Disusun oleh :
KELOMPOK II.2
TITIS WENING SETYOHARSIH (19/451324/KU/21841)
WINNING CANNY (19/451326/KU/21843)
AFRIANA CRUSITA SARI (19/451260/KU/21777)
ALYA ADHIATI (19/451264/KU/21781)
DESY LISTYANINGRUM (19/451273/KU/21790)
EKA ROFIYANI (19/451278/KU/21795)
A. Latar Belakang
Gangguan mental dapat terjadi pada siapa saja dan merupakan permasalah
yang sangat memerlukan perhatian. Salah satu gangguan mental/ gangguan
jiwa yang sering dialami adalah skizofrenia. Proporsi risiko seseorang
mengalami skizofrenia selama hidupnya di setiap rentang usia diestimasikan
sebesar 1,0 % dengan proporsi yang hampir sama antara laki-laki dan
perempuan (APA, 2010).
Sekitar 51 juta orang di sluruh dunia mengalami skizofrenia. Selain itu,
episode pertama skizofrenia biasanya terjadi pada usia belasan akhir atau awal
20 tahun dan biasanya lebih awal terjadi pada laki-laki dibandingkan
perempuan (CAMH, 2017). Berdasarkan data Kemenkes (2019)
menunjukkan, prevalensi skizofrenia/psikosis di Indonesia sebanyak 6,7 per
1000 rumah tangga. Artinya, dari 1.000 rumah tangga terdapat 6,7 rumah
tangga yang mempunyai anggota rumah tangga (ART) pengidap
skizofrenia/psikosis. Penyebaran prevalensi tertinggi terdapat di Bali dan DI
Yogyakarta dengan masing-masing 11,1 dan 10,4 per 1. 000 rumah tangga
yang mempunyai ART mengidap skizofrenia/psikosis.
Selain masih banyaknya orang yang mengalami skizofrenia, skizofrenia
merupakan penyakit mental yang menantang untuk dipahami atupun dialami
seseorang (CAMH, 2017). Orang dengan skizofrenia dapat mengalami
perubahan cara berpikir, kesulitan mengekspresikan diri, dan gangguan dalam
aktivitas sehari-hari. Selain itu, skizofrenia merupakan penyakit yang sangat
kompleks dan proses penyembuhan masing-masing orang sangat unik
(CAMH, 2017).
Pengobatan yang tepat dan rutin akan sangat membantu pasien dengan
skizofrenia. Selain itu, pemberian terapi kombinasi antara medikasi dan terapi
atau dukungan psikososial juga sangat bermanfaat untuk pasien (CAMH,
2017). Hal ini disebabkan karena kondisi penyakit yang kompleks dan
melibatkan berbagai aspek kehidupan inilah sehingga pemberian terapi
tambahan atau terapi komplementer pasien akan sangat membantu dalam
mengurangi gejala ataupun membantu pasien dalam memanajemen aktivitas
sehari-hari. Oleh karena itu, pemberian terapi komplementer tidak kalah
penting dengan terapi farmakologi sehingga sangat perlu untuk mengetahui
terapi tambahan atau komplementer yang efektif serta memungkinkan untuk
diterapkan pada pasien skizofrenia di rumah sakit.
B. Tujuan
Tujuan analisis artikel ilmiah ini antara lain adalah:
1. Untuk mengetahui gambaran umum skizofrenia
2. Untuk mengetahui terapi komplementer atau terapi tambahan untuk pasien
skizofrenia
3. Untuk mengetahui jenis terapi komplementer pasien skizofrenia yang
dapat diterapkan di RS
4. Untuk mengetahui peran perawat dalam pemberian terapi komplementer
bagi pasien skizofrenia
TINJAUAN PUSTAKA
A. Schizophrenia
1. Pengertian
muncul pertama kali sebagai istilah medis di Swiss pada awal abad ini.
Sejauh ini tidak ada komunitas ataupun budaya yang tebebas sama sekali
dari skizofrenia di dunia ini dan belum ada penelitian yang menunjukkan
Gejala skizofrenia biasanya mulai muncul antara usia 16 dan 30. Dalam
Gejala skizofrenia terbagi dalam tiga kategori yaitu: positif, negatif, dan
Gejalanya meliputi:
Halusinasi
Delusi
disfungsional)
Mengurangi berbicara
halus, tetapi untuk yang lain, mereka lebih parah dan pasien
keputusan)
3. Penatalaksanaan
alcohol dan NAPZA atau hal lain yang dapat memicu munculnya
B. Horticultural Therapy
1. Pengertian
oleh terapis untuk mencapai tujuan yang ditentukan secara klinis sedangkan
holtikultura terapeutik lebih dilakukan untuk aktivitas rekreasi tanpa ada
beberapa bidnag fungsi dalam satu macam aktivitas. Hal ini menjadikan
hortikultur sebagai terapi yang multifungsi untuk pasien dengan skizofrenia
yaitu:
orang lain.
dengan tumbuhan.
aturan yang khusus, tergantung pada kelompok sasaran dan tujuan yang
ingin dicapai.
Contoh sesi program terapi hortikultur menurut Kam and Siu (2010)
JURNAL I
A. Pertanyaan Klinis
P : Patient with schizophrenia
I : Farm therapy
C :-
O : Reduce hallucination
Bagaimana efek terapi berkebun untuk mengurangi halusinasi pada pasien
dengan skizofrenia?
B. Identitas Jurnal
Judul : Assessment of the psychopathological effects of a
horticultural therapy program in patients with
schizophrenia
Penulis : Yun-Ah Oh, Sin-Ae Parka, Byung-Eun Ahn
Tahun : 2018
Tujuan : Untuk mengkaji efek psikopatologi dari partisipasi pasien
dengan skizofrenia pada 10 sesi program terapi
hortikultural
Metode : Pre post eksperimental desain dengan kelompok kontrol
C. Analisis Jurnal
1. Latar belakang
Skizofrenia adalah gangguan psikiatri yang berat sehingga dapat
menimbulkan gejala yang kronis. Gejala positif dan negatif pada
skizofrenia dapat menyebabkan gangguan berfikir, afek yang tumpul,
gangguan perhatian dan memori, distorsi realita. Dengan kondisi tersebut
maka pasien dengan skizofrenia akan mengalami kesulitan dalam
ketrampilan koping, fungsi sosial sehingga akan menurunkan kualitas
hidup.
Terapi farmakologi digunakan untuk menstabilisasi pasien dengan
skizofrenia, akan tetapi kombinasi terapi farmakologi dan no farmakologi
akan lebih efektif untuk mengatasi gejala yang kronis. Beberapa program
pelatihan rehabilitatif seperti terapi horticulture, terapi musik, terapi
menari, terapi seni, dan terapi fisik telah dilakukan untuk meningkatkan
kemampuan aktivitas harian dan kemampuan sosial.
Terapi hortikultur didefinisikan sebagai terapi komplementer dan
alternatif yang diberikan oleh tenaga profesional, dan berisikan aktivitas
berkebun yang di desain dengan tujuan terapeutik dan dapat meningkatkan
atau menyembuhkan. Penelitian terbaru terkait intervensi berkebun
melaporkan bahwa kebanyakan penelitian sebelumnya berfokus pada efek
terapi berkebun pada psikologis dan emosi, khususnya dapat
meningkatkan harga diri, kecerdasan emosional, dan mengurangi stres dan
depresi.
Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa 16 sesi terapi berkebun
meningkatkan self efikasi dan mengurangi gejala psikiatri pada pasien
dengan skizofrenia. Penelitian Cho et al juga menyatakan bahwa 24 sesi
terapi berkebun dapat meningkatkan gejala psikopatologi, kemampuan
asertif, dan hubungan interpersonal pada pasien skizofrenia. Parvin et al
menunjukan bahwa program terapi berkebun selama 3 bulan dapat
meningkatkan gejala positif dan negatif secara signifikan. Akan tetapi,
sedikit penelitian yang mengkaji efek psikopatologi dari program terapi
berkebun pada pasien skizofrenia. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengkaji efek psikopatologi dalam 10 sesi terapi
berkebun pada pasien dengan skizofrenia.
2. Metode
2.1 Subjek penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah dua puluh delapan pasien
dengan skizofrenia di korea. Untuk merekrut pasien, peneliti
menggunakan selebaran yang memuat tujuan penelitian, terapi
berkebun, dan mengukur kesehatan yang disebarkan di sebuah klinik
kesehatan mental dan 2 pusat rehabilitasi mental di kota suwon, korea
selatan. Keseluruhan pasien adalah orang dewasa dan mereka tidak
memiliki masalah dalam mengekspresikan pendapat mereka dan tidak
memiliki masalah dalam membuat keputusan. Kuesioner terkait data
demografi seperti jenis kelamin, usia, banyaknya mondok, dan
komorbid penyakit mental dicatat dalam sesi orientasi. Dua puluh
delapan partisipan secara sukarela membagi diri menjadi kelompok
kontrol dan kelompok intervensi. Rata-rata usia pasien pada kelompok
intervensi 42.1 ± 13.0 tahun, dan kelompok kontrol 33.4 ± 9.4 tahun.
Terdapat jumlah laki laki yang lebih banyak pada kelompok intervensi
dari pada kelompok kontrol, pasien laki-laki lebih tertarik
berpartisipasi dalam terapi berkebun.
Partisipan pada kedua kelompok mengkonsumsi obat seperti
aripiprazole yang merupakan obat obatan yang biasa dikonsumsi oleh
pasien skizofrenia.partisipan penelitian tidak mengubah konsumsi obat
selama dilakukan penelitian. Semua pasien yang menjadi partisipan
dalam penelitian ini mengkonsumsi obat dalam kurun waktu 3 taun
atau lebih. Pasien dikedua kelompok mengikuti aktivitas yang
menyenangkan seperti streching dan permainan bola tergantung pada
kesukaan.
2.2 Program terapi berkebun
Program terapi berkebun dalam 10 sesi dirancang meliputi aktivitas
penanaman, seperti mempersiapkan media tanam, menyiram tanaman,
menyiangi, mengembang biakan, dan memanen. Tanaman musim yang
ditanam seperti kentang, selada, tomat, lada, terong, ubi, melon,
bumbu masak dipilih untuk terapi berkebun. Tanah seluas 991,7 m
digunakan untuk penelitian ini. Taman dibagi kedalam 8 bagian
tergantung pada tipe tanaman, dan semua partisipan mengurus
bersama. Program terapi ini dilakukan dari bulan April 2017- Juni
2017. Partisipan mengikuti terapi ini sekali dalam seminggu dalam
durasi waktu rata rata 120 menit dala tiap sesinya. Partisipan akan
dijelaskan dan didemontsrasikan terlebih dahulu tentang cara menanam
tanaman dari mempersiapkan media tanam hingga dapat menanam
tanaman. Terapi berkebun akan didampingi oleh satu ahli terapi
berkebun yang telah tersertifikasi dan satu sukarelawan.
2.3 Pengkajian
Psikiatri mengevaluasi gejala psikopatologi pasien dengan
skizofrenia pada kedua kelompok, dengan 2 alat evaluasi. Psikiatri
mengunjungi pusat dimana pasien terlibat dalam penelitian dan
melakukan pengkajian pre post (masing masing satu minggu). Waktu
evaluasi dari tiap pasien selesai dalam waktu satu jam.
PANSS adalah alat yang digunakan untuk mengkaji gejala positif
dan negatif pasien skizofrenia. PANSS terdiri atas 30 item dengan
skala rate yang diisi oleh staf peneliti yang telah terlatih setelah
melengkapi review chart dan wawancara semi struktur. Terdiri dari 7
pertanyaan untuk mengukur gejala negatif dan 16 pertanyaan untuk
mengukur gejala psikopatologi yang umum. Gejala positif mengukur
peningkatan gejala klinis seperti halusinasi,delusi, permusuhan, yang
seharusnya tidak muncul pada orang dengan status mental normal.
Gejala negatif mengukur gejala klinis seperti gangguan pola pikir atau
emosi datar yang dapat muncul pada individu yang memiliki status
mental yang normal, tapi tidak muncul. Gejala psikopatologi
mengukur gejala psikopatologi umum seperti kecemasan, depresi,
keterlambatan gerak, rasa bersalah, atau kemampuan menilai yang
kurang. Setiap item terdapat skala 1 (tidak ada) sampai 7 (ekstrim)
tergantung pada derajat gejalanya. Tingginya skor PANSS
mengindikasikan gejala psikopatologi yang berat.
Untuk mengkaji gejala klinis dari skizofrenia, digunakanlah BPRS
(Brief Psychiatric Rating Scale). BPRS dikembangkan dari Lorry
Multidimensional Scale untuk menilai secara cepat status skizofrenia,
terdiri atas 18 item yang dikategorikan secara paralel seperti positif,
negativ, general. Setiap item terdapat skala 0 (tidak ada) sampai 4
(sangat berat). Tingginya skor BPRS mengindikasikan beratnya gejala
skizofrenia.
2.4 Analisis Data
Untuk menganilis perbedaan antara sebelum dan setelah dilakukan
terapi berkebun, dilakukan analisis paired t test karena hasilnya
menunjukkan data terdistribusi normal untuk pre test. Data demografi
dianalisis dengan chi square. Nilai probabilitas, P<0.05 yang
mengidikasikan adanya signifikansi.
3. Hasil dan Pembahasan
3.1 Possitive and Negative Syndrome Scale (PANSS)
Pasien skizofrenia yang masuk kedalam kelompok intervensi
diketahui memiliki peningkatan yang signifikan dalam gejala positif,
negatif, dan general setelah mengikuti 10 sesi terapi berkebun. Disisi
lain, tidak ada perubahan dalam gejala positif, negatif, dan general
pada kelompok kontrol.
Walaupun efek terapi berkebun pada pasien skizofrenia tidak
diteliti secara mendalam sebelumnya, penemuan dalam penelitian ini
sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya. Penelitian Eum dan Kim
melaporkan bahwa 16 sesi terapi berkebun dengan aktivitas berkebun
secara outdoor memiliki hasil yang signifikan pada self efikasi, respon
stres, dan gejala psikiatri positif, negatif dan umum pada alat ukur
PANSS. Cho et al melaporkan bahwa 24 sesi terapi berkebun secara
signifikan menurunkan gejala negatif dengan alat ukur PANSS pada
pasien dengan skizofrenia/ Parvin et al menunjukan jika terapi
berkebun selama 3 bulan dapat secara signifikan meningkatkan gejala
positif dan negatif dengan penukuran mengguanakan Andreasen scale
untuk mengkaji gejala negatif dan positif.
3.2 Brief Psikiatri Rating Scale (BPRS)
Tidak terdapat perbedaan antara kelompok untuk nilai pre test
dengan BPRS. Pasien dengan skizofrenia yang diberikan intervensi
menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam gejala skizofrenia
setelah 10 sesi terapi berkebun. Tidak ada perubahan dalam gejala
klinis dari pasien dalam kelompok kontrol. Terdapat beberapa
penelitian terkait dengan efek terapi berkebun pada alat ukur BPRS
pada pasien dengan skizofrenia. Ru Yi melaporkan bahwa terapi
berkebun efektif dalam rehabilitasi pada pasien dengan skizofrenia
kronis dibandingkan dengan terapi obat saja.
3.3 Dikusi
Efek terapetik dati aktivitas berkebun dan lingkungan alam telah
dilaporkan sebelumnya. Ulrich melaporkan bahwa lingkungan alam
mengurangi stres emosional dan mengaktivasi sistem syaraf
sumpatetic. Pasien dapat sembuh lebih cepat paska operasi daat berada
di lingkungan alam dari pada di lingkungan yang tidak seperti di alam.
Manusia pulih lebih cepat dalam lingkungan yang hijau atau
lingkungan alan daripada di tempat yang urban atau perkotaan. Park et
al melaporkan bahwa walaupun paparan sebentar dengan melihat
tanaman berdaun di dalam ruangan (indoor) mempengaruhi efek
psikologis dan fisiologis yang dapat menimbulkan relaksasi.
Melihat tanaman hijau yang berada di dalam ruangan
mempengaruhi relaksasinya sistem syaraf autonomi dengan aktivasi
sistem syaraf parasympatik. Park et al melaporkan bahwa melakukan
tugas yang berhubungan dengan tanaman yang berdaun akan
mempengaruhi relaksasi psikologis dan fisiologis yang lebih besar
daripada tanpa adanya tanaman hijau, sesuai dengan pengukuran
aktivitas korteks prefrontal, variasi heart rate, dan evaluasi emosi
subjektif. Dari penelitian sebelumnya, hal tersebut dapat diharapkan
bahwa terapi berkebun atau lingkungan hijau dapat diaplikasikan untuk
pasien dengan gangguan mental.
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pasien dengan
gangguan mental seperti skixofrenia, memiliki aktivitas gelombang
delta di regio frontal dan aktivitas gelombang alfa yang lebih sedikit,
khusunya di regio perieto-occipital. Melihat tanaman didalam ruangan
oleh orang dengan skizofrenia secara signifikan dapat mengurangi
gelombang delta di frontal dan lobus temporal, dan secara signifikan
dapat meningkatkan gelombang alfa. Dalam penelitian sebelumnya, 24
pasien dengan skizofrenia menunjukkan pengurangan yang signifikan
pada gelombang delta pada lobus frontal dan peningkatakn gelombang
alfa di regio ocipital setelah melihat tanaman berdaun, dibandingkan
dengan melihat dinding putih.
Sebagai tambahan, pada sesi terapi berkebun, pasien secara khas
mengikuti berbagai aktivitas fisik yang bervariasu yang meningkatkan
kesehatan selama melakukan aktivitas berkebun. Park et al
menyimpulkan bahwa variasi aktivitas berkebun yang dilakukkan oleh
orang dewasa mempengaruhi sedang hingga tinggi pada tingkatan
aktivitas fisik, yang mana menyediakan keuntungan secara fisik dan
psikologis. Aktivitas berkebun di luar ruangan (taman) memberikan
lingkungan alam yang bersahabat daripada ruang kendali pasien yang
berada di dalam ruangan yang dapat membuat pasien menjadi pasif
dan tidak sensitif. Baru baru ini penelitian melaporkan jika aktivitas
fisik dapat meningkatkan gejala skizofrenia. 10 minggu latihan erobik
dengan intensitas ringan hingga sedang menghasilan penurunan yang
signifikan pada gejala psikiatri pada pasien dengan skizofrenia.
Schewe et al melaporkan bahwa terapi latihan selama 6 bulan yang
dilakukan satu hingga dua kali dalam seminggu menghasilkan hasil
yang signifikan dalam penurunan gejala skizofrenia dan depresi pada
pasien denga skizifrenia, di bandingkan dengan terapi okupasi.
Bekerja sama dengan orang lain saat berkebun juga dapat
menyebabkan adanya kesempatan untuk mengembangkan hubungan
personal, koperatif, tanggungjawab, dan komunikasi. Terapi berkebun
menyebabkan adanya re aprraisal yang positif dan dukungan sosial,
yang mana sebagai predictor yang penting untuk kualitas hdup yang
positif pada pasien yang berjuang dengan skizofrenia di Asian.
Kemampuan dalam berkebun dapat menyebabkan peningkatan
kepercayaan diri dan pencapaian tujuan, sehingga pasien dapat
meningkatkan self efikasi dirinya. Dengan hasil tersebut, berkebun
telah digunakan untuk pelatihan vokasional untuk orang yang memiliki
penyakit mental.
Program pelatihan rehabilitasi vokasional menggunakan pekerjaan
untuk meningkatkan gejala, hubungan interpersonal, dan fungsi
kognitif.pelatihan vokasional telah menunjukkan peningkatan rate
pegawai dengan skizofrenia. Berkebun mencakup semua aspek dari
pengolahan intensif tanaman di ruang yang relatif terbatas, seperti
greenhouse atau taman indoor atau outdoor. Seperti ‘green’ work
termasuk aktivitas berkebun, yang memiliki nilai positif sebagau pre-
vokasional untuk pasien dengan penyakit psikologis.
Kesimpulannya, terapi berkebun mempengaruhi efek yang positif
untuk pasien dengan skizofrenia dalam gejala psikopatologi. Penelitian
ini menunjukkan terapi berkebun berpotensi untuk meningkatkan
gejala psikopatologi dari pasien dengan gangguan psikiatri. Penelitian
kedepannya membutuhkan sampel yang besar untuk dapat digeneralisir
dan meneliti terkait efek jangka panjang terapi berkebun untuk pasien
dengan skizofrenia dengan gejala yang kronis. Jika perlu, dapat
membandingkan perbedaan antara rentang usia dan jenis kelamin.
Akan sangat menyenangkan untuk mengaplikasikan program berkebun
yang melibatkan aktivitas yang dikombinasikan dengan aktivitas
berkebun dan aktivitas perawatan hewan untuk pasien dengan berbagai
tipe konsisi psikiatri.
JURNAL II
A. PERTANYAAN KLINIS
P : Patient with schizoprhenia
I : Complementary therapy
C :-
O : reduce halucination
Bagaimana efek pelatihan social skill dan Tai-chi. Untuk mengurangi
halusinasi pada pasien dengan skizofrenia?
B. IDENTITAS JURNAL
Judul : Effect of Community-Based Social Skills Training and Tai-Chi
Exercise on Outcomes in Patients with Chronic Schizophrenia: A
Randomized, One-Year Studyl
Penulis : Ruiying Kang, Yeqing Wu, Zhiwu Li, Jun Jiang, Qi Gao, Yuncui
Yu, Keming Gao, Yuxiang Yan, Yan He.
Tahun : 2016
Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efek dari antipsikotik
yang dikombinasikan dengan pelatihan social skill dan Tai-chi.
Metode : Randomized Controll Trial
C. ANALISIS JURNAL
1. Latar Belakang
a. Desain Penelitian
Penelitian dengN Randomized Controlled Trial ini dilakukan di
Pusat Kesehatan Masyarakat Distrik Fengtai dari Agustus 2014
hingga Agustus 2015. Setiap pasien diberi nomor pada kunjungan
pertama. Kemudian, satu set angka acak terkomputerisasi digunakan
untuk pengacakan untuk community-based integrated intervention
(kelompok CBII) alias untuk intervensi terpadu berbasis masyarakat
maupun medication treatment alone (kelompok MTA) alias
pengobatan saja. Informasi baseline dan penilaian hasil dikumpulkan
pada tiga titik waktu yaitu : 1 minggu sebelum intervensi (T0), 6 bulan
setelah intervensi (T1), dan 12 bulan setelah intervensi (T2).
b. Subjek Penelitian
Sebanyak 381 pasien yang tinggal di komunitas dengan skizofrenia
terdaftar di Sistem Informasi Kesehatan Mental Fengtai Beijing pada
saat penelitian. Berdasarkan formulasi perhitungan untuk estimasi
ukuran sampel N = (2 (Zα + Zβ) 2 δ2) / d2, di mana δ =33.2 (δ adalah
estimasi kesalahan standar); d = 14; α = 0,05; Zα = 1.96; β = 0,20; dan
Zβ = 1.28; ukuran sampel dihitung sebagai 118 untuk setiap
kelompok. Dalam penelitian kami, 244 pasien terdaftar, memenuhi
kekuatan uji 0,8. Pasien yang memenuhi syarat untuk penelitian ini
harus memenuhi kriteria pendaftaran berikut: (1) diagnosis skizofrenia
ICD-10, (2) usia dalam kisaran 18-60 tahun, (3) durasi penyakit dari
tidak kurang dari 2 tahun, (4) pengasuh tinggal saat ini yang
menyediakan sebagian besar perawatan, (5) perawatan pemeliharaan
dengan salah satu dari 7 antipsikotik berikut: chlorpromazine,
sulpiride, clozapine, risperi dilakukan, haloperidol, olanzapine , dan
aripiprazole, (6) skor total pada Skala Sindrom Positif dan Negatif
(PANSS) tidak lebih dari 60, dan (7) tidak ada pelatihan formal atau
latihan rutin Tai-chi sebelum pendaftaran. 7 antipsikotik dipilih karena
lebih dari 90% pasien dengan skizofrenia di Cina telah dipersiapkan
setidaknya 1 dari obat ini. Pasien dikeluarkan jika mereka (1) sedang
hamil atau menyusui, (2) didiagnosis dengan penyakit fisik yang
parah, (3) memiliki kondisi kejiwaan komorbiditas, sindrom organik,
cacat fisik, keterbelakangan mental, penyalahgunaan zat, atau secara
fisik tergantung, atau (4) berpartisipasi dalam program terapi lain.
Pasien yang memenuhi kriteria inklusi dialokasikan secara acak ke
kelompok CBII atau kelompok MTA menggunakan metode angka
acak terkomputerisasi. Psikiater yang bertanggung jawab atas
penilaian pasien tidak mengetahui tugas kelompok.
flowchart partisipan dari penelitian
c. Intervensi
1) Pengobatan
Semua pasien dalam kelompok MTA dan CBII
menggunakan pengobatan medikasi rutin untuk mencegah
kekambuhan. Selama penelitian, dosis obat dapat diubah saat
diperlukan. Namun, jika seorang pasien berhenti atau
mengganti pengobatannya, ia akan diklasifikasikan sebagai
penghentian dari penelitian. Setiap kali setelah pasien membeli
obat dari rumah sakit jiwa, pasien atau pengasuh mereka akan
menyerahkan faktur dan casebooks ke Pusat Kesehatan
Masyarakat Distrik Fengtai, dan asisten akan mencatat dosis
dan gejala pengobatan bulanan mereka seperti yang ditulis oleh
psikiater di casebooks. Pengasuh atau relawan masyarakat yang
ditunjuk oleh komite warga akan mengawasi pasien yang
minum obat tatap muka, dan pada pagi hari berikutnya asisten
akan menelepon mereka dan mencatat dosis dan frekuensi obat
harian, selama seluruh studi. Untuk semua pasien dari
kelompok MTA, tidak ada intervensi tambahan yang diadopsi
untuk mengatasi gejala mereka.
2) Intervensi Terpadu Berbasis Masyarakat
Semua pasien yang ditugaskan dalam kelompok CBII
datang ke Pusat Kesehatan Masyarakat Distrik Fengtai untuk
menerima pelatihan keterampilan sosial dan program intervensi
Tai-chi serta pengobatan. Pelatihan keterampilan sosial
didasarkan pada model yang dikembangkan oleh Liberman et
al., yang meliputi manajemen pengobatan sendiri, pemantauan
gejala sendiri, masuk kembali ke masyarakat, rekreasi untuk
bersantai, dan keterampilan hidup kemandirian sosial lainnya.
Pelatihan termasuk menonton video, latihan kelompok,
bermain peran dan menyelesaikan pekerjaan rumah.
Intervensi Tai-chi didasarkan pada gaya-Cheng-bentuk Tai-
chi Chuan. Dengan berfokus pada ritme gerakan, Tai-chi terdiri
dari 22 gerakan sederhana yang memiliki manfaat untuk
perhatian dan koordinasi. Selama latihan, peserta harus
menyebutkan gerakan di mana pasien dapat meningkatkan
konsentrasi dan daya ingat mereka. Baik pelatihan
keterampilan sosial dan intervensi Tai-chi diberikan pada hari
yang sama untuk kelompok CBII. Durasi setiap sesi adalah 120
menit. 45 menit pertama difokuskan pada pelatihan
keterampilan sosial, dan 45 menit terakhir digunakan untuk
latihan Tai-chi. Di antaranya, ada istirahat 30 menit yang
dimaksudkan untuk mempertahankan keterlibatan dan
perhatian pasien selama sesi. Dua sesi per bulan dilakukan
selama 12 bulan.
Pelatihan keterampilan sosial dan intervensi Tai-chi diberikan
oleh tiga psikiater penuh waktu dan satu asisten. Mereka semua
telah menerima 8 sesi pelatihan dari instruktur di Departemen
Perawatan Kesehatan Mental Rumah Sakit Nanyuan dan
Asosiasi Wushu Beijing dan memiliki otoritas dalam
pendidikan Tai-chi dan pelatihan keterampilan sosial.
3) Prosedur Tindak Lanjut
Pasien yang memenuhi syarat untuk kelompok MTA dan
kelompok CBII ditindaklanjuti hingga 12 bulan. Baik
kelompok MTA dan CBII datang ke Pusat Kesehatan
Masyarakat Distrik Fengtai untuk kunjungan tindak lanjut
manajemen pengobatan sebulan sekali. Selama wawancara, tiga
psikiater yang berkualifikasi dari Rumah Sakit Nanyuan yang
buta terhadap tugas perawatan melakukan penilaian berikut -
gejala positif dan negatif, tingkat rawat inap, kualitas hidup,
perilaku agresif, dan kepatuhan minum obat - pada awal dan
pada 6 dan 12 bulan setelah intervensi. Setiap pasien yang
memenuhi salah satu kriteria berikut akan dianggap keluar dari
penelitian: (1) mangkir atau penolakan pasien untuk
melanjutkan intervensi mereka, (2) kambuh klinis (skor
PANSS meningkat lebih dari 25). % selama masa tindak lanjut
dibandingkan dengan yang pada kunjungan awal [36] atau
perlu rawat inap), (3) ketidakpatuhan, didefinisikan sebagai
mengambil kurang dari 30% dari obat yang diresepkan,
terdeteksi baik oleh psikiater atau asisten penelitian selama
masa tindak lanjut penilaian; tingkat kepatuhan pengobatan
ditentukan dengan memeriksa faktur obat pasien, memastikan
dosis yang ditentukan, meminta pengasuh pasien dosis obat
yang sebenarnya, dan akhirnya membandingkan mereka untuk
mendapatkan tingkat ketidakpatuhan, atau (4) intoleransi
terhadap obat-obatan, didefinisikan sebagai efek samping yang
parah yang menyebabkan psikiater yang merawat
menghentikan obat-obatan atau masalah medis kronis yang
membatasi partisipasi aktivitas fisik di Tai-chi. Jika pasien
tidak datang untuk intervensi atau pemeriksaan berikutnya,
asisten akan mengingatkan mereka dengan melakukan
panggilan telepon kepada mereka atau pengasuh mereka.
Namun, karena setiap pasien yang berpartisipasi dalam
intervensi atau pemeriksaan akan diganti dengan CNY 20 per
datang, tidak ada pasien yang absen dari setiap sesi intervensi
atau penilaian.
3. Hasil
a. Data dasar
Rata-rata usia dari 244 peserta adalah 45,9 ± 12,1 tahun (kisaran 18-
60). Laki-laki menyumbang 47,5% (n = 116) dari total kasus. Di antara
kasus-kasus ini, 75 (30,7%) memiliki pendidikan tinggi atau lebih tinggi,
143 (58,6%) hidup tanpa pasangan, 106 (43,4%) memiliki penyakit fisik,
147 (60,2%) melaporkan kepatuhan terus-menerus terhadap pengobatan,
dan 75 (30,7%) melaporkan perilaku agresif. Dosis rata-rata obat harian
adalah 374,1 ± 312,8 setara dengan klorpromazin, dan skor rata-rata
psikologis, kualitas hidup dan gejala negatif masing-masing adalah 16,9 ±
4,7 dan 13,5 ± 1,5. Tidak ada perbedaan signifikan yang ditemukan antara
kedua kelompok untuk karakteristik demografi atau klinis.
b. Pengaruh Intervensi Terpadu Berbasis Masyarakat (CBII) dan
Pengobatan Sendiri (MTA)terhadap Hasil Perawatan
Analisis secara keseluruhan membandingkan hasil dari kelompok
CBII dan kelompok MTA menunjukkan bahwa efek kelompok utama dari
CBII atas kelompok MTA secara signifikan berbeda untuk skor total
PANSS ( F = 8,906, p = 0,003), skor gejala negatif (F = 9,819, p = 0,002),
kualitas psikologis kehidupan (F = 0,989, p <0,001), dan perilaku agresif
(F = 4,214, p = 0,041) (tabel 3). Pada akhir 6 bulan, ada peningkatan yang
signifikan lebih besar pada kelompok CBII daripada di kelompok MTA
dalam skor total PANSS (t = –2.918, p = 0,004), skor gejala negatif (t = -
3,205, p = 0,002), dan tingkat perilaku agresif (15,3% untuk kelompok
CBII vs 25,4% untuk kelompok MTA, χ 2 = 3,847, p = 0,05). Demikian
pula, perubahan dari awal hingga akhir 12 bulan secara signifikan lebih
besar pada kelompok CBII daripada pada kelompok MTA dalam skor
total PANSS (t = -4,115, p <0,001), skor gejala negatif (t = -5,185, p <
0,001), tingkat rawat inap (t = -2,209, p = 0,003), durasi rawat inap (t = -
2,349, p = 0,020), tingkat perilaku agresif (5,1% untuk kelompok CBII vs
24,6% untuk kelompok MTA, χ 2 = 18.045, p <0,001), dan tingkat
ketidakpatuhan terhadap pengobatan (6,8% untuk kelompok CBII vs
13,5% untuk kelompok MTA, χ 2 = 9,675, p = 0,008).
Tabel 2. Perbandingan efek intervensi pada 6 bulan (T1) dan 12 bulan
(T2) antara kelompok CBII dan MTA
IMPLIKASI KEPERAWATAN
PENUTUP