Anda di halaman 1dari 12

BAB II

PEMBAHASAN

A. Kekerasan dalam Rumah Tangga


Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang dalam Undang-undang
No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, memiliki arti
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran
rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Masalah kekerasan dalam rumah tangga telah mendapatkan perlindungan hukum
dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 yang antara lain menegaskan bahwa:
1. Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebes dari segala
bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-undang Republik
Indonesia tahun 1945.
2. Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama Kekerasan dalam rumah tangga
merupakan pelanggaran hak asasi manusia, dan kejahatan terhadap martabat
kemanusiaan serta bentuk deskriminasi yang harus dihapus.
3. Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan adalah perempuan,
hal itu harus mendapatkan perlindungan dari Negara dan/atau masyarakat agar
terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau
perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
4. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c,
dan huruf d perlu dibentuk Undang-undang tentang penghapusan kekerasan dalam
rumah tangga.
Tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri sebenarnya merupakan
unsur yang berat dalam tindak pidana, dasar hukumnya adalah KUHP (kitab undang-
undang hukum pidana) pasal 356 yang secara garis besar isi pasal yang berbunyi:
“Barang siapa yang melakukan penganiayaan terhadap ayah, ibu, isteri atau anak
diancam hukuman pidana”

1
B. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga
Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan terhadap istri dalam
rumah tangga dibedakan kedalam 4 (empat) macam :
1. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit
atau luka berat. Prilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain
adalah menampar, memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak), menendang,
menyudut dengan rokok, memukul/melukai dengan senjata, dan sebagainya.
Biasanya perlakuan ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau
bekas luka lainnya.
2. Kekerasan psikologis / emosionaL
Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan
ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa
tidak berdaya dan / atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Perilaku kekerasan yang termasuk penganiayaan secara emosional adalah
penghinaan, komentar-komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri,
mengisolir istri dari dunia luar, mengancam atau ,menakut-nakuti sebagai sarana
memaksakan kehendak.
3. Kekerasan seksual
Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan
batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri,
tidak memperhatikan kepuasan pihak istri.
4. Kekerasan ekonomi
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya,
padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau
perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada
orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah istri,
bahkan menghabiskan uang istri (http://kompas.com., 2006).

C. Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga


Strauss A. Murray mengidentifikasi hal dominasi pria dalam konteks struktur
masyarakat dan keluarga, yang memungkinkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga
(marital violence) sebagai berikut:

2
1. Pembelaan atas kekuasaan laki-laki
Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan wanita,
sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita.
2. Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi
Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja mengakibatkan
wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan
maka istri mengalami tindakan kekerasan.
3. Beban pengasuhan anak
Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak.
Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalah-
kan istri sehingga tejadi kekerasan dalam rumah tangga.
4. Wanita sebagai anak-anak
Konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan
kele-luasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak dan kewajiban
wanita. Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang
bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib.
5. Orientasi peradilan pidana pada laki-laki
Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh
suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasusnya
sering ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum
yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak
dalam konteks harmoni keluarga.

D. Bagaimana Ciri Anak Korban KDRT?


Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) menganggu emosi semua anggota
keluarga, sudah tentu juga emosi anak. Keadaan emosi akan sangat terganggu jika Si
Anak menjadi korban atau menyaksikan secara langsung kekerasan yang terjadi terhadap
anggota keluarga yang lain.
KDRT beragam bentuknya. Mulai dari kekerasan verbal hingga fisik. Sebenarnya,
apa pun bentuk kekerasan yang terjadi akan memberikan dampak buruk pada anak.
Kebanyakan anak yang menjadi korban kekerasan atau menjadi saksi, akan mengalami
perubahan perilaku.

3
Tidak banyak anak yang bisa langsung mengutarakan masalah yang ia hadapi.
Biasanya mereka akan diam saja dan orang dewasa di sekitarnya lah yang harus peka
melihat masalah ini.
1. Sering cemas
Anak yang menjadi korban KDRT atau menjadi saksi kekerasan memiliki rasa
cemas berlebihan. Kecemasan itu bisa muncul karena mereka merasa tidak berdaya
dan khawatir sewaktu-waktu mereka menjadi korban.
Kecemasan ini memicu ketakutan berlebihan, depresi, dan kesulitan menahan
emosi. Anak akan mudah menangis atau bahkan tiba-tiba marah ketika merasa
dirinya terancam. Sering terjadi anak berkelahi dengan temannya karena ia merasa
temannya mengancam, padahal tidak.
2. Menjadi tertutup
Perubahan perilaku anak yang biasa ceria menjadi sangat tertutup, bisa menjadi
tanda sesuatu telah terjadi. Sikap tertutup itu mungkin sekali terjadi karena mereka
ingin merahasiakan apa yang terjadi di rumah.
Tidak mudah mengorek informasi tentang sebuah kejadian, apalagi jika itu
menyangkut orang yang disayangi Si Anak. Sudah pasti, mereka pun tidak ingin
orang kesayangannya mengalami kejadian buruk. Mungkin pula mereka bingung
harus berbuat apa sehingga banyak berpikir dan menjadi sangat pendiam.
3. Haus perhatian
Anak korban atau saksi KDRT ada pula yang malah berusaha mati-matian
mencari perhatian dan kasih sayang dari orang lain seusia orangtua mereka. Perubahan
perilaku itu adalah reaksi dari ketidakberdayaan mereka untuk mendapat perhatian dari
orangtua mereka.
4. Mengalami penurunan prestasi
Anak yang awalnya memiliki prestasi di sekolah atau nilainya memenuhi
standar namun kemudian menurun perlu diwaspadai. Mungkin saja ia menjadi korban
atau saksi KDRT.
Peristiwa yang traumatis sudah pasti akan mengganggu konsentrasi belajarnya.
Ia juga akan menjadi tidak bergairah melakukan hobinya. Misalnya jika sebelum
kekerasan ia menjadi bintang sepakbola sekolah, bisa jadi prestasinya menurun, malas
latihan, atau tidak punya tenaga untuk melakukan hobinya itu.
5. Mengalami kemunduran fisik

4
Kelelahan mental bisa memengaruhi sistem imun tubuh. Anak korban atau
saksi kekerasan yang mengalami kecemasan, depresi, sulit tidur, atau kehilangan nafsu
makan sudah pasti akan membuat kesehatan fisiknya menurun. Ia akan mudah
mengalami sakit mulai yang ringan seperti diare atau flu, sampai sakit serius.
6. Mengalami luka
Ini adalah cara paling mudah mengetahui anak telah menjadi korban KDRT.
Luka-luka tidak teridentifikasi atau mencurigakan harus segera dipertanyakan.
Misalnya memar seperti bekas pukulan, cubitan, atau jatuh di tempat tidak semestinya.
Misalnya di area perut, dada, atau bagian tubuh yang terlihat misalnya di wajah.

E. Langkah dan Solusi Antisipatif Bagi Anak Korban Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.
Korban (victims) menurut Muladi adalah orang-orang yang baik secara individual
maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental,
emosional, ekonomi atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental,
melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara,
termasuk penyalahgunaan kekuasaan. Terkait dengan kekerasan dalam rumah tangga
terhadap anak ini hendaknya perlu dipahami begitu banyak faktor yang memicu
terjadinya kekerasan pada anak ini, contohnya tidak adanya kontrol sosial pada pelaku
kekerasan pada anak meskipun pelaku merupakan orang tua atau kerabat dekat sekalipun,
hubungan antara anak dan orang tua dianggap sebagai suatu bidang hierarki dalam hal ini
dimaksudkan ada batasan komunikasi karena anak dianggap mahluk kecil yang suaranya
dianggap tidak penting untuk orang dewasa, hal terakhir adalah kemiskinan yang
merupakan faktor dominan yang dianggap sebagai pusat masalah sehingga anak menjadi
pelampiasan amarah, ketidakpuasaan, luapan kesedihan karena kemiskinan tersebut
sehingga kekerasan tertuju pada anak karena tidak dapat melakukan perlawanan.
Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 34 menjelaskan bahwa
“fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Ini menjadi tendensi positif
dalam usaha negara untuk memberi perlindungan penuh terhadap hak-hak anak. C. De
Rover menyatakan penegakan kejahatan merupakan tujuan mendasar dari penegakan
hukum dan merupakan bidang kegiatan dengan nilai spesifik bagi hak-hak anak
(termasuk didalamnya perempuan). Namun cara berfikir masyarakat yang menganggap
kekerasan dalam rumah tangga bukan sebagai tindak pidana yang melanggar kaidah

5
hukum namun lebih merupakan masalah keluarga ataupun masalah perempuan saja
membuat hal ini menjadi sepele di mata aparat hukum.
Peran aparat penegak hukum terkait anak yang bermasalah dengan hukum yang
diimplementasikan pada UU No.23 Tahun 2002 pasal dapat disimpulkan:
1. Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum merupakan
kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat,
2. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak,
3. Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini,
4. Penyediaan sarana dan prasarana khusus,
5. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak,
6. Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang
berhadapan dengan hukum,
7. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau
keluarga,
8. Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari
labelisasi,
9. Perlindungan melalui upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar
lembaga,
10. Upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk
menghindari labelisasi, dan
11. Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental,
maupun sosial, dan pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai
perkembangan perkara.

Peran aparat kepolisian berdasarkan UU PKDRT sebagai berikut ini:


1. Konsultasi hukum, yang mana korban diberi hak untuk sharring/konsultasi atas
peristiwa hukum yang terjadi pada diri korban dengan advokat yang kemudian
advokat dapat menarik kesimpulan atas peristiwa hukum tersebut lalu memberikan
solusi yang tepat untuk korban,
2. Melakukan mediasi ataupun negoisasi diantara para pihak korban dan pelaku KDRT,
dalam proses ini advokat menjadi pihak yang netral diantara pihak korban dan pelaku
serta member masukan/nasehat untuk menemukan pemecahan masalah atas peristiwa
hokum yang terjadi,

6
3. Mendampingi korban pada tingkat penyidikan, penuntutan, pemeriksaan, dalam sid
ang pengadilan, advokat pada proses ini diharuskan melakukan pendampingan dan
pemantauan atas setiap tahapan proses hukum karena setiap perkembangan kasus
harus dikawal dengan ketat. Hal ini sangat penting dan mempengaruhialat bukti serta
penjatuhan pidana terhadap pelaku.Yang dikhawatirkan ketika tidak ada
pendampingan si korban yang mungkin tidak stabil emosinya karena kejadian hukum
yang menimpa dirinya dan rasa ketakutan apabila memberikan kesaksian yang
sebenarnya, sikorban akan di intimidasi oleh pelaku sehingga si korban dalam
kesaksiannya berbeli-belit maka dapat meringankan pelaku dalam penjatuhan pidana,
4. Advokat dalam hal pendampingan terhadap korban pada tingkat penyidikan,
penuntutan, pemeriksaan, dalam sidangpengadilan harus melalui koordinasi dengan
sesama penegak hukum, relawan pendamping dan pekerja social supaya informasi
yang didapat lebih akurat.Langkah solusi antisipatif agar anak tidak menjadi korban
adalah dengan terlebih dahulu menganggap permasalahan ini adalah suatu tindak
pidana dan merupakan kejahatan yang serius, tentunya apabila hal itu sudah ada
dalam pola pikir masyarakat akan serta merta membentuk prilaku untuk melindungi
perempuan dan anak. Ini yang perlu mendapat langkah aktif dan berusaha
menyingkap kejahatan ini sampai tuntas agar efek jera bagi pelaku itu ada dan
menjadi preseden bagi oknum yang akan menjadi pelaku kekerasan terhadap
perempuan dan anak untuk memikirkan perbuatan itu. Selain itu saya melihat dari
segi legislasi, dalam rangka pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) hendaknya hukuman untuk pelaku-pelaku diperberat dan terkait hal ganti
rugi bagi korban harus mendapat perhatian agar lebih efektif dan diperoleh secara
konkrit oleh korban tanpa melewati proses yang berbelit-belit.

F. Cara Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga


Untuk menghindari terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga, diperlukan cara-
cara penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga, antara lain:
1. Perlunya keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik dan berpegang teguh pada
agamanya sehingga Kekerasan dalam rumah tangga tidak terjadi dan dapat diatasi
dengan baik dan penuh kesabaran.
2. Harus tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah keluarga, karena didalam
agama itu mengajarkan tentang kasih sayang terhadap ibu, bapak, saudara, dan orang

7
lain. Sehingga antara anggota keluarga dapat saling mengahargai setiap pendapat
yang ada.
3. Harus adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta sebuah
rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah rumah tangga tidak
ada keharmonisan dan kerukunan diantara kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi
pemicu timbulnya kekerasan dalam rumah tangga.
4. Butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan sebagainya antar
anggota keluarga. Sehingga rumah tangga dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika
sudah ada rasa saling percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika
tidak ada rasa kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang
berlebih dan rasa curiga yang kadang juga berlebih-lebihan.
5. Seorang istri harus mampu mengkoordinir berapapun keuangan yang ada dalam
keluarga, sehingga seorang istri dapat mengatasi apabila terjadi pendapatan yang
minim, sehingga kekurangan ekonomi dalam keluarga dapat diatasi dengan baik.

G. Asuhan keperawatan
Pohon Masalah

Resiko prilaku kekerasan

Halusinasi

Isolasi sosial

Harga diri rendah

koping individu tidak efektif

Marah, frustasi.cemas, dendam, sakit hati.

8
1. Pengkajian
a. Kecemasan
1) Perilaku : Gelisah, ketegangan fisik, tremor, gugup, bicara cepat, menarik diri
dari hubungan personal, mengahalangi, menarik diri dari hubungan
interpersonal, melarikan diri dari hubungan intrapersonal.
2) Stresor Pecetus : Stesor penscetus mungkin berasal dari sumber internal dan
sumber eksternal. Stressor pencetus dibagi menjadi dua kategori. Kategori
pertama yaitu ancaman terhadap integritas seseorang meliputi
ketidakmampuan fisiologis yang akan datang atau menurunnya kkapasitas
untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari. Katagori kedua yaitu ancaman
terhadap system diri seseorang dapat membahayakan identitas, harga diri, dan
fungsi social yang terintegrasi seseorang.
3) Mekanisme koping : Tingkat kecemasan seseorang dapat menimbulkan dua
mekanisme koping. Mekanisme yang pertama adalah mekanisme yang
berorientasi pada tugas yaitu upaya yang disadari, dan berorientasi pada
tindakan untuk memenuhi secara realistic tuntutan situasi stress(Perilaku
menyerang untuk mengatasi hambatan pemenuhan, perilaku menarik diri
secara fisik maupun psikologik untuk memindahkan sumber stress, perilaku
kompromi untuk mengubah tujuan). Mekanisme yang kedua adalah
mekanisme pertahan ego yang membantu mengatasi ansietas.
b. Gangguan Tidur
 Perilaku
 Sumber koping : dukungan social dari keluarga, teman, dan pemberi
pelayanan juga merupakan sumber yang penting.
 Mekanisme koping : represi perasaan, konflik, menyangkal masalah
psikologis.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Kecemasan
b. Ansietas
c. Inefektif koping
d. Ketakutan
e. Gangguan Tidur
3. Intervensi
9
a. Kecemasan
Identifikasi Hasil
- Pasien akan menunjukkan cara adaptif dalam mengatasi stress
Intervensi
- Memecahkan masalah yang membuat pasien cemas
b. Gangguan tidur
Identifikasi Hasil
- Pasien akan mengekspresikan perasaannya secara verbal daripada melalui
perkembangan gejala-gejala fisik.
Intervensi
- Memenuhi kebutuhan fisiologis pasien.
- Memenuhi kebutuhan dasar akan rasa aman dan keselamatan.

BAB III
PENUTUP

A. KESEMPULAN

10
Perlunya Anak Mendapatkan Perlindungan Hukum. Anak sebagai bagian dari
generasi penerus bangsa merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa sekaligus modal
sumberdaya manusia bagi pembangunan nasional. Pemerintah telah menerbitkan
peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang perlindungan anak
yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 entang Perlindungan Anak. Pasal 1 butir 1
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 menjelaskan bahwa perlindungan anak adalah
segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Peran Aparat Penegak Hukum, Lembaga Pendamping Dalam Memberikan
Perlindungan Kepada Anak Sebagai Korban KDRT Menurut UU Perlindungan Anak dan
UU PKDRT. Perlindungan hukum bagi anak sebagai korban KDRT yaitu perlindungan
yang diberikan, antara lain:pemberian bantuan hukum; kerahasiaan identitas korban;
penangkapan pelaku dengan bukti permulaan; pemberian bantuan lain berupa pelayanan
kesehatan; upaya rehabilitasi. Serta pentingnya untuk diadakan sosialisasi UU PKDRT,
UU Perlindungan Anak, UU Kesejahteraan Anak kepada masyarakat dan sekolah-sekolah
dengan bekerjasama melalui aparat kepolisian dan lembaga P3A, LSM, agar masyarakat
lebih memahami mengenai KDRT dan hak-hak anak.

11
DAFTAR PUSTAKA

Ciri-ciri anak korban kekeratasan dalam rumah tangga. https://www.popmama.com/big-


kid/10-12-years-old/mariasutrisno/kenali-ciri-anak-korban-kdrt/full. (diakses 7
Desember 2018)
Perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan dalam rumah tangga.
https://media.neliti.com/media/publications/81145-ID-perlindungan-hukum-
terhadap-anak-korban.pdf. (diakses 7 Desember 2018)
Pengasuhan anak pasca KDRT. https://nasional.sindonews.com/read/1232560/18/pengasuhan-
anak-pasca-kdrt-1503338703. (Diakses 7 Desember 2018)
Asuhan keperawatan anak korban KDRT. https://www.scribd.com/doc/137144528/Askep-
Kdrt. (Diakses 7 Desember 2018)

12

Anda mungkin juga menyukai