Anda di halaman 1dari 27

ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA

DENGAN DEMENSIA
Dosen Pengampu : Rika Maya Sari, S.Kep.Ns, M.Kes

Disusun oleh : Kelompok 3


1. Iqbal Fachruddin 17613104
2. Rizka Dwi Pratiwi 17613108
3. Krisnadina Bunaina Santoso 17613103
4. Estina Agnes Miranda 17613032
5. Muna Fitriana 17613005
6. Iga Mawarni 17613113
7. Fitri Ayu Handayani 17613092
8. Dyah Cahya Setya Putri 17613096
9. Tata Audina 17613079

D3 KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO
2019
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, saya

panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan

inayah-Nya kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah yang

berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Lansia Dengan Demensia”ini dibuat untuk

memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Gerontik.

Dalam pembuatan makalah ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh

karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberi

kesempatan dan memfasilitasi kepada penulis sehingga makalah ini bisa selesai dengan

lancar.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Mengingat kemampuan yang kami

miliki, dalam penulisan makalah ini tentunya masih banyak kekurangan baik pada materi

maupun teknis penulisan materi. Untuk itu kritik dan saran yang membangun dari semua

pihak sangat kami harapkan, demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lansia merupakan tahap akhir dari proses penuaan. Proses menjadi tua akan dialami

oleh setiap orang. Masa tua merupakan masa hidup manusia yang terakhir, dimana pada

masa ini seseorang akan mengalami kemunduran fisik, mental dan social secara bertahap

sehingga tidak dapat melakukan tugasnya sehari-hari (tahap penurunan). Penuaan

merupakan perubahan kumulatif pada makhluk hidup, termasuk tubuh, jaringan dan sel,

yang mengalami penurunan kapasitas fungsional. Pada manusia, penuaan dihubungkan

dengan perubahan degeneratif pada kulit, tulang, jantung, pembuluh darah, paru-paru,

saraf dan jaringan tubuh lainnya. Dengan kemampuan regeneratif yang terbatas, mereka

lebih rentan terkena berbagai penyakit, sindroma dan kesakitan dibandingkan dengan

orang dewasa lain (Kholifah, 2016).

Masalah utama yang sering terjadi pada proses penuaan lansia adalah terjadinya

perubahan dari segi fisik ketika manusia berusia lanjut seperti rambut yang mulai

memutih, kulit keriput, kondisi fisik yang mulai menurun dan menurunnya daya ingat

(pikun) atau yang sering disebut dengan dimensia. Demensia adalah jenis penyakit

gangguan otak. Sel-sel otak akan mati secara bertahap seiring dengan bertambahnya

usia. Namun, sel-sel otak penderita demensia akan mati dengan cepat dan volume otak

mereka akan menyusut, menyebabkan kerusakan parah terhadap fungsi otak. Pasien

penderita demensia bukan saja bisa menjadi pelupa, tetapi juga memiliki masalah dengan
pemahaman, bahasa, pembelajaran, perhitungan, dan penilaian. Kepribadian dan

perilaku mereka juga bisa berubah. Demensia adalah suatu sindroma klinik yang

meliputi hilangnya fungsi intelektual dan ingatan memori sedemikian berat sehingga

menyebabkan disfungsi hidup sehari hari (Boedhi Darmojo,2009)

Di Indonesia, usia harapan hidup meningkat dari 68,6 tahun (2004) meningkat

menjadi 72 tahun (2015). Usia harapan hidup penduduk Indonesia diproyeksikan akan

terus meningkat, sehingga persentase penduduk lansia terhadap total penduduk

diproyeksikan terus meningkat. Berdasarkan hasil Susenas tahun 2014, jumlah Lansia di

Indonesia mencapai 20,24 juta orang atau sekitar 8,03% dari seluruh penduduk

Indonesia. Data tersebut menunjukkan peningkatan jika dibandingkan dengan hasil

Sensus Penduduk tahun 2010 yaitu 18,1 juta orang atau 7,6% dari total jumlah penduduk.

Demensia Alzheimer adalah gangguan penurunan fisik otak yang mempengaruhi

emosi, daya ingat dan pengambilan keputusan dan biasa disebut pikun. Penyakit

Alzheimer paling sering ditemukan pada orang tua berusia > 65 tahun, tetapi dapat juga

menyerang orang yang berusia sekitar 40 tahun. Berikut adalah peningkatan persentase.

Penyakit Alzheimer seiring dengan pertambahan usia, antara lain: 0,5% per tahun pada

usia 69 tahun, 1% per tahun pada usia 70-74 tahun, 2% per tahun pada usia 75-79 tahun,

3% per tahun pada usia 80-84 tahun, dan 8% per tahun pada usia > 85 tahun. Estimasi

jumlah penderita Penyakit Alzhemeir di Indonesia pada tahun 2013 mencapai satu juta

orang. Jumlah itu diperkirakan akan meningkat drastis menjadi dua kali lipat pada tahun
2030, dan menjadi empat juta orang pada tahun 2050. Bukannya menurun, tren penderita

Alzheimer di Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya (Kemenkes RI, 2019)

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari demensia?

2. Bagaimana konsep dasar asuhan keperawatan pada lansia dengan gangguan kognitif

dimensia?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian dari demensia

2. Untuk mengetahui konsep dasar asuhan keperawatan pada lansia dengan gangguan

kognitif dimensia

1.4 Manfaat

1.4.1 Manfaat praktis

1. Bagi mahasiswa

Makalah ini mampu memberikan informasi dan referensi, selain itu mampu

memberikan pengetahuan mengenai konsep dasar asuhan keperawatan pada lansia

dengan gangguan kognitif dimensia

2. Bagi dosen

Makalah ini dapat dijadikan dalam mengajar mahasiswa.

3. Bagi masyarakat
Makalah ini sebagai sumber pengetahuan bagi masyarakat secara umum.

1.4.2 Manfaat praktis

Mampu menambah khasanah keilmuan dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Konsep dasar dimensia pada makalah ini diharapkan dapat membantu dalam

penyusunan makalah berikutnya maupun dalam penyusunan asuhan keperawatan

pada lansia dengan gangguan kognitif dimensia.

BAB 2

PEMBAHASAN
2.1 Konsep Dasar Dimensia

2.1.1 Definisi Dimensia

Demensia (pikun) adalah kemunduran kognitif yang sedemikian beratnya, sehingga

mengganggu aktivitas hidup sehari-hari dan aktivitas sosial. Kemunduran kognitif pada

demensia biasanya diawali dengan kemunduran memori atau daya ingat atau biasa

yang sering disebut juga dengan pelupa (Nugroho, 2008). Demensia adalah kondisi

klinis dimana terjadi penurunan fungsi mental intelektual (kognitif) yang progresif.

Demensia dapat disebabkan oleh penyakit organik difusi pada hemisfer serebri

(demensia subkortikal – misal penyakit Alzheimer) atau kelainan struktur subkortikal

(demensia subkortikal, misalnya penyakit Parkinson dan Huntington) (Elvira, Sylvia

D, et al. 2010).

Dimensia adalah keadaan dimana seseorang mengalami penurunan kemampuan daya

ingat dan daya piker, dan penurunan kemampuan tersebut menimbulkan gangguan

terhadap fungsi kehidupan sehari-hari. Kumpulan gejala yang ditandai dengan

penurunan kognitif, perubahan mood dan tingkah laku sehingga mempengaruhi

aktifitas kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat mengakibatkan para lansia menjadi

merasa asing dan menjadi pencetus terjadinya ansietas pada lansia.

2.1.2 Etiologi
Penyebab dimensia yang reversible sangat penting diketahui karena pengobatan yang

baik pada penderita dapat kembali menjalankan kehidupan sehari-hari yang normal.

Untuk meningat berbagai keadaan tersebut telah dibuat suatu “jembatan keledai”

sebagai berikut :

1. D : drugs (obat)

Obat sedative

Obat penenang minor atau mayor

Obat anti konvulsan

Obat anti depresen

Obat anti hipertensi

Obat anti aritmia

2. E : emotional (gangguan emosi, ex: depresi)

3. M : Metabolik dan endokrin

Seperti : DM

Hipoglikemi

Gangguan ginjal

Gangguan hepar

Gangguan tiroid

Gangguan elektrolit
4. E : Eye dan Ear (disfungsi mata dan telinga)

5. N : Nutritional

Kekurangan vit. B6 (pellagra)

Kekurangan vit. B1 (sindrom wernicke)

Kekurangan B12 (anemia perniosa)

Kekurangan asam folat

6. T : Tumor dan trauma

7. I : Infeksi

Ensefalitas oleh virus, contoh : herpes simplek

Bakteri, contoh : pnemokok

TBC

Parasit

Fungus

Abses otak dan

Neurosifilis

8. A : Arterosklerosis (komplikasi penyakit ateroklerosis, missal: infark miokard, gagal

jantung, dan alcohol)

Keadaan yang secara potensial reversible atau yang bisa dihentikan seperti :

a. Intoksikasi (obat, termasuk alcohol dan lain-lain)

b. Infeksi susunan syaraf pusat

c. Gangguan metabolik
d. Gangguan vascular

Penyebab dari demensia non reversible:

a. Penyakit degenerative :

- penyakit Alzhemeir

- demensia yang berhubungan dengan badan lewy

- penyakit pick

- penyakit Huntington

- kelumpuhan supranuklear progresif

- penyakit Parkinson, dll

b. Penyakit vascular :

- penyakit serebravaskular oklusif (demensia multi-infark)

- penyakit binswanger

- embolisme serebral

- arteriitis

- anoksia sekunder bakibat

c. Demensia tramatic :

- Perlukaan kranio-serebral

2.2.3 Klasifikasi

Pengklasifikasian demensia dibagi berdasarkan perjalanan penyakit atau penyebab

umur dan kerusakan otak. Berdasarkan perjalanan penyakit yaitu dimensia irreversible

diantaranya karena infeksi, atau sindrom demensia akibat stres serta depresi,
hidrosefalus komunikans serta subdural hematom dan reversibel diantaranya defisiensi

nutrisi (misalnya defisiensi vitamin B12 atau defisiensi asam folat), efek samping obat,

asupan alkohol akut dan tumor atau trauma, penyakit cerebro kardiovaskuler, penyakit-

penyakit metabolik, gangguan nutrisi, akibat intoksikasi menahun (Hoffman &

Constance, 2001).

Selain itu, berdasarkan umur dibagi menjadi dimensia senilis yaitu demensia yang

terjadi pada usia > 65 tahun dan dimensia prasenilis yaitu dimensia yang terjadi < 65

tahun. Klasifikasi dimensia selanjutnya yaitu berdasarkan kerusakan otak, diantaranya

tipe Alzheimer yang disebabkan karena kondisi sel syaraf yang mati, demensia vaskuler

yang disebabkan karena gangguan sirkulasi darah di otak seperti hipertensi,

arteriosklerosis, dan ateroklerosis, penyakit Parkinson, dan penyakit pick. Selain itu,

berdasarkan kerusakan otak yaitu dimensia terkait HIV-AIDS yang dapat menyerang

system saraf pusat, menyebabkan ensefalopati HIV atau komlek demensia AIDS,

multiple sklerosis, serta neurosifilis dan penyakit Huntington.

Tahapan Demensia Penyakit Alzheimer dan penyakit lain yang menyebabkan

demensia dikenal dengan keanekaragaman gejala demensia. Penyakit demensia

alzheimer dibagi menjadi 3 tahapan yaitu tahap awal, pertengahan dan akhir (Nugroho,

2008; Stanley & Beare, 2007).

a. Tahapan awal atau demensia ringan ditandai dengan gejala yang sering diabaikan dan

disalah artikan sebagai usia lanjut atau sebagai bagian normal dari proses menua.

Pada umumnya klien menunjukkan gejala kesulitan dalam berbahasa, mengalami


kemunduran daya ingat secara bermakna. Jika seseorang mengalami kesulitan atau

tidak bisa mengingat 3 benda setelah 5 menit, maka orang tersebut dapat dianggap

mengalami kerusakan memori jangka pendek (Hoffman & Constance, 2001). Dalam

kehidupan sehari-hari dapat dilihat bahwa biasanya lansia dengan demensia

mengalami kesulitan untuk mengingat kejadian yang baru dilakukannya misalnya

tidak ingat tadi pagi kegiatan yang diikuti apa saja, apa saja yang di makan saat

sarapan, ataupun kesulitan untuk mempraktekan kembali gerakan senam yang baru

saja diajarkan serta disorientasi orang, waktu dan tempat. Individu dengan masalah

kognisi dan fungsi dimanifestasikan apabila indivudu tersebut dalam situasi yang

dapat menimbulkan stres sehingga individu tersebut cenderung menarik diri atau

depresi. Tahap pertengahan atau demensia sedang ditandai dengan proses penyakit

berlanjut dan masalah menjadi semakin nyata. tahap pertengahan ini juga mengalami

kehilangan memori yaitu memori mengenai kejadian saat ini dan masa lalu. Memori

jangka panjang yang biasanya sering terlupa dapat dilihat dari ketidakmampuan

residen mengingat kapan dia lahir, kapan dia menikah, kapan residen mulai tinggal

di wisma. Gangguan lain dari fungsi otak seperti kemampuan bahasa, gerak motorik,

kemampuan untuk mengikuti arahan, mengatur keuangan, mengenali objek menjadi

gejala dari demensia. Adanya perubahan personal dari penderita juga menjadi salah

satu gejala demensia. Pada stadium ini, klien mengalami kesulitan melakukan

aktivitas kehidupan seharihari, sangat bergantung pada orang lain, membutuhkan

bantuan untuk kebersihan diri (ke toilet, mandi dan berpakaian), dan terjadi

perubahan perilaku, serta adanya gangguan kepribadian sehingga menyebabkan


kekhawatiran terhadap keselamatan. Tahap ini penderita demensia mengalami

disorientasi yang semakin memburuk. Disorientasi dapat dartikan sebagai

ketidakmampuan seseorang memperhatikan atau mengingat fakta kehidupan yang

ada disekelilingnya. Disorientasi biasanya berhubungan dengan orang, waktu dan

tempat. Tahap ini merupakan tahap dimana terjadi penurunan ambang stress,

kurangnya pengendalian impuls dan kesulitan dalam mengenali lingkungan. Tahap

akhir atau dimensia berat dimana ditandai dengan ketidakmandirian dan inaktif total,

tidak mengenali lagi anggota keluarga (disorientasi personal), sukar memahami dan

menilai peristiwa, tidak mampu menemukan jalan di sekitar rumah sendiri, kesulitan

berjalan, mengalami inkontinensia (berkemih atau defekasi), menunjukkan perilaku

tidak wajar dimasyarakat, akhirnya bergantung dikursi roda atau tempat tidur. Pada

tahap ini penderita demesia mengalami penurunan nafsu makan sehingga terjadi

penurunan berat badan. Tahap ini siklus tidur –bangun mengalami perubahan dan

individu tersebut menghabiskan waktu dengan mengantuk dan tampak menarik diri

secara sosial dan lebih tidak peduli terhadap lingkungan sekitar. Karakteristik lain

dari demensia yaitu frustasi, menarik diri, curiga, mudah marah, dan gelisah serta

sulit untuk membuat keputusan.

2.2.4 Patofiologi
Semua bentuk demensia adalah dampak dari kematian sel saraf dan/atau hilangnya

komunikasi antara sel-sel ini. Otak manusia sangat kompleks dan banyak faktor yang

dapat mengganggu fungsinya. Beberapa penelitian telah menemukan faktor-faktor ini

namun tidak dapat menggabungkan faktor ini untuk mendapatkan gambaran yang jelas

bagaimana demensia terjadi.

Pada demensia vaskular, penyakit vaskular menghasilkan efek fokal atau difus pada

otak dan menyebabkan penurunan kognitif. Penyakit serebrovaskular fokal terjadi

sekunder dari oklusi vaskular emboli atau trombotik. Area otak yang berhubungan

dengan penurunan kognitif adalah substansia alba dari hemisfer serebral dan nuklei

abu-abu dalam, terutama striatum dan thalamus. Mekanisme demensia vaskular yang

paling banyak adalah infark kortikal multipel, infark single strategi dan penyakit

pembuluh darah kecil.

1. Demensia multi-infark: kombinasi efek dari infark yang berbeda menghasilkan

penurunan kognitif dengan menggangu jaringan neural.

2. Demensia infark single: lesi area otak yang berbeda menyebabkan gangguan

kognitif yang signifikan. Ini dapat diperhatikan pada kasus infark arteri serebral

anterior, lobus parietal, thalamus dan satu girus.

3. Penyakit pembuluh darah kecil menyebabkan 2 sindrom major, penyakit

Binswanger dan status lakunar. Penyakit pembuluh darah kecil menyebabkan 8

perubahan dinding arteri, pengembangan ruangan Virchow-Robin dan gliosis

parenkim perivaskular.
4. Penyakit lakunar disebabkan oleh oklusi pembuluh darah kecil dan menghasilkan

lesi kavitas kecil di otak akibat dari oklusi cabang arteri penetrasi yang kecil.

Lakunae ini ditemukan lebih sering di kapsula interna, nuklei abu-abu dalam, dan

substansia alba. Status lakunar adalah kondisi dengan lakunae yang banyak,

mengindikasikan adanya penyakit pembuluh darah kecil yang berat dan

menyebar.

5. Penyakit Binswanger (juga dikenal sebagai leukoencephalopati subkortikal)

disebabkan oleh penyakit substansia alba difus. Pada penyakit ini, perubahan

vaskular yang terjadi adalah fibrohialinosis dari arteri kecil dan nekrosis fibrinoid

dari pembuluh darah otak yang lebih besar.

Pathway Dimensia
2.2.5 Penatalaksanaan

Langkah pertama yang dilakukan adalah melakukan pengkajian kognisi, perilaku dan

status fungsional serta riwayat penyakit pada lansia yang dicurigai atau dipastikan

menderita demensia. Perawat juga harus melakukan identifikasi faktor risiko lingkungan

untuk membantu mengarahkan intervensi yang tepat untuk penyakit ini. Pemeriksaan

kognisi menggunakan test MMSE ( Mini Mental State Exam) CDR (Clinical Dementia

Rating) yang bertujuan untuk mengukur orientasi dan fungsi kognitif pada lansia

(Stanley & Beare, 2007). Pemeriksaan juga bisa dilakukan dengan menggunakan CT

scan dan MRI yang bertujuan untuk menggambarkan faktor penyebab demensia,

biasanya pada CT Scan dapat memperlihatkan adanya ventrikel otak yang melebar serta

adanya atrofi kortikal. Perawat juga melakukan kolaborasi, yang bertujuan untuk

menghambat yaitu dengan pemberian terapi yang tepat. Perawat juga melakukan

pengukuran sebagai suatu pencegahan pada penderita demensia vaskuler. Pengukuran

tersebut dapat berupa pengaturan diet, olahraga, dan pengontrolan terhadap diabetes dan

hipertensi. Obat-obatan yang diberikan dapat berupa antihipertensi, antikoagulan, atau

antiplatelet.
2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

Pengkajian adalah pengumpulan dan analisis informasi secara sistematis dan

berkelanjutan. Pengkajian dimulai dengan mengumpulkan data dan menempatkan data

ke dalam format yang terorganisir

2.2.1 Anamnesis (wawancara)

Dilakukan pada penderita, keluarga atau pengasuh yang mengetahui perjalanan

penyakit pada pasien. Hal yang penting untuk diperhatikan pada saat melakukan

anamnesis adalah riwayat penurunan fungsi terutama fungsi kognitif pada pasien

dibandingkan sebelumnya, mendadak atau progresif lama dan adanya perubahan

perilaku kepribadian

1. Riwayat Medis Umum


Ditanyakan faktor resiko demensia, riwayat infeksi kronis (misalnya HIV dan

sifilis), gangguan endokrin (hiper/hipotiroid), diabetes melitus, neoplasma/tumor,

penyakit jantung, penyakit kolagen, hipertensi, hiperlipidemia dan aterosklerosis

perifer mengarah ke demensia vaskular.

2. Riwayat neurologis

Bertujuan untuk mengetahui etiologi demensia seperti riwayat gangguan

serebrovaskular, trauma kapitis, infeksi sistem saraf pusat , epilepsi, stroke, tumor

serebri dan hidrosefalus.

3. Riwayat gangguan kognitif

Riwayat gangguan memori sesaat, jangka pendek dan jangka panjang yang meliputi:

a. Gangguan orientasi orang, waktu dan tempat

b. Gangguan berbahasa/komunikasi (kelancaran, menyebut maupun gangguan

komprehensif)

c. Gangguan fungsi eksekutif (pengorganisasian, perencanaan dan pelaksanaan

suatu aktifitas)

d. Gangguan praksis dan visuospasial.

Hal lain yang perlu untuk diketahui mengenai aktifitas harian yang dilakukan

pasien diantaranya melakukan pekerjaan, mengatur keuangan, mempersiapkan

keperluan harian, melaksanakan hobi serta mengikuti aktifitas sosial.


4. Riwayat gangguan perilaku dan kepribadian

Pada penderita demensia dapat ditemukan gejala-gejala neuropsikologis berupa

waham, halusinasi, miss identifikasi, depresi, delusi, pikiran paranoid, apatis dan

cemas. Gejala perilaku salah satu contohnya dapat berupa bepergian tanpa tujuan,

agitasi, agresivitas fisik maupun verbal, kegelisahan dan disinhibisi (rasa malu).

5. Riwayat keracunan, nutrisi dan obat-obatan

Adanya riwayat intoksikasi aluminium, air raksa, pestisida, insektisida, lem,

alkoholisme dan merokok. Riwayat pengobatan terutama pemakaian kronis obat

anti depresan dan narkotika perlu diketahui.

6. Riwayat keluarga

Mencari riwayat terhadap keluarga, apakah keluarga mengalami demensia atau

riwayat penyakit serebrovaskular, depresi, penyakit parkinson, retardasi mental,

dan gangguan psikiatri

7. Pemeriksaan objektif

Pemeriksaan untuk deteksi demensia harus meliputi pemeriksaan fisik umum,

pemeriksaan neurologis, pemeriksaan neuropsikologis, pemeriksaan status

fungsional dan pemeriksaan psikiatrik (Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003)


8. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik terdiri dari pemeriksaan umum, pemeriksaan neurologis dan

pemeriksaan neuropsikologis.

a. Pemeriksaan umum

Pemeriksaan ini terdiri dari pemeriksaan medis umum atau status interna

seperti yang dilakukan dalam praktek klinis.

b. Pemeriksaan neurologis

Pemeriksaan ini penting dilakukan untuk membedakan proses degeneratif

primer atau sekunder dan kondisi komorbid lainnya. Pasien Demensia

Alzheimer onset awal pada umunya memiliki pemeriksaan neurologis yang

normal. Kelainan hanya didapatkan pada status mental pasien. Gejala

tambahan spesifik selain status mental dapat mengarah ke suatu diagnosis

tertentu. Peningkatan tonus otot dan bradikinesia dengan tidak adanya gejala

tremor mengarah pada dementia Lewy’s Body. Refleks asimetris, defisit

lapang pandang dan lateralisasi mengindikasikan dementia vaskuler.

Myoklonus sugesti pada Creutzfeldt-Jakob. Neuropati perifer dapat mengarah

pada toksin dan enselopati metabolik. Pemeriksaan pendengaran dan visus

penting untuk dilakukan karena dapat mempengaruhi pemeriksaan MMSE

(Sorbi et al, 2012). Pemeriksaan neurologis dapat juga digunakan untuk


mengetahui adanya tekanan tinggi intrakranial, gangguan neurologis fokal

misalnya: gangguan berjalan, gangguan motorik, sensorik, otonom,

koordinasi, gangguan penglihatan, pendengaran, keseimbangan, tonus otot,

gerakan abnormal/apraksia dan adanya refleks patologis dan primitif

(Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003).

c. Pemeriksaan neuropsikologis

Pemeriksaan neuropsikologis meliputi evaluasi memori, orientasi, bahasa,

kalkulasi, praksis, visuospasial dan visuoperceptual. Mini Mental State

Examination (MMSE) dan Clock Drawing Test (CDT) adalah pemeriksaan

awal yang berguna untuk mengetahui adanya disfungsi kognisi, menilai

efektivitas pengobatan dan untuk menentukan progresivitas penyakit. Nilai

normal MMSE adalah 24-30. Gejala awal demensia perlu dipertimbangkan

pada penderita dengan nilai MMSE kurang atau dibawah dari 27 terutama

pada golongan berpendidikan tinggi. Pemeriksaan aktifitas harian dengan

pemeriksaan Activity of Daily Living (ADL) dan instrumental Activity of Daily

Living (IADL) dapat pula dilakukan. Hasil pemeriksaan tersebut dipengaruhi

olehtingkat pendidikan, sosial dan budaya (Asosiasi Alzheimer Indonesia,

2003).

9. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk penegakkan demensia meliputi pemeriksaan

laboratorium, pencitraan otak, elektro ensefalografi dan pemeriksaan genetika.

a. Pemeriksaan laboratoriu

Pemeriksaan darah lengkap termasuk elektrolit, fungsi ginjal, fungsi hati, hormon

tiroid dan kadar vitamin B12. Pemeriksaan HIV dan neurosifilis pada penderita

dengan resiko tinggi. Pemeriksaan cairanotak bila terdapat indikasi.

b. Pemeriksaan pencitraan otak

Computed Tomography (CT) – Scan atau Metabolic Resonance Imaging (MRI) dapat

mendeteksi adanya kelainan struktural sedangkan Positron Emission Tomography

(PET) dan Single Photon Emission Tomography (SPECT) digunakan untuk

mendeteksi pemeriksaan fungsional. MRI menunjukkan kelainan struktur

hipokampus secara jelas dan berguna untuk membedakan demensia alzheimer

dengan demensia vaskular pada stadium awal.

c. Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG)

Pemeriksaan EEG tidak menunjukkan adanya kelainan yang spesifik. Pada

stadium lanjut ditemukan adanya perlambatan umum dan kompleks secara

periodic.

d. Pemeriksaan Genetika Apolipoprotein E (APOE) adalah suatu protein pengangkut

lipid polimorfik yang memiliki 3 allel yaitu epsilon 2, epsilon 3, dan epsilon 4.

Setiap allel mengkode bentuk APOE yang berbeda. Meningkatnya frekuensi


epsilon 4 diantara penyandang demensia Alzheimer tipe awitan lambat atau tipe

sporadik menjadikan genotif APOE epsilon 4 sebagai penanda untuk demensia.

(Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003).

2.3 Evaluasi

Evaluasi pada pasien demensia dapat dilakukan dengan menilai keapuan klien :

1. Gangguan proses fikir : bingung

Kemampuan pasien :

a. Mampu menyebutkan hari ,tanggal dan tahun sekarang dengan benar

b. Mampu menyebutkan orang yang dikenal

c. Mampu menyebutkan tempat dimana pasien berada saat ini

d. Mampu melakukan kegiatan harian sesuai jadwal

e. Mampu menggukapakan perasaannya setelah kegiatan

2. Resiko cedera

Kemampuan pasien :

a. Menyebutkan dengan bahasa sederhana faktor-faktor yang menibulakan cidera

b. Menggunakan cara yang tepat untuk mencegah cedera

c. Mengontrol aktivitas sesuai kemampuan


BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Lansia merupakan tahap akhir dari proses penuaan. Proses menjadi tua akan dialami

oleh setiap orang. Masa tua merupakan masa hidup manusia yang terakhir, dimana pada

masa ini seseorang akan mengalami kemunduran fisik, mental dan social secara bertahap

sehingga tidak dapat melakukan tugasnya sehari-hari (tahap penurunan). Penuaan

merupakan perubahan kumulatif pada makhluk hidup, termasuk tubuh, jaringan dan sel,

yang mengalami penurunan kapasitas fungsional. Pada manusia, penuaan dihubungkan

dengan perubahan degeneratif pada kulit, tulang, jantung, pembuluh darah, paru-paru,

saraf dan jaringan tubuh lainnya. Dengan kemampuan regeneratif yang terbatas, mereka
lebih rentan terkena berbagai penyakit, sindroma dan kesakitan dibandingkan dengan

orang dewasa lain.

Masalah utama yang sering terjadi pada proses penuaan lansia adalah terjadinya

perubahan dari segi fisik ketika manusia berusia lanjut seperti rambut yang mulai

memutih, kulit keriput, kondisi fisik yang mulai menurun dan menurunnya daya ingat

(pikun) atau yang sering disebut dengan dimensia

3.2 Saran

Untuk mencapai suatu keberhasilan yang baik dalam pembuatan makalah selanjutnya

maka penulis memberikan saran kepada:

1. Mahasiswa dapat menjadikan makalah ini sebagai bahan untuk belajar dan diharapkan

mahasiswa mengetahui, mengerti, dan memahami akan arti, manfaat serta akibat atau

dampak dari apa yang telah dibahas pada makalah ini.

2. Lansia diharapkan dapat melakukan latihan gerakan baik aktif maupun pasif secara

rutin untuk melatih kelenturan otot.

3. Keluarga lebih meningkatkan pengetahuan tentang demensia, agar tidak mengalami

kemunduran dan memberikan fasilitas lengkap untuk kebutuhan lansia demensia.


DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai