Anda di halaman 1dari 9

KELOMPOK 2 :

1. TRIA SINAGA
2. ALFREDO SIAGIAN
3. EVELIN TAMPUBOLON
4. EFENUS SIMANJUNTAK
5. GRETHA HUTABARAT
6. INTAN PANDIANGAN
7. PUTRI SITEPU
8. RAFAEL MANURUNG
Cerpen :

Gara-Gara Buruk Sangka


Aku terus berlari tanpa memedulikan panggilan kawan-kawanku yang masih asyik bermain voli
di lapangan sekolah. Aku tidak ingin pulang terlambat lagi. Ibuku pasti cemas jika aku belum
sampai di rumah maghrib nanti. Dari jauh aku melihat kereta yang menjadi harapan terakhirku
untuk pulang telah penuh sesak. Setelah berhasil mendapat karcis aku segera menerobos orang-
orang yang bergelantungan di pintu kereta. Benar dugaanku. Tidak ada lagi tempat duduk yang
tersisa. Aku menggerutu dalam hati melihat pria-pria muda yang duduk dengan nikmatnya tanpa
peduli padaku-setidaknya pada ibu-ibu yang ribet dengan balita mereka. Kan kasihan…

Kereta mulai melaju meninggalkan ibukota yang sibuk ini. satu per satu stasiun terlewati.
Akhirnya aku berhasil mendapat sedikit jatah tempat duduk. Tak apalah, badanku juga kecil kok.
Pada saat yang bersamaan, seorang wanita yang kutaksir seusia dengan ibuku naik dan berdiri
tepat di hadapanku. Ia terlihat amat cantik dengan baju ala kantoran berwarna hijau menyejukkan
mata yang memandangnya. Kulitya yang putih nampak bersih bahkan kukunya pun amat cantik.
Aku rasa ia rajin melakukan perawatan di salon-salon yang mahal di Jakarta.

Penampilannya amatlah kontras jika dibandingkan dengan ibuku. Wajah ibuku sudah dipenuhi
kerutan akibat terlalu banyak pikiran dan beban kehidupan. Tangannya pun tak semulus tangan
wanita ini. Bisa kalian bayangkan kasarnya tangan yang dipakai untuk jadi buruh cuci lebih dari
10 tahun? Begitulah kiranya tangan ibuku. Aku juga belum pernah melihat ibuku memakai
pakaian sebagus wanita necis di hadapanku ini. Ia menjinjing dua bungkusan besar bermerk
sebuah mall terkenal di Jakarta. Aku tahu mall itu. Aku pernah diajak teman-teman sekolahku ke
sana. Tentu saja yang kulakukan hanya melihat-lihat. Lain halnya dengan temanku yang hobi
belanja. Ia memborong apa saja yang menarik hatinya.

Aku melihat wanita itu merasa risih dengan kondisi kereta yang sesak dan bau keringat yang
bermacam-macam berbaur menjadi aroma yang entah apa namanya. Ia juga nampak kesulitan
karena tangan kanannya menjinjing kedua bungkusan tadi sedangkan ia berpegangan dengan
tangan kirinya yang juga digunakan untuk menenteng tas lainnya.

Aku heran mengapa tak ada keinginan sedikit pun dalam hatiku untuk merelakan tempat
dudukku ini padanya. Tiba-tiba saja aku menjadi egois seperti anak muda yang kuumpat dalam
hati tadi. Aku malah merasa muak melihatnya yang risih, tidak nyaman, bahkan seolah jijik
melihat tempat ini. Aku rasa ini adalah pengalaman pertamanya naik kereta ekonomi macam ini.
Huh, kalau tidak biasa mengapa tidak bawa mobil sendiri saja! Aku yakin di garasi rumahnya
pasti berderet mobil-mobil mewah macam Ferrari, Mercedes, Merci, de el el. Tapi kok mau-
maunya sih dia naik kereta ekonomi yang hampir seluruh penghuninya rakyat papa macam aku?
Apa cuma niat gaya-gayaaan doang? Niat pamer kekayaan? Pikiran burukku tentang wanita itu
terus bermunculan.

Aku tidak sadar wanita itu juga memandangiku. Segera kualihkan pandanganku darinya tapi
tidak lama kemudian aku kembali memperhatikannya. Aku semakin tertarik melihat tingkahnya.
Ia bahkan enggan meletakkan bungkusan itu di bawah demi dilihatnya lantai kereta yang kotor.

Tiba-tiba aku menyadari ada seorang lelaki paruh baya terus memepet tas wanita itu. aku
menyaksikan betul saat si lelaki perlahan membuka tas wanita tersebut dan berusaha mengambil
sesuatu dari dalamnya. Saat itu sebenarnya aku ingin memberitahunya bahkan ingin rasanya
berteriak agar semua orang di gerbong ini tahu akan aksi kejahatan yang sedang dilakukannya.
Namun aku merasa bingung. Aku takut jika ternyata lelaki itu membawa komplotannya. Atau
bahkan membawa senjata tajam. Perasaanku tak karuan. Aku ingin menolong tapi tidak ingin.
Pikiran aneh mendadak muncul. Seketika aku malah merasa senang. Aku tersenyum sinis
memandang wanita itu. Biar dia rasakan seperti apa yang namanya kesusahan itu! wanita itu
terus menyeka peluh yang bercucuran di dahinya. Rupanya ia tidak menyadari apa yang baru
saja terjadi. Lelaki tadi telah pergi dan berhasil membawa kabur dompetnya. Aku tidak tahu dari
mana datangnya pikiran jahat ini. Akan tetapi aku tidak sedikit pun merasa bersalah padanya.
Aku malah tertawa puas dalam hati.

Akhirnya kereta tiba di stasiun Bogor, tujuanku. Aku menggantungkan tas sekolah yang sedari
tadi kupeluk erat ke atas pundakku. Ingin rasanya aku segera tiba di rumah untuk melapaskan
rasa lelahku. Di rumah, ibu menyambutku dengan lega karena aku pulang tepat waktu. Aku
memang terbiasa pulang tepat pada waktunya sehingga jika sehari saja aku terlambat seperti
kemarin ibuku akan langsung khawatir. Maklum, aku adalah putri ibuku satu-satunya.

Baru saja aku hendak mandi, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu.

“Assalamu’alaikum.” Kudengar ada yang memberi salam di luar.

Siapa yang bertamu magrib-magrib seperti ini? Tanyaku dalam hati. Aku berlari ke arah pintu.

“Wa’alaikumsalam.” Jawabku.

Aku terkejut. Seorang wanita cantik tersenyum padaku setelah kubukakan pintu. Hatiku deg-
degan. Berbagai perasaan berkecamuk dalam pikiranku. Aku takut. Apakah ia telah mengetahui
tindakanku di kereta tadi? Oh tidaaak! Jangan-jangan ia hendak melaporkanku ke polisi.

“Siapa, Put?” Ibuku muncul dari arah dapur.

Aku mundur perlahan memberi kesempatan pada ibuku untuk menyambut tamu asing ini.

“Rika, apa kabar?” Sambut ibuku begitu melihat siapa yang datang.

“Kabar baik. Maaf ya terlambat, aku tadi cukup kesulitan menemukan rumahmu.” Jawab wanita
itu.

“Putri, kenalkan ini Tante Rika. Teman ibu waktu SMP dulu.” Ujar ibu padaku. Wanita itu
tersenyum padaku mengulurkan tangannya.

“Sepertinya tante pernah lihat kamu deh belum lama ini. Di mana ya, Put?” Ujarnya sambil
mengedipkan mata.

Aku sungguh malu dan merasa bersalah. Rupanya tante itu adalah Tante Rika, sahabat ibu yang
sering diceritakan padaku. Sayang, aku tak pernah melihat fotonya sehingga aku tidak
mengenalinya saat di kereta tadi. Kalian ingat dua bungkusan besar yang membuatnya kerepotan
tadi? Ah ternyata itu oleh-oleh untukku. Huh, coba saja tadi aku tidak terlalu egois! Selepas
magrib, ibuku dan Tante Rika asyik melanjutkan cerita mereka.

“Oh ya, tadi aku kecopetan di kereta.” Ujar Tante Rika santai.
Jantungku serasa mau copot mendengarnya. Jangan-jangan ia akan melaporkan tindakanku pada
ibu. Oh no! Aku bisa mati! Please dong, Tante, jangan bilang-bilang yah… aku memohon dalam
hati.

“Apa? Bagaimana ceritanya?” Ibuku terkejut.

Jangan…! Please…! Tolong jangan katakan pada ibuku jika memang Tante tahu bahwa aku
membiarkan lelaki itu mengambil dompetmu. Biarlah hal itu jadi urusan kita berdua. Aku
memejamkan mata, bahkan aku menutup telinga. Aku tak sanggup mendengar kata-katanya.

“Tenang saja. Aku masih ingat apa yang kamu sarankan terakhir kali kita naik kereta bersama.”
Jawab Tante Rika tetap santai.

“Jadi??” Ibuku masih penasaran rupanya. Tapi aku juga penasaran apa maksudnya. Aku kan
tidak tahu bagaimana ceritanya.

“Yah copet itu mengambil dompet yang kosong, ha-ha-ha.” Ujarnya sambil tertawa.

Aish, sialan! Kalau tahu seperti itu aku tidak menyesal deh mengacuhkan copet itu. Ya, tetap saja
aku lega mendengarnya. Rupanya Tante Rika tahu aku sedang menguping pembicaraan mereka
berdua. Lagi-lagi ia mengedipkan mata padaku dan tersenyum manis. Ih, Tante, genit banget sih!

Ah, tetap saja aku benar-benar merasa malu. Maafkan aku, Ibu. Maafkan aku, Tante.

A. Sinopsis :

SINOPSIS CERPEN “ GARA – GARA BURUK SANGKA”

Aku berlari sekencang mungkin tanpa mempedulikan panggilan teman-temanku agar aku tidak
terlambat pulang dan membuat ibuku khawatir. Aku berhasil menaiki kereta yang didalamnya
sangat padat. Aku sedikit kesal melihat para pria-pria muda yang tidak peduli padaku dan
penumpang lainnya yang kesusahan.

Setelah melewati satu stasiun,aku berhasil mendapatkan tempat duduk dan


disaatbersamaan,tepatdihadapanku, aku melihat seorang wanita cantik dengan baju kantorannya,
perawakannya yang tampak terjaga, dan beberapa bungkusan bermerEk sebuah mall yang
dijinjingnya yang aku tau karena pernah diajak oleh teman- temanku. Penampilannya sangat
berlawanan dengan ibuku yang seorang buruh cuci.

Entah apa yang merasukiku, aku sama sekali tidak berniat memberikan tempat dudukku padanya
walau ia sudah terlihat sangat risih dengan keadaan kereta ekonomi ini pada saat itu. Bahkan aku
menyaksikan sendiri bahwa dompetnya diambil oleh seorang pria paruh baya dan tidak merasa
bersalah karena tidak menolongnya melainkan merasa puas dan senang karena aku ingin wanita
itu merasakan yang namanya kesusahan.

Sampai akhirnya tujuanku di stasiun Bogor tiba. Saat tiba dirumah,ibuku menyambutku dengan
lega. Sesaat sebelum aku mandi, ada yang mengetuk pintu rumah kami. Terkejut bukan main, dia
adalah wanita yang ku jumpai di kereta tadi. Ibuku datang dan memperkenalkannya, dia adalah
Tante Rika, teman ibuku waktu SD yang sering diceritakan ibuku padaku. Aku sangat ketakutan
karena sepertinya Tante Rika mengenaliku dan takut nantinya ia akan memberitahukan bahwa
aku membiarkan pencopet itu mengambil dompetnya. Aku yang sedang menguping percakapan
Ibu dengan Tante Rika pun akhirnya lega karena ternyata dompet yang diambil itu kosong dan
tante rika tidak menceritakan pertemuan kami di kereta. Walau begitu,aku merasa malu dan
bersalah pada diriku sendiri.

B. Nilai Intrinsik :
1. Tema

Tema : Prasangka

2. Tokoh dan Penokohan

3. Alur : Alur yang terdapat pada cerpen adalah alur maju. Hal ini dapat dilihat dari jalan
cerita cerpen yang selalu maju dan tidak ada alur mundur ( flashback)

4. Setting ( Alur )

a. Latar tempat :

1. Sekolah
Aku terus berlari tanpa memedulikan panggilan kawan-kawanku yang masih asyik
bermain voli di lapangan sekolah.
2. Kereta Api
Setelah berhasil mendapat karcis aku segera menerobos orang-orang yang bergelantungan
di pintu kereta.
3. Stasiun Bogor
Akhirnya kereta tiba di stasiun Bogor, tujuanku. Aku menggantungkan tas sekolah yang
sedari tadi kupeluk erat ke atas pundakku.
4. Rumah
Di rumah, ibu menyambutku dengan lega karena aku pulang tepat waktu.

b. Latar waktu

1. Siang menjelang sore


(Ibuku pasti cemas jika aku belum sampai di rumah mahgrib nanti)

2. Sore menjelang malam


(Siapa yang bertamu maghrib seperti ini?)

c. Latar suasana :
1. Ricuh dan ramai
(Setelah berhasil mendapat karcis aku segera menerobos orang-orang yang bergelantungan di
pintu kereta. Benar dugaanku. Tidak ada lagi tempat duduk tersisa)
2. Membingungkan

(Aku heran mengapa tak ada keinginan sedikit pun dalam hatiku untuk merelakan tempat
dudukku ini padanya)
3. Melelahkan
(Ingin rasanya aku segera tiba di rumah untuk melapaskan rasa lelahku)
4. Mengejutkan
(Aku terkejut. Seorang wanita cantik tersenyum padaku setelah kubukakan pintu)
5. Menakutkan
(Aku takut. Apakah ia telah mengetahui tindakanku di kereta tadi?)
6. Memalukan
(Ah, tetap saja aku benar-benar merasa malu)

5. Sudut Pandang

 Sudut pandang orang pertama

sudut pandang orang pertama biasanya menggunakan kata ganti “aku”

atau “saya” atau juga “kami” (jamak). Pada cerpen :

1. “Aku”

• “Aku” terus berlari tanpa memedulikan panggilan kawan – kawanku yang masih asyik
bermain voli di lapangan sekolah.

• “Aku” rasa ia rajin melakukan perawatan disalon – salon yang mahal di Jakarta.

 Sudut pandang orang ketiga

Sudut pandang oarang ketiga kata rujukan yang digunakan ialah “dia” atau “ ia” atau
“nama tokoh” dan juga “mereka” (jamak).

1. “Nama orang”

• Putri, kenalkan ini Tante “Rika”.Teman ibuwaktu SMP dulu. Ujar ibu padaku.

2. “Mereka”

• Huh, coba saja tadi aku tidak terlalu egois! Seleps magrib, ibuku dan Tante Rika asyik
melanjutkan cerita”mereka”.

3. “Dia”
• Tapi kok mau – maunya sih “dia” naik kereta ekonomi yang hampir seluruh
penghuninya rakyat papa macam aku?.

6. Gaya Bahasa

a. Simile

Gaya bahasa simile adalah perbandingan yang eksplisit.

 Tiba-tiba saja aku menjadi egois seperti anak muda yang kuumpat dalam hati tadi.

b. Interferensi

Interferensi adalah penggunaan bahasa asing dalam bahasa sendiri, atau penggunaan bahasa
campuran dalam sebuah karya sastra, baik prosa maupun puisi.

 Aku rasa ini adalah pengalaman pertamanya naik kereta ekonomi macam ini.

c. Paradoks

Gaya bahasa paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata
dengan fakta-fakta yang ada.

 Aku ingin menolong tapi tidak ingin. Pikiran aneh mendadak muncul. Seketika aku
malah merasa senang. Aku tersenyum sinis memandang wanita itu. Biar dia rasakan
seperti apa yang namanya kesusahan itu!

d. Tautologi

Tautologi adalah pengulangan makna atau gagasan dengan susunan kata yang berlainan dan
tidak menambah kejelasan.

 Tiba-tiba saja aku menjadi egois seperti anak muda yang kuumpat dalam hati tadi. Aku
malah merasa muak melihatnya yang risih, tidak nyaman, bahkan seolah jijik melihat
tempat ini.
e. Hiperbola
Gaya bahasa yang mengungkapkan sesuatu secara berlebihan, bahkan terkesan tidak
masuk akal.
 Jantungkuserasa mau copot mendengarnya.
f. Pertanyaan Retoris

Pertanyaan retoris adalah pertanyaan yang digunakan dalam pidato atau tulisan dengan tujuan
untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar, dan tidak menghendaki
adanya jawaban.

 Bisa kalian bayangkan kasarnya tangan yang dipakai untuk jadi buruh cuci lebih dari 10
tahun? Begitulah kiranya tangan ibuku.

g. Klimaks

Gaya bahasa klimaks adalah gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran yang setipa
kali semakin meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya.
Jangan…! Please…! Tolong jangan katakan pada ibuku jika memang Tante tahu bahwa aku
membiarkan lelaki itu mengambil dompetmu. Biarlah hal itu jadi urusan kita berdua. Aku
memejamkan mata, bahkan aku menutup telinga. Aku tak sanggup mendengar kata-katanya.
h. Antiklimaks

Antiklimaks sebagai gaya bahasa merupakan suatu acuan yang gagasan-gagasanya diurutkan dari
yang terpenting ke gagasan kurang penting.

 Aish, sialan! Kalau tahu seperti itu aku tidak menyesal deh mengacuhkan copet itu. Ya,
tetap saja aku lega mendengarnya.

7. Amanat
Kita tidak boleh berburuk sangka terhadap orang lain yang tidak kita kenal. Sebaiknya
kita harus mengenal orang tersebut terlebihdahulu sebelum kita menilainya. Kita juga
sebaiknya membantu orang lain walaupun kita tidak mengenalnya ataupun bahkan kita
tidak suka dengannya. Kita sebagai manusia sebaiknya saling tolong-menolong.

C. Nilai ekstrinsik : Nilai – Nilai Kehidupan


Nilai yang terkandung dalam cerpen

1. Nilai Sosial

 Tidak boleh berprasangka buruk terhadap orang lain sebelum mengenal orang
tersebut dengan baik.
 Harus berani mengungkapkan kebenaran di depan umum.
 Tidak boleh senang diatas penderitaan orang lain.
 Harus peduli dengan orang lain yang lebih membutuhkan.

2. Nilai Moral

 Jangan egois.
 Disiplin waktu

Anda mungkin juga menyukai