Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di Samarinda terdapat banyak warung Sea Food yang dimana mengelolah

makanan yang berasal dari laut. Salah satu contohnya adalah makanan Sea Food

berupa kepiting. Berdasarkan data yang didapatkan melaui proses wawancara

bahwa terdapat banyak masyarakat yang mengkonsumsi kepiting di setiap

harinya. Dari hasil wawancara yang didapatkan, masyarakat mengkonsumsi

kepiting untuk perharinya sebanyak 13 kg/hari (Akbar dan Amin, 2018). Dan dari

hasil tersebut dapat disimpulkan masyarakat Samarinda mengkonsumsi kepiting

mencapai 4.745 kg/tahun. Rata-rata berat cangkang kepiting untuk satu ekornya

mencapai 25-50% berat kepiting (Nuralam dan Arbi, 2012). Maka dapat

disimpulkan potensi cangkang kepiting di kota Samarinda pada tahun 2018 adalah

2.372 ton/tahunnya.

Selama ini limbah cakang kepiting buangan dari warung makanan sea

food langsung di buang ke lingkungan. Dimana dapat mengakibatkan kerugian

pada lingkungan yaitu bau busuk yang di sebabkan limbah caking kepiting

tersebut. Sehingga perlu diproses kembali untuk mendapatkan kitosan yang

berasal dari limbah cakang kepiting (Nuralam dan Arbi, 2012).

Secara umum cangkang kepiting mengandung kitin 18,70% - 32,20%

(Asni, dkk 2014). Dimana kandungan kitin yang terdapat pada cangkang kepiting

tersebut, dapat menghasilkan produk kitosan dengan proses deasetilasi.


2

Kitosan dalam cangkang kepiting dapat di manfaatkan sebagai bahan

dekontaminasi logam berat di perairan(Sri Juari Santosa,dkk 2014). Selain itu

kitosan sangat efektif membunuh bakteri, sekaligus berperan dalam

memperpanjang umur simpan filet nila mera pada kondisi suhu kamar (Sahubawa,

2014).

1.2 Rumusan Masalah

Penelitian pembuatan kitosan dari limbah kulit cakang kepiting yang telah

dilakukan (Asni dkk 2014) dengan memvariasikan kosenterasi NaOH serta waktu

lama perendaman dari kitin tersebut. Dari penelitian tersebut didapatkan hasil

dearajat deasetilasi terbaik pada kosenterasi 50% yaitu 60% dan juga pada lama

perendamanan menit ke-30 yaitu sebesar 50%. Selain itu juga pada penelitian

yang lain yang telah dilakukan(Muhamad, Nadia, & Huli, 2018) dengan

memvariasikan kosentarasi NaOH pada proses deasetilasi mengasilkan hasil

terbaik derajat deasetilasi pada kosentrasi 60% yaitu sebesar 85,32% dengan

waktu perendaman selama 2 jam.

Menurut (Asni dkk 2014) cangkang kepiting mengandung kitin sebesar

18,70% - 32,20%. Derajat deasetilasi yang diperoleh pada penelitian yang

dilakukan (Asni dkk 2014) adalah 50%. Sehingga dapat disimpulkan hasil yang

diperoleh belum memenui standar mutu kitosan. Sedangkan pada peneliti kedua

yang dilakukan(Muhamad dkk, 2018), diperoleh derajat deasetilasi sebesar

82,59%. Hasil yang diperoleh peneliti (Muhamad dkk, 2018) dapat disimpulkan
3

bahwa hasil tersebut telah memenuhi standar mutu kitosan. Berdasakan reftensi

yang ada , pada penelitian ini dapat memiliki peluang untuk dapat ditingkatkan.

Untuk meningkatkan dearajat deasetilasi yang sudah diperoleh (Muhamad

dkk, 2018) maka dilakukan dengan mengamati pengaruh daya dengan bantuan

gelombang mikrowave. Moreno dkk, (2005) dalam (Setyawati dkk, 2016) juga

melaporkan gelombang mikrowive merupakan metode yang sangat baik untuk

membantu menghasilkan persen hasil yang tinggi dan waktu reaksi yang lebih

singkat. Sintesis kitosan dengan radiasi gelombang mikrowive juga dapat

menghemat 10 kali energi listrik untuk reaksi, sangat cepat dan efektif serta

meningkatkan derajat deasetilasi kitosan dibandingkan dengan metode

konvensional.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh daya

mikrowave dan waktu reaksi pada proses deasetilasi terhadap derajat deasetilasi

kitosan.

Manfaat penelitian adalah untuk meningkatkan nilai ekonomis cakang

kepiting dengan cara deasetilasi menjadi kitosan.


4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kepiting

Kepiting adalah binatang anggota krustasea berkaki sepuluh dari upa

bangsa (infraordo) Brachyura. Dan kepiting merupakan hewan yang dapat hidup

dia dua alam yang sering di sebut hewan amfibi. Dan kepitng merupakan hewan

yang banyak di budidaya baik di tambak maupun di perairan rawa. Tubuh kepiting

dilindungi oleh cangkang yang sangat keras. Kepiting terdapat di

semua samudra dunia, tak terkecuali Samarinda. Disamarinda kepiting merupakan

salah satu hewan laut yang di jadikan makanan seafood. Kepiting terdiri dari rata-

rata berat cangkang kepiting untuk satu ekornya mencapai 25-50% berat kepiting

(Nuralam dan Arbi, 2012). Di balik cankang kepiting yang keras terdapat

kandungan kitin yang tinggi. Kepiting yang menghasilkan kepiting inilah yang

nantinya akan diproduksi menjadi kitosan. Kitosan dalam cangkang kepiting dapat

di manfaatkan sebagai bahan dekontaminasi logam berat di perairan(Sri Juari

Santosa,dkk 2014). Selain itu kitosan sangat efektif membunuh bakteri, sekaligus

berperan dalam memperpanjang umur simpan filet nila mera pada kondisi suhu

kamar (Sahubawa, 2014).


5

2.1.1 Komposisi kepiting

Secara umum Kepitng tersusan dari beberapa komponen yaitu kitin,

protein, dan kalsium karbonat. Dan untuk masing masing komposisi Secara umum

cangkang kepiting memiliki protein (15,60% - 23,90%), kalsium karbonat (53,70

– 78,40 %) dan kitin (18,70% - 32,20%)(Asni dkk., 2014). Selain empat

kompenen tersebut terdapat pula lemak, pigmen, dan logam dalam jumlah

terbatas.

2.2 Definisi Kitin

Kitin adalah homopolisakarida struktural yang rumus bangunnya

mengandung nitrogen. Kulit keras pada banyak insekta dan krustasea dibangun

oleh sekitar 30% polisakarida ini. Walaupun dalam jumlah kecil, kitin juga dapat

dalam beberapa jenis lumut, jamur, dan juga bakteri. Struktur kimia kitin adalah

polimer b-N-asetil-D-Glukosamina. Satuan-satuan b-N-asetil-D-Glukosamina ini

dalam membentuk piranosa. Susunan satuan b-N-asetil-D-Glukosamina dalam

molekut kitin sama dengan susunan satuan b-D-glukopiranosa dalam molekul

selusosa. Oleh kerna itu, ada yang menganggap kitin sebagai 2-N- asetil amino

selulosa. Dua satuan b-N-asetil-D-Glukosamina disebut kitobiosa.

Kitin berupa zat padat berbentuk amorf, berwarna putih, dan sangat tahan

terhadap pengaruh bakteri. Poliosa ini juga sangat tahan terhadap pengaruh

pelarut-pelarut organik yang umum. Kitin larut dalam asam nitrat pekat, asam

klorida pekat, dan asam sulfat pekat. Enzim kitinaze dapat mengatalisis hidrolisis
6

kitin. Hidrolisis kitin secarapersial akan menghasilkan molekul-molekul kitoba

(Drs. Damin Sumarjo, 2009).

Sumber : Sumardjo, 2009.

Gambar 2.2 Satuan Pengulang Dari Kitin

2.3 Definisi kitosan

Kitosan adalah kitin yang telah mengalami deasetilasi (kehilangan gugus

asetil). Kitosan merupakan produk deasetilasi kitin. Kualitas dan nilai ekonomi

kitosan dan kitin ditentukan oleh besarnya derajat deasetilasi. Semakin tinggi

derajat deasetilasi, semakin tinggi kualitas dan harga jualnya. Adanya gugus

amina ini menjadikan kitosan bermuatan persial positif kuat. Hal ini menyebabkan

kirosan dapat larut dalam larutan asam sampai netral. Selain itu, muatan positif

tersebut menyebabkan kitosan dapat manarik mplekul-molekul yang bermuatan

persial negatif, seperti minyak, lemak, dan protein. Sifat inilah yang menjadikan

kitosan banyak bermanfaat(Sahubawa, 2014).

Sekitar 30% dari kulit keras pada banyak insekta dan kustasea

mengandung kitin. Walaupun dalam jumlah kecil, kitin juga terdapat dalam

beberapa jenis lumut, jamur, dan bakteri (Sumardjo, 2009). Dikalangan industri

kitin dan kitosan diproduksi dari organisme bawah laut. Namun, kualitas ataupun
7

yield kitin dan kitosan yang dihasilkan seringkali kurang baik. Oleh karena itu

produksi kitin dan kitosan diperoleh dari krustasea laut (aquatic crustaceans).

Sumber : Mulyasuryani, 2012

Gambar 2.3 Struktur Kitosan

2.3.1 Sifat-sifat Kitosan

Berdasakan produksi kitosan tentunya kitosan memiliki sifat-sifat

tersendiri. Berikut sifat-sifat kirosan(Sahubawa, 2014) :

1. Bersifat biokompetibel, artinya sebagai polimer alami tidak

mempunyai akibat samping,tidak beracun,tidak dapat dicerna, dan

mudah diuraikan oleh mikroba(biodegrable).

2.Dapat berikatan dengan sel mamalia dan mikroba secara agresif.

3.Mampu berperan dalam pembentukan tulang.

4.Hemostatik, fungistatik, spermisidal, amtitumor, dan anti kolestrol.

5. Sebagai depresan pada sistem saraf pusat.

6. Mudah dibentuk menjadi spons, larutan,gel,pasta, membran, dan serat.


8

2.3.2 Manfaat kitosan

Kitosan dalam cangkang kepiting dapat di manfaatkan sebagai bahan

dekontaminasi logam berat di perairan(Sri Juari Santosa,dkk 2014). Selain itu

kitosan sangat efektif membunuh bakteri, sekaligus berperan dalam

memperpanjang umur simpan filet nila mera pada kondisi suhu kamar (Sahubawa,

2014).

2.3.3 Standar Mutu Kitosan

Setiap kitosan yang dihasilakan harapanya tentu mendapatkan hasil yang

maksimal. Dapat dikatakatan suatu kitosan itu baik tentu harus sesuai dengan

standar yang telah ditetapkan, baik Sandar Nasional Indonesia (SNI) ataupun

Standar Internasional(SI). Berikut ini merupakan standar mutu kitosan(Mia Risky

Septiwi, 2015) :

Tabel 2.3.3 Standar Mutu kitosan (SNI 7949 : 2013)

Jenis uji Satuan Persyaratan


1. Warna - Coklat muda Sampai
Putih
2. Fisik
a. Kelarutan dalam asam % Min 99%
b. Viskositas Cps Min 5
- negatif
c. Benda asing
3. Kimia
a. Kadar air % Maks 12
b. Kadar abu % Maks 5
% Min 75
c. Derajat deasetilasi
% Maks 5
d. Nitrogen
9

e. Logam berat mg/kg Maks 5


- Arsen mg/kg Maks 5
- Pb
f. Ph
7-8

2.4 Gelombang Mikrowave

Gelombang mikro (microwave) adalah salah satu anggota dari keluarga

besar gelombang elektromagnektik. Energi listrik dipancarkan menjadi

gelombang mikro oleh sebuah tabung yang disebut magnetron. Energi ini

dirubah menjadi energi panas saat energi ini menyentuh makanan. Sentuhan

ini membuat molekul-molekul air di dalam makanan bergetar dengan

kecepatan tinggi hingga mengahasilkan panas yang membuat makanan cepat

matang.

Energi mikrowave untuk memasak adalah energi yang aman yang tidak

dapat merubah struktur sel dan juga tidak dapat di simpan di dalam tubuh. Jadi

tidak dapat disamakan dengan sinar X-Ray (Hayatinufud A.L. Tobing, 2004).

Gelombang ini mempunyai sifat gelombang umum yang sama yaitu berupa

gelombang yang menjalar dengan kecepatan sama dengan kecepatan cahaya

(c). Hampir semua sistem elektronik, bagaimanapun, dan khususnya sistem

gelombang mikro, beroprasi dalam khisaran frekuensi dari 300 MHz-300

GHz(Mitrayana, 2016). Frekuensi yang dipakai selama tiga dekade berkisaran

300 MHz-300 GHz.

Kelebihan sintesis kitosan dengan energi gelombang mikro akan

mempercapat waktu pada saat proses deasetilasi. Sintesis kitosan dengan


10

radiasi gelombang mikro dapat menghemat 10 kali energi listrik untuk reaksi,

sangat cepat dan efektif serta mengahsilkan dearajat deasetilasi yang tinggi

dan kitosan dengan berat molekul rendah dibandingkan dengan metode

konvensional (Setyawati dkk, 2016).

2.5FTIR (Fourier Transform Infra Red)

Saat ini, kebanyakan spektrofotometer yang digunakan adalah

spektrofotometer FTIR (Fourier Transform Infra Red)(Sudjadi dan Rohman,

2018). FTIR adalah spektroskopi menggunakan infra merah (IR). Spektrometer

IR memungkinkan identifikasi substansi gugus kompleks suatu senyawa. Cara

kerja spektroskopi infra merah adalah sampel yang dipindai menggunakan sinar

infra merah, dilakukan menembus sampel dan ditangkap oleh detektor. Hasil

pemindaian yang diolah dengan komputer, mampu menyajikan spektrum

sampel (Wibisono, 2017).

Keuntungan utama spektrometer FTIR adalah alat ini menawarkan

sensitivitas tinggi, waktu analisis cepat, akurasi dan reprodusibilitas frekuensi

sangat baik, dapat dimanipulasi untuk menghasilkan data yang dapat diterima,

serta dilengkapi dengan perangkat lunak kemometrika yang memungkinkannya

sebagai alat yang canggih untuk analisis kualitatif dan kuantitatif(Sudjadi dan

Rohman, 2018).

Spektrofotometer FTIR terdiri atas sistem optik yang menggunakan

interferor dan komputer untuk menyimpan data. Interferometer yang paling sering
11

digunakan adalah interferometer Michelson. Bagan Spekrofotometer FTIR dapat

dilihat pada Gambar 2.4 berikut:

Sumber : (Sudjadi dan Rohman, 2018)

Gambar 2.5 Bagan spektrofotometer FTIR


12

BAB III

MOTEDE PENELITIAN

3.1 Waktu Dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dimulai dari bulan Februari hingga Juli 2019. Penelitian akan

dilakukan di Laboratorium Kimia Dasar Teknik Kimia Politeknik Negeri

Samarinda, serta analisa derajat deasetilasi dilakukan di Laboratorium Universitas

Gajah Mada. Bahan baku berupa limbah cangkang kepiting diperoleh didaerah

sekitar Samarinda.

3.2 Rancangan Penelitian

Adapun variabel dari penelitian ini adalah :

A. Variabel berubah

Daya Microwave = ( 792, 657,468, 378, 180) Menit

B. Variabel Tetap

a. Massa Kitin 10 g

b. Volume pelarut 1/10 (b/v)

c. Suhu pengeringan110oC

d. Waktu pengeringan 3 Jam

e. Pelarut NaOh

f. Kosentrasi NaOH 60%

g. Waktu 2 Menit

h. Ukuran
13

C. Variabel Respon

Derajat Deasetilasi

3.3 Alat dan Bahan

A. Alat

1. Mikrowave, yang dilengkapi dengan kontrol temperatur

2. Blender

3. Palu

4. Cobekan

5. Baskom

6. Koran

7. Gelas Beker 50,100,250 ml

8. Magnegtik Stired

9. Hot Plat

10. Kertas Lakmus

11. Penyaring

12. Botol Semprot

13. Pipet Tetes

14. Oven 110oC

15. Pipet Volume 10,25,50 ml

16. Kaca Arloji

17. Bulp

18. Spatula

19. Batang Pengaduk


14

20. Plastik

B. Bahan

1. Cakang kepiting

2. Aquadest

3. Air Ledeng

4. NaOH 60%

5. HCl

6. Asam Asetat

7. Penyaring
15

3.4 Prosedur Penelitian

3.4.1 Diagram Alir Penelitian

Menyiapkan Cangkang kepiting 500 gr dan pisahkan sisa-sisa daging


yang menempel

Mencuci dengan air dan mengeringkan dengan suhu 110oC

Menghaluskan ukuran menjadi bubuk

Mencampur bubuk kepiting dengan larutan HCl 1M selama 1jam pada


suhu 60 oC

Mencuci menggunakan aquades hingga pH netral, dan dikeringkan pada


suhu 110˚C selama 3 jam.

Setelah kering mencampurkan bubuk menggunakan NaOH 1M, dengan


waktu reaksi 2 jam pada suhu 70˚C

Hasil saringan kitin dicuci menggunakan aquades bersuhu 60˚C hingga


pH netral, dan kemudian dikeringkan pada suhu 110˚C selama 3 jam

Setelah kering campurkan dengan menggunakan Mikrowwve waktu 2


menit pada variasi daya (792, 657, 468, 378, 180) Watt

Mencuci dengan menggunakan aquades bersuhu 70˚C hingga pH netral,


dan kemudian dikeringkan pada suhu 110˚C selama 3 jam.

Analisa derajat deasetilasi menggunakan FTIR

Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian


16

3.4.2 Prosedur Penelitian


A. Preparasi Bahan Baku

1. Mencuci Acngkang kepiting mengunakan air ledeng dan memisahkan

dengan sisa-sisa daging

2. Mengkeringksn dengsn menggunakan oven dengan suhu 110oC

3. Menghaluskan cakang kepiting hingga membentuk seperti bubuk

B. Prosedur Pembentukan Kitosan

1. Mencampurkan bubuk kepiting dengan laruta HCl 1M Selama 1 jam

pada suhu 60oC

2. Mencuci menggunakan aquades hingga pH netral, dan dikeringkan

pada suhu 110˚C selama 3 jam.

3. Setelah kering mencampurkan bubuk menggunakan NaOH 1M,

dengan waktu reaksi 2 jam pada suhu 70˚C

4. Hasil saringan kitin dicuci menggunakan aquades bersuhu 60˚C hingga

pH netral, dan kemudian dikeringkan pada suhu 110˚C selama 3 jam

5. Setelah kering campurkan dengan menggunakan Mikrowwve waktu 2

menit pada variasi daya (792, 657, 468, 378, 180) watt

6. Mencuci dengan menggunakan aquades bersuhu 70˚C hingga pH

netral, dan kemudian dikeringkan pada suhu 110˚C selama 3 jam.

3.4.3 Analisa Derajat Deasetilasi

Analisa penelitian ini dengan menggunakan alat isntrumen FTIR Analisa ini

dilakukan di Labpratorium Universitas Gajah Mada.


17

DAFTAR RUJUKAN

Akbar, A., & Amin, B. (2018). Wawancara Pribadi. Samarinda.

Asni, N., Saadilah, M. A., & Saleh, D. (2014). Optimasi Sintesis Kitosan dari

Cangkang Kepiting Sebagai Adsorben Logam Berat Pb(II)Asni, N., Saadilah,

M. A., & Saleh, D. (2014). Optimasi Sintesis Kitosan dari Cangkang

Kepiting Sebagai Adsorben Logam Berat Pb(II). Jurnal Fisika Dan

Aplikasinya, 15(1),. Jurnal Fisika Dan Aplikasinya, 15(1), 18–25.

Drs. Damin Sumarjo. (2009). Buku Panduan Kuliah Mahasiswa Kedokteran dan

Program Strata 1 Fakultas Bioeksakta. (S. S. A. Amalia hanif,S.farm,Apt.,

Juli Manurung,S.Si., Apt, JojorSimanjuntak, Ed.) (Drs. Damin). Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Hayatinufud A.L. Tobing. (2004). Masak Praktis Dengan Mikrowave. (I.

Hardiman, Ed.). Jakarta: PT Gramedia pustaka Utama.

Mia Risky Septiwi. (2015). EFEK KITOSAN DAN NANOKITOSAN DARI

KARAPAS UDANG DALAM MEREDUKSI KADAR TRIGLISERIDA

TIKUS Sprague-dawley MIA RISKY SEPTIWI.

Mitrayana. (2016). Teori Dan Aplikasi Gelombang Mikro (Mada, Pram).


18

Yogyakarta: Gajah MAda University Press.

Muhamad, L., Nadia, H., & Huli, L. O. (2018). PEMBUATAN DAN

KARAKTERISASI KITOSAN DARI CANGKANG RAJUNGAN (

Portunus pelagicus ) ASAL SULAWESI TENGGARA Laode Muhamad

Hazairin Nadia*, La Ode Huli, Laode Abdul Rajab Nadia, 1(2), 77–84.

Nuralam, E., & Arbi, B. P. (2012). MENJADI KITOSAN SEBAGAI

PENJERNIH AIR PADA AIR RAWA DAN AIR SUNGAI. Jurnal Teknik

Kimia, 18(4), 14–20.

Sahubawa, L. (2014). Teknologi Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan.

Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Setyawati, A., Pranowo, D., & Kartini, I. (2016). Green Chemistry: Effect of

Microwave Irradiationon Synthesis of Chitosan for Biomedical Grade

Applications of Biodegradable Materials. Jurnal Eksakta, 16(2), 137–148.

Sri Juari Santosa, D. (2014). Dekontaminasi Ion Logam dengan Biosorben

berbasis Asam Humat, Kitin, dan Kitosan. Universitas Gaja Mada.

Anda mungkin juga menyukai