Anda di halaman 1dari 23

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Seksio Cesarea

1. Pengertian

Seksio Caesarea didefinisikan sebagai lahirnya janin melalui insisi

pada dinding abdomen (laparatomi) dan dinding uterus (histerektomi)

(Rasjidi, 2009).

Seksio sesarea adalah persalinan melalui sayatan pada dinding

abdomen dan uterus yang maih utuh dengan berat janin >1000 gr atau

kehamilan >28 minggu (Manuaba, 2012)

Operasi seksio sesarea adalah operasi pembedahan untuk melahirkan

bayi melalui perut ibu. Meskipun kesehatan ibu dan bayi lebih terjamin,

bukan berarti operasi ini tidak bisa mengalami komplikasi. (I Made C.

Wirawan,2013).

2. Indikasi Seksio Cesarea

a. Indikasi Ibu

1) Panggul sempit absolut

2) Kegagalan melahirkan secara normal karena kurang adekuatnya

stimulasi

3) Tumor-tumor jalan lahir yang menyebabkan obstruksi

4) Stenosis serviks atau vagina

5) Plasenta previa

6) Disproporsi sefalopelvik

9
10

7) Ruptur uteri

b. Indikasi Janin

1) Kelainan letak

2) Gawat janin

3) prolapsus plasenta

4) Perkembangan bayi yang terhambat

5) Mencegah hiposia janin, misalnya karena pre-eklamsi

(Rasjidi, 2009).

3. Jenis-jenis Operasi Seksio Caesarea

a. Sectio caesarea segmen bawah (SCSB)

Insisi melintang dilakukan pada segmen bawah uterus. Segmen

bawah uterus tidak begitu banyak mengandung pembuluh darah

dibandingkan segmen atas sehingga resiko perdarahan lebih kecil.

Kemungkinan infeksi pascabedah juga tidak begitu besar. Kesembuhan

luka biasanya baik karena segmen bawah merupakan bagian uterus

yang tidak begitu aktif (Farrer, 2008).

b. Sectio caesarea klasik

Insisi klasik hanya kadang-kadang dilakukan dilakukan. Cara ini

dikerjakan kalau segmen bawah tidak terjangkau karena adanya

pelekatan atau rintangan plasenta, kalau terdapat vena varikosa pada

segmen bawah, dan kadang-kadang juga dilakukan bagi janin yang

letaknya melintang serta untuk melakukan histerektomi caesarea

(Farrer, 2008).
11

4. Komplikasi Persalinan Seksio Sesarea

a. Infeksi puerperal (nifas)

b. Perdarahan

1) Pembuluh darah banyak yang terbuka dan putus

2) Atonia uteri

3) Perdarahan pada placental bed

c. Luka kandung kemih, emboli paru dan keluhan kandung kemih bila

reperitonialisasi terlalu tinggi

d. Rupture uteri spontan pada kehamilan berikutnya

(Sofian, 2015)

5. Perawatan post sectio caesarea

a. Ruang Pemulihan

Saat pasien sadar dari anestesi umum atau saat efek anestesia regional

mulai hilang, palpasi abdomen kemungkinan besar menyebabkan rasa

nyeri yang hebat. Perban yang tebal dengan banyak plester di atas

abdomen dapat mengganggu palpasi dan masase fundus serta

menimbulkan rasa nyeri sewaktu perban dilepas. Bila pasien sudah

sadar penuh serta perdarahan minimal, ia sudah dapat masuk ke ruang

perawatan

b. Ruang Perawatan

1) Tanda-Tanda Vital

Setelah pulih dari anestesi, observasi harus dilanjutkan tiap

setengah jam selama 2 jam pertama dan tiap jam selama minimal

4 jam setelah hasilnya stabil atau memeuaskan. Tanda vital yang


12

diobservasi meliputi, tekanan darah, nadi, jumlah urin, jumlah

perdarahan, status fundus uteri, dan suhu tubuh.

2) Analgesik

Untuk wanita dengan berat badan rata-rata, dapat diberikan paling

banyak setiap 3 jam untuk menghilangkan nyeri:

a) Meperidin 75-100 mg intramuskuler

b) Morfin sulfat 10-15 mg intramuskuler

Pada pasien yang menggunakan opioid, harus dilakukan

pemeriksaan rutin tiap jam untuk memantau respirasi, sedasi dan

skor nyeri selama pemberian sekurang-kurangnya 2 jam setelah

penghentian pengobatan. Pemberian opioid dapat diberikan hingga

nyeri berkurang. Jika tidak terdapat kontraindikasi, pemberian

NSAID dapat diberikan untuk mengurangi kebutuhan opioid.

3) Terapi Cairan dan Makanan

a) 3 liter cairan untuk 24 jam pertama setelah tindakan

b) Apabila urin <30 ml/jam, nilai kembali apakah ada

pengeluaran darah yang tidak diketahui, efek antidiuretik dari

infus oksitoksin, atau lainnya.

4) Pengawasan Fungsi Vesika Urinaria dan Usus

a) Kateter dapat dilepas ≥12 jam

b) Makanan padat dapat diberikan ≥8 jam, bila tidak ada

komplikasi
13

c) Ileus paralitik jarang terjadi. Bila terjadi dapat dilakukan

dengan dekompresi nasogastric, suplementasi elektrolit,

bisakodil 10 mg supositoria rektum

5) Ambulasi

Pada sebagian besar kasus, satu hari setelah pembedahan

pasien dapat turun sebentar dari tempat tidur dengan bantuan,

paling sedikit dua kali. Waktu ambulasi diatur agar analgetik yang

baru diberikan dapat mengurangi rasa nyeri. Pada hari kedua

pasien dapat berjalan dengan bantuan. Dengan ambulasi dini,

trombosis vena dan emboli paru jarang terjadi.

6) Perawatan Luka

Luka insisi diperiksa setiap hari dan jahitan kulit (atau klip)

diangkat pada hari keempat setelah pembedahan. Pada hari ketiga

pascapersalinan, mandi dengan pancuran tidak membahayakan

luka insisi. Hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain:

a) Jaringan subkutan yang tebal (>3 cm) merupakan faktor

risiko untuk infeksi luka operasi. Oleh karena itu, perlu

pemantauan terhadap tanda-tanda infeksi dan demam

b) Perlu diberitahukan untuk tetap membersihkan luka dan

menjaganya agar tetap kering setiap hari

c) Gunakan pakaian yang longgar, nyaman, dan berbahan

katun
14

7) Pemeriksaan Laboratorium

Hematokrit dan hemoglobin secara rutin diukur pada pagi

hari setelah pembedahan. Pemeriksaan ini dilakukan lebih dini

apabila terdapat kehilangan darah yang banyak selama operasi

atau terjadi oliguria atau tanda-tanda lain yang mengisyaratkan

hipovolemia. Apabila hematokrit menurun secara bermakna

dibandingkan dengan kadar praoperasi, pemeriksaan diulang dan

dilakukan pemeriksaan untuk mengidentifikasi penyebab

penurunan tersebut. Bila hematokrit rendah tapi stabil, pasien

dapat diambulasi tanpa kesulitan. Jika terdapat kemungkinan

untuk terjadinya sedikit pengeluaran darah lanjutan, pasien lebih

baik diberi terapi suplemen besi untuk memperbaiki keadaan

hematologisnya.

8) Menyusui

Menyusui dapat dimulai pada hari pascaoperasi sectio

caesarea. Apabila pasien memutuskan untuk tidak menyusui,

dapat diberikan bebat untuk menopang payudara tanpa terlalu

menekan dan biasanya dapat menggurangi rasa nyeri.


15

B. Luka

1. Pengertian

Luka adalah gangguan atau kerusakan integritas dan fungsi jaringan

tubuh (Suriadi, 2007). Menurut Potter & Perry (2006) luka adalah

rusaknya struktur dan fungsi anatomis kulit normal akibat proses patologis

yang berasal dari internal dan eksternal, serta mengenai organ tertentu.

2. Klasifikasi Luka

a. Luka tertutup

Adalah luka dimana jaringan yang ada pada permukaan tidak rusak

seperti terkilir, patah tulang.

b. Luka terbuka

Adalah dimana kulit atau jaringan selaput lendir rusak, kerusakan

ini dapat terjadi karena kesenjangan, seperti pada tindakan operasi.

Luka yang tidak dibuat dengan sayatan merupakan sebab dari

kecelakaan yang kita sebut traumatis. Bentuk luka yang sering muncul :

1) Luka bakar

Luka yang disebabkan oleh api atau benda panas lainnya.

2) Luka robek

Luka dengan epi tidak beraturan atau compang camping biasanya

karena goresan benda tumpul.

3) Luka tusuk

Luka akibat tusukan benda runcing biasanya kedalaman luka lebih

besar daripada lebarnya.

4) Luka lecet
16

Luka ini akibat permukaan epidermis mengalami cedera akibat

bersentuhan dengan benda permukaan kasar

5) Luka sayat

Luka iris yang ditandai dengan tepi luka berupa garis lurus dan

beraturan.

6) Luka gigitan binatang

Luka yang disebabkan oleh gigitan binatang seperti gigitan anjing

atau ular.

(Potter & Perry, 2006).

3. Pengkajian Infeksi pada Luka

a. Data dasar subjektif : pasien akan mengeluh luka semakin nyeri, dan

badan terasa panas dingin

b. Data dasar objektif :

1) Dolor adalah rasa nyeri, nyeri akan terasa pada jaringan yang

mengalami infeksi. Hal ini terjadi karena sel yang mengalami infeksi

mengeluarkan zat tertentu sehingga menimbulkan nyeri.

2) Kalor adalah rasa panas pada daerah yang mengalami infeksi dan

teraba panas, ini terjadi karena tubuh mengkompensasi aliran darah

lebih banyak ke area yang mengalami infeksi untuk mengirim lebih

banyak antibody dalam memerangi penyebab infeksi.

3) Tumor adalah area yang mengalami infeksi akan mengalami

pembengkakan karena penigkatan permeabilitas sel dan peningkatan

aliran darah.
17

4) Rubor adalah kemerahan, hal ini terjadi pada area yang mengalami

infeksi karena peningkatan aliran darah ke area tersebut sehingga

menimbulkan kemerahan

5) Fungsio Lasea adalah perubahan fungsi dari jaringan yang

mengalami infeksi.

(Ari Sulistyawati, 2009).

C. Penyembuhan Luka

1. Pengertian

Penyembuhan luka adalah proses perbaikan struktur dan fungsi

setelah jaringan mengalami injuri. Penyembuhan luka adalah suatu proses

yang kompleks dengan melibatkan banyak sel untuk perbaikan normal

(Suriadi, 2007).

Penyembuhan luka adalah proses dinamis yang mulai pada saat

cedera dan menetap selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun setelah

cedera atau proses yang kemudian terjadi pada jaringan yang rusak

(Sjamsuhidajat, 2005).

Penyembuhan luka post op Sectio Caesarea (SC) adalah faktor

penting pasca operasi yang selalu dihadapi dan merupakan fenomena

kompleks yang melibatkan berbagai proses diantaranya inflamasi,

destruktif, proliferative, maturasi (Morison, 2004).

Menurut Dini Kasdu (2012), proses penyembuhan luka pasien post

operasi seksio caesarea dikatakan sembuh jika luka tidak terdapat tanda-

tanda infeksi selama masa perawatan 3-5 hari.


18

2. Fase Penyembuhan Luka

a. Fase inflamasi atau log fase

Fase inflamasi merupakan reaksi tubuh terhadap luka yang dimulai

setelah beberapa menit yang berlangsung selama sekitar 3 hari setelah

cedera. Proses perbaikan terdiri dari mengontrol perdarahan (hemostasis),

mengirim darah yang dan sel ke area yang mengalami inflamasi dan

membentuk sel-sel epitel pada tempat cidera (epitelisasi). Selama proses

hemostasis, pembuluh darah yang cedera akan mengalami konstriksi dan

trombosit berkumpul untuk menghentikan perdarahan. Bekuan-bekuan

darah membentuk matriks fibrin yang nantinya akan menjadi kerangka

untuk perbaikan sel (Potter & Perry, 2006)

Jaringan rusak dan sel mast menyekresi histamine, yang

menyebabkan vasodilatasi kapiler disekitarnya dan mengeluarkan serum

dan sel darah utih kedalam jaringan yang rusak. Hal yang menimbulkan

kemerahan, edema, hangat dan nyeri lokal. Respon inflamasi merupakan

respon yang menguntungkan dan tidak perlu mendinginkan area

inflamasi atau mengurangi bengkak kecuali jika bengkak tersebut terjadi

dalam ruangan tertutup, misalya : kaki atau leher (Potter & Perry, 2005).

Leukosit (sel darah putih) akan mencapai luka dalam beberapa jam.

Leukosit utama yang bekerja pada luka adalah neutrofil, yang mulai

memakan bakteri dan febris yang kecil. Neutrofil mati dalam beberapa

hari dan meninggalkan eksudat enzim yang akan menyerang bakteri atau

membantu perbaikan jaringan. Leukosit penting yang kedua adalah

monosit yang akan berubah menjadi makrofag. Makrofag adalah sel


19

kantong sampah yang akan membersihkan luka dari bakteri, sel-sel mati

dan debris dengan cara fagositosis. Makrofag juga mencerna dan

mendaur ulang zat-zat tertentu, seperti amino dan gula, yang dapat

membantu perbaikan luka. (Potter & Perry, 2006).

Makrofag akan melanjutkan proses pembersihan debris luka

menarik lebih banyak makrofag dan menstimulasi pembentukan

fibroblast, yaitu sel yang mensintesis kolagen. Kolagen dapat ditemukan

paling cepat pada hari kedua dan menjadi komponen utama jaringan

parut. Akhirnya di atas luka akan terbetuk lapisan tipis dari jaringan

epitel dan menjadi barier terhadap organisme penyebab infeksi dari zat-

zat beracun (Potter & Perry, 2006).

b. Fase Proliferasi atau Regenerasi

Dengan munculnya pembuluh darah baru sebagai hasil

rekonstruksi, fase proliferasi terjadi dalam waktu 3 hari sampai dengan 3

minggu. Pada fase ini tidak ditemukan tanda inflamasi pada luka.

Aktivitas utama selama fase regenerasi ini adalah mengisi luka dengan

jaringan penyambung atau jaringan granulasi yang baru dan menutup

bagian atas luka dengan epitelisasi. Fibroblast adalah sel-sel yang

mensistesis kolagen yang akan menutup defek luka. Fibroblast

membutuhkan vitamin B dan C, oksigen dan asam amino agar dapat

berfungsi dengan baik. Kolagen memberikan kekuatan dan integritas

struktur pada luka (Potter & Perry, 2006).

Selama periode ini luka mulai tertutup oleh jaringan yang baru.

Bersamaan dengan proses rekonstruksi yang terus berlangsung, daya


20

elastisitas luka meningkat pada resiko terpisah atau ruptur luka akan

menurun. Tingkat tekanan pada luka mempengaruhi jumlah jaringan

parut yang terbentuk. Gangguan proses penyembuhan selama fase ini

biasanya disebabkan oleh faktor sistemik, seperti usia, anemia,

hipoproteinemia, dan defisiensi zat besi (Potter & Perry, 2006).

c. Fase Maturasi ( Remodeling)

Fase maturasi merupakan tahap terakhir proses penyembuhan luka,

dapat memerlukan waktu lebih dari satu tahun, bergantung pada

kedalaman dan keluasan luka. Jaringan parut kolagen terus melakukan

reorganisasi dan akan menguat setelah beberapa bulan. Namun, luka

yang telah sembuh biasanya tidak memiliki elastisitas yang sama dengan

jaringan yang digantikannya. Serat kolagen mengalami remodeling atau

reorganisasi sebelum mencapai bentuk normal. Biasanya jaringan parut

mengandung lebih sedikit sel-sel pigmentasi (melanosit) dan memiliki

warna yang lebih terang daripada warna kulit normal (Potter & Perry,

2006).

3. Komplikasi Luka

a. Hemoragi atau perdarahan

Perdarahan dari daerah luka merupakan hal yang normal terjadi

selama dan sesaat setelah trauma. Hemostasis terjadi dalam beberapa

menit kecuali jika pembuluh darah besar atau fungsi atau fungsi

pembekuan darah klien buruk. Perdarahan terjadi setelah hemostasis

menunjukkan lepasnya jahitan operasi, keluarnya bekuan darah, infeksi


21

atau erosi pembuluh darah oleh benda asing. Perdarahan dapat terjadi

secara eksternal atau internal (Potter & Perry, 2006)

b. Infeksi

Infeksi luka adalah infeksi nasokomial (infeksi yang berhubungan

dengan rumah sakit) dan merupakan infeksi nosokomial kedua yang

paling sering terjadi di rumah sakit. Resiko infeksi lebih besar terjadi

jika luka mengandung jaringan mati atau nekrotik, terdapat benda asing

pada atau di dekat luka, dan suplai darah serta pertahanan jaringan di

sekitar luka menurun. Infeksi oleh bakteri akan menghambat

penyembuhan luka. Infeksi luka operasi biasanya tidak terjadi sampai

hari ke-4 atau ke-5 setelah operasi (Potter & Perry, 2006).

c. Dehisensi luka

Dehisensi luka merupakan pecahnya luka secara sebagian atau

seluruhnya atau terpisahnya luka secara parsial atau total. Klien dengan

penyembuhan luka yang buruk beresiko mengalami dehisensi. Klien

dengan obesitas juga beresiko tinggi mengalami dehisensi karena

adanya renggangan yang konstan pada luka dan buruknya kualitas

penyembuhan luka pada jaringan lemak. Dehisensi sering terjadi pada

luka pembedahan abdomen dan terjadi setelah renggangan mendadak,

misalnya batuk, muntah, atau duduk tegak di tempat tidur (Potter &

Perry, 2006).
22

4. Klasifikasi penyembuhan luka

a. Penyembuhan luka sekunder

Luka yang dibiarkan terbuka yang kemudian terisi jaringan granulasi

yang kemudian ditutupi oleh jaringan epitel. Cara ini biasanya memakan

waktu yang lama dan meninggalkan parut yang kurang baik, terutama

kalau lukanya menganga lebar.

b. Penyembuhan luka primer

Penyembuhan primer didapat bila luka luka bersih, tidak terinfeksi,

dan dijahit dengan baik, dan terjadi bila luka segera diusahakan bertautan

(Sjamsuhidajat, 2005)

D. Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka

Menurut Barbara J. Gruendemann (2009) faktor yang

mempengaruhi proses penyembahan luka, yaitu usia, nutrisi, mobilisasi

dini, merokok, kegemukan, stress luka, adanya Patologi.

a. Usia

Usia adalah jumlah tahun dihitung sejak lahir sampai dengan

ulang tahun terakhir berdasarkan pengakuan sendiri. (Damayanti,

2014). Usia dapat mengganggu tahapan penyembuhan luka seperti

perubahan vaskuler mengganggu sirkulasi daerah luka, penurunan

fungsi hati mengganggu sintesis factor pembekuan, respons inflamasi

lambat, pembentukan antibody dan limfosit menurun, jaringan

kolagen kurang lunak, jaringan parut kurang elastis. (Potter & Perry,

2006).
23

Kulit utuh pada dewasa muda yang sehat merupakan suatu

barier yang baik terhadap trauma mekanis dan juga infeksi, begitupun

yang berlaku pada efisiensi sistem imun, system kardiovaskuler dan

sistem respirasi yang memungkinkan penyembuhan luka lebih cepat.

(Morison, 2004).

Kategori usia adalah berisiko (> 35 tahun) dan tidak berisiko (≤

35tahun). (Damayanti, 2014). Usia > 35 tahun fungsi-fungsi organ

reproduksi mulai menurun, sehingga berisiko untuk menjalani

kehamilan. Karena usia 35 tahun atau lebih merupakan kriteria

kehamilan risiko tinggi (KRT), setiap kehamilan dengan factor risiko

tinggi akan menghadapi ancaman morbiditas atau mortalitas ibu dan

janin, baik dalam kehamilan, persalinan maupun nifas. (Bartini, 2013)

Seiring dengan bertambahnya usia, perubahan yang terjadi di

kulit yaitu frekuensi penggunaan sel epidermis, respon inflamasi

terhadap cedera, persepsi sensoris, proteksi mekanis, dan fungsi

barier kulit. (Morison, 2004). Penuaan dapat menganggu semua tahap

penyembuhan luka karena terjadi perubahan vaskuler yang

menganggu sirkulasi ke daerah luka, penurunan fungsi hati

menganggu sintesis factor pembekuan, respons inflamasi lambat,

pembentukan antibodi dan limfosit menurun, jaringan kolagen kurang

lunak, jaringan parut kurang elastis. (Potter & Perry, 2006)

Pada dewasa ada suatu penurunan vascularitas dermal,

penurunan densitas kolagen, fregmentasi elastin, dan penurunan

jumlah sel mast. Pada orang tua terjadi penurunan proses


24

penyembuhan luka termasuk respon terhadap radang. Walaupun orang

tua memiliki perubahan fisiologik, akan tetapi tingkatan penyembuhan

adalah dalam batas normal atau sedikit terlambat karena adanya

penyakit kronik (Suriadi, 2007). Sebagai contoh penurunan fungsi hati

dapat mengganggu sintesis pembekuan darah.

b. Nutrisi

Nutrisi adalah aspek yang paling penting dalam pencegahan dan

pengobatan pada luka. Oleh karena itu pengkajian nutrisi dalam

perawatan luka adalah kunci untuk intervensi. Berdasarkan

pengkajian, intervensi nutrisi harus teseleksi sehingga diharapkan

tepat dalam penanganannya (Suriadi, 2004).

Nutrisi berfungsi untuk penyembuhan dalam seluler, struktur,

dan proses imun pada fase penyembuhan luka. Seperti zat besi dan

zinc berperan di tingkat seluler seperti sintesis DNA, pembagian sel

dan proliferasi. Protein, zat besi, zinc dan vitamin A dan C adalah

unsur penting dalam proses struktural seperti sintesi kolagen dan

penguatan dan reepitelialisasi (Suriadi, 2004).

Kekurangan zat besi akan menyebabkan iskemik jaringan,

gangguan keterikatan kolagen, dan menurunkan kekuatan luka. Zat

besi diperlukan untuk mengoptimalkan perfusi jaringan dengan

transportasi oksigen ke jaringan yang diperlukan untuk sintesis

kolagen.

Penyembuhan luka akan tergantung pada suplai oksigen. Hal ini

dikarenakan oksigen merupakan kritikal untuk lekosit dalam


25

menghancurkan bakteri dan untuk fibroblas dalam menstimulasi

sintesis kolagen. Dalam kedaan anemmia faktor penting adalah terjadi

penurunan oksigen jaringan dan menghambat penyembuhan luka.

Status gizi adalah suatu ukuran mengenai kondisi tubuh

seseorang yang dapat dilihat dari makanan yang dikonsumsi dan

penggunaan zat-zat gizi di dalam tubuh. Status gizi dibagi menjadi

tiga kategori, yaitu status gizi kurang, gizi normal, dan gizi lebih

(Almatsier, 2008).

Metode penilaian status nutrisi dapat dibagi menjadi dua bagian,

yaitu penelitian secara langsung diantaranya adalah antropometri,

klinis, biokimia dan biofisik, sedangkan penilaian secara tidak

langsung diantaranya adalah survey konsumsi pangan, statistik vital,

dan factor ekologi.

Penilaian Antropometri adalah macam pengukuran dimensi

tubuh dan komposisi dari tingkat umur dan tingkat gizi. Berbagai jenis

ukuran tubuh antara lain tiggi badan, berat badan, lingkar lengan atas,

dan tebal lemak di bawah kulit. Secara umum, antropometri

digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan/konsumsi protein

dan energy. Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan

fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan jumlah air

dalam tubuh. ( Supriasa, 2012)

Penilaian status gizi berdasarkan indeks massa tubuh dapat

diukur menggunakan parameter tunggal seperti umur, berat badan,

tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, dan
26

lingkar pinggul. Pada umumnya status gizi menggunakan parameter

gabungan seperti : Berat Badan menurut Umur (BB/U), Tinggi

Badang menurut Umur (TB/U), dan Indeks Massa Tubuh menurut

Umur (IMT/U).

Status gizi untuk orang dewasa hanya ditentukan menggunakan

IMT.

𝐵𝐵(𝑘𝑔)
𝐼𝑀𝑇 =
𝑇𝐵 (𝑚)2

Status gizi dibagi atas empat kategori berdasarkan hasil IMT,

status gizi kurus = 17,0 – 18,5, gizi normal 18,6 – 25 dan gizi gemuk

25,1 – 27,0, dan obesitas >27,1 (Supriasa, 2012)

Penilaian status nutrisi dengan biokimia adalah pemeriksaan

spesimen yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai

macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan antara lain

darah, urine, tinja, dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan

otot (Supriasa, 2012).

Salah satu metode penilaian biokimia adalah penilaian status

nutrisi berdasarkan kadar Hemoglobin dalam darah. Hemoglobin

adalah parameter yang digunakan secara luas untuk menetapkan

prevalensi anemia. Jumlah Hb per 100 ml darah dapat digunakan

sebagai indeks kapasitas pembawa oksigen pada darah. Kandungan

hemoglobin yang rendah dengan demikian mengidentifikasikan

anemia. Nilai normal yang paling sering dinyatakan adalah 14-18 gr/dl

untuk pria dan 11-16gr/dl untuk wanita (Supriasa, 2012).


27

Anemia memperlambat proses penyembuhan luka mengingat

perbaikan sel membutuhkan kadar protein yang cukup (Uliyah, 2008).

Anemia merupakan keadaan yang sering disebut dengan kurang darah,

dimana kadar hemoglobin kurang dari 11 gr/dl. Anemia berhubungan

dengan penyembuhan luka karena penurunan kadar hemoglobin dalam

darah akan mengurangi tingkat oksigen arteri dalam kapiler dan

nutrisi pada area luka dan mengganggu perbaikan jaringan (Efendi,

2009).

c. Mobilisasi

Menurut Brunner & Suddart, 2002 mobilisasi dini termasuk

faktor yang dapat mempengaruhi proses penyembuhan luka pasca

operasi. (Rimayanti, 2018)

Mobilisasi adalah kemampuan seseorang untuk bergerak bebas,

mudah, teratur, guna mempertahankan kesehatan dalam memenuhi

kebutuhan hidup aktivitasnya (Perry dan Potter, 2006).

Ambulasi dini terbukti bermanfaat untuk mengurangi insiden

tromboembolisme dan mempercepat pemulihan kekuatan ibu. Tirah

baring tidak diperlukan oleh ibu yang mendapat anestesi umum,

anestesi epidural atau spinal, atau mendapat anestesi lokal, seperti

blok pudendal. Ibu dapat bergerak bebas setelah pengaruh anestesi

hilang, kecuali diberi analgetik.

Mobilisasi mengacu pada kemampuan seseorang untuk bergerak

dengan bebas, dan imobilisasi mengacu pada ketidakmampuan

seseorang untuk bergerak dengan bebas. Imobilisasi dan mobilisasi


28

berada pada suatu rentang dengan banyak tingkatan imobilisasi parsial

di antaranya. Beberapa klien mengalami kemunduran dan selanjutnya

berada di antara rentang mobilisasi-imobilisasi, tetapi pada klien lain,

berada pada kondisi imobilisasi mutlak dan berlanjut sampai jangka

waktu tidak terbatas. (Perry dan Potter, 2006).

Manfaat melakukan latihan mobilisasi yaitu untuk mempercepat

kesembuhan luka, melancarkan pengeluaran lochea, mencegah

terjadinya trombosis dan tromboemboli, sirkulasi darah normal dan

mempercepat pemulihan kekuatan ibu, serta tidak perlu khawatir

dengan adanya jahitan karena mobilisasi baik buat jahitan, agar tidak

terjadi pembengkakan akibat tersumbatnya pembuluh darah. (Sri

mahmudah, 2015).

Ibu post partum dengan operasi sesar dalam melakukan

mobilisasinya lebih lamban dan perlu mencermati serta memahami

bahwa mobilisasi jangan dilakukan apabila kondisi ibu post partum

masih lemah, tetapi mobilisasi yang terlambat dilakukan bisa

menyebabkan gangguan fungsi organ tubuh, aliran darah tersumbat,

serta fungsi otot (Sri mahmudah, 2015).

Pengkajian mobilisasi pasien berfokus pada rentang gerak, gaya

berjalan, latihan dan toleransi aktifitas, serta kesejajaran tubuh (Potter

& Perry, 2006).

Pasien sectio caesarea biasanya mulai ‘ambulasi’ pada 24-36 jam

sesudah melahirkan. Sebelumnya, klien harus diminta untuk latihan

tarik menarik nafas dalam serta latihan tungkai yang sederhana. Postur
29

tubuh yang baik dianjurkan sejak awal untul membantu mencegah

nyeri punggung (Ferrer, 2008).

Tahapan mobilisasi yang bisa dilakukan pasien post sectio

caesarea (Kasdu, 2012) :

1) Setelah 6 jam pertama, ibu menggerakkan lengan

2) Setelah 6 jam pertama, ibu menggerakkan ujung jari kaki dan

memutar pergelangan kaki

3) Setelah 6 jam pertama, ibu mengangkat tumit dan menegangkan


otot betis

4) Setelah 6 jam pertama, ibu menekuk dan menggeser kaki

5) Setelah 6 – 10 jam, ibu miring kekiri dan kekanan

6) Setelah 24 jam kedua post sc ibu mulai belajar duduk


7) Setelah 24 jam ketiga post operasi ibu mulai belajar berjalan

Hari ke 1:

1) Berbaring miring ke kanan dan ke kiri yang dapat dimulai sejak

6-10 jam setelah penderita / ibu sadar

2) Latihan pernafasan dapat dilakukan ibu sambil tidur terlentang

sedini mungkin setelah sadar.

Hari ke 2:

1) Ibu dapat duduk 5 menit dan minta untuk bernafas dalam-dalam

lalu menghembuskannya disertai batuk-batuk kecil yang gunanya

untuk melonggarkan pernafasan dan sekaligus menumbuhkan

kepercayaan pada diri ibu bahwa ia mulai pulih

2) Kemudian posisi tidur telentang dirubah menjadi setengah duduk


30

3) Selanjutnya secara berturut-turut, hari demi hari penderita / ibu

yang sudah melahirkan dianjurkan belajar duduk selama sehari

Hari ke 3:

1) Mampu bangkit dari tidur

2) Mampu duduk dan mengangkat tangan setinggi mungkin

3) Belajar berjalan kemudian berjalan sendiri

(Kasdu,2012)

Saat pasien sudah pulang ke rumah, saran untuk pasien post sectio

caesarea adalah pasien langsung beristirahat sehari penuh, melakukan

peningkatan aktivitas secara bertahap dirumah, jangan lakukan

aktivitas yang terlalu melelahkan atau aktivitas diluar kebiasaan, dan

jangan mengangkat beban terlalu berat, menggosok, dan menyemprot

(Rasjidi, 2009).

Latihan postnatal juga bisa dilakukan dirumah. Ini dilakukan

sekali sehari untuk membantu menguatkan otot-otot perut dan dengan

demikian menghasilkan bentuk tubuh yang baik, mengencangkan

dasar panggul sehingga mencegah atau memperbaiki sterss

inkontinensia, dan membantu memperbaiki sirkulasi darah diseluruh

tubuh (Ferrer, 2008).

d. Merokok

Rokok dapat mengurangi jumlah Hb fungsional dalam darah

sehingga menurunkan oksigenasi jaringan. Oksigen sangat dibutuhkan

untuk penyembuhan luka. Merokok juga diindikasikan meningkatkan


31

agregasi platelet yang dapat membentuk bekuan darah dalam sistem

sirkulasi. (Potter & Perry, 2006)

e. Kegemukan

Obesitas menjadi salah satu faktor yang meningkatkan risiko

terjadinya infeksi luka. Lemak yang berlebih dapat memengaruhi

aliran darah ke sel . Jaringan lemak kekurangan suplai darah untuk

melawan infeksi bakteri dan untuk mengirimkan nutrisi serta elemen

seluler yang berguna dalam penyembuhan luka. (Potter & Perry,

2006).

f. Stress luka

Stress pada luka seperti muntah. Distensi abdomen dan usaha

pernapasan dapat menimbulkan stress pada jahitan operasi dan

merusak lapisan luka. Tekanan mendadak yang tidak terduga pada

luka insisi akan menghambat pembentukan sel endotel dan jaringan

kolagen. (Potter & Perry, 2006).

g. Adanya patologi lain (Diabetes)

Penyakit kronik menyebabkan timbulnya penyakit pembuluh

darah kecil yang dapat mengganggu perfusi jaringan. Diabetes

menyebabkan Hb memiliki afinitas yang lebih besar untuk oksigen,

sehingga Hb gagal melepaskan oksigen ke jaringan.

Anda mungkin juga menyukai