Anda di halaman 1dari 34

LUKA BAKAR

DISUSUN OLEH :
A.RESVIANTY ASMIRALDA

PEMBIMBING:
dr. NUR MAGFIRAH ASHRI

SUPERVISOR:
dr. HISBULLAH, Sp. An-KIC-KAKV

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014

LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa :

1
Nama/NIM : A.Resvianty Asmiralda

Judul Presentasi Kasus : Luka Bakar

Universitas : Universitas Muslim Indonesia

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu
Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, Januari 2014

Pembimbing Supervisor

dr. Nur Magfirah Ashri dr. Hisbullah,Sp.An-KIC-KAKV

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN...........……………............................................... . i

2
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii

BAB I KASUS ................................................................................................ 1

Identitas Pasien........................................................................................ 1

Anamnesis ............................................................................................... 1

Pemeriksaan Fisik .................................................................................. 1

Pemeriksaan Penunjang ......................................................................... 2

Diagnosis Kerja ...................................................................................... 4

Terapi ...................................................................................................... 4

Prognosis ................................................................................................ 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 5

Definisi Dan Etiologi .............................................................................. 5

Epidemiologi ........................................................................................... 6

Klasifikasi Luka Bakar ........................................................................... 7

Berat Dan Luas Luka Bakar ................................................................... 9

Pembagian Luka Bakar .......................................................................... 12

Patofisiologi ............................................................................................ 13

Kriteria Perawatan ................................................................................... 18

Penatalaksanaan ...................................................................................... 18

Komplikasi ............................................................................................. 25

BAB III PEMBAHASAN KASUS ................................................................... 29

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 32

BAB I
KASUS

IDENTITAS PASIEN

3
Nama : Tn. S
Usia : 21 tahun
Alamat : Desa Tinggimae Kab.Gowa
Agama : Islam
Pekerjaan : Buruh bangunan
Pendidikan : -
Masuk RS : Selasa, 24 Desember 2013 pukul 13.24
ANAMNESIS
Keluhan utama : Luka Bakar Listrik
Anamnesis Terpimpin :
Dialami sejak 2 jam yang lalu sebelum masuk rumah sakit akibat tersengat listrik
pada saat bekerja di mesjid. Awalnya pasien tanpa sengaja memegang kabel
telanjang, lalu kesetrum dan terjatuh ke lantai. Terdapat kesan luka bakar pada
lengan kanan dan punggung kiri sampai ke leher. Nyeri (+) jika luka bakar disentuh.
Riwayat pingsan (+) <15 menit, riwayat muntah (-), riwayat sesak (-), batuk(-)
Riwayat penyakit dahulu
Alergi obat, hipertensi, DM, dan asma disangkal.
Riwayat penyakit keluarga
Alergi obat, hipertensi, DM, dan asma disangkal.
PEMERIKSAAN FISIK
Primary survey
B1:RR:20x/menit, Rh-/-, Wh-/-, SpO2: 99%
B2:TD 110/70 mmHg, N 88 x/menit regular, kuat angkat.
B3: GCS 15 (E4M6V5), pupil isokor ∅2,5mm/2,5mm, RC +/+, suhu axilla 36,8 C
B4: terpasang kateter, produksi urin ±60cc/jam, warna merah kecoklatan.
B5: Datar, peristaltik (+) kesan normal, timpani.
B6: Edema (-), fraktur (-), luka bakar grade iia-iib
Secondary survey
Kepala & wajah : deformitas (-), bibir edema (-),
Mata : edema (-), konjungtiva anemis (-), ikterus (-)
Leher : pembesaran KGB (-)

4
THT : sekret (-)
Dada : simetris kanan = kiri
- Jantung : BJ I & II normal, murmur (-), gallop (-)
- Paru : vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-
Abdomen : datar, lemas, NT (-), tdk teraba massa, BU (+)
normal, H/L ttb
Ekstremitas : lihat status lokalis
Status lokalis

Kepala dan leher :3%


Trunkus anterior :0%
Trunkus posterior :7%
Esktremitas atas kanan :5%

5
Ekstremitas atas kiri :2%
Ekstremitas bawah kanan : 0 %
Ekstremitas bawah kiri :0%
Genitalia :0%+
Total : 17 %
PEMERIKSAAN PENUNJANG
RUTIN Glukosa :-
Hemoglobin : 15,8 g/dL Keton :+
Hematokrit : 48,4 % Darah/Hb :+
Leukosit : 43.800/L Bilirubin :-
Trombosit : 455.000/L Urobilinogen : 0,2
MCV : 91 fl Nitrit :-
MCH : 29.8 pg KIMIA DARAH
MCHC : 32.7 g/dL Ureum : 32 mg/dL
PT : 11.3 detik Creatinin : 0,7 mg/dL
PT kontrol : 10.3 detik SGOT : 533 U/L
APTT : 32.1 detik SGPT : 112 U/L
APTT kontrol : 23.3 detik GDS : 150 mg/dL
CT : 7’00 Na : 133 meq/L
BT : 3’00 K : 4.11 meq/L
URINALISIS Cl : 107 meq/L
Sedimen
Sel epitel : 0-1
Leukosit : 1-2
Eritrosit : 10-11
Silinder :-
Kristal :-
Bakteri :-
Berat jenis : 1.015
pH :5
Protein :-

6
DIAGNOSIS KERJA
Luka bakar grade IIA-IIB 17 % + Compartment sindrom
TERAPI
Airway : O2 2-4 tpm via Nasal Kanul
Breathing : spontan
Circulation : IVFD RL 124 tts/menit pada 6 jam pertama. Dilanjutkan
dengan 46 tts/mnt pada 16 jam berikutnya. Pasang kateter.
Drug : Ceftriaxon 1gr/12 j/IV, Ketorolac 30 mg/8jam/iv,
Ranitidin 50 mg/8 jam/iv, kompres NaCl + Silver
Sulphadiazine 10 mg Cr.
Monitoring resusitasi
Urin (0,5-1 cc/kgBB/jam) = 30-60 cc/ jam.

PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Bonam
Quo ad Functionam : Dubia
Quo ad Sanactionam : Bonam

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI DAN ETIOLOGI


Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang
disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik,
dan radiasi. Luka bakar merupakan suatu jenis trauma dengan morbiditas dan
mortalitas tinggi yang memerlukan penatalaksanaan khusus sejak awal (fase syok)
sampai fase lanjut.
Luka bakar dapat disebabkan oleh paparan api, baik secara langsung
maupun tidak langsung, misal akibat tersiram air panas yang banyak terjadi pada
kecelakaan rumah tangga. Selain itu, pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik
maupun bahan kimia juga dapat menyebabkan luka bakar. Secara garis besar,
penyebab terjadinya luka bakar dapat dibagi menjadi:
1. Paparan api
a. Flame: Akibat kontak langsung antara jaringan dengan api terbuka, dan
menyebabkan cedera langsung ke jaringan tersebut. Api dapat membakar
pakaian terlebih dahulu baru mengenai tubuh. Serat alami memiliki
kecenderungan untuk terbakar, sedangkan serat sintetik cenderung meleleh
atau menyala dan menimbulkan cedera tambahan berupa cedera kontak.
b. Benda panas (kontak): Terjadi akibat kontak langsung dengan benda panas.
Luka bakar yang dihasilkan terbatas pada area tubuh yang mengalami
kontak. Contohnya antara lain adalah luka bakar akibat rokok dan alat-alat
seperti solder besi atau peralatan masak.
2. Scalds (air panas)
Terjadi akibat kontak dengan air panas. Semakin kental cairan dan semakin
lama waktu kontaknya, semakin besar kerusakan yang akan ditimbulkan. Luka
yang disengaja atau akibat kecelakaan dapat dibedakan berdasarkan pola luka
bakarnya. Pada kasus kecelakaan, luka umumnya menunjukkan pola percikan,
yang satu sama lain dipisahkan oleh kulit sehat. Sedangkan pada kasus yang

8
disengaja, luka umumnya melibatkan keseluruhan ekstremitas dalam pola
sirkumferensial dengan garis yang menandai permukaan cairan.
3. Uap panas
Terutama ditemukan di daerah industri atau akibat kecelakaan radiator
mobil. Uap panas menimbulkan cedera luas akibat kapasitas panas yang tinggi
dari uap serta dispersi oleh uap bertekanan tinggi. Apabila terjadi inhalasi, uap
panas dapat menyebabkan cedera hingga ke saluran napas distal di paru.
4. Gas panas
Inhalasi menyebabkan cedera thermal pada saluran nafas bagian atas dan
oklusi jalan nafas akibat edema.
5. Aliran listrik
Cedera timbul akibat aliran listrik yang lewat menembus jaringan tubuh.
Umumnya luka bakar mencapai kulit bagian dalam. Listrik yang menyebabkan
percikan api dan membakar pakaian dapat menyebabkan luka bakar tambahan.
6. Zat kimia (asam atau basa)
7. Radiasi
8. Sunburn sinar matahari, terapi radiasi.

EPIDEMIOLOGI
Dari laporan American Burn Association 2012 dikatakan bahwa angka
morbiditas 96,1% lebih banyak terjadi pada wanita (69%). Berdasarkan tempat
kejadian, 69 % di rumah tangga dan 9% di tempat kerja, 7% di jalan raya, 5% di
rekreasi atau olahraga 10% dan lain-lain.
Menurut surat kabar Tribun pada tanggal 8 Februari 2012, pada Simposium
Indonesia Burn and Wound Care Meeting yang diselengarakan Universitas
Padjadjaran di Bandung dilaporkan data terakhir yang dikeluarkan unit luka bakar
RSCM Januari 1998 - Mei 2001 menunjukkan bahwa 60% karena kecelakaan
rumah tangga, 20% karena kecelakaan kerja, dan 20% sisanya karena sebab-sebab
lain. Dan angka kematian akibat luka bakar pun di Indonesia masih tinggi, sekitar
40%, terutama diakibatkan luka bakar berat.

9
KLASIFIKASI LUKA BAKAR
Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tinggi suhu, lamanya pajanan suhu
tinggi, adekuasi resusitasi, dan adanya infeksi pada luka. Selain api yang langsung
menjilat tubuh, baju yang ikut terbakar juga memperdalam luka bakar. Bahan baju
yang paling aman adalah yang terbuat dari bulu domba (wol). Bahan sintetis seperti
nilon dan dakron, selain mudah terbakar juga mudah meleleh oleh suhu tinggi, lalu
menjadi lengket sehingga memperberat kedalaman luka bakar.
Kedalaman luka bakar dideskripsikan dalam derajat luka bakar, yaitu luka
bakar derajat I, II, atau III:
 Derajat I
Pajanan hanya merusak epidermis sehingga masih menyisakan
banyak jaringan untuk dapat melakukan regenerasi. Luka bakar derajat I
biasanya sembuh dalam 5-7 hari dan dapat sembuh secara sempurna. Luka
biasanya tampak sebagai eritema dan timbul dengan keluhan nyeri dan atau
hipersensitivitas lokal. Contoh luka bakar derajat I adalah sunburn.

 Derajat II
Lesi melibatkan epidermis dan mencapai kedalaman dermis namun
masih terdapat epitel vital yang bisa menjadi dasar regenerasi dan
epitelisasi. Jaringan tersebut misalnya sel epitel basal, kelenjar sebasea,
kelenjar keringat, dan pangkal rambut. Dengan adanya jaringan yang masih
“sehat” tersebut, luka dapat sembuh dalam 2-3 minggu. Gambaran luka

10
bakar berupa gelembung atau bula yang berisi cairan eksudat dari pembuluh
darah karena perubahan permeabilitas dindingnya, disertai rasa nyeri.
Apabila luka bakar derajat II yang dalam tidak ditangani dengan baik, dapat
timbul edema dan penurunan aliran darah di jaringan, sehingga cedera
berkembang menjadi full-thickness burn atau luka bakar derajat III.

 Derajat III
Mengenai seluruh lapisan kulit, dari subkutis hingga mungkin organ
atau jaringan yang lebih dalam. Pada keadaan ini tidak tersisa jaringan epitel
yang dapat menjadi dasar regenerasi sel spontan, sehingga untuk
menumbuhkan kembali jaringan kulit harus dilakukan cangkok kulit. Gejala
yang menyertai justru tanpa nyeri maupun bula, karena pada dasarnya
seluruh jaringan kulit yang memiliki persarafan sudah tidak intak.

11
Derajat luka bakar berdasarkan kedalaman

BERAT DAN LUAS LUKA BAKAR


Berat luka bakar bergantung pada dalam, luas, dan letak luka. Usia dan
kesehatan pasien sebelumnya akan sangat mempengaruhi prognosis. Adanya
trauma inhalasi juga akan mempengaruhi berat luka bakar.
Jaringan lunak tubuh akan terbakar bila terpapar pada suhu di atas 46 oC.
Luasnya kerusakan akan ditentukan oleh suhu permukaan dan lamanya kontak.

12
Luka bakar menyebabkan koagulasi jaringan lunak. Seiring dengan peningkatan
suhu jaringan lunak, permeabilitas kapiler juga meningkat, terjadi kehilangan
cairan, dan viskositas plasma meningkat dengan resultan pembentukan
mikrotrombus. Hilangnya cairan dapat menyebabkan hipovolemi dan syok,
tergantung banyaknya cairan yang hilang dan respon terhadap resusitasi. Luka
bakar juga menyebabkan peningkatan laju metabolik dan energi metabolisme.
Semakin luas permukaan tubuh yang terlibat, morbiditas dan mortalitasnya
meningkat, dan penanganannya juga akan semakin kompleks. Luas luka bakar
dinyatakan dalam persen terhadap luas seluruh tubuh. Ada beberapa metode cepat
untuk menentukan luas luka bakar, yaitu:
 Estimasi luas luka bakar menggunakan luas permukaan palmar pasien. Luas
telapak tangan individu mewakili 1% luas permukaan tubuh. Luas luka
bakar hanya dihitung pada pasien dengan derajat luka II atau III.
 Rumus 9 atau rule of nine untuk orang dewasa Pada dewasa digunakan
‘rumus 9’, yaitu luas kepala dan leher, dada, punggung, pinggang dan
bokong, ekstremitas atas kanan, ekstremitas atas kiri, paha kanan, paha kiri,
tungkai dan kaki kanan, serta tungkai dan kaki kiri masing-masing 9%.
Sisanya 1% adalah daerah genitalia. Rumus ini membantu menaksir luasnya
permukaan tubuh yang terbakar pada orang dewasa.

13
Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas relatif permukaan
kepala anak jauh lebih besar dan luas relatif permukaan kaki lebih kecil.
Karena perbandingan luas permukaan bagian tubuh anak kecil berbeda,
dikenal rumus 10 untuk bayi, dan rumus 10-15-20 untuk anak.

 Metode Lund dan Browder


Metode yang diperkenalkan untuk kompensasi besarnya porsi massa tubuh
di kepala pada anak. Metode ini digunakan untuk estimasi besarnya luas
permukaan pada anak. Apabila tidak tersedia tabel tersebut, perkiraan luas
permukaan tubuh pada anak dapat menggunakan ‘Rumus 9’ dan disesuaikan
dengan usia:
o Pada anak di bawah usia 1 tahun: kepala 18% dan tiap tungkai 14%.
Torso dan lengan persentasenya sama dengan dewasa.
o Untuk tiap pertambahan usia 1 tahun, tambahkan 0.5% untuk tiap
tungkai dan turunkan persentasi kepala sebesar 1% hingga tercapai nilai
dewasa.

14
Lund and Browder chart illustrating the method for calculating the percentage of
body surface area affected by burns in children.

PEMBAGIAN LUKA BAKAR


1. Luka bakar berat (major burn)
a. Derajat II-III > 20 % pada pasien berusia di bawah 10 tahun atau di atas
usia 50 tahun
b. Derajat II-III > 25 % pada kelompok usia selain disebutkan pada butir
pertama
c. Luka bakar pada muka, telinga, tangan, kaki, dan perineum
d. Adanya cedera pada jalan nafas (cedera inhalasi) tanpa memperhitungkan
luas luka bakar
e. Luka bakar listrik tegangan tinggi
f. Disertai trauma lainnya
g. Pasien-pasien dengan resiko tinggi

15
2. Luka bakar sedang (moderate burn)
a. Luka bakar dengan luas 15 – 25 % pada dewasa, dengan luka bakar derajat
III kurang dari 10 %
b. Luka bakar dengan luas 10 – 20 % pada anak usia < 10 tahun atau dewasa
> 40 tahun, dengan luka bakar derajat III kurang dari 10 %
c. Luka bakar dengan derajat III < 10 % pada anak maupun dewasa yang
tidak mengenai muka, tangan, kaki, dan perineum
3. Luka bakar ringan
a. Luka bakar dengan luas < 15 % pada dewasa
b. Luka bakar dengan luas < 10 % pada anak dan usia lanjut
c. Luka bakar dengan luas < 2 % pada segala usia (tidak mengenai muka,
tangan, kaki, dan perineum

PATOFISIOLOGI

Akibat pertama luka bakar adalah syok hipovolemi dan neurogenik.


Pembuluh kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas meninggi. Sel
darah yang ada di dalamnya ikut rusak sehingga dapat terjadi anemia.
Meningkatnya permeabilitas menyebabkan edema dan menimbulkan bula yang
mengandung banyak elektrolit. Hal itu menyebabkan berkurangnya volume cairan
intravaskuler. Kerusakan kulit akibat luka bakar menyebabkan kehilangan cairan
akibat penguapan yang berlebihan, masuknya cairan ke bula yang terbentuk pada
luka bakar derajat II, dan pengeluaran cairan dari keropeng luka bakar derajat III.

16
Mekanisme utama akibat luka listrik adalah sebagai berikut:
1. Energi listrik menyebabkan kerusakan jaringan langsung, mengubah potensial
sel membran istirahat, dan tetany memunculkan otot.
2. Konversi energi listrik menjadi energi panas, menyebabkan kerusakan jaringan
besar dan nekrosis coagulative.
3. Cedera mekanis dengan trauma langsung akibat jatuh atau kontraksi otot
kekerasan.
Faktor-faktor yang menentukan derajat cedera termasuk besarnya energi yang
disampaikan, resistensi dari jaringan yang kontak dengan arus listrik, jenis arus,
jalur arus, dan lamanya kontak. Efek sistemik dan kerusakan jaringan secara
langsung proporsional dengan besarnya arus yang. Jumlah arus (ampere) secara
langsung berhubungan dengan tegangan dan berbanding terbalik dengan
perlawanan, sebagaimana ditentukan oleh hukum Ohm (I = V / R, dimana I = arus,
V = tegangan, R = resistansi). Dari parameter yang dijelaskan oleh hukum Ohm,
tegangan biasanya dapat ditentukan dan digunakan untuk mengukur besarnya
potensi pemaparan saat ini dan besarnya cedera yang disebabkan.
Sengatan listrik diklasifikasikan sebagai tegangan tinggi (> 1000 volt) atau
tegangan rendah (<1000 volt). Sebagai aturan umum, tegangan tinggi dikaitkan
dengan morbiditas dan kematian yang lebih besar, meskipun cedera fatal dapat
terjadi pada tegangan rendah. Tubuh memiliki tahanan yang berbeda-beda. Secara
umum, jaringan dengan cairan yang tinggi dan mengandung banyak elektrolit
mampu mengkonduksi listrik lebih baik. Tulang memiliki tahanan paling tinggi.
Sedangkan jaringan saraf memiliki tahanan paling rendah, dan bersama-sama
dengan pembuluh darah, otot, dan selaput lender juga memiliki tahanan yang
rendah terhadap listrik. Kulit memberikan tahanan “intermediate” dan merupakan
faktor yang paling penting menghambat aliran arus. Kulit adalah resistor utama
terhadap arus listrik, dan derajat resistensi ditentukan oleh ketebalan dan
kelembaban. Ini bervariasi dari 1000 ohm untuk kulit tipis lembab untuk beberapa
ribu ohm untuk kulit kapalan kering.

17
Jalur arus menentukan jaringan yang berisiko dan apa jenis cedera yang
dihasilkan. Arus listrik yang melewati kepala atau dada lebih mungkin
menghasilkan luka fatal. Arus transthoracic dapat menyebabkan aritmia fatal,
kerusakan jantung langsung, atau pernapasan. Transcranial arus dapat
menyebabkan cedera otak langsung, kejang, pernapasan, dan kelumpuhan.
Cedera electrothermal mengakibatkan edema jaringan. Meningkatnya
permeabilitas kapiler akibat terpajan suhu tinggi menyebabkan terjadinya
perpindahan cairan yang berasal dari jaringan interstisial yang mengawali
terjadinya edema yang akan menghasilkan sindrom kompartemen. Ekstremitas
adalah struktur yang paling sering terlibat untuk pengembangan sindrom
kompartemen. Sindrom kompartemen merupakan suatu kondisi dimana terjadi
peningkatan tekanan interstitial pada kompartemen osteofasial yang tertutup.
Sehingga mengakibatkan berkurangnya perfusi jaringan dan tekanan oksigen
jaringan.
Patofisiologi sindrom kompartemen melibatkan hemostasis jaringan lokal
normal yang menyebabkan peningkatan tekanan jaringan, penurunan aliran darah
kapiler dan nekrosis jaringan lokal akibat hipoksia. Ketika tekanan dalam
kompartemen melebihi tekanan darah dalam kapiler dan menyebabkan kapiler
kolaps. Pertama-tama sel akan mengalami oedem, kemudian sel akan berhenti
melepaskan zat-zat kimia sehingga menyebabkan terjadi oedem lebih lanjut dan
menyebabkan tekanan meningkat.Aliran darah yang melewati kapiler akan
berhenti. Dalam keadaan ini penghantaran oksigen juga akan terhenti. Terjadinya
hipoksia menyebabkan sel-sel akan melepaskan substansi vasoaktif yang
meningkatkan permeabilitas endotel. Dalam kapiler-kapiler terjadi kehilangan
cairan sehingga terjadi peningkatan tekanan jaringan dan memperberat kerusakan
disekitar jaringan dan jaringan otot mengalami nekrosis.
Gejala klinis yang umum ditemukan pada sindroma kompartemen meliputi :
1. Pain : Nyeri pada pada saat peregangan pasif pada otot-otot yang terkena.
2. Pallor : Kulit terasa dingin jika di palpasi, warna kulit biasanya pucat.
3. Parestesia : Biasanya terasa panas dan gatal pada daerah lesi.
4. Paralisis : Diawali dengan ketidakmampuan untuk menggerakkan sendi.

18
5. Pulselesness: Berkurang atau hilangnya denyut nadi akibat adanya gangguan
perfusi arterial.
Selain itu panas yang dihasilkan oleh arus listrik akan merusak sarkolemma
pada otot rangka dan melibatkan kebocoran cairan intraseluler (myoglobin,
creatinin kinase, kalium, fosfat dan asam urat) dalam jumlah besar ke dalam
plasma. Hal ini yang disebut rhabdomyolysis. Pada orang dewasa, rhabdomyolysis
mempunyai 3 ciri khas yaitu kelemahan otot,myalgia dan urin yang berwarna
kecoklatan gelap. Namun ketiga karakter ini terkadang jarang muncul bersamaan.
Myoglobin hasil dari kerusakan sel otot akan masuk ke aliran darah dan masuk ke
ginjal. Myoglobin ini mudah melewati glomerulus dan mudah di eksreksikan ke
urin (myoglobinuria). Dengan demikian, terjadi pengendapan mioglobin dalam
tubulus ginjal yang akan mengakibatkan gagal ginjal akut.
Bila luas luka bakar kurang dari 20%, biasanya mekanisme kompensasi
tubuh masih bisa mengatasinya, tetapi bila lebih dari 20%, akan terjadi syok
hipovolemik dengan gejala yang khas, seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat,
nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun dan produksi urin yang berkurang.
Pembengkakan terjadi pelan-pelan, maksimal terjadi setelah delapan jam. Pada
kebakaran ruang tertutup atau bila luka terjadi di wajah, dapat terjadi kerusakan
mukosa jalan napas karena gas, asap atau uap panas yang terisap. Edema laring
yang ditimbulkannya dapat menyebabkan hambatan jalan napas dengan gejala
sesak napas, takipnea, stridor, suara serak dan dahak berwarna gelap akibat jelaga.
Setelah 12-24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan terjadi
mobilisasi serta penyerapan kembali cairan edema ke pembuluh darah. Ini ditandai
dengan meningkatnya diuresis.
Luka bakar sering tidak steril. Kontaminasi pada kulit mati, yang
merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan kuman, akan mempermudah
infeksi. Infeksi ini sulit diatasi karena daerahnya tidak tercapai oleh pembuluh
kapiler yang mengalami trombosis. Padahal, pembuluh ini membawa sistem
pertahanan tubuh atau antibiotik. Kuman penyebab infeksi pada luka bakar, selain
berasal dari dari kulit penderita sendiri, juga dari kontaminasi kuman saluran napas
atas dan kontaminasi kuman di lingkungan rumah sakit. Infeksi nosokomial ini

19
biasanya sangat berbahaya karena kumannya banyak yang sudah resisten terhadap
berbagai antibiotik.
Bila luka bakar dibiopsi dan eksudatnya dibiak, biasanya ditemukan kuman
dan terlihat invasi kuman tersebut ke jaringan sekelilingnya. Luka bakar demikian
disebut luka bakar septik. Bila penyebabnya kuman Gram positif, seperti
stafilokokus atau basil Gram negatif lainnya, dapat terjadi penyebaran kuman lewat
darah (bakteremia) yang dapat menimbulkan fokus infeksi di usus. Syok sepsis dan
kematian dapat terjadi karena toksin kuman yang menyebar di darah.
Bila penderita dapat mengatasi infeksi, luka bakar derajat II dapat sembuh
dengan meninggalkan cacat berupa parut. Penyembuhan ini dimulai dari sisa
elemen epitel yang masih vital, misalnya sel kelenjar sebasea, sel basal, sel kelenjar
keringat, atau sel pangkal rambut. Luka bakar derajat II yang dalam mungkin
meninggalkan parut hipertrofik yang nyeri, gatal, kaku dan secara estetik jelek.
Luka bakar derajat III yang dibiarkan sembuh sendiri akan mengalami kontraktur.
Bila terjadi di persendian, fungsi sendi dapat berkurang atau hilang.
Pada luka bakar berat dapat ditemukan ileus paralitik. Pada fase akut,
peristalsis usus menurun atau berhenti karena syok, sedangkan pada fase mobilisasi,
peristalsis dapat menurun karena kekurangan ion kalium.
Stres atau badan faali yang terjadi pada penderita luka bakar berat dapat
menyebabkan terjadinya tukak di mukosa lambung atau duodenum dengan gejala
yang sama dengan gejala tukak peptik. Kelainan ini dikenal sebagai tukak Curling.
Inti dari permasalahan luka bakar adalah kerusakan endotel dan epitel akibat
dan cedera termis yang melepaskan mediator-mediator proinflamasi dan
berkembang menjadi Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), kondisi
ini hampir selalu berlanjut dengan Mutli-system Organ Dysfunction Syndrome
(MODS). MODS terjadi karena gangguan perfusi jaringan yang berkepanjangan
akibat gangguan sirkulasi makro menjadi berubah orientasi pada proses perbaikan
perfusi (sirkulasi mikro) sebagai end-point dari prosedur resusitasi.
KRITERIA PERAWATAN

20
Kriteria perawatan luka bakar menurut American Burn Association yang
digunakan untuk pasien yang harus diadministrasi dan dirawat khusus di unit luka
bakar adalah seperti berikut:
1. Partial- thickness burns (luka bakar derajat II) dan full-thickness burns (luka
bakar derajat III) dengan >10 % dari TBSA pada pasien berumur kurang dari
10 tahun atau lebih dari 50 tahun.
2. Partial- thickness burns (luka bakar derajat II) dan full-thickness burns (luka
bakar derajat III) dengan >20 % dari TBSA pada kelompok usia lainnya.
3. Partial- thickness burns (luka bakar derajat II) dan full-thickness burns (luka
bakar derajat III) yang melibatkan wajah, tangan, kaki, alat kelamin,
perineum, atau sendi utama.
4. Full-thickness burns (luka bakar derajat III) lebih >5 persen TBSA pada
semua kelompok usia.
5. Luka bakar listrik, termasuk cedera petir.
6. Luka bakar pada pasien dengan riwayat gangguan medis sebelumnya yang
bisa mempersulit manajemen, memperpanjang periode pemulihan, atau
mempengaruhi kematian.
7. Luka bakar kimia.
8. Trauma inhalasi
9. Setiap luka bakar dengan trauma lain (misalnya, patah tulang) di mana luka
bakar tersebut menimbulkan risiko terbesar dari morbiditas dan mortalitas.
10. Luka bakar pada anak-anak yang dirawat di rumah sakit tanpa unit perawatan
anak yang berkualitas maupun peralatannya.
11. Luka bakar pada pasien yang membutuhkan rehabilitasi khusus seperti sosial,
emosional, termasuk kasus yang melibatkan keganasan pada anak.

PENATALAKSANAAN
Primary Survey
 Airway, yakni membebaskan jalan nafas agar pasien dapat tetap bernafas

secara normal

21
 Breathing, mengecek kecepatan pernafasan yakni sekitar 20x/ menit

 Circulation, melakukan palpasi pada nadi untuk mengecek pulsasi yang

pada orang normal berkisar antar 60 – 100x/ menit

 Disability
o Periksa kesadaran.
o Periksa ukuran pupil.
 Environment
o Jaga pasien dalam keadaan hangat.
Secara sistematik dapat dilakukan 6c : clothing, cooling, cleaning,

chemoprophylaxis, covering and comforting. Untuk pertolongan pertama dapat

dilakukan langkah clothing dan cooling, baru selanjutnya dilakukan pada fasilitas

kesehatan

 Clothing : singkirkan semua pakaian yang panas atau terbakar. Bahan

pakaian yang menempel dan tak dapat dilepaskan maka dibiarkan untuk

sampai pada fase cleaning.

 Cooling : Dinginkan daerah yang terkena luka bakar dengan menggunakan

air mengalir selama 20 menit, hindari hipotermia (penurunan suhu di bawah

normal, terutama pada anak dan orang tua). Cara ini efektif samapai dengan

3 jam setelah kejadian luka bakar – Kompres dengan air dingin (air sering

diganti agar efektif tetap memberikan rasa dingin) sebagai analgesia

(penghilang rasa nyeri) untuk luka yang terlokalisasi – Jangan pergunakan es

karena es menyebabkan pembuluh darah mengkerut (vasokonstriksi)

sehingga justru akan memperberat derajat luka dan risiko hipotermia – Untuk

luka bakar karena zat kimia dan luka bakar di daerah mata, siram dengan air

22
mengalir yang banyak selama 15 menit atau lebih. Bila penyebab luka bakar

berupa bubuk, maka singkirkan terlebih dahulu dari kulit baru disiram air

yang mengalir.

 Cleaning : pembersihan dilakukan dengan zat anastesi untuk mengurangi

rasa sakit. Dengan membuang jaringan yang sudah mati, proses

penyembuhan akan lebih cepat dan risiko infeksi berkurang.

 Chemoprophylaxis : Pemberian krim silver sulvadiazin untuk penanganan

infeksi, dapat diberikan kecuali pada luka bakar superfisial. Tidak boleh

diberikan pada wajah, riwayat alergi sulfa, perempuan hamil, bayi baru lahir,

ibu menyususi dengan bayi kurang dari 2 bulan

 Covering : penutupan luka bakar dengan kassa. Dilakukan sesuai dengan

derajat luka bakar. Luka bakar superfisial tidak perlu ditutup dengan kasa

atau bahan lainnya. Pembalutan luka (yang dilakukan setelah pendinginan)

bertujuan untuk mengurangi pengeluaran panas yang terjadi akibat hilangnya

lapisan kulit akibat luka bakar. Jangan berikan mentega, minyak, oli atau

larutan lainnya, menghambat penyembuhan dan meningkatkan risiko infeksi.

 Comforting : dapat dilakukan pemberian pengurang rasa nyeri.

Tentukan luas luka bakar


Telah dibahas sebelumnya.

Resusitasi cairan (jika berindikasi)

23
Resusitasi cairan diindikasikan bila luas luka bakar > 10% pada anak-anak
atau > 15% pada dewasa. Tujuan resusitasi cairan pada syok luka bakar adalah:
 Preservasi reperfusi yang adekuat dan seimbang diseluruh pembuluh
vaskuler regional sehingga tidak terjadi iskemia jaringan
 Minimalisasi dan eliminasi pemberian cairan bebas yang tidak diperlukan.
 Optimalisasi status volume dan komposisi intravaskuler untuk menjamin
survival seluruh sel
 Minimalisasi respon inflamasi dan hipermetabolik dan mengupayakan
stabilisasi pasien secepat mungkin kembali ke kondisi fisiologis.
Formula yang sering digunakan untuk manajemen cairan pada luka bakar
mayor yaitu Parkland, modified Parkland, Brooke, modified Brooke, Evans dan
Monafo’s formula.
Parkland formula
1. 24 jam pertama: cairan Ringer Laktat (RL) 4 mL/kgBB untuk setiap 1%
permukaan tubuh yang terbakar pada dewasa dan 3 mL/kgBB untuk
setiap 1% permukaan tubuh yang terbakar pada anak. Cairan RL
ditambahkan untuk maintenance pada anak:
- 4 mL/kg BB/jam untuk anak dengan berat 0-10 kg
- 40 mL/jam + 2 mL/jam untuk anak dengan berat 10-20 kg
- 60 mL/jam + 1 mL/kg BB/jam untuk anak dengan berat 20 kg atau
lebih.
Formula ini direkomendasikan tanpa koloid di 24 jam pertama.
2. 24 jam selanjutnya: koloid diberikan sebesar 20-60% dari kalkulasi
volume plasma. Tanpa kristaloid. Glukosa pada air ditambahkan untuk
mempertahankan output urin 0,5 – 1 mL/jam pada dewasa dan 1 mL/jam
pada anak.
Tekanan darah kadang sulit diukur dan hasilnya kurang dapat dipercaya.
Pengukuran produksi urin tiap jam merupakan alat monitor yang baik untuk menilai
volume sirkulasi darah. Pemberian cairan cukup untuk dapat mempertahankan
produksi urin 1,0 mL/kgBB/jam pada anak-anak dengan berat badan 30 kg atau
kurang, dan 0,5-1 ml/kgBB/jam pada orang dewasa.

24
Resusitasi luka bakar yang ideal adalah mengembalikan volume plasma
dengan efektif tanpa efek samping. Kristaloid isotonic, cairan hipertonik, dan
koloid telah digunakan untuk tujuan ini, namun setiap cairan memiliki kelebihan
dan kekurangan. Tak satupun dari mereka ideal, dan tak ada yang lebih superior
dibanding yang lain.
1. Kristaloid isotonik
Kristaloid tersedia dan lebih murah dibanding alternative lain.
Cairan RL, cairan Hartmann (sebuah cairan yang mirip dengan RL) dan
NaCl 0,9% adalah cairan yang sering digunakan. Ada beberapa efek
samping dari kristaloid: pemberian volume NaCl 0,9% yang besar
memproduksi hyperchloremic acidosis, RL meningkatkan aktivasi
neutrofil setelah resusitasi untuk hemoragik atau setelah infus tanpa
hemoragik. RL digunakan oleh sebagian besar rumah sakit mengandung
campuran ini. Efek samping lain yang telah didemonstrasikan yaitu
kristaloid memiliki pengaruh yang besar pada koagulasi.
Meskipun efek samping ini, cairan yang paling sering digunakan
untuk resusitasi luka bakar di Inggris dan Irlandia adalah cairan
Hartmann (unit dewasa 76%, unit anak 75%). Sedangkan RL merupakan
tipe cairan yang paling sering digunakan di US dan Kanada.
2. Cairan hipertonik
Pentingnya ion Na di patofisiologi syok luka bakar telah
ditekankan oleh beberapa studi sebelumnya. Na masuk ke dalam sel
shingga terjadi edema sel dan hipo-osmolar intravascular volume cairan.
Pemasangan infus cairan hipertonik yang segera telah dibuktikan
meningkatkan osmolaritas plasma dan membatasi edema sel.
Penggunaan cairan dengan konsentrasi 250 mEq/L, Moyer at al. mampu
mendapatkan resusitasi fisologis yang efektif dengan total volume yang
rendah dibandingkan cairan isotonic pada 24 jam pertama. Namun
Huang et al. menemukan bahwa setelah 48 jam pasien yang diterapi
dengan cairan hipertonik atau RL memberikan hasil yang sama. Mereka
juga mendemonstrasikan bahwa resusitasi cairan hipertonik

25
berhubungan dengan peningkatan insidens gagal ginjal dan kematian.
Saat ini, resusitasi dengan cairan hipertonik menjadi pilihan menarik
secara fungsi fisiologis sesuai teorinya, tetapi memerlukan pemantauan
ketat dan resiko hipernatremi dan aggal ginjal menjadi perhatian utama.
3. Koloid
Kebocoran dan akumulasi protein plasma di luar komparemen
vaskular memberikan kontribusi pada pembentukan edema. Kebocoran
kapiler bisa bertahan hingga 24 jam setelah trauma bakar. Peneliti lain
menemukan ekstravasasi ekstravasasi albumin berhenti 8 jam setelah
trauma bakar. Koloid sebagai cairan hiperosmotik, digunakan untuk
meningkatkan osmolalitas intravascular dan menghentikan ekstravasasi
kristaloid.
Resusitasi nutrisi
Pada pasien luka bakar, pemberian nutrisi secara enteral sebaiknya
dilakukan sejak dini dan pasien tidak perlu dipuasakan. Bila pasien tidak sadar,
maka pemberian nutrisi dapat melalui naso-gastric tube (NGT). Nutrisi yang
diberikan sebaiknya mengandung 10-15% protein, 50-60% karbohidrat dan 25-30%
lemak. Pemberian nutrisi sejak awal ini dapat meningkatkan fungsi kekebalan tubuh
dan mencegah terjadinya atrofi vili usus. Dengan demikian diharapkan pemberian
nutrisi sejak awal dapat membantu mencegah terjadinya SIRS dan MODS.
Perawatan luka bakar
Umumnya untuk menghilangkan rasa nyeri dari luka bakar digunakan
morfin dalam dosis kecil secara intravena (dosis dewasa awal : 0,1-0,2 mg/kg dan
‘maintenance’ 5-20 mg/70 kg setiap 4 jam, sedangkan dosis anak-anak 0,05-0,2
mg/kg setiap 4 jam). Tetapi ada juga yang menyatakan pemberian methadone (5-
10 mg dosis dewasa) setiap 8 jam merupakan terapi penghilang nyeri kronik yang
bagus untuk semua pasien luka bakar dewasa. Jika pasien masih merasakan nyeri
walau dengan pemberian morfin atau methadone, dapat juga diberikan
benzodiazepine sebagai tambahan.
Terapi pembedahan pada luka bakar
1. Eksisi dini

26
Eksisi dini adalah tindakan pembuangan jaringan nekrosis dan debris
(debridement) yang dilakukan dalam waktu kurang dari 7 hari (biasanya hari ke
5-7) pasca cedera termis. Dasar dari tindakan ini adalah:
a. Mengupayakan proses penyembuhan berlangsung lebih cepat. Dengan
dibuangnya jaringan nekrosis, debris dan eskar, proses inflamasi tidak akan
berlangsung lebih lama dan segera dilanjutkan proses fibroplasia. Pada
daerah sekitar luka bakar umumnya terjadi edema, hal ini akan menghambat
aliran darah dari arteri yang dapat mengakibatkan terjadinya iskemi pada
jaringan tersebut ataupun menghambat proses penyembuhan dari luka
tersebut. Dengan semakin lama waktu terlepasnya eskar, semakin lama juga
waktu yang diperlukan untuk penyembuhan.
b. Memutus rantai proses inflamasi yang dapat berlanjut menjadi komplikasi
– komplikasi luka bakar (seperti SIRS). Hal ini didasarkan atas jaringan
nekrosis yang melepaskan “burn toxic” (lipid protein complex) yang
menginduksi dilepasnya mediator-mediator inflamasi.
c. Semakin lama penundaan tindakan eksisi, semakin banyaknya proses
angiogenesis yang terjadi dan vasodilatasi di sekitar luka. Hal ini
mengakibatkan banyaknya darah keluar saat dilakukan tindakan operasi.
Selain itu, penundaan eksisi akan meningkatkan resiko kolonisasi mikro –
organisme patogen yang akan menghambat pemulihan graft dan juga eskar
yang melembut membuat tindakan eksisi semakin sulit.
Tindakan ini disertai anestesi baik lokal maupun general dan pemberian
cairan melalui infus. Tindakan ini digunakan untuk mengatasi kasus luka bakar
derajat II dalam dan derajat III. Tindakan ini diikuti tindakan hemostasis dan
juga “skin grafting” (dianjurkan “split thickness skin grafting”). Tindakan ini
juga tidak akan mengurangi mortalitas pada pasien luka bakar yang luas. Eksisi
dini diutamakan dilakukan pada daerah luka sekitar batang tubuh posterior.
Eksisi dini terdiri dari eksisi tangensial dan eksisi fasial.
2. Skin grafting
Skin grafting adalah metode penutupan luka sederhana. Tujuan dari metode
ini adalah:

27
a. Menghentikan evaporate heat loss
b. Mengupayakan agar proses penyembuhan terjadi sesuai dengan waktu
c. Melindungi jaringan yang terbuka

PROGNOSIS
Prognosis dan penanganan luka bakar terutama tergantung pada dalam dan
luasnya permukaan luka bakar, dan penanganan sejak awal hingga penyembuhan.
Selain itu faktor letak daerah yang terbakar, usia dan keadaan kesehatan penderita
juga turut menentukan kecepatan penyembuhan.
Penyulit juga mempengaruhi prognosis pasien. Penyulit yang timbul pada
luka bakar antara lain gagal ginjal akut, edema paru, SIRS, infeksi dan sepsis, serta
parut hipertrofik dan kontraktur.

KOMPLIKASI
Sistemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), Multi-system Organ
Dysfunction Syndrome (MODS), dan Sepsis
SIRS adalah suatu bentuk respon klinik yang bersifat sistemik terhadap
berbagai stimulus klinik berat akibat infeksi ataupun noninfeksi seperti trauma, luka
bakar, reaksi autoimun, sirosis, pankreatitis, dll. Respon ini merupakan dampak dari
pelepasan mediator-mediator inflamasi (proinflamasi) yang mulanya bersifat
fisiologik dalam proses penyembuhan luka, namun oleh karena pengaruh beberapa
faktor predisposisi dan faktor pencetus, respon ini berubah secara berlebihan
(mengalami eksagregasi) dan menyebabkan kerusakan pada organ-organ sistemik,
menyebabkan disfungsi dan berakhir dengan kegagalan organ terkena menjalankan
fungsinya; MODS (Multi-system Organ Disfunction Syndrome) bahkan sampai
kegagalan berbagai organ (Multi-system Organ Failure/MOF).
Ada 5 hal yang bisa menjadi aktivator timbulnya SIRS, yaitu infection,
injury, inflamation, inadequate blood flow, dan ischemia-reperfusion injury.
Kriteria klinik yang digunakan, mengikuti hasil konsensus American College of
Chest phycisians dan the Society of Critical Care Medicine tahun 1991, yaitu bila
dijumpai 2 atau lebih menifestasi berikut selama beberapa hari, yaitu:

28
- Hipertermia (suhu > 38°C) atau hipotermia (suhu < 36°C)
- Takikardi (frekuensi nadi > 90x/menit)
- Takipneu (frekuensi nafas > 20x/menit) atau tekanan parsial CO2 rendah
(PaCO2 < 32 mmHg)
- Leukositosis (jumlah lekosit > 12.000 sel/mm3), leukopeni (< 4000
sel/mm3) atau dijumpai > 10% netrofil dalam bentuk imatur (band).
Bila diperoleh bukti bahwa infeksi sebagai penyebab (dari hasil kultur
darah/bakteremia), maka SIRS disebut sebagai sepsis. SIRS akan selalu berkaitan
dengan MODS karena MODS merupakan akhir dari SIRS. Pada dasarnya MODS
adalah kumpulan gejala dengan adanya gangguan fungsi organ pada pasien akut
sedemikian rupa, sehingga homeostasis tidak dapat dipertahankan tanpa intervensi.
Bila ditelusuri lebih lanjut, SIRS sebagai suatu proses yang berkesinambungan
sehingga dapat dimengerti bahwa MODS menggambarkan kondisi lebih berat dan
merupakan bagian akhir dari spektrum keadaan yang berawal dari SIRS.
MODS merupakan bagian akhir dari spektrum klinis SIRS. Pada pasien luka
bakar dapat dijumpai secara kasar 30% kasus mengalami MODS. Ada 3 teori yang
menjelaskan timbulnya SIRS, MODS dan sepsis; yang mana ketiganya terjadi
secara simultan.
Teori pertama menyebutkan bahwa syok yang terjadi menyebabkan
penurunan penurunan sirkulasi di daerah splangnikus, perfusi ke jaringan usus
terganggu menyebabkan disrupsi mukosa saluran cerna. Disrupsi mukosa
menyebakan fungsi mukosa sebagai barrier berkurang/hilang, dan mempermudah
terjadinya translokasi bakteri. Bakteri yang mengalami translokasi umumnya flora
normal usus yang bersifat komensal, berubah menjadi oportunistik; khususnya
akibat perubahan suasana di dalam lumen usus (puasa, pemberian antasida dan
beberapa jenis antibiotika). Selain kehilangan fungsi sebagai barrier terhadap
kuman, daya imunitas juga berkurang (kulit, mukosa), sehingga mudah dirusak oleh
toksin yang berasal dari kuman (endo atau enterotoksin). Pada kondisi disrupsi, bila
pasien dipuasakan, maka proses degenerasi mukosa justru berlanjut menjadi atrofi
mukosa usus yang dapat memperberat keadaan.

29
Gangguan sirkulasi ke berbagai organ menyebabkan kondisi-kondisi yang
memicu SIRS. Gangguan sirkulasi serebral menyebabkan disfungsi karena
gangguan sistem autoregulasi serebral yang memberi dampak sistemik
(ensefelopati). Gangguan sirkulasi ke ginjal menyebabkan iskemi ginjal khususnya
tubulus berlanjut dengan Acute Tubular Necrosis (ATN) yang berakhir dengan
gagal ginjal (Acute Renal Failure/ARF). Gangguan sirkulasi perifer menyebabkan
iskemi otot-otot dengan dampak pemecahan glikoprotein yang meningkatkan
produksi Nitric Oxide (NO); NO ini berperan sebagai modulator sepsis. Gangguan
sirkulasi ke kulit dan sitem integumen menyebabkan terutama gangguan sistim
imun; karena penurunan produksi limfosit dan penurunan fungsi barrier kulit.
Teori kedua menjelaskan pelepasan Lipid Protein Complex (LPC) yang
sebelumnya dikenal dengan burn toxin dari jaringan nekrosis akibat cedera termis.
LPC memiliki toksisitas ribuan kali di atas endotoksin dalam merangsang pelepasan
mediator pro-inflamasi; namun pelepasan LPC ini tidak ada hubungannya dengan
infeksi. Respon yang timbul mulanya bersifat lokal, terbatas pada daerah cedera;
kemudian berkembang menjadi suatu bentuk respon sistemik.
Teori ketiga menjelaskan kekacauan sistem metabolisme (hipometabolik
pada fase akut dilanjutkan hipermetabolik pada fase selanjutnya) yang menguras
seluruh modalitas tubuh khususnya sistim imunologi. Mediator-mediator pro-
inflamasi yang dilepas ke sirkulasi sebagai respon terhadap suatu cedera tidak
hanya menyerang benda asing atau toksin yang ada; tetapi juga menimbulkan
kerusakan pada jaringan organ sistemik. Kondisi ini dimungkinkan karena luka
bakar merupakan suatu bentuk trauma yang bersifat imunosupresif.
Komplikasi SIRS bervariasi tergantung etiologi. Komplikasi yang mungkin
terjadi pada SIRS adalah gagal napas, Acute Respiratory Distress Syndrome
(ARDS), dan pneumonia nosokomial, gagal ginjal, perdarahan saluran cerna dan
stres gastritis, anemia, Trombosis vena dalam (Deep Vein Thrombosis/DVT),
hiperglikemia, dan Disseminated intravascular coagulation (DIC).
Penatalaksanaan luka bakar bersifat lebih agresif dan bertujuan mencegah
perkembangan SIRS, MODS, dan sepsis.

30
BAB III
PEMBAHASAN KASUS

Tn. S, usia 21 tahun datang ke UGD RS dengan keluhan luka bakar di


tubuhnya yaitu kedua lengan dan punggung bagian atas yang dialami sejak 2 jam
sebelum masuk Rumah Sakit akibat tersengat listrik. Pasien sedang bekerja di
mesjid dan tanpa sengaja menyentuh kabel telanjang. Nyeri (+) jika luka bakar
disentuh. Riwayat pingsan (+) <15menit, hal ini menandakan telah terjadi cardiac
arrest akibat sengatan listrik, riwayat muntah (-), riwayat sesak (-), batuk(-). Pada
pemeriksaan fisis ditemukan pada regio thoracalis posterior, cervical, ekstremitas
kanan dan kiri tampak kesan luka bakar, nyeri (+), edema (+), eritema (+), pucat(+),
pulselessness(+). Pada pemeriksaan penunjang ditemukan leukositosis,
peningkatan enzim transaminase, hemoglobinuria, dan ketonuria.
Pasien datang masih dalam fase akut luka bakar. Maka perlu diperhatikan
ABCD dari pasien. Airway: paten. Breathing & Ventilation: dada simetris, P 20
x/menit, Rh-/-, Wh-/-, bunyi pernapasan vesikuler, tipe pernapasan
thoracoabdominal. Circulation: TD 110/70 mmHg, N 88 x/menit reguler kuat
angkat. Disability: kesadaran composmentis, pupil isokor Ø 2,5 mm/2,5 mm.
Environment: suhu axilla 36,8 C.
Pada tubuh ditemukan luka bakar di region cervical (3%), thoracalis
posterior (7 %) dan ekstremitas kanan dan kiri (7 %). Luas luka ditentukan menurut
diagram rules of nine dari Wallace. Total luas luka bakar mencapai 17% dengan
grade II A – II B, sehingga digolongkan ke dalam luka bakar sedang.
Luka bakar pada pasien ini digolongkan luka bakar derajat II A – II B sebab
kerusakan meliputi epidermis dan sebagian dermis yang terlihat dari reaksi
inflamasi akut dan proses eksudasi, ditemukan bula, dasar luka berwarna merah
atau pucat dan nyeri akibat iritasi ujung saraf sensorik. Luka bakar pada pasien tidak
digolongkan dalam derajat I sebab pada luka bakar derajat I kelainannya hanya
berupa eritema, kulit kering, nyeri tanpa disertai eksudasi. Luka bakar juga tidak
digolongkan dalam derajat III sebab pada luka bakar derajat III dijumpai kulit
terbakar berwarna abu-abu dan pucat, letaknya lebih rendah (cekung) dibandingkan

31
kulit sekitar dan tidak dijumpai rasa nyeri/hilang sensasi akibat kerusakan total
ujung serabut saraf sensoris.
Lengan tampak edema hiperemis dan bulla. Edema terjadi akibat adanya
gangguan vaskularisasi yang menyebabkan permeabilitas kapiler meningkat,
tekanan osmotik koloid menurun sehingga air, protein yang terkandung dalam
vascular berpindah ke jaringan interstisial. Hiperemis terjadi akibat adanya
peningkatan aliran darah pada zona ini, dimana belum terjadi kerusakan jaringan
namun tubuh sudah mempersiapkan untuk mencegah terjadinya kerusakan jaringan
dengan meningkatkan aliran darah pada daerah ini. Bulla menandakan terjadinya
perpindahan cairan dari jaringan interstisial (2nd spacing) menuju 3rd spacing di atas
dermis yang selanjutnya akan membentuk bulla tersebut.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisis, pada ektremitas didapatkan tanda-
tanda sindrom kompartemen, seperti pain, pallor (pucat), paralisis (kelemahan),
pulselessness (denyut nadi melemah). Dimana Sindrom kompartemen merupakan
suatu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan interstitial pada kompartemen
osteofasial yang tertutup akibat meningkatnya permeabilitas kapiler akibat terpajan
suhu tinggi yang menyebabkan terjadinya perpindahan cairan yang berasal dari
jaringan interstisial. Sehingga mengakibatkan berkurangnya perfusi jaringan dan
tekanan oksigen jaringan. Hal tersebut merupakan indikasi untuk dilakukan
fasciotomi.
Dilihat dari hasil pemeriksaan laboratorium urine, terdapat abnormalitas pada
hasil makroskopik yaitu warna urine jernih namun kemerahan,akibat terjadinya
hemolisis yang menyebakan hemoglobin terdapat dalam urine dan mewarnai urine
tersebut. Dari pemeriksaan laboratorium darah tepi ditemukan peningkatan
leukosit. Peningkatan leukosit ini disebabkan oleh reaksi inflamasi pada fase akut
luka bakar. Selain itu, terjadi peningkatan enzim transaminase akibat proses
inflamasi di hepar dan otot.
Resusitasi cairan perlu dilakukan karena luka bakar mencapai 17% (di atas
15%). Dengan rumus Parkland, dapat dihitung kebutuhan cairan pasien yaitu:
(diketahui BB pasien 65 kg)
4x BB x luas luka bakar = 4 x 65 x 17 = 4420 mL (dalam 24 jam Pertama)

32
Dari total cairan yang harus diberikan dalam 24 jam pertama, dibagi dalam
dua pemberian yaitu cairan pada 8 jam pertama dan 16 jam kedua. Karena resusitasi
seharusnya dimulai sejak terjadinya trauma bakar sedangkan pasien datang ke
rumah sakit 2 jam setelah kejadian, sehingga tersisa 6 jam dari yang seharusnya 8
jam pertama untuk melakukan resusitasi. 2210 cc diberikan pada 6 jam pertama ≈
(2210 cc x 20)/6x60 menit= 124 tts/menit; kemudian 2210 cc yang diberikan pada
16 jam selanjutnya ≈ (2210 ml x 20)/ 16x60 menit = 46 tts/ menit.
Cairan yang digunakan yaitu Ringer Laktat (RL). Hal yang dimonitor selama
resusitasi yaitu output urin 0,5 – 1 mL/kg BB/jam dan tanda-tanda vital.
Kebocoran dan akumulasi protein plasma di luar kompartemen vaskular
memberikan kontribusi pada pembentukan edema. Kebocoran kapiler bisa bertahan
hingga 24 jam setelah trauma bakar. Sehingga pemberian koloid tidak dianjurkan
pada 24 jam pertama.
Setelah itu dilakukan perawatan luka bakar. Luka bakar dibersihkan dengan
air hangat yang mengalir. Hal ini merupakan cara terbaik untuk menurunkan suhu
di daerah cedera, sehingga dapat menghentikan proses kombusio pada jaringan.
Kemudian diberikan krim silver sulvadiazin untuk penanganan infeksi. Untuk
menutup luka, digunakan kasa lembab steril menggunakan cairan NaCl untuk
mencegah penguapan. Balutan dinilai dalam waktu 24-48 jam. Bulla yang luas
dengan akumulasi transudat, akan menyebabkan penarikan cairan ke dalam bula
sehingga menyebabkan gangguan keseimbangan cairan.
Diberikan antibiotik karena luka bakar yang tidak steril diakibatkan oleh
kontaminasi pada kulit mati, yang merupakan medium yang baik untuk
pertumbuhan kuman, akan mempermudah infeksi. Kuman penyebab infeksi pada
luka bakar, selain berasal dari dari kulit penderita sendiri, juga dari kontaminasi
kuman saluran napas atas dan kontaminasi kuman di lingkungan rumah sakit. Selain
pemberian antibiotik, pasien juga diberikan analgetik golongan NSAID untuk
mengurangi nyeri yang dirasakan oleh pasien serta diberikan AH2 antagonis untuk
mencegah pengeluaran asam lambung yang diakibatkan oleh stress ulcer akibat
luka bakar tersebut.

33
DAFTAR PUSTAKA

Advances Trauma Life Support untuk Dokter. 2004.


Mehmet H, Ebru SA, Hamdi K. Fluid Management in Major Burn Injuries. Indian
J Plast Surg. 2010: S29-S36.
David G. Burn Resuscitation. Journal of Burn Care & Research. 2007: 4.
WHO. Management of Burns. WHO Surgical Care at the District Hospital. 2003:
1-7.
Shehan H, Peter D. Pathophysiology and Types of Burns. BMJ. 2004;328:1427–9.
New Zealand Guidelines Group. Management of Burns and Scalds in Primary
Care. Accident Compensation Corporation. 2007: 4-6.
James M, Mahambrey T, Andrews F, Jeanrenaud P, Yao S, Wilkinson D. Adult
Acute Burn Fluid Resuscitation Guidelines. NHS: 1-4.
The Dudley Group. Clinical Guideline Burn Injury. 2012
Steffen Rex.Burn Injuries. 2012

34

Anda mungkin juga menyukai