Anda di halaman 1dari 14

PENANGANAN PERITONITIS

Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinik akibat kegawatan di rongga


perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama.
Keadaan ini memerlukan penanggulangan segera yang sering berupa tindakan
bedah, misalnya pada obstruksi, perforasi, atau perdarahan, infeksi, obstruksi
atau strangulasi jalan cerna dapat menyebabkan perforasi yang mengakibatkan
kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis.

Peradangan peritoneum (peritonitis) merupakan komplikasi berbahaya yang


sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya
apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna,
komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen.

Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri secara


inokulasi kecil-kecilan. Kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen,
penurunan resistensi, dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif,
merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya peritonitis.

Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap
keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya
tergantung dari kemampuan melakukan analisis pada data anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

II.1. DEFINISI

Peritonitis adalah peradangan pada peritonium yang merupakan pembungkus


visera dalam rongga perut.

Peritoneum adalah lapisan tunggal dari sel-sel mesoepitelial diatas dasar


fibroelastik. Terbagi menjadi bagian viseral, yang menutupi usus dan
mesenterium; dan bagian parietal yang melapisi dinding abdomen dan
berhubungan dengan fasia muskularis.
Peritoneum viserale yang menyelimuti organ perut dipersarafi oleh sistem saraf
autonom dan tidak peka terhadap rabaan atau pemotongan. Dengan demikian
sayatan atau penjahitan pada usus dapat dilakukan tanpa dirasakan oleh pasien.
Akan tetapi bila dilakukan tarikan atau regangan organ, atau terjadi kontraksi
yang berlebihan pada otot yang menyebabkan iskemia misalnya pada kolik atau
radang seperti apendisitis, maka akan timbul nyeri. Pasien yang merasaka nyeri
viseral biasanya tidak dapat menunjuk dengan tepat letak nyeri sehingga
biasanya ia menggunakan seluruh telapak tangannya untuk menujuk daerah
yang nyeri.

Peritoneum parietale dipersarafi oleh saraf tepi, sehingga nyeri dapat timbul
karena adanya rangsang yang berupa rabaan, tekanan, atau proses radang.
Nyeri dirasakan seperti seperti ditusuk atau disayat, dan pasien dapat
menunjukkan dengan tepat lokasi nyeri.

Area permukaan total peritoneum sekitar 2 meter, dan aktivitasnya konsisten


dengan suatu membran semi permeabel. Cairan dan elektrolit kecil dapat
bergerak kedua arah.

Organ-organ yang terdapat di cavum peritoneum yaitu gaster, hepar, vesica


fellea, lien, ileum, jejenum, kolon transversum, kolon sigmoid, sekum, dan
appendix (intraperitoneum); pankreas, duodenum, kolon ascenden & descenden,
ginjal dan ureter (retroperitoneum).

II.2. ANATOMI

Dinding perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang kompleks.


Dibagian belakang struktur ini melekat pada tulang belakang sebelah atas pada
iga, dan di bagian bawah pada tulang panggul. Dinding perut ini terdiri dari
berbagai lapis, yaitu dari luar ke dalam, lapis kulit yang terdiri dari kuitis dan sub
kutis, lemak sub kutan dan facies superfisial ( facies skarpa ), kemudian ketiga
otot dinding perut m. obliquus abdominis eksterna, m. obliquus abdominis
internus dan m. transversum abdominis, dan akhirnya lapis preperitonium dan
peritonium, yaitu fascia transversalis, lemak preperitonial dan peritonium. Otot di
bagian depan tengah terdiri dari sepasang otot rektus abdominis dengan
fascianya yang di garis tengah dipisahkan oleh linea alba. 12
Peritoneum adalah mesoderm lamina lateralis yang tetap bersifat epitelial. Pada
permulaan, mesoderm merupakan dinding dari sepasang rongga yaitu coelom.
Di antara kedua rongga terdapat entoderm yang merupakan dinding enteron.
Enteron didaerah abdomen menjadi usus. Kedua rongga mesoderm, dorsal dan
ventral usus saling mendekat, sehingga mesoderm tersebut kemudian menjadi
peritonium.

Lapisan peritonium dibagi menjadi 3, yaitu:

1. Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika


serosa).
2. Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina
parietalis.

3. Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis.

Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis kanan


kiri saling menempel dan membentuk suatu lembar rangkap yang disebut
duplikatura. Dengan demikian baik di ventral maupun dorsal usus terdapat suatu
duplikatura. Duplikatura ini menghubungkan usus dengan dinding ventral dan
dinding dorsal perut dan dapat dipandang sebagai suatu alat penggantung usus
yang disebut mesenterium. Mesenterium dibedakan menjadi mesenterium
ventrale dan mesenterium dorsale. Mesenterium vebtrale yang terdapat pada
sebelah kaudal pars superior duodeni kemudian menghilang. Lembaran kiri dan
kanan mesenterium ventrale yang masih tetap ada, bersatu pada tepi kaudalnya.
Mesenterium setinggi ventrikulus disebut mesogastrium ventrale dan
mesogastrium dorsale. Pada waktu perkembangan dan pertumbuhan,
ventriculus dan usus mengalami pemutaran. Usus atau enteron pada suatu
tempat berhubungan dengan umbilicus dan saccus vitellinus. Hubungan ini
membentuk pipa yang disebut ductus omphaloentericus.

Usus tumbuh lebih cepat dari rongga sehingga usus terpaksa berbelok-belok dan
terjadi jirat-jirat. Jirat usus akibat usus berputar ke kanan sebesar 270 ° dengan
aksis ductus omphaloentericus dan a. mesenterica superior masing-masing pada
dinding ventral dan dinding dorsal perut. Setelah ductus omphaloentericus
menghilang, jirat usus ini jatuh kebawah dan bersama mesenterium dorsale
mendekati peritonium parietale. Karena jirat usus berputar bagian usus disebelah
oral (kranial) jirat berpindah ke kanan dan bagian disebelah anal (kaudal)
berpindah ke kiri dan keduanya mendekati peritoneum parietale.

Pada tempat-tempat peritoneum viscerale dan mesenterium dorsale mendekati


peritoneum dorsale, terjadi perlekatan. Tetapi, tidak semua tempat terjadi
perlekatan. Akibat perlekatan ini, ada bagian-bagian usus yang tidak mempunyai
alat-alat penggantung lagi, dan sekarang terletak disebelah dorsal peritonium
sehingga disebut retroperitoneal. Bagian-bagian yang masih mempunyai alat
penggantung terletak di dalam rongga yang dindingnya dibentuk oleh peritoneum
parietale, disebut terletak intraperitoneal. Rongga tersebut disebut cavum
peritonei.. dengan demikian:

· Duodenum terletak retroperitoneal;

 ·Jejenum dan ileum terletak intraperitoneal dengan alat penggantung


mesenterium;
 Colon ascendens dan colon descendens terletak retroperitoneal;

 Colon transversum terletak intraperitoneal dan mempunyai alat


penggantung disebut mesocolon transversum;

 Colon sigmoideum terletak intraperitoneal dengan alat penggatung


mesosigmoideum; cecum terletak intraperitoneal;

 Processus vermiformis terletak intraperitoneal dengan alat penggantung


mesenterium.

Di berbagai tempat, perlekatan peritoneum viscerale atau mesenterium pada


peritoneum parietale tidak sempurna, sehingga terjadi cekungan-cekungan di
antara usus (yang diliputi oleh peritoneum viscerale) dan peritoneum parietale
atau diantara mesenterium dan peritoneum parietale yang dibatasi lipatan-
lipatan. Lipatan-lipatan dapat juga terjadi karena di dalamnya berjalan pembuluh
darah. Dengan demikian di flexura duodenojejenalis terdapat plica duodenalis
superior yang membatasi recessus duodenalis superior dan plica duodenalis
inferior yang membatasi resesus duodenalis inferior.
Pada colon descendens terdapat recessus paracolici. Pada colon sigmoideum
terdapat recessus intersigmoideum di antara peritoneum parietale dan
mesosigmoideum.

Stratum circulare coli melipat-lipat sehingga terjadi plica semilunaris. Peritoneum


yang menutupi colon melipat-lipat keluar diisi oleh lemak sehingga terjadi
bangunan yang disebut appendices epiploicae.

Dataran peritoneum yang dilapisis mesotelium, licin dan bertambah licin karena
peritoneum mengeluiarkan sedikit cairan. Dengan demikian peritoneum dapat
disamakan dengan stratum synoviale di persendian. Peritoneum yang licin ini
memudahkan pergerakan alat-alat intra peritoneal satu terhadap yang lain.
Kadang-kadang , pemuntaran ventriculus dan jirat usus berlangsung ke arah
yang lain. Akibatnya alat-alat yang seharusnya disebelah kanan terletak
disebelah kiri atau sebaliknya. Keadaan demikian disebut situs inversus.

II.3. ETIOLOGI

Peritonitis dapat disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen berupa inflamasi


dan penyulitnya misalnya perforasi appendisitis, perforasi tukak lambung,
perforasi tifus abdominalis. Ileus obstruktif dan perdarahan oleh karena perforasi
organ berongga karena trauma abdomen.

II.4. PATOFISOLOGI

Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan
fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga
membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang,
tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan
obstuksi usus.

Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran


mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan
agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator,
seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga
membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena
tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit
oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya
meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.

Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami


oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-
organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan
lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem
dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia.
Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak
ada, serta muntah.

Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut


meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh
menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.

Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila
infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan
peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus
kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam
lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria.
Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan
dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi
usus.

5. KLASIFIKASI

Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Peritonitis bakterial primer

Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen


pada cavum peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen.
Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli, Streptococus atau
Pneumococus. Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya
malnutrisi, keganasan intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi.
Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal
kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites.

b. Peritonitis bakterial akut sekunder (supurativa)

Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractus


gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak
akan menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme
dapat memperberat terjadinya infeksi ini. Bakterii anaerob, khususnya spesies
Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan
infeksi.

Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat
suatu peritonitis.

c. Peritonitis non bakterial akut

Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii misalnya


empedu, getah lambung, getah pankreas, dan urine.

d. Peritonitis bakterial kronik (tuberkulosa)

Secara primer dapat terjadi karena penyebaran dari fokus di paru, intestinal atau
tractus urinarius.

e. Peritonitis non bakterial kronik (granulomatosa)

Peritoneum dapat bereaksi terhadap penyebab tertentu melaluii pembentukkan


granuloma, dan sering menimbulkan adhesi padat. Peritonitis granulomatosa
kronik dapat terjadi karena talk (magnesium silicate) atau tepung yang terdapat
disarung tangan dokter. Menyeka sarung tangan sebelum insisi, akan
mengurangi masalah ini.

MANIFESTASI KLINIS

Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda –
tanda rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan
dan defans muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di bawah
diafragma. Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan
sementara usus.

Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan terjadi
takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok.

Rangsangan ini menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan


pergeseran peritonium dengan peritonium. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu
penderita bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif
berupa nyeri jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau
tes lainnya.

DIAGNOSIS

Diagnosis dari peritonitis dapat ditegakkan dengan adanya gambaran klinis,


pemeriksaan laboratorium dan X-Ray.

a. Gambaran klinis

Gambaran klinisnya tergantung pada luas peritonitis, berat peritonitis dan


jenis organisme yang bertanggung jawab. Peritonitis dapat lokal, menyebar, atau
umum. Gambaran klinis yang biasa terjadi pada peritonitis bakterial primer yaitu
adanya nyeri abdomen, demam, nyeri lepas tekan dan bising usus yang
menurun atau menghilang. Sedangkan gambaran klinis pada peritonitis bakterial
sekunder yaitu adanya nyeri abdominal yang akut. Nyeri ini tiba-tiba, hebat, dan
pada penderita perforasi (misal perforasi ulkus), nyerinya menjadi menyebar
keseluruh bagian abdomen. Pada keadaan lain (misal apendisitis), nyerinya
mula-mula dikarenakan penyebab utamanya, dan kemudian menyebar secara
gradual dari fokus infeksi. Selain nyeri, pasien biasanya menunjukkan gejala dan
tanda lain yaitu nausea, vomitus, syok (hipovolemik, septik, dan neurogenik),
demam, distensi abdominal, nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus
atau umum, dan secara klasik bising usus melemah atau menghilang. Gambaran
klinis untuk peritonitis non bakterial akut sama dengan peritonitis bakterial.

Peritonitis bakterial kronik (tuberculous) memberikan gambaran klinis adanya


keringat malam, kelemahan, penurunan berat badan, dan distensi abdominal;
sedang peritonitis granulomatosa menunjukkan gambaran klinis nyeri abdomen
yang hebat, demam dan adanya tanda-tanda peritonitis lain yang muncul 2
minggu pasca bedah.

b. Pemeriksaan laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya lekositosis, hematokrit


yang meningkat dan asidosis metabolik.

Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak protein (lebih


dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil tuberkel diidentifikasi dengan
kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara laparoskopi memperlihatkan
granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar diagnosa sebelum
hasil pembiakan didapat.

c. Pemeriksaan X-Ray

Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis; usus halus dan
usus besar berdilatasi. Udara bebas dapat terlihat pada kasus-kasus perforasi. 5

III.2. GAMBARAN RADIOLOGIS

Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan


dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan
foto polos abdomen 3 posisi, yaitu : (rasad)

1. Tiduran telentang ( supine ), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi


anteroposterior ( AP ).
2. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan
sinar horizontal proyeksi AP.

3. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar


horizontal, proyeksi AP.
Gambaran radiologis pada peritonitis secara umum yaitu adanya kekaburan
pada cavum abdomen, preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya
udara bebas subdiafragma atau intra peritoneal.

7. TERAPI

Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang
dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi
saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan
fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin
mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.

Resusitasi dengan larutan saline isotonik sangat penting. Pengembalian volume


intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen, nutrisi, dan
mekanisme pertahanan. Keluaran urine tekanan vena sentral, dan tekanan darah
harus dipantau untuk menilai keadekuatan resusitasi.

Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat.


Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian diubah
jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada
organisme mana yang dicurigai menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum luas
juga merupakan tambahan drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup
pada saat pembedahan, karena bakteremia akan berkembang selama operasi.

Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi
laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang
menghasilkan jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka serta ditutup.
Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi. Tehnik
operasi yang digunakan untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada
lokasi dan sifat patologis dari saluran gastrointestinal. Pada umumnya,
kontaminasi peritoneum yang terus menerus dapat dicegah dengan menutup,
mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang perforasi.

Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan


menggunakan larutan kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi
ketempat yang tidak terkontaminasi maka dapat diberikan antibiotika ( misal
sefalosporin ) atau antiseptik (misal povidon iodine) pada cairan irigasi. Bila
peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan lavase peritoneum, karena
tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain.

Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain
itu dengan segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat
menjadi tempat masuk bagi kontaminan eksogen. Drainase berguna pada
keadaan dimana terjadi kontaminasi yang terus-menerus (misal fistula) dan
diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat direseksi.

8. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding dari peritonitis adalah apendisitis, pankreatitis, gastroenteritis,


kolesistitis, salpingitis, kehamilan ektopik terganggu, dll.

9. KOMPLIKASI

Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana


komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu :
(chushieri)

a. Komplikasi dini

 Septikemia dan syok septik

 Syok hipovolemik

 Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol


dengan kegagalan multi sistem

 Abses residual intraperitoneal

 Portal Pyemia (misal abses hepar)

b. Komplikasi lanjut

 · Adhesi

 · Obstruksi intestinal rekuren


10. PROGNOSIS

Prognosis untuk peritonitis lokal dan ringan adalah baik, sedangkan pada
peritonitis umum prognosisnya mematikan akibat organisme virulen.

KESIMPULAN

1. Peritonitis adalah peradangan pada peritonium yang merupakan


pembungkus visera dalam rongga perut.
2. Etiologi peritonitis dapat disebabkan karena perforasi organ berongga
atau perdarahan organ padat.
3. Menurut patogenesisnya diklasifikasikan menjadi : peritonitis bakterial
primer & sekunder, peritonitis non bakterial akut, peritonitis tuberkulosa,
dan peritonitis granulomatosa.
4. Manifestasi klinis dari peritonitis adalah nyeri perut, defans muskular, suhu
badan tinggi, nyeri tekan lepas, tanda – tanda syok. Adanya udara bebas
dalam jumlah banyak menyebabkan pekak hati menghilang. Peristaltik
usus menurun atau menghilang.
5. Diagnosa peritonitis dapat ditegakkan dengan adanya gambaran klinis,
pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan penunjang.
6. Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit, pemberian
antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna, pembuangan fokus
septik, bila mungkin mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan
menghilangkan nyeri.
7. Diagnosis bandingnya adalah appendisitis, pankreatitis, gastroenteritis,
kolesistitis, salpingitis, kehamilan ektopik terganggu, dll.
8. Komplikasi dari peritonitis meliputi komlpikasi dini dan komplikasi lanjut.
9. Prognosisnya baik untuk peritonitis lokal dan ringan, dan pada peritonitis
umum prognosisnya mematikan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Arief M, Suprohaita, Wahyu.I.K, Wieiek S, 2000, Bedah Digestif, dalam


Kapita Selekta Kedokteran, Ed:3; Jilid: 2; p 302-321, Media Aesculapius
FKUI, Jakarta.
2. Wim de jong, Sjamsuhidayat.R, 1997, Gawat Abdomen, dalam Buku ajar
Ilmu Bedah; 221-239, EGC, Jakarta.
3. Way. L. W., 1998, Peritoneal Cavity in Current Surgical Diagnosis &
Treatment, 7th Ed., Maruzen, USA.
4. Wilson. L. M., Lester. L .B., 1995, Usus kecil dalam Patofisiologi Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed.4, alih bahasa dr. Peter Anugrah, EGC,
Jakarta.
5. Schrock. T. R., 2000, Peritonitis dan Massa abdominal dalam Ilmu Bedah,
Ed.7, alih bahasa dr. Petrus Lukmanto, EGC, Jakarta.
6. Kumpulan catatan kuliah, 1997, Radiologi abdomen, Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, yogyakarta.
7. Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I, 1999, Abdomen Akut, dalam
Radiologi Diagnostik, p 256-257, Gaya Baru, jakarta.
8. Schwartz. S. J., Shires. S. T. S., Spencer. F.C., 2000, Peritonitis dan
Abces Intraabdomen dalam Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah, Ed.6, alih
bahasa dr. Laniyati, EGC, Jakarta.
9. Dahlan. M., Jusi. D., Sjamsuhidajat. R., 2000, Gawat Abdomen dalam
Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC, Jakarta
10. Putz.R., Pabst.R., 1997, Sobotta, Atlas Anatomi Manusia, EGC, Jakarta
11. Hoyt. D. B., Mackersie. R. C., 1988, Abdominal Injuries in Essential
Surgical Practice, 2nd Ed, John Wright, Bristol.
12. Wim de jong, Sjamsuhidayat.R, 1997, Dinding Perut, dalam Buku ajar
Ilmu Bedah; 696, EGC, Jakarta.
13. Anonim, 2002, Abdomen, Bagian Anatomi FK UGM, Yogyakarta
14. Darmawan. M., 1995, Peritonitis dalam Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah,
FKUI, Jakarta
15. Sulton, David,1995, Gastroenterologi, dalam Buku ajar Radiologi untuk
Mahasiswa Kedokteran, Ed:5,p 34-38, Hipokrates, Jakarta.
16. Anonim, 1998, Dorland, Kamus Saku Kedokteran, EGC, Jakarta.
17. Rotstein. O. D., Simmins. R. L., 1997, Peritonitis dan Abses Intra-
abdomen dalam Terapi Bedah Mutakhir, Jilid 2, Ed.4, alih bahasa dr.
Widjaja Kusuma, Binarupa Aksara, Jakarta
18. Cuschieri. A., 1988, Peritonitis in Essential Surgical Practice, 2nd Ed., John
Wright, Bristol

Anda mungkin juga menyukai