Anda di halaman 1dari 8

BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Penyakit Campak

Campak juga dikenal dengan nama morbili atau morbillia dan rubeola (bahasa

Latin), yang kemudian dalam bahasa Jerman disebut dengan nama masern, dalam

bahasa Islandia dikenal dengan nama mislingar dan measles dalam bahasa Inggris.

Campak adalah penyakit infeksi yang sangat menular yang disebabkan oleh virus,

dengan gejala-gejala eksantem akut, demam, kadang kataral selaput lendir dan

saluran pernapasan, gejala-gejala mata, kemudian diikuti erupsi makulopapula yang

berwarna merah dan diakhiri dengan deskuamasi dari kulit.

3.2 Etiologi Penyakit Campak

Campak adalah penyakit virus akut yang disebabkan oleh RNA virus genus

Morbillivirus, famili Paramyxoviridae. Virus ini dari famili yang sama dengan virus

gondongan (mumps), virus parain uenza, virus human metapneumovirus, dan RSV

(Respiratory Syncytial Virus).

3.3 Gejala Klinis Penyakit Campak

Masa inkubasi campak berkisar 10 hari (8-12 hari). Gejala klinis terjadi

setelah masa inkubasi, terdiri dari tiga stadium:

1. Stadium kataral (prodormal)

Biasanya stadium ini berlangsung selama 4-5 hari dengan gejala demam,

malaise, batuk, fotofobia, konjungtivitis dan koriza. Menjelang akhir stadium kataral

dan 24 jam sebelum timbul eksantema, timbul bercak Koplik. Bercak Koplik

15
16

berwarna putih kelabu, sebesar ujung jarum timbul pertama kali pada mukosa bukal

yang menghadap gigi molar dan menjelang kira-kira hari ke 3 atau 4 dari masa

prodormal dapat meluas sampai seluruh mukosa mulut. Secara klinis, gambaran

penyakit menyerupai influenza dan sering didiagnosis sebagai influenza.

2. Stadium Erupsi

Timbul ruam makulopapular dengan penyebaran sentrifugal yang dimulai dari

batas rambut di belakang telinga, kemudian menyebar ke wajah, leher, dada,

ekstremitas atas, bokong, dan akhirnya ekstremitas bawah. Ruam ini dapat timbul

selama 6-7 hari. Demam umumnya memuncak (mencapai 400C) pada hari ke 2-3

setelah munculnya ruam. Jika demam menetap setelah hari ke-3 atau ke-4 umumnya

mengindikasikan adanya komplikasi.

3. Stadium Konvalensi

Erupsi berkurang meninggalkan bekas yang berwarna lebih tua

(hiperpigmentasi) yang lama-kelamaan akan menghilang sendiri. Selain

hiperpigmentasi pada anak Indonesia sering ditemukan pula kulit yang bersisik.

Selanjutnya suhu menurun sampai menjadi normal kecuali bila ada komplikasi.
17

3.4 Tatalaksana Penyakit Campak

Pada campak tanpa komplikasi tatalaksana bersifat suportif, berupa

tirah baring, antipiretik (parasetamol 10-15 mg/kgBB/dosis dapat diberikan

sampai setiap 4 jam), cairan yang cukup, suplemen nutrisi, dan vitamin

A.1,10,12 Vitamin A dapat berfungsi sebagai imunomodulator yang

meningkatkan respons antibodi terhadap virus campak. Pemberian vitamin A

dapat menurunkan angka kejadian komplikasi seperti diare dan pneumonia.5

Vitamin A diberikan satu kali per hari selama 2 hari dengan dosis sebagai

berikut:

 200.000 IU pada anak umur 12 bulan atau lebih

 100.000 IU pada anak umur 6 - 11 bulan

 50.000 IU pada anak kurang dari 6 bulan

 Pemberian vitamin A tambahan satu kali

Dosis tunggal dengan dosis sesuai umur penderita diberikan antara

minggu ke-2 sampai ke-4 pada anak dengan gejala de siensi vitamin A. Pada

campak dengan komplikasi otitis media dan/atau pneumonia bakterial dapat

diberi antibiotik. Komplikasi diare diatasi dehidrasinya sesuai dengan derajat

dehidrasinya

3.5 Pencegahan Penyakit Campak

 Pencegahan tingkat awal (Priemodial prevention)

17
18

Pencegahan tingkat awal berhubungan dengan keadaan penyakit yang masih

dalam tahap prepatogenesis atau penyakit belum tampak yang dapat dilakukan

dengan memantapkan status kesehatan balita dengan memberikan makanan bergizi

sehingga dapat meningkatkan daya tahan tubuh.

 Pencegahan tingkat pertama (primary prevention)

Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mencegah seseorang

terkena penyakit campak, yaitu :

a. Memberi penyuluhan kepada masyarakat mengenai pentingnya pelaksanaan

imunisasi campak untuk semua bayi.

b. Imunisasi dengan virus campak hidup yang dilemahkan, yang diberikan pada

semua anak berumur 9 bulan sangat dianjurkan karena dapat melindungi sampai

jangka waktu 4-5 tahun.

 Pencegahan tingkat kedua (secondary prevention)

Pencegahan tingkat kedua ditujukan untuk mendeteksi penyakit sedini

mungkin untuk mendapatkan pengobatan yang tepat. Dengan demikian

pencegahan ini sekurang-kurangnya dapat menghambat atau memperlambat

progrefisitas penyakit, mencegah komplikasi, dan membatasi kemungkinan

kecatatan, yaitu :

a. Menentukan diagnosis campak dengan benar baik melalui pemeriksaan

fisik atau darah.


19

b. Mencegah perluasan infeksi. Anak yang menderita campak jangan masuk

sekolah selama empat hari setelah timbulnya rash. Menempatkan anak pada ruang

khusus atau mempertahankan isolasi di rumah sakit dengan melakukan pemisahan

penderita pada stadium kataral yakni dari hari pertama hingga hari keempat

setelah timbulnya rash yang dapat mengurangi keterpajanan pasien-pasien dengan

risiko tinggi lainnya.

c. Pengobatan simtomatik diberikan untuk mengurangi keluhan penderita

yakni antipiretik untuk menurunkan panas dan juga obat batuk. Antibiotika hanya

diberikan bila terjadi infeksi sekunder untuk mencegah komplikasi.

d. Diet dengan gizi tinggi kalori dan tinggi protein bertujuan untuk

meningkatkan daya tahan tubuh penderita sehingga dapat mengurangi terjadinya

komplikasi campak yakni bronkhitis, otitis media, pneumonia, ensefalomielitis,

abortus, dan miokarditis yang reversibel.

 Pencegahan tingkat tiga (tertiary prevention)

Pencegahan tingkat tiga bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi dan

kematian. Adapun tindakan-tindakan yang dilakukan pada pencegahan tertier

yaitu :

a. Penanganan akibat lanjutan dari komplikasi campak.

b. Pemberian vitamin A dosis tinggi karena cadangan vitamin A akan turun

secara cepat terutama pada anak kurang gizi yang akan menurunkan imunitas

mereka.
20

3.6 Faktor tradisi, budaya, dan kepercayaan dalam pegambilan keputusan

kesehatan

Tradisi juga dapat disebut kebiasaan hidup yang terdapat dalam adat istiadat,

Adat istiadat termasuk didalam kelompok etnik dimana kelompok etnik meliputi

kelompok homogen yang berdasarkan kebiasaan hidup maupun homogenitas biologis

atau genetik. Kelompok etnik lebih didasarkan pada perbedaan adat, kebiasaan hidup

dan mungkin keadaan sosio, ekonomi dan lingkungan hidup, jenis pekerjaan utama

dan lainnya. Tradisi dapat pula dipengaruhi dengan variabel bebas lainnya seperti

variabel dukungan keluarga, tingkat pendidikan, maupun tingkat pengetahuan

walaupun tradisi dikeluarga tidak terbiasa memberikan imunisasi, namun dengan

tingkat pendidikan yang tinggi dan pengetahuan yang baik dapat merubah seseorang

menjadi lebih baik dari sebelumnya.

WHO menyatakan bahwa kepercayaan sering diperoleh dari orang tua, kakek,

atau nenek, seseorang menerima kepercayaan itu berdasarkan keyakinan dan tanpa

adanya pembuktian terlebih dahulu. Banyak faktor yang dapat memberikan pengaruh

salah satu pengaruhnya yaitu kepercayaan yang dianut atau dipercaya oleh orang tua

ataupun pengalaman buruk yang pernah dilami oleh orang tua sehingga hal ini dapat

mempengaruhi orang tua untuk memberikan imunisasi pada anaknya. kepercayaan

akan dampak buruk dari pemberian imunisasi juga dapat berkaitan dengan adanya

dukungan keluarga, dimana dengan adanya dukungan keluarga maka tindakan yang

ditujukan untuk memperoleh kesehatan akan lebih mudah terlakasana. Dan apabila
21

disuatu keluarga rendah akan dukungan untuk memperoleh kesehatan maka akan sulit

pula anggota keluarga yang lain untuk memperoleh pelayanan kesehatan.

3.7 Keraguan pemberian imunisasi dibeberapa negara di dunia

Sebuah kajian internasional terkait sikap terhadap vaksinasi menemukan

bahwa secara umum orang mendukung vaksin, Kecurigaan terhadap vaksin sudah ada

hampir selama adanya vaksin modern itu sendiri. Di masa lalu, orang

mempertanyakannya karena alasan keagamaan, karena mereka berpikir vaksinasi

tidak bersih, atau karena mereka merasa hal ini melanggar kebebasan memilih. Pada

tahun 1800-an kelompok antivaksinasi pertama muncul di Inggris. Mereka mendesak

langkah alternatif untuk mengatasi penyakit, seperti mengisolasi pasien misalnya.

Tahun 1870-an, kelompok sejenis muncul di AS setelah pegiat anti-vaksinasi Inggris,

William Tebb mengunjungi negara itu. Salah satu tokoh penting gerakan anti-

vaksinasi adalah Andrew Wakefield. Pada tahun 1998, dokter yang tinggal di London

tersebut menerbitkan sebuah laporan yang secara tidak tepat mengaitkan autisme dan

penyakit usus dengan vaksin MMR. MMR adalah vaksin tiga-dalam-satu yang

diberikan kepada anak-anak kecil untuk mengatasi campak, gondong dan campak

Jerman. Meskipun makalahnya dipertanyakan dan Wakefield dikeluarkan dari daftar

dokter Inggris, terjadi penurunan jumlah anak yang divaksinasi karena

pernyataannya. Pada tahun 2004 saja, terjadi pengurangan anak yang menerima

vaksin MMR di Inggris sebesar 100.000 orang yang menyebabkan peningkatan kasus

campak. Masalah vaksin juga semakin dipolitisir. Menteri Dalam Negeri Italia,

Matteo Salvini, mendukung kelompok anti-vaksinasi. Presiden AS, Donald Trump,


22

tanpa dukungan bukti, sepertinya mengaitkan vaksinasi dengan autisme, tetapi akhir-

akhir ini dia mendorong orang tua untuk mevaksinasi anak-anak mereka.

Menurut survei global sikap publik terhadap kesehatan dan sains, orang-orang

di Eropa memiliki tingkat kepercayaan terendah terhadap vaksin. Hal ini berkaitan

dengan kebangkitan gerakan anti-vaksinasi, di mana orang-orang menolak untuk

percaya pada manfaat vaksinasi atau mengklaim bahwa tindakan itu berbahaya.

tingkat terendah adalah di Eropa dengan tingkat keyakinan peserta yang terendah

terjadi di Perancis. Perancis memiliki tingkat kepercayaan terendah, Sepertiga (33

persen) orang Prancis tidak setuju bahwa imunisasi aman, menurut jajak pendapat

lebih dari 140.000 orang di 144 negara.

Anda mungkin juga menyukai