Anda di halaman 1dari 137

BAB I

GANGGUAN KESADARAN

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM


Mahasiswa kepaniteraan klinik mampu menyimpulkan dan merencanakan
penatalaksanaan penyakit Stroke dengan benar.

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS


Mahasiswa kepaniteraan klinik mampu menjelaskan , membuat diagnosa dan
memberi terapi pendahuluan pada pasien dengan gangguan kesadaran.

DEFINISI
Gangguan kesadaran adalah keadaan dimana tidak terdapat aksi dan reaksi,
walaupun diransang secara kasar, karena :
1. Kesadaran adalah suatu keadaan sadar akan diri sendiri dan lingkungannya
serta mampu memberikan respon penuh terhadap rangsangan yang
diberikan
2. Koma adalah suatu keadaan dengan semua rangsangan tidak dapat
dibangunkan
3. Diantara sadar dan koma ada berbagai derajat / variasi keadaan gangguan
kesadaran

ANATOMI KESADARAN
Kesadaran akan berfungsi dengan baik bila terdapat interaksi yang sangat
kompleks dan terus menerus secara efektif antara hemisfer otak , formatio
retikularis ( ARAS ) serta semua rangsang sensorik yang masuk. Jaras kesadaran
berlangsung secara multi sinaptik dan akan menggalakkan neuron di formatio
retikularis yang untuk selanjutnya akan mengirimkan impuls keseluruh korteks
secara difus dan bilateral pada kedua hemisfer.

1
Gambar 1.1. Hubungan antara ARAS, Batang Otak dan Hemisfer Otak

Penyebab penurunan kesadaran terjadi akibat gangguan neurotransmitter


yang berperan dalam fungsi kesadaran, yaitu : Asetilkolin, Dopamin, GABA,
Glutamat dan lain-lain. Secara anatomi ada 3 kategori penyebab koma, yaitu :
1. Koma metabolik ( penyebab tersering )
2. Koma supratentorial
3. Koma infratentorial
Koma metabolik disebabkan karena segala sesuatu yang terjadi diluar otak dan
dapat langsung mengenai neuron-neuron formatio reticularis. Koma
supratentorial biasanya disebabkan suatu proses di hemisfer, sedang koma
infratentorial sering menyebabkan kompresi di formatio reticularis.

2
METABOLIC SUPRATENTORIAL INFRATENTORIAL
COMA COMA COMA
Drugs : Head trauma : Brain stem / cerebeller ischemic or
- Sedatives - Contusion with Hemorrhagic stroke
- Opioid brain swelling
- Tranquillizers - SDH / EDH
- Salicylates - ICH
Hypoxia : Brain stem / cerebeller tumor
- Cardiac or respiratory arrest Brain tumor
- Severe anemia
- Toxin (Carbon monoxide)
Blood-glucosa Abnormality - Massive stroke
- Hypoglicemia coma from excess Insulin - Ischemic stroke
- Hyperglycemia coma from diabetes insulin - Cerebral
hemorrhage
Abnormal Ionic CNS enviroment :
- Hypo/hyper blood sodium, potasium, calcium and magnesium Encephalitis

3
Organ disease :
- Liver ( hepatic coma ) Brain abcess
- Kidney ( Uremic coma )
- Lungs ( CO2 narcosis and respiratory failure )
- Thyroid
- Brain co factor deficiency
- Poor cerebral perfusion :
- Hypertensive encephalopathy
- Obstructive hydrocephalus
- Decrease cardiac out put (myocardiac infarction and
cardiac arrhythmia)
- Toxin ( ethanol, methanol, ethylene glycol)
Tabel 1.1. Penyebab utama koma

4
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan klinis merupakan bagian syang sangat penting dalam
menegakkan diagnosis, walaupun saat ini telah berkembang pesat penegakkan
diagnose dengan alat yang canggih seperti CT-Scan atau MRI.
Tujuan pemeriksaan fisik yang teliti adalah untuk menentukan letak proses
patologi dan etiologinya. Untuk mencapai hal tersebut pemeriksaan pasien dengan
gangguan kesadaran harus dimulai dari anamnesa yang teliti, pemeriksaan fisik
yang adekwat dan pemeriksaan penunjang yang sesuai dengan klinis pasien.

Skema 1.2. Algoritma Pemeriksaan

Tahapan Pemeriksaan Fisik :


1. Anamnesa : mulainya kejadian tidak sadar, gejala dan tanda
yang menyertai gangguan kesadaran , riwayat penyakit sebelumnya, life
style pasien

5
2. Pemeriksaan Interna :
a. Tanda vital ( Tensi, nadi, pernapasan dan suhu )
b. Bau pernapasan
c. Kulit ( warna, bekas injeksi, turgor, luka, trauma, dll )
d. Kepala ( kedudukan kepala, keluar darah dari telinga atau hidung,
tanda brill hematoma, tanda mastoid Battle sign, fraktur impresi, dll )
e. Leher ( pastikan terlebih dahulu tidak ada fraktur daerah vertebra
cervikalis, lanjutkan dengan pemeriksaan Kaku Kuduk )
f. Thoraks ( pemeriksaan jantung dan paru secara teliti dan seksama )
g. Ekstremitas ( edema pada tungkai, sianosis, dll )

Penetapan letak lesi pasien dengangangguan kesadaran berdasar pola nafas :


A. Cheyne-Stokes ( Periodic Breathing )
Pola ini terjadi karena proses di hemisfer atau batang otak bagian atas

B. Central Neurogenic Hyperventilation ( CNH )


Pola ini terjadi karena proses yang terjadi diantara mesencephalon dan
pons. Pola pernafasan seperti ini menandakan prognosis yang lebih buruk

C. Pernapasan Apneustik
Pola ini terjadi karena proses di pons. Pernapasan ditandai dengan
inspirasi yang dalan dan diikuti penghentian ekspirasi dalam waktu yang
cukup lama

D. Pernapasan Ataksik
Pola ini terjadi karena proses sudah di medulla oblongata dan biasanya
pasien sudah dalam keadaan terminal stage ( agonal )

6
Gambar 1.2. Pola Pernapasan Sentral

Pemeriksaan untuk menentukan proses dibatang otak , meliputi :


1. Reflex pupil :
yaitu dengan memeriksa reflex cahaya langsung dan tidak langsung

2. Doll’s Eye fenomen ( Oculo cephalic / fenomena mata boneka ):


Yaitu bila kepala digerakkan kesamping maka bola mata akan bergerak
berlawanan. Reflex ini akan hilang bila letak proses berada di pons.

Gambar 1.3. Doll’s Eye Phenomenon

7
3. Reflex oculo auditorik ( Auditory Blink Reflex )
Yaitu bila pasien dirangsang dengan suara yang keras maka pasien
akan menutup matanya. Reflex ini akan hilang bila proses kerusakan
sudah di pons.

4. Reflex Oculo vestibular ( Calory Test )


Yaitu bila telinga penderita dites kalori menggunakan air dingin pada
salah satu telinganya, maka bola mata pasien akan berespon kesisi ipsi
lateral kearah telinga yang disemprot air dingin. Dan akan terjadi
sebaliknya bila disemprotkan dengan air hangat. Respon ini akan
hilang bila proses kerusakan di pons

Gambar 1.5. Tes Kalori

5. Reflex Cornea
Yaitu dengan menggoreskan kapas pada cornea dari sisi limbus mata
dan akan memberikan respon berupa kedipan mata. Reflex ini akan
hilang juga bila proses kerusakan di pons.

8
Gambar 1.6. Tes Refleks Cornea

6. Refleks Muntah
Yaitu dengan memberikan sentuhan pada dinding faring bagian
belakang akan memberikon respon muntah. Reflex ini akan
menghilang bila proses terjadi di medulla oblongata.

Secara ringkas pemeriksaan refleks Batang Otak dapat digambarkan sebagai


berikut :

Gambar 1.7. Gambar Pemeriksaan Refleks Batang Otak

9
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang rutin harus dilakukan secepatnya meliputi :
1. Pemeriksaan laboratorium rutin terutama : darah lengkap, urine lengkap,
gula darah, elektrolit, fungsi ginjal dan fungsi liver.
2. Pemeriksaan radiologi :
 X-ray
 Doppler
 Arteriografi
 CT-scan dan MRI
3. EKG
4. Pemeriksaan lain :
a. Ophtalmoskop
Pada semua pasien dengan gangguan kesadaran harus diperiksa fundus
oculi untuk melihat :
 Papiledema
 Tuberkel di coroids
 Tanda-tanda arteriosclerosis pembuluh darah retina ( crossing phenomen,
silver wire, atau perdarahan )
b. Electroencephalography ( EEG )
Pemeriksaan EEG sangat bermanfaat untuk menentukan kedalaman
gangguan kesadaran pasien karena selain tidak berbahaya ( non-
invasive) dapat mendeteksi adanya kematian batang otak.

10
DIAGNOSA BANDING

Penyakit Gejala Klinis Diagnosa


Stroke - Mendadak - Secara klinis ditemukan kerusakan otak
- Ada defisit neurologis - Radiologi : gambaran infark / perdarahan
Trauma kepala - Riwayat trauma - Gejala neurologis
- Ada jejas trauma - Radiologi : normal, edema otak, diffuse axonal
- Penurunan kesadaran fluktuatif / progresif injury (DAI), perdarahan, fraktur impresi
- Ditemukan defisit neurologis
Sindroma Locked In - Koma - Dapat komunikasi dengan gerakan bola mata
- Ditemukan gerakan bola mata - CT-scan / MRI : infark batang otak
Vegetative State - Koma dengan kemampuan respon yang masih ada - Sering hasil laboratorium normal
- Tampilan seperti tidur tetapi tidak ada kontak dengan - Masih ada respon batang otak
lingkungan ataupun perintah
Gangguan Metabolik - Koma - Hasil laboratorium sering abnormal
- Refelk batang otak baik - Hasil laborat sering sesuai dengan kerusakan
- Tidak ada defisit neurologis fokal organ
- Sering disertai kejang

11
Keracunan - Koma - Screening lab drugs induced
- Refleks batang otak menghilang
- Tanpa defisit neurologi fokal
- Jejas port de entry zat beracun
- Riwayat drugs induced

Tabel 1.3. Diagnosa Banding Koma

12
PENATALAKSANAAN
Penanganan gangguan kesadaran secara garis besar :
1. Pengobatan Umum
2. Pengobatan Etiologis ( Penyebab )

1. Pengobatan Umum
Tetap dengan prinsip 6 B ( Breathing, Blood, Brain, Bladder, Bowel dan Bones )

2. Pengobatan Etiologis ( Penyebab )


Pengobatan penyebab koma sesuai dengan tabel 1.3.

KRITERIA MATI BATANG OTAK


( Fundamental of Neurologic Disease, 2009 )
 Coma, usually for ≥ 6 hours
 Absence of marked hypothermia < 30 °C or sedative intoxication
 Absence of motor responses
 Absence of brain stem reflexes
 Absence of respiratory drive at PaCO2 that is 60 mmHg or 20 mmHg
above base line values

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Adam HP et al (2003), Guidelines for Early Management of Patient With


Stroke. A Scientific Statement From Council of the American Stroke
Association. Stroke 34 : 1056 – 1083

2. Baehr, Duus’, 2005, Topical Diagnosis in Neurology, Thieme , Suttgart


New York.

3. De Groot J, Chusid JG, 1988 , Correlative Neuroanatomy 20 th. ed.


Prentica Hall International Inc. USA.

4. Larry E. Davis, 200.9, Fundamentals of Neurologic Disease, M>D>


Demos Medical Publishing, Inc., 386 Park Avenue South, New York

14
BAB II
STROKE
( CEREBRO VASCULAR ACCIDENT / CVA )

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM


Mahasiswa kepaniteraan klinik mampu menyimpulkan dan merencanakan
penatalaksanaan penyakit Stroke dengan benar.

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS


Mahasiswa mampu menjelaskan macam-macam penyakit Stroke, membuat
diagnosa dan memberi terapi pendahuluan penyakit Stroke.

DEFINISI
Menurut WHO Stroke adalah suatu keadaan yang terjadi mendadak, disertai
hilangnya sebagian atau seluruh fungsi neurologis ( defisit neurologis fokal atau
global ), berlangsung lebih dari 24 jam atau menyebabkan kematian yang semata-
mata hanya disebabkan oleh karena gangguan pembuluh darah otak.

EPIDEMIOLOGI
Sekitar 20%-30% penyebab stroke adalah emboli , emboli dapat berasal dari
jantung, arteri besar dan pembuluh darah vena. Satu dari 6 stroke iskemik (15%)
disebabkan oleh kardiemboli. Frekwensi terjadinya tipe emboli yang berbeda
bervariasi, tergantung dari umur penderita, emboli yang berasal dari penyakit
katup jantung rematik terdapat pada usia muda, emboli yang berasal dari
atherosklerosis lebih banyak ditemukan pada usia yang lebih tua. Hal ini perlu
diketahui karena penyakit jantung dan atherosklerotik dapat timbul bersama-sama,
sehingga walaupun sumber potensial untuk terjadinya kardioemboli ada, tidak
berarti penyebab infark serebri adalah kardioemboli. Diagnosa kardioemboli
adalah sangat penting untuk ditegakkan sebab evaluasi dan terapinya berbeda dari
penyakit pembuluh darah otak. ( Gudelines Stroke, 2011)

15
PEMBAGIAN
Menurut patologinya Stroke dibagi menjadi :
1. Stroke Infark
a. Stroke Infark Trombosis
b. Stroke Infark Emboli

2. Stroke Perdarahan
a. Stroke Perdarahan Intraserebral (ICH)
b. Stroke Perdarahan Sub Arachnoid (SAH)

STROKE INFARK TROMBOSIS


TERMINOLOGI
Stroke Infark Trombosis adalah stroke yang disebabkan oleh karena adanya oklusi
pembuluh darah yang disebabkan oleh karena trombus.
Menurut kejadiannya Stroke Infark Trombosis dibagi menjadi
1. TIA (Transient Ischemic Attack)
2. RIND
3. Progressive Stroke
4. Complete Stroke

FAKTOR RISIKO
Faktor risiko Stroke dapat dibagi menjadi 2 yaitu yang tidak dapat di ubah dan
yang dapat di ubah (tabel 1)

Tabel 1. Faktor risiko stroke


No Faktor Risiko Keterangan
1 Tidak dapai di ubah Usia
Ras
Jenis kelamin
Penyakit vaskuler
Riwayat keluarga

16
2 Dapat di ubah Hipertensi
Penyakit jantung
Obesitas
Diabetes
Sindroma metabolik
Merokok
Dislipidemia, Hiperuricemia
Inaktifitas fisik
Kontrasepsi oral
Menderita TIA atau stroke
sebelumnya
Dan lain-lain

PATOFISIOLOGI
Stroke Infark terjadi oleh karena iskemik fokal serebri akibat
turunnya aliran darah fokal. Penurunan aliran darah fokal ini akan
mengganggu fungsi metabolisme neuron. Bila kondisi ini tidak segera diatasi
akan menyebabkan kerusakan sel otak (infark) irreversible, yang secara
patologis jaringan infark ini terlihat sebagai area nekrosis fokal sel neuron,
glia dan pembuluh darah.
Aliran darah otak (ADO) adalah jumlah darah yang menuju ke
otak. Otak orang dewasa menggunakan 20 % darah yang dipompakan oleh
jantung pada saat istirahat dan darah dalam keadaan normal mengisi 10 %
dari ruang intrakranial. ADO secara ketat akan meregulasi kebutuhan dari
metabolik otak , rata-rata aliran ADO orang dewasa dipertahankan 50 ml per
100 gram otak per menit.
Otak yang hanya merupakan 2% dari berat badan total, menerima
perdarahan 15% dari cardiac output dan memerlukan 20% oksigen yang
diperlukan tubuh manusia, sebagai energi yang diperlukan untukmenjalankan
kegiatan neuronal. Energi yang diperlukan berasal dari metabolisme glukosa,

17
yang disimpan di otak dalam bentuk glukosa atau glikogen untuk persediaan
pemakaian selama 1 menit, dan memerlukan oksigen untuk metabolisme
tersebut, lebih dari 30 detik gambaran EEG akan mendatar, dalam 2 menit
aktifitas jaringan otak berhenti, dalam 5 menit maka kerusakan jaringan otak
dimulai, dan lebih dari 9 menit, manusia akan meninggal. Bila aliran darah
jaringan otak berhenti maka oksigen dan glukosa yang diperlukan untuk
pembentukan ATP akan menurun, akan terjadi penurunan Na-K ATP ase,
sehingga membran potensial akan menurun. K+ berpindah ke ruang CES
sementara ion Na dan Ca berkumpul di dalam sel. Hal ini menyebabkan
permukaan sel menjadi lebih negatif sehingga terjadi membran depolarisasi.
Saat awal depolarisasi membran sel masih reversibel, tetapi bila menetap
terjadi perubahan struktural ruang menyebabkan kematian jaringan otak.
Keadaan ini terjadi segera apabila perfusi menurun dibawah ambang batas
kematian jaringan, yaitu bila aliran darah berkurang hingga dibawah 0,10
ml/100 gr.menit. Akibat kekurangan oksigen terjadi asidosis yang
menyebabkan gangguan fungsi enzim-enzim, karena tingginya ion H.
Selanjutnya asidosis menimbulkan edema serebral yang ditandai
pembengkakan sel, terutama jaringan glia, dan berakibat terhadap
mikrosirkulasi. Oleh karena itu terjadi peningkatan resistensi vaskuler dan
ekmudian penurunan dari tekanan perfusi sehingga terjadi perluasan daerah
iskemik.
Peranan ion Ca pada sejumlah proses intra dan ekstra seluler pada
keadaan ini sudah makin jelas, dan hal ini menjadi dasar teori untuk
mengurangi perluasan daerah iskemi dengan mengatur masuknya ion Ca.
Komplikasi lebih lanjut dari iskemia serebral adalah edema serebral. Kejadian
ini terjadi akibat peningkatan jumlah cairan dalam jaringan otak sebagai
akibat pengaruh dari kerusakan lokal atau sistemis. Segera setelah terjadi
iskemia timbul edema serbral sitotoksik. Akibat dari osmosis sel cairan
berpindah dari ruang ekstraseluler bersama dengan kandungan
makromolekulnya. Mekanisme ini diikuti dengan pompa Na/K dalam

18
membran sel dimana transport Na dan air kembali keluar ke dalam ruang
ekstra seluler.
Pada keadaan iskemia, mekanisme ini terganggu dan neuron
menjadi bengkak. Edema sitotoksik adalah suatu intraseluler edema. Apabila
iskemia menetap untuk waktu yang lama, edema vasogenic dapat
memperbesar edema sitotoksik. Hal ini terjadi akibat kerusakan dari sawar
darah otak, dimana cairan plasma akan mengalir ke jaringan otak dan ke
dalam ruang ekstraseluler sepanjang serabut saraf dalam substansia alba
sehingga terjadi pengumpalan cairan. Sehingga vasogenik edema serbral
merupakan suatu edema ekstraseluler. Pada stadium lanjut vasigenic edema
serebral tampak sebagai gambaran fingerlike pada substansia alba. Pada
stadium awal edema sitotoksik serebral ditemukan pembengkakan pada
daerah disekitar arteri yang terkena. Hal ini menarik bahwa gangguan sawar
darah otak berhubungan dengan meningkatnya resiko perdarahan sekunder
setelah rekanalisasi (disebut juga trauma reperfusy). Edema serbral yang luas
setelah terjadinya iskemia dapat berupa space occupying lesion. Peningkatan
tekanan tinggi intrakranial yang menyebabkan hilngnya kemampuan untuk
menjaga keseimbangan cairan didalam otak akan menyebabkan penekanan
sistem ventrikel, sehingga cairan serebrospinalis akan berkurang. Bila hal ini
berlanjut,maka akan terjadi herniasi kesegala arah, dan menyebabkan
hidrosephalus obstruktif. Akhirnya dapat menyebabkan iskemia global dan
kematian otak. (Sherki dkk,2002)

19
Gambar 2.1. Terjadinya trombus

20
Mekanisme seluler pada iskemik Susunan Saraf pusat fase akut :

Skema 2.1. Mekanisme seluler pada iskemik akut atau Trauma CNS

21
GEJALA KLINIS
Gejala neurologik yang sEring dijumpai pada penderita stroke iskemik akut adalah
:
 Hemisfer kiri (dominan), kortikal :
 Afasia
 Hemiparesis atau hemiplegia sisi kanan
 Gangguan hemisensorik kanan
 Hemianopsia homonim kanan
 Gaze paralysis kanan
 Stroke hemisfer kanan :
 Hemiparesis atau hemiplegia sisi kiri
 Gangguan hemisensorik kiri
 Neglect hemisensorik kiri
 Hemianopsia homonim kiri
 Gaze paralysis kiri
 Subkortkal, hemisfer atau batang otak :
 Hemiparesis (pure motor stroke)
 Gangguan hemisensorik (pure motor stroke)
 Disartria
 Hemiparesis ataksik
 Tidak ada gangguan fungsi kognisi, bahasa, penglihatan
 Batang otak :
 Gangguan motorik atau sensorik ke-empat anggota gerak
 Hemiparese atau hemisensorik alternans
 Disconjugate gaze
 Nistagmus
 Ataksia
 Disartria
 Disfagia

22
 Serebelum :
 Ataksia lengan ipsilateral
 Ataksia jalan

DIAGNOSA
Diagnosa stroke Iskemik berdasarkan :
1. Anamnesa
2. Diagnosis stroke ditegakkan berdasarkan temuan klinis
3. Pemeriksaan darah :
Pemeriksaan ini harus dilakukan secara berkala untuk mendeteksi penyebab-
penyebab stroke yang dapat ditangani atau mungkin penyebab lain yang dapat
menyerupai stroke.
- Pemeriksaan darah lengkap
Untuk menginvestigasi penyebab-penyebab yang mungkin dapat
menyebabkan stroke, seperti trombositosis, trombositopenia, polisitemia,
anemia dan leukositosis.
- Laju endap darah
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi vaskulitis
- Serum glukosa
Untuk melihat adanya hipoglikemia atau hiperosmolar nonketotik
hiperglikemia yang juga dapat memberikan tanda neurologic fokal sehingga
akhirnya dapat disalah persepsikan sebagai stroke.
- Serum kolesterol dan lipid
Peningkatan dari nilai ini menunjukkan factor resiko untuk stroke.
- Elektrolit serum dan faal ginjal
Berkaitan dengan kemungkinan pemberian obat osmoterapi yang disertai
peningkatan TIK dan dehidrasi.
- Faal hemostasis
Pemeriksaan junlah trombosit, waktu protrombin (PT) dan
tromboplastin (aPTT) diperlukan terutama berkaitan dengan pemakaian obat
antikoagulan dan trombolitik

23
4. Elektrokardiogram
Elektrokardiogram dilakukan untuk mendeteksi infark miokard atau aritmia
jantung, misalnya atrial fibrilasi, yang merupakan factor predisposisi untuk
resiko emboli.
5. CT Scan atau MRI
CT Scan atau MRI harus dilakukan untuk membedakan antara infark dan
hemorragik atau untuk mengeksklusikan pennyebab lain misalnya abses dan
tumor yang dapat memberikan gambaran mirip stroke, dan juga dapat juga
melokalisasi lesi.
6. X-Foto toraks
Berguna untuk menilai besar jantung, adanya kalsifikasi katup jantung
maupun udem paru.

Untuk membedakan stroke infark akut dan stroke perdarahan, jika


sarana tidak memungkinkan (CTScan tidak ada) kita gunakan cara skoring.
Cara ini biasanya sangat praktis dan dapat dilakukan dengan cepat, tetapi
akurasinya tidak mencapai 100%. Salah satunya adalah Skor Stroke Siriraj
seperti tabel di bawah ini:

Skor Stroke Siriraj :


(2,5 x derajat kesadaran) + (2 x vomitus) + (2x nyeri kepala)
+ (0,1x tekanan diastolik) – (3 x petanda ateroma) – 12

Skor > 1 : menunjukkan kemungkinan stroke perdarahan


Skor < - 1 : menunjukkan kemungkinan stroke infark/iskemik
Derajat kesadaran : 0 = kompos mentis; 1 = somnolen; 2 =sopor/koma
Vomitus : 0 = tidak ada; 1 = ada
Nyeri kepala : 0 = tidak ada; 1 = ada
Ateroma : 0 = tidak ada; 1 = salah satu atau lebih: diabetes
angina, penyakit pembuluh darah (Mansjoer, 2000).

24
KOMPLIKASI
 Komplikasi stroke menurut Satyanegara (1998):
a. Komplikasi Dini (0-48 jam pertama)
1) Edema serebri: defisit neurologis cenderung memberat, dapat
mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial, herniasi, dan
akhirnya menimbulkan kematian.
2) Infark miokard: penyebab kematian mendadak pada stroke stadium
awal
b. Komplikasi Jangka pendek (1-14 hari pertama)
1) Pneumonia: Akibat immobilisasi lama
2) Infark miokard
3) Emboli paru: Cenderung terjadi 7 -14 hari pasca stroke, seringkali
pada saat penderita mulai mobilisasi.
4) Stroke rekuren: Dapat terjadi pada setiap saat
c. Komplikasi Jangka panjang. Stroke rekuren, infark miokard, ga ngguan
vaskular lain: penyakit vascular perifer.

 Menurut Smeltzer (2001), komplikasi yang terjadi pada pasien stroke,


yaitu:
a. Hipoksia serebral diminimalkan dengan memberi oksigenasi
b. Penurunan darah serebral
c. Embolisme serebral. (Masdanang,2008)

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan strok meliputi :
A. Terapi umum
B. Terapi khusus (Bahrudin, 2008).

25
A. Terapi Umum
Pedoman terapi ini meliputi 6 B
1. Breath
Menjaga agar fungsi pernafasan dan oksigen adekuat terutama pada penderita
dengan kesadaran menurun (Bahrudin, 2008). Mempertahankan saluran nafas
yang paten yaitu lakukan pengisapan lendir yang sering, oksigenasi, kalau
perlu lakukan trakeostomi, membantu pernafasan (Ifan, 2010).
2. Blood
Mengontrol tekanan darah berdasarkan kondisi pasien, termasuk usaha
memperbaiki hipotensi dan hipertensi.
a) Penurunan tekanan darah yang terlalu cepat hingga normotensi harus
dihindarkan karena menurunkan perfusi ke otak. Obat anti hipertensi
dipertimbangkan terutama pada penderita muda dengan tekanan darah
180/110mmHg atau penderita tua dengan tekanan darah 210/120 mmHg atau
lebih.
b) Tekanan darah baru diturunkan setelah 2–7 hari pasca stroke iskemik akut,
kecuali ada indikasi khusus. Pada fase akut, penurunan tekanan darah tidak
boleh lebih dari 20% dari tekanan darah arterial rata-rata.

Indikasi terapi hipertensi pada stroke akut :


1) Jika tekanan darah diastolik > 140 mmHg pada dua kali pembacaan selang 5
menit, berikan infus natrium nitroprusid (sangat emergensi).
2) Jika tekanan darah sistolik > 230 mmHg dan atau tekanan darah diastolik 121–
140 mmHg pada dua kali pembacaan selang 20 menit, berikan 20 mg labetolol
iv selama 1–2 menit. Dosis labetolol dapat diulang setiap 10–20 menit sampai
penurunan darah yang memuaskan. Setelah pemberian dosis awal, labetolol
dapat diberikan setiap 6–8 jam bila diperlukan (emergensi).
3) Jika tekanan darah sistolik 180–230 mmHg dan atau tekanan darah diastolik
105–120 mmHg, terapi darurat harus ditunda tanpa adanya bukti perdarahan
intraserebral atau gagal ventrikel jantung kiri.

26
4) Jika tekanan darah menetap pada dua kali pengukuran selang 60 menit, maka
diberikan 200–300 mg labetolol 2–3 kali sehari. Pengobatan alternatif selain
labetolol adalah nifedipin oral 10 mg tiap 6 jam atau captopril 6,25–12,5 mg
tiap 8 jam (urgensi).
5) Jika tekanan sistolik < 180 mmHg dan atau tekanan diastolik < l05 mmHg,
terapi hepertensi biasanya tidak diperlukan
6) Beberapa obat anti hipertensi yang direkomendasikan antara lain nitropusid,
nitrogliserin, labetolol, diltiazem yang diberikan secara intravena (iv), dan oral
dapat diberikan captopril, nifedipin dan lain-lain. Pada stroke infark kita tidak
boleh terlalu cepat menurunkan tekanan darah. Monitoring protokol pada
stroke infark dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Monitoring protokol pada stroke infark

Parameter Values Intervention

BP (every 15 min) Systolic BP ≤ 220 mmHg No intervention (unless


lowering of BP is warranted-
And mean BP < 130
e.g., aortic dissection)
mmHg

Systolic BP > 220mmHg 10% reduction in BP :

Or mean BP > 130 Labetalol 100-200mg orally


mmHG or 1mg/min (maximum
200mg) iv,

Enalapril 2,5-5,0 mg orally


or 0,5-1mg iv.

Mean BP < 80mmHg Volume expander


(Gelofusin)

Oxygen saturation <95% Oxygen via nasal prong or

27
(pulse oximeter, mask; start with 2-5 l/min
continuous)

Body temperature >37,50 C Acetylsalicylic acid (500mg)


(rectal thermometer, or paracetamol suppository
continous) (1000mg)

Blood glucose (every >10 mmol/l Actrapid insulin via infusion


6) pump.

Cardiac rhytm Dysrhytmia Consult cardiologi


(continous 5-lead
ECG for at least 48 h)

Mean BP = (systolic BP + 2 diastolic BP)/3

ACUTE ISCHEMIC STROKE THERAPY

1. No antihypertensives
2. No diuretics
3. No dexamethasone
4. No glucose infusion
5. No anticoagulant 4 hours after onset of stroke
*Except aortic dissection, acute myocardial infarction, heart
failure, acute renal failure, hypertensive encephalopathy,
thrombolytic therapy (T≤185/110mmHg). (Brott, 2000)

Cairan
a) Tujuan dari terapi cairan adalah euvolemi. Optimal CVP bervariasi di antara
pasien. Jika terjadi hipovolemi yang dapat mengakibatkan hipotensi maka
CVP dipertahankan antara 5-12 mmHg.
b) Balans cairan diperhitungkan dengan mengukur produksi urin sehari ditambah
dengan pengeluaran cairan yang tidak dirasakan (produksi urin sehari

28
ditambah 500 ml untuk kehilangan cairan yang tidak tampak dan ditambah
lagi 300 ml per derajat Celcius pada penderita panas).
c) Elektrolit (sodium, potassium, calcium, magnesium) harus selalu diperiksa
dan diganti bila terjadi kekurangan sampai tercapai harga normal.
d) Asidosis dan alkalosis harus dikoreksi sesuai dengan hasil BGA.
e) Cairan yang mengandung dextrose dihindari kecuali ada hipoglikemia.
f) Sistemik hipoosmolality (< 280 mmol/kg) harus segera di terapi dengan
manitol atau hipertonik salin 3%.
g) Status euvolume harus dipertahankan dengan memantau keseimbangan cairan,
central venous pressure, dan berat badan (Bahrudin, 2008).

3. Brain
1. Penurunan kesadaran
a) Dipantau dengan GCS (Glasgow Coma Scale) serta tanda-tanda vital
(tekanan darah, derajat nadi, frekuensi pernapasan) serta waspada agar
jangan sampai mengalami aspirasi.
2. Kejang
a) Sering yterjadi pada lesi kortikal daripada subkortikal. Segera diatasi
dengan pemberian diazepam intravena (iv).
b) Kejang dapat mengakibatkan kerusakan neuron dan menyebabkan
ketidakstabilan pada pasien yang sudah kritis, karena itu harus segera
diterapi.
c) Kejang akut dapat diterapi dengan lorazepam (0,05 – 0,1 mg/kg) diikuti
oleh phenitoin loading dose 15 – 20 mg/kg.
3. Peningkatan tekanan intrakranial
Beberapa cara untuk menurunkan tekanan intracranial yang meningkat antara lain.
a) Tirah baring dengan kepala ditinggikan 20-300
b) Hipotermi
c) Hiperventilasi dengan ventilasi sehingga Pa CO2 30-35 mmHg.
d) Manitol 20% 100 ml atau 0,25 -0,5 gram/kgBB/kali dalam waktu 15-30
menit, 4-6 kali sehari.

29
Manajemen suhu tubuh
a) Suhu tubuh harus dipertahankan dalam keadaan normal. Acetaminophen
650 mg dan dikompres dingin harus segera diberikan bila suhu lebih dari
38,50 C.
b) Pada pasien febris atau beresiko terjadi infeksi, harus harus dilakukan
kultur dan hapusan (tracheal, darah dan urine) dan diberikan antibiotic.
Jika memakai kateter ventrikuler, analisa LCS (Liquor Cerebro Spinal)
harus dilakukan untuk mendeteksi meningitis.
c) Jika didapatkan meningitis, maka segera diikuti terapi antibiotik.

4. Bowel and Blader


a) Dengan memperhatikan fungsi saluran cerna dan nutrisi.
b) Nutrisi enteral harus segera dimulai setelah 48 jam untuk mencegah terjadinya
malnutrisi.
c) Bisa juga memakai nasoduodenal tube untuk mengurangi resiko terjadinya
aspirasi.
Penelitian membuktikan terjadi penurunan angka kematian sebanyak 6% pada
penderita disphagic stroke yang mendapatkan nutrisi enteral seawal mungkin
dibandingkan dengan yang tidak dipasang tube feeding selama minggu
pertama Merawat kandung kemih, sedapat mungkin jangan memakai kateter
5. Bone and Body Skin
a) Menempatkan pasien dalam posisi yang tepat, harus dilakukan secepat
mungkin. Pasien harus dirubah posisi tiap 2 jam dan dilakukan latihan-latihan
gerak pasif (Ifan, 2010). Dengan cara mengubah posisi tidur miring kiri dan
kanan secara bergantian. Hal ini dilakukan untuk mencegah komplikasi seperti
dekubitus, postural pneumoni dan lain-lain Perawatan dan pemantauan kulit.
Penatalaksanaan Medik yang Lain :
1) Pada beberapa pasien yang tidak sadar sering gelisah hal ini akan
mempengaruhi kondisi pasien sendiri maupun keluarganya.
2) Jika terapi psikologi tidak membawa hasil maka dianjurkan menggunakan
minor dan mayor transquilizer.

30
3) Short acting benzodiazepine atau propofol bisa digunakan.
Obat-obatan yang lain seperti analgesic dapat diberikan dengan dosis yang
disesuaikan dengan keadaan klinis pasien

B. Terapi Khusus
Penanggulangan stroke iskemik yang diderita oleh sebagian besar (>80%) dari
seluruh penderita stroke. Upaya yang paling krusial untuk menurunkan kecacatan
dan kematian akibat stroke adalah upaya terapi stroke pada fase akut. Untuk
mencegah kecacatan dan kematian akibat stroke, penderita harus diperlakukan
dengan prinsip “time is brain”. Menurut cara pandang ini, serangan stroke akut
merupakan keadaan darurat yang harus segera ditangani. Terapi stroke harus
dimulai sedini mungkin, agar tidak terjadi kecacatan dan kematian. Beberapa
penelitian klinik telah menunjukkan bahwa iskemia serebral yang berlangsung
lebih dari 6 jam dapat mengakibatkan kerusakan sel otak secara permanen.
Strategi pengobatan stroke iskemik saat ini tertuju pada tatalaksana modifikasi
faktor resiko melalui kombinasi perubahan gaya hidup, yermasuk diet, olahraga,
henti merokok, operasi karotis pada resiko tinggi dan terapi farmakologik dengan
antihipertensi, antihiperlipidemi, antikoagulan, dan atau antiplatelet.
Strategi pengobatan stroke iskemik ada 2 yaitu :
1. Reperfusi, yaitu memperbeiki aliran darah ke otak yang bertujuan untuk
memperbaiki area iskemik dengan obat-obat anti trombotik (antikoagulan,
antiplatelet, trombolitik).
2. Neuroproteksi , yaitu mencegah kerusakan otak agar tidak berkembang
lebih berat akibat adanya area iskemia. Obat yang digunakan (piracetam,
CDP Cholin, dan lain-lain).

31
ANTITHROMBOTIC AGENTS

Antiplatelet
Anticoagulans Thrombolytic Agents
Agents

Oral Oral
Parenteral Parenteral
Aspirin Parenteral
GPIIb/IIIa Coumarin
Heparin Streptokinase
Dipyridamol
Antagonists Warfarin
Ticloopidin LMWH Urokinase
Abciximab Melagatran
Clorpidogrel Hirudin tPA
Cliostazol Tirofiban Argatroban
Eptifibatide Fondaparinox

32
Terapi Antiplatelet
Terapi antiplatelet memegang peranan penting dalam prevensi jangka
panjang stroke iskemik dan kejadian vaskuler pada penderita-penderita yang
telah mengalami stroke iskemik akut atau TIA. Pada meta analisis dari 287 studi
penelitian yang melibatkan penderita dengan resiko tinggi untuk kejadian
vaskuler iskemik terapi antiplatelet menurunkan resiko stroke sebesar 30%.
Beberapa factor membantu kita menentukan pemilihan penggunaan antiplatelet
yang harus segera diberikan pada TIA atau stroke iskemik. Faktor-faktor seperti
penyakit komorbid, efek samping obat dan biaya pengobatan akan
mempengaruhi penentuan pemilihan obat, mulai dengan aspirin dosis rendah,
kombinasi aspirin dan dypiridamol ER, ADP antagonis reseptor ticlopidine dan
clorpidogrel. Aspirin merupakan antiplatelet yang lebih murah dan akan
berpengaruh pada kepatuhan jangka panjang. Belum cukup data untuk
merekomendasikan pilihan antiplatelet selain aspirin. Tidak terdapat bukti
meningkatkan dosis aspirin akan memberikan keuntungan tambahan.
Untuk penderita-penderita yang tidak tahan terhadap aspirin karena
alergi atau kerja samping saluran cerna maka clorpidogrel adalah pilihan yang
tepat. Beberapa penderita tidak toleran terhadap dipyridamole karena nyeri
kepala yang persisten. Kombinasi aspirin dan clorpidogrel mungkin tepat untuk
penderita-penderita kejadian sindroma koroner akut yang baru terjadi atau
setelah pemasangan sten vaskuler. Antiplatelet memberikan resiko perdarahan
intracranial yang ringan pada sebagian penderita, berkisar antara 1-2 per 1000
penderita yang diobati per tahun pada studi-studi pengobatan dengan antiplatelet
jangka panjang (0,1-0,2%). Hanya sekitar 3 per 1000 penderita per tahun (0,3%)
dengan perdarahan ekstrakranial yang pada umumnya dapat diselamatkan

Neuroprotektan
Hingga saat ini telah banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui
manfaat neuroprotektan yang diduga dapat melindungi sel neuron dari kematian
sel akibat stroke iskemik akut. Beberapa diantaranya adalah golongan
penghambat kanal kalsium (nimodipin, flunarisin), antagonis reseptor glutamate

33
(aptiganel, gavestinel, selfotel, serestat, magnesium), agonis GABA
(klomethiazol), penghambat peroksidasi lipid (tirilazad), antibody anti-ICAM-1
(enlimomab), dan activator metabolik (piracetam, sitikolin). Sangat diharapkan
pemberian neuroprotektan pada stroke iskemik akut akan dapat menurunkan
angka kecacatan dan kematian (Bahrudin, 2008).
Konsep tentang area penumbra merupakan dasar dalam penatalaksanaan
stroke iskemik. Jika suatu arteri mengalami oklusi, maka bagian otak yang
mengalami infark akan dikelilingi oleh area penumbra. Aliran darah ke area ini
berkurang sehingga fungsinya pun akan terganggu, akan tetapi kerusakan yang
terjadi tidak seberat area infark dan masih bersifat reversibel. Jika aliran darah
ke area ini cukup adekuat selama masa kritis, maka area ini dapat diselamatkan.
Pada studi eksperimental, didapatkan aliran darah ke otak yang rendah hanya
dapat ditolerir selama periode waktu yang singkat. Sedangkan aliran darah ke
otak yang cenderung tinggi masih dapat ditolerir selama beberapa jam tanpa
menyebabkan infark.

Terapi umum dan komplikasi akut


a. Oksigenasi
Oksigenasi yang adekuat sangat penting selama fase akut stroke iskemik
untuk mencegah hipoksia dan perburukan neurologis. Penyebab tersering
gangguan oksigenasi diantaranya obstruksi jalan nafas partial, hipoventilasi,
pneumonia aspirasi ataupun atelektasis. Pasien dengan kesadaran menurun dan
stroke batang otak beresiko mengalami gangguan oksigenasi. Tindakan intubasi
harus dilakukan pada pasien dengan ancaman gagal nafas. Secara umum, pasien
yang memerlukan tindakan intubasi mempunyai prognosis yang buruk, kurang
lebih 50% nya meninggal dalam 30 hari. Monitoring dengan oksimetri
sebaiknya dilakukan dengan target saturasi oksigen > 95%. Suplementasi
oksigen diberikan pada pasien dengan hipoksia berdasarkan hasil analisa gas
darah atau oksimetri.
Indikasi pemasangan pipa endotrakeal:

• PO2 <50-60 mmHg
 • PCO2 >50-60 mmHg

34
• Kapasitas vital < 500-800 mL
• Resiko aspirasi pada pasien yang kehilangan refleks proteksi
jalan nafas
• Takipneu >35 kali/menit
• Dyspneu dengan kontraksi muskulus asesorius
• Asidosis respiratorik berat

b. Hipertensi pada stroke iskemik akut


Hipertensi sering kali dijumpai pada pasien dengan stroke akut bahkan
pasien yang sebelumnya normotensi sekalipun pada fase akut dapat mengalami
peningkatan tekanan darah yang sifatnya transient. Pada 24 jam pertama fase
akut stroke, lebih dari 60% pasien datang dengan tekanan darah sistolik > 160
mmHg dan lebih dari 28% memiliki tekanan darah diastolik > 90 mmHg.
Peningkatan tekanan darah pada stroke iskemik merupakan respon otak yang
bertujuan untuk meningkatkan tekanan perfusi otak sehingga aliran darah ke
area penumbra pun akan meningkat. Diharapkan dengan respon tersebut
kerusakan di area penumbra tidak bertambah berat. Akibatnya, penurunan
tekanan darah yang terlalu agresif pada stroke iskemik akut dapat memperluas
infark dan perburukan neurologis.
Monitoring tekanan darah :
* Pengukuran TD dilakukan pada kedua lengan
*. Pastikan perbedaan TD antara kedua lengan tidak lebih dari 10 mmHg,
jika terdapat perbedaan > 10 mmHg maka TD yang dipakai adalah
yang lebih tinggi
* Gunakan lengan yang paresis
* Lengan harus setinggi jantung
* Manset yang digunakan harus sesuai dengan besar lengan
* Frekuensi pengukuran TD:
* Dua jam pertama setiap 15 menit
* Dua sampai delapan jam berikutnya setiap 30 menit
* Sembilan sampai 24 jam selanjutnya setiap 1 jam

35
AHA/ASA merekomendasikan penatalaksanaan hipertensi pada stroke iskemik
akut sebagai berikut
Terapi stroke iskemik akut
A. Trombolisis rt-PA intravena
Trombolisis rt-PA intravena merupakan pengobatan stroke iskemik akut
satu-satunya yang disetujui oleh FDA sejak tahun 1996 karena terbukti efektif
membatasi kerusakan otak akibat stroke iskemik. Terapi ini meningkatkan
keluaran stroke pada kelompok penderita yang telah diseleksi ketat dan terapi
diberikan dalam waktu 3 jam sejak onset stroke. Komplikasi terapi ini adalah
perdarahan intraserebral (hanya ditemukan pada 6,4% pasien bila menggunakan
protokol NINDS secara ketat). Karakteristik pasien yang dapat diterapi dengan
trombolisis rt-PA intravena.
Kriteria inklusi:
1. Stroke iskemik akut dengan onset tidak lebih dari 3 jam.
2. Usia >18 tahun
3. Defisit neurologik yang jelas
4. Pemeriksaan CT Scan, tidak ditemukan perdarahan intracranial
5. Pasien dan keluarganya menyetujui tindakan tersebut dan mengerti
resiko dan keuntungannya
Kriteria eksklusi:
1. Defisit neurologis yang cepat membaik
2. Defisit neurologik ringan dan tunggal seperti ataksia atau gangguan sensorik
saja, disartria saja atau
kelemahan minimal
3. CT Scan menunjukkan perdarahan intracranial
4. Gambaran hipodensitas > 1/3 hemisfer serebri pada CT Scan
5. Riwayat perdarahan intrakranial sebelumnya atau perkiraan perdarahan
subarakhnoid
6. Kejang pada saat onset stroke
7. Riwayat stroke sebelumnya atau trauma kapitis dalam waktu 3 bulan
sebelumnya

36
8. Operasi besar dalam waktu 14 hari
9. Pungsi lumbal dalam 1 minggu
10. Perdarahan saluran cerna atau urin dalam 21 hari
11. Infark miokard akut dalam 3 bulan
12. TD sistolik sebelum terapi > 185 mmHg atau TD diastolik > 110 mmHg
13. Gula darah < 50 mg/dL atau > 400 mg/dL
14. Penggunaan obat antikoagulan oral atau waktu protrombin > 15 detik, INR > 1,7
15. Penggunaan heparin dalam 48 jam sebelumnya dan masa tromboplastin parsial
memanjang
16. Trombosit < 100.000/mm
Neuroprotektan Sampai saat ini penggunaan neuroprotektan masih
kontroversial.
Perawatan rumah sakit dan terapi komplikasi neurologik:
Sekitar 25% pasien stroke fase akut akan mengalami perburukan dalam 24-24
jam setelah onset. Meskipun demikian sulit untuk menentukan pasien mana
yang akan mengalami perburukan. Oleh karena itu pasien stroke pada fase akut
dianjurkan untuk dirawat di rumah sakit.
Tujuan perawatan rumah sakit adalah:
1. Pemantauan pasien untuk persiapan tindakan/terapi selanjutnya
2. Pemberian terapi medikamentosa maupun pembedahan untuk meningkatkan
keluaran
3. Mencegah komplikasi subakut
4. Pengobatan terhadap penyakit sebelumnya atau faktor resiko yang ada
5. Merencanakan terapi jangka panjang untuk mencegah stroke berulang
6. Memulai program neuro-restorasi
Catatan :
Pemantauan tanda vital dan status neurologik harus sering dilakukan dalam 24
jam setelah pasien masuk rumah sakit. Umumnya pasien yang dirawat
dianjurkan untuk tirah baring, akan tetapi mobilisasi sebaiknya dilakukan
sesegera mungkin jika kondisi pasien sudah dianggap stabil. Mobilisasi yang
segera dapat mencegah komplikasi pneumonia, DVT, emboli paru dan

37
dekubitus. Latihan gerakan pasif dan full range of motion pada sisi yang paresis
dapat dimulai dalam 24 jam pertama. Miring kanan-miring kiri, pemakaian
pressure mattresses serta perawatan kulit dapat mencegah timbulnya dekubitus.

38
STROKE INFARK EMBOLI

TERMINOLOGI
Stroke Infark Emboli adalah stroke yang disebabkan oleh karena adanya
embolus pada pembuluh darah yang disebabkan oleh karena emboli, sering
disebabkan karena adanya kelainan di jantung.

PATOGENESA
Pembentukan emboli yang menoklusi arteri di otak bisa bersumber dari
jantung sendiri atau berasal dari luar jantung, tetapi pada perjalanannya melalui
jatung, misalnya sel tumor, udara dan lemak pada trauma, parasit dan telurnya.
Yang sering terjadi adalah emboli dari bekuan daran (clots) karena penyakit
jantungnya sendiri.6
Caplan LR (2009) membagi berbagai tipe dari bahan emboli yang berasal dari
jantung, yaitu:
1. Trombus merah, trombus terutama mengandung fibrin (aneurisma
ventrikel).
2. Trombus putih, aggregasi pletelet – fibrin (Infark miokard).
3. Vegetasi endocarditis marantik.
4. Bakteri dan debris dari vegetasi endocarditis.
5. Kalsium (kalsifikasi dari katup dan anulus mitral).
6. Myxoma dan framen fibroelastoma.1

39
Gambar 2.2. pembengkakan arteri basilaris karena emboli

Pembentukan Emboli Dari Jantung


Pembentukan trombus atau emboli dari jantung belum sepenuhnya diketahui,
tetapi ada beberapa faktor prediktif pada kelainan jantung yang berperan dalam
proses pembentukan emboli, yaitu:
1. Faktor mekanis
Perubahan fungsi mekanik pada atrium setelah gangguan irama (atrial
fibrilasi), mungkin mempunyai korelasi erat dengan timbulnya emboli.
Terjadinya emboli di serebri setelah terjadi kardioversi elektrik pada pasien
atrial fibrilasi. Endokardium mengontrol jantung dengan mengatur kontraksi
dan relaksasi miokardium, walaupun rangsangan tersebut berkurang pada
endokardium yang intak. Trombus yang menempel pada endokardium yang
rusak (oleh sebab apapun), akan menyebabkan reaksi inotropik lokal pada
miokardium yang mendasarinya, yang selanjutnya akan menyebabkan

40
kontraksi dinding jantung yang tidak merata, sehingga akan melepaskan
material emboli.
Luasnya perlekatan trombus berpengaruh terahadap terjadinya emboli.
Perlekatan trombus yang luas seperti pada aneurisma ventrikel mempunyai
resiko (kemungkinan) yang lebih rendah untuk terjadi emboli dibandingkan
dengan trombus yang melekat pada permukaan sempit seperti pada
kardiomiopati dilatasi, karena trombus yang melekat pada permukaan sempit
mudah lepas.
Trombus yang mobil, berdekatan dengan daerah yang hiperkinesis,
menonjol dan mengalami pencairan di tengahnya serta rapuh seperti pada
endokarditis trombotik non bakterial cenderung menyebabkan emboli.

2. Faktor aliran darah


Pada aliran laminer dengan shear rate yang tinggi akan terbentuk
trombus yang terutama mengandung trombosit, karena pada shear rate yang
tinggi adesi trombosit dan pembentukan trombus di subendotelial tidak
tergantung pada fibrinogen, pada shear rate yang tinggi terjadi penurunan
deposit fibrin, sedangkan aggregasi trombosit meningkat.
Sebaliknya pada shear rate yang rendah seperti pada stasis aliran darah
atau resirkulasi akan terbentuk trombus yang terutama mengandung fibrin,
karena pada shear rate yang rendah pembentukan trombus tergantung atau
membutuhkan fibrinogen.
Stasis aliran darah di atrium, merupakan faktor prediktif terjadinya
emboli pada penderita fibrilasi atrium, fraksi ejeksi yang rendah, gagal
jantung, infark miokardium, kardiomiopati dilatasi.

3. Proses trombolisis di endokardium


Pemecahan trombus oleh enzim trombolitik endokardium berperan untuk
terjadinya emboli, walupun pemecahan trombus ini tidak selalu menimbulkan
emboli secara klinik. Hal ini telah dibuktikan bahwa bekuan (clot) setelah
Infark miocard, menghilang dari ventrikel kiri tanpa gejala emboli dengan

41
pemeriksaan ekhokardiografi. Keadaan kondisi aliran lokal yang menentukan
kecepatan pembentukan deposit platelet disertai dengan kerusakan
endotelium yang merusak proses litik, kedua hal ini akan menyebabkan
trombus menjadi lebih stabil.

Sumber emboli pada jantung yang menyebabkan iskemia serebri :


Gangguan Lokasi potensial materi emboli
 IM Baru dengan kerusakan  Permukaan endokard ventrikel kiri
endokarium  Apek ventrikel kiri, terperangkap
 IM lama dengan akinetik segmen  dalam trabekula cornea cordis
atau  Aurikel atau atrium dilatasi
 aneurisma dilatasi  Lesi jet atau atrial endocardium
 Rematik mitral stenosis *  Permukaan katup dan pangkalnya
 Rematik mitral regurgasi *  Permukaan katup
 Endokarditis infektif  Permukaan katup dan pangkalnya
 Trombotik endokarditis non  diatrium
bakterial  Pangkal permukaan katup^
 Prolaps katup mitral*  Kalsifikasi pada dasar cuping
 Kalsifikasi annulus mitral*  Tempat pangkal dan permukaan
 Aorta stenosis kalsifikasi katup
 Katup protesis*  Atrium atau ventrikel,
 Kardiomiopati terperangkap pada trabekula
 Miksoma atrial cornea cordis
 Atrial fibrilasi  Tumor pada septum sekundum
 Sindrom sick sinus  Trombus di atrium kiri
 Trombus di atrium kiri

42
Penyakit Jantung Sebagai Sumber Emboli1
1. Kardiomiopati dilatasi
2. Infark miokardium
3. Aneurisma pasca Infark miokardium
4. Defek septum
5. Miksoma atrium
6. Kelainan katup mitral rematik
7. Katup Protesis
8. Endokarditis bakterial
9. Endokarditis trombotik nonbakterial (ETN)
10. Prolaps katup mitral (PKM)
11. Kalsifikasi annulus mitral (KAM)
12. Atrial fibrilasi (AF )
13. Sindroma Sick Sinus ( SSS )

FAKTOR RISIKO
Faktor risiko stroke emboli sama dengan stroke infark trombosis akan tetapi
perlu diwaspadai faktor risiko tambahan, yaitu :
a. Faktor risiko baru
1. Kelebihan homocysteine dalam darah
Kadar yang tinggi dapat berkaitan dengan peningkatan risiko
kardiovaskular.
2. Inflamasi
Penanda inflamasi berat berkaitan dengan peningkatan risiko
kardiovaskular, seperti kenaikan C-reactive protein (CRP).
3. Koagulasi darah abnormal
Kenaikan kadar fibrinogen darah dan penanda bekuan darah lain
meningkatkan risiko komplikasi-komplikasi lain.

43
b. Faktor Risiko pada wanita
 Penggunaan kontrasepsi oral
 Terapi sulih hormon
 Sindrom polikistik ovarium
Risiko serangan jantung paling tinggi pada awal setiap siklus menstruasi

GEJALA KLINIS
Pada prinsipnya sama dengan stroke infark trombosis, hanya perlu diperhatikan
hal-hal dibawah ini :
 Penurunan kesadaran pada saat onset stroke.
 Onset yang tiba-tiba dari keluhan dan gejala yang maksimal
 Temuan segera dari gejala defisit hemisfer yang luas.
 Dicetuskan oleh manuver valsava.
 Gejala memperlihatkan keterlibatan teritori vaskular yang
berbeda dari otak.
 Tidak ditemukannya kejang ataupun nyeri kepala pada soot
onset.
 Emboli kardiogenik (terutama dari sumber kelainan katup).
 Temuan adanya disritmia jantung (ex ; fibrilasi atrium, sick sinus
syndrome)
 Temuan adanya bising jantung (ex ; stenosis mitral,aorta stenosis
kalsifikasi)
 Temuan gagal jantung kongestif (ex ; setelah infark miokard akut)
 Penyakit penyerta (ex SLE, endokarditis)

44
DIAGNOSIS STROKE
EMBOLI
Dengan menggunakan Skala klinis Davis & Hart
No Kriteria Nilai
1 Sumber utama jantung :
Fibrilasi atrium 3
Sindroma sick sinus 3
Stenosis mitral 4
Katup protesis 4
Trombus ventrikel kiri 4
Infark miokard akut 4
Aneurisma ventrikel kiri tanpa trombus 3

2 Saat kejadian defisit neurologis maksimal dan mendadak 1


(< 5 menit pada pasien sedang aktif)
3 Tidak ada/ sangat sedikit aterosklerosis pada 3
pemeriksaan USG di karotis, angiografi karotis

4 Infark kortikal atau subkortikal luas (Klinis atau dengan 4


CT-scan/ MRI kepala)
5 Infark kortikal sebelumnya pada suatu area vaskular lain 1
(Klinis atau dengan CT-scan/ MRI kepala)
6 Tidak didapatkan aterosklerosis pada arteriogram 1
7 Infark berdarah pada CT-scan 3
8 Tidak didapatkan HT kronis 1
Penilaian :
> 4- 5 = tersangka
> 6- 7 = lebih mungkin
> 8 = sangat mungkin

GEJALA KLINIS

45
Kriteria
1. Defisit neurologi tiba-tiba dan maksimal
2. Sumber emboli jantung
3. Infark multiple
4. Infark hemoragik pada CT-scan
5. Tidak ditemukan arteriosklerosis pada CT-scan
6. Emboli sistemik
7. Trombus jantung
8. Vanishing occlusion pada angiografi

PENATA LAKSANAAN
Fase Akut (hari ke 0-14 sesudah onset penyakit)
Sasaran pengobatan ialah menyelamatkan neuron yang menderita jangan
sampai mati, dan agar proses patologik lainnya yang menyertai tak
mengganggu/mengancam fungsi otak. Tindakan dan obat yang diberikan
haruslah menjamin perfusi darah ke otak tetap cukup, tidak justru berkurang.
Sehingga perlu dipelihara fungsi optimal dari respirasi, jantung, tekanan
darah darah dipertahankan pada tingkat optimal, kontrol kadar gula darah
(kadar gula darah yang tinggi tidak diturunkan dengan derastis), bila gawat
balans cairan, elektrolit, dan asam basa harus terus dipantau.
Penggunaan obat untuk memulihkan aliran darah dan metabolisme otak
yang menderita di daerah iskemik (ischemic penumbra), antara lain:
1. Anti-edema otak:
a. Gliserol 10% perinfus, 1gr/kgBB/hari dalam 6 jam
b. Kortikosteroid, yang banyak digunakan deksametason dengan
bolus 10-20mg i.v., diikuti 4-5 mg/6jam selama beberapa hari,
lalu tapering off, dan dihentikan setelah fase akut berlalu.

46
2.Anti-Agregasi trombosit
Asam asetil salisilat (ASA) seperti aspirin, aspilet dengan dosis rendah
80-300 mg/hari
3. Antikoagulansia, misalnya heparin
4. Lain-lain:
a. Trombolisis (trombokinase) masih dalam uji coba
b. Obat-obat baru dan Neuro Protectif: Citicoline, piracetam,
nimodipine.

Fase Pasca akut


Setelah fase akut berlalu, sasaran pengobatan dititik beratkan tindakan
rehabilitasi penderita, dan pencegahan terulangnya stroke.

Rehabilitasi
Stroke merupakan penyebab utama kecacatan pada usia di atas 45 tahun,
maka yang paling penting pada masa ini ialah upaya membatasi sejauh mungkin
kecacatan penderita, fisik dan mental, dengan fisioterapi, “terapi wicara”, dan
psikoterapi.

Terapi Preventif
Tujuannya, untuk mencegah terulangnya atau timbulnya serangan baru
stroke, dengan jalan antara lain mengobati dan menghindari faktor-faktor resiko
stroke:
a Pengobatan hipertensi
b Mengobati diabetes melitus
c Menghindari rokok, obesitas, stres
d Berolahraga teratur

47
DAFTAR PUSTAKA

1. Asinger RW. Cardiogenic brain embolism. The second report of the cerebral
embolism task force. Arc. Neurol. 1989 (46): 727-43
2. Adams and Victor's. Cerebrovascular Desease. Principles of Neurology.
McGraw- Hill: New York; 2005. p. 700-4
3. Caplan RL. Stroke a clinical approach. 4th ed. Boston: Butterworth, 2009:
349-68
4. Gates P. Cardiogenic stroke in, Barnett H. et al. stroke pathophysiology,
diagnosis and management, vol.2 Melbourne: Churchill
Livingstone,1986:1085-104
5. Schneck MJ. Emedicine. Cardioembolic Stroke [Online database] Available
from URL: http://emedicine.medscape.com/article/1160370-overview.
2008:1
6. WHO. The Atlas of Heart Disease and Stroke. In Risk Factors [Offline
Database] Available from URL:
http://www.who.int/entity/cardiovascular_diseases/en/cvd_atlas_03_risk_fac
tors.pdf. 2010:1
7. Toole JF. Cerebrovasculer disease. 3th ed. New York: Raven Press, 1984:
187-92

48
BAB III
MENINGITIS

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM


Mahasiswa kepaniteraan klinik mampu menyimpulkan dan merencanakan
penatalaksanaan penyakit Meningitis dengan benar.

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS


Mahasiswa kepaniteraan klinik mampu menjelaskan , membuat diagnosa dan
memberi terapi pendahuluan pada pasien dengan panyakit Meningitis

DEFINISI
Meningitis adalah reaksi keradangan yang mengenai satu atau semua
lapisan selaput yang membungkus jaringan otak dan sumsum tulang belakang,
yang menimbulkan eksudasi berupa pus atau serosa.
Meningitis disebut juga arachnoiditis atau leptomeningitis adalah suatu
infeksi yang mengenai arakhnoid, piameter, dan cairan serebrospinal di dalam
sistem ventrikel yang dapat terjadi secara akut ataupun kronis. Hal ini bisa
disebabkan oleh berbagai bakteri, virus, atau fungi, dan pathogen spesifik yang
terlibat dalam proses infeksi ini bergantung pada banyak faktor, khususnya umur
dan status imun tubuh.

EPIDEMIOLOGI
Jumlah kasus bervariasi dan semua tergantung letak geografi dan usia. Di
negara-negara berkembang seperti Indonesia, India, Thailand, Afrika, kasus
Meningitis lebih banyak. Daerah iklim tropis juga banyak berpengaruh terhadap
mudah berkembangnya kuman-kuman di alam bebas, yang sewaktu-waktu dapat
mengancam manusia.
Di seluruh dunia, terdapat 600.000 kasus per tahun, 75.000 dengan gangguan
pendengaran berat, dan terdapat 25.000 kasus baru per tahun.
Dan pada 70% kasus pada anak usia dibawah 5 tahun.

49
ANATOMI DAN FISIOLOGI
Meningen adalah sistem membran yang melapisi sistem saraf pusat. Meningen
tersusun atas unsur kolagen dan fibril yang elastis serta cairan serebrospinal.
Meningen terbagi menjadi tiga lapisan, yaitu durameter, arachnoid dan piameter.
Fungsi utama meningen dan kelenjar serebrospinal adalah untuk melindungi
sistem saraf pusat.

Gambar 3.1. Lapisan Meningen

50
a. Duramater
Dura mater kadangkala disebut pachimeningen atau meningen
fibrosa karena tebal, kuat, dan mengandung serabut kolagen. Durameter
terdiri dari lapisan luar durameter dan lapisan dalam durameter. Lapisan
luar durameter di daerah kepala menjadi satu dengan periosteum tulang
tengkorak dan berhubungan erat dengan endosteumnya.
Pada duramater dapat diamati adanya serabut elastis, fibrosit,
saraf, pembuluh darah, dan limfe. Lapisan dalam dura mater terdiri dari
beberapa lapis fibrosit pipih dan sel-sel luar dari lapisan arachnoid.

b. Arachnoid
Lapisan arachnoid terdiri atas fibrosit berbentuk pipih dan serabut
kolagen. Lapisan arachnoid mempunyai dua komponen, yaitu suatu
lapisan yang berhubungan dengan dura mater dan suatu sistem trabekula
yang menghubungkan lapisan tersebut dengan pia mater. Ruangan di
antara trabekula membentuk ruang subarachnoid yang berisi cairan
serebrospinal dan sama sekali dipisahkan dari ruang subdural.
Pada beberapa daerah, arachnoid melubangi dura mater, dengan
membentuk penonjolan yang membentuk trabekula di dalam sinus venous
dura mater. Bagian ini dikenal dengan vilus arachnoidalis yang berfungsi
memindahkan cairan serebrospinal ke darah sinus venous.
Arachnoid merupakan selaput yang tipis dan transparan.
Arachnoid berbentuk seperti jaring laba-laba. Antara Arachnoid dan
piameter terdapat ruangan berisi cairan yang berfungsi untuk melindungi
otak bila terjadi benturan. Baik arachnoid dan piameter kadang-kadang
disebut sebagai leptomeninges. Arakhnoid mempunyai banyak trabekula
halus yang berhubungan dengan piameter, tetapi tidak mengikuti setiap
lekukan otak.
Diantara arakhnoid dan piameter disebut ruang subrakhnoid,
yang berisi cairan serebrospinal dan pembuluh-pembuluh darah. Karena
arakhnoid tidak mengikuti lekukanlekukan otak, maka di beberapa tempat
ruang subarakhnoid melebar yang disebut sisterna.

c. Piamater
Piameter adalah membran yang sangat lembut dan tipis. Lapisan ini
melekat pada otak. Piamater mengandung sedikit serabut kolagen dan
membungkus seluruh permukaan sistem saraf pusat dan vaskula besar
yang menembus otak.

51
Piameter merupakan selaput tipis yang melekat pada permukaan otak yang
mengikuti setiap lekukan-lekukan pada sulkus-sulkus dan fisura-fisura,
juga melekat pada permukaan batang otak dan medula spinalis, terus ke
kaudal sampai ke ujung medula spinalis setinggi korpus vertebra. (8,10, 11)

Pembentukan, Sirkulasi dan Absorpsi Cairan Serebrospinal (CSS)

Cairan serebrospinal (CSS) dibentuk terutama oleh pleksus khoroideus,


dimana sejumlah pembuluh darah kapiler dikelilingi oleh epitel
kuboid/kolumner yang menutupi stroma di bagian tengah dan merupakan
modifikasi dari sel ependim, yang menonjol ke ventrikel.
Pembentukan CSS melalui 2 tahap, yang pertama terbentuknya
ultrafiltrat plasma di luar kapiler oleh karena tekanan hidrostatik dan kemudian
ultrafiltrasi diubah menjadi sekresi pada epitel khoroid melalui proses metabolik
aktif.
Ada 2 kelompok pleksus yang utama menghasilkan CSS: yang pertama
dan terbanyak terletak di dasar tiap ventrikel lateral, yang kedua (lebih sedikit)
terdapat di atap ventrikel III dan IV. Diperkirakan CSS yang dihasilkan oleh
ventrikel lateral sekitar 95%. Rata-rata pembentukan CSS 20 ml/jam. CSS
bukan hanya ultrafiltrat dari serum saja tapi pembentukannya dikontrol oleh
proses enzimatik.
CSS dari ventrikel lateral melalui foramen interventrikular monroe
masuk ke dalam ventrikel III, selanjutnya melalui aquaductus sylvii masuk ke
dalam ventrikel IV. Tiga buah lubang dalam ventrikel IV yang terdiri dari 2
foramen ventrikel lateral (foramen luschka) yang berlokasi pada atap resesus
lateral ventrikel IV dan foramen ventrikuler medial (foramen magendi) yang
berada di bagian tengah atap ventrikel III memungkinkan CSS keluar dari sistem
ventrikel masuk ke dalam rongga subarakhnoid. CSS mengisi rongga
subarakhnoid sekeliling medula spinalis sampai batas sekitar S2, juga mengisi
keliling jaringan otak. Dari daerah medula spinalis dan dasar otak, CSS mengalir
perlahan menuju sisterna basalis, sisterna ambiens, melalui apertura tentorial dan
berakhir dipermukaan atas dan samping serebri dimana sebagian besar CSS akan
diabsorpsi melalui villi arakhnoid (granula Pacchioni) pada dinding sinus
sagitalis superior.
Yang mempengaruhi alirannya adalah: metabolisme otak, kekuatan
hidrodinamik aliran darah dan perubahan dalam tekanan osmotik darah.

52
Gambar 3.2. Rongga-rongga ventrikel otak

53
Gambar 3.3. Sirkulasi likuor

ETIOLOGI

Meningitis dapat disebabkan berbagai organisme seperti virus, bakteri ataupun


jamur yang menyebar masuk kedalam darah dan berpindah kedalam cairan otak.
 Virus
Jenis virus yang sering sebagai etiologi meningoesfasilitis antara lain :
enterovirus (poliovirus,coxsackievirus A dan B, echo virus), mumps
virus, lymphocytic virus. Disebutkan yang tersering yaitu echovirus dan
coxsackievirus.
 Bakteri yang dapat mengakibatkan serangan meningitis diantaranya :
1. Streptococcus pneumoniae (pneumococcus).
Bakteri ini yang paling umum menyebabkan meningitis pada bayi
ataupun anak-anak. Jenis bakteri ini juga yang bisa menyebabkan
infeksi pneumonia, telinga dan rongga hidung (sinus).
2. Neisseria meningitidis (meningococcus).

54
Bakteri ini merupakan penyebab kedua terbanyak setelah
Streptococcus pneumoniae, Meningitis terjadi akibat adanya infeksi
pada saluran nafas bagian atas yang kemudian bakterinya masuk
kedalam peredaran darah.
3. Haemophilus influenzae (haemophilus).
Haemophilus influenzae type b (Hib) adalah jenis bakteri yang juga
dapat menyebabkan meningitis. Jenis virus ini sebagai penyebabnya
infeksi pernafasan bagian atas, telinga bagian dalam dan sinusitis.
Pemberian vaksin (Hib vaccine) telah membuktikan terjadinya angka
penurunan pada kasus meningitis yang disebabkan bakteri jenis ini.
4. Listeria monocytogenes (listeria).
Ini merupakan salah satu jenis bakteri yang juga bisa menyebabkan
meningitis. Bakteri ini dapat ditemukan dibanyak tempat, dalam debu
dan dalam makanan yang terkontaminasi. Makanan ini biasanya yang
berjenis keju, hot dog dan daging sandwich yang mana bakteri ini
berasal dari hewan lokal (peliharaan).
5. Bakteri lainnya yang juga dapat menyebabkan meningitis adalah
Staphylococcus aureus dan Mycobacterium tuberculosis.
 Protozoa : toksoplasmosis, malaria
 Mikoses : blastomikosis, dll.
 Riketsia

PATOGENESA

Terjadinya suatu infeksi selaput otak dapat melalui beberapa cara yaitu :
a. Hematogen atau bakteriemia dari infeksi di nasofaring, faringitis,
tonsilitis, peneumonia, infeksi gigi
b. Secara langsung melalui : robeknya durameter pada fraktur
basiskranii, tindakan bedah kepala implantasi benda asing (inplan
cochlea), VP-Shunt, deep brain stimulation, dan lumbal pungsi.
c. Fokus didekat kepala misalnya : sinus, mastoid, furunkel dihidung dan
didekat orbita masuk melalui kavernosus. Biasanya merupakan
menigitis yang purulen.
d. Melalui laminakribiformis pada rhinorhoea kronis atau rekuren.
e. Perluasan lanngsung dari infeksi yang mengenai telinga tengah, sinus
para nasalis, kulit kepala atau muka.
f. Melalui faring : terutama virus yang tetap berada di faring, bila daya
tahan tubuh menurun dapat masuk ke otak.

55
GEJALA KLINIS
Terjadinya meningitis dapat akut, maupun kronis (misalnya TBC). Secara klinik
tampak
- Gejala dini : sering dikenal sebagai trias meningitis yaitu :
 Demam
 Sakit kepala/ muntah
 Kaku kuduk
- Gejala lanjut :
 Siezure (kejang)
 Kelumpuhan saraf kranial
 Tuli
 Stupor dan tanda neurologi fokal

Demam timbul karena interleukin 1 dan bakterial pirogen dilepaskan dalam


cairan serebrospinalis dan mempengaruhi hipotalamus. Sedangkan nyeri kepala
terjadi sekunder karena iritasi serabut-serabut yang iritatif nyeri pada selaput
otak di daerah servikal dan radiks servikal. Iritasi pada radiks saraf
kemungkinan juga sebagai dasar patofisiologi timbulnya tanda Kernig dan
Brudzinki.

PEMERIKSAAN KLINIS
Setelah diagnosis dibuat, segera bedakan antara bakteri, virus dan fungus.
Lumbal pungsi merupakan penunjang yang lebih jelas untuk membedakan jenis
meningitis ini. Pemeriksaan lumpal pungsi (LP) merupakan “Diagnosa Pasti”
untuk meningitis dan pada pemeriksaan LP ada indikasi dan kontraindikasi.

Kontraindikasi LP :
a. Tekanan intrakranial yang meningkat (papiledema) merupakan
kontraindikasi absolut
b. Radang pada tempat yang akan ditusuk
c. Kondisi umum dengan Hemodynamic or Pulmonary Instability
d. Coagulopathy atau thrombocytopenia berat dikhawatirkan terjadi
pendarahan

56
Pada pemeriksaan hasil LP yang harus diobservasi adalah sbb :
1. Tekanan
Biasanya tekanan agak meningkat
2. Warna
Warna yang xanthocrome menunjukkan adanya infeksi kokus
3. Sel
Jumlah sel meningkat. Dilihat fraksi mana yang meningkat,
mononuclear atau polinuklear. Mononuclear yang meningkat biasanya
terdapat pada meningitis serosa (TBC, virus, atau jamur), sedangkan
polinuklear yang meningkat terdapat pada meningitis purulenta
(coccus).
4. Protein
Biasanya meningkat pada semua radang baik coccus, bakteri lain atau
virus
5. Glukosa
Glukosa akan menurun pada infeksi tbc dan kokkus. Untuk
menghindari salah tafsir, maka pada saat yang sama harus dilakukan
pengukuran glukosa darah. Normal perbandingan glukosa darah
disbanding likuor adalah 10:6 pada infeksi virus glukosa akan normal
atau meningkat.
6. Kultur
Terdiri dari kultur edia agar-agar, glukosa, plasma, dll.

57
MENINGITIS TUBERKULOSA

DEFINISI
Meningitis tuberkulosa merupakan penyakit infeksi susunan saraf pusat
yang mengenai piameter, ruang subaraknoid yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosa.
Pada anak-anak, dihasilkan dari bakteriemia yang mengikuti fase inisial
dari tuberkulosis paru primer.
Pada orang dewasa, dapat terjadi bertahun-tahun setelah infeksi primer.
Meningitis tuberkulosa selalu merupakan sekunder dari penyakit tuberkulosa
pada organ lainnya.
Fokus primer biasanya terdapat di paru-paru, namun dapat juga terjadi di
kelenjar limfe, tulang, sinus nasalis, GI tract, atau organ-organ lainnya. Onset
biasanya sub akut.(1, 2, 3)

EPIDEMIOLOGI
Puncak insiden pada usia 0-4 tahun di daerah prevalensi tinggi, pada orang
dewasa di daerah prevalensi rendah. Faktor resiko diantaranya :
o Infeksi HIV
o imunosupresi
o diabetes mellitus
o alkoholisme

PATOFISIOLOGI

Meningitis TB terjadi akibat penyebaran infeksi secara hematogen ke


meningen. Dalam perjalanannya meningitis TB melalui 2 tahap. Mula-mula
terbentuk lesi di otak atau meningen akibat penyebaran basil secara hematogen
selama infeksi primer. Penyebaran secara hematogen dapat juga terjadi pada TB
kronik, tetapi keadaan ini jarang ditemukan. Selanjutnya meningitis terjadi
akibat terlepasnya basil dan antigen TB dari fokus kaseosa (lesi permulaan di

58
otak) akibat trauma atau proses imunologik, langsung masuk ke ruang
subarakhnoid. Meningitis TB biasanya terjadi 3–6 bulan setelah infeksi primer.
Meningitis tuberkulosa, pada umumnya mempunyai fokus infeksi di
organ lain. Pada anak-anak infeksi primer di paru, sedangkan pada dewasa dari
mastoid tuberkulosis, spondilitis tuberkulosis, serta organ lain. Penyebarannya
melalui kelenjar regional dan ductus thoracicus ke dalam sirkulasi (hematogen),
kemudian organisme mengadakan infasi ke dalam SSP yang kemudian
berkembang menjadi eksudat kaseosa.
Meningitis tuberkulosa tidak berkembang secara akut dari penyebaran
tuberkel bacilli ke meningen secara hematogen, melainkan merupakan hasil dari
pelepasan tuberkel bacilli ke dalam rongga subarakhnoid dari lesi kaseosa
subependimal. Selama fase inisial dari infeksi, sejumlah kecil tuberkel
berukuran seperti biji tersebar di dalam substansi otak dan meningen. Tuberkel-
tuberkel ini cenderung membesar dengan bersatu dan tumbuh besar, dan
biasanya caseating, lembut dan membentuk eksudat.
Eksudat kaseosa ini dapat masuk ke ruang subarakhnoid sehingga terjadi
meningitis. Eksudat ini mempunyai predisposisi di dasar otak. Eksudat ini dapat
pula mencapai meningen sehingga terbentuk meningitis circumsript, yang
dibatasi oleh kapsul sehingga membentuk tuberkuloma. Kemungkinan lesi
kaseosa untuk menyebabkan meningitis ditentukan dari kedekatan jarak lesi
dengan rongga subarakhnoid dan kecepatan enkapsulasi fibrosa berkembang
akibat resistensi imun dapatan. Foci caseosa subependymal dapat terus tak
bergejala selama berbulan-bulan bahkan tahunan tetapi kemudian dapat
menyebabkan meningitis melalui pelepasan bacilli dan antigen tuberkel ke
dalam rongga subarakhnoid.
Penyebaran dapat pula terjadi secara per kontinuitatum dari peradangan
organ atau jaringan di dekat selaput otak seperti proses dinasofaring, pneumonia,
bronkopneumonia, endokarditis, otitis media, mastoiditis, trombosis sinus,
kavernosus, atau spondilitis, penyebarang kuman dalam ruang subaraknoid,
menyebabkan reaksi radang pada pia dan araknoid., CSS, ruaang subaraknoid
dan ventrikulus.

59
Akibat reaksi radang ini adalah terbentuknya eksudat kental,
serofibrinosa dan gelatinosa oleh kuman-kuman dan toksin yang mengandung
sel-sel mononuclear, limfosit, sel plasma, makrofag, sel raksasa, dan fibroblast.
Eksudat ini tidak terbatas di dalam ruang subaraknoid saja, tetapi teruatama
terkumpul di dasar tengkorak. Eksudat juga meyebar melalui pembuluh-
pembuluh darah pia dan menyerang jaringan otak di bawahnya, sehingga proses
sebenarnya adalah moningo-ensefalitis.
Eksudat kaseosa ini mempunyai predileksi di daerah basal otak, sehingga
dapat mengakibatkan pembuntuan aliran likuor pada akuaductus sylvii dan
ruang subarakhnoid sekitar batang otak menyebabkan hidrosefalus, papil edema
dan peningkatan tekanan intrakranial. Pada ruang subarakhnoid tampak adanya
keradangan pembuluh darah (arteritis), terutama pada adventitia dan tunika
media yang dapat menyebabkan trombosis dengan akibat terjadinya infark
multipel di otak.

60
Gambar 3.4. Patofisiologi Meningitis Tuberkulosa

61
GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis meningitis tuberkulosa dapat berupa sindroma
meningitis akut memberikan gejala koma, peningkatan tekanan intrakranial,
kejang dan defisit neurologis fokal atau berupa slowly progressive dementing
illness.
Ketika infeksi berupa sindroma meningitis akut, tanda dan gejala
karakteristiknya adalah nyeri kepala, malaise, meningismus, papil edema,
muntah, bingung, kejang, dan defisit saraf kranial. Pasien dirawat dengan letargi
atau stupor dapat menjadi koma dalam hitungan hari. Demam dapat muncul,
dapat pula tidak muncul.
Meningitis tuberkulosa dapat pula tampak sebagai slowly progressive
dementing illness dengan defisit memori dan perubahan perilaku yang khas pada
penyakit lobus frontalis, berupa abulia, dan inkontinensia urin dan fecal.
Bentuk ini merupakan bentuk meningitis tuberkulosa yang banyak
ditemukan. Defisit saraf kranialis dan konvulsi juga terjadi pada meningitis
tuberkulosa subakut. Kadang ada riwayat anorexia, batuk, berkeringat pada
malam hari dan penurunan berat badan dalam waktu beberapa hari sampai
beberapa bulan, akibat perkembangan gejala infeksi susunan saraf pusat.
Klinis dibagi dalan 4 fase:
a. Fase I: Tanda rangsangan meningen +, kesadaran baik, saraf otak
tidak terganggu (gejala fokal negative)
b. Fase II: Tanda rangsangan meningen ++, kesadaran baik, terdapat
gangguan saraf otak (N.VI dan N.VII) kadang-kadang didapatkan
hemiparesis (oleh karena arteritis, eksudat yang menekan pedunkulus
serebri, hidrosefalus)
c. Fase III: Tanda rangsangan meningen +, kesadaran menurun, terdapat
gangguan saraf otak (gejala fokal positif), kejang
d. Fase IV: Seperti fase III, terdapat koma serta syok.

62
Manifestasi klinis dibagi atas 3 stadium:
 Stadium I (inisial)
Predominan gejala gastrointestinal, tanpa manifestasi kelainan
neurologis. Pasien tampak apatis atau iritabel, disertai nyeri kepala
intermiten.
Stadium prodomal berlangsung lebih kurang 2 minggu sampai 3 bulan.
Permulaan penyakit bersifat subakut, sering panas atau kenaikan suhu
yang ringan atau hanya dengan tanda-tanda infeksi umum, muntah-
muntah, tak ada nafsu makan, murung, berat badan turun, tak adah
gairah, mudah tersinggung, cengeng, tidur terganggu dan gangguan
kesadaran berupa apatis,. Gejala-gejala tadi lebih sering terlihat pada
anak kecil. Anak yang lebih besar mengetahui nyeri kepala, tak ada nafsu
makan, obstipasi, muntah-muntah, pola tidur terganggu,. Pada orang
dewasa terdapat panas yang hilang timbul, nyeri kepala, konstipasi, tak
ada nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi, delusi dan
sangat gelisah.
 Stadium II
Pasien tampak mengantuk, disorientasi disertai tanda rangsang
meningeal. Refleks tendon meningkat, refleks abdomen menghilang,
disertai klonus patela dan pergelangan kaki. Saraf kranialis VII, IV, VI
dan III terlibat. Dapat ditemukan tuberkel pada koroid.
Gejala-gejala terlihat lebih berat, terdapat kejang umum atau fokal
terutama pada anak kecil dan bayi. Tanda-tanda rangsangan meningeal
mulai nyata, seluruh tubuh dapat menjadi kaku dan timbul opostitinus,
terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial, ubun-ubun
menonjol dan muntah lebih hebat. Nyeri kepala yang bertambah berat
dan progresif menyebabkan si anak berteriak dan menangis dengan nada
yang khas yaitu meningeal cry. Kesadaran makin menurun. Terdapat
gangguan nervi kranialis, antara lain N.II,III,IV,VI,VII dan VIII. Dalam
stadium ini dapat terjadi defisit neurologis fokal seperti hemiparesis,
hemiplegia karena infark otak dan rigiditas deserebrasi. Pada funduskopi

63
dapat ditemukan atrofi N.II dan koroid tuberkel yaitu kelainan pada
retina yang tampak seperti busa berwarna kuning dan ukurannya sekitar
setengah diameter papil.
 Stadium III
Pasien koma, pupil terfiksasi, spasme klonik, pernafasan irreguler
disertai peningkatan suhu tubuh. Hidrosefalus terdapat pada dua pertiga
kasus dengan lama sakit 3 minggu.
Dalam stadium ini suhu tidak teratur dan semakin tinggi yang
disebabkan oleh terganggunya regulasi pada diensefalon. Pernafasan dan
nadi juga tidak teratur dan terdapat gangguan pernafasan dalam bentuk
cheyne-stokes atau kussmaul. Gangguan miksi berupa retensi atau
inkontinensia urin. Didapatkan pula adanya gangguan kesadaran makin
menurun sampai koma yang dalam. Pada stadium ini penderita dapat
meninggal dunia dalam waktu 3 minggu bila tidak memperoleh
pengobatan sebagaimana mestinya. (1,3)
Ensefalopati tuberkulosa juga dijelaskan sebagai sindroma konvulsi,
stupor atau koma, gerakan involunter, paralysis, dan spasme atau rigiditas
deserebrasi dengan atau tanpa gejala klinis meningitis atau kelainan CSS pada
meningitis tuberkulosa.
Secara patologis tampak edema difus dari cerebral white matter dengan
hilangnya neuron dalam gray matter, leukoencephalopathy hemorrhagic, atau
encephalomyelitis demyelinating pasca infeksi. Sindroma ini terutama tampak
pada anak dengan tuberkulosis milier atau diseminata.

64
Tanda dan Gejala Meningitis Tuberkulosa
Gejala Tanda Klinis

Prodormal :
Anoreksia Adenopati
Penurunan berat badan Suara tambahan pada auskultasi paru
Batuk Tuberkel koroidal
Keringat malam hari Demam ( paling tinggi pada sore hari )
Rigiditas nuchal
Papil edema
CNS Defisit neurologis fokal
Tuberculin skin test ( + )
Tabel 3.1. Tanda dan gejala Meningitis TB

DIAGNOSA
Diagnosa meningitis tuberculosa ditegakkan berdasarkan ditemukannya :
1. Anamnesa
Gejala klinis sakit kepala, panas yang tidak tinggi (subfebril) dan kaku
kuduk yang timbul setelah 1-3 minggu.
Adanya riwayat demam kronis, nyeri kepala yang hebat, dapat pula
berlangsung akut, kejang, jenis kejang, penurunan kesadaran, lamanya,
suhu sebelum/ saat kejang, frekuensi, interval, pasca kejang. Riwayat
penurunan berat badan, imunisasi BCG, kontak dengan pasien TB
dewasa.

2. Pemeriksaan klinis
 Pemeriksaan rangsangan selaput otak hasilnya positif dan kadang
disertai gangguan saraf otak serta pada pemeriksaan fundus okuli
didapatkan choroids tubercle

65
 Pada pemeriksaan LCS:
- Cairan likuor jernih
- Tekanan meningkat
- Jumlah sel meningkat terutama mononuclear
- Kadar protein meningkat antara 80-400 mg, tetapi dapat meningkat
sampai 1000 mg/ml, jika terjadi blok parsial atau komplit pada
ruang subarakhnoid spinal
- Kadar glukosa menurun sampai dibawah 40 mg/100 ml.
- Klorida menurun dibawah 600 mg %
- Dicari tanda khas meningitis tuberculosa yaitu Pellicle (likuor
dibiarkan dalam semalam, maka akan tampak bentukan sepeti
sarang laba-laba).
 Pemeriksaan foto thoraks didapatkan gambaran tuberkulosa paru.
 Pada CT scan / MRI tampak adanya gambaran tuberkuloma. Bisa
juga terdapat penebalan basal meningen, infark, cerebral oedema.

3. Adanya kontak dengan penderita tuberkulosa aktif


Abnormalitas CSS yang klasik ada pada meningitis tuberkulosa adalah:
1. Peningkatan tekanan pembukaan
2. Peningkatan konsentrasi protein antara 100-500 mg/dl
3. Jumlah sel leukosit antara 10-500 sel/mm³ dengan limfosit
predominan
4. Penurunan konsentrasi glukosa (< 50% gula darah)
Abnormalitas CSS yang ditemukan pada meningitis tuberkulosa:
1. Peningkatan jumlah leukosit antara 10-500 sel/mm³ dengan limfosit
predominan
2. Peningkatan konsentrasi protein antara 100-500 mg/dl
3. Penurunan konsentrasi glukosa (< 50% gula darah)
4. Kultur positif pada 75 % kasus membutuhkan 3-6 minggu untuk
tumbuh
5. Penurunan konaentrasi klorida

66
6. Rasio bromida serum/cairan serebrospinal yang rendah
7. Assay asam tuberculostearic positif

Bacterial Viral Fungal Tuberculosa


Opening
N / tinggi N N / tinggi Tinggi
pressure
Jumlah sel
1,000-10,000 < 300 20-500 50-500
(/mm3)
PMN (%) >80 <20 <50 ~20
Sangat Tinggi
Protein (mg/dl) N Tinggi Tinggi
(100-500)
usually <
Glucose < 40 normal < 40
40
60-90 % AFB stain (+) in 40-
Gram stain negative negative
positive 80%
Kultur (%
70-85 25 25-50 50-80
positif)
Tabel 3.2. Hasil Pemeriksaan CSS

Kriteria Diagnosis (Ogawa) :


1. Definite : BTA ditemukan dalam LCS ( kultur atau biopsi)
2. Probable :
a. Pleositosis pada LCS
b. Perwarnaan BTA (-)
c. Diikuti dari salah satu dibawah ini:
i. Tes tuberkulin (+)
ii. Adanya TB dluar SSP atau ada TB paru aktif atau
terpapar TB sebelumnya
iii. LCS Glukosa < 40 mg%
iv. LCS protein > 60 mg%

67
Diagnosis dapat ditegakkan secara cepat dengan PCR, ELISA dan aglutinasi
Latex.(4) Baku emas diagnosis meningitis TB adalah menemukan
Microbacterium Tuberculosa dalam kultur Cairan Serebro Spinal.(1,4) Namun
pemeriksaan kultur Cairan Serebro Spinal ini membutuhkan waktu yang lama
dan memberikan hasil positif hanya pada kira-kira setengah dari penderita

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk meningitis tuberkulosa:
1. Tuberculin skin test
2. Foto roentgen: adenopati hilar, ,infiltrasi nodular lobus atas, pola milier
3. Computed tomography atau Magnetic Resonance Imaging: hidrosefalus
& basilar meningeal enhancement pasca kontras
4. Pemeriksaan cairan serebrospinal: limfositik pleositosis, pewarnaan
tahan asam dan kultur
5. Pemeriksaan mata untuk koroid tuberkel
6. Pewarnaan urin dan sputum dan kultur untuk bakteri tahan asam

Terapi
A. Terapi umum
 Tirah baring total, cegah dekubitus
 Pemberian cairan yang adekuat, terutama untuk penderita shock
 Terapi 5B
1. Blood : tensi harus dipertahankan normal
2. Brain : apabila tekanan intrakranial meningkat diberi
mannitol/kortikosteroid
3. Breathing : pernafasan harus bebas
4. Bowel : kalori harus dipertahankan sesuai keadaan penderita
5. Bladder : hindari infeksi kandung kemih
 Terapi simptomatik : antikonvulsan, analgetik, dll.

68
B. Terapi spesifik
Terapi khusus meningitis TB
- INH 400 mg/hari (dewasa)
- Streptomisin 1gr/ hari
- Rifampisin 600 mg/hari
- Pirazinamid 20mg/kgBB/hari (± 1gr/hari)

Keempat obat diatas diberikan sampai sel menjadi normal (2 bulan),


kemudian diteruskan dengan INH dan Rifampisin selama 6 sampai 9 bulan.
Etambutol sudah tidak digunakan untuk meningitis TB, oleh karena pada anak-
anak sering menyebabkan atrofi nervus opticus, yang pada anak dengan
kesadaran menurun sulit dideteksi.
Tabel di bawah ini menunjukkan dosis obat anti tuberkulosa secara
umum yang dipakai (di Indonesia) secara harian maupun berkala dan
disesuaikan dengan berat badan pasien.

Nama Obat Dosis harian Dosis


berkala
3X
BB<50 kg BB>50 kg Seminggu

Isoniazid/INH (H) 300 mg 400 mg 600 mg


Paling baik menembus sawar darah
otak
Rifampisin ® 450 mg 600 mg 600 mg
Profilaksis meningitis oleh karena
Meningokokus/Haemophylus infuenza
Pirazinamid (Z) 1500 mg 2000 mg 2-3 g
Streptomisin (S) i.m 750 mg 1000 mg 1000 mg
Etambutol (E) 1000 mg 1500 mg 1-1,5 g
Etionamid (T) 500 mg 750 mg -
Tabel 3.3. Obat-obat tuberkulostatik

69
Pengobatan yang diberikan pada pasien meningitis tuberkulosa adalah
pengobatan kategori I yang ditujukan terhadap :
- kasus tuberkulosis paru baru dengan sputum BTA positif
- penderita TB paru, sputum BTA negatif, roentgen positif dengan
kelainan paru luas
- kasus baru dengan bentuk tuberkulosis berat separti meningitis,
tuberkulosis diseminata, perikarditis, peritonitis, pleuritis, spondilitis
dengan gangguan neurologist, kelainan paru yang luas dengan BTA
negative, tuberkulosis usus, tuberkulosis genitourinarius
- Pengobatan tahap intensif adalah dengan paduan RHZE (E). Bila setelah
2 bulan BTA menjadi negative, maka diteruskan dengan tahap lanjutan.
Bila setelah 2 bulan masih tetap positif maka tahap intensif diperpanjang
lagi selama 2-4 minggu dengan 4 macam obat. Pada populasi dengan
resistensi primer terhadap INH rendah, tahap intensif cukup diberikan 3
macam obat saja yaitu RHZ. Hal ini karena secara teoritis pemberian
Isoniazid, Rifampisin, dan Pirazinamid akan memberikan efek bakterisid
yang terbaik.
- Pengobatan tahap lanjutan adalah dengan paduan 4RH atau 4R3H3.
Pasien dengan tuberkulosis berat (meningitis, tuberkulosis diseminata,
spondilitis dengan gangguan neurologist), R dan H harus diberikan setiap
hari selama 6-7 bulan (6R7H7 atau 7 R7H7).

Pemberian steroid
Pada pasien dengan penurunan kesadaran dan peningkatan tekanan
intrakranial, kortikosteroid dapat menguntungkan, karena patofisiologi koma
dan peningkatan tekanan intracranial sama pada kedua penyakit itu. Pada pasien
dengan presentasi meningitis yang subakut, kortikosteroid mungkin sedikit
menguntungkan bila edema serebri dan peningkatan tekanan intracranial bukan
merupakan etiologi dari komplikasi neurologis.

70
Deksametason menurunkan edema otak, menurunkan resistensi outflow CSS,
menurunkan produksi sitokin inflamasi, menurunkan jumlah leukosit, sehingga
masa inflamasi di ruang subarakhnoid berkurang, dan meminimalisasi kerusakan
di sawar darah otak. Deksametason direkomendasikan pada kasus meningitis
tuberkulosa dengan telah adanya salah satu komplikasi di bawah ini :
1. Penurunan kesadaran;
2. Papiledema;
3. Defisit neurologis fokal; dan atau
4. Tekanan pembukaan CSS lebih besar dari 300 mmH2O
Dosis deksametason adalah 10 mg bolus intravena kemudian 4x 5mg
intravena selama 2-3 minggu, selanjutnya turunkan perlahan selama 1 bulan.

KOMPLIKASI
Meningitis tuberkulosa dapat memberikan berbagai macam komplikasi seperti
berikut:
• Kelumpuhan saraf otak
Proses patologis pada meningitis tuberkulosa diawali oleh adanya reaksi
hipersensitivitas terhadap pelepasan bakteri atau antigennya dari tuberkel ke
dalam rongga subarakhnoid. Hal ini menyebabkan terbentuknya eksudat
tebal dalam rongga subarakhnoid yang bersifat difus, terutama berkumpul
pada basis otak. Eksudat berpusat di sekeliling fossa interpedunkularis,
fissure silvii; meliputi kiasma optikus dan meluas di sekitar pons dan
serebelum. Secara mikroskopis, awalnya eksudat terdiri dari leukosit
polimorfonuklear, eritrosit, makrofag dan limfosit disertai timbulnya
fibroblast dan elemen jaringan ikat. Eksudat yang tebal ini juga dapat
menimbulkan kompresi pembuluh darah pada basis otak dan penjeratan saraf
kranialis. Kelumpuhan saraf otak yang tersering ialah N VI, diikuti dengan N
III, N IV dan N VII, dan bahkan dapat terjadi pada N VIII dan N II.

71
Kerusakan pada N II berupa kebutaan, dapat disebabkan oleh lesi
tuberkulosisnya sendiri yang terdapat pada N Optikus atau karena penekanan
pada kiasma oleh eksudat peradangan atau karena akibat sekunder dari
edema papil atau hidrosefalusnya. Neuropati optic ialah istilah umum untuk
setiap kelainan atau penyakit yang mengenai saraf optic yang diakibatkan
oleh proses inflamasi, infiltrasi, kompresi, iskemik, nutrisi maupun toksik.
Neuropati optic toksik dapat terjadi karena paparan zat beracun, alcohol,
atau sebagai akibat komplikasi dari terapi medikamentosa. Gejala klinisnya
antara lain adanya penurunan tajam penglihatan yang bervariasi (mulai dari
penurunan tajam penglihatan yang minimal sampai maksimal tanpa persepsi
cahaya), gangguan fungsi visual berupa kelainan lapang pandang. Pada
pengobatan tuberkulosis dapat terjadi neuropati optic, yang paling sering
karena Etambutol, tetapi Isoniazid dan Streptomisin juga dapat
menyebabkan hal tersebut.
Kerusakan pada N VIII umumnya lebih sering karena keracunan
obat streptomisinnya dibandingkan karena penyakit meningitis
tuberkulosanya sendiri.

• Arteritis
Infiltrasi eksudat pada pembuluh darah kortikal atau meningel
menyebabkan proses inflamasi yang terutama mengenai arteri kecil dan
sedang sehingga menimbulkan vaskulitis.
Secara mikroskopis, tunika adventitia pembuluh darah mengalami
perubahan dimana dapat ditemukan sel-sel radang tuberkulosis dan nekrosis
perkejuan, kadang juga dapat ditemukan bakteri tuberkulosis. Tunika intima
juga dapat mengalami transformasi serupa atau mengalami erosi akibat
degenerasi fibrinoid-hialin, diikuti proliferasi sel sub endotel reaktif yang
dapat sedemikian tebal sehingga menimbulkan oklusi lumen.
Vaskulitis dapat menyebabkan timbulnya spasme pada pembuluh darah,
terbentuknya thrombus dengan oklusi vascular dan emboli yang
menyertainya, dilatasi aneurisma mikotik dengan rupture serta perdarahan

72
fokal. Vaskulitis yang terjadi menimbulkan infark serebri dengan lokasi
tersering pada distribusi a. serebri media dan a. striata lateral.

• Hidrosefalus
Hidrosefalus merupakan komplikasi yang cukup sering terjadi
dari meningitis tuberkulosa dan dapat saja terjadi walaupun telah mendapat
terapi dengan respon yang baik. Hampir selalu terjadi pada penderita yang
bertahan hidup lebih dari 4-6 minggu. Hidrosefalus sering menimbulkan
kebutaan dan dapat menjadi penyebab kematian yang lambat.
Perluasan inflamasi pada sisterna basal menyebabkan gangguan
absorpsi CSS sehingga menyebabkan hidrosefalus komunikans dan dapat
pula terjadi hidrosefalus obstruksi (hidrosefalus non komunikans) akibat dari
oklusi aquaduktus oleh eksudat yang mengelilingi batang otak, edema pada
mesensefalon atau adanya tuberkuloma pada batang otak atau akibat oklusi
foramen Luschka oleh eksudat.
Hidrosefalus komunikans dan non komunikans dapat terjadi pada
meningitis tuberkulosa. Adanya blok pada sisterna basalis terutama pada
sisterna pontis dan interpedunkularis oleh eksudat tuberkulosis yang kental
menyebabkan gangguan penyerapan CSS sehingga menyebabkan
hidrosefalus komunikans. Gejalanya antara lain ialah ataksia, inkontinensia
urin dan demensia. Dapat juga terjadi hidrosefalus non komunikans
(obstruktif) akibat penyumbatan akuaduktus atau foramen Luschka oleh
eksudat yang kental.
Gejala klinisnya ialah adanya tanda-tanda peningkatan tekanan
intracranial seperti penurunan kesadaran, nyeri kepala, muntah, papiledema,
refleks patologis (+) dan parese N VI bilateral.

• Arakhnoiditis
Adalah suatu proses peradangan kronik dan fibrous dari leptomeningen
(arakhnoid dan pia mater). Biasanya terjadi pada kanalis spinalis.

73
Arakhnoiditis spinal dapat terjadi karena tuberkulosa, terjadi sebelum
maupun sesudah munculnya gejala klinis meningitis tuberkulosis. Bila
tuberkel submeningeal pecah ke dalam rongga subarakhnoid, akan
menyebabkan penimbunan eksudat dan jaringan fibrosa sehingga terjadi
perlengketan di leptomeningen medulla spinalis.
Arakhnoiditis spinal paling sering mengenai pertengahan vertebra
thorakalis, diikuti oleh vertebra lumbalis dan vertebra servikalis. Biasanya
perlekatan dimulai dari dorsal medulla spinalis. Gejala pertama biasanya
berupa nyeri spontan bersifat radikuler, diikuti oleh gangguan motorik
berupa paraplegi atau tetraplegi.
Gangguan sensorik dapat bersifat segmental di bawah level penjepitan.
Kemudian dapat terjadi retensi kandung kemih. Pemeriksaan penunjang
untuk arakhnoiditis dapat dengan mielografi. Bisa didapatkan blok parsial
atau total, dapat juga memberikan gambaran tetesan lilin.

• SIADH (Sindrome Inappropriate Anti Diuretic Hormon)


SIADH adalah peningkatan anti diuretic hormon (arginine vasopressin)
yang berhubungan dengan hiponatremia tanpa terjadinya edema maupun
hipovolemia. Pengeluaran ADH tidak sejalan dengan adanya
hipoosmolalitas.
Pasien diduga SIADH jika konsentrasi urin > 300 mOsm/kg dan
didapatkan hiponatremi tanpa adanya edema, hipotensi orthstatik, atau
tanda-tanda dehidrasi. Semua penyebab hiponatremi lain harus sudah
disingkirkan.
SIADH merupakan salah satu komplikasi yang sering ditemukan pada
meningitis tuberkulosis. Kemungkinan hal tersebut terjadi karena reaksi
peradangan lebih banyak pada basis otak atau basil TBC sendiri “host
response” terhadap organisme penyebab.
Terjadi peningkatan produksi hormon antidiuretik dengan akibat terjadi
retensi cairan yang dapat menimbulkan tanda-tanda intoksikasi cairan.

74
Kriteria diagnostik :
1. kadar serum natrium <135 mEq/L
2. Osmolalitas serum <280 mOsm/L
3. Kadar natrium urin yang tinggi (biasanya > 18 mEq/L)
4. Rasio osmolalitas urin/serum meninggi hingga 1,5-2,5 : 1
5. Fungsi tiroid, adrenal, dan renal normal
6. Tidak ditemukan tanda-tanda dehidrasi
Penderita biasanya normovolemik.

• Sekuele
Dapat terjadi sekuele hemiparesis spastik, ataksia, dan paresis
saraf cranial persisten. Pada 50 % anak dengan kejang pada saat meningitis
dapat meninggalkan sekuele gangguan kejang.
Atrofi N. Optikus dapat terjadi dengan gangguan visual yang bervariasi
sampai buta total. Syringomielia dapat terjadi komplikasi pada masa
konvalesen sebagai akibat dari vaskulitis pembuluh darah medulla spinalis
karena mielomalasia iskemik.
Berbagai gangguan endokrin dapat terjadi sebagai akibat dari arteritis atau
kalsifikasi dan infark selanjutnya pada proksimal hipotalamus dan kelenjar
pituitary.

PROGNOSIS
Prognosis meningitis TB tergantung dari :
- Umur : pada ekstremitas of life (<3 bulan, >60 tahun), prognosis lebih
jelek.
- Kecepatan diagnosis dan penanganan yang tepat maka prognosis lebih
baik. Pada fase I dapat diharapkan sembuh sempurna dengan terapi
adekuat. Pada fase III dan IV bila sembuh akan menimbulkan kecacatan.
Bila meningitis tuberkulosa tidak diobati, prognosisnya jelek sekali. Penderita
dapat meninggal dalam waktu 6-8 minggu.

75
Prognosis ditentukan oleh kapan pengobatan dimulai dan pada stadium berapa.
Umur penderita juga mempengaruhi prognosis. Anak dibawah 3 tahun dan
dewasa diatas 40 tahun mempunyai prognosis yang jelek.

DAFTAR PUSTAKA

1. Gomersall. 2008. TB Meningitis.(Online), ( www.dreugermedical.com,


diakses pada tanggal 26 Agustus 2010 )
2. R Kumar, A Dwivedi, P Kumar, N Kohl, 2009. Tuberculous Meningitis
in BCG Vaccinated and Unvaccinated Children. (Online), (
http://jnnp.bmj.com, diakses tanggal 26 Agustus 2010)
3. Harsono, dkk, 2005, Buku Ajar Neurologi Klinis, Edisi 3, EGC, Jakarta.
4. Diederik van de Beek, 2009. Community-Acquired Bacterial Meningitis
in Adults. (Online), (www.bmj.com, diakses pada tanggal 26 Agustus
2010 )
5. Depkes RI. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosa.
Depkes RI
6. Leonard JM,DesPrez RM. Tuberculosis of the Central Nervous System.
Dalam:Aminoff MJ,editor. Neurology and General medicine.New
York:Churchill Livingstone,1995;703-14. (Online), (
http://neurology.multiply.com/journal/item/1, diakses pada tanggal 26
Agustus 2010)
7. Roos KL. Nonviral Infections. Dalam: Goetz CG. Textbook of Clinical
Neurology. Philadelphia: Saunders,2003; 929-31. (Online),
(http://neurology.multiply.com/ journal/item/1, diakses pada tanggal 26
Agustus 2010)
8. Adams & Victor's. 2000. Principles Of Neurology 7th edition
9. Depkes. 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis
10. WHO. 1997. TB a Clinical Manual for South East Asia

76
11. Wikipedia. Meninges. 2010. (Online),
(http://id.wikipedia.org/wiki/Meninges, diakses tanggal 29 Agustus
2010)
12. Gomersall, Charles. 2010. TB Meningitis.
(Online),(http://www.aic.cuhk.edu.hk/web8 /TB-meningitis.htm, diakses
tanggal 29 Agustus 2010)
13. Japardi, iskandar.,dr. 2002. Cairan Serebrspinal.
(Online),(http://repository.usu.ac.id/ bitstream/123456789/1973/1/bedah-
iskandar%20japardi64.pdf, diakses tanggal 29 Agustus 2010)
14. Bahrudin, Moch,dr. 2008. Dasar-Dasar Neurologi : Meningitis dan
meningoencephalitis. Malang
15. Bahrudin, Moch,dr. 2010. Kedaruratan Neurologi : Infeksi Susunan
Saraf Pusat : Diagnosis Meningitis Akut. Malang

77
BAB IV

EPILEPSI

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM


Mahasiswa kepaniteraan klinik mampu menyimpulkan dan merencanakan
penatalaksanaan penyakit Epilepsi dengan benar.

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS


Mahasiswa mampu menjelaskan macam-macam penyakit Stroke, membuat
diagnosa dan memberi terapi pendahuluan penyakit Epilepsi.

DEFINISI
Menurut WHO, epilepsi adalah kelainan kronis otak, karena berbagai
macam penyebab ditandai oleh serangan/ bangkitan (seizure) yang berulang-
ulang (recurrent) akibat lepasnya muatan listrik yang berlebihan dari neorun-
neuron di otak.
Istilah epilepsi tidak boleh digunakan untuk serangan yang terjadi hanya
sekali saja , serangan yang terjadi selama penyakit akut berlangsung dan
occasional provoked seizures , misalnya kejang/ serangan pada hipo glikemi.

EPIDEMIOLOGI
Insiden epilepsi di berbagai negara sangat bervariasi, menurut HOFF dan
STRATZKA hampir 0,5 % dari seluruh penduduk dunia menderita penyakit
epilepsi. Sedang JAMESROWAN yang mengutip hasil penyelidikan
ABERNATHY mendapatkan 8,5 % dari anak-anak menderita epilepsi.
Sedangkan di Indonesia belum ada data epidemiologis yang pasti, tapi
diperkirakan ada 900.000 -1.800.000 penderita. Menurut B. CHANDRA
diperkirakan hampir 0,6 % penduduk Indonesia menderita epilepsi (300.000
orang diantara 50 juta penduduk Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan dan
Sulawesi).

78
ETIOLOGI
Epilepsi terjadi karena aktivitas saraf abnormal akibat proses patologis
yang mempengaruhi otak. Pada epilepsi yang bukan idiopatik (simptomatik),
sering dapat dijumpai faktor penyebab serangan epilepsi, yaitu tumor otak,
C.V.A., post-trauma capitis, infeksi intrakranial, penyakit degeneratif, gangguan
metabolisme seperti uremia, hypoglycemia dan hypocalcaemia.
Pada bayi, penyebab paling sering adalah asfiksi atau hipoksia waktu
lahir, trauma intrakranial waktu lahir, gangguan metabolik, malformasi
congenital pada otak, atau infeksi.
Pada anak-anak dan remaja mayoritas adalah epilepsy idiopatik. Faktor-
faktor yang disebutkan mempengaruhi terjadinya serangan adalah : demam,
terutama pada anak-anak ; ketegangan emosi, kelelahan, tidur yang tidak cukup,
makanan yang tidak adekwat, hydrasi yang berlebihan dan alkohol.

PATOGENESA
Kejang disebabkan karena ada ketidakseimbangan antara pengaruh
inhibisi dan eksitatori pada otak. Konsep modern tentang impuls mengatakan
bahwa impuls itu adalah aktifitasJistrik sarafi yang dibangkitkan oleh sebuah
neron. Konsep ini dicetuskan pertama kali oleh Jackson, yang kemudian
dibuktikan oleh Hans Berger (1929) yang berhasil merekam aktifitas listrik
sarafi dengan alat yang dinamakan
elektroense falograf. Banyak penyelidikan yang telah dilakukan untuk
menerangkan tentang masalah kelistrikan epilepsi antara lain oleh Herbert Jasper
(Kanada), Lennox dan Gibbs (Amerika) antara tahun 1935 — 1945. Dari
penyelidikan tersebut terungkap bahwa bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu
sumber gaya listrik saran di otak yang dinamakan fokus epileptogen, yang
biasanya diketahui lokasinya tetapi tak selalu diketahui sifatnya.
Pada hakekatnya tugas neron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas
listrik sarafi. Otak ialah rangkaian berjuta-juta neron yang berhubungan satu
dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan

79
nerotransmiter. Acetylcholine dan norepinerprine ialah nerotranmiter eksitatif,
sedangkan zat lain yakni GABA (gama -amino-butiric-acid) bersifat inhibitif
terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Pada epilepsi yang
simtomatik fokus epileptogennya dapat berupa jaringan parut bekas trauma
kepala, trauma lahir, pembedahan, infeksi selaput dan jaringan otak dan dapat
pula neoplasma jinak dan ganas.
Pada fokus tersebut tertimbun acetylcholine cukup banyak. Dari fokus
ini aktivitas listrik akan menyebar melalui dendrit dan sinaps ke neron-neron di
sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak
dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian
akan terlihat umpamanya kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan
menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai
hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi,
aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus
yang selanjutnya akan menyebarkan impulsimpuls ke belahan otak yang lain dan
dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang umum yang disertai
penurunan kesadaran.
Pada epilepsi idiopatik dengan fokus epileptogen pada talamus (grand
mal) atau substansia retikularis (petit mal) oleh suatu mekanisme yang belum
diketahui, fokus-fokus tersebut dapat mengalami lepas muatan listrik berlebih.
Bila lepas muatan listrik ini tak diteruskan ke korteks serebri tidak terjadi
kejang, hanya kehilangan kesadaran seperti pada petit mat. Sedangkan bila
aktivitas listrik ini dapat mencapai seluruh permukaan otak terlihat kejang
umum dengan gangguan kesadaran.
Pada orang tertentu dengan faktor keturunan didapatkan gangguan
metabolisme asam glutamat yang dalam tubuh diubah menjadi GABA, sehingga
GABA tak terbentuk atau terbentuk dalam jumlah sedikit sekali. Orang ini
cendrung untuk mendapat serangan epilepsi.

80
DIAGNOSIS
Pasien didiagnosis epilepsi jika mengalami serangan kejang secara berulang.
Untuk menentukan jenis epilepsinya, selain dari gejala, diperlukan berbagai alat
diagnostik, yaitu :

EEG

Elektroensefalografi ialah alat pencatat aktivitas listrik otak dan hasil


pencatatannya disebut elektroensefalogram. Secara sederhana dapat dikatakan
bahwa setiap kelainan yang menggangu fungsi otak dapat memberi kelainan
pada EEG. Namun tidak selalu gangguan fungsi otak dapat tercermin dalam
EEG. Rekaman EEG dapat normal pada yang nyata-nyata menderita kelainan
dan demikian pula sebaliknya. Tak ada kelainan yang patognomonis untuk suatu
penyakit. Diagnosis epilepsi harus ditegakkan berdasarkan gambaran klinik.
EGG dapat membantu menegakkan diagnosis, menentukan jenis epilepsi dan
lokalisasi lesi.

81
Pada anak umumnya didapatkan gelombang yang lebih lambat dan tidak teratur.

Pola gelombang patologik terdiri dari lima jenis yakni

– CT-scan

– MRI

82
KLASIFIKASI
Klasifikasi epileptic seizure berdasarkan ILAE 1981 merupakan suatu
versi klasifikasi yang pernah diusulkan oleh Gustaut 1970, yang berdasarkan
pada manifestasi klinis dan EEG (iktal dan interiktal)
Disini seizure secara primer dibagi dalam beberapa tipe:
1. Parsial (fokal atau local) epilepsi dengan banyak variasi dalam
ekspresi klinis maupun severitasnya disini penderita sadar atau delirium
a. Epilepsi parsial sederhana (tanpa kehilangan kesadaran)
 With motoric manifestations
 With sensoric manifestations
 With autonomic manifestation
 With psychic manifestations
b. Epilepsi parsial kompleks (dengan hilangnha kesadaran)
 With simple partial seizures at onset followed by absence
 With absence at onset
c. Epilepsi umum sekunder
Epilepsi parsial sederhana atau kompleks yang berkembang
menjadi epilepsi umum.
2. General seizure (tonik, klonik atau tonik-klonik, myoklonik dan
tipikal atau atipikal absans), disini kesadaran menurun (seperti koma)
a. Absence seizures (petit mal)
b. Myoclonic seizures
c. Clonic seizures
d. Tonic seizures
e. Tonic-clonic seizures (grand mal)
f. Atonic seizures (astatic seizures)
3. Unclassified epileptic seizure
Prolonged atau repetitive seizure (status epileptikus) merupakan
kegawatan neurology

I.

83
Generelized Tonic Clonic 23% Simple Partial 14%
Other Generelized 8% Partial Unknown 7 %
Absence 6% Myoclonic 3%
Unclassified 3 % Complex Partial 36%

I. PARTIAL (FOKAL) SEIZURE

Partial seizures pada umumnya mengindikasikan adanya aktifasi


dari system neuron yang terbatas di bagian salah satu hemisphere serebri
sehingga terjadi kelainan klinis dan kelainan gambaran rekam otak.
Partial seizure ini secara primer masih diklasifikasikan
berdasarkan ada atau tidak adanya penurunan kesadaran selama serangan
dan ada atau tidak adanya progresifitas terjadinya konvulsi umum
A. Epilepsi parsial sederhana (simple)
Manifestasinya bervariasi tergantung dari susunan saraf pusat yang
terkena, bisa dengan gejala motorik, sensorik, autonom, maupun
psikis
Epilepsy partial sederhana dengan gejala motorik
Focus epileptic biasanya terdapat pada girus presentralis lobus
frontalis (pusat motorik). Kejang dimulai pada daerah yang
mempunyai representasi yang luas di daerah ini. Dimulai di ibu jari,
meluas ke seluruh tangan, lengan, muka,dan tungkai. Kadang-kadang
berhenti pada satu sisi. Tetapi bila raangsangan sangat kuat, dapat
meluas ke lengan/ tungkai yang lain, sehingga menjadi kejang
umum. Disebut sebagai Jackson motoric epilepsy

84
Gambar 1. Kejang Parsial

Gambar 4.1. Kejang Parsial

Epilepsy partial sederhana dengan gejala sensorik


Focus epileptic terdapat di girus presentralis lobus parietalis.
Penderita merasa kesemutan di daerah ibu jari, lengan, muka,
tungkai, tanpa kejang motoris, yang dapat meluas ke sisi yang lain.
Disebut sebagai Jackson sensoric epilepsi.

B. Epilepsi partial kompleks


Termasuk dalam kelompok ini adalah epilepsy parsial yang disertai
dengan gangguan kesadaran. Tanda-tanda yang menonjol terutama
adalah gejala psikis dan automatisme. Disebut juga sebagai epilepsy
psikomotor.
MAHARM menunjukkan suatu klasifikasi gejala-gejala yang
didapati pada epilepsi lobus temporalis atau sering disebut epilepsi ps
ikomotor yang memperlihatkan bermacam-macam gejala, yaitu
gejala sensorik, gejala otonom, gejala motorik dan gejala mental.
Gejala-gejala sensorik berupa :
 Serangan somato-sensorik, umpamanya : perasaan setempat
seperti rasa tebal, berdenyut, kesemutan, perasaan panas atau
dingin, perasaan nyeri dan sebagainya.
 Serangan visuil, umpamanya : photopsia, terlihat sebagai kunang-
kunang atau kembang api, umumnya bergerak-gerak dalam
sebagian atau seluruh lapangan penglihatan.
 Serangan auditif, misalnya seolah-olah merasa terdengar suara
berdengung atau gemuruh dalam telinga.
 Serangan olfaktorik, yang disertai suatu serangan gustatorik dan
biasanya bersifat sebagai sesuatu yang kurang enak.
 Selain serangan-serangan diatas, ada kalanya terdapat suatu
serangan vertigo.

85
Gejala-gejala serangan otonom berupa :
 Serangan-serangan viscerosensorik, berupa perasaan kurang enak
diepigastrium, nausea, rasa ingin buang air, rasa kurang enak atau
sakit pada daerah precordial, sesak napas dan sebagainya.
 Serangan visceromotorik, berupa borborygmus,
perubahanperubahan vasomotorik, denyut jantung menjadi cepat,
pelebaran atau penyempitan pupil dan lain sebagainya.

Gejala-gejala motorik dapat dibedakan dengan serangan motorik


elementer dan gejala motorik yang bersifat otomatisme.

 Gejala serangan motorik elementer adalah gerakan tonik,


misalnya gerakan kepala atau bola mata yang bergerak kesatu
jurusan disertai ekstensi anggota badan kejurusan lain. Gejala ini
umumnya kurang dapat dilihat dengan jelas.
 Gejala serangan motorik yang bersifat otomatisme terdiri dari
gerakan-gerakan sederhana, misalnya mengusap-usap muka,
membuka pakaian atau gerakan-gerakan seolah-olah mencari
sesuatu di dalam sakunya dan lain sebagainya.
 Gangguan motorik khusus dapat terjadi pada gangguan berbicara,
penderita tiba-tiba tidak dapat berbicara.

Gejala-gejala mental : Pada epilepsi psikomotor dijumpai


kesadaran yang berubah yang disebut twilight state. STRAUSS
menyebutkan adanya dua macam twilight state yaitu postictal
twilight state dan ictal twilight state. Postictal twilight state
didapatkan setelah suatu serangan grand mal dan disebut sebagai
keadaan kebingungan yang berlangsung selama beberapa menit
kadang-kadang sampai beberapa hari. Hal yang terakhir ini biasanya
setelah suatu status epilepticus atau bila terjadi serangan berturut-
turut dalam suatu jangka pendek. Ictal twilight state ini biasanya
berhubungan dengan epilepsi psikomotor.
Pada serangan ini penderita tiba-tiba terganggu
kesadarannya tanpa didahului oleh suatu serangan umum. Penderita
dapat memperlihatkan tingkah laku yang kacau, pembicaraan
menjadi kacau, tampak ketakutan yang hebat, ada halusinasi,

86
terutama halusinasi visiul dan tingkah laku yang agresif, biasa - nya
bersifat brutal. Penderita dapat menimbulkan suatu kecelakaan,
melakukan suatu perbuatan tindak pidana seperti pelanggaran
seksuil, pencurian atau bahkan suatu pembunuhan. Setelah serangan
berakhir penderita lupa apa yang telah dilakukannya (amnesia)
Pada penderita ini juga didapatkan kelainan pikiran, yang
disebut dengan déjà vu, yaitu penderita baru pertam kali melihat
sesuatu, tetapi merasa sudah berulangkali melihatnya atau jamais vu
penderita sudah sering melihat, tetapi mengatakan baru pertama kali
melihatnya. Misalnya penderita sudah lama menempati rumahnya,
tetapi berkata baru menempati rumah tersebut.
Bila epilepsy ini sudah lama timbul, maka dapat timbul
afasia sensorik dan hemianopsia oleh karena kelainan di lobus
temporalis.
Pada rekam EEG, akan terdapat spikes kadang-kadang slow-wave di
daerah temporal.

II. GENERAL SEIZURE

Kelainan klinis ini mengindikasikan adanya keterlibatan kedua


hemisphere otak. Kesadaran penderita turun (semacam koma) dan
penuruna kesadaran ini bisa merupakan manifestasi awal, selanjutnya
terjadi manifestasi motorik yang bilateral.
Gambaran EEG iktal adalah bilateral dan agaknya menggambarkan
adanya neuronal discharge yang menyeba ke kedua hemisphere otak.
Seizure general ini bisa convulsive (kejang) atau non convulsive (tidak
kejang), dan bervariasi dari bentuk ringan sampai berat

87
GAMBARAN KLINIS EPILEPSI GENERAL

A. EPILEPSI GRANDMAL (TONIC-KLONIC SEIZURES)


Merupakan bentuk yang paling sering dijumpai Sebagian penderita
beberapa hari sebelum serangan grandmal merasa tegang, cepat
tersinggung, perubahan emosi, dll, sebagai gejala prodromal. Aura
tidak terdapat pada grandma, dan bila ada aura berarti bukan
grandmal murni, tetapi ada suatu focus. Jika adanya aura
menunjukkan suatu tanda fokal. Aura ini dapat berupa perasaan
mual, rasa kramp, mencium bau sesuatu atau melihat sesuatu
bayangan. Sesudah aura, penderita jatuh pingsan, seluruh tubuh
berada dalam keadaan kaku otot-otot tubuh berada dalam keadaan
kontraksi tonik, kemudian dalam kontraksi klonik.

Kontrol terhadap sphincter urethrae dan sphincter ani


menghilang sehingga penderita sering terkencing dan terberak.
Sewaktu pingsan dan kejang-kejang, lidah penderita sering tergigit.
Pupil mata tidak memberi respons terhadap rangsangan cahaya.
Sesudah kejang penderita kemudian berada dalam keadaan tidur.
EEG memperlihatkan gelombang lambat yang bertambah banyak dan
gelombang cepat yang berkurang.

Serangan dimulai dengan fase tonik selama ± 30 menit, dilanjutkan


fase klonik selama ± 60 detik, kemudian terjadi fase post iktal selama
15-30 menit.

Fase tonik
Semua lengan dan tungkai ekstensi, penderita tampak mengejan
sehingga wajahnya merah. Kemudian penderita menahan nafas
(apnea) selama ± 30 derik, pada akhir fase ini terjadi sianosis,
tekanan darah meningkat, pupil melebar, reflex cahaya negative,
reflex patologis positif. Kadang-kadang ngompol karena kontraksi

88
tonik involunter. Inkontinensia ini bisa sebagai diagnosis banding
organic atau histerik

Fase klonik
Terjadi kejang ritmik, penderita bernafas kembali, kadang-kadang
lidah tergigit, sehingga ludah bercampur darah (buih kemerahan).
Pada fase ini wajah menjadi normal kembali, tekanan darah menurun,
tanda gejala vital normal

Gambar 4.2. Kejang Tonik - Klonik

Fase post-iktal
Setelah kejang penderita tertidur. Waktu penderita bangun mula-
mula mengalami disorientasi, tetapi beberapa menit setelah fase ini
penderita menjadi normal kembali, dan dapat berjalan seperti biasa.
Serangan grandma kadang-kadang terjadi berturut-turut sehingga
penderita tiak sadar untuk waktu yang lama. Bila antara kedua kejang
penderita tidak sadar disebut status epileptikus. Bila penderita sering
kejang dan diantara kedua kejang pasien sadar, disebut serial
epileptikus.

89
B. EPILEPSI PETIT MAL

Petit mal triad menurut LENNOX adalah merupakan gambaran


klinik yang karakteristik untuk epilepsi petit mal yaitu : myoclonic
jerks, akinetic seizures and a brief loss of consciousness yang
diperlihatkan oleh penderita dengan mata menatap dan tidak bisa
bicara untuk beberapa detik lamanya (pembicaraan terhenti dengan
tiba-tiba).
Pada epilepsy jenis ini tidak terdapat kejang. Epilepsy ini ditandai
oleh terjadinya gangguan kesadaran dalam waktu singkat (6-10
detik), sehingga penderita tidak sampai jatuh. Penderita berhenti dari
aktifitas yang dilakukan, seakan-akan melamun, kemudian
melakukan aktifitas kembali. Serangan kadang-kadang dapat 10-20
kali dalam sehari. Karena singkat, biasanya tidak diketahui orang
sekitarnya.
EEG menunjukkan gambaran yang sangat khas, EEG memperlihat
kan three spike and wave/seconds (khas untuk epilepsi
petitmal).yaitu dalam 1 detik terdapat 3 kompleks gelombang tumpul
dan runcing, baik klinis maupun EEG dapat diprovokasi dengan
hiperventilasi

Gambar 3. Pola elektroencephalogram pada Petit Mal Kompleks

three spike and wave/seconds

90
Epilepsy petit mal banyak terdapat pada anak-anak awal usia
sekolah. Penderita sering terlihat seperti melamun ketika serangan
mengakibatkan prestasi sekolahnya menjadi menurun.

C. EPILEPSI MIOKLONIK
Banyak terdapat pada anak-anak. Saat serangan terjadi gangguan
kesadaran sebentar, sisertai gerakan involunter yang aneh dari
sekelompok otot, terutama pada tubuh bagian atas (bahu dan lengan)
yang disebut myoclonic jerking.

D. EPILEPSI ATONIK
Pada epilepsy atonik, secara mendadak penderita kehilangan tonus
otot. Hal ini dapat mengenai beberapa bagian tubuh ataupun pada
otot seluruh badan, misalnya tiba-tiba kepalanya terkulai karena
kehilangan tonus otot leher, atau secara tiba-tiba kepalanya terkulai
karena kehilangan tonus otot leher, atau secara tiba-tiba penderita
terjatuh karena kehilangan tonus otot tubuh. Serangan ini
berlangsung singkat disebut drop attack.

TERAPI
PRINSIP TERAPI
- Monoterapi lebih baik : mengurangi potensi adverse effect,
meningkatkan kepatuhan pasien, tidak terbukti bahwa politerapi lebih
baik dari monoterapi
– Hindari atau minimalkan penggunaan antiepilepsi sedatif : toleransi, efek
pada intelegensia, memori, kemampuan motorik bisa menetap selama
pengobatan
– Jika Mungkin, mulai terapi dengan satu antiepilepsi non-sedatif, jika
gagal baru diberi sedatif atau politerapi
– Berikan terapi sesuai dengan jenis epilepsinya.
– Mulai dengan dosis terkecil dan dapat ditingkatkan sesuai dengan
kondisi klinis pasien
– Ada variasi individual terhadap respon obat antiepilepsi : perlu
pemantauan ketat dan penyesuaian dosis

91
– Jika suatu obat gagal mencapai terapi yang diharapkan, pelan-pelan
dihentikan dan diganti dengan obat lain (jangan politerapi)
– Lakukan monitoring kadar obat dalam darah, jika mungkin, lakukan
penyesuaian dosis dengan melihat juga kondisi klinis pasien

TATALAKSANA TERAPI
Non farmakologi:
– Amati faktor pemicu
– Menghindari faktor pemicu (jika ada), misalnya : stress, OR, konsumsi
kopi atau alkohol, perubahan jadwal tidur, terlambat makan, dll.

Farmakologis.

Penderita epilepsi membutuhkan pengobatan yang cermat dalam jangka


waktu yang panjang. Kerja sama dengan orang tua penderita/keluarga sangat
mempengaruhi pengobatan. Pengobatan yang diberikan terdiri dari
pemberian anticonvulsant, nasehat untuk penderita dan orang tua/keluarga
penderita.
Obat Dosis Dosis Jumlah Waktu Waktu
awal rumatan dosis / paruh tercapainya
(mg/hr) (mg/hr) hari plasma steady state
(jam) (hari)

Carbamazepin 400-600 400-1600 2-3x 15-35 2-7

(untuk
yang CR
2x)

Phenytoin 200 -300 200-400 1-2x 10-80 3-15

Valproic acid 500-1000 500-2500 2-3x 12-18 2-4

(untuk
yang CR
1-2x)

92
Phenobarbital 50-100 50-200 1 50-170

Clonazepam 1 4 1 atau 2 20-60 2-10

Clobazam 10 10-30 2-3x 10-30 2-6

(untuk
yang CR
2x)

Oxcarzepine 600-900 600-3000 2-3x 8-15

Levetiracetam 1000- 1000-3000 2x 6-8 2


2000

Topiramate 100 100-400 2x 20-30 2-5

Gabapentine 900-1800 900-3600 2-3x 5-7 2

Lamotrgine 50-100 20-200 1-2x 15-35 2-6

CR : Controlled Release

Tabel 4.1. Jenis Obat Epilepsi dan dosisnya untuk orang dewasa

Obat Efek Samping

Terkait dosis Idiosinkrasi

Carbamazepin Dipplopia, dizziness, Ruam morbiliform,


nyeri kepala, mual, agranulositosis, anemia
mengantuk, netropenia, aplastik, efek
hiponatremia. hepatotoksik, sindrom
steven-jhonson, efek
teratogenik

Phenytoin Nistagmus, ataxia, mual, Jerawat, coarse facies,


muntah, hipertrofi gusi, hirsutisme, lupus like
depresi, mengantuk, syndrom, ruam, sindrom
anemia megaloblastik. steven-jhonson, efek
hepatotoksik, efek
teratogenik.

93
Valproic acid Tremor, berat badan Pankreatitis akut, efek
bertambah, dispepsia, hepatotoksik,
mual,muntah, kebotakan, trombositopenia,
teratogenik. ensefalopati, udem
perifer

Phenobarbital Kelelahan, restlegless, Ruam makulopapular,


depresi, insomnia (pada eksfoliasi nekrosis,
anak), distractability, epidermal toksik, efek
(pada anak), hiperkinesia hepatotoksik, arthritic
(pada anak), irritability changes, efek
(pada anak). teratogenik.

Clonazepam Kelelahan, sedasi, Ruam, Trombositopeni.


mengantuk, dizziness,
agresi (pada anak),
hiperkinesia (pada anak)

Tabel 4.2. Efek samping Obat Anti Epilepsi Klasik

94
Obat Efek Samping Utama Efek Samping yang
lebih serius tapi jarang

Levetiravetam Somnolen, asthenia,


sering muncul ataxia,
penurunan ringan jumlah
sel darah merah, kadar
hemoglobin dan
hematokrit

Gabapentin Somnolen, kelelahan,


ataxia, dizziness,
gangguan saluran cerna

Lamotrigine Ruam, dizziness, tremor, Sindrom steven-jhonson


ataksia, diplopia, nyeri
kepala, gangguan saluran
cerna

Clobazam Sedasi, dizziness,


irritability, depresi,
dyinhibitation

Oxcarbazepine Dizziness,
diplopia,ataxia, nyeri
kepala, lkelemahan,
ruam, hiponatremia

Topiramate Gangguan kognitif,


tremor, dizziness, ataxia,
nyeri kepala, kelelahan,
gangguan saluran cerna,
batu ginjal

Tabel 4 3. Efek samping Obat Anti Epilepsi Baru

95
Jenis OAE Lini OAE Lini OAE lain yang OAE yang
Bangkitan Pertama Kedua dapat sebaiknya
dipertimbngkan dihindari

Bangkitan Sodium valproat Clobazam Clonazepam


Umum
Lamotrigine Levetiravetam Phenobarbital

Topiramate Oxcarbazepine Phenytoin

Carbamazepin Acetazolamide

Bangkitan Sodium valproat Clobazam Carbamazepin


Lena
Lamotrigine Topiramate Gabapentin

Oxcarbazepine

Bangkitan Sodium valproat Clobazam Carbamazepin


Mioklonik
Lamotrigine Topiramate Gabapentin

Levetiravetam Oxcarbazepine

Lamotrigine

Piracetam

Bangkitan Sodium valproat Clobazam Phenobarbital Carbamazepin


Tonik
Lamotrigine Levetiravetam Phenytoin Oxcarbazepine

Topiramate

Bangkitan Sodium valproat Clobazam Phenobarbital Carbamazepin


Atonik
Lamotrigine Levetiravetam Acetazolamide Oxcarbazepine

Topiramate Phenobarbital

Bangkitan Carbamazepin Clobazam Clonazepam


Fokal
dengan/tanpa Oxcarbazepine Gabapentin Phenobarbital
umum Sodium valproat Levetiravetam Acetazolamide
sekunder
Topiramate Phenytoin

96
Lamotrigine Tiagabine

Tabel 4. Pemilihan OAE berdasarkan jenis bangkitan


(Pedoman Tata Laksana Epilepsi 2007)

Dan perlu pula ditambahkan bahwa pada pengobatan epilepsi


penting juga diberikan psikoterapi. Psikoterapi disini dimaksudkan untuk
mengurangi rasa cemas pada penderita tentang akan datangnya suatu serangan
dan juga untuk menghilangkan rasa inferioritasnya agar penderita dapat hidup
lebih tentram karena setiap gangguan emosi dapat mendatangkan suatu
serangan.

Para penderita harus diberi nasehat agar mereka dapat hidup senormal-
normalnya. Jangan terlalu lelah. Istirahat dan tidur harus cukup. Jangan minum
minuman keras. Rokok dan kopi diperbolehkan asal tidak terlampau banyak.
Makanan sebaiknya sederhana dengan banyak sayuran dan buah-buahan. Jangan
terlalu banyak minum air dan diusahakan agar buang air besar teratur. Para
anggota keluarga penderita harus dianjurkan agar sikap mereka terhadap
penderita sama seperti terhadap seorang yang tidak menderita sakit. Perasaan
takut tentang keadaan penderita dan sikap melindungi yang berlebih-lebihan
adalah tidak baik Tiap usaha harus dijalankan agar para penderita dapat
menuntut pelajaran diberbagai sekolah atau bekerja diberbagai lapangan kerja
asal tidak terlalu membahayakan penderita atau orang lain.
Keluarga penderita harus diberi penjelasan bahwa sewaktu dalam keadaan
serangan, tidak ada gunanya untuk menggosokkan obat apapun juga dan jangan
ditahan atau difixer kejang nya untuk mencegah terjadinya patah tulang.
Para penderita dan keluarganya harus diberi penjelasan agar pengobatan
jangan dihentikan dengan tiba-tiba dan jangan dihentikan sebelum penderita
bebas dari serangan selama paling sedikit dua tahun dan gambaran EEG menjadi
normal.

97
ALGORITMA TATALAKSANA EPILEPSI

PROGNOSIS
Prognosis umumnya baik, 70 – 80% pasien yang mengalami epilepsy akan
sembuh, dan kurang lebih separo pasien akan bisa lepas obat. 20 - 30% mungkin
akan berkembang menjadi epilepsi kronis sehingga pengobatan akan semakin
sulit, 5 % di antaranya akan tergantung pada orang lain dalam kehidupan sehari-

98
hari. Pasien dengan lebih dari satu jenis epilepsi, mengalami retardasi mental,
dan gangguan psikiatri dan neurologik sehingga prognosisnya jelek.

STATUS EPILEPTIKUS

Pada konvensi Epilepsy Foundation of America (EFA), status epileptikus


didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian
kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang
yang berlangsung lebih dari 30 menit.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang
persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih
harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus.

EPIDEMIOLOGI
Status epileptikus merupakan suatu masalah yang umum terjadi
dengan angka kejadian kira-kira 60.000 – 160.000 kasus dari status epileptikus
tonik-klonik umum yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya. Pada
sepertiga kasus, status epileptikus merupakan gejala yang timbul pada pasien
yang mengalami epilepsi berulang.
Sepertiga kasus terjadi pada pasien yang didiagnosa epilepsi,
biasanya karena ketidakteraturan dalam memakan obat antikonvulsan.
Mortalitas yang berhubungan dengan aktivitas kejang sekitar 1-2 persen, tetapi
mortalitas yang berhubungan dengan penyakit yang menyebabkan status
epileptikus kira-kira 10 persen. Pada kejadian tahunan menunjukkan suatu
distribusi bimodal dengan puncak pada neonatus, anak-anak dan usia tua.
Dari data epidemiologi menunjukkan bahwa etiologi dari Status
Epileptikus dapat dikategorikan pada proses akut dan kronik. Pada usia tua
Status Epileptikus kebanyakan sekunder karena adanya penyakit
serebrovaskuler, disfungsi jantung, dementia. Pada Negara miskin, epilepsy
merupakan kejadian yang tak tertangani dan merupakan angka kejadian yang
paling tinggi.

99
ETIOLOGI

Status epileptikus terutama disebabkan oleh karena :


1. Penderita epilepsy yang mendadak berhenti minum obat anti epilepsy
2. Meningitis
3. Tumor otak
4. Ensefalopati hipertensi
5. Abses otak
6. Hipoglikemi
7. Perdarahan otak
8. Sindrom reye

PATOFISIOLOGI
Secara klinis dan berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi menjadi
lima fase. Fase pertama terjadi mekanisme kompensasi, seperti peningkatan
aliran darah otak dan cardiac output, peningkatan oksigenase jaringan otak,
peningkatan tekanan darah, peningkatan laktat serum, peningkatan glukosa
serum dan penurunan pH yang diakibatkan asidosis laktat.
Perubahan syaraf reversibel pada tahap ini. Setelah 30 menit, ada
perubahan ke fase kedua, kemampuan tubuh beradaptasi berkurang dimana
tekanan darah, pH dan glukosa serum kembali normal. Kerusakan syaraf
irreversibel pada tahap ini. Pada fase ketiga aktivitas kejang berlanjut mengarah
pada terjadinya hipertermia (suhu meningkat), perburukan pernafasan dan
peningkatan kerusakan syaraf yang irreversibel.
Aktivitas kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus selama tahap
keempat, ketika peningkatan pernafasan yang buruk memerlukan mekanisme
ventilasi. Keadaan ini diikuti oleh penghentian dari seluruh klinis aktivitas
kejang pada tahap kelima, tetapi kehilangan syaraf dan kehilangan otak
berlanjut.
Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus,
tetapi maksimal pada lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam
dari korteks serebri, serebellum, hipokampus, nukleus thalamikus dan
amigdala). Hipokampus mungkin paling sensitif akibat efek dari status
epileptikus, dengan kehilangan syaraf maksimal dalam zona Summer.
Mekanisme yang tetap dari kerusakan atau kehilangan syaraf begitu
kompleks dan melibatkan penurunan inhibisi aktivitas syaraf melalui reseptor

100
GABA dan meningkatkan pelepasan dari glutamat dan merangsang reseptor
glutamat dengan masuknya ion Natrium dan Kalsium dan kerusakan sel yang
diperantarai kalsium.

GAMBARAN KLINIK

Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk


mencegah keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized
Tonic-Clonic) merupakan bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai,
hasil dari survei ditemukan kira-kira 44 sampai 74 persen, tetapi bentuk yang
lain dapat juga terjadi.

A. STATUS EPILEPTIKUS TONIK-KLONIK UMUM (Generalized


tonic-clonic Status Epileptik
Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering
dihadapi dan potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului
dengan tonik-klonik umum atau kejang parsial yang cepat berubah menjadi
tonik klonik umum. Pada status tonik-klonik umum, serangan berawal dengan
serial kejang tonik-klonik umum tanpa pemulihan kesadaran diantara serangan
dan peningkatan frekuensi.
Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang
melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus.
Pasien menjadi sianosis selama fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2.
Adanya takikardi dan peningkatan tekanan darah, hyperpireksia mungkin
berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum terjadi yang
mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik.
Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak
tertangani.

B. STATUS EPILEPTIKUS KLONIK-TONIK-KLONIK (Clonic-Tonic-


Clonic Status Epileptikus)

101
Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum
mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua

STATUS EPILEPTIKUS TONIK (Tonic Status Epileptikus)

Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan
kesadaran tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjai pada ensefalopati kronik
dan merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut Syndrome.

A. STATUS EPILEPTIKUS MIOKLONIK


Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati.
Sentakan mioklonus adalah menyeluruh tetapi sering asimetris dan
semakin memburuknya tingkat kesadaran. Tipe dari status epileptikus
tidak biasanya pada enselofati anoksia berat dengan prognosa yang
buruk, tetapi dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik, infeksi
atau kondisi degeneratif.

B. STATUS EPILEPTIKUS ABSENS


Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada
usia pubertas atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran
dan status presen sebagai suatu keadaan mimpi (dreamy state) dengan
respon yang lambat seperti menyerupai “slow motion movie” dan
mungkin bertahan dalam waktu periode yang lama. Mungkin ada riwayat
kejang umum primer atau kejang absens pada masa anak-anak. Pada eeg
terlihat aktivitas puncak 3 hz monotonus (monotonous 3 hz spike) pada
semua tempat. Respon terhadap status epileptikus benzodiazepin
intravena didapati.

C. STATUS EPILEPTIKUS NON KONVULSIF


Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens
atau parsial kompleks, karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan

102
status epileptikus non-konvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya
koma.
Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia,
delusional, cepat marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive
behavior), retardasi psikomotor dan pada beberapa kasus dijumpai
psikosis. Pada EEG menunjukkan generalized spike wave discharges,
tidak seperti 3 Hz spike wave discharges dari status absens.

D. STATUS EPILEPTIKUS PARSIAL SEDERHANA


a. Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan
jari-jari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu
sisi dan berkembang menjadi jacksonian march pada satu sisi dari tubuh.
Kejang mungkin menetap secara unilateral dan kesadaran tidak
terganggu. Pada eeg sering tetapi tidak selalu menunjukkan periodic
lateralized epileptiform discharges pada hemisfer yang berlawanan
(pled), dimana sering berhubungan dengan proses destruktif yang pokok
dalam otak. Variasi dari status somatomotorik ditandai dengan adanya
afasia yang intermitten atau gangguan berbahasa (status afasik).

b. Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala
sensorik unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian
march.

E. STATUS EPILEPTIKUS PARSIAL KOMPLEKS


Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari
frekuensi yang cukup untuk mencegah pemulihan diantara episode. Dapat
terjadi otomatisme, gangguan berbicara, dan keadaan kebingungan yang
berkepanjangan. Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada lobus temporalis
atau frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh.

103
Kondisi ini dapat dibedakan dari status absens dengan EEG, tetapi mungkin
sulit memisahkan status epileptikus parsial kompleks dan status epileptikus
non-konvulsif pada beberapa kasus.

PENATALAKSANAAN
Status epileptikus merupakan salah satu kondisi neurologis yang
membutuhkan anamnesa yang akurat, pemeriksaan fisik, prosedur
diagnostik, dan penanganan segera mungkin dan harus dirawat pada ruang
intensif (ICU).
Protokol penatalaksanaan status epileptikus pada makalah ini diambil
berdasarkan konsensus Epilepsy Foundation of America (EFA). Lini
pertama dalam penanganan status epileptikus menggunakan Benzodiazepin.
Benzodiazepin yang paling sering digunakan adalah Diazepam (Valium),
Lorazepam (Ativan), dan Midazolam (Versed). Ketiga obat ini bekerja
dengan peningkatan inhibisi dari g-aminobutyric acid (GABA) oleh ikatan
pada Benzodiazepin-GABA dan kompleks Reseptor-Barbiturat

104
Penanganan Status epileptikus konvulsivus

Stadium Penatalaksanaan

Stadium I (0 – 10 menit)  Memperbaiki fungsi kardio respirasi


 Memperbaiki jalan nafas,pemberian
oksigen, resusitasi
Stadium II (10 – 60 menit)  Pemeriksaan status neurologik
 Pengukuran vital sign
 EKG
 Memasang infus pada pembuluh darah
besar
 Mengambil 50 – 100 cc darah untuk
pemeriksaan lab
 Pemberian OAE emergency : Diazepam 10
– 20 mg iv (kecepatan pemberian > 2 – 5
mg/menit atau rectal dapat diulang 15 menit
kemudian)
 Memasukkan 50 cc glukosa 50% dengan
atau tanpa thiamin 250mg intravena
 Menangani asidosis
Stadium III  Menentukan etiologi
 Bila kejang berlangsung terus selama 30
menit setelah pemberian diazepam pertama,
beri phenytoin iv 15 – 18 mh/kg dengan
kecepatan 50 mg/menit
 Memulai terapi dengan vasopressor
 Mengoreksi komplikasi
Stadium IV (30 – 90 menit)  Bila kejang tetap tidak teratasi selama 30 –
60 menit, transfer pasien ke ICU, beri
propofol (2 mg/kgBB bolus iv, diulang bila
perlu) atau thiopentone (100 – 250 mg
bolus iv pemberian dalam 20 menit,
dilanjutkan dengan bolus 50 mg setiap 2 -3
menit), dilanjutkan sampai 12 – 24 jam
setelah bangkitan klinis atau bangkitan EEG
terakhir, llu dilkukan tapering off.
 Memantau bangkitan dan EEG, tekanan
intracranial, memulai pemberian OAE dosis
rumatan

105
DAFTAR PUSTAKA

1. Kari, Komang. Nara, P. 1984. Epilepsi Pada Anak. Cermin dunia


Kedokteran No. 32. 1984. Jakarta

2. Sitorus, LBM. 1992. Kegawat Daruratan Neurologis Status


Epileptikus. Cermin dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 80. 1992.
Jakarta

3. Mardjono, Mahar. 1979. Beberapa Faktor Yang Mendasari Serangan


Epilepsi. Cermin dunia Kedokteran No. 16. 1979. Jakarta

4. Tanumihardja, A. 1979. Pengelolaan Penderita Epilepsi. Cermin dunia


Kedokteran No. 16. 1979. Jakarta

5. John gilroy. 2000. Basic Neurology. McGraw Hill companies. United


States.

6. Status Epileptikus dalam http://co-ass.blogspot.com di update tanggal 14


feb 2009

106
BAB V

PARKINSON

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM


Mahasiswa kepaniteraan klinik mampu menyimpulkan dan merencanakan
penatalaksanaan penyakit Parkinson dengan benar.

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS


Mahasiswa mampu menjelaskan macam-macam penyakit Stroke, membuat
diagnosa dan memberi terapi pendahuluan penyakit Parkinson

DEFINISI
Penyakit Parkinson merupakan 80% dari kasus-kasus parkinsonism. Terdapat
dua istilah yang harus dibedakan yaitu Parkinsonism dan Penyakit Parkinson.
Parkinsonism adalah suatu sindroma yang ditandai oleh tremor waktu istirahat,
rigiditas, bradikinesia, dan hilangnya refleks postural akibat penurunan kadar
dopamine dengan berbagai macam sebab. Disebut juga Sindroma Parkinson.
Penyakit Parkinson adalah bagian dari parkinsonism yang secara patologis
ditandai oleh degenerasi ganglia basalis terutama substansia nigra pars
compacta disertai dengan adanya inklusi sitoplasmik eosinofilik yang disebut
Lewy bodies

EPIDEMIOLOGI
Penyakit Parkinson terjadi di seluruh dunia, diperkirakan mencapai 6,3 juta jiwa.
Jumlah penderita antara pria dan wanita seimbang. 5 – 10 % orang yang
terjangkit penyakit parkinson, gejala awalnya muncul sebelum usia 40 tahun,
tapi rata-rata menyerang penderita pada usia 65 tahun. Secara keseluruhan,
pengaruh usia pada umumnya mencapai 1 % di seluruh dunia dan 1,6 % di
Eropa, meningkat dari 0,6 % pada usia 60 – 64 tahun sampai 3,5 % pada usia 85

107
– 89 tahun. Penelitian terhadap penyakit Parkinson di Indonesia belum ada, tapi
diperkirakan 1-3 % usia diatas 65 tahun.

Penyebab PP sampai saat ini belum diketahui dengan pasti, tetapi beberapa
penelitian terhadap anak kembar monozigot menunjukkan bahwa terdapat faktor
genetik yang mendasari terjadinya PP. Faktor lain yang juga menjadi penyebab
proses degenerasi ini antara lain proses menua otak, stress oksidatif, terpapar
pestisida/herbisida atau anti jamur cukup lama, infeksi, kafein, alkohol, trauma
kepala, depresi, dan merokok

ETIOLOGI
Sejauh ini etiologi Penyakit Parkinson tidak diketahui (idiopatik), namun
ada beberapa faktor risiko (multifaktorial) yang diduga merupakan etiologi
Penyakit Parkinson, yaitu :
a. Usia
Banyak disebutkan bahwa meningkatnya usia merupakan faktor risiko utama
terjadinya penyakit parkinson dimana penyakit parkinson banyak ditemukan
pada usia lanjut dan jarang timbul pada usia dibawah 30 tahun. Ada teori yang
menyebutkan bahwa penyakit ini akibat proses penuaan yang terlalu cepat. Hal
ini dikemukakan karena Lewy Bodies yang ditemukan di substansia nigra pada
penderita penyakit Parkinson ini, juga ditemukan pada orang tua yang tidak
menderita Parkinson.
Namun kebanyakan penderita Parkinson mengalami perubahan patologis pada
daerah ventromedial dan ventrolateral dari substansia nigra pars kompakta,
sedangkan pada proses penuaan yang normal ditemukan pada daerah dorsal dan
lateral. Oleh karena itu teori ini masih diperdebatkan.
b. Ras
Penyakit Parkinson ini ditemukan di seluruh negara, pada seluruh kelompok
etnik dan semua kelompok sosioekonomi dengan distribusi sex yang seimbang.
Namun ada suatu kecenderungan bahwa penyakit Parkinson lebih banyak
ditemukan pada orang-orang kulit putih (kaukasoid) dari pada orang asia

108
(mongoloid) dan afrika (negroid) dengan insidensi pada orang asia sekitar 1/3
sampai ½ dari orang kulit putih.
c. Genetik
Ditemukan 3 gen yang menjadi penyebab gangguan degradasi protein dan
mengakibatkan protein beracun tak dapat didegradasi di ubiquitin proteasomal
pathway.
Kegagalan degradasi ini menyebabkan peningkatan apoptosis disel-sel SNc
sehingga meningkatkan kematian sel-sel neuron di SNc. Inilah yang mendasari
terjadinya PP sporadic yang bersifat familial. Pada penelitian didapatkan kadar
subunit alfa dari proteosome 20S menurun secara bermakna pada sel neuron
SNc penderita PP, dibandingkan dengan orang normal, demikian juga
didapatkan penurunan sekitar 40% 3 komponen (chymotriptic, trytic, dan
postacidic) dari proteosome 26S pada sel neuron SNc penderita PP.
Peranan faktor genetik juga ditemukan dari hasil penelitian terhadap kembar
monozigot (MZ) dan dizigot (DZ)
d. Lingkungan
Pengaruh utama lingkungan yang telah banyak diteliti sebagai penyebab
Parkinson adalah toksin 1-methyl-4-phenyl-1,2,3,6-tetrahydropyridine (MPTP).
Hal ini mulai dipikirkan ketika ditemukannya gejala Parkinsonism pada
penderita yang terintosikasi MPTP yang banyak terdapat pada logam berat dan
pestisida. Pada primata, Parkinsonism dapat diinduksi dengan memberikan
MPTP, yang oleh monoamine oksidae B menjadi 1-methyl-4-phenyl-2,3-
dihydropyridinium (MPDP+) dan melalui oksidasi spontan dirubah lagi menjadi
1-methyl-4-phenylpyridinium (MPP+), yaitu suatu toksin yang aktif di astrosit.
MPP+ diambil oleh neuron nigra dopaminergik melalui transport aktif
(transporter dopamin) yang pada keadaan normal terjadi re-uptake dopamin.

109
Gambar 5.1. Re-uptake Dopamin
Toksin lalu terkonsentrasi di mitokondria, dimana pada mitokondria ia
akan mengganggu respirasi intrasel dengan menghambat kompleks I dari
kaskade fosforilasi oksidatif. Akibat dari hambatan ini terjadi penurunan
produksi ATP, juga terjadi pembentukan radikal bebas, yang akhirnya
menyebabken stres oksidatif dan aktivasi jalur pemrograman molekuler
kematian sel. Dengan demikian, maka akan terjadi kematian neuron
nigrostriatal, deplesi dopamin di basal ganglia, dan Parkinsonism.
e. Faktor lain
Faktor lain yang diduga mempunyai peranan dalam penyakit Parkinson adalah
cedera kranioserebral dan stres emosional. Namun kedua hal ini masih belum
jelas peranannya sebagai penyebab penyakit Parkinson ini.

110
KLASIFIKASI

Dalam Konsensus Tatalaksana Penyakit Parkison, telah dibuat klasifikasi


sebagai berikut :
1. Idiopatik (Primer)
Penyebab tidak diketahui, sebagian besar merupakan penyakit Parkinson,
ada peran faktor genetik dan toksin yang berasal dari lingkungan , serta
bersifat sporadic.
 Penyakit Parkinson
 Juvenile Parkinsonism
2. Simtomatik (Sekunder)
 Infeksi dan pasca-infeksi
 Pasca-ensefalitis (ensefalitis letargika), slow virus.
 Toksin : - 1-methyl-4-phenyl-1,2,3,6-tetrahydropyridine (MPTP)
- CO, Mn, Mg, CS2, metanol, etanol, sianid.
 Obat : neuroleptik (antipsokotik), antiemetik, reserpin,
tetrabenazine, alfa- metil-dopa, lithium, flunarisin, sinarisin.
 Vaskuler : multiinfark serebral
 Trauma kranioserebral (pugilistic encephalopathy)
 Lain-lain : Hipoparatiroid, hipotiroid, degenerasi hepatoserebral,
tumor otak, siringomiela
3. Parkinsonism Plus (multiple system degeneration)
 Progresif supranuklear palsi
 Atrofi multi sistem : Degenerasi strianigrostriatal, sindroma Shy-
Grager, degenerasi olivo-pontoserebellaris, sindroma
Parkinsonism, amiotrofi.
 Degenerasi ganglionik kortikobasal
 Sindroma Demensia : Kompleks Parkinsonism-Dementia-
ALS(Guam), Penyakit Lewy Bodies difus, penyakit Jacob
Cruetzfelt, penyakit Alzheimer
 Hidrosefalus bertekanan rendah

111
 Kelainan herediter
4. Penyakit heredodegeneratif
 Serois-lipofusis
 Penyakit Gerstmann-Straulser-Scheinker
 Penyakit Hallervorden-Spartz
 Penyakit Huttington
 Lubag (Filipino X-linked dystonia-Parkinson)
 Penyakit Machado-Joseph
 Nekrosis striatal dan sitopati mitokondria (mitichondrial
cystopathies with striatal necrosis)
 Neuroakantosis
 Atrofi familial olivopontoserebellar
 Sindrom talamik dementia
 Penyakit Wilson

PATOFISIOLOGI

Gambar 5.2. Anatomi Ganglia Basalis

Ganglia basalis terdiri dari striatum, globus palidus dan nucleus subthalamicus.
Disebut ganglia basalis karena hampir seluruhnya terletak di basal dari hemisfer

112
serebri. Striatum merupakan target dari input korteks menuju ke ganglia basalis.
Striatum dibentuk oleh nucleus caudatus dan putamen. Globus palidus
merupakan sumber output terhadap thalamus dan dibagi menjadi segmen interna
dan segmen eksterna.

Gambar 5.3. Basal Ganglia Pathways

Ganglia basalis menerima input dari korteks serebri di striatum,


kemudian input diteruskan ke globus pallidus dan kemudian menuju substansia
nigra. Kemudian sinyal diteruskan kenbali ke korteks serebri melalui thalamus.
Fungsi ganglia basalis mempertahankan tonus otot yang diperlukan untuk
menstabilkan posisi sendi. Adanya kerusakan pada struktur ganglia basalis
menyebabkan gerakan yang tidak terkontrol seperti tremor.
Berkurangnya dopaminergik (neurotransmitter dopamin) dari substansia
nigra ke striatum terjadi pada penyakit Parkinson.Ganglia basalis mendapat
masukan saraf aferen dari korteks serebri dan thalamus. Pintu masuk saraf
aferen ke basal ganglia adalah putamen (striatum), sedangkan pintu keluarnya
adalah globus pallidus. Saraf aferen dari ganglia basalis ini selanjutnya menuju
ke thalamus dan korteks motorik (serebri).

113
Autoregulasi dopamine
Dopamine adalah katekolamin yang disintesis dari tirosin di terminal
neuron dopaminergik. Dopamine melewati sawar darah otak melalui transport
aktif. Proses perubahan L-tyrosin menjadi L-dihydroxyphenylalanine (L-DOPA)
dikatalisis oleh enzim tyrosine hidroxylase yang ada dalam neuron
katekolaminergik. L-DOPA diubah diubah secara cepat menjadi dopamine oleh
aromatic L-amino acid decarboxylase. Di dalam ujung saraf dopamine dibawa
ke vesikel oleh protein pembawa dan dilepaskan dari ujung saraf melalui
eksositosis, suatu proses yang dirangsang oleh depolarisasi akibat masuknya
Ca2+ ke dalam sel.
Kerja dopamine di celah sinaps dapat diakhiri dengan 2 cara. Pertama
dopamin dapat diambil kembali oleh protein carrier membrane. Kedua,
dopamine dapat didegradasi oleh kerja DOPAC oleh enzim monoamine oxidase
type B (MAO-B).

Kerja dopamine di otak diperantarai reseptor protein dopamine. Ada 5 reseptor


dopamine yang berbeda. Kelima reseptor dapat dibagi menjadi dua kelompok;
yaitu kelas reseptor D1 yang menstimulasi sintesis intraseluler cAMP; dan

114
reseptor D2 yang menghambat sintesis cAMP, menghambat arus Ca2+ dan
meningkatkan arus K+. Yang termasuk kelas reseptor D1 adalah protein D1 dan
D5; sedangkan protein D2, D3, D4 termasuk kelas reseptor D2. Protein D1 dan D2
banyak ditemukan di striatum.

Patofisiologi Parkinsonisme
Masalah utama pada penyakit Parkinson adalah hilangnya neuron di
substansia nigra pars compacta yang memberikan inervasi dopaminergik ke
striatum (putamen dan nucleus caudatum). Penyakit Parkinson terjadi karena
penurunan kadar dopamine akibat kematian neuron di substansia nigra pars
compacta, suatu area otak yang berperan dalam mengontrol gerakan dan
keseimbangan, sebesar 40-50%.
Substansia nigra merupakan sumber neuron dopaminergik yang berakhir
dalam striatum. Cabang dopaminergik dari substansia nigra ini mengeluarkan
pacu secara tonik, bukan berdasarkan respon gerakan muscular spesifik ataupun
input sensorik. Sistem dopaminergik memberikan pengaruh yang bersifat tonik,
terus-menerus selama aktivitas motorik, bukan hanya dalam gerakan-gerakan
tertentu.
Striatum dan substansia nigra dihubungkan oleh neuron yang
mengeluarkan transmitter inhibitor GABA di terminalnya dalam substansia
nigra. Sebaliknya, sel-sel substansia nigra mengirim neuron ke striatum dengan
transmitter dopamine di ujung terminalnya. Pada penyakit Parkinson, destruksi
sel dalam substansia nigra menimbulkan degenerasi neuron sehingga sekresi
dopamine dalam neostriatum menurun. Berkurangnya pengaruh dopamine
dalam neostriatum menyebabkan kontrol gerakan otot pada Parkinson akan
menurun.
Basal ganglia dapat dilihat sebagai daerah modulasi yang mengatur arus
informasi dari korteks serebral ke neuron motorik di medulla spinalis.
Neostriatum adalah struktur input utama basal ganglia dan menerima input
rangsangan glutamatergik dari berbagai daerah di korteks. Mayoritas neuron
pada striatum adalah neuron proyeksi yang menginervasi bagian lain dari basal

115
ganglia. Neuron lainnya yang penting namun berada dalam jumlah kecil di
dalam striatum adalah interneuron yang saling menghubungkan neuron-neuron
di dalam striatum. Interneuron menggunakan asetilkolin sebagai neuropeptida.
Serabut saraf asetilkolin berfungsi eksitatif memacu dan mengatur gerakan-
gerakan tubuh di bawah kehendak. Arus keluar dari striatum dapat melalui 2
jalur, yaitu jalur langsung dan jalur tidak langsung.
Substansia nigra pars kompakta (SNC) dihubungkan dengan striatum
oleh dopamine sebagai neurotransmiter. Di dalam striatum terdapat dua
kelompok reseptor yaitu reseptor D1 yang akan mengaktivasi jalur langsung dan
reseptor D2 yang akan menginaktivasi jalur tidak langsung. Jalur langsung
dibentuk oleh neuron di striatum yang memproyeksikan langsung ke substansia
nigra pars retikulata (SNR) dan globus palidus minterna (GPi); dari sini akan
dilanjutkan ke ventroanterior dan ventrolateral thalamus, yang memberikan
input rangsangan positif terhadap korteks. Neurotransmitter yang digunakan di
jalur langsung adalah GABA yang bersifat eksitatori, sehingga efek akhir dari
stimulasi jalur langsung adalah peningkatan arus rangsangan dari thalamus ke
korteks.
Sedangkan jalur tidak langsung terdiri dari neuron striatal yang
memproyeksikan ke globus palidus eksterna (GPe). Struktur ini lalu
menginervasi nucleus subthalamus (STN) yang akan dilanjutkan ke SNR dan
GPi. Proyeksi dari striatum ke GPe darn GPe ke nucleus subthalamik
menggunakan transmitter GABA yang bersifat eksitatori , tetapi jalur akhir
proyeksi dari NST ke SNR dan GPi merupakan jalur rangsang negatif
glutamatergik. Dengan demikian efek akhir dari jalur tidak langsung adalah
berkurangnya arus rangsangan dari thalamus ke korteks.

116
Skema 5.1. Neurotransmitter di Otak

Neuron dopaminergik pada substansia nigra pars compacta menginervasi


seluruh bagian dari striatum; tetapi neuron target di striatum mempunyai
reseptor dopamine yang berbeda-beda. Jalur langsung terutama
mengekspresikan reseptor protein excitatory D1, sedang jalur tidak langsung
terutama mengekspresikan reseptor protein inhibitor D2. Jadi pelepasan
dopamine di striatum cenderung meningkatkan aktifitas jalur langsung dan
mengurangi aktifitas jalur tidak langsung. Pada deplesi dopamine seperti yang
terjadi pada penyakit Parkinson terjadi efek sebaliknya; yaitu inhibisi arus keluar
dari SNR dan GPi ke thalamus dan berkurangnya rangsangan terhadap korteks
motorik.

GAMBARAN KLINIS

117
Gejala-gejala kronis utama yang disebut sebagai gejala primer juga dikenal
sebagai Trias Parkinson: Tremor, rigiditas dan akinesia serta postural instability
( T-R-A-P )
1. Tremor
Biasanya merupakan gejala pertama pada penyakit Parkinson dan
bermula pada satu tangan kemudian meluas pada tungkai sisi yang sama.
Kemudian sisi yang lain juga akan turut terkena. Kepala, bibir dan lidah
sering tidak terlihat, kecuali pada stadium lanjut. Frekuensi tremor
berkisar antara 4-7 gerakan per detik dan terutama timbul pada keadaan
istirahat dan berkurang bila ekstremitas digerakan. Tremor akan
bertambah pada keadaan emosi dan hilang pada waktu tidur.
2. Rigiditas
Pada permulaan rigiditas terbatas pada satu ekstremitas atas dan hanya
terdeteksi pada gerakan pasif. Pada stadium lanjut, rigiditas menjadi
menyeluruh dan lebih berat dan memberikan tahanan jika persendian
digerakan secara pasif. Rigiditas timbul sebagai reaksi terhadap regangan
pada otot agonis dan antagonis. Salah satu gejala dini akibat rigiditas
ialah hilang gerak asosiatif lengan bila berjalan. Rigiditas disebabkan
oleh meningkatnya aktivitas motor neuron alfa.
3. Bradikinesia
Gerakan volunter menjadi lambat dan memulai suatu gerakan menjadi
sulit. Ekspresi muka atau gerakan mimik wajah berkurang (muka
topeng). Gerakan-gerakan otomatis yang terjadi tanpa disadari waktu
duduk juga menjadio sangat kurang. Bicara menjadi lambat dan monoton
dan volume berkurang (Hypofonia). Gejala-gejala lain seperti instabilitas
postural, sikap parkinsonisme yang khas, berjalan dengan langkah-
langkah kecil (festination/ march a petit pas), disartria serta mikrografia
adalah akibat satu dan lain gejala utama (trias) tersebut di atas.

118
Gejala-gejala lain :
1. Gangguan saraf otonom
Kulit muka yang berminyak, pengeluaran air liur berlebihan, hipersekresi
kelenjar dengan komposisi yang berubah, gangguan vasomotorik seperti
hipotensi, gangguan miksi dan defekasi (obstipasi)
2. gangguan sensibilitas: nyueri dan kejang otot, parestesia
3. okular: Bleparospasme
4. Gangguan mental/emosional

Ada beberapa pembagian terkait dengan gambaran klinis dari penyakit


parkinson, diantaranya menurut konsensus perdossi 2003, yaitu:
Gambaran klinis umum:
 gejala mulai pada satu sisi (hemiparkinsonism)
 tremor saat istirahat
 tidak dijumpai gejala neurologis lain
 tidak dijumpai kelainan laboratorium dan radiologi
 perkembangan lambat
 respon terhadap levodopa cepat dan dramatis
 refleks postural tidak dijumpai pada awal penyakit

Gambaran Klinis Khusus:


Gejala Mototrik pada penyakit Parkinson (TRAP):
1. Tremor:
a. Laten,
b. Saat istirahat
c. Bertahan saat istirahat
d. Tremor saat gerak
2. Rigiditas

119
3. Akinesia/Bradikinesia:
a. Kedipan mata berkurang, b.Wajah seperti topeng, c.Hipofonia
(suara kecil),d.Air liur menetes, e.Akastisia/takikinesia (gerakan
cepat tidak terkontrol), f.Mikrografia (tulisan semakin kecil),
g.Cara berjalan, langkah kecil-kecil, h.Kegelisahan motorik (sulit
duduk atau berdiri).
4. Hilangnya refleks postural.

PERJALANAN PENYAKIT
Perjalanan penyakit menurut Hoen and Yahr (Hoehn and Yahr staging of
parkinson’s diseases), untuk menentukan berat ringannya penyakit parkinson.
(konsensus perdossi 2003)

Stadium 1
Gejala dan tanda pada satu sisi, terdapat gejala yang ringan, terdapat gejala yang
mengganggu tapi tidak menimbulkan kecacatan, biasanya terdapat tremor pada
satu anggota gerak, gejala yang timbul dapat dikenali orang terdekat (teman)

Stadium 2
Terdapat gejala bilateral, terdapat kecacatan minimal, sikap/cara berjalan
terganggu.

Stadium 3
Gerak tubuh nyata melambat, keseimbangan mulai terganggu saat
berjalan/berdiri, disfungsi umum sedang.

Stadium 4
Terdapat gejala yang lebih berat, masih dapat berjalan hanya untuk jarak
teretentu, rigiditas dan bradikinesia, tidak mampu berdiri sendiri, tremor dapat
berkurang dibanding stadium sebelumnya

120
Stadium 5
Stadium kahektik, kecacatan total, tidak mampu berdiri dan berjalan,
memerlukan perawatan tetap

DIAGNOSIS
Tidak ada biomarker untuk penyakit Parkinson, sehingga diagnosa parkinson
adalah berdasarkan pada temuan klinik dan idealnya dikonfirmasikan denagan
pemeriksaan post mortem.

A. Kriteria Diagnosis menurut Hughes: (konsensus perdossi 2003)

Possible (mungkin):
Terdapat salah satu gejala utama:
1. Tremor istirahat
2. Rigiditas
3. Bradikinesia
4. Kegagalan refleks postural

Probable (kemungkinan besar) :


Bila terdapat kombinasi dua gejala utama diatas (termasuk kegagalan
refleks postural) alternatif lain : tremor istirahat asimetris, rigiditas asimetris
atau bradikinesia asimetris sudah cukup

Definite (pasti) :
Bila terdapat koombinasi tiga dari empat gejala atau dua gejala dengan
satu gejala lain yang tidak simetris (tiga tanda cardinal), atau dua dari tiga tanda
tersebut, dengan satu dari ketiga tanda pertama asimetris. Bila semua tanda-
tanda tidak jelas sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulangan beberapa bulan
kemudian

121
B. Tanda Khusus (konsensus perdossi 2003)

Meyerson’s sign:

1. Tidak dapat mencegah mata berkedip-kedip bila daerah glabela diketuk


berulang-ulang
2. Ketukan berulang (2 x/detik) pada glabela membangkitkan reaksi
berkedip-kedip (terus-menerus)
Bila gejala tidak lengkap pada pasien yang dicurigai menderita
parkinson, maka tidak ada jalan lain selain untuk memeriksa kembali
pasien tersebut setelah beberapa bulan sehingga diagnosa penyakit
parkinson dapat ditegakkan. Diagnosa klinis parknson oleh UK
Parkinsons disease society brain bank criteria (Wolters,2007).

122
1. Diagnosa Parkinsonisme 1. Bradikinesia (kelambatan mengawali gerak dan pengurangan kecepatan gerak progresif dan
amplitude aksi berulang)
2. 2. Sedikitnya satu dari hal di bawah ini:
3. - rigiditas
4. - tremor frekwensi 4-6 Hz
5. - postural instability (yang tidak disebabkan gangguan visual, vestibular, cerevbellar, dan/atau
gangguan propioseptif)
Kriteria ekslusi PD - parkinsonisme familial
- gejala menetap unilateral 3 tahun
- terdapat remisi
- tidak respon terhadap l-dopa walau dalam dosis besar
- riwayat stroke atau gejala step wise
- riwayat trauma kepala berulang
- mendapatkan teori neuroleptik
- Supranuclear gaze palsy atau oculogyric crisis
- gangguan autonom awal, tanda pyramidal atau
cerebellar
- dimensia alzaimer

123
- tumor otak, hydrocephalus communicating penggunaan MPTP
Kriteria suportif prospektif Tiga hal atau lebih yang diperlukan dalam mendiagnosa definite parkinsons:
positif - onset unilateral
- progressive
- perjalanan klinis 10 tahun atau lebih
- onset asimetri yang persisten
- respon bagus dengan l-dopa (70-100%)
- l-dopa memiliki respon dalam 5 tahun atau lebih
- l-dopa induced dyskinesia
- resting tremor

124
C. Diagnosis Banding:
1. tremor esensial
2. penyakit Bingswanger
3. Hidrosefalus bertekanan normal
4. progresif supranuklear palsy
5. degenerasi striatonigra
6. depresi hipokinetik (anergik)
7. parkinsonism akibat pengaruh obat-obatan

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang dilakukan bila ada indikasi, antara lain dengan
melakukan pemeriksaan:
- neuro imaging : CT-Scan, MRI, PET, SPECT
- Laboratorium (penyakit Parkinson sekunder): patologi anatomi,
pemeriksaan kadar bahan Cu (Wilson’s disease, prion (Bovine
spongiform encephalopathy)

Sampai saat ini belum ada pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk
mendeteksi penyakit Parkinson sejak dini. Pemeriksaan patologi anatomi
merupakan diagnosis pasti dari penyakit Parkinson di mana ditemukannya Lewy
Bodies pada substansia nigra, namun hal ini baru dapat dilaksanakan dengan
otopsi.
Pada MRI (Magnetic Resonance Imaging) berkekuatan medan magnet tinggi
bisa mendeteksi deposit Fe dan Gliosis di substantia nigra. Sekarang ini
ditemukan bahwa hanya pada penderita penyakit Parkinson ditmukan perubahan
signal yang menunjukan atrofi multisistem pada striatum.
Pada PET (Positron Emission Tomography) dengan menggunakan fluorodopa
sensitive untuk mendeteksi berkurangnya dopamine, dimana uptake fluorodopa
di korpus striatum berkurang.

125
Pada SPECT (Single photon Emission Computed Tomograpy) dapat dideeksi
system pre dan post sinaptik yang merupakan hal penting untuk membedakan
penyakit Parkinson dengan parkinsonism, di mana penyakit Parkinson adalah
ganguan pre sinaptik. SPECT dapat digunakan sebagai pemeriksaan awal untuk
mendeteksi penyakit Parkinson yang presimptomatik.

PENATALAKSANAAN
Terapi penyakit Parkinson bertujuan mengurangi gejala dan tidak dapat
menghentikan proses patologi yang sudah berlangsung.
Penatalaksanaan Penyakit Parkinson dapat dibagi atas :
1. Umum (Supportive)
a. Pendidikan (Education)
b. Penunjang (Support) :
- Penilaian kebutuhan emosionil
- Rekreasi dan kegiatan kelompok
- Konsultasi professional
- Konseling hokum/financial
- Konseling pekerjaan
c. Latihan fisik (Rehabilitasi)
Tujuan rehabilitasi adalah untuk meningkatkan kualitas hidup penderita
dan menghambat bertambah beratnya gejala penyakit serta mengatasi
masalah-masalah :
- abnormalitas gerakan
- kecenderungan postur tubuh yang salah
- gejala otonom
- gangguan aktivitas kehidupan sehari-hari
- perubahan psikologik

126
Bagian dari rehabilitasi antara lain :
1. Fisioterapi :
a. Peregangan
b. Koreksi postur tubuh
c. Latihan koordinasi
d. Latihan jalan
e. Latihan buli-buli dan rektum
f. Latihan kebugaran kardiopulmonar
g. Edukasi dan program latihan di rumah
2. Terapi okupasi
3. Terapi wicara
4. Psikoterapi
5. Terapi sosial medik

2. Khusus
Terapi khusus berupa :
a. Terapi Farmakologik ( Terapi Medikamentosa )
b. Terapi non-farmakologik ( Terapi Operatif )

TERAPI FARMAKOLOGIK
Secara farmakologik, penyakit parkinson dapat dianggap sebagai keadaan
dimana adanya ketidakseimbangan antara sistem dopaminergik dan
kolinergik. Sehingga terapi medisinal bertujuan untuk koreksi keadaan
ketidakseimbangan tersebut.
a. Obat yang meningkatkan fungsi sistem dopaminergik :
 Meningkatkan kadar dopamin ;
1. Pemberian prekursor dopamin : Levodopa
2. Blokade dopa karboksilase : Karbidopa
Pemberian carbidopa yang bersamaan dengan karbidopa untuk
mengurangi efek samping perifer dan meningkatkan absorbsi.
 Meningkatkan pelepasan dopamin; Amantadin

127
Dapat diberikan sebagai monoterapi atau dikombinasi dengan obat
yang lain. Diberikan 100-300 mg/hari.
Efek samping dapat berupa halusinasi dan edema tungkai.
 Agonis dopamin
1. Bromocriptine mesylate(Parlodel).Dosis dimulai dengan 0,5-2,5
mg 2 kali sehari pada saat makan, ditingkatkan setiap 4-28 hari 2,5
mg/ hari. Dosis terapi biasanya berkisar 2,5-15 mg/hari.
Efek samping: nausea, diskinesia, halusinasi, confused, hipotensi
postural.

2. Pergolide mesylate

Dimulai dengan dosis 0,05 g/hari selama 2 hari, kemudian


ditingkatkan 0,1-0,15 mg/hari setiap 3 hari selama 12 hari, setelah
itu ditingkatkan 0,25 mg/hari setiap 3 hari sampai dosis
optimal.Dosis terapi berkisar 0,75-3 mg/hari dibagi 3 dosis.

3. Pramiprexole

Mulai dengan dosis 0,125 mg/hari 3 kali sehari lalu ditingkatkan


setelah 7 hari 0,125 mg/hari 3 kali sehari setelah itu ditingkatkan
lagi 0,25 mg/hari 3 kali sehari setiap 5-7 hari.

4. Ropinirole

Mulai dengan dosis 3x0,25 mg/hari ditingkatkan 3x0,25 mg setiap


minggu sampai 3x8 mg/hari.

b. Menghambat degradasi dopamin

 COMT(Cathecol-O-Methyl Transferase) inhibitors:


1. Entacapone.
Harus diberikan bersama levodopa.Dosis 200mg untuk setiap dosis
levodopa maksimal 1600 mg/hari.
2. Tolcapone.

128
Dosis 3x100-300 mg/hari.

 MAO-B(Monoamine Oksidase-B) inhibitors


6. Selegiline, 2x5mg/hari pada saat makan pagi dan makan siang.

c. Obat yang menghambat fungsi sistem kolinergik


 Mengurangi aktivitas kolinergik berlebihan di korpus striatum
1.Benztropine mesylate

Mulai dengan 0,5-1 mg malam hari, dapat ditingkatkan sampai 4-6


mg/hari

Jika diperlukan 2-3 kali sehari.

2.Trihexyphenidyl(Artane)
Mulai dengan 1 mg di waktu makan kemudian ditingkatkan
2mg/hari selama 3-5 hari sampai 6 mg/hari 3 kali sehari

Medical therapy for Parkinson's disease

Medication Pharmacologic Typical Typical Typical Potential side


action starting dose dosing total effects*
regimen daily
dose

Carbidopa/levodopa Increases 25 mg Three or 300-400 Dyskinesias,


(Sinemet) dopamine in carbidopa/100 four mg nausea,
the CNS mg levodopa times levodopa hallucinations,
bid daily confusion
dizziness

Carbidopa/levodopa, Increases One-half Two or 400-600 Dyskinesias,

129
sustained release dopamine in tablet of 50 three mg nausea,
(Sinemet CR) the CNS mg times levodopa hallucinations,
carbidopa/200 daily confusion,
mg levodopa dizziness
bid

Bromocriptine Dopamine 1.25 mg tid Three 15-30 mg Somnolence,


mesylate (Parlodel) agonist with meals times dyskinesias,
daily nausea,
hallucinations,
confusion,
dizziness

Pergolide mesylate Dopamine 0.05 mg tid Three 0.75-3 Somnolence,


(Permax) agonist with meals times mg dyskinesias,
daily nausea,
hallucinations,
confusion,
dizziness

Pramipexole Dopamine 0.125 mg tid Three 1.5-4.5 Somnolence,


(Mirapex) agonist with meals times mg dyskinesias,
daily nausea,
hallucinations,
confusion,
dizziness

Ropinirole HCl Dopamine 0.25 mg tid Three 9-12 mg Somnolence,


(Requip) agonist with meals times dyskinesias,
daily nausea,
hallucinations,
confusion,

130
dizziness

Entacapone Enhances 200 mg with One 200 mg Exacerbation


(Comtan) duration of levodopa tablet with each of levodopa
levodopa effect dose, bid or with dose of side effects,
by peripheral tid each levodopa, diarrhea, urine
inhibition of dose of up to 8 discoloration
COMT levodopa times
enzymes daily

Tolcapone (Tasmar) Enhances 100 mg tid Three 300-600 Exacerbation


duration of times mg of levodopa
levodopa effect daily side effects,
by peripheral diarrhea, urine
and central discoloration,
inhibition of liver toxicity
COMT (requires
enzymes monitoring)

Amantadine HCl ?Dopamine 100 mg bid Two or 200-300 Nausea,


(Symmetrel) reuptake three mg dizziness,
inhibitor, times confusion,
glutamate daily hallucinations,
antagonist peripheral
edema, livedo
reticularis

Trihexyphenidyl Anticholinergic One-half 2- Three 2-6 mg Dry mouth,


HCl (eg, Artane) mg tablet qd times blurred vision,
or bid daily somnolence,
hallucinations,
memory

131
impairment,
confusion,
urine
retention,
constipation

Benztropine Anticholinergic 0.5 mg qd or Three 0.5-6 mg Dry mouth,


mesylate (Cogentin) bid times blurred vision,
daily somnolence,
hallucinations,
memory
impairment,
confusion,
urine
retention,
constipation

Selegiline HCl (eg, Specific type B 5 mg every Morning 5-10 mg Nausea,


Deprenyl, Eldepryl) monoamine morning and dizziness,
oxidase noon abdominal
inhibitor pain,
confusion,
exacerbation
of levodopa
side effects

CNS, central nervous system; COMT, catechol-O-methyltransferase.


Keterangan :
Kerja utama dari cathecol-O-methyltansferase (COMT) (tolcapone dan entacapone) di
sirkulasi perifer. COMT mnghambat proses metilasi L-Dopa dan meningkatkan obat l-
dopa yang akan dikirimkan ke otak. AAD (Aromatic L-amino acid decarboxylase:
DA(Dopamin), DOPAC (3,4-dihidroxyphenylacetic acid): MAO(monoamine oxidase):

132
MT(3-methoxytyramine): 3-O-MD(3-O-methylDOPA)

TERAPI OPERATIF
Terapi dengan operasi baru dilakukan bila terapi dengan obat-obatan gagal. Dari
studi yang dilakukan menunjukkan terapi dengan cara ini menunjukkan hasil
yang baik pada pasien dengan golongan usia muda.
Gejala –gejala yang kurang berespon terhadap terapi operatif antara lain:
- gangguan postur dan keseimbangan
- akinesia paroksimal
- gangguan fungsi vegetatif
- distonia
- gangguan bicara

TERAPI REHABILITATIF
Rehabilitasi penderita PP sangat penting, tanpa terapi rehabilitasi
penderita PP akan kehilangan kemampuan aktifitas fungsional kehidupan sehari-
hari (AKS). Latihan yang diperlukan penderita PP meliputi :
Latihan fisioterapi
meliputi : latihan gelang bahu dengan tongkat, latihan ekstensi trunkus, latihan
frenkle untuk berjalan dengan menapakkan kaki pada tanda-tanda di lantai,
latihan isometrik untuk otot kuadrisep femoris dan otot ekstensor panggul agar
memudahkan menaiki tangga dan bangkit dari kursi.
Latihan okupasi
yang memerlukan pengkajian AKS pasien, pengkajian lingkungan tempat
tinggal atau pekerjaan. Dalam penatalaksanaan latihan dipakai berbagai macam
strategi, antara lain :

133
- Strategi kognitif, untuk menarik perhatian penuh/konsentrasi, bicara jelas
dan tidak cepat, mampu menggunakan tanda-tanda verbal maupun visual
dan hanya melakukan satu tugas kognitif maupun motorik.
- Strategi gerak, seperti bila akan berbelok saat berjalan gunakan tikungan
yang agak lebar, jarak kedua kaki harus agak lebar bila ingin memungut
sesuatu dari lantai.
- Strategi keseimbangan : melakukan AKS dengan duduk atau berdiri
dengan kedua kaki terbuka lebar dan dengan berpegangan pada dinding.
Hindari pintu berputar. Saat berjalan di tempat ramai atau lantai tidak
rata harus konsentrasi penuh jangan bicara atau melihat sekitar.

KOMPLIKASI
A. Komplikasi pengobatan
Masalah yang sering timbul dari pengobatan antara la Penggunaan levodopa
dalam jangka waktu lama ((5-10 tahun)
1. Gangguan motorik (Fluktuasi motorik) :
- (on-off phenomena, wearing off, kesalahan dosis, and freezing)
- diskinesia (peak dose dyskinesia, diphasic dyskinesia, dystonia)
Gangguan-gangguan ini lebih sering ditemukan pada orang muda
dibandingkan dengan orang tua. Oleh karena itu levodopa harus segera
diberikan pada pasien usia tua , sebaliknya agonis dopamin adalah
pilihan yang lebih baik digunakan pada pasien usia muda. Untuk
”Wearing off phenomenon” ada beberapa strategi yang dapat digunakan :
- Tambahkan atau sesuaikan dosis agonis dopamine
- Dosis L dopa yang lebih kecil dan lebih sering
- L dopa yang lepas lambat ( baik diminum menjelang tidur)
- Berikan L dopa 30 menit sebelum makan’
- COMT inhibitor dapat diberikan untuk memperpanjang kerja L-dopa
dan meningkatkan masa on

134
“On Off fluctuation“( gejala berupa perubahan drastis dari diskinesia
berat menjadi tidak dapat bergerak sama sekali dalam beberapa
menit),untuk ini :
- Kombinasi levodopa dengan agonis dopamine
Diskinesia dapat terjadi pada awal dosis atau akhir dosis ,atau
pada puncak dosis
- Pada puncak : Chorea, Berikan dosis levodopa yang sedikit setiap
pemberian namun lebih sering sehingga dosis dalam sehari tetap
sama.Tambahkan agonis dopamine kerja panjang.
- Pada pemberian dosis awal atau akhir: gunakan levodopa cair sebelum
makan dan tambahkan COMT inhibitor
2. Depresi
Harus dibedakan dengan demensia, dapat diobati dengan:
- antidepresan trisiklik atau SSRI. Gunakan antidpresan trisiklik untuk
gangguan tidur.SSRI dapat digunakan untuk apati namun jangan
digunakan bersamaan dengan selegiline.
- Psikoterapi juga bermanfaat
3. Halusinasi dan psikosis : Clozapine mengurangi halusinasi tanpa
memperburuk gangguan motorik

B. Hipokinesia
Atrofi/kelemahan otot sekunder ,kontraktur sendi,deformitas: kifosis dan
skoliosis.

C. Gangguan fungsi luhur


Afasia(Gangguan bicara), Agnosia(hilangnya daya untuk mengenali arti
stimulus sensoris macamnya dibedakan auditori, visual, olfactori, taktil,
gustatori, Apraksia (kehilangan kemampuan untuk melakukan gerakan
bertujuan walaupun tidak ada paralisis atau gangguan motorik dan sensorik
lainnya terutama ketidakmampuan menggunakan objek secara tepat).

135
D. Gangguan Postural:
Perubahan kardiopulmonal, ulkus dekubitus, jatuh.

E. Gangguan mental
Gangguan pola tidur, emosional, gangguan seksual, depresi, bradifrenia,
psikosis, dimensia.

F. Gangguan vegetatif
Hipotensi postural, inkontinensia urin, gangguan keringat ( hiperhidrosis).

PROGNOSIS
Penyakit Parkinson merupakan penyakit yang bersifat kronis dan
progresif, maka dari itu secara umum prognosisnya buruk. Tidak ada obat untuk
penyakit Parkinson, yang bisa dilakukan hanya mencegah terjadinya perburukan
dari penyakitnya sendiri. Jadi untuk meminimalisir dan mencegah disabilitas
diperlukan kerjasama antara dokter dan keluarga pasien.
Beberapa yang dapat dilakukan antara lain menjaga kondisi kesehatan
pasien secara umum serta mempertahankan efisiensi neuromuscular dengan cara
melakukan program latihan, aktifitas, dan istirahat yang terencana.
Terapi fisik dan terapi bicara dapat menguntungkan banyak pasien
dengan Parkinson. Untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dengan penyakit
Parkinson harus dilakukan penyederhanaan aktifitas sehari - hari, pengaturan
ulang tata letak ruangan dan peralatan yang digunakan pasien sehari - hari.
Support secara emosional sangat dibutuhkan oleh pasien, terutama pada kondisi
tertentu yang dapat membuat pasien tertekan atau stress.
Kematian pada pasien dengan penyakit Parkinson bukan karena
perjalanan penyakitnya, melainkan oleh komplikasi yang disebabkan oleh
penyakit Parkinson itu sendiri.

136
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Pedoman Tata


Laksana Penyakit Parkinson. Perdossi bagian neurologi FKUI/RSCM.
Jakarta. 2003.

2. Bahrudin, Moch, dr, Sp.S. Penyakit Parkinson.Dasar-Dasar Neurologi.


UMM. Malang. 2008.

3. Clarke CE, Moore AP. “Parkinson's Disease”,


http://www.aafp.org/afp/20061215/2046.html, 25 Agustus 2010.

4. Jankovic. J, Tolosa. E. Parkinson’s Disease And Movements Disorders


4th.Philadelpia : Lippincott &Wilkins. Pp 91-99, 39-53. 2002.

5. National Institute of Neurological Disorders and Stroke, “Parkinson's


Disease: Hope Through Research”,
http://www.ninds.nih.gov/disorders/parkinsons_disease/detail_parkinsons_di
sease.htm#toc, last updated November 19, 2007.

6. Robert A Hauser, MD. Parkinson disease. Available at :


http://emedicine.medscape.com/article/1151267-
overview#section~introduction

7. Departments of Neurology, Pharmacology, and Experimental Therapeutics,


Director, Parkinson's Disease and Movement Disorders Center, University of
South Florida and Tampa General Healthcare. April 27th, 2010. Access :
august 25th, 2010.
8. Parkinson’s disease foundation, ”What is Parkinson’s Disease?”
http://www.pdf.org/en/about_pd, 25 August 2010.

137

Anda mungkin juga menyukai