Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN KASUS

ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROM (ARDS)

Oleh :

Nurul Hadiyati Maharani, S.Ked

FAB 118 035

Pembimbing :

dr. Sutopo, Sp RM

dr. Tagor Sibarani

Dibawakan dalam rangka tugas kepaniteraan klinik pada bagian


Rehabilitasi Medik dan Emergency Medicine

KEPANITERAAN KLINIK REHABILITASI MEDIK DAN EMERGENCY


MEDICINE

RSUD dr. DORIS SYLVANUS/FK UNPAR

PALANGKARAYA

2019

1
BAB I

PENDAHULUAN
Acute respiratory distress syndrome (ARDS) adalah salah satu penyakit
paru akut yang memerlukan perawatan di Intensive Care Unit (ICU) dan
mempunyai angka kematian yang tinggi yaitu mencapai 60%. definisi ARDS
direkomendasikan kepada klinisi untuk pemakaian rutin dan sebagai tambahan
disarankan untuk mengidentifikasi faktor risiko perjalanan ALI dan tidak adanya
signifikansi dengan penyakit paru kronik sebelumnya. Sindrom distres respiratorik
akut merupakan bentuk edema pulmoner yang menyebabkan gagal respiratorik akut
dan disebabkan oleh meningkatnya permeabilitas membran alveolokapiler. Cairan
terakumulasi dalam interstisium paru-paru dan ruang alveolar. ARDS parah bisa
menyebabkan hipoksemia yang sulit disembuhkan dan fatal, tetapi pasien yang
sembuh mungkin hanya mengalami sedikit kerusakan paru-paru atau tidak sama
sekali.3 ARDS dapat terjadi pada orang-orang dari segala usia. Insiden meningkat
dengan bertambahnya usia, mulai dari 16 kasus per 100.000 orang-tahun pada
mereka yang berusia 15-19 tahun untuk 306 kasus per 100.000 orang-tahun pada
mereka yang berusia antara 75 dan 84 tahun. Distribusi usia mencerminkan
kejadian penyebab.5 Komplikasi seperti pneumotoraks, efusi pleura, dan pneumonia
fokal harus diidentifikasi dan segera diobati. Selama dekade terakhir, angka
kematian telah menurun dari lebih dari 50% menjadi 32-45%. Kematian biasanya
terjadi akibat kegagalan organ multisystem daripada kegagalan pernapasan saja.1
Pada laporan kasus kali ini, dilaporkan pasien bayi berusia dua hari datang
dengan keluhan merintih mendadak saat pagi hari.

1
BAB II

LAPORAN KASUS
 Primary survey : By. Ny. L
Vital sign : Respirasi 63x/menit, nadi 160x/menit, suhu 38,7°C.
Airway : tidak ada tanda sumbatan jalan napas.
Breathing : respirasi spontan, 63x/menit, torako-abdominal, toraks simetris,
ditemukan retraksi dinding dada.
Circulation : CRT < 2 detik, nadi kuat angkat, akral hangat.
Dissability : Menangis Lemah
 Evaluasi masalah : Kasus ini termasuk dalam priority sign dimana pasien
mengalami Sesak napas.
Penanda warna : kuning
Tatalaksana awal : Pasien dibawa ke ruangan PONEK IGD dan dilakukan
secondary survey

I. Identitas Penderita
Nama : By.Ny. L
Usia : 2 hari
Jenis Kelamin : Laki-laki
Berat Badan : 3,2 Kg
Agama : Islam
Pekerjaan : -
Alamat : Ds. Tumbang Samba
Anamnesis dilakukan pada hari Senin tanggal 19 Desember 2019 WIB

II. Anamnesis
2.1. Keluhan Utama : Bayi merintih
2.2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien diantar ayahnya dengan keluhan merintih saat subuh ±7 jam SMRS
muncul mendadak. Sebelumnya bayi lahir tanggal 28 Agustus lalu, partus
pervaginam dibantu oleh bidan segera menangis, gerakan aktif, cukup bulan.
Riwayat tersedak disangkal, riwayat diayun dengan ayunan disangkal, riwayat

2
terauma benturan disangkal, riwayat muntah disangkal, BAB dan BAK tidak ada
keluhan. Sebelumnya, pasien masih menangis kuat, gerakan aktif namun tiba-tiba
pagi hari mendadak merintih, pasien dibawa ke bidan dan dianjurkan untuk segera
dibawa ke rumah sakit.
2.3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien baru lahir tanggal 28 Sept 2015
2.4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat DM dari keluarga tidak diketahui, Asma disangkal.

III. Pemeriksaan Fisik


1. Keadaan Umum : bayi merintih, tampak sakit sedang, kesadaran E4M5V2
2. Tanda vital : nadi 160x/menit, lemah dan cepat, suhu 38,6°C, respirasi 63x/menit.
3. Kulit :lembab, akral hangat, CRT < 2 detik
4. Kepala :
Kepala : Mesosefal, UUB datar, tidak ditemukan deformitas ataupun hematoma
Mata : Isokor, Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, diameter pupil 3mm/3mm,
reflek cahaya +/+
5. Leher
JVP : tidak meningkat, KGB > (-)
6. Toraks : Dada tampak simetris, retraksi supra sternal -/-, fremitus taktil normal,
simetris, sonor, vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-, retraksi intercostal + ictus
cordis terlihat dan teraba dimidclavicula sinistra SIC V, S1-S2 reguler, gallop-,
murmur-.
7. Abdomen : Datar, supel, bising usus + normal, timpani, nyeri tekan + regio
epigastrium, namun mengeluh nyeri tekan diseluruh lapang perut, hepar dan lien
tidak teraba membesar, defans muskular +
8. Ekstremitas : akral hangat, lembab, CRT < 2 detik.
9. Genital : tidak dilakukan pemeriksaan

3
IV. Pemeriksaan Penunjang
Hasil Laboratorium tanggal 30 Sept 2015 :
HB : 12,1/dl, HCT: 36,7%, Leukosit: 11,98x103/uL, Eritrosit:3,55 x106/uL,
Trombosit 340x103/uL, GDS: 208 mg/dl
V. Diagnosis
a. Diagnosis Banding : RDS, ARDS,
b. Diagnosis Kerja : Susp. ARDS

VI. Penatalaksanaan
Infus RL 11 tpm mikro
Cefotaxim 3x100 mg (IV)
Kalmetason 3x1gr (IV)
Gentamisin 2x8 mg (IV)
Aminofilin 3x0,4 cc diencerkan dengan D5% 0,4 cc
Pemasangan OGT terbuka
CPAP Peep 7 SiO2 60%͚sabrosi
Evaluasi : GDS 1 jam lagi
VII. Usulan pemeriksaan Lainnya,
Cek AGD, Elektrolit, GDS ulang
VIII. Prognosis
Quo ad vitam : Dubia
Quo ad functionam : Dubia
Quo ad sanationam : Dubia

4
BAB III
PEMBAHASAN

Sindrom distres respiratorik akut merupakan bentuk edema pulmoner yang


menyebabkan gagal respiratorik akut dan disebabkan oleh meningkatnya
permeabilitas membran alveolokapiler. Cairan terakumulasi dalam interstisium
paru-paru dan ruang alveolar. ARDS parah bisa menyebabkan hipoksemia yang
sulit disembuhkan dan fatal, tetapi pasien yang sembuh mungkin hanya mengalami
sedikit kerusakan paru-paru atau tidak sama sekali.3
Tabel 1.Kondisi Klinis yang berkaitan dengan kejadian ARDS1
Cedera paru-paru langsung Cedera paru-paru tidak langsung
 Pneumonia  Sepsis
 Aspirasi gaster  Trauma berat
 Trauma inhalasi  Pankreatitis Akut
 Tenggelam  Bypass kardiopulmonal
 Kontusi paru  Tranfusi massif
 Emboli lemak  Overdosis obat
 Reperfusi edema paru pasca
transplantasi paru-paru atau
embolectomy paru
Epitelium alveolar dan endotelium mikrovaskular mengalami kerusakan
pada ARDS.3 Kerusakan ini menyebabkan peningkatan permeabilitas barier
alveolar dan kapiler sehingga cairan masuk ke dalam ruang alveolar. Derajat
kerusakan epithelium alveolar ini menentukan prognosis.4-8 Epitelium alveolar
normal terdiri dari 2 tipe sel, yaitu sel pneumosit tipe I dan sel pneumosit tipe II.
Permukaan alveolar 90% terdiri dari sel pneumosit tipe I berupa sel pipih yang
mudah mengalami kerusakan. Fungsi utama sel pneumosit tipe I adalah pertukaran
gas yang berlangsung secara difusi pasif. Sel pneumosit tipe II meliputi 10%
permukaan alveolar terdiri atas sel kuboid yang mempunyai aktivitas metabolik
intraselular, transport ion, memproduksi surfaktan dan lebih resisten terhadap
kerusakan.4-8 Kerusakan epitelium alveolar yang berat

5
menyebabkan kesulitan dalam mekanisme perbaikan paru dan menyebabkan
fibrosis.3,4,6,8,9 Kerusakan pada fase aku terjadi pengelupasan sel epitel bronkial dan
alveolar, diikuti dengan pembentukan membran hialin yang kaya protein pada
membran basal epitel yang gundul

ARDS biasanya timbul dalam waktu 24 hingga 48 jam setelah kerusakan


awal pada paru. Setelah 72 jam 80% pasienn menunjukkan gejala klinis ARDS yang
jelas. Awalnya pasien akan mengalami dispnea, kemudian biasanya diikuti dengan
pernapasan yang cepat dan dalam. Sianosis terjadi secara sentral dan perifer, bahkan
tanda yang khas pada ARDS ialah tidak membaiknya sianosis meskipun pasien
sudah diberi oksigen. Sedangkan pada auskultasi dapat ditemui ronkhi basah kasar,
serta kadang wheezing. 1,3
Diagnosis dini dapat ditegakkan jika pasien mengeluhkan dispnea, sebagai
gejala pendahulu ARDS. Diagnosis presumtif dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan analisa gas darah serta foto toraks. Analisa ini pada awalnya
menunjukkan alkalosis respiratorik (PaO2 sangat rendah, PaCO2 normal atau
rendah, serta peningkatan pH). Foto toraks biasanya memperlihatkan infiltrat
alveolar bilateral difus yang mirip dengan edema paru atau batas-batas jantung,
namun siluet jantung biasanya normal. Bagaimanapun, belum tentu kelainan pada
foto toraks dapat menjelaskan perjalanan penyakit sebab perubahan anatomis yang

6
terlihat pada gambaran sinar X terjadi melalui proses panjang di balik perubahan
fungsi yang sudah lebih dahulu terjadi.1,4
Penatalaksanaan ARDS terdiri atas penatalaksanaan terhadap penyakit
dasar yang dikombinasi dengan penatalaksanaan suportif terutama
mempertahankan oksigenasi yang adekuat dan optimalisasi fungsi hemodinamik
sehingga diharapkan mekanisme kompensasi tubuh akan bekerja dengan baik bila
terjadi gagal multiorgan. Penatalaksanaan penyakit dasar sangat penting, misalnya
penatalaksanaan hipotensi dan eradikasi sumber infeksi pada sepsis. Khas pada
ARDS, hipoksemia yang terjadi refrakter terhadap terapi oksigen dan hal ini
kemungkinan diakibatkan adanya shunting (pirau) darah melalui daerah paru yang
tidak terventilasi yang disebabkan alveoli terisi eksudat protein dan terjadi
atelektasis.4
Prinsip Manajemen ARDS4
 Lakukan penentuan klinis dini kesulitan pernapasan.
 Lakukan penilaian obyektif dengan gas darah arteri dan radiografi dada.
 Menyediakan oksigen, saturasi memantau, dan menyelidiki faktor-faktor
risiko untuk ARDS.
 Tentukan kebutuhan untuk intubasi dan ventilasi mekanik.
 Gunakan volume tidal yang rendah, tekanan dataran rendah, paru-pelindung
strategi ventilator.
 Optimalkan status cairan, nutrisi, dan toilet paru, dan mengobati komplikasi.
Pertimbangkan transfer ke pusat-pusat tersier untuk uji klinis dan teknik
canggih.

Optimalisasi fungsi hemodinamik dilakukan dengan berbagai cara. Dengan


menurunkan tekanan arteri pulmonal berarti dapat membantu mengurangi
kebocoran kapiler paru. Caranya ialah dengan restriksi cairan, penggunaan diuretik
dan obat vasodilator pulmonar (nitric oxide/NO). Pada prinsipnya penatalaksanaan
hemodinamik yang penting yaitu mempertahankan keseimbangan yang optimal
antara tekanan pulmoner yang rendah untuk mengurangi kebocoran ke dalam
alveoli, tekanan darah yang adekuat untuk mempertahankan perfusi jaringan dan
transport O2 yang optimaI. Kebanyakan obat vasodilator arteri pulmonal seperti

7
nitrat dan antagonis kalsium juga dapat menyebabkan vasodilatasi sistemik
sehingga dapat sekaligus menyebabkan hipotensi dan perfusi organ yang terganggu.
Obat-obat inotropik dan vasopresor seperti dobutamin dan noradrenalin mungkin
diperlukan untuk mempertahankan tekanan darah sistemik dan curah jantung yang
cukup terutama pada pasien dengan sepsis (vasodilatasi sistemik). Inhalasi NO telah
digunakan sebagai vasodilator arteri pulmonal yang selektif. Karena diberikan
secara inhalasi sehingga terdistribusi pada daerah di paru-paru yang menyebabkan
vasodilatasi. Vasodilatasi yang terjadi pada alveoli yang terventilasi akan
memperbaiki disfungsi ventilasi/perfusi sehingga dengan demikian fungsi
pertukaran gas membaik. NO secara cepat diinaktivasi oleh hemoglobin mencegah
reaksi sistemik.3,4
ARDS seringkali menyebabkan deplesi volum intravaskular akibat terapi
diuresis, inisiasi PPV yang mengurangi aliran balik vena, atau mungkin akibat
sepsis. Pada keadaan ini, yang paling penting ialah monitoring volume vaskular,
jangan sampai dehidrasi atau hipervolemia. Pada keadaan ARDS, meskipun
terdapat edema alveolar, infus tetap diberikan jika diperlukan untuk
mengembalikan perfusi perifer, keluaran urin, serta menstabilkan tekanan darah.
Karena pengobatan yang terpenting ialah menjaga volum intravaskular,
pemantauan pasien difokuskan pada perfusi kulit, status mental, keluaran urin,
hipoksemia, serta tekanan vena sentral secara intensif. Dalam mengukur volum
infus, digunakan kateter Swan-Ganz terutama jika terdapat ventilasi buatan dengan
PEEP. Dalam penanganan emergensi yang intensif ini sebaiknya pasien dijaga
dalam keadaan 'kering', yakni dalam kondisi diuresis dan restriksi cairan.6
Jika terjadi sepsis akibat ARDS, terapi empirik antibiotik mesti dimulai
selagi kultur dikerjakan. Kultur yang dipakai bisa berasal dari sputum atau aspirasi
trakea. Kultur ini membantu mendeteksi superinfeksi paru secara dini serta
memantau terapi antibiotik. Untuk memperkuat imunitas pencernaan, sebaiknya
dalam 48 hingga 72 jam pasien sudah harus dibiasakan makan dengan saluran
pencernaan normal alias jalur enteral.4,6
Tidak ada bukti kortikosteroid bisa memberi keuntungan dalam menangani
ARDS akut. Malah kortikosteroid membuka peluang terjadi infeksi paru.
Sedangkan sampai sekarang belum ditemukan terapi yang benar-benar efektif

8
dalam melawan ARDS, semisal antibodi monoklonal terhadap endotoksin, antibodi
monoklonal terhadap tumor necrosis factor, antagonis reseptor interleukin-1,
profilaksis PEEP, oksigenasi membran ekstrakorporeal serta mengurangi CO2
ekstrakorporeal, IV albumin, obat-obatan untuk ekspansi volum dan kardiotonik
untuk oksigenasi, kortikosteroid untk ARDS akut, ibuprofen parenteral untuk
menghambat siklooksigenase, prostaglandin E1, serta pentoxifylline.1,4,6
Demi menjaga efektivitas pernapasan ARDS, telah terbukti bahwa posisi
pasien yang dibaringkan secara tengkurap akan mengalami perbaikan yang berarti.
Kemungkinan posisi ini memperbesar perfusi dan pertukaran gas seperti pada
keadaan normal. Meski menelungkupkan pasien juga tidak mudah dikerjakan,
namun posisi seperti ini telah lama diaplikasikan dan membawa hasil yang tidak
buruk bagi pasien. Ketokonazol terbukti bermanfaat untuk pasien ARDS karena
bisa mensupresi makrofag dalam pelepasan tumor necrosis factor. Pemberian
surfaktan sintetik tidak memberi hasil yang memuaskan, sementara surfaktan alami
terbukti memberi efek yang sangat baik meskipun tergolong jarang digunakan.1,4
Kebanyakan pasien memerlukan intubasi endotrakea dan ventilasi buatan
dengan ventilator mekanis. Intubasi endotrakea dan PPV face mask mesti
dikerjakan jika frekuensi napas lebih dari 30 kpm atau jika FiO2 lebih besar dari
60%. Tindakan ini dapat menjaga PO2 arteri tetap berada sekitar 70 mmHg selama
lebih dari beberapa jam. Sebagai alternatif intubasi, continous positive airway
pressure (CPAP) dapat memberikan PEEP pasien ARDS sedang atau berat secara
efektif. Pemasangan masker napas ini mesti dipertimbangkan pada pasien yang
mengalami penurunan kesadaran karena berisiko aspirasi dan mesti digantikan
dengan ventilator jika pasien mengalami perburukan gejala ARDS.1,4
Pengaturan ventilator secara konvensional pada ARDS ialah kisaran volum
tidal 10 hingga 15 mL/kg, PEEP 5-10 cm H2O, FiO2 ≤60%, dengan mode
pengontrolan yang dipicu oleh pasien (patient-triggered assisted-control mode).
Ventilasi dilakukan secara intermiten dengan irama awal sebesar 10 hingga 12
napas permenit tentunya dengan PEEP.1,4
Terdapat beberapa pendapat yang menyakan bahwa ventilator dengan
tekanan dan volum yang tinggi dapat memperburuk keadaan paru pasien ARDS,
namun sampai sekarang pendapat ini belum bisa dibuktikan dengan baik. Justru

9
PEEP yang terlalu rendah yang dapat merusak paru karena menyebabkan bagian
distal paru yang tidak stabil dipaksa untuk terbuka dan tertutup berulang-ulang.4
Masalah ini dapat diatasi dengan penyetelan volum tidal yang rendah (hanya
6 sampai 8 mL/kg) namun PEEP yang lebih tinggi (antara 10 hingga 18 cm H 2O).
Tujuan penyetelan volum tidal yang kecil ialah mencegah pernapasan berlebih yang
dipaksa oleh ventilator akibat titik infleksi (defleksi) yang melebihi batas kurva
tekanan napas pasien tersebut, keadaan ini bisa juga menyebabkan overdistensi
paru. Akibatnya, paru-paru tetap akan bertambah kaku, serta terjadi peningkatan
tekanan plateau ventilator karena tekanan yang diperlukan untuk menjaga paru dan
inflasi dinding dada telah habis terpakai. Untuk alasan teknis, titik infleksi atas paru
sering tidak dihitung secara langsung. Taktiknya, dengan menyetel tekanan plateau
ventilator tidak lebih dari 25 hingga 30 cm H2O, insya Allah pasien tidak akan
tersiksa akibat ventilator ini. Apalagi dengan penurunan volum tidal paru, frekuensi
napas dari ventilaor dapat ditingkatkan untuk mengatur pH dan PCO2 yang cukup.
Jika pH arteri turun di bawah 7.20, akan terjadi infusi bikarbonat secara perlahan-
lahan. Beberapa pasien mungkin akan menunjukkan hiperkapina dan asidosis
respiratorik, namun biasanya keadaan ini dapat terkompensasi dengan baik.
Daripada ambil risiko menyetel pernapasan pasien terlalu tinggi dengan paksa,
lebih baik menurunkan setelan namun tetap dijaga dengan pemantauan yang
intensif.4
Secara teoretis, PEEP yang dipilih mesti beberapa cm H2O di atas titik
infleksi bawah kurva tekanan napas pasien. Tindakan ini bertujuan agar makin
banyak alveolus yang bisa berfungsi lagi serta mencegah inflasi yang berlebihan.
Jika titik bawah infleksi masih tidak bisa ditentukan secara langsung, dibutuhkan
PEEP dengan nilai 10 hingga 15 cm H2O. Jika telah ditentukan nilai PEEP yang
tepat, FiO2 ventilator biasanya akan turun hingga ke batas yang normal <50 atau
60%. Artinya, akan tercapai PaO2 yang memuaskan, yakni ≥60% atau saturasi O2
≥90%. Untuk perfusi O2 yang adekuat ke jaringan, indeks kardiak mesti ≥3
L/min/m2, bahkan kadang-kadang infusi volum atau obat-obatan kardiotonik
parenteral dibutuhkan.4
Ventilator dapat dilepas jika fungsi paru sudah membaik (misalnya
kebutuhan O2 dan PEEP sudah berkurang), hasil röntgen sudah menunjukkan

10
perbaikan, serta sudah tidak ada takipnea. Biasanya, pasien yang memang tidak
memiliki riwayat penyakit paru yang parah sebelumnya, akan lebih mudah dilepas.
Kesulitan pelepasan alat bantu napas biasanya akibat adanya infeksi yang baru atau
infeksi lama yang tidak diterapi dengan baik, overhidrasi, bronkospasme, anemia,
gangguan elektrolit, disfungsi kardiak, atau status gizi yang sangat jelek yang
menyebabkan kelemahan otot. Jika penyulit-penyulit tersebut berhasil diperbaiki,
ventilator dapat dilepas perlahan-lahan dengan penyetelan ventilator intermiten,
frekuensi napas yang diturunkan, sering pula dengan ventilasi yang didukung oleh
pengaturan tekanan napas, atau dilepas begitu saja dengan meletakkan pipa T pada
pipa endotrakeal. Pada proses ini disetel PEEP yang rendah (sekitar 5 cm H2O) agar
nantinya pasien bisa bernapas kembali dengan normal. Untuk penanganan lebih
detail serta rawat jalan yang baik, setelah fase emergensi selesai, terapi difokuskan
pada etiologi yang menyebabkan pasien menjadi ARDS. Dengan demikian dapat
mencegah kemungkinan timbulnya episode ARDS serupa di kemudian hari.4

11
BAB IV

KESIMPULAN
Telah dilaporkan pasien laki-laki, usia 2 hari Bayi Ny. L datang ke RSUD
dengan keluhan merintih saat subuh ±7 jam SMRS muncul mendadak. Sebelumnya
bayi lahir tanggal 28 Agustus lalu, partus pervaginam dibantu oleh bidan segera
menangis, gerakan aktif, cukup bulan. Riwayat tersedak disangkal, riwayat diayun
dengan ayunan disangkal, riwayat terauma benturan disangkal, riwayat muntah
disangkal, BAB dan BAK tidak ada keluhan. Sebelumnya, pasien masih menangis
kuat, gerakan aktif namun tiba-tiba pagi hari mendadak merintih, pasien dibawa ke
bidan dan dianjurkan untuk segera dibawa ke rumah sakit.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan nadi 160x/menit, lemah dan cepat, suhu
38,6°C, respirasi 63x/menit.
Hasil laboratorium HB : 12,1/dl, HCT: 36,7%, Leukosit: 11,98x103/uL,
Eritrosit:3,55 x106/uL, Trombosit 340x103/uL, GDS: 208 mg/dl
Terapi pasien ini mendapatkan Infus RL 11 tpm mikro, Cefotaxim 3x100 mg (IV),
Kalmetason 3x1gr (IV), Gentamisin 2x8 mg (IV), Aminofilin 3x0,4 cc diencerkan
dengan D5% 0,4 cc, Pemasangan OGT terbuka, CPAP Peep 7 SiO2 60%͚sabrosi.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Udobi KF, Touijer K. Acute Respiratory Distress Syndrome. Am Fam


Physician. 2003 Januari 15; 67 (2) :315-322.
2. Harman EM. Acute Respiratory Distress Syndrome Overview. Updated:
Juli 2011. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/165139-
overview
3. Farid. Acute Respiratory Distress Syndrome. Maj Farm 2006;4: 12
4. Ware LB, Matthay MA. The Acute Respiratory Distress Syndrome. N Engl
J Med 2000; 342:1334-1349
5. Harman EM. Acute Respiratory Distress Syndrome Work Up. Updated: Juli
2011. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/165139-
workup
6. Harman EM. Acute Respiratory Distress Syndrome Treatment &
Management. Updated: Juli 2011. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/165139-treatment

13

Anda mungkin juga menyukai