera, vaksin pertusis, dan vaksin demam tifoid.

3. Vaksin Toksoid

Vaksin yang dibuat dari beberapa jenis bakteri yang menimbulkan penyakit dengan
memasukkan racun dilemahkan ke dalam aliran darah. Bahan bersifat imunogenik yang
dibuat dari toksin kuman. Hasil pembuatan bahan toksoid yang jadi disebut sebagai natural
fluid plain toxoid yang mampu merangsang terbentuknya antibodi antitoksin. Imunisasi
bakteri toksoid efektif selama satu tahun. Bahan ajuvan digunakan untuk memperlama
rangsangan antigenik dan meningkatkan imunogenesitasnya. Contoh : Vaksin Difteri dan
Tetanus
4. Vaksin Acellular dan Subunit

Vaksin yang dibuat dari bagian tertentu dalam virus atau bakteri dengan melakukan kloning
dari gen virus atau bakteri melalui rekombinasi DNA, vaksin vektor virus dan vaksin
antiidiotipe. Contoh vaksin hepatitis B, Vaksin hemofilus influenza tipe b (Hib) dan vaksin
Influenza.
5. Vaksin Idiotipe

Vaksin yang dibuat berdasarkan sifat bahwa Fab (fragment antigen binding) dari antibodi
yang dihasilkan oleh tiap klon sel B mengandung asam amino yang disebut sebagai idiotipe
atau determinan idiotipe yang dapat bertindak sebagai antigen. Vaksin ini dapat menghambat
pertumbuhan virus melalui netralisasai dan pemblokiran terhadap reseptor pre sel B.
6. Vaksin Rekombinan

Vaksin rekombinan memungkinkan produksi protein virus dalam jumlah besar. Gen virus
yang diinginkan diekspresikan dalam sel prokariot atau eukariot. Sistem ekspresi eukariot
meliputi sel bakteri E.coli, yeast, dan baculovirus. Dengan teknologi DNA rekombinan selain
dihasilkan vaksin protein juga dihasilkan vaksin DNA. Penggunaan virus sebagai vektor
untuk membawa gen sebagai antigen pelindung dari virus lainnya, misalnya gen untuk
antigen dari berbagai virus disatukan ke dalam genom dari virus vaksinia dan imunisasi
hewan dengan vaksin bervektor ini menghasilkan respon antibodi yang baik. Susunan vaksin
ini (misal hepatitis B) memerlukan epitop organisme yang patogen. Sintesis dari antigen
vaksin tersebut melalui isolasi dan penentuan kode gen epitop bagi sel penerima vaksin.
7. Vaksin DNA (Plasmid DNA Vaccines)

Vaksin dengan pendekatan baru dalam teknologi vaksin yang memiliki potensi dalam
menginduksi imunitas seluler. Dalam vaksin DNA gen tertentu dari mikroba diklon ke dalam
suatu plasmid bakteri yang direkayasa untuk meningkatkan ekspresi gen yang diinsersikan ke
dalam sel mamalia. Setelah disuntikkan DNA plasmid akan menetap dalam nukleus sebagai
episom, tidak berintegrasi kedalam DNA sel (kromosom), selanjutnya mensintesis antigen
yang dikodenya.

Selain itu vektor plasmid mengandung sekuens nukleotida yang bersifat imunostimulan yang
akan menginduksi imunitas seluler. Vaksin ini berdasarkan isolasi DNA mikroba yang
mengandung kode antigenyang patogen dan saat ini sedang dalam perkembangan penelitian.
Hasil akhir penelitian pada binatang percobaan menunjukkan bahwa vaksin DNA (virus dan
bakteri) merangsang respon humoral dan selular yang cukup kuat, sedangkan penelitian klinis
pada manusia saat ini sedang dilakukan.

Imunisasi merupakan prosedur pencegahan penyakit menular yang diberikan kepada anak
sejak masih bayi hingga remaja. Caranya dengan memberikan mikro organisme bibit
penyakit berbahaya yang sudah dilemahkan (Vaksin) ke dalam tubuh sehingga merangsang
sistem kekebalan tubuh (imun) terhadap jenis antigen itu di masa yang akan datang,
khususnya bagi bayi dan balita.

Karena itu, bagi orang tua yang memiliki bayi atau balita dianjurkan mengikuti program
imunisasi dasar yang bertujuan untuk merangsang sistem imun guna membentuk antibodi.
Atas dasar itulah diperlukan pengetahuan atau informasi yang cukup tentang pentingnya
melakukan imunisasi dasar khususnya pada bayi dan balita. Pasalnya, imunisasi yang
diberikan bertujuan agar bayi siap dengan lingkungan baru (luar kandungan) karena tidak ada
lagi kekebalan tubuh alami yang didapatkan dari bayi seperti saat masih dalam kandungan
ibunya. Apabila tidak dilakukan imunisasi, dan kemudian terkena kuman yang menular,
kemungkinan tubuhnya belum kuat melawan penyakit tersebut.

Untuk mengetahui apa itu vaksin atau imunisasi, maka suara tangsel.com telah melakukan
wawancara dengan dokter spesialis anak di RSU Kota Tangsel, dr. Vollico Nenni S.Sp.A,
yang kemudian akan menjelaskannya pada Anda.

“Vaksin itu sangat penting untuk kekebalan tubuh, karena imunisasi dasar pada bayi atau
balita merupakan salah satu upaya pencegahan penyakit dengan cara pemberian beberapa
vaksin saat imunisasi dasar yang harus diberikan pada bayi atau balita melalui oral maupun

dengan cara penyuntikan” terangnya.


Maanfaat imunisasi dasar lainnya, lanjut Vollico Nenni, selain untuk menjaga daya tahan
tubuh anak, imunisasi juga dapat mencegah penyakit menular yang berbahaya, menjaga anak
tetap sehat, mencegah kecacatan dan kematian, serta menjaga dan membantu perkembangan
anak secara optimal.

Di dalam imunisasi terdapat vaksin atau mikro organisme penyebab penyakit yang telah
dilemahkan. Cara kerjanya yaitu dengan menipu tubuh untuk merangsang sistem pertahanan
tubuh (imun) atau anti bodi.

Pada saat imunisasi atau vaksinasi dilakukan setelah kuman-kuman tersebut ada didalam
tubuh maka sistem pertahanan tubuh akan melakukan perlawanan terhadap ”invasi’ antigen
ini sehingga sistem pertahanan tubuh bisa mengidentifikasi antigen tersebut dan mempunyai
kemampuan melawan di masa yang akan datang (imunitas).

Jenis vaksinasi atau imunisasi dasar yang wajib diberikan pada anak

1. Vaksin Hepatitis B

Virus hepatitis B adalah virus yang menyebabkan penyakit hepatitis B atau lebih dikenal
dengan nama penyakit kuning. Penyakit ini sangatlah berbahaya karena bisa menyebabkan
kerusakan pada hati. Pemberian vaksin 3 kali pada bayi terbukti mampu mencegah penyakit
hepatitis B sampai 75 %.

2. DPT Vaksin

Vaksin ini merupakan gabungan dari 3 vaksin yaitu Difteri, Pertussis, dan Tetanus (DPT).
Difteri merupakan penyakit dari basil Difteri yang bisa menyebabkan kerusakan jantung dan
saraf. Pertussis yaitu penyakit batuk rajan yang sangat menular penyakit ini sering juga
disebut dengan istilah batuk 100 hari. Tetanus disebabkan oleh jenis bakteri yang disebut
dengan Clostridium tetani ditandai dengan kekakuan otot gejala penyakit tetanus hampir
sama dengan Epilepsi.

3. Vaksin Polio

Penyakit polio adalah penyakit yang bisa menyebabkan kelumpuhan pada anak. Menurut
penelitian vaksin polio terbukti 90 % efektif untuk mencegah infeksi polio pada anak.

4. Vaksin Campak

Campak adalah salah satu jenis Penyakit kulit yang menular berakibat fatal terutama pada
anak-anak. Menurut penelitian Vaksin ini dapat mencegah infeksi campak hingga 90 persen.

5. Bacille Calmette Guerin (BCG)

Vaksin berguna untuk mencegah penyakit tuberculosis (TBC) yaitu penyakit infeksi
Mycobacterium tuberculosis. Kuman ini Merupakan kuman yang sangat berbahaya dan tidak
mudah untuk di mati kan.

6. Vaksin HiB
Vaksin ini diberikan untuk melakukan pencegahan penyakit meningitis dan pneumonia. Yang
di sebabkan oleh infeksi bakteri Haemofillus Influenza B. Sangat berbahaya karena telah
menyebabkan kematian 386.000 anak tiap tahunnya.

dr.Vollico Nenni juga mengatakan bahwa banyak orang tua yang masih takut untuk
memberikan Vaksin Imunisasi kepada anak – anak mereka, karena mendapatkan informasi
dan sumber yang tidak pasti.

“Ada enam vaksinasi atau imunisasi dasar yang wajib diberikan kepada bayi atau balita, jadi
untuk para orang tua jangan takut untuk segera memberikan imunisasi dasar kepada anak atau
balitanya, karena berdasarkan data dan fakta, vaksinasi atau imunisasi sudah melewati
berbagai macam tahapan penelitian dan pengujian secara klinis, apalagi vaksinasi atau
imunisasi dasar ini adalah program pemerintah yang diberikan secara gratis,” tutup Vollico.
[] hnf

vaksin Pentabio (DTP-HB-Hib)


Pentabio adalah Vaksin DTP-HB-Hib (Vaksin Jerap Difteri, Tetanus, Pertusis, Hepatitis B
Rekombinan, Haemophilus influenzae tipe b) berupa suspensi homogen yang mengandung
toksoid tetanus dan difter-i murni, bakter-i pertusis (batuk rejan) inaktif,antigen permukaan
hepatitis B (HBsAg) murni yang tidak infeksius, dan komponen Hib sebagai vaksin bakteri
sub unit berupa kapsul polisakarida Haemophilus influenzae tipe b tidak infeksius yang
dikonjugasikan kepada protein toksoid tetanus. HBsAg diproduksi melalui teknologi DNA
rekombinan pada sel ragi. Vaksin dijerap pada aluminium fosfat. Thimerosal digunakan
sebagai pengawet. Polisakarida berasal dari bakteri Hib yang ditumbuhkan pada media
tertentu, dan kemudian dimurnikan melalui serangkaian tahap ultrafiltrasi. Potensi vaksin per
dosis tidak kurang dari 4 IU untuk pertusis, 30 IU untuk difteri, 60 IU untuk tetanus
(ditentukan pada mencit) atau 40 IU (ditentukan pada guinea pig), 10 mcg _HBsAg dan 10
mcg Hib.
SYOK ANAFILAKTIK

10 Oktober 2011 3 Komentar

DEFINISI

Secara harfiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan phylaxis yang
berarti perlindungan . Dalam hal ini respons imun yang seharusnya melindungi
( prophylaxis ) justru merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari pada melindungi
( anti-phylaxis atau anaphylaxis ).

Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh


Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah jantung dan
tekanan arteri yang menurun hebat. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu reaksi antigen-
antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam sirkulasi. Syok
anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis yang merupakan syok
distributif, ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada
pembuluh darah dan disertai kolaps pada sirkulasi darah yang dapat menyebabkan terjadinya
kematian. Syok anafilaktik merupakan kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk
menggambarkan anafilaksis secara keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat terjadi
tanpa adanya hipotensi, seperti pada anafilaksis dengan gejala utama obstruksi saluran napas.

EPIDEMIOLOGI

Insiden anafilaksis sangat bervariasi, di Amerika Serikat disebutkan bahwa angka kejadian
anafilaksis berat antara 1-3 kasus/10.000 penduduk, paling banyak akibat penggunaan
antibiotik golongan penisilin dengan kematian terbanyak setelah 60 menit penggunaan obat.
Insiden anafilaksis diperkirakan 1-3/10.000 penduduk dengan mortalitas sebesar 1-3/1 juta
penduduk.Sementara di Indonesia, khususnya di Bali, angka kematian dari kasus anafilaksis
dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005 dan mengalami
peningkatan prevalensi pada tahun 2006 sebesar 4 kasus/10.000 total pasien anafilaksis.

Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber menyebutkan bahwa
anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama perempuan dewasa muda dengan
insiden lebih tinggi sekitar 35% dan mempunyai risiko kira-kira 20 kali lipat lebih tinggi
dibandingkan laki-laki. Berdasarkan umur, anafilaksis lebih sering pada anak-anak dan
dewasa muda, sedangkan pada orang tua dan bayi anafilaksis jarang terjadi.

FAKTOR PREDISPOSISI DAN ETIOLOGI

Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah sifat alergen, jalur
pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan paparan alergen. Golongan alergen yang
sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan
lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan
susu adalah makanan yang biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang
bisa menyebabkan anafikasis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi intravena,
relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat, dan lain-lain. Media kontras
intravena, transfusi darah, latihan fisik, dan cuaca dingin juga bisa menyebabkan anafilaksis.
PATOFISIOLOGIS

Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam hipersensitivitas tipe I


( Immediate type reaction ). Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi
dan aktivasi. Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E
sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Sedangkan fase
aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama
sampai timbulnya gejala.

Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di tangkap oleh
Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia
akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi
sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut
kemudian terikat pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.

Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi pada
paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen
yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu
pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan
vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah preformed mediators.

Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel yang akan
menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah
degranulasi yang disebut newly formed mediators . Fase Efektor adalah waktu terjadinya
respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil
dengan aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek
bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema,
sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan
Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek
bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit.
Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang
dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.

Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya fenomena


maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan aliran darah
balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan darah.
Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia
jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan penderita.

MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3 tipe dari reaksi
anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah terpapar
dengan alergen; reaksi moderat terjadi antara 1 sampai 24 jam setelah terpapar dengan
alergen; serta reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam setelah terpapar dengan alergen.

Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi kadang-kadang
langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis juga dibagi dalam derajat ringan,
sedang, dan berat. Derajat ringan sering dengan keluhan kesemutan perifer, sensasi hangat,
rasa sesak dimulut, dan tenggorok. Dapat juga terjadi kongesti hidung, pembengkakan
periorbital, pruritus, bersin-bersin, dan mata berair. Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam
pertama setelah pemajanan. Derajat sedang dapat mencakup semua gejala-gejala ringan
ditambah bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan mengi.
Wajah kemerahan, hangat, ansietas, dan gatal-gatal juga sering terjadi. Awitan gejala-gejala
sama dengan reaksi ringan. Derajat berat mempunyai awitan yang sangat mendadak dengan
tanda-tanda dan gejala-gejala yang sama seperti yang telah disebutkan diatas disertai
kemajuan yang pesat kearah bronkospame, edema laring, dispnea berat, dan sianosis. Bisa
diiringi gejala disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare, dan kejang-kejang. Henti
jantung dan koma jarang terjadi. Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia
ventrikel atau renjatan yang irreversible.

Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat terjadi pada satu atau
lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, kulit, mata, susunan
saaraf pusat dan sistem saluran kencing, dan sistem yang lain. Keluhan yang sering dijumpai
pada fase permulaan ialah rasa takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan
kesemutan pada tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut.

Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang berlebihan. Pada rhinitis
alergi dapat dijumpai allergic shiners, yaitu daerah di bawah palpebra inferior yang menjadi
gelap dan bengkak. Pemeriksaan hidung bagian luar di bidang alergi ada beberapa tanda,
misalnya: allergic salute, yaitu pasien dengan menggunakan telapak tangan menggosok
ujung hidungnya ke arah atas untuk menghilangkan rasa gatal dan melonggarkan sumbatan;
allergic crease, garis melintang akibat lipatan kulit ujung hidung; kemudian allergic facies,
terdiri dari pernapasan mulut, allergic shiners, dan kelainan gigi geligi. Bagian dalam hidung
diperiksa untuk menilai warna mukosa, jumlah, dan bentuk sekret, edema, polip hidung, dan
deviasi septum. Pada kulit terdapat eritema, edema, gatal, urtikaria, kulit terasa hangat atau
dingin, lembab/basah, dan diaphoresis.

Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru menurun, penurunan saturasi
oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafas, dan penurunan volume tidal. Saluran
nafas atas bisa mengalami gangguan jika lidah atau orofaring terlibat sehingga terjadi stridor.
Suara bisa serak bahkan tidak ada suara sama sekali jika edema terus memburuk. Obstruksi
saluran napas yang komplit adalah penyebab kematian paling sering pada anafilaksis. Bunyi
napas mengi terjadi apabila saluran napas bawah terganggu karena bronkospasme atau edema
mukosa. Selain itu juga terjadi batuk-batuk, hidung tersumbat, serta bersin-bersin.

Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran sampai terjadi koma
merupakan gangguan pada susunan saraf pusat. Pada sistem kardiovaskular terjadi hipotensi,
takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-tanda iskemia otot jantung (angina), kebocoran
endotel yang menyebabkan terjadinya edema, disertai pula dengan aritmia. Sementara pada
ginjal, terjadi hipoperfusi ginjal yang mengakibatkan penurunan pengeluaran urine (oligouri
atau anuri) akibat penurunan GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya gagal ginjal
akut. Selain itu terjadi peningkatan BUN dan kreatinin disertai dengan perubahan kandungan
elektrolit pada urine.

Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis sel sentral,


peningkatan kadar enzim hati, dan koagulopati. Gejala yang timbul pada sistem
gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut dan spasme otot polos, berupa
nyeri abdomen, mual-muntah atau diare. Kadang kadang dijumpai perdarahan rektal yang
terjadi akibat iskemia atau infark usus.

Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati, gangguan fungsi


trombosit, dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi. Sementara gangguan pada sistem
neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi kelenjar adrenal, resistensi insulin, disfungsi
tiroid, dan perubahan status mental. Pada keadaan syok terjadi perubahan metabolisme dari
aerob menjadi anaerob sehingga terjadi peningkatan asam laktat dan piruvat. Secara
histologis terjadi keretakan antar sel, sel membengkak, disfungsi mitokondria, serta
kebocoran sel.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium diperlukan karena sangat membantu menentukan diagnosis,


memantau keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan digunakan untuk memonitor hasil
pengbatan serta mendeteksi komplikasi lanjut. Hitung eosinofil darah tepi dapat normal atau
meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering kali menunjukkan nilai normal.
Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari
suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Pemeriksaan lain yang lebih bermakna yaitu
IgE spesifik dengan RAST (radio-immunosorbent test) atau ELISA (Enzym Linked
Immunosorbent Assay test), namun memerlukan biaya yang mahal.

Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen penyebab yaitu dengan uji
cukit (prick test), uji gores (scratch test), dan uji intrakutan atau intradermal yang tunggal
atau berseri (skin end-point titration/SET). Uji cukit paling sesuai karena mudah dilakukan
dan dapat ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak, meskipun uji intradermal (SET)
akan lebih ideal. Pemeriksaan lain sperti analisa gas darah, elektrolit, dan gula darah, tes
fungsi hati, tes fungsi ginjal, feses lengkap, elektrokardiografi, rontgen thorak, dan lain-lain.

DIAGNOSIS

Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2 organ atau lebih setelah
terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan diagnosis maka American
Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah membuat suatu kriteria.

Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit hingga beberapa jam)
dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-duanya (misalnya bintik-bintik
kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan
salah satu dari respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor,
wheezing, penurunan PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau gejala yang
berkaitan dengan disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia).

Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak setelah terpapar
alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit hingga beberapa jam), yaitu
keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh,
pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir-lidah-uvula); Respiratory compromise (misalnya
sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia); penurunan
tekanan darah atau gejala yang berkaitan (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia); dan
gejala gastrointestinal yang persisten (misalnya nyeri abdominal, kram, muntah).
Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada alergen yang
diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik). Pada bayi dan anak-anak,
tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau penurunan darah sistolik lebih dari
30%. Sementara pada orang dewasa, tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau
penurunan darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awal.

DIAGNOSA BANDING

Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik. Gambaran klinis yang tidak spesifik
dari anafilaksis mengakibatkan reaksi tersebut sulit dibedakan dengan penyakit lainnya yang
memiliki gejala yang sama. Hal ini terjadi karena anafilaksis mempengaruhi seluruh sistem
organ pada tubuh manusia sebagai akibat pelepasan berbagai macam mediator dari sel mast
dan basofil, dimana masing-masing mediator tersebut memiliki afinitas yang berbeda pada
setiap reseptor pada sistem organ. Beberapa kondisi yang menyerupai reaksi anafilaksis dan
syok anafilaktik adalah reaksi vasovagal, infark miokard akut, reaksi hipoglikemik, reaksi
histeris, Carsinoid syndrome, Chinese restaurant syndrome, asma bronkiale, dan rhinitis
alergika.

Reaksi vasovagal, sering dijumpai setelah pasien mandapat suntikan. Pasien tampak pingsan,
pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi anafilaktik, pada reaksi vasovagal
nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan darahnya turun tetapi masih
mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti anafilaktik.Sementara infark miokard
akut, gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atau tanpa penjalaran. Gejala tersebut
sering diikuti rasa sesak tetapi tidak tampak tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan
pada anafilaktik tidak ada nyeri dada.

Reaksi hipoglikemik, disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau sebab lain. Pasien
tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar. Tekanan darah kadang-kadang
menurun tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi
anafilaktik ditemui obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi histeris, tidak dijumpai
adanya tanda-tanda gagal napas, hipotensi, atau sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan
meskipun hanya sementara. Sedangkan tanda-tanda diatas dijumpai pada reaksi anafilaksis.

Carsinoid syndrome, dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan, nyeri kepala, diare,
serangan sesak napas seperti asma. Chinese restaurant syndrome, dapat dijumpai beberapa
keadaan seperti mual, pusing, dan muntah pada beberapa menit setelah mengkonsumsi MSG
lebih dari 1gr, bila penggunaan lebih dari 5 gr bisa menyebabkan asma. Namun tekanan
darah, kecepatan denyut nadi, dan pernapasan tidak berbeda nyata dengan mereka yang diberi
makanan tanpa MSG.

Asma bronkiale, gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk berdahak, dan suara napas
mengi (wheezing). Dan biasanya timbul karena faktor pencetus seperti debu, aktivitas fisik,
dan makanan, dan lebih sering terjadi pada pagi hari. Rhinitis alergika, penyakit ini
menyebabkan gejala seperti pilek, bersin, buntu hidung, gatal hidung yang hilang-timbul,
mata berair yang disebabkan karena faktor pencetus seperti debu, terutama di udara dingin.

PENATALAKSANAAN

Tindakan
Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan alergen baik peroral maupun
parenteral, maka tindakan pertama yang paling penting dilakukan adalah mengidentifikasi
dan menghentikan kontak dengan alergen yang diduga menyebabkan reaksi anafilaksis.
Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk
meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan
menaikkan tekanan darah.

Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan circulation dari tahapan
resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup dasar. Airway, penilaian
jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk
penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang
menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan triple airway manuver yaitu ekstensi kepala,
tarik mandibula ke depan, dan buka mulut. Penderita dengan sumbatan jalan napas total,
harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau
trakeotomi. Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada
tanda-tanda bernapas spontan, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok
anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas
total atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong
dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen 5-10 liter /menit.
Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis atau a.
femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.

Obat-obatan

Sampai sekarang adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk mengobati syok
anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan darah, menyempitkan
pembuluh darah, melebarkan bronkus, dan meningkatkan aktivitas otot jantung. Adrenalin
bekerja sebagai penghambat pelepasan histamin dan mediator lain yang poten. Mekanisme
kerja adrenalin adalah meningkatkan cAMP dalam sel mast dan basofil sehingga
menghambat terjadinya degranulasi serta pelepasan histamine dan mediator lainnya. Selain
itu adrenalin mempunyai kemampuan memperbaiki kontraktilitas otot jantung, tonus
pembuluh darah perifer dan otot polos bronkus. Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan
vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan kontraksi jantung sehingga
menimbulkan tekanan darah naik seketika dan berakhir dalam waktu pendek.

Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha, ataupun sekitar lesi pada
sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada penatalaksanaan syok anafilaktik.
Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah pemberian intramuskuler. Pada pasien dalam
keadaan syok, absorbsi intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari pada pemberian
subkutan. Berikan 0,5 ml larutan 1 :1000 (0,3-0,5 mg) untuk orang dewasa dan 0,01 ml/kg
BB untuk anak. Dosis diatas dapat diulang beberapa kali tiap 5-15 menit, sampai tekanan
darah dan nadi menunjukkan perbaikan.

Tabel 2.1. Dosis Adrenalin Intramuskular untuk Anak-anak


Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena kecuali pada keadaan tertentu saja
misalnya pada saat syok (mengancam nyawa) ataupun selama anestesia. Pada saat pasien
tampak sangat kesakitan serta kemampuan sirkulasi dan absorbsi injeksi intramuskuler yang
benar-benar diragukan, adrenalin mungkin diberikan dalam injeksi intravena lambat dengan
dosis 500 mcg (5 ml dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) diberikan dengan kecepatan
100 mcg/menit dan dihentikan jika respon dapat dipertahankan. Pada anak-anak dapat diberi
dosis 10 mcg/kg BB (0,1 ml/kg BB dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) dengan
injeksi intravena lambat selama beberapa menit. Beberapa penulis menganjurkan pemberian
infus kontinyu adrenalin 2-4 ug/menit. Individu yang mempunyai resiko tinggi untuk
mengalami syok anafilaksis perlu membawa adrenalin setiap waktu dan selanjutnya perlu
diajarkan cara penyuntikkan yang benar. Pada kemasan perlu diberi label, pada kasus kolaps
yang cepat orang lain dapat memberikan adrenalin tersebut. (Pamela, adrenalin, draholik)

Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita anafilaksis, obat-obat yang sering
dimanfaatkan adalah antihistamin, kortikosteroid, dan bronkodilator. Pemberian antihistamin
berguna untuk menghambat proses vasodilatasi dan peningkatan peningkatan permeabilitas
vaskular yang diakibatkan oleh pelepasan mediator dengan cara menghambat pada tempat
reseptor-mediator tetapi bukan bukan merupakan obat pengganti adrenalin. Tergantung
beratnya penyakit, antihistamin dapat diberikan oral atau parenteral. Pada keadaan anafilaksis
berat antihistamin dapat diberikan intravena. Untuk AH2 seperti simetidin (300 mg) atau
ranitidin (150 mg) harus diencerkan dengan 20 ml NaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5
menit. Bila penderita mendapatkan terapi teofilin pemakaian simetidin harus dihindari
sebagai gantinya dipakai ranitidin. Anti histamin yang juga dapat diberikan adalah
dipenhidramin intravena 50 mg secara pelan-pelan (5-10 menit), diulang tiap 6 jam selama 48
jam.

Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan, kortikosteroid tidak banyak


membantu pada tata laksana akut anafilaksis dan hanya digunakan pada reaksi sedang hingga
berat untuk memperpendek episode anafilaksis atau mencegah anafilaksis berulang.
Glukokortikoid intravena baru diharapkan menjadi efektif setelah 4-6 jam pemberian.
Metilprednisolon 125 mg intravena dpt diberikan tiap 4-6 jam sampai kondisi pasien stabil
(yang biasanya tercapai setelah 12 jam), atau hidrokortison intravena 7-10 mg/Kg BB,
dilanjutkan dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam, atau deksametason 2-6 mg/kg BB.

Apabila terjadi bronkospasme yang menetap diberikan aminofilin intravena 4-7 mg/Kg BB
selama 10-20 menit, dapat diikuti dengan infus 0,6 mg/Kg BB/jam, atau aminofilin 5-6
mg/Kg BB yang diencerkan dalam 20 cc dextrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan
perlahan-lahan sekitar 15 menit. Pilihan yang lain adalah bronkodilator aerosol (terbutalin,
salbutamol). Larutan salbutamol atau agonis β2 yang lain sebanyak 0,25 cc-0,5 cc dalam 2-4
ml NaCl 0,99% diberikan melalui nebulisasi.

Apabila tekanan darah tidak naik dengan pemberian cairan, dapat diberikan vasopresor
melalui cairan infus intravena. Larutan 1 ml epineprin 1:1000 dalam 250 ml dextrosa
(konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1-4 mg/menit atau 15-60 mikrodrip/menit
(dengan infus mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat dinaikan sampai dosis maksimum 10
mg/ml, atau aramin 2-5 mg bolus IV pelan-pelan, atau levarterenol bitartrat 4-8 mg/liter
dengan dekstrosa 5% dengan kecepatan 2ml/menit, atau Dopamin 0,3-1,2 mg/Kg BB/jam
secara infus dengan dextrosa 5%.

Terapi Cairan

Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk koreksi
hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam
mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah
jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan
koloid tetap merupakan mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran
kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali
dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan
terdapat kehilangan cairan 20-40% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan
koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume
plasma.

Perlu diperhatikan bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa melepaskan
histamin. Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan pertama
dalam melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume intravaskuler, volume
interstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma berguna untuk meningkatkan
tekanan onkotik intravaskuler.

Observasi

Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik dikirim ke
rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka
penanganan penderita di tempat kejadian harus seoptimal mungkin sesuai dengan fasilitas
yang tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa
harus tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung. Kalau syok sudah
teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus diobservasi dulu selama
selama 24 jam, 6 jam berturut-turut tiap 2 jam sampai keadaan fungsi membaik. Hal-hal yang
perlu diobservasi adalah keluhan, klinis (keadaan umum, kesadaran, vital sign, dan produksi
urine), analisa gas darah, elektrokardiografi, dan komplikasi karena edema laring, gagal
nafas, syok dan cardiac arrest. Kerusakan otak permanen karena syok dan gangguan
cardiovaskuler. Urtikaria dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan, infark miokard,
aborsi, dan gagal ginjal juga pernah dilaporkan. Penderita yang telah mendapat adrenalin
lebih dari 2-3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit.2,9,12

Gambar 2.3. Algoritma Penatalaksanaan Reaksi Anafilaksis


Pencegahan

Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan syok anafilaktik terutama


yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis riwayat alergi penderita dengan
cermat akan sangat membantu menentukan etiologi dan faktor risiko anafilaksis. Individu
yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi terhadap
banyak obat, mempunyai resiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok
anafilaktik.

Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatian bahwa tes kulit negatif
pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat tersebut, tetapi tidak
berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi anafilaksis. Orang dengan tes kulit negatif
dan mempunyai riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1-3%
dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif.
Dalam pemberian obat juga harus berhati-hati, encerkan obat bila pemberian dengan jalur
subkutan, intradermal, intramuskular, ataupun intravena dan observasi selama pemberian.
Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan tepat. Hindari obat-obat yang
sering menyebabkan syok anafilaktik. Catat obat penderita pada status yang menyebabkan
alergi. Jelaskan kepada penderita supaya menghindari makanan atau obat yang menyebabkan
alergi. Hal yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi
reaksi anfilaksis serta adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan. Desensitisasi alergen
spesifik adalah pencegahan untuk kebutuhan jangka panjang.

Prognosis

Penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan kaedah kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis
jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi anafilaksis tersebut dapat kambuh kembali
akibat paparan antigen spesifik yang sama. Maka dari itu perlu dilakukan observasi setelah
terjadinya serangan anafilaksis untuk mengantisipasi kerusakan sistem organ yang lebih luas
lagi.

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi anafilaksis yang akan
menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu umur, tipe alergen, atopi, penyakit
kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis, asma, keseimbangan asam basa dan
elektrolit, obat-obatan yang dikonsumsi seperti β-blocker dan ACE Inhibitor, serta interval
waktu dari mulai terpajan oleh alergen sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan injeksi
adrenalin.

KESIMPULAN

Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh Ig E yang
ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. Syok anafilaktik
memang jarang dijumpai, tetapi mempunyai angka mortalitas yang sangat tinggi.

Beberapa golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis, yaitu makanan,
obat-obatan, dan bisa atau racun serangga. Faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko
terjadinya anafilaksis, yaitu sifat alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan
kesinambungan paparan alergen. Anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe I,
terdiri dari fase sensitisasi dan aktivasi yang berujung pada vasodilatasi pembuluh darah yang
mendadak, keaadaan ini disebut syok anafilaktik.

Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Gejala dapat dimulai dengan gejala
prodormal kemudian menjadi berat, tetapi kadang-kadang langsung berat yang dapat terjadi
pada satu atau lebih organ target. Pemeriksaan laboratorium diperlukan dan sangat membantu
menentukan diagnosis, memantau keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan digunakan untuk
memonitor hasil pengobatan dan mendeteksi komplikasi lanjut. Anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan penunjang yang baik akan membantu seorang dokter dalam mendiagnosis suatu
syok anafilaktik.

Penatalaksanaan syok anfilaktik harus cepat dan tepat mulai dari hentikan allergen yang
menyebabkan reaksi anafilaksis; baringkan penderita dengan kaki diangkat lebih tinggi dari
kepala; penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru; pemberian adrenalin dan obat-
obat yang lain sesuai dosis; monitoring keadaan hemodinamik penderita bila perlu berikan
terapi cairan secara intravena, observasi keadaan penderita bila perlu rujuk ke rumah sakit.
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penatalaksanaan syok anafilaktik terutama
yang disebabkan oleh obat-obatan. Apabila ditangani secara cepat dan tepat sesuai dengan
kaidah kegawat daruratan, reaksi anafilaksis jarang menyebabkan kematian.

Anda mungkin juga menyukai