Anda di halaman 1dari 76

1

PENERAPAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING BERVISI


SCIENCE, ENVIRONMENT, TECHNOLOGY AND SOCIETY TERHADAP
KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS DAN HASIL BELAJAR PESERTA
DIDIK PADA MATERI MINYAK BUMI KELAS XI MIPA MAN 2
MODEL BANJARMASIN TAHUN PELAJARAN 2019/2020

PROPOSAL

Oleh:
DWI DAMAYANTI
NIM. A1C315046

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA


JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA
FAKULTAS KEPENDIDIKAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
JULI 2019
LEMBAR PERSETUJUAN

Ini untuk menyatakan bahwa proposal Skripsi Sarjana dari Dwi Damayanti, NIM

A1C315046 dengan judul “ Penerapan Model Problem Based Learning dengan

Bervisi Science, Environment, Technology and Society terhadap Keterampilan

Berpikir Kritis dan Hasil Belajar Peserta Didik pada Materi Minyak Bumi Kelas XI

MIPA MAN 2 Model Banjarmasin Tahun Pelajaran 2019/2020” telah disetujui oleh

pembimbing untuk melakukan seminar proposal dalam rangka penulisan skripsi.

Pembimbing I Pembimbing II

Dra. Hj. Leny, M.Si Drs. H. Abdul Hamid, M.Si

NIP 19601010 198503 2 008 NIP 19640210199003 1 003

Mengetahui,

Ketua Program Studi Pendidikan Kimia

Dr. Hj. Atiek Winarti, M.Pd, M.Sc

NIP. 19690926 199303 2 003

2
2

A. JUDUL

PENERAPAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING BERVISI SCIENCE,


ENVIRONMENT, TECHNOLOGY AND SOCIETY TERHADAP
KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS DAN HASIL BELAJAR PADA
MATERI MINYAK BUMI PESERTA DIDIK MAN 2 MODEL
BANJARMASIN TAHUN PELAJARAN 2019/2020

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Permasalahan yang kini dihadapi di dalam dunia pendidikan adalah

bagaimana meningkatkan kualitas pendidikan yang umumnya dikaitkan dengan

tinggi atau rendahnya prestasi belajar yang diperoleh peserta didik. Berbagai usaha

telah dilakukan oleh pengelola pendidikan dalam rangka meningkatkan prestasi

belajar peserta didik, salah satunya dengan melakukan perubahan kurikulum dan

perubahan proses pembelajaran di sekolah. Langkah ini merupakan langkah awal

untuk meningkatkan mutu pendidikan.

Pendidikan merupakan kegiatan mengoptimalkan perkembangan potensi,

kecakapan serta karakteristik pribadi peserta didik. Kegiatan pendidikan ini

diarahkan pada pencapaian tujuan pendidikan (Rerung, Sinon, & Widyaningsih,

2017). Tujuan pendidikan dalam UU RI No 20 Tahun 2003 yang tercantum pada

BAB II Pasal 3 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa

Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan, membentuk

watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan

kehidupan bangsa. Pendidikan tidak dapat terlepas dari berbagai upaya, salah

satunya upaya yang dilakukan pemerintah adalah menerapkan dan


3

mengembangkan kurikulum berbasis kompetensi pada tahun 2004 dan 2006

menjadi kurikulum 2013 (Wasonowati, Redjeki, & Ariani, 2014).

Kurikulum 2013 ditetapkan sebagai bagian meningkatkan kualitas

pendidikan Indonesia di seluruh jenjang yang dinilai dari tiga ranah kompetensi ,

yaitu pengetahuan, sikap dan keterampilan. Tahap pelaksanaan kurikulum 2013

berfokus pada kegiatan aktif peserta didik melalui suatu proses ilmiah dengan

tujuan agar pembelajaran tidak hanya menciptakan peserta didik yang mempunyai

kompetensi pengetahuan saja, tetapi juga mampu menciptakan peserta didik yang

baik dalam sikap dan keterampilan.

Keterampilan yang dibutuhkan saat ini adalah keterampilan berpikir kritis,

keterampilan yang dimaksud antara lain keterampilan mengkomunikasikan

informasi, menyimpan, mengelola, menganalisi, membuat dan mengakses dalam

memanfaatkan teknologi canggih (Center, 2010). Hal tersebut sesuai dengan

pernyataan Permendikbud No 21 Tahun 2016 Standar Kompetensi Lulusan

Pendidikan Dasar dan Menengah Kurikulum 2013 yang menyatakan bahwa peserta

didik harus mampu menunjukkan keterampilannya dalam menalar, mengolah, dan

menyajikan informasi secara kritis. Banyaknya peserta didik yang masih tidak

menggunakan keterampilan berpikir kritisnya dalam menanggapi masalah-masalah

yang ada di lingkungan sekitarnya, karena hal itulah peserta didik memiliki

keterampilan berpikir yang rendah (Luzywati, 2015).

Mengembangkan keterampilan berpikir kritis perlu adanya pengetahuan

akan kebudayaan lokal, diperlukan pembelajaran yang mengembangkan pola pikir

dan melibatkan peserta didik secara aktif dalam proses pembelajaran. Peran aktif
4

peserta didik sangat diharapkan tercipta pada pembelajaran, yaitu harus ditekankan

pada proses yang dilalui dalam mencapai tujuan pembelajaran, tidak hanya

berfokus pada penguasaan materi (Hidayati, Leny, & Iriani, 2018).

Upaya untuk mengatasi kurangnya keterampilan berpikir kritis dan hasil

belajar peserta didik serta memaksimalkan keterlibatan peserta didik adalah

menerapkan model pembelajaran yang sesuai. Model pembelajaran yang digunakan

dalam kegiatan belajar mengajar haruslah sesuai dengan materi yang akan

diajarkan.

Materi minyak bumi merupakan materi yang kaitannya erat dengan

kehidupan sehari-hari yang sering diajarkan dengan metode ceramah, tanya jawab

dan diskusi. Pembelajarannya dilakukan sekilas karena menurut guru yang

mengapu, materi minyak bumi bersifat hafalan dan dapat dipelajari peserta didik

dengan membaca sendiri. Sampai saat ini minyak bumi menjadi prioritas utama

sebagai sumber energi global untuk hampir semua aspek kehidupan dan tentunya

dalam pengolahan dan penggunaan minyak bumi banyak melibatkan teknologi dan

menimbulkan berbagai masalah lingkungan dan masyarakat.

Pembelajaran akan lebih bermanfaat jika model yang digunakan diperbaiki

menjadi pembelajaran bermakna. Pembelajaran bermakna merupakan

pembelajaran agar peserta didik memahami hubungan minyak bumi dalam

keseharian dan lingkungan serta mengonstruksi sendiri pengetahuan sainnya untuk

memecahkan masalah akibat penggunaan minyak bumi melalui teknologi yang

dipelajari.
5

Model pembelajaran yang inovatif dapat membangkitkan minat peserta

didik dalam mengikuti proses pembelajaran, karena peserta didik tidak akan jenuh

dengan mengikuti kegiatan belajar mengajar sehingga hasil belajar peserta didik

akan baik (Ismulyati & Ramadhan, 2017). Salah satu model pembelajaran yang

menunjang keberhasilan belajar mengajar adalah diterapkannya model

pembelajaran PBL.

PBL merupakan model pembelajaran yang menggunakan permasalahan

nyata di lingkungan sebagai dasar dalam memperoleh pengetahuan serta konsep

melalui keterampilan berpikir kritis dan memecahkan masalah (Diani, Saregar, &

Ifana, 2016). PBL didasari oleh beberapa teori belajar salah satunya teori belajar

konstruktivisme. Filosofi pembelajaran konstruktivisme adalah merefleksikan

pengalaman untuk membangun, mengkontruksi pengetahuan dan pemahaman.

Langkah-langkah pada model pembelajaran PBL melibatkan peserta didik agar

dapat melakukan penyelidikan secara langsung untuk memecahkan masalah

sehingga dapat melatih keterampilan berpikir kritisnya.

Paradigma baru pendidikan, dalam tujuan pembelajarannya bukan hanya

untuk merubah perilaku peserta didik, tetapi membentuk karakter dan sikap mental

professional yang berorientasi pada global mindset. Fokus pembelajarannya adalah

pada “mempelajari cara belajar” (learning how to learn) dan bukan semata

mempelajari substansi mata pelajaran. Peserta didik sebagai stakeholder terlibat

langsung dengan masalah, dan tertantang untuk belajar menyelesaikan masalah

(Nugraheni, Mulyani, & Ariani, 2013).


6

Masalah lingkungan dan masyarakat memiliki keterkaitan yang sangat erat

dengan perkembangan sains dan teknologi, sehingga dimungkinkan menggunakan

keterkaitan tersebut sebagai cara pandang atau visi dalam melihat sesuatu.

Meniadakan keterkaitan unsur sains, lingkungan, teknologi dan masyarakat

menjadi tidak relevan dalam konteks pendidikan masa sekarang, perlunya

diterapkan pilihan pembelajaran yang tepat misalnya pendidikan bervisi SETS

(Nugraheni, Mulyani, & Ariani, 2013).

Model Pembelajaran bervisi SETS bertujuan agar pembelajaran kimia

lebih kontekstual dan peserta didik dapat menghubungkan konsep yang telah

dipelajari dengan fenomena dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Binadja (2015),

visi SETS digunakan sebagai cara pandang yang memandang bahwa konsep sains

tidak berdiri sendiri, tetapi selalu berhubungan dengan lingkungan, teknologi, dan

masyarakat. Konsep sains sesuai dengan hakikatnya yang menyatakan sains

merupakan pembelajaran yang erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari.

Dengan demikian peserta didik mampu menjelaskan dan menyelesaikan isu atau

masalah-masalah yang berkaitan dengan teknologi, serta pengaruhnya terhadap

lingkungan dan masyarakat.

Permasalahan yang ada membuat kita mengharapkan adanya suatu model

pembelajaran yang sesuai dan mampu menunjang terwujudnya suatu keterampilan

berpikir kritis dan hasil belajar yang diinginkan pada peserta didik.

Keterampilan berpikir yang diinginkan adalah keterampilan berpikir kritis dimana

keterampilan berpikir kritis melibatkan aktivitas- aktivitas seperti menganalisis,


7

menyintesis, membuat pertimbangan, menciptakan, dan menerapkan

pengetahuan baru pada situasi dunia nyata.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini dibuat sebagai kajian

guna mengetahui perbedaan keterampilan berpikir kritis dan hasil belajar peserta

didik menggunakan model pembelajaran PBL bervisi SETS pada materi koloid .

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, maka dapaat dirumuskan

masalah sebagai berikut:

1) Apakah terdapat perbedaan keterampilan berpikir kritis peserta didik yang

signifikan antara penerapan model pembelajaran PBL bervisi SETS dengan

model pembelajaran ekspositori?

2) Apakah terdapat perbedaan hasil belajar peserta didik yang signifikan antara

penerapan model pembelajaran PBL bervisi SETS dengan model

pembelajaran ekspositori?

3) Bagaimana respon peserta didik terhadap model pembelajaran PBL bervisi

SETS pada materi minyak bumi?

3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah

untuk mengetahui:

1) Perbedaan keterampilan berpikir kritis peserta didik antara penerapan model

pembelajaran PBL bervisi SETS dengan model pembelajaran ekspositori.


8

2) Perbedaan kemampuan hasil belajar peserta didik pada antara penerapan

model pembelajaran PBL bervisi SETS dengan model pembelajaran

ekspositori.

3) Respon peserta didik yang belajar dengan model pembelajaran PBL bervisi

SETS pada materi minyak bumi.

4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1) Bagi peserta didik, sebagai bahan untuk meningkatkan keterampilan berpikir

kritis dan hasil belajar. Selain itu, model pembelajaran PBL bervisi SETS

dapat membantu menemukan pengetahuan sendiri dengan baik serta sebagai

sarana untuk mengembangkan kemampuan mengaitkan pelajaran dengan

sains, lingkungan, teknologi dan masyarakat serta memotivasi peserta didik

agar lebih menyenangi materi pelajaran kimia, khususnya materi minyak

bumi sehingga dapat meningkatkan hasil belajarnya.

2) Bagi guru, sebagai bahan studi komparatif dan menjadi sumber bacaan guna

menambah wawasan keilmuan serta sebagai sumber informasi dalam

meningkatkan kreativitas guru dalam merancang dan mengimplementasikan

pembelajaran.

3) Bagi sekolah, sebagai tambahan informasi atau masukan dalam mencari

alternatif perbaikan pembelajaran guna meningkatkan mutu proses

pembelajaran kimia di MAN 2 Model Banjarmasin dalam mencapai tujuan

pembelajaran yang optimal.


9

4) Bagi peneliti, sebagai bahan referensi mengenai pembelajaran dalam

pembelajaran kimia serta sebagai pengalaman yang berharga untuk

selanjutnya dapat diterapkan dalam pembelajaran kimia apabila nantinya

terjun langsung ke lapangan.

5. Definisi Operasional

Definisi ini dilakukan untuk menghindari salah penafsiran istilah yang

digunakan di dalam penelitian. Adapun beberapa istilah yang perlu didefinisikan

adalah sebagai berikut:

1) Model Problem Based Learning

Problem based learning adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan

peserta didik untuk memecahkan suatu masalah melalui tahap-tahap metode

ilmiah sehingga peserta didik dapat mempelajari pengetahuan yang

berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki keterampilan

untuk memecahkan masalah. Model problem based learning dilakukan dalam

lima tahap yaitu mengorientasi, mengorganisasi, membimbing,

mengembangkan dan menyajikan serta menganalisis dan mengevaluasi.

2) Visi SETS

Visi SETS adalah cara pandang ke depan yang membawa ke arah pemahaman

bahwa segala sesuatu yang kita hadapi dalam kehidupan ini mengandung

aspek sains, lingkungan, teknologi dan masyarakat sebagai satu kesatuan serta

saling mempengaruhi secara timbal balik.

3) Keterampilan Berpikir Kritis (KBK)


10

KBK adalah kemampuan berpikir reflektif yang berfokus pada pola

pengambilan keputusan tentang apa yang harus di yakini dan harus dilakukan.

KBK merupakan sebuah proses aktif memikirkan berbagai hal secara

mendalam, mengajukan berbagai hal dan menemukan informasi yang

relevan. Keterampilan berpikir kritis menjadi aspek penilaian pada penelitian ini.

Berpikir kritis adalah sebuah proses berpikir secara mendalam dengan

menganalisis berbagai informasi yang bertujuan untuk membuat keputusan

secara rasional untuk memecahkan suatu masalah. Indikator berpikir kritis

yang ingin dicapai didasarkan pada indikator keterampilan berpikir kritis oleh

Ennis yaitu 1) memberikan penjelasan sederhana; 2) membangun

keterampilan dasar; 3) menyimpulkan; 4) memberikan penjelasan lanjut; 5)

mengatur strategi dan teknik.

4) Hasil belajar

Hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki setiap individu setelah proses

pembelajaran. Hasil belajar digunakan sebagai tolak ukur dalam tingkat

keberhasilan pembelajaran baik secara kuantitatif maupun kualitatif

pengetahuan yang dikuasai peserta didik. Adapun hasil belajar yang akan

diperoleh peneliti adalah ranah pengetahuan, sikap dan keterampilan

(Purwanto, 2014).

a. Ranah pengetahuan diukur melalui tes hasil belajar berupa soal pilihan

ganda dengan berdasarkan pada level mengaplikasikan (C3) hingga

mencipta (C6).

b. Ranah sikap yang diukur dari sikap sosial yang berdasarkan kurikulum
11

2013, yakni rasa ingin tahu, tanggung jawab dan kerja sama. Instrumen

observasi ranah sikap menggunakan skala 1-5 yang disertai rubik

penilaian.

c. Ranah keterampilan diukur selama kegiatan fisik peserta didik selama

praktikum berlangsung dan diukur melalui instrumen non tes berupa

lembar observasi (Purwanto, 2014).

5) Minyak Bumi

Minyak bumi merupakan materi pelajaran yang diberikan dikelas MIPA XI

semester 1 dengan kompetensi dasar yang harus dicapai pada materi minyak

bumi yang terdiri atas beberapa pembahasan yaitu fraksi minyak bumi, mutu

bensin, dampak pembakaran bahan bakar dan cara mengatasinya, serta

senyawa hidrokarbon dalam kehidupan sehari-hari. Kompetensi dasar (KD)

materi minyak bumi meliputi:

(1) KD 3.2 Menjelaskan proses pembentukan fraksi-fraksi minyak bumi, teknik

pemisahan serta kegunaannya.

(2) KD 3.3 Mengidentifikasi reaksi pembakaran hidrokarbon yang sempurna

dan tidak sempurna serta sifat zat hasil pembakaran (CO2, CO, dan partikulat

karbon)

(3) KD 4.3 Menyusun gagasan cara mengatasi dampak pembakaran senyawa

karbon terhadap lingkungan dan kesehatan.

6) Model Ekspositori

Model ekspositori adalah model model pembelajaran yang menekankan

kepada penyampaian materi secara verbal dari seorang pendidik kepada

kelompok peserta didik dengan maksud peserta didik dapat menguasai materi
12

pelajaran secara optimal (Hosnan, 2014). Model ekspositori ini yang biasanya

digunakan pendidik/ guru saat mengajar di kelas atau biasa disebut model

konvensional. Menurut Hosnan (2014) model ini tediri dari 5 tahap yaitu

persiapan (preparation), penyajian (presentation), korelasi (correlation),

menyimpulkan (generalization) dan mengaplikasikan (application).

B. TINJAUAN PUSTAKA

1. Kajian Pustaka

1.1 Model Pembelajaran problem based learning (PBL)

1.1.1 Pengertian model pembelajaran PBL

Model pembelajaran adalah suatu rancangan yang meluskiskan prosedur

yang sistemastis dalam mengoganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai

tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi pendidik dalam

merencanakan atau melaksanakan aktivitas pembelajaran (Hosnan, 2014). Menurut

Sani (2014) model pembelajaran merupakan kerangka konsteptual berupa pola

prosedur sistematik yang dikembangkan berdasarkan teori dan digunakan dalam

mengorganisasikan proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan belajar. Ciri

utama sebuah model pembelajaran adalah adanya tahapan atau sintaks

pembelajaran.

PBL awal mulanya dikembangkan pada sekolah kedokteran di Ontaria,

Kanada pada 1960-an. Model ini dikembangkan sebagai respon atas fakta bahwa

para dokter muda yang baru lulus dari sekolah kedokteran memiliki pengetahuan

luas, tetapi kurang memiliki keterampilan yang memadai untuk memanfaatkan


13

pengetahuan tersebut dalam praktik sehari-hari. Perkembangan selanjutnya, PBL

secara lebih luas diterapkan di berbagai mata pelajaran di sekolah ataupun

perguruan tinggi (Hosnan, 2014).

Model PBL didasari oleh teori belajar konstruktivisme, teori belajar

bermakna Ausubel dan teori perkembangan mental Bruner. Teori belajar

konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan dibangun oleh peserta didik dan

tidak dapat dipindahkan dari guru ke peserta didik, kecuali hanya dengan keaktifan

peserta didik sendiri untuk menalar. Peserta didik aktif mengkonstruksi secara

terus-menerus sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah. Peran guru hanya

membantu menyediakan saran dan situasi agar proses konstruksi berjalan lancar.

Teori ini berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses, bukan menekankan

hasil (Sani, 2014).

Teori belajar bermakna David Ausabel menyatakan bahan pelajaran akan

lebih mudah dipahami jika bahan ajar dirasa bermakna bagi peserta didik. Hal ini

merupakan salah satu faktor yang memengaruhi proses mengkonstruksi

pengetahuan yaitu peserta didik dapat mengaitkan pengalaman atau informasi baru

dalam pengetahuan dengan struktur pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya

(Budiningsih, 2015). Teori perkembangan mental Jerome Burner menyatakan

proses belajar lebih ditentukan oleh cara mengatur materi pembelajaran. Menurut

Burner, proses belajar terjadi melalui beberapa tahap, salah satunya tahap enaktif

dimana peserta didik melakukan observasi langsung realitas untuk memahami

lingkungan (Sani, 2014).

PBL adalah model dengan pendekatan pembelajaran peserta didik pada


14

masalah autentik sehingga peserta dapat menyusun pengetahuan sendiri,

menumbuhkembangkan keterampilan yang lebih tinggi, memandirikan peserta

didik dan meningkatkan kepercayaan diri sendiri. Model ini bercirikan penggunaan

masalah kehidupan nyata sebagai sesuatu yang harus dipelajari peserta didik untuk

melatih dan meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan pemecahan masalah

serta mendapatkan pengetahuan konsep-konsep penting (Hosnan, 2014).

Prinsip utama PBL adalah penggunaan masalah nyata sebagai sarana bagi

peserta didik. Masalah nyata adalah masalah yang terdapat dalam kehidupan sehari-

hari. Pemilihan atau penentuan masalah nyata ini dapat dilakukan oleh guru

maupun peserta didik dengan menyesuaikan kompetensi dasar tertentu. Masalah

yang dikaji haruslah bersifat terbuka (open-ended problem) yaitu masalah yang

memiliki banyak jawaban atau strategi penyelesaian yang mendorong

keingintahuan peserta didik. Masalah itu juga harus bersifat tidak terstruktur

dengan baik (ill-structured) yang tidak dapat diselesaikan secara langsung

melainkan perlu infomasi lebih lanjut untuk menyelesaikannya.

Pada model PBL, perhatian pembelajaran tidak hanya pada perolehan

pengetahuan deklaratif, tetapi juga perolehan pengetahuan prosedural sehingga

penilaian tidak hanya cukup dengan tes. Tujuan utama PBL bukanlah penyampaian

sejumlah besar pengetahuan kepada peserta didik, melainkan pada pengembangan

keterampilan berpikir kritis dan kemampuan pemecahan masalah sekaligus

pengembangan keterampilan peserta didik untuk secara aktif membangun

pengetahuan sendiri.
15

1.1.2 Teori belajar yang melandasi pembelajaran berbasis masalah

Teori Belajar yang melandasi pembelajaran berbasis masalah menurut

Rusman (2014) adalah sebagai berikut:

1. Teori Belajar Konstruktivisme, dengan ciri sebagai berikut:

a. Pemahaman diperoleh dari interaksi dengan skenario permasalahan dan

lingkungan belajar.

b. Pergulatan dengan masalah dan proses inquiry masalah menciptakan

disonasi kognitif yang menstimulasi belajar.

c. Pengetahuan terjadi melalui proses kolaborasi negosiasi sosial dan evaluasi

terhadap keberadaan sebuah sudut pandang.

2. Teori Belajar Bermakna oleh David Ausubel

Ausubel membedakan antara belajar bermakna (meaningfull learning)

dengan belajar menghapal (rote learning). Belajar bermakna merupakan proses

belajar dimana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah

dimiliki seseorang yang sedang belajar. Belajar menghapal diperlukan bila

seseorang memperoleh informasi baru dalam pengetahuan yang sama sekali tidak

berhubungan dengan yang telah diketahuinya. Kaitan dengan PBL dalam hal

mengaitkan informasi baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki oleh peserta

didik.

3. Teori Belajar Vigotsky

Perkembangan intelektual terjadi pada saat individu berhadapan dengan

pengalaman baru dan menantang serta ketika mereka berusaha untuk memecahkan

masalah yang dimunculkan. Dalam upaya mendapatkan pemahaman, individu


16

berusaha mengaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan awal yang telah

dimilikinya kemudian membangun pengertian baru. Vigotsky meyakini bahwa

interaksi sosial dengan teman lain memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya

perkembangan intelektual peserta didik. Kaitan dengan PBL dalam hal mengaitkan

informasi baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki oleh peserta didik

melalui kegiatan belajar dalam interaksi sosial dengan teman lain.

4. Teori Belajar Jerome S. Bruner

Metode penemuan merupakan metode dimana peserta didik menemukan

kembali, bukan menemukan yang sama sekali benar-benar baru. Belajar penemuan

sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dengan sendirinya

memberikan hasil yang lebih baik, berusaha mencari sendiri pemecahan masalah

serta didukung oleh pengetahuan yang menyertainya, serta menghasilkan

pengetahuan yang benar-benar bermakna.

Prinsip utama PBL adalah penggunaan masalah nyata sebagai sarana bagi

peserta didik. Masalah nyata adalah masalah yang terdapat dalam kehidupan sehari-

hari. Pemilihan atau penentuan masalah nyata ini dapat dilakukan oleh guru

maupun peserta didik dengan menyesuaikan kompetensi dasar tertentu. Masalah

yang dikaji haruslah bersifat terbuka (open-ended problem) yaitu masalah yang

memiliki banyak jawaban atau strategi penyelesaian yang mendorong

keingintahuan peserta didik. Masalah itu juga harus bersifat tidak terstruktur

dengan baik (ill-structured) yang tidak dapat diselesaikan secara langsung

melainkan perlu infomasi lebih lanjut untuk menyelesaikannya.


17

1.1.3 Ciri-ciri dan karakteristik model pembelajaran PBL

Ciri-ciri model pembelajaran menurut Rusman (2014) adalah sebagai

berikut (Rusman, 2014):

1. Berdasarkan teori pendidikan dan teori belajar dari ahli tertentu.

2. Mempunyai misi atau tujuan pendidikan tertentu.

3. Dapat dijadikan pedoman untuk perbaikan kegiatan belajar mengajar dikelas.

4. Memiliki dampak sebagai akibat terapan model pembelajaran.

5. Membuat persiapan mengajar dengan pedoman model pembelajaran yang

dipilih.

Karakteristik model PBL menurut Rusman (2014) sebagai berikut:

1. Permasalahan menjadi starting point dalam belajar.

2. Permasalahan yang diangkat adalah permasalahan yang ada didunia nyata yang

tidak terstruktur.

3. Permasalahan membutuhkan perspektif ganda.

4. Pemanfaatan sumber pengetahuan yang beragam, penggunaannya, dan evaluasi

sumber informasi merupakan proses yang esensial dalam PBL.

5. Permasalahan, menantang pengetahuan yang dimiliki oleh peserta didik, sikap,

dan kompetensi yang kemudian membutuhkan identifikasi kebutuhan belajar

dan bidang baru dalam belajar.

6. Belajar pengarahan diri menjadi yang utama.

7. Belajar adalah kolaboratif, komunikasi, dan kooperatif.

8. Pengembangan keterampilan inquiry dan pemecahan masalah sama pentingnya

dengan penguasaan isi pengetahuaan untuk mencari solusi dari sebuah


18

permasalahan.

9. Keterbukaan proses dalam PBL meliputi sintesis dan integrasi dari sebuah proses

belajar.

10.PBL melibatkan evaluasi dan review pengalaman peserta didik dan proses

belajar.

1.1.4 Sintaks model pembelajaran PBL

Permasalahan yang digunakan dalam PBL adalah permasalahan yang

dihadapi di dunia nyata. Meskipun kemampuan individual dituntut bagi setiap

peserta didik, tetapi dalam proses belajar dalam PBL peserta didik belajar dalam

kelompok untuk memahami persoalan yang dihadapi. Kemudian peserta didik

belajar secara individu untuk memperoleh informasi tambahan yang berhubungan

dengan pemecahan masalah. Peran guru dalam PBL yaitu sebagai fasilitator dalam

proses pembelajaran.

Berikut ini merupakan sintaks atau langkah-langkah dalam model

pembelajaran PBL seperti yang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Sintaks atau Langkah-langkah model pembelajaran PBL

No Tahap Aktivitas Pendidik


1. Tahap 1: Pendidik menjelaskan tujuan pembelajaran dan sarana
Mengorentasikan peserta atau logistik yang dibutuhkan. Pendidik memotivasi
didik terhadap masalah peserta didik untuk terlibat dalam aktivitas pemecahan
masalah
2 Tahap 2: Pendidik membantu peserta didik mendefinisikan dan
Mengorganisasi peserta didik mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan
untuk belajar dengan masalah yang sudah diorentasikan pada tahap
sebelumnya
3 Tahap 3: Pendidik mendorong peserta didik untuk
Membimbing penyelidikan mengumpulkan informasi yang sesuai dan
individual maupun kelompok melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan kejelasan
yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah
4 Tahap 4: Pendidik membantu peserta didik untuk berbagi tugas
Mengembangkan dan dan merencanakan ataupun menyiapakn karya yang
menyajikan hasil karya sesuai sebagai hasil pemecahan masalah dalam bentuk
laporan,video,atau model
19

Tabel 1 Lanjutan

No. Tahap Aktivitas Pendidik


5 Tahap 5: Pendidik membantu peserta didik untuk melakukan
Menganalisis dan mengevaluasi refleksi atau evaluasi terhadap proses pemecahan
proses pemecahan masalah masalah yang dilakukan
(Hosnan, 2014)

Tahapan-tahapan PBL yang dilaksanakan secara sistemastis berpotensi

dapat mengembangkan kemampuan peserta didik dalam menyelesaikan masalah

dan sekaligus menguasai pengetahuan yang sesuai dengan kompetensi dasar

tertentu. Tahapan-tahapan tersebut dapat diterapkan dengan aktivitas-aktivitas

pendekatan saintifik sesuai dengan karakteristik pembelajaran dalam kurikulum

2013.

1.1.5 Kelebihan dan kekurangan model pembelajaran PBL

Setiap model pembelajaran biasanya memiliki kelebihan dan kelemahan.

Keunggulan penerapan model pembelajaran PBL menurut Sanjaya (2012), yaitu

sebagai berikut :

1. Pemecahan masalah merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih

memahami isi pelajaran sehingga pembelajaran lebih bermakna.

2. Pemecahan masalah dapat menantang kemampuan peserta didik serta

memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru bagi peserta

didik.

3. Pemecahan masalah dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran peserta didik.

4. Pemecahan masalah dapat membantu peserta didik bagaimana mentransfer

pengetahuan peserta didik untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata.

5. Pemecahan masalah dapat membantu peserta didik untuk mengembangkan

pengetahuan barunya dan bertanggungjawab dalam pembelajaran yang


20

dilakukan. Disamping itu, pemecahan masalah itu juga dapat mendorong untuk

melakukan evaluasi sendiri baik terhadap hasil maupun proses belajarnya.

6. Melalui pemecahan masalah bisa memperlihatkan kepada peserta didik bahwa

setiap mata pelajaran pada dasarnya merupakan cara berpikir, dan sesuatu yang

harus dimengerti oleh peserta didik, bukan hanya sekedar belajar dari guru atau

dari buku saja.

7. Pemecahan masalah dianggap lebih menyenangkan dan disukai peserta didik.

8. Pemecahan masalah dapat mengembangkan kemampuan peserta didik untuk

berpikir kritis dan menyesuaikan dengan pengetahuan baru.

9. Pemecahan masalah dapat memberikan kesempatan peserta didik untuk

menerapkan pengetahuan yang dimiliki dalam dunia nyata.

10. Pemecahan masalah dapat mengembangkan minat peserta didik untuk secara

terus menerus belajar, sekalipun belajar pada pendidikan formal telah berakhir.

Adapun kelemahan-kelemanan dari penggunaan model pembelajaran PBL,

adalah sebagai berikut:

1. Manakala peserta didik tidak memiliki minat atau peserta didik berasumsi

bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka akan merasa

enggan untuk mencoba.

2. Keberhasilan model pembelajaran melalui PBL membutuhkan cukup waktu

untuk persiapan.

3. Tanpa pemahaman mengapa peserta didik berusaha memecahkan masalah

yang dipelajari, maka peserta didik tidak akan belajar apa yang ingin dipelajari.

4. Sering terjadi kesulitan dalam menemukan permasalahan yang sesuai dengan


21

tingkat berpikir peserta didik. Hal ini dapat terjadi karena adanya perbedaan

tingkat kemampuan berpikir pada para peserta didik.

5. Sering mengalami kesulitan dalam perubahan kebiasaan belajar dari yang

semula belajar mendengar, mencatat dan menghafal informasi yang

disampaikan guru, menjadi belajar dengan cara mencari data, menganalisis,

menyusun hipotesis, dan memecahkannya sendiri.

1.2 Visi SETS

SETS merupakan singkatan dari Science, Environment, Technology dan

Society. Jika dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai sains,

lingkungan, teknologi dan masyarakat yang disebut salingtemas. Pembelajaran

bervisi SETS, peserta didik diajak untuk mengkaitkan antara unsur sains dalam

pembelajaran yang sedang diikuti dengan unsur lingkungan, teknologi dan

masyarakat (Binadja, Wardani, & Nugroho, 2008). Keterkaitan tiap unsur

dijelaskan seperti pada Gambar 1.

Gambar 1 Keterkaitan unsur-unsur SETS

Visi SETS merupakan cara pandang ke depan yang membawa ke arah

pemahaman bahwa segala sesuatu yang kita hadapi dalam kehidupan ini

mengandung aspek sains, lingkungan, teknologi dan masyarakat sebagai satu


22

kesatuan serta saling mempengaruhi secara timbal balik (Binadja, Wardani, &

Nugroho, 2008). Pembelajaran SETS adalah pembelajaran yang berusaha

membawa peserta didik agar memiliki kemampuan memandang segala sesuatu

secara integrative dengan mengaitkan keempat unsur SETS sehingga dapat

diperoleh pemahaman yang lebih mendalam. Dengan pemahaman yang lebih

mendalam tersebut, hasil belajar peserta didik juga akan meningkat. Pembelajaran

SETS merupakan pembelajaran kontekstual, yaitu penerapan situasi nyata

kehidupan sehari-hari dalam pembelajaran (Nugraheni, Mulyani, & Ariani, 2013).

Konteks pembelajaran bervisi SETS, urutan SETS membawa pesan untuk

menggunakan sains ke bentuk teknologi dalam memenuhi kebutuhan masyarakat

diperlukan pemikiran tentang berbagai implikasinya dalam lingkungan secara fisik

maupun mental termasuk pada kehidupan manusia, unsur sains, teknologi, dan

masyarakat itu saling berkaitan satu sama lain.

Menurut Sardjio & Panen (2007) pembelajaran SETS yang sangat

bertumpu pada pembelajaran sains, memiliki beberapa karakteristik, sebagai

berikut :

(a) Tetap memberi pengajaran sains.

(b) Menciptakan situasi untuk pemanfaatan konsep sains yang terbentuk teknologi

untuk kepentingan masyarakat.

(c) Berpikir tentang berbagai kemungkinan akibat yang terjadi dalam proses

pengalihan (transfer) sains ke dalam bentuk teknologi.

(d) Menjelaskan keterhubungan antara sains yang dipelajari dengan unsur-unsur

lain dalam SETS yang mempengaruhi berbagai keterkaitan antarunsur.


23

(e) Mempertimbangkan manfaat atau kerugian dari penggunaan konsep sains

terebut bila diubah dalam bentuk teknologi.

(f) Dalam konteks kontruktivisme, peserta didik diajak berbincang tentang SETS

dari berbagai macam arah dan dari berbagai titik awal tergantung pengetahuan

dasar yang dimiliki oleh yang bersangkutan.

1.3 Keterampilan berpikir kritis

1.3.1 Pengertian keterampilan berpikir kritis

Berpikir kritis menurut Filsaime (2008) adalah sebuah proses yang

menekankan sebuah basis kepercayaan-kepercayaan yang logis dan rasional, dan

memberikan serangkaian standar dan prosedur untuk menganalisis, menguji dan

mengevaluasi. Pendapat yang lebih sederhana disampaikan oleh Norris dan Ennis

(1989) dalam Fisher (2007) yang menyatakan berpikir kritis adalah pemikiran yang

masuk akal dan reflektif yang berfokus untuk memutuskan apa yang mesti

dipercaya atau dilakukan.

Keterampilan berpikir kritis sebenarnya telah ditelaah selama hampir

seratus tahun. John Dewey, bapak tradisi berpikir modern mengungkapkan

pengertian berpikir kritis atau yang dinamakannya sebagai “berpikir reflektif”

adalah sebuah proses aktif. Proses aktif di sini bukanlah proses yang menerima

berbagai hal dari orang lain secara pasif, namun proses yang memikirkan berbagai

hal secara mendalam, mengajukan berbagai hal, menemukan informasi yang

relevan (Fisher, 2007).

Definisi dari berpikir kritis menurut Facione (2013) dapat dilihat pada

inti dari berpikir kritis itu sendiri. Inti dari berpikir kritis memuat keterampilan
24

interpretasi, analisis, inferensi, evaluasi, eksplanasi, dan self-regulasi.

a. Interpretasi adalah memahami dan mengekspresikan arti atau makna dari

pengalaman, situasi, data, kejadian, penghakiman, kepercayaan, aturan,

prosedur, atau kriteria.

b. Analisis adalah identifikasi maksud dan hubungan yang sebenarnya antara

pernyataan, pertanyaan, konsep, deskripsi, atau bentuk lainnya dari

representasi maksud untuk mengekspresikan kepercayaan, penghakiman,

pengalaman, alasan, informasi, atau pendapat.

c. Inferensi untuk identifikasi unsur-unsur yang diperlukan untuk

menggambarkan kesimpulan yang beralasan.

d. Evaluasi sebagai arti untuk menilai kredibilitas pernyataan yang dihitung atau

dideskripsi dari anggapan orang lain, pengalaman, situasi, penghakiman,

kepercayaan, atau pendapat menilai kelogisan makna hubungan inferensial

antara pernyataan, deskripsi, pertanyaan atau bentuk lain dari representasi.

e. Eksplanasi adalah dapat menghadirkan cara yang meyakinkan dan masuk akal

sebagai hasil dari suatu alasan.

f. Self-regulasi berarti kesadaran untuk mengamati aktivitas kognitif, unsur yang

digunakan, dan hasil, yang secara rinci dengan mengaplikasikan keterampilan

dalam analisis, dan evaluasi pada penghakiman inferensial dengan pertanyaan,

konfirmasi, vallidasi, atau pembenaran alasan atau hasil.

Pada praktiknya penerapan proses mengajar kurang mendorong pada

pencapaian berpikir kritis (Zivkovic, 2016). Menurut Jane (2014) terdapat dua

faktor yang menyebabkan berpikir kritis tidak berkembang selama pendidikan.


25

Faktor pertama yaitu kurikulum yang umumnya dirancang dengan target materi

yang luas yang mengakibatkan guru lebih terfokus pada penyelesaian materi dan

faktor kedua adalah kurangnya pemahaman guru tentang metode pengajaran yang

dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis.

Rusyna (2014) menyatakan bahwa terdapat tiga strategi yang dapat

digunakan untuk pembelajaran yang mengembangkan keterampilan berpikir kritis.

Ketiga strategi tersebut yaitu membangun kategori (building categories),

menemukan masalah (finding problem), dan meningkatkan fasilitas lingkungan

belajar (echanging the environment).

1.3.2 Indikator keterampilan berpikir kritis

Seseorang dapat dikatakan berpikir kritis harus memenuhi standar

tertentu. Ennis (1985) mengelompokkan indikator aktivitas berpikir kritis ke dalam

lima besar aktivitas berikut, yang dalam prakteknya dapat bersatu padu membentuk

sebuah kegiatan atau terpisah-pisah hanya beberapa indikator saja, yaitu :

(1) Memberikan penjelasan sederhana

Memberikan penjelasan sederhana terdiri atas memfokuskan pertanyaan,

menganalisis pertanyaan dan bertanya, serta menjawab pertanyaan tentang

suatu penjelasan atau pernyataan.

(2) Membangun keterampilan dasar

Membangun keterampilan dasar terdiri atas mempertimbangkan apakah

sumber dapat dipercaya atau tidak dan mengamati serta mempertimbangkan

suatu laporan hasil observasi.

(3) Menyimpulkan
26

Menyimpulkan terdiri atas kegiatan mendeduksi atau mempertimbangkan

hasil deduksi, meninduksi atau mempertimbangkan hasil induksi, dan

membuat serta menentukan nilai pertimbangan.

(4) Memberikan penjelasan lanjut

Memberikan penjelasan lanjut terdiri atas mengidentifikasi istilah-istilah dan

definisi pertimbangan dan juga dimensi, serta mengidentifikasi asumsi.

(5) Mengatur strategi dan teknik

Kegiatan ini terdiri atas menentukan tindakan dan berinteraksi dengan orang

lain.

Menurut Ennis (1985) berpikir kritis memiliki 12 sub-keterampilan yang

bisa digunakan sebagai indikator seseorang dalam berpikir kritis. Keterampilan-

keterampilan tersebut dijelaskan dalam bentuk deskripsi pada Tabel 2.

Tabel 2 Indikator dan sub-keterampilan berpikir kritis


Keterampilan
Sub-keterampilan
No Berpikir Penjelasan
Berpikir Kritis
Kritis
1. Memberikan 1. Memfokuskan a. Mengidentifikasi/merumuskan pertanyaan
penjelasan pertanyaan b. Mengidentifikasi/merumuskan kriteria
sederhana untuk memperimbangkan
c. Menjaga kondisi berpikir
2. Menganalisis a. Mengidentifikasi kesimpulan
argument b. Mengidentifikasi kalimat-kalimat
pertanyaan
c. Mengidentifikasi kalimat-kalimat bukan
pertanyaan
d. Mengidentifikasi dan menangani
ketidaktepatan
e. Melihat struktur dari suatu argument
f. Membuat ringkasan

3. Bertanya dan men- a. Memberikan penjelasan sederhana


jawab pertanyaan b. Menyebutkan contoh
27

2. Membangun 1. Mempertimbangkan a. Mempertimbangkan keahlian


apakah sumber dapat b. Mempertimbangkan kemenarikan konsep
keterampilan dipercaya atau tidak c. Mempertimbangkan kesesuaian sumber
dasar d. Mempertimbangkan reputasi
e. Mempertimbangkan penggunaan prosedur
yang tepat
f. Mempertimbangkan resiko untuk reputasi
g. Kemampuan untuk memberikan alas an
h. Kebiasaan untuk berhati-hati

2. Mengobservasi dan a. Melibatkan sedikit dugaan


mempertimbangkan b. Menggunakan waktu yang singkat antara
laporan observasi observasi dan laporan
c. Melaporkan hasil observasi
d. Merekam hasil observasi
e. Menggunakan bukti yang benar
f. Menggunakan akses yang baik
g. Menggunakan teknologi

3. Menyimpulkan 1. Mendeduksi dan a. Siklus logika Euler


mempertimbangkan b. Mengkondisikan logika
hasil deduksi c. Menyatakan tafsiran

2. Menginduksi dan a. Mengemukakan kesimpulan dan hipotesis


mempertimbangkan b. Mengemukakan hipotesis
hasil induksi c. Merancang eksperimen
d. Menarik kesimpulan sesuai fakta
e. Menarik kesimpulan dari hasil
menyelidiki
3. Membuat dan a. Membuat dan menentukan hasil
menentukan hasil pertimbangan berdasarkan latar belakang
pertimbangan fakta–fakta
b. Membuat dan menentukan hasil
pertimbangan berdasarkan akibat
c. Membuat dan menentukan hasil
pertimbangan berdasarkan fakta
d. Membuat dan menentukan hasil
pertimbangan keseimbangan dan masalah

4. Memberikan 1. Mendefinisikan a. Membuat bentuk definisi


penjelasan istilah dan b. Strategi membuat definisi
lanjut mempertimbangkan c. Bertindak dengan memberikan penjelasan
definisi lanjut
d. Mengidentifikasi dan menangani
ketidakbenaran yang disengaja
e. Membuat isi definisi
2. Mengidentifikasi a. Penjelasan bukan pernyataan
asumsi – asumsi b. Mengonstruksi argument
28

Tabel 2 lanjutan

Keterampilan
Sub-keterampilan
No Berpikir Penjelasan
Berpikir Kritis
Kritis
5. Mengatur 1. Menentukan suatu a. Mengungkap masalah
strategi dan tindakan b. Memilih kriteria untuk memper-
taktik timbangkan solusi yang mungkin
c. Merumuskan solusi alternative
d. Menentukan tindakan sementara
e. Mengulang kembali
f. Mengamati penerapannya

2. Berinteraksi dengan a. Menggunakan argument


orang lain b. Menggunakan strategi logika
c. Menggunnakan strategi retorika
d. Menunjukkan posisi, orasi/ tulisan

(Ennis, 1985)

1.4 Belajar dan hasil belajar

Belajar pada hakekatnya adalah proses interaksi terhadap semua situasi

yang ada di sekitar individu. Belajar dapat dipandang sebagai proses yang

diarahkan kepada tujuan dan proses berbuat melalui berbagai pengalaman. Belajar

juga merupakan proses melihat, mengamati dan memahami sesuatu, indikator

belajar ditunjukan dengan perubahan dalam tingkah laku sebagai hasil dari

pengalaman.

Menurut Thobroni (2016) berlajar merupakan aktivitas manusia yang

sangat vital dan secara terus menerus akan dilakukan selama manusia tersebut

masih hidup. Belajar merupakan perubahan dalam kepribadian yang

dimanifestasikan sebagai suatu pola respon yang berupa keterampilan, sikap,

kebiasaan, kecakapan atau pemahaman (Daryanto & Raharjo, 2012).

Menurut Sudjana (2014) hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki

peserta didik setelah menerima pembelajaran. Hasil belajar adalah hasil yang

diperoleh seseorang dalam proses kegiatan belajar mengajar, dan hasil belajar
29

tersebut dapat berbentuk sikap, pengetahuan dan keterampilan. Penilaian hasil

belajar menurut Pemendikbud No. 23 Tahun 2016 terdiri dari 3 aspek, yaitu sikap,

pengetahuan dan keterampilan. Penilaian hasil belajar oleh guru berfungsi untuk

memantau hasil belajar, dan mendeteksi kebutuhan perbaikan hasil belajar peserta

didik secara berkesinambungan (Kunandar, 2000). Hasil belajar yang hendak

diperoleh adalah ranahh pengetahuan, sikap dan keterampilan menurut Purwanto

(2014) sebagai berikut:

1) Sikap, karakteristik sikap yang merupakan proses afeksi dari menerima,

menjalankan, menghargai, menghayati, hingga mengamalkan.

2) Pengetahuan, dimiliki melalui aktivitas mengetahui, memahami,

menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, hingga mencipta.

3) Keterampilan, diperoleh melalui kegiatan mengamati, menanya, mencoba,

menalar, menyaji dan mencipta.

Berdasarkan pengertian-pengertian hasil belajar di atas, dapat disimpulkan

bahwa hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki setiap individu setelah proses

pembelajaran. Hasil belajar digunakan sebagai tolak ukur dalam tingkat

keberhasilan pembelajaran baik secara kuantitatif maupu kualitatif pengetahuan

yang dikuasai peserta didik. Proses belajar dapat dikatakan berhasil, setiap guru

memiliki pandangan masing-masing sejalan dengan filsafatnya, untuk

menyamakan persepsi sebaiknya kita berpedoman pada kurikulum yang berlaku

saat ini yang telah disempurnakan, antara lain bahwa suatu proses belajar mengajar

tentang suatu bahan pembelajaran dinyatakan berhasil apabila tujuan pembelajaran

khususnya dapat dicapai.


30

1.5 Model pembelajaran ekspositori

1.5.1 Pengertian pembelajaran ekspositori

Pembelajaran ekspositori adalah suatu kegiatan pembelajaran yang

menekankan kepada proses penyampaian materi secara verbal dari seorang

pendidik kepada sekelompok peserta didik dengan maksud agar peserta didik dapat

menguasai materi pelajaran secara optimal. Pembelajaran ekspositori dalam

pembelajarannya disampaikan secara langsung oleh pendidik dan peserta didik

tidak dituntut untuk menemukan materi. Pembelajaran ekspositori lebih

menekankan kepada proses bertutur, maka sering juga dinamakan strategi “chalk

and talk”.

1.5.2 Karakteristik pembelajaran ekspositori

Karakteristik pembelajaran ekspositori menurut Hosnan (2014), sebagai

berikut:

a. Pembelajaran ekspositori dilakukan dengan cara menyampaikan materi

pelajaran secara verbal. Artinya, bertutur secara lisan merupakan alat utama

dalam melakukan strategi ini, karena pembelajaran ekspositori identik dengan

ceramah.

b. Biasanya materi pelajaran yang disampaikan adalah materi pelajaran yang

sudah jadi, seperti data atau fakta, konsep-konsep tertentu yang harus dihapal

sehingga tidak menuntut peserta didik untuk berpikir ulang.

c. Tujuan utama pembelajaran adalah penguasaan materi pelajaran itu sendiri.

Artinya, setelah proses pembelajaran berakhir, peserta didik diharapkan dapat


31

memahaminya dengan benar dengan cara dapat mengungkapkan kembali

materi yang telah diuraikan.

1.5.3 Langkah- langkah pembelajaran ekspositori

Langkah–langkah pelaksanaan pembelajaran ekspositori menurut Hosnan

(2014), sebagai berikut:

a. Persiapan (Preparation)

Tahap persiapan berkaitan dengan mempersiapkan peserta didik untuk

menerima pelajaran. Langkah persiapan pembelajaran ekspositori merupakan

langkah yang sangat penting. Keberhasilan pelaksanaan pembelajaran dengan

menggunakan pembelajaran ekspositori sangat tergantung pada langkah persiapan.

Beberapa hal yang harus dilakukan dalam langkah persiapan di antaranya, sebagai

berikut:

1) Berikan sugesti yang positif dan hindari sugesti yang negatif.

2) Mulailah dengan mengemukakan tujuan yang harus dicapai.

3) Bukalah file dalam otak peserta didik.

b. Penyajian (Presentation)

Langkah penyajian adalah langkah penyampaian materi pelajaran sesuai

dengan persiapan yang telah dilakukan. Harus dipikirkan pendidik dalam penyajian

ini adalah bagaimana agar materi pelajaran dapat dengan mudah ditangkap dan

dipahami oleh peserta didik. Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam

pelaksanaan langkah ini, sebagai berikut:

1) Penggunaan bahasa

2) Intonasi suara
32

3) Menjaga kontak mata dengan peserta didik

4) Menggunakan joke-joke yang menyegarkan.

c. Korelasi (Correlation)

Langkah korelasi adalah langkah menghubungkan materi pelajaran dengan

pengalaman peserta didik atau dengan hal-hal lain yang memungkinkan peserta

didik dapat menangkap keterkaitannya dalam strukrtur pengetahuan yang telah

dimilikinya. Langkah korelasi dilakukan untuk memberikan makna terhadap materi

pelajaran, baik makna untuk memperbaiki struktur pengetahuan yang telah

dimilikinya maupun makna untuk meningkatkan kualitas kemampuan berpikir dan

kemampuan motorik peserta didik.

d. Menyimpulkan (Generalization)

Menyimpulkan adalah tahapan untuk memahami inti (core) dari materi

pelajaran yang disajikan. Langkah menyimpulkan merupakan langkah yang sangat

penting dalam pembelajaran ekspositori, sebab melalui langkah menyimpulkan,

peserta didik akan dapat mengambil inti sari dari proses penyajian.

e. Mengaplikasikan (Application)

Langkah aplikasi adalah langkah unjuk kemampuan peserta didik setelah

mereka menyimak penjelasan pendidik. Langkah ini merupakan langkah yang

sangat penting dalam prses pembelajaran ekspositori, sebab melalui langkah ini,

pendidik akan dapat mengumpulkan informasi tentang penguasaan dan pemahaman

materi pelajaran oleh peserta didik. Teknik yang biasa dilakukan pada langkah ini

di antaranya: (1) dengan membuat tugas yang relevan dengan materi yang disajikan;

(2) dengan memberikan tes yang sesuai dengan materi pelajaran yang disajikan.
33

1.5.4 Keunggulan dan kelemahan pembelajaran ekspositori

Pembelajaran ekspositori merupakan pembelajaran yang banyak dan

sering digunakan. Setiap model pembelajaran biasanya memiliki keunggulan dan

kelemahan. Menurut Hosnan (2014) keunggulan pembelajaran ekspositori, yaitu

sebagai berikut:

a. Pendidik bisa mengontrol urutan dan keluasan materi pembelajaran serta

sejauh mana peserta didik menguasai bahan pelajaran yang disampaikan.

b. Pembelajaran ekspositori dianggap sangat efektif apabila materi pelajaran

yang harus dikuasai peserta didik cukup luas, sementara itu waktu yang

dimiliki untuk belajar terbatas.

c. Selain peserta didik dapat mendengar melalui penuturan (kuliah) tentang

suatu materi pelajaran, juga sekaligus peserta didik bisa melihat atau

mengobservasi (melalui pelaksanaan demonstrasi).

d. Pembelajaran ini bisa digunakan untuk jumlah peserta didik dan ukuran kelas

yang besar.

Di samping memiliki keunggulan, pembelajaran ekspositori juga

memiliki kelemahan, di antaranya sebagai berikut:

a. Pembelajaran ini hanya mungkin dapat dilakukan terhadap peserta didik yang

memiliki kemampuan mendengar dan menyimak secara baik. Untuk peserta

didik yang tidak memiliki kemampuan seperti itu, perlu digunakan strategi

lain.
34

b. Strategi ini tidak mungkin dapat melayani perbedaan setiap individu, baik

perbedaan kemampuan, perbedaab pengetahuan, minat dan bakat, serta

perbedaan gaya belajar.

c. Strategi pembelajaran ini lebih banyak diberikan melalui ceramah, sehingga

akan sulit mengembangkan kemampuan peserta didik dalam hal kemampuan

sosialisasi, hubungan interpersonal, serta kemampuan berpikir kritis.

d. Keberhasilan pembelajaran ekspositori sangat tergantung kepada apa yang

dimiliki pendidik, seperti kemampuan bertutur (berkomunikasi), dan

kemampuan mengelola kelas. Tanpa itu, sudah dapat dipastikan proses

pembelajaran tidak mungkin berhasil.

e. Gaya komunikasi pembelajaran lebih banyak terjadi satu arah (one-way

communication), maka kesempatan untuk mengontrol pemahaman peserta

didik akan materi pembelajaran akan sangat terbatas pula. Di samping itu,

komunikasi satu arah bisa mengakibatkan pengetahuan yang dimiliki peserta

didik akan terbatas pada apa yang diberikan pendidik.

1.6 Hubungan model pembelajaran PBL bervisi SETS dengan keterampilan


berpikir kritis

PBL merupakan strategi pembelajaran dengan menghadapkan peserta

didik pada permasalahan-permasalahan praktis sebagai pijakan dalam belajar atau

dengan kata lain peserta didik belajar melalui permasalahan-permasalahan (Wena,

2009). Model PBL bercirikan penggunaan masalah kehidupan nyata sebagai

sesuatu yang harus dipelajari peserta didik untuk melatih meningkatkan

keterampilan berpikir kritis dan pemecahan masalah serta mendapatkan

pengetahuan konsep-konsep penting, dimana tugas pendidik harus memfokuskan


35

diri untuk membantu peserta didik mencapai keterampilan mengarahkan diri

(Hosnan, 2014).

Pembelajaran berbasis masalah, antara lain bertujuan untuk membantu

peserta didik mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan keterampilan

pemecahan masalah. Model pembelajaran berbasis masalah menghadapkan peserta

didik dengan masalah ill structured, open-ended, ambigu, dan kontekstual. Agar

dapat memecahkan masalah, peserta didik harus mengkonstruksi pengetahuan

melalui proses penemuan, memahami materi yang terkait dengan masalah,

kemudian memecahkan masalah yang dihadapi secara berkelompok (Husni, Sari,

& Yatna, 2015).

Pembelajaran SETS merupakan pembelajaran terpadu yang diharapkan

mampu membelajarkan peserta didik untuk memiliki kemampuan memandang

sesuatu secara terintegratif dengan memperhatikan keempat unsur, yaitu sains

(science), lingkungan (environment), teknologi (technology), dan masyarakat

(society), serta agar peserta didik memiliki kemampuan untuk memanfaatkan

pengetahuan SETS yang dipelajarinya secara utuh dalam masyarakat.

Pembelajaran bervisi SETS, peserta didik diminta menghubungkan antara

unsur SETS yaitu dari konsep sains yang dipelajari dengan benda-benda berkenaan

dengan konsep tersebut pada unsur lain dalam SETS sehingga peserta didik

memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang keterkaitannya, karena

pembelajaran dengan bervisi SETS dapat dimulai dari arah manapun, maka hal-hal

yang agak sulit sekalipun dapat diatasi dengan memikirkan titik awal pembicaraan

serta titik akhir sebagai tujuan kegiatan pengajaran tersebut. Perlunya kepekaan
36

guru sains yang memiliki kemampuan menghubungkan antara topik sains yang

dipelajari dengan unsur SETS. Terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan untuk

mnghubungkan antara topik sains dengan unsur SETS, sebagai berikut:

(1) Apa kegunaan konsep itu bagi masyarakat.

(2) Apakah akibat pengembangan konsep sains tersebut kepada teknologi.

(3) Teknologi apa yang dibuat dengan konsep sains tertentu.

(4) Bagaimana konsep sains dapat dipengaruhi oleh teknologi yang

dikembangkan itu nanti.

(5) Bagaimana kesan masyarakat terhadap teknologi yang dikembangkan

tersebut.

(6) Bagaimana dampak teknologi tersebut kepada lingkungan.

(7) Bagaimana lingkungan mempengaruhi perkembangan teknologi dan sains.

(8) Bagaimana bentuk pengaruh tersebut terhadap perkembangan sains dan

teknologi.

(9) Bagaimana masyarakat secara langsung mempengaruhi perkembangan

sains dan teknologi.

Penerapan model pembelajaran bervisi SETS yang digunakan dalam

pembelajaran kimia akan dapat memotivasi peserta didik untuk menjadi lebih

tertarik pada topic/ bahasan yang sedang dipelajari, karena dikaitkan langsung

dengan hal-hal nyata yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih lagi jika

penerapan SETS tersebut dikombinasikan dengan berbagai metode pembelajaran ,

strategi pembelajaran maupun teknik-teknik pembelajaran. Mengenai macam atau

jenis kombinasi dalam pembelajaran kimia, ternyata dipilih berdasarkan lokasi


37

sekolah, kondisi peserta didik, situasi pembelajaran, alokasi waktu maupun

masalah-masalah lain yang dapat menjadi bahan pertimbangan bagi seorang guru

untuk melaksanakannya.

Berdasarkan keterkaitan kemampuan berpikir kritis dengan SETS, di duga

peserta didik dengan keterampilan berpikir kritis tinggi dalam pembelajaran bervisi

SETS dapat mempunyai prestasi yang tinggi pula. Sedangkan peserta didik yang

mempunyai kemampuan berpikir kritis yang rendah mempunyai prestasi yang

rendah. Hal itu sependapat dengan yang di utarakan oleh Nurheni, Mulyani &

Ariani (2013) yang dalam penelitiannya menyatakan bahwa SETS berpengaruh

seecara signifikan terhadap keterampilan berpikir kritis.

Implementasi sintaks model PBL bervisi SETS dengan indikator berpikir

kritis dan hasil belajar peserta didik ditampilkan pada Tabel 3 berikut:

Tabel 3 Hubungan sintaks model PBL bervisi SETS, berpikir kritis dan hasil

belajar

Langkah- Indikator
Indikator
langkah Problem Kegiatan Guru Keterampilan
Hasil Belajar
Based Learning Berpikir Kritis
Mengorientasikan Guru menjelaskan tujuan 1. Memfokuskan Meningkatkan
peserta didik pembelajaran dan sarana atau pertanyaan pengetahuan
terhadap masalah logistik yang dibutuhkan. Guru 2. Menganalisis pada peserta
memberikan isu/ masalah yang argument didik
sedang dihadapi masyarakat 3. Bertanya dan
yang terkait dengan teknologi men-jawab
dan lingkungan yang dapat pertanyaan
dipahami peserta didik ,
sehingga peserta didik
termotvasi untuk terlibat dalam
aktivitas pemecahan masalah .
Mengorganisasi Guru membantu peserta didik 1. Menentukan suatu Meningkatkan
peserta didik mendefinisikan tindakan pengetahuan
untuk belajar mengorganisasikan tugas 2. Berinteraksi dan
belajar dengan memberikan dengan orang lain keterampilan
LKPD yang berhubungan pada peserta
dengan permasalahan yang didik
38

sudah diorientasikan pada tahap


sebelumnya. Permasalahan
tersebut berdasarkan kehidupan
nyata yang terkait dengan
lingkungan, teknologi dan
masyarakat. Pengorganisasian
ini kegiatan agar peserta didik
menyampaikan berbagai
pertanyaan terhadap suatu
permasalahan.
Membimbing Guru membimbing peserta 1. Menentukan suatu Meningkatkan
penyelidikan didik untuk mendapatkan tindakan pengetahuan
individual informasi dengan dengan 2. Berinteraksi dan sikap pada
maupun pertanyaan-pertanyaan yang dengan orang lain peserta didik
kelompok diperoleh sebagai penuntun 3. Mendefinisikan
dalam eksperimen , diskusi atau istilah dan
observasi untuk mendapatkan mempertimbangk
kejelasan yang diperlukan an definisi
untuk menyelesaikan masalah. 4. Mengidentifikasi
Peserta didik melalui asumsi – asumsi
eksperimen, diskusi atau
observasi memperoleh data
dalam rangka menjawab atau
menyelesaikan masalah yang
dikaji.
Mengembangkan Guru membantu peserta didik 1. Menentukan suatu Meningkatkan
dan menyajikan untuk berbagi tugas dan tindakan pengetahuan
hasil karya merencanakan ataupun 2. Berinteraksi dan
menyiapkan karya yang sesuai dengan orang lain keterampilan
sebagai hasil pemecahan 3. Mempertimbangk pada peserta
masalah dalam bentuk laporan, an apakah sumber didik
video atau model. Peserta didik dapat dipercaya
mengasosiasi data yang atau tidak
ditemukan dari percobaan 4. Mengobservasi
dengan berbagai data lain dari dan
berbagai sumber. mempertimbangka
n laporan
observasi
5. Mendeduksi dan
mempertimbangka
n hasil deduksi
6. Menginduksi dan
mempertimbangka
n hasil induksi
7. Membuat dan
menentukan hasil
pertimbangan
Menganalisis dan Guru membantu peserta didik 1. Mendefinisikan Meningkatkan
mengevaluasi untuk melakukan refleksi atau istilah dan pengetahuan
proses pemecahan evaluasi terhadap proses mempertimbangka dan
masalah pemecahan masalah yang n definisi keterampilan
dilakukan 2. Mengidentifikasi pada peserta
asumsi – asumsi didik
Sumber: Primer
39

1.7 Karakteristik minyak bumi dan konteks dalam SETS

Minyak bumi merupakan materi yang diajarkan di kelas XI IPA semester

ganjil dengan kompetensi dasar menjelaskan fraksi-fraksi minyak bumi,

menganalisis proses penyulingan minyak bumi dan dampak pembakaran bahan

bakar serta cara mengatasinya. (Sudarmo, 2014). Materi minyak bumi bersifat

konseptual. Adapun yang termasuk fakta, konsep, dan prinsip yaitu:

1) Fakta

Fakta ialah segala sesuatu yang tertangkap oleh indra manusia atau data

keadaan nyata yang terbukti dan telah menjadi suatu kenyataan. Fakta

dalam materi minyak bumi diantaranya adalah sebagai berikut:

(a) Minyak bumi dalam kehidupan sehari-hari, diantaranya adalah LPG,

avtur, bensin, solar dan aspal.

(b) Dampak dari minyak bumi dalam kehidupan sehari-hari untuk pembakaran

tidak sempurna akan menghasilkan partikel padat yang dikenal dengan asap

dan berisi butiran-butiran halus dari karbon monokida, karbon dioksida,

karbon (jelaga) dan uap air. Gas karbon dioksida (CO2) merupakan gas

rumah kaca yang dapat menyebabkan terjadinya pemanasan global, gas

karbon monoksida (CO) adalah gas beracun yang tidak berbau dan tidak

berasa, dan jelaga merupakan serbuk halus dari karbon (C) yang jika

terhirup dapat merusak alat pernapasan.

2) Konsep

Konsep adalah sebagai gambaran umum dari suatu ide atau gagasan dari

sistem penalaran. Konsep dalam materi minyak bumi merupakan bahan bakar
40

fosil atau sisa renik tumbuhan dan hewan yang tertimbun selama berjuta-juta

tahun di dalam lapisan kerak bumi yang berbahan dasar senyawa alkana.

3) Prinsip

Prinsip adalah ketentuan-ketentuan yang harus ada atau harus dijalankan.

Prinsip dalam materi sistem koloid di antaranya adalah komponen penyusun

minyak bumi.

4) Konteks dalam SETS

Materi minyak bumi yang bersifat konseptual banyak dijumpai dalam

kehidupan sehari-hari. Konsep sains dikaitkan dengan lingkungan sekitar dan

dianalisis dampak dari teknologi yang ditimbulkan bagi masyarakat. Adapun

contoh dari minyak bumi adalah bahan bakar kendaraan bermotor seperti

bensin, pertamax, solar, premium dan pertalite. Teknologi di zaman sekarang

yang semakin banyak digunakan adalah kendaraan bermotor seperti mobil,

bus, motor dan lain-lain. Kendaraan bermotor ini dapat menyebabkan polusi

udara, sehingga masyarakat perlu menggunakan bahan bakar yang dapat

mengurangi setidaknya sedikit polusi udara. pada Gambar 2.


41

Teknologi
Kendaraan Bermotor

Sains
Bahan bakar kendaraan bermotor

Sosial Lingkungan
Manfaat minyak bumi Dampak bahan bakar
dalam kehidupan terhadap lingkungan seperti
masyarakat penyakit ISPA

Gambar 2 Diagram dalam bahan bakar kendaraan bermotor

2. Penelitian yang Relevan

Penerapan model PBL bervisi SETS dapat diaplikasikan pada

pembelajaran kimia, untuk membantu mencapai keterampilan berpikir kritis dan

membantu peningkatan hasil belajar peserta didik. Menekankan peserta didik untuk

belajar secara kritis, mandiri, aktif dalam proses pembelajaran sehingga peserta

didik dapat menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. adapun penelitian-

penelitaian yang relevan antara lain:

1) Wijaya, Feronika & Fairusi (2018) penerapan model pembelajaran PBL

berpendekatan SETS memiliki pengaruh positif terhadap keterampilan berpikir

kritis peserta didik pada materi minyak bumi. Penelitian ini menggunakan

sampel 37 orang peserta didik untuk kelas eksperimen maupun kelas kontrol

dengan teknik pengambilan ialah purposive sampling. Hasil menunjukkan

bahwa adanya rata-rata ketercapaian indikator keterampilan berpikir kritis di


42

kelas eksperimen yang menggunakan model PBL berpendekatan SETS

memperoleh persentase yang lebih tinggi dibandingkan kelas control yang

menggunakan model konvensional yaitu 82,75 dan 72,75. Artinya, penelitian

yang dilakukan dengan rancangan penelitian quasi experiment ini memiliki

perbedaan yang signifikan dalam peningkatan keterampilan berpikir kritis

antara peserta didik yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran

PBL berbasis SETS dan menggunakan pembelajaran konvensional SMAN di

Kota Tanggerang Selatan pada semester gasal tahun ajaran 2016/2017.

2) Nugraha, Binadja, & Supartono (2013) dalam penelitian yang dilakukan 2

bulan dengan sampel 30 peserta didik mengatakan penerapan bervisi SETS

pada pembelajaran kimia mampu menciptakan pembelajaran dari segala arah

di kehidupan sehari-hari. Penerapan pembelajaran bervisi SETS harus

diimbangi dengan bahan ajar yang baik, Nuraha dalam penelitiannya

menyebutkan bahwa bahan ajar dengan bervisi SETS mampu meningkatkan

berpikir kritis dan kreatif peserta didik serta memberikan respon positif.

Adanya respon positif dari peserta didik disebabkan dalam proses

pembelajaran peserta didik tidak hanya dibawa pada materi yang bersifat teori-

teori saja, tetapi juga berkaitan dengan kehidupan sehari-hari peserta didik.

Pembelajaran bervisi SETS yang menghubungkan antara teori yang dipelajari

dengan penerapannya dalam bentuk teknologi, dampaknya terhadap

masyarakat dan lingkungan merupakan suatu bentuk upaya pembelajaran yang

bersifat nyata dan kontekstual. Pembelajaran akan terasa lebih menyenangkan

dan membuat peserta didik ingin mengetahui lebih jauh mengenai materi yang
43

sedang dipelajari.

3) Darmini, Kamaluddin, & Lamba (2014) dalam penelitian yang dilakukan

selama 1 bulan dengan sampel 24 peserta didik menyatakan penerapan model

pembelajaran SETS dapat meningkatkan hasil belajar fisika. Peningkatan nilai

yang diperoleh peserta didik karena saat proses pembelajaran, peserta didik

mendapat pengalaman yang lebih dalam melakukan percobaan sehingga peserta

didik aktif dan terampil dalam melakukan percobaan.

4) Utami, Saputro, Ashadi, Masyukri, & Widoretno (2017) dalam penelitian yang

dilakukan selama 6 bulan dengan sampel 100 peserta didik dari kelas 10, 11, 12

menyatakan keterampilan berpikir kritis adalah perioritas dan tujuan

pendidikan. Pemikiran kritis memiliki proses yang lebih tinggi, seperti

menganalisis, sintesis, mengevaluasi, menarik kesimpulan dan mencerminkan

yang memungkinkan individu untuk membuat penilaian yang wajar di dalam

kelas maupun di kehidupan sehari-hari. Dalam penelitiannya diperoleh

keterampilan berpikir kritis peserta didik dari sekolah menengah memiliki

keterampilan berpikir kritis yang memadai. Keterampilan berpikir kritis dapat

dikembangkan dalam proses pembelajaran kognitif pada tingkatan analisis,

sintesis, dan evaluasi. Peserta didik harus di dorong menjadi penasaran,

mengajukan pertanyaan, dan tidak percaya serta menerima segala sesuatu yang

mereka diberitahu tanpa memikirkan dampaknya.

5) Pusparini, Feronika, & Bahriah (2018) dalam penelitiannya tentang pengaruh

model pembelajaran problem based learning terhadap kemampuan berpikir

kritis peserta didik pada materi sistem koloid. Penelitiannya dilakukan pada
44

peserta didik SMA Negeri 10 Kota Tanggerang Selatan dengan sampel yang

digunakan adalah kelas XI IPA 1 dan kelas XI IPA 3 dengan jumlah masing-

masing kelas 30 orang peserta didik. Teknik pengambilan sampel dalam

penelitian ini menggunakan purposive sampling yaitu pengambilan sampel

disesuaikan dengan pertimbangan dan karakteristik tertentu dan dilakukan pada

bulan Februari 2017. Penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan model

PBL dapat berpengaruh pada keterampilan berpikir kritis.

3. Kerangka Berpikir

Minyak bumi merupakan salah satu materi pembelajaran kimia yang

sering dijumpai di lingkungan sekitar dan dapat mudah diaplikasikan dalam

kehidupan sehari-hari. Topik koloid yang meliputi pengertian, penyusun,

komposisi, pengolahan dan dampak dalam kehidupan sehari-hari lebih terbiasa

sering kali dihafal oleh peserta didik, sehingga pada saat peserta didik berhadapan

dengan suatu peristiwa alami yang berhubungan dengan minyak bumi mereka tidak

menyadari bahwa sebenarnya itu adalah bagian dari dampak bahan bakar

hidrokarbon. Kurangnya keterampilan berpikir kritis peserta didik terhadap konsep

minyak bumi di dunia nyata, hal tersebut dikarenakan pembelajaran kimia yang

dilakukan selama ini umumnya lebih mengedepankan peserta didik hanya mencatat

pembelajaran tanpa memahami konsep secara benar.

Pembelajaran dikatakan efektif apabila peserta didik dilibatkan secara

aktif dalam pembelajaran. Model pembelajaran yang dapat membantu peserta didik

untuk berpikir kritis adalah model pembelajaran PBL bervisi SETS. Untuk
45

mempermudah pemikiran tersebut digunakan ilustrasi kerangka berpikir seperti

Gambar 3.

Materi Koloid

Kelas Kelas Kontrol


Eksperimen

Pembelajaran Pembelajaran
menggunakan model menggunakan model
PBL bervisi SETS ekspositori

Diharapkan dapat Diharapkan dapat


meningkatkan meningkatkan
keterampilan berpikir keterampilan berpikir
kritis dan hasil belajar kritis dan hasil belajar
peserta didik
Dibandingkan

Uji Hipotesis

Gambar 3 Alur kerangka berpikir

(2) Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kajian pustaka dan rumusan masalah yang telah diuraikan

sebelumnya, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

H1 (1) : Terdapat perbedaan keterampilan berpikir kritis yang signifikan antara

pembelajaran yang menerapkan model pembelajaran PBL bervisi SETS

dengan pembelajaran yang menerapkan model ekspositori pada materi

minyak bumi di kelas XI MAN 2 Model Banjarmasin.


46

H1 (2) : Terdapat perbedaan hasil belajar yang signifikan antara pembelajaran

yang menerapkan model pembelajaran PBL bervisi SETS dengan

pembelajaran yang menerapkan model ekspositori pada materi minyak

bumi di kelas XI MAN 2 Model Banjarmasin.

H0 (1) : Tidak terdapat perbedaan keterampilan berpikir kritis yang signifikan

antara pembelajaran yang menerapkan model pembelajaran PBL bervisi

SETS dengan pembelajaran yang menerapkan model ekspositori pada

materi minyak bumi di kelas XI MAN 2 Model Banjarmasin.

H0 (1) : Tidak terdapat perbedaan hasil belajar yang signifikan antara pembelajaran

yang menerapkan model pembelajaran PBL bervisi SETS dengan

pembelajaran yang menerapkan model ekspositori pada materi minyak

bumi di kelas XI MAN 2 Model Banjarmasin.

D. METODE PENELITIAN

1. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

eksperimen semu (quasy experiment) dengan menggunakan pola The Non

equivalent Pretest-Posttest Control Group Design. Seperti ditunjukkan pada Tabel

4 dibawah ini.

Tabel 4. The Non equivalent Pretest-Posttest Control Group Design


Kelas Pretest Perlakuan Postest
Eksperimen O1 X1 O2
Kontrol O3 X2 O4
(Sugiyono, 2016)

Keterangan:
O1 = skor pretest kelas eksperimen
47

O2 = skor posttest kelas eksperimen


X1 = Model pembelajaran PBL dengan bervisi SETS
X2 = model pembelajaran ekspositori
O3 = skor pretest kelas kontrol
O4 = skor posttest kelas kontrol
Metode eksperimen adalah metode yang paling banyak dipilih dan paling

produktif dalam penelitian. Bila dilakukan dengan baik, studi eksperimental

menghasilkan bukti yang paling benar berkaitan dengan sebab-akibat (Emzir,

2017). Metode eksperimen merupakan metode penelitian yang menguji hipotesis

berbentuk hubungan sebab-akibat melalui pemanipulasi variable independent dan

menguji perubahan yang diakibatkan oleh pemanipulasi tersebut.

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan kuantitatif. Menurut Sugiyono (2014) metode kuantitatif dinamakan

metode tradisional, karena metode ini sudah cukup lama digunakan sehingga sudah

mentradisi sebagai metode untuk penelitian. Metode ini disebut sebagai metode

positivistik karena berlandaskan pada filsafat positivisme. Metode penelitian

kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada

filsafat positivisme digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu,

pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat

kuantitatif/statistik, dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan.

Filsafat positivisme memandang realitas/gejala/fenomena itu dapat

diklasifikasikan, relatif tetap, konkrit, teramati, terukur, dan hubungan gejala

bersifat sebab akibat. Penelitian ini pada umumya dilakukan pada populasi atau

sampel tertentu yang representatif.

Pemilihan pendekatan kuantitatif pada penelitian ini ditujukan agar data

yang didapat bisa lebih akurat karena kekuatan terbesar dari penelitian kuantitatif
48

adalah data yang lebih dapat dipercaya, dan umumnya ditujukan untuk

menggeneralisasikan terhadap populasi yang lebih besar.

2. Variable Penelitian

Pembahasan mengenai variabel penelitian sangat penting dalam

menetapkan rancangan penelitian. Variabel adalah suatu konsep yang mempunyai

lebih dari satu nilai, keadaan, kategori, atau kondisi (Yusuf, 2016). Adapun variabel

yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a) Variabel bebas (independent variable)

Variabel bebas adalah variabel yang memengaruhi, menjelaskan atau

menerangkan variabel yang lain. Variabel bebas merupakan variabel yang di duga

sebagai sebab munculnya variabel terikat (Yusuf, 2016). Dalam rancangan

penelitian ini, variabel bebas adalah model PBL bervisi SETS.

b) Variabel terikat (dependent variable)

Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau diterangkan oleh

variabel lain tetapi tidak dapat memengaruhi variabel lainnya (Yusuf, 2016).

Variabel terikat muncul sebagai akibat dari manipulasi suatu variabel bebas.

Variabel terikat dalam rancangan penelitian ini adalah keterampilan berpikir kritis

dan hasil belajar.

Secara skematis hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat atau

yang biasa disebut sebagai paradigma penelitian dapat dilihat pada Gambar 4

sebagai berikut (Sugiyono, 2016).


49

Y1

X r

Y2

Gambar 4 Paradigma penelitian


Keterangan :
X : Model pembelajaran;
Y1 : Keterampilan berpikir kritis;
Y2 : hasil belajar;
r : hubungan keterampilan berpikir kritis dan hasil belajar peserta
didik;

Langkah-langkah yang ditempuh dalam rancangan penelitian ini,

disesuaikan dengan pendapat Yusuf (2016) yakni sebagai berikut:

(1) Memilih dua kelompok yang tidak equivalent. Kelompok pertama dijadikan

kelompok eksperimen dan kelompok kedua dijadikan kelompok kontrol.

(2) Melaksanakan pre-test pada kedua kelompok tersebut.

(3) Memberikan perlakuan pada kelompok eksperimen.

(4) Setelah diberikan perlakuan, diberikan posttest kepada kelompok

eksperimen dan kelompok kontrol.

(5) Mencari beda mean pada kelompok eksperimen, antar post-test dan pre-test.

Hal tersebut juga dilakukan untuk kelompok kontrol.

(6) Menggunakan statistik yang tepat untuk mencari perbedaan hasil dari

langkah sebelumnya, yakni statistik deskriptif dan statistik inferensial

dengan uji t sampel tidak berpasangan.

Keuntungan dari rancangan penelitian ini adalah (1) design ini terkadang

penting bila kondisi random tidak tercapai; (2) seleksi biasa dapat dikontrol dengan
50

pretest; dan (3) bila kedua kelompok similiar, maka sama dengan design

eksperimen semu. Adapun kekurangan bila rancangan ini digunakan adalah (1)

pretest menjadi penting bila kelompok tidak sama dan (2) interaksi dengan

kelompok lain mungkin dapat terjadi (Moehnilabib, Mukhadis, Ibnu, Suparno,

Rofi'udin, & Sukarnyana, 2003).

3. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini direncanakan pada semester genap tahun ajaran 2019/2020.

Penelitian ini dilaksanakan di MAN 2 Model Banjarmasin yang terletak di Jl.

Pramuka No. 28 RT. 20 Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Penelitian ini akan

dilakukan pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2019.

4. Populasi dan Sampel

a) Populasi Penelitian

Populasi adalah seluruh data yang menjadi perhatian dalam suatu ruang

lingkup, populasi berhubungan dengan data bukan manusianya. Populasi terdiri atas

subjek atau objek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu oleh peneliti

untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan (Sugiyono, 2016). Populasi yang

digunakan adalah peserta didik kelas XI MAN 2 Model Banjarmasin tahun ajaran

2019/2020.

b) Sampel Penelitian

Sampel adalah bagian dari populasi atau sejumlah anggota populasi yang

mewakili dari populasinya. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam

penelitian ini adalah purposive sampling yaitu penentuan sampel dengan maksud

tertentu sehingga sampel yang dipilih harus benar-benar representatif atau benar-
51

benar mewakili populasi yang ada dengan 2 sampel yaitu satu kelas sebagai kelas

kontrol dan satu kelas eksperimen (Sudaryono, 2017).

5. Teknik Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

(1) Tes hasil belajar pengetahuan berupa pretest dan posttest.

(2) Lembar observasi sikap peserta didik.

(3) Lembar observasi keterampilan peserta didik.

(4) Angket respon peserta didik terhadap penerapan model pembelajaran PBL

bervisi SETS.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

teknik tes dan nontes. Teknik tes dilakukan dengan memberikan serangkaian soal

kepada peserta didik untuk mengetahui kemampuan peserta didik dalam aspek

pengetahuan, atau tingkat penguasaan materi dan hasil belajar peserta didik pada

materi koloid dalam bentuk pilihan ganda pada saat pretest dan posttest.

Teknik non tes dilakukan dengan lembar angket respon peserta didik

terhadap pembelajaran yang menerapkan model PBL bervisi SETS. Adapun tahap

kegiatan pengumpulan data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

(1) Tahap persiapan

(a) Menentukan kelas eksperimen dan kontrol sebagai sampel.

(b) Menyiapkan instrumen penelitian.

(c) Menyusun materi ajar dan lembar kerja peserta didik

(2) Tahap pelaksanaan

(a) Melaksanakan pretest


52

(b) Melaksanakan kegiatan pembelajaran yang menerapkan model PBL

dengan bervisi SETS pada kelas eksperimen 1 dan pembelajaran

konvensional menggunakan model ekspositori pada kelas kontrol. Selama

proses pembelajaran berlangsung diperoleh data tentang hasil belajar

peserta didik.

(c) Melaksanakan posttest

(d) Membagikan angket respon peserta didik terhadap kegiatan pembelajaran

yang menerapkan model PBL dengan bervisi SETS.

(e) Menganalisis data yang sudah dikumpulkan.

6. Perangkat dan Instrumen Penelitian

6.1 Perangkat penelitian

Perangkat penelitian adalah komponen-komponen penunjang yang

diperlukan selama proses penelitian. Adapun perangkat penelitian yang digunakan

peneliti, yaitu:

a. Silabus

Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu kelompok mata pelajaran

dengan tema, yang mencakup standar kompetensi (kompetensi inti), kompetensi

dasar, materi pembelajaran, tujuan (indikator), penilaian, alokasi waktu, dan

sumber belajar yang dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan (Sumantri,

2015). Silabus digunakan sebagai acuan dalam membuat Rencana Pelaksanaan

Pembelajaran.

b. Rencana pelaksanaan pembelajaran

Rencana pelaksanaan pembelajaran adalah langkah-langkah atau


53

prosedur yang akan dilakukan oleh guru dalam kegiatan pembelajaran yang disusun

dalam skenario penelitian. Rencana pelaksanaan penelitian dalam penelitian ini

digunakan oleh peneliti sebagai acuan dalam melaksanakan pembelajaran yang

dibuat berbeda antara kelas kontrol dan kelas eksperimen. Kelas eksperimen

menggunakan penerapan model PBL bervisi SETS sedangkan kelas kontrol

menggunakan penerapan model ekspositori.

c. Lembar kerja peserta didik

Lembar kerja peserta didik adalah panduan peserta didik yang digunakan

dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang mengandung unsur penyelidikan

dan/atau pemecahan masalah. Lembar kerja peserta didik memuat sekumpulan

kegiatan mendasar yang harus dilakukan oleh peserta didik untuk memaksimalkan

pemahaman dalam upaya pembentukan kemampuan dasar sesuai indikator

pencapaian hasil belajar yang harus ditempuh.

Lembar kerja peserta didik yang digunakan berupa bahan ajar yang

disetting sesuai dengan skenario penelitian dan berisi panduan untuk latihan

pengembangan pengetahuan peserta didik. Selain itu, lembar kerja peserta didik

juga memuat materi pembelajaran yang berkaitan dengan materi yang dipelajari.

d. Lembar penilaian

Lembar penilaian adalah proses untuk mengambil keputusan dengan

menggunakan informasi yang diperoleh melalui pengukuran hasil belajar, baik

yang menggunakan instrumen tes maupun non tes.

6.2 Instrumen penelitian


54

Instrumen penelitian disusun sebagai alat untuk menemukan jawaban

dari pernyataan penelitian. Dalam penelitian ini, instrumen yang digunakan terdiri

dalam bentuk tes dan non-tes

a. Instrumen tes

Tes merupakan suatu alat pengumpul informasi namun bersifat lebih

resmi (Arikunto, 2016). Tes yang digunakan dalam penelitian ini berfungsi untuk

mengukur aspek pengetahuan masing-masing peserta didik yang berorientasi pada

keterampilan berpikir kritis pada materi koloid dimulai dari memberikan penjelasan

sederhana hingga mengatur strategi dan taktik. Tingkatan pengetahuan pada

keterampilan berpikir kritis ini dimulai pada level mengaplikasikan (C3) hingga

mencipta (C6). Tes ini berupa essai sebanyak 3 soal yang diberikan di akhir materi

pembelajaran yang dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana peserta didik telah

terbentuk setelah mengikuti kegiatan pembelajaran dengan model pembelajaran

PBL bervisi SETS. Tes ini biasanya disebut sebagai tes formatif (Arikunto, 2016).

b. Instrumen non-tes

Instrumen non tes digunakan untuk mengukur aspek sikap dan

keterampilan dari masing-masing peserta didik. Aspek sikap dan keterampilan

diukur melalui pengamatan (observasi). Observasi adalah suatu teknik yang

dilakukan dengan cara mengadakan pengamatan secara teliti serta pencatatan

secara sistematis. Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah observasi

sistematis (systematic observation) dimana faktor-faktor yang diamati sudah

didaftar secara sistematis dan sudah diatur menurut kategorinya (Arikunto, 2016).
55

Instrumen aspek sikap bertujuan untuk mengetahui sikap peserta didik

terhadap suatu objek. Aspek sikap yang diukur terdiri dari sikap sosial berdasarkan

kurikulum 2013, yakni rasa ingin tahu, teliti dan tanggung jawab. Instrumen

observasi aspek sikap menggunakan skala 1-5 yang disertai dengan rubrik

penilaian. Adapun instrumen keterampilan bertujuan untuk mengetahui

keterampilan yang dimiliki peserta didik selama proses pembelajaran berlangsung.

Keterampilan yang ingin diukur terdiri atas keterampilaan saat melakukan

praktikum di laboratorium.

Instrumen keterampilan bertujuan untuk mengetahui keterampilan yang

dimiliki peserta didik selama proses pembelajaran berlangsung. Ranah

keterampilan adalah aspek yang berkaitan dengan keterampilan yang dimiliki

peserta didik setelah menerima pengalaman belajar tertentu (Sudijono, 2015).

Instrumen observasi ranah keterampilan diukur menggunakan 1-4 yang disertai

dengan rubik penilaian.

Selain itu, juga diberikan angket kepada masing-masing peserta didik.

Angket yang digunakan dalam bentuk skala Likert. Skala Likert digunakan untuk

mengetahui respon peserta didik terhadap penerapan model pembelajaran PBL

bervisi SETS yang digunakan selama proses pembelajaran.

Angket respon ini berisi 10 butir pernyataan dengan skala Likert. Skala

ini disusun dalam bentuk suatu pernyataan dan diikuti oleh lima respon yang

menunjukkan tingkatan dan diberi skor, yaitu skor sangat tidak setuju (STS) = 1;

tidak setuju (TS) = 2; ragu-ragu (RR) = 3; setuju (S) = 4; dan sangat setuju (SS) =

5 (Arikunto, 2016).
56

7. Pengujian Instrumen

a. Validitas instrumen

Sebelum instrumen digunakan dalam penelitian terlebih dahulu dilakukan

validasi untuk mendapatkan instrumen yang akurat. Validitas merupakan fundamen

paling dasar dalam mengembangkan dan mengevaluasi suatu tes (Mardapi, 2012).

Validitas suatu instrumen dapat dilihat dari isi atau konsep maupun daya ramal yang

terdapat pada instrument yang bersangkutan. Selain itu, juga memperhatikan

bentuk atau hubungan dengan tes/instrumen secara empiris dan statistik (Yusuf,

2016).

Instrumen tes dan non tes yang akan digunakan untuk penelitian terlebih

dahulu divalidasi. Validitas tes yang digunakan adalah validitas isi (content

validity). Sebuah tes/instrumen dikatakan mempunyai validitas isi apabila

mengukur tujuan khusus tertentu yang sejajar dengan materi (isi pelajaran) atau

kurikulum (Arikunto, 2016).

Validitas isi untuk instrumen soal tes objektif ditetapkan berdasarkan

penilaian dan pertimbangan dari penilai. Validitas isi akan dilakukan dengan

meminta pertimbangan dan penilaian para ahli yaitu 5 orang validator. Setiap

validator diberikan lembaran soal yang berisi butir-butir soal dan lembar observasi

yang direncanakan sebagai instrumen penelitian.

Adapun kriteria penilaian instrumen tersebut menurut Lawshe (Cohen &

Swerdlik, 2010) adalah:


57

1) Skor 2 apabila soal memenuhi syarat essential (jika butir soal memenuhi syarat

sesuai dengan indikator dan bahasa yang digunakan dapat dimengerti oleh

peserta didik/komunikatif).

2) Skor 1 apabila soal bermanfaat tetapi tidak essential (jika salah satu dari syarat

pada kriteria ke-1 tidak terpenuhi).

3) Skor 0 apabila soal tidak dianggap penting (jika tidak ada syarat yang terpenuhi

pada kriteria ke-1, yaitu jika butir soal tidak memenuhi syarat sesuai indikator

dan bahasa yang digunakan tidak dapat dimengerti oleh peserta didik/tidak

komunikatif). Validitas isi yang digunakan mengacu kepada Content Validity

Ratio (CVR) dengan rumus:

Keterangan:
CVR = Rasio validitas isi
ne = Jumlah validator/panelis yang menyatakan essential
N = Jumlah validator/panelis

Cohen & Swerdlik (2010) menjelaskan beberapa arti dari CVR, yaitu:

1) CVR negatif : Jika kurang dari setengah jumlah validator menyatakan

esensial

2) CVR nol : Jika setengah dari jumlah validator menyatakan esensial

3) CVR positif : Jika lebih dari setengah jumlah validator tetapi tidak

seluruh validator menyatakan esensial

Nilai CVR dihitung untuk setiap butir soal. Nilai minimal CVR diperlukan

untuk mengetahui apakah butir soal tersebut layak atau tidak untuk digunakan.

Adapun nilai minimal CVR untuk setiap butir soal yang dikembangkan tersaji pada

Tabel 5 berikut:
58

Tabel 5 Nilai minimum content validity ratio


Jumlah validator Nilai minimum Jumlah validator Nilai minimum
5 0.99 13 0,54
6 0,99 14 0,51
7 0,99 15 0,49
8 0,75 20 0,42
9 0,78 25 0,37
10 0,62 30 0,33
11 0,59 35 0,31
12 0,56 40 0,29
(Cohen & Swerdlik, 2010)

Validasi instrumen tes dan nontes dilakukan oleh 5 validator dengan nilai

CVR minimal 0,99 (Cohen & Swerdlik, 2010).

b. Reliabilitas instrumen

Reliabilitas merupakan konsistensi atau kestabilan skor suatu instrumen

penelitian terhadap individu yang sama dan dalam waktu yang berbeda (Yusuf,

2016). Reliabilitas berhubungan dengan kepercayaan dimana suatu tes akan

dipercaya jika memberikan hasil yang konsisten. Untuk mengukur tingkat

reliabilitas instrumen tes yang berupa soal uraian menggunakan teknik Cronbach’s

Alpha, yakni menggunakan rumus sebagai berikut (Arikunto, 2015):

𝑛 ∑ 𝜎𝑖 2
r11=((𝑛−1)) (1 − )
𝜎𝑖2

Keterangan:
r11 = Reliabilitas instrumen
n = Banyaknya butir (item)
∑ 𝜎𝑖 2 = Jumlah varian skor setiap item
𝜎𝑖2 = Varian skor total

Kriteria reliabilitas instrumen terlihat dalam Tabel 6.


59

Tabel 6 Kriteria reliabilitas instrumen


Koefisien reliabilitas Penafsiran
r < 0,40 Derajat reliabilitas rendah
0,40 ≤ r ≤ 0,80 Derajat reliabilitas sedang
0,80 ≤ r Derajat reliabilitas tinggi
(Arikunto, 2016)

c. Tingkat Kesukaran

Arikunto (2015) berpendapat bahwa soal yang baik adalah soal yang tidak

terlalu mudah dan tidak terlalu sukar. Bilangan yang menunjukkan sukar dan

mudahnya suatu soal disebut indeks kesukaran (difficulty index). Besarnya indeks

kesukaran antara 0,0 sampai dengan 1,0. Soal dengan indeks kesukaran 0,0

menunjukkan bahwa soal terlalu sukar, sebaliknya indeks 1,0 menunjukkan bahwa

soal yang diberikan terlalu mudah. Dalam istilah evaluasi, indeks kesukaran ini

diberi simbol P, singkatan dari kata proporsi. Rumus untuk mencari P adalah:

B
P=
JS

Keterangan:
P = indeks kesukaran
B = banyaknya peserta didik yang menjawab soal itu dengan benar
JS = jumlah seluruh peserta didik peserta tes

(Arikunto, 2015).

Taraf kesukaran tiap butir instrumen tes keterampilan berpikir kritis dapat

dihitung menggunakan rumus:

̅
X
P=
skormax

Keterangan:
P = indeks kesukaran
̅
X = nilai rata-rata butir soal
Skormax = skor maksimal butir soal
60

Soal-soal yang dianggap baik adalah soal-soal yang sedang atau

mempunyai indeks kesukaran 0,31 sampai dengan 0,70. Kategori untuk

menentukan tingkat kesukaran soal terdapat dalam Tabel 7.

Tabel 7 Kategori tingkat kesukaran instrumen soal

Indeks Kesukaran (P) Kategori Soal


0,0 - 0,30 Sukar
0,31 - 0,70 Sedang
0,71 - 1,00 Mudah
(Arikunto, 2016)

d. Daya Pembeda

Daya pembeda soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan

antara peserta didik yang pandai (berkemampuan tinggi) dengan peserta didik yang

berkemampuan rendah. Angka yang menunjukkan besarnya daya pembeda disebut

indeks diskriminasi, disingkat D. Indeks diskriminasi ini berkisar antara 0,00

sampai 1,00. Pada indeks diskriminasi dikenal tanda negatif untuk menunjukkan

jika soal itu “terbalik” atau menunjukkan bahwa anak yang sebenarnya pandai

malah disebut tidak pandai dan anak yang tidak pandai malah disebut pandai.

Rumus untuk menentukan indeks diskriminasi adalah :

BA BB
D= − = PA − PB
JA JB

Keterangan:
BA = banyaknya peserta kelompok atas yang menjawab soal dengan benar
BB = banyaknya peserta kelompok bawah yang menjawab soal dengan benar
JA = banyaknya peserta kelompok atas
JB = banyaknya peserta kelompok bawah
PA = proporsi peserta kelompok atas yang menjawab benar (P = indeks kesukaran)
PB = proporsi peserta kelompok bawah yang menjawab benar

(Arikunto, 2016)

Butir-butir soal yang baik adalah butir-butir soal yang mempunyai indeks
61

diskriminasi 0,4 sampai dengan 0,7. Butir soal yang mempunyai daya beda negatif

sebaiknya dibuang saja. Kategori untuk menentukan daya pembeda soal terdapat

pada Tabel 8.

Tabel 8 Kategori daya pembeda instrumen soal

Daya Pembeda (D) Kategori Soal


0,00 - 0,20 Jelek (poor)
0,21 - 0,40 Cukup (satisfaktory)
0,41 – 0,70 Baik (good)
0,71 - 1,00 Baik sekali (excellent)
Negatif Semuanya tidak baik
(Arikunto, 2016)

8. Teknik Analisis Data

Analisis data bertujuan untuk memberi makna pada data yang telah

diperoleh melalui sampel penelitian. Dalam penelitian ini akan menggunakan

teknik analisis data, yakni analisis secara deskriptif dan inferensial.

a. Analisis deskriptif

Analisis deskriptif merupakan analisis yang menggunakan statistik

deskriptif, yakni teknik analisis data dengan cara mendeskripsikan atau

menggambarkan data yang telah terkumpul mencakup cara-cara menghimpun,

menyusun atau mengatur, mengolah, menyajikan atau menganalisis data angka

agar dapat memberikan gambaran yang teratur, ringkas dan jelas mengenai suatu

keadaan tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku umum (Sudaryono,

2017). Tujuan analisis deskriptif ini adalah untuk menganalisis hasil belajar dan

angket respon peserta didik.

(1) Analisis pengetahuan peserta didik

Teknik analisis yang digunakan untuk menganalisis data hasil belajar

pengetahuan yang diperoleh adalah teknik analisis deskriptif kuantitatif. Teknik


62

analisis untuk menganalisis hasil belajar pengetahuan peserta didik pada materi

stoikiometri dianalisis terlebih dahulu menggunakan perbandingan rata-rata dari

kelas eksperimen dan kelas kontrol. Langkah-langkah analisis data adalah sebagai

berikut:

(a) Menetapkan penskoran jawaban pada tiap-tiap item.

(b) Memberikan skor tiap butir jawaban peserta didik kelas eksperimen dan

kontrol.

(c) Menjumlahkan skor jawaban peserta didik kelas eksperimen dan kelas

kontrol dan menghitung nilai hasil belajar pengetahuan dengan rumus sebagai

berikut:

Jumlah Perolehan Skor


Skor Akhir = x4
Skor Maksimal

dimana: skor maksimal = banyaknya indikator x 4

(d) Memberikan predikat tingkat hasil belajar peserta didik kelas eksperimen dan

kelas kontrol. Kriteria yang digunakan untuk memberikan predikat tingkat

hasil belajar pengetahuan peserta didik dan kategori keterampilan berpikir

kritis dalam penelitian ini berdasarkan kriteria pada Permendikbud No. 81A

Tahun 2013 seperti yang disajikan pada Tabel 9 dan Tabel 10.

Tabel 9 Konversi kompetensi pengetahuan


Predikat Nilai Kompetensi Pengetahuan
A 4
A- 3.66
B+ 3.33
B 3
B- 2.66
C+ 2.33
C 2
C- 1.66
D+ 1.33
D 1
63

(Hosnan, 2014)

Tabel 10 Modifikasi konversi kompetensi pengetahuan

Kategori Predikat Nilai Kompetensi Pengetahuan


A 4
Sangat kritis
A- 3.66
B+ 3.33
Kritis B 3
B- 2.66
C+ 2.33
Cukup kritis C 2
C- 1.66
D+ 1.33
Kurang kritis
D 1
(Hosnan, 2014)

Selain itu, berdasarkan Permendikbud No. 81 A Tahun 2013, seorang

peserta didik dikatakan belum tuntas dalam proses pembelajaran apabila

menunjukkan indikator nilai < 2.66 dari hasil tes formatif, dan perlu dilakukan

remedial.

(2) Analisis keterampilan peserta didik

Teknik analisis yang digunakan untuk menganalisis data hasil belajar

keterampilan yang diperoleh adalah teknik analisis deskriptif kualitatif yang

bertujuan untuk mengetahui keterampilan peserta didik selama proses

pembelajaran berlangsung yang diamati melalui observasi disertai dengan rubrik

penilaian. Langkah-langkah analisis data hasil belajar keterampilan peserta didik

sama dengan langkah analisis data hasil belajar pengetahuan peserta didik.

Berdasarkan Permendikbud No. 81 A Tahun 2013, seorang peserta didik dikatakan

belum tuntas dalam proses pembelajaran apabila menunjukkan indikator nilai <

2.66 dari hasil tes formatif, dan perlu dilakukan remedial. Berikut kriteria

keterampilan peserta didik yang disajikan dalam Tabel 11.


64

Tabel 11 Konversi kompetensi keterampilan

Predikat Nilai Kompetensi Keterampilan


A 4
A- 3.66
B+ 3.33
B 3
B- 2.66
C+ 2.33
C 2
C- 1.66
D+ 1.33
D 1
(Hosnan, 2014)

(3) Analisis sikap peserta didik

Teknik analisis yang digunakan untuk menganalisis data hasil belajar

sikap yang diperoleh adalah teknik analisis deskriptif kualitatif. Analisis sikap

peserta didik bertujuan untuk mengetahui sikap peserta didik selama proses

pembelajaran berlangsung yang diamati melalui observasi. Analisis sikap peserta

didik terdiri dari sikap rasa ingin tahu, teliti, tanggung jawab dan kerjasama.

Berdasarkan Permendikbud No. 81A Tahun 2013, penilaian sikap peserta

didik menggunakan skala Sangat Baik (SB), Baik (B), Cukup (C) dan Kurang (K)

yang dikonversi ke dalam Predikat A-D seperti yang disajikan dalam Tabel 12

berikut:

Tabel 12 Konversi kompetensi sikap

Predikat Nilai Kompetensi Sikap


A
SB
A-
B+
B B
B-
C+
C C
C-
65

Predikat Nilai Kompetensi Sikap


D+
K
D
(Hosnan, 2014)
(4) Analisis respon

Angket respon peserta didik dilakukan untuk mengetahui tanggapan

peserta didik terhadap pembelajaran materi hukum-hukum dasar kimia yang

menerapkan model PBL bervisi SETS. Angket respon dibagikan setelah post-test

berakhir. Angket respon peserta didik berisi 10 pernyataan dengan pilihan 5

tingkatan respon yang diberi skor sangat tidak setuju (STS) = 1, tidak setuju (TS)

= 2, ragu-ragu (RR) = 3, setuju (S) = 4, dan sangat setuju (SS) = 5 (Yusuf, 2016).

Berdasarkan persentase jawaban peserta didik, untuk mengetahui sejauh

mana level respon peserta didik yang diberikan, skor pada setiap pernyataan

dijumlahkan kemudian diinterpretasikan untuk memberikan kategori level respon

peserta didik yang dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13 Kategori level respon peserta didik


Skor Kategori
10 – 17 Sangat tidak setuju
18 – 25 Tidak setuju
26 – 33 Ragu-ragu
34 – 41 Setuju
42 – 50 Sangat setuju
(Yusuf, 2016)

(5) N-gain

Gain adalah selisih antara skor post-test dan pre-test, sedangkan N-gain

adalah gain yang telah dinormalisasi. N-gain digunakan untuk menghindari adanya

bias penelitian yang disebabkan oleh perbedaan gain akibat skor pre-test yang

berbeda antara kelas eksperimen dan kontrol, serta untuk melihat peningkatan hasil
66

belajar pengetahuan peserta didik. N-gain dihitung dengan menggunakan rumus

yang dikembangkan oleh Hake (Cohen & Swerdlik, 2010).

Sf − Si
<g> =
Is − Si

Keterangan:
(g) = gain ternormalisasi
Si = skor pre-test
Sf = skor post-test
Is = skor maksimum ideal

Setelah diperoleh nilai gain ternormalisasi untuk masing-masing data

peserta didik, kemudian dihitung rata-rata gain ternormalisasinya. Nilai rata-rata

gain ternormalisasi kemudian diinterpretasikan berdasarkan kategori pada Tabel

14.

Tabel 14 Kategori gain ternormalisasi


N-gain Kategori
(g) < 0,3 Rendah
0,3 < (g) < 0,7 Sedang
(g) > 0,7 Tinggi
(Cohen & Swerdlik, 2010).

b. Analisis inferensial

Analisis inferensial bertujuan untuk menguji hipotesis yang telah

diajukan, terdapat perbedaan atau tidak terdapat perbedaan. Analisis ini

menggunakan uji beda untuk mengetahui H0 diterima atau ditolak. Sebelum

melakukan uji beda terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas

tes awal (pre-test) dan tes akhir (post-test) (Sudjana, 2005).

1) Uji normalitas
67

Uji normalitas digunakan untuk mengetahui normal atau tidaknya suatu

distribusi data (Supardi, 2013). Uji normalitas yang digunakan dalam penelitian ini

adalah uji Liliefors (Lo) dengan langkah-langkah sebagai berikut:

(a) Menentukan taraf signifikansi (α), yaitu misalkan pada α = 5% (0,05) dengan

hipotesis yang akan diuji:

H0 : data berdistribusi normal

H1 : data tidak berdistribusi normal

dengan kriteria pengujian:

Jika Lo = Lhitung < Ltabel maka H0 diterima, dan

jika Lo = Lhitung > Ltabel maka H0 ditolak

selanjutnya menguji normalitas data yang akan digunakan,

(b) Menentukan rata-rata sampel:

X i
X 
n

(c) Menentukan standar deviasi sampel, dengan menggunakan rumus:

n X i 2 - (X i ) 2
S 
n (n - 1)

(d) Pengamatan X1, X2, ..., Xn dijadikan bilangan baku Z1, Z2, ..., Zn dengan

menggunakan rumus:

Xi - X
Zi 
S

( X adalah rata-rata dan S adalah simpangan baku sampel)

(e) Tiap bilangan baku ini dan menggunakan daftar distribusi normal baku,

kemudian dihitung peluang F (Zi) = P (Z ≤ Zi)


68

(f) Selanjutnya dihitung proporsi Z1, Z2, ..., Zn yang kecil atau sama dengan Zi,

jika proporsi ini dinyatakan oleh S (Zi).

banyaknya Z1, Z2,..... , Zn yang  Zi


Maka = S (Zi ) 
n

(g) Menghitung selisih F (Zi) - S (Zi) kemudian menentukan harga mutlaknya.

(h) Mengambil harga yang paling besar di antara harga-harga mutlak selisih

tersebut, kita sebut saja harga terbesar ini L0, dengan kriteria pengujian yang

telah disebutkan di atas (Supardi, 2013).

2) Uji homogenitas

Pengujian homogenitas dilakukan dalam rangka menguji kesamaan

varians setiap kelompok data. Uji homogenitas pada data pretes dan posttes dari

kelas kontrol dan kelas eksperimen dilakukan untuk mengetahui bahwa

kemampuan awal dan akhir peserta didik dari kedua kelas tersebut dalam keadaan

setara. Uji homogenitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji F karena

yang digunakan hanya ada 2 kelompok data/sampel yaitu kelas eksperimen dan

kelas kontrol.

Uji F dilakukan dengan cara membandingkan varian data terbesar dibagi

varian data terkecil (Supardi, 2013). Langkah-langkah melakukan pengujian

homogenitas dengan uji F sebagai berikut:

a) Menetukan taraf signifikansi (α) untuk menguji hipotesis:

H0 : σ12 = σ22 (varian 1 sama dengan varians 2 atau homogen)

H1 : σ12 ≠ σ22 (varian 1 tidak sama dengan varians 2 atau tidak homogen)

dengan kriteria pengujian:

H0 diterima, jika Fhitung < Ftabel; dan


69

H0 ditolak, jika Fhitung > Ftabel

b) Menghitung varian tiap kelompok data

c) Menentukan nilai Fhitung, yaitu:

𝑣𝑎𝑟𝑖𝑎𝑛 𝑡𝑒𝑟𝑏𝑒𝑠𝑎𝑟
Fhitung = 𝑣𝑎𝑟𝑖𝑎𝑛 𝑡𝑒𝑟𝑘𝑒𝑐𝑖𝑙

d) Menentukan nilai Ftabel untuk taraf signifikansi (α), dk1 = dkpembilang = na–1,

dan dk2 = dkpenyebut = nb-1. Dalam hal ini, na adalah banyaknya data kelompok

varian terbesar (pembilang) dan nb adalah banyaknya data kelompok varian

terkecil.

e) Melakukan pengujian dengan cara membandingkan nilai Fhitung dan Ftabel

(Supardi, 2013).

3) Uji-t

Setelah dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas, maka dilakukan lagi

pengujian hipotesis komparasi dengan menggunakan uji-t (tidak berpasangan).

Pengujian ini bertujuan untuk membandingkan peningkatan data antara kelompok

eksperimen dan kelompok kontrol (Supardi, 2013). Rumus yang digunakan adalah

sebagai berikut:

keterangan :
t = Uji kesamaan rata-rata (t hitung)
X ̅1 = Mean pada distribusi sampel 1 (yang memiliki nilai besar)
X ̅2 = Mean pada distribusi sampel 2 (yang memiliki nilai kecil)
2
SD1 = Nilai varian pada distribusi sampel 1
SD22 = Nilai varian pada distribusi sampel 2
N1 = Jumlah individu pada sampel 1
N2 = Jumlah individu pada sampel 2

Adapun hipotesis yang akan diuji adalah sebagai berikut:


70

H0 = tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kelas eksperimen dan kontrol

H1 = terdapat perbedaan yang signifikan antara kelas eksperimen dan kontrol

Kriteria uji:

Terima H0 bila thitung < ttabel

Tolak H0 bila thitung > ttabel

(Winarsunu, 2010)

9. Prosedur Penelitian

Adapun prosedur penelitian yang akan dilaksanakan oleh peneliti, antara

lain:

a. Tahap persiapan

(1) Merumuskan masalah dan membuat proposal penelitian

(2) Seminar proposal penelitian

(3) Memohon surat izin kepada pihak yang berwenang.

(4) Menyampaikan surat izin penelitian.

(5) Menyusun instrumen penelitian.

(6) Memvalidasi instrumen dan perangkat (LKPD dan bahan ajar) yang telah

dibuat kepada validator.

(7) Memperbaiki instrumen hasil validasi

(8) Melakukan uji coba instrumen penelitian.

b. Tahap pelaksanaan

(1) Memberikan pretes untuk mengukur kemampuan pengetahuan peserta didik

sebelum diberi perlakuan.


71

(2) Memberikan perlakuan dengan menerapkan model pembelajaran PBL

bervisi SETS pada kelas eksperimen dan model pembelajaran ekspositori

pada kelas kontrol.

(3) Memberikan post-test untuk mengukur hasil belajar pengetahuan peserta

didik setelah diberi perlakuan.

(4) Memberikan angket respon peserta didik.

c. Tahap akhir

(1) Pengolahan data

(2) Analisis data

(3) Memberikan kesimpulan dan memberikan saran-saran.

10. Jadwal Penelitian

Berikut ini jadwal pelaksanaan penelitian yang tertera pada Tabel 15 berikut:

Tabel 15 Jadwal penelitian


Bulan
No Kegiatan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus Septem
2019 2019 2019 2019 2019 2019 2019 2019 ber
2019
1 Pembuatan Proposal √ √
2 Seminar Proposal √
3 Revisi Proposal √ √ √
4 Persiapan Penelitian √
a. Perizinan √
b. Pembuatan dan √
validasi
instrument
5 Pelaksanaan √
penelitian
6 Pengolahan data √
7 Penyususnan skripsi √
8 Seminar hasil √
9 Penyelesaian artikel √
dan revisi
10 Ujian skripsi √
72

DAFTAR PUSTAKA

Arafah, S., & Hamid, A. (2016). Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Siswa
pada Materi Sistem Koloid dengan Menggunakan Model Pembelajaran
Arus Ber-Setting Model Kooperatif Tipe Jigsaw. Jurnal Inovasi Pendidikan
Sains, 1, 83-94.
Arikunto, S. (2016). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Binadja, A. (2005a). Pedoman Pengembangan Bahan Pembelajaran Bervisis dan
Berpendekatan SETS. Semarang: Laboratorium SETS Universitas Negeri
Semarang.
Binadja, A., Wardani, S., & Nugroho, S. (2008). Keberkesanan Pembelajaran
Kimia Materi Ikatan Kimia Bervisi SETS pada Hasil Belajar Siswa. Jurnal
Inovasi Pendidikan Kimia, 2, 256-262.
Budiningsih, C. A. (2015). Belajar & Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Center, P. (2010). 21st Century Skills for Students and Teachers. Honolulu:
Kemahemeha Schools.
Chairisa, N., Sholahuddin, A., & Leny. (2016). Perbedaan Literasi Ilmiah dan Hasil
Belajar pada Materi Koloid antara Pembelajaran yang Menggunakan Model
Inkuiri Terbimbing dengan Metode Eksperimen Rill dan Eksperimen
Animasi. Jurnal Inovasi Pendidikan Sains, 2, 156-175.
Cohen, R. J., & Swerdlik. (2010). Psychology Testing and Assesment: An
Introduction to Test and Measurement. New York: McGraw-Hill.
Darmini, Y., Kamaluddin, & Lamba, H. A. (2014). Implementasi Model SETS
(Science Environment Technology Society) dalam Pembelajaran Fisika
untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas IX SMP Negeri 13 Palu.
Jurnal Pendidikan Fisika Tadulako, 1.
Daryanto, & Raharjo, M. (2012). Model Pembelajaran Inovatif . Yogyakarta: Gava
Media.
Diani, R., Saregar, A., & Ifana, A. (2016). Perbandingan Model Pembelajaran
Problem Based Learning dan Inkuiri Terbimbing Terhadap Kemampuan
Berpikir Kritis Peserta Didik. Jurnal Penelitian Pembelajaran Fisika, 147-
155.
Emzir. (2017). Metodelogi Penelitian Pendidikan. Depok: PT Raja Grafindo
Persada.
Ennis, R. (1985). A Logical Basic for Measuring Critical Thinking Skills.
Educational Leadership, 44-48.
73

Facione, P. A. (2015). Critical Thinking: What It Is and Why It Counts. California:


Insight Assesment.
Fakhriyah, F. (2014). Penerapan Problem Based Learning Dalam Upaya
Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis Mahasiswa. Jurnal
Pendidikan IPA Indonesia, 95-101.
Filsaime, D. K. (2008). Menguak Rahasia Berpikir Kritis & Kreatif. Jakarta:
Prestasi Pustaka.
Fisher, A. (2007). Berpikir Kritis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Erlangga.
Hidayati, N., Leny, & Iriani, R. (2018). Pengaruh Model Pembelajaran Inquiry
Based Learning dengan Pendekatan Flipped Classroom terhadap Self
Effeciency dan Hasil Belajar Kesetimbangan Ion dalam Larutan Garam.
Prosiding Seminar Pendidikan Kimia, 99-107.
Hosnan, M. (2014). Pendekatan Saintifik dan Konstektual dalam Pembelajaran
Abad 21. Bogor: Ghalia Indonesia.
Husni, Sari, S. A., & Yatna, S. (2015). Implementasi Pembelajaran Kimia Berbasis
Lingkungan dengan Model Problem Based Learning (PBL) untuk
Meningkatkan Minat dan Keterampilan Berpikir Kritis pada Siswa SMA.
Jurnal Pendidikan Sains Indonesia, 3, 47-58.
Ismulyati, S., & Ramadhan, F. (2017). Penerapan Model Pembelajaran Problem
Based Learning (PBL) Berbasis Lingkungan untuk Meningkatkan Hasil
Belajar Siswa pada Materi Sistem Koloid. Jurnal Edukasi Kimia, 2, 66-71.
Jane, A. (2014). Pengaruh Inkuiri Berbantuan Pictorial Riddle Terhadap
Kemampuan Berpikir Kritis pada Materi Koloid. Jurnal pendidikan, 1-11.
Kunandar. (2000). Langkah Mudah Penelitian Tindakan Kelas sebagai
Pengembangan Profesi Guru. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Luzywati, L. (2015). Model Pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat (STM)
untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa pada Subtopik
Pencemaran Air. Wacana Didaktika, 3, 48.
Mardapi, D. (2012). Pengukuran, Penilaian, dan Evaluasi Pendidikan. Yogyakarta:
Nuha Medika.
Moehnilabib, M., Mukhadis, A., Ibnu, S., Suparno, Rofi'udin, A., & Sukarnyana, I.
W. (2003). Dasar-dasar Metodologi Penelitian. Malang: Universitas
Negeri Malang.
Noma, L. D., Prayitno, B. A., & Suwarno. (2016). Penerapan Model Problem Based
Learning (PBL) Pada Materi Pencemaran Lingkungan untuk Meningkatkan
74

Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Peserta Didik Kelas X MIA 3 SMA


Negeri 2 Sukohorjo Tahun Pelajaran 2015/2016. Bio-Pedagogi, 5, 15-20.
Nugraha, D., Binadja, A., & Supartono. (2013). Pengembangan Bahan Ajar Reaksi
Redoks Bervisi SETS, Berorientasi Kontruktivistik. Journal of Innovative
Science Education, 2, 27-34.
Nugraheni, D., Mulyani, S., & Ariani, S. R. (2013). pengaruh pembelajaran bervisi
dan berpendekatan SETS terhadap prestasi belajar ditinjau dari kemampuan
berpikir kritis siswa kelas X SMAN 2 Sukoharjo pada Materi Minyak Bumi
Tahun Pelajaran 2011/2012. Jurnal Pendidikan Kimia, 2, 34-41.
Permendikbud. (2016). permendikbud Nomor 20 Tahun 2016. Standar Kompetensi
Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Purwanto. (2014). Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pusparini, S. T., Feronika, T., & Bahriah, E. S. (2018). Pengaruh Model
Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) terhadap Kemampuan
Berpikir Kritis Siswa pada Materi Koloid. Jurnal Riset Pendidikan Kimia,
8, 35-42.
Pusparini, S. T., Feronika, T., & Bahriah, E. S. (2018). Pengaruh Model
Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) terhadap Kemampuan
Berpikir Kritis Siswa pada Materi Sistem Koloid. Jurnal Riset Pendidikan
Kimia, 8, 35-42.
Rerung, N., Sinon, I. L., & Widyaningsih, S. W. (2017). Penerapan Model
Pembelajaran Problem Based Learning untuk Meningkatkan hasil belajar
peserta didik SMA pada Materi Usaha dan Energi. Jurnal Ilmiah
Pendidikan Fisika Al-Biruni, 06, 47-55.
Rusman. (2014). Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme
Guru . Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Rusyna, A. (2014). Keterampilan Berpikir. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Sani, R. A. (2014). Inovasi Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.
Sanjaya, W. (2012). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan. Jakarta: Pranada Media Group. Jakarta: Pranada Media Grup.
Sardjio, & Panen, P. (2007). Pembelajaran Berbasis Budaya. Jakarta: Universitas
Terbuka.
Sudarmo, U. (2014). Kimia untuk SMA/MA Kelas XI. Surakarta: Erlangga.
Sudaryono. (2017). Metodologi Penelitian. Jakarta: Rajawali Pers.
75

Sudjana, N. (2014). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja


Rosdakarya.
Sugiyono. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung:
Alfabeta.
Supardi. (2013). Aplikasi Statistika dalam Penelitian: Konsep Statistika yang Lebih
Komprehensif. Jakarta: Change Publication.
Temuningsih, Peniati, E., & Marianti, A. (2017). Pengaruh Penerapan Model
Problem Based Learning Berpendekatan Etnosains Pada Materi Sistem
Reproduksi Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Siswa. Journal of
Biology Education, 70-79.
Thobroni, M. (2016). Belajar & Pembelajaran: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media.
Utami, B., Saputro, S., Ashadi, Masyukri, M., & Widoretno, S. (2017). Critical
thinking skills profile of high school students in learning chemistry.
International Journal of Science and Applied Science : Conference Series,
1, 124 130.
Wasonowati, R. R., Redjeki, T., & Ariani, S. R. (2014). Penerapan Model Problem
Based Learning (PBL) pada Pembelajaran Hukum-Hukum Dasar Kimia
Ditinjau dari Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa Kelas X IPA SMA Negeri 2
Surakarta Tahun Pelajaran 2013/2014. Jurnal Pendidikan Kimia, 3, 66-75.
Wena, M. (2009). Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer. Jakarta: Bumi
Aksara.
Wijaya, W. S., Feronika, T., & Fairusi, D. (2018). Penerapan Problem based
Learning Berpendekatan SETS terhadap Keterampilan Berpikir Kritis
Siswa. Jurnal Tadris Kimiya, 3, 94-103.
Winarsunu, T. (2010). Statistik dalam Penelitian Psikologi dan Pendidikan.
Malang: UMM Press.
Yusuf, M. (2016). Metode Penelitian : Kuantitatif dan Penelitian Gabungan.
Jakarta: Prenadamedia Group.
Zivkovic. (2016). A model of Critical Thinking as an Important Attribute for
Success in the 21st Century. Journal Social and Behavioral Science, 102-
108.

Anda mungkin juga menyukai