Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN (LP)

GANGGUAN KEBUTUHAN ELIMINASI FEKAL (BAB)

A. Definisi Typhoid

Tifoid merupakan penyakit infeksi yang terjadi pada usus halus yang disebabkan

oleh salmonella thypii, penyakit ini dapat ditularkan melalui makan, mulut atau minuman

yang terkontaminasi oleh kuman salmonella thypii. (Hidayat Alimul Azis.A, 2006, Edisi I,

Pengantar Ilmu Keperawatan Anak, Jakarta, Salemba Medika)

Demam tifoid, enteric fever ialah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai

saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pada

pencernaan, dan gangguan kesadaran (Ngastiyah, 2005, Edisi II, Perawatan Anak Sakit,

Jakarta, EGC)

Anatomi Dan Fisiologi

Saluran gastrointestinal adalah jalur (panjang total 23-26 kaki) yang berjalan dari

mulut melalui esophagus, lambung, dan usus sampai anus.

Esofagus terletak di mediastinum rongga torakal, anterior terhadap tulang punggung

dan posterior terhadap trakea dan jantung. Panjang esophagus kira-kira 25 cm menjadi

distensi bila makanan mlewatinya.

Lambung ditempatkan dibagian atas abdomen sebelah kiri dari garis tengah tubuh,

tepat dibawah diafragma kiri. Lambung adalah suatu kantung yang dapat berdistensi

dengankapasitas kira-kira 1500 ml. Lambung dapat di bagi ke dalam empat bagian : kardia

(jalan masuk), fundus, korpus, dan pylorus.

Usus halus adalah segmen paling panjang dari saluran gastrointestinal yang jumlah

panjangnya kira-kira dua per tiga dari panjang total saluran. Bagian ini membalik dan melipat

diri yang memungkinkan kira-kira 7000 cm area permukaan untuk sekresi dan absorpsi. Usus

halus dibagi kedalam 3 bagian:


1. Duodenum (bagian atas)

2. Jejunum (bagian tengah)

3. Ileum (bagian bawah)

Pertemuan antara usus halus dan besar terletak dibagian bawah kanan duodenum.

Ini disebut sekum. Pada pertemuan ini yaitu katup ileosekal, yang berfungsi untuk

mengontrol pasase isi usus kedalam usus besar dan mencegah refluks bakteri ke dalam usus

halus. Pada tempat ini terdapat apendiks veriformis.

Usus besar terdiri dari segmen asenden pada sisi kanan abdomen, segmen

transversum yang memanjang dari abdomen atas kanan ke kiri, dan segmen desenden pada

sisi kiri abdomen. Bagian ujung dari usus besar terdiri dari dua bagian: kolon sigmoid dan

rectum.

Rectum berlanjut pada anus.

C. Manifestasi Klinis

Masa inkubasi 10-14 hari. Penyakit ini mempunyai tanda-tanda yang khas
berupa perjalanan yang cepat yang berlangsung kurang lebih 3 minggu. Gejala
Demam Tifoid antara lain sebagai berikut :
Demam > 1 minggu terutama pada malam hari
Demam tidak terlalu tinggi dan berlangsung selama 3 minggu.
Minggu pertama peningkatan suhu tubuh berfluktuasi. Biasanya suhu
tubuh meningkat pada malam hari dan menurun pada pagi hari. Pada
minggu kedua suhu tubuh terus meningkat dan pada minggu ke tiga
suhu berangsur-angsur turun dan kembali normal.
Nyeri kepala
Malaise
Letargi
Lidah kotor
Bibir kering pecah-pecah (regaden)
Mual, muntah
Nyeri perut
Nyeri otot
Anoreksia
Hepatomegali, splenomegaly
Konstipasi, diare
Penurunan kesadaran
Macular rash, roseola (bintik kemerahan) akibat emboli basil dalam kapiler
Epistaksis
Bradikardi

I. KONSEP KEBUTUHAN
A. Definisi Eliminasi Fecal
Eliminasi Fecal adalah proses pembuangan atau pengeluaran sisa metabolisme
berupa feses dan flatus yang berasal dari saluran pencernaan melalui anus
B. Fisiologi
Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga disebut
bowel movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi dari
beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu. Banyaknya feses juga
bervariasi setiap orang. Ketika gelombang peristaltik mendorong feses
kedalam kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalam rektum dirangsang
dan individu menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi.
Defekasi biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu :
a. Refleks defekasi instrinsik
Ketika feses masuk kedalam rektum, pengembangan dinding rektum memberi
suatu signal yang menyebar melalui pleksus mesentrikus untuk memulai
gelombang peristaltik pada kolon desenden, kolon sigmoid, dan didalam
rektum. Gelombang ini menekan feses kearah anus. Begitu gelombang
peristaltik mendekati anus, spingter anal interna tidak menutup dan bila
spingter eksternal tenang maka feses keluar.
b. Refleks defekasi parasimpatis
Ketika serat saraf dalam rektum dirangsang, signal diteruskan ke spinal cord
(sakral 2 – 4) dan kemudian kembali ke kolon desenden, kolon sigmoid dan
rektum. Sinyal – sinyal parasimpatis ini meningkatkan gelombang peristaltik,
melemaskan spingter anus internal dan meningkatkan refleks defekasi
instrinsik. Spingter anus individu duduk ditoilet atau bedpan, spingter anus
eksternal tenang dengan sendirinya. Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi
otot-otot perut dan diaphragma yang akan meningkatkan tekanan abdominal
dan oleh kontraksi muskulus levator ani pada dasar panggul yang
menggerakkan feses melalui saluran anus. Defekasi normal dipermudah
dengan refleksi paha yang meningkatkan tekanan di dalam perut dan posisi
duduk yang meningkatkan tekanan kebawah kearah rektum. Jika refleks
defekasi diabaikan atau jika defekasi dihambat secara sengaja dengan
mengkontraksikan muskulus spingter eksternal, maka rasa terdesak untuk
defekasi secara berulang dapat menghasilkan rektum meluas untuk
menampung kumpulan feses.
C. Faktor yang mempengaruhi
a. Usia
Setiap tahun perkembangan/usia memiliki kemampuan mengontrol defekasi
yang berbeda. Bayi belum memiliki kemampuan mengontrol secara penuh
dalam buang air besar, sedangkan orang dewasa sudah memiliki
kemampuan mengontrol secara penuh, dan pada usia lanjut proses
pengontrolan tersebut mengalami penurunan.
b. Diet
Diet atau pola jenis makanan yang dikonsumsi dapat memengaruhi proses
defekasi. Makanan yang memiliki kandungan serat tinggi dapat membantu
proses percepatan dan jumlah yang dikonsumsi pun dapat
memengaruhinya.
c. Asupan Cairan
Pemasukan cairan yang kurangdalam tubuh membuat defekasi menjadi
keras oleh karena proses absorpsi kurang sehingga dapat memengaruhi
kesulitan proses defekasi.
d. Aktivitas
Aktivitas dapat memengaruhi karena melalui aktivitas tonus otot abdomen,
pelvis, dan diafragma dapat membantu kelancaran proses defekasi.
e. Pengobatan
Pengobatan dapat memengaruhi proses defekasi, seperti penggunaan
laksansia atau antasida yang terlalu sering.
f. Gaya Hidup
Hal ini dapat terlihat pada seseorang yang memiliki gaya hidup
sehat/kebiasaan melakukan buang air besar di tempat yang bersih atau
toilet.
g. Penyakit
Biasanya penyakit-penyakit yang berhubungan langsung sistem pencernaan,
seperti gastrointeritis atau penyakit infeksi lainnya.
h. Nyeri
Adanya nyeri dapat memengaruhi kemampuan/keinginan untuk
berdefekasi, seperti nyeri pada beberapa kasus hemoroid dan episiotomi.
i. Kerusakan Sensoris dan Motoris
Kerusakan pada sistem sensoris dan motoris dapat memengaruhi proses
defekasi karena dapat menimbulkan proses penurunan stimulasi sensoris
dalam berdefekasi. Hal tersebut dapat diakibatkan oleh kerusakan pada
tulang belakang atauu kerusakan saraf lainnya.

D. Tanda dan Gejala Gangguan Kebutuhan Eliminasi


a. Konstipasi
1). Menurunnya frekuensi BAB
2). Pengeluaran feses yang sulit, keras dan mengejan
3). Nyeri rektum
b. Impaction
1). Tidak BAB
2). anoreksia
3). Kembung/kram
4). nyeri rektum
c. Diare
1). BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak berbentuk
2). Isi intestinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat
3). Iritasi di dalam kolon merupakan faktor tambahan yang menyebabkan
meningkatkan sekresi mukosa.
4). feses menjadi encer sehingga pasien tidak dapat mengontrol dan menahan
BAB.
d. Inkontinensia Fekal
1). Tidak mampu mengontrol BAB dan udara dari anus,
2). BAB encer dan jumlahnya banyak
3). Gangguan fungsi spingter anal, penyakit neuromuskuler, trauma spinal
cord dan tumor spingter anal eksternal
e. Flatulens
1). Menumpuknya gas pada lumen intestinal,
2). Dinding usus meregang dan distended, merasa penuh, nyeri dan kram.
3). Biasanya gas keluar melalui mulut (sendawa) atau anus (flatus)
f. Hemoroid
1). pembengkakan vena pada dinding rectum
2). perdarahan jika dinding pembuluh darah vena meregang
3). merasa panas dan gatal jika terjadi inflamasi
4). nyeri

E. Masalah yang berhubungan dengan kebutuhan Eliminasi


a. Konstipasi
Konstipasi merupakan gejala, bukan penyakit yaitu menurunnya
frekuensi BAB disertai dengan pengeluaran feses yang sulit, keras, dan
mengejan. BAB yang keras dapat menyebabkan nyeri rektum. Kondisi
ini terjadi karena feses berada di intestinal lebih lama, sehingga banyak
air diserap. Penyebabnya : Kebiasaan BAB tidak teratur, seperti sibuk,
bermain, pindah tempat, dan lain-lain.
Diet tidak sempurna/adekuat : kurang serat (daging, telur), tidak ada
gigi, makanan lemak dan cairan kurang. Meningkatnya stress psikologi
: Kurang olahraga / aktifitas : berbaring lama. Obat-obatan : kodein,
morfin, anti kolinergik, zat besi. Penggunaan obat pencahar/laksatif
menyebabkan tonus otot intestinal kurang sehingga refleks BAB
hilang. Usia, peristaltik menurun dan otot-otot elastisitas perut
menurun sehingga menimbulkan konstipasi. Penyakit-penyakit :
Obstruksi usus, paralitik ileus, kecelakaan pada spinal cord dan tumor.
b. Impaction
Impaction merupakan akibat konstipasi yang tidak teratur, sehingga
tumpukan feses yang keras di rektum tidak bisa dikeluarkan. Impaction
berat, tumpukan feses sampai pada kolon sigmoid.
Penyebabnya pasien dalam keadaan lemah, bingung, tidak sadar,
konstipasi berulang dan pemeriksaan yang dapat menimbulkan
konstipasi. Tandanya : tidak BAB, anoreksia, kembung/kram dan nyeri
rektum.

c. Diare
Diare merupakan BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak
berbentuk. Isi intestinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat.
Iritasi di dalam kolon merupakan faktor tambahan yang menyebabkan
meningkatkan sekresi mukosa. Akibatnya feses menjadi encer
sehingga pasien tidak dapat mengontrol dan menahan BAB.
d. Inkontinensia fecal
Merupakan suatu keadaan tidak mampu mengontrol BAB dan udara
dari anus, BAB encer dan jumlahnya banyak. Umumnya disertai
dengan gangguan fungsi spingter anal, penyakit neuromuskuler,
trauma spinal cord dan tumor spingter anal eksternal. Pada situasi
tertentu secara mental pasien sadar akan kebutuhan BAB tapi tidak
sadar secara fisik. Kebutuhan dasar pasien tergantung pada perawat.
e. Flatulens
Yaitu menumpuknya gas pada lumen intestinal, dinding usus meregang
dan distended, merasa penuh, nyeri dan kram. Biasanya gas keluar
melalui mulut (sendawa) atau anus (flatus). Hal-hal yang menyebabkan
peningkatan gas di usus adalah pemecahan makanan oleh bakteri yang
menghasilkan gas metan, pembusukan di usus yang menghasilkan
CO2. Makanan penghasil gas seperti bawang dan kembang kol.
f. Hemoroid
Yaitu dilatasi pembengkakan vena pada dinding rektum (bisa internal
atau eksternal). Hal ini terjadi pada defekasi yang keras, kehamilan,
gagal jantung dan penyakit hati menahun. Perdarahan dapat terjadi
dengan mudah jika dinding pembuluh darah teregang. Jika terjadi
infla-masi dan pengerasan, maka pasien merasa panas dan gatal.
Kadang-kadang BAB dilupakan oleh pasien, karena saat BAB
menimbulkan nyeri. Akibatnya pasien mengalami konstipasi.
F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan USG
2. Pemeriksaan foto rontgen
3. Pemeriksaan laboratorium feses

G. Penatalaksanaan Medic
Penanganan yang baik terhadap sembelit akan mencegah timbulnya skibala
dan dapat menghindari kejadian inkontinensia fekal. Langkah utama dalam
penanganan sembelit pada pasien geriatri adalah dengan mengidentifikasi
faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya sembelit. Jika sembelit yang
timbul pada pasien geriatri merupakan suatu keluhan yang baru, maka
kemungkinan hal tersebut disebabkan oleh penyakit kolon, gangguan endokrin
dan metabolik, deperesi atau efek samping obat-obatan.
Untuk pencegahan konstipasi, lansia sebaiknya mengkonsumsi diet yang
cukup cairan dan serat. Dianjurkan untuk mengkonsumsi 4-6 gram serat kasar
sehari (hal ini bisa did apatkan dari 3-4 sendok the biji-bijian). Beberapa hal
yang bisa dilakukan dalam penanganan inkotinensia fekal adalah dengan
mengatur waktu ke toilet, meningkatkan mobilisasi, dan pengaturan posisi
tubuh ketika sedang melakukan buang air besar di toilet. Defekasi sebaiknya
dilakukan ditempat yang khusus, lingkungan yang tenang, dan pada saat
timbulnya refleks gastrokolik yang biasanya timbul lima menit setelah makan.
Pada inkotinensia fekal yang disebabkan oleh gangguan syaraf, terapi latihan
otot dasar panggul terkadang dapat dilakukan, meskipun sebagian besar pasien
geriatrik dengan dimensia tidak dapat menjalani terapi tersebut. Pada pasien
dengan demensia tahap akhir dengan inkotinensia fekal, program penjadwalan
ke toilet dan penjadwalan penggunaan obat pencahar secara teratur dapat
dilakukan dan efektif untuk mengontrol defekasi. Usaha terakhir yang dapat
dilakukan dalam penanganan inkontinensia fekal pada pasien ini adalah
dengan menggunakan pampers yang dapat mencegah dari komplikasi.
II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
a. Identitas diri
Menuliskan nama pasien, tempat dan tanggal lahir pasien, umur pasien,
jenis kelamin pasien, agama pasien, alamat pasien, dll.
b. Keluhan Utama
Menguraikan saat keluhan pertama kali dirasakan, tindakan yang
dilakukan sampai klien datang ke Rs, tindakan yang sudah dilakukan
di rumah sakit sampai klien menjalani perawatan.
c. Riwayat Kesehatan Sekarang
Keluhan yang paling dirasakan oleh klien saat dikaji, diuraikan dalam
konsep PQRST.
d. Riwayat Kesehatan Dahulu
Mengidentifikasi riwayat kesehatan yang memiliki hubungan dengan
klin dengan atau memperberatkan keadaan penyakit yang sedang
diderita saat ini.
e. Riwayat Kesehatan Keluarga
Mengidentifikasi apakah dikeluarga ada riwayat penyakit menular atau
turunan atau keduanya.
f. Aktifitas sehari-hari
Meliputi pola ADL antara kondisi sehat atau sakit, diidentifikasi hal-
hal yang memperburuk kondisi klien saat ini dari aspek ADL.
Meliputi: Pola makan, minum, Eliminasi saat BAB
(frekuensi,konsistensi,warna dan bau) keluhan ketika BAB, istirahat
Tidur (siang,malam) nyaman atau tidak, Personal Hygiene
(Mansi,gosok gigi,keramas,gunting kuku, dan ganti pakaian).
g. Pemeriksaan fisik Head to toe
Pemeriksaan fisik abdomen terkait dengan eliminasi fekal meliputi
inspeksi, auskultasi, perkusi dan palpasi dikhususkan pada saluran
intestinal. Auskultasi dikerjakan sebelum palpasi, sebab palpasi dapat
merubah peristaltik. Pemeriksaan rektum dan anus meliputi inspeksi
dan palpasi.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Konstipasi berhubungan dengan:
a. Tidak adekuatnya diet berserat
b. Immobilisasi/ tidak adekuatnya aktifitas fisik
c. Tidak adekuatnya intake cairan
d. Nyeri saat defekasi
e. Perubahan kebiasaan rutin (pemasukan diet)
f. Penyalahgunaan laksatif
g. Menunda defekasi
h. Penggunaan obat yang menyebabkan konstipasi (anti analgesic, antacid
dan antikolinergal)
2. Diare sehubungan dengan:
a. Stress emosinal, cemas
b. Tidak toleransi terhadap makanan (makanan busuk, beracun)
c. Gangguan diet
d. Inflamasi (radang) bowel
e. Efek samping obat
f. Alergi
g. Tindakan huknah
3. Inkontinensia bowel sehubungan dengan:
a. Gangguan system syaraf sentral
b. Injuri spinal cord
c. Ketidakmampuan menahan defekasi
d. Diare
e. Impaktion fekal
f. Gangguan proses fakir/persepsi
g. Kelemahan

C. Intervensi keperawatan
a. Konstipasi secara umum
 Membiasakan pasien untuk buang air secara teratur, misalnya pergi ke
kamar mandi satu jam setelah makan pagi dan tinggal di sana sampai ada
keinginan untuk buang air.
 Meningkatkan asupan cairan dengan banyak minum.
 Diet yang seimbang dan makan bahan makanan yang banyak mengandung
serat.
 Melakukan latihan fisik, misalnya melatih otot perut.
 Mengaturposisi yang baik untuk buang air besar, sebaiknya posisi duduk
dengan lutut melentur agar otot punggung dan perut dapat membantu
prosesnya.
 Anjurkan untuk tidak memaksakan diri dalam buang air besar.
 Berikan obat laksanatif, misalnya dulcolaxTM atau jenis obat supositoria.
 Lakukan enema (huknah)
b. Konstipasi akibat nyeri
 Tingkatkan asupan cairan.
 Diet tingkat serat
 Tingkatkan latihan setiap hari
 Berikan pelumas disekitar anus untuk mengurangi nyeri
 Kompres dingin sekitar anus mengurangi rasa gatal.
 Rendamduduk atau mandi di bak dengan air hangat (43-46 derjat celcius,
selama 15 menit) jika nyeri hebat.
 Berikan pelunak feses.
 Cegah duduk lama apabila hemoroid, dengan cara berdiri tiap 1 jam kurang
lebih 5-10 menit untuk menurunkan tekanan.
c. Konstipasi kolonik akibat perubahan gaya hidup
 Berikan stimulus untuk defekasi, seperti minum kopi atau jus
 Bantu pasien untuk menggunakan pispot bila memungkinkan.
 Gunakan kamar mandi daripada pispot bila memungkinkan.
 Ajarkan latihan fisik dengan memberikan ambulasi, latihan rentang gerak,
dan lain-lain.
 Tingkatkan diet tinggi serat buah dan sayuran.
d. Inkontinensia usus
 Pada waktu tertentu setiap 2 atau 3 jam, letakkan pot di bawah pasien.
 Berikan latihan buang air besar dan anjurkan pasien untuk selalu berusaha
latihan.
 Kalau inkon tinensia hebat, diperlukan adanya pakaian dalam yang tahan
lembab, supaya pasien dan sprei tidak begitu kotor.
 Pakai laken yang dapat dibuang dan menyenangkan untuk dipakai.
 Untuk mengurangi rasa malu pasien, perlu didukung semangat pengertian
perawatan khusus.

DAFTAR PUSTAKA

Suprianto, 2011, Keperawatan dan Kesehatan, http//www.scribd.com, diakses tanggal 02


November 2011
Bambang K. Karnoto, Fokus Biologi, Jakarta : Erlangga, 2005
Anonim, 2011. Eliminasi Fecal. http://id.wikipedia.org/wiki/. Di akses pada januari 2011.
Anonim, 2011. rencana-asuhan-keperawatan. http://gwanakbstikes.blogspot.com. Di akses
pada 02 November 2011.

Anda mungkin juga menyukai