Anda di halaman 1dari 84

PROSES PEMBENTUKAN PERATURAN GUBERNUR NOMOR 48

TAHUN 2018 TENTANG RUMAH AMAN BAGI PEREMPUAN DAN


ANAK KORBAN TINDAK KEKERASAN DI PROVINSI DKI JAKARTA

TUGAS AKHIR

Oleh:
MUHAMMAD ARIF INDIWAN
NIM. 163141014111001

BIDANG KEAHLIAN PERANCANGAN PERATURAN DAN


KONTRAK BISNIS
PROGRAM STUDI KESEKRETARIATAN
PENDIDIKAN VOKASI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
PROSES PEMBENTUKAN PERATURAN GUBERNUR NOMOR 48
TAHUN 2018 TENTANG RUMAH AMAN BAGI PEREMPUAN DAN
ANAK KORBAN TINDAK KEKERASAN DI PROVINSI DKI JAKARTA

TUGAS AKHIR
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ahli Madya Program Diploma
III Perancangan Peraturan dan Kontrak Bisnis

Oleh:
MUHAMMAD ARIF INDIWAN
NIM. 163141014111001

BIDANG KEAHLIAN PERANCANGAN PERATURAN DAN


KONTRAK BISNIS
PROGRAM STUDI KESEKRETARIATAN
PENDIDIKAN VOKASI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
LEMBAR PENGESAHAN TUGAS AKHIR

PROSES PEMBENTUKAN PERATURAN GUBERNUR NOMOR 48 TAHUN


2018 TENTANG RUMAH AMAN BAGI PEREMPUAN DAN ANAK
KORBAN TINDAK KEKERASAN DI PROVINSI DKI JAKARTA

Oleh:
MUHAMMAD ARIF INDIWAN
NIM. 163141014111001

Telah dipertahankan didepan Majelis Penguji


pada tanggal 19 Juni 2019 ___________________
dan dinyatakan memenuhi syarat untuk memperoleh gelar
Ahli Madya pada Program Pendidikan Vokasi

Pembimbing

Ibnu Sam Widodo, S.H., M.H.


NIP. 2011068308111001

Penguji I Penguji II

Ummu Hilmy S.H., M.S. M. Khalid Ali S.H., M.H.


NIP. 194912071984032001 NIP.

Mengetahui,

Ketua Program Pendidikan Vokasi Ketua Program Studi

Dr. Ir. Darmawan Ockto Sutjipto, M.Si Sofia Rosalin A.md.,S.Kom.,S.Ap.,MAB.


NIP. 196010281986031005 NIP. 2011068212052001

i
LEMBAR PERSETUJUAN TUGAS AKHIR

Judul : PROSES PEMBENTUKAN PERATURAN GUBERNUR


NOMOR 48 TAHUN 2018 TENTANG RUMAH AMAN
BAGI PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN TINDAK
KEKERASAN DI PROVINSI DKI JAKARTA
Disusun Oleh : Muhammad Arif Indiwan
NIM : 163141014111001
Fakultas : Pendidikan Vokasi
Program Studi : Diploma III Kesekretariatan
Bidang Keahlian : Perancangan Peraturan dan Kontrak Bisnis

Malang, Mei 2019


Pembimbing,

Ibnu Sam Widodo, S.H., M.H.


NIP. 2011068308111001

ii
LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama : MUHAMMAD ARIF INDIWAN
NIM : 163141014111001
Bidang Keahlian : PERANCANGAN PERATURAN DAN KONTAK BISNIS
Judul : PROSES PEMBENTUKAN PERATURAN GUBERNUR
NOMOR 48 TAHUN 2018 TENTANG RUMAH AMAN
BAGI PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN TINDAK
KEKERASAN DI PROVINSI DKI JAKARTA

Dengan ini menyatakan bahwa:


1. Isi Tugas Akhir yang saya buat adalah benar-benar karya sendiri dan tidak
menjiplak karya orang lain, selain nama-nama yang termaksud di isi dan
tertulis di daftar pustaka dalam Tugas Akhir ini.
2. Apabila ditemukan hasil jiplakan, maka saya akan bersedia menanggung
segala resiko yang akan saya terima.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan segala kesadaran.

Malang, Mei 2019


Yang Menyatakan,

Muhammad Arif Indiwan


NIM. 163141014111001

iii
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT atas rahmat, hidayah, dan karunia-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir dengan judul “Proses
Pembentukan Peraturan Gubernur Nomor 48 Tahun 2018 Tentang Rumah Aman
Bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan di Provinsi DKI Jakarta”
dapat berjalan lancar, terselesaikan dengan baik, dan tepat pada waktunya.
Tugas Akhir ini disusun untuk memenuhi persyaratan kelulusan dan sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ahli Madya Diploma III Program Studi
Kesekretariatan Bidang Keahlian Perancangan Peraturan dan Kontrak Bisnis
Universitas Brawijaya Malang. Selain itu, penulis juga dapat mencoba menerapkan
dan membandingkan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh di bangku
kuliah dengan kenyataan yang ada di lingkungan kerja.
Penulis merasa bahwa dalam menyusun Tugas Akhir ini masih menemui
beberapa kesulitan dan hambatan, disamping itu juga menyadari bahwa penulisan
Tugas Akhir ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangan-
kekurangan lainnya, maka dari itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari semua pihak.
Menyadari penyusunan Tugas Akhir ini tidak lepas dari bantuan berbagai
pihak, maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang
setulus–tulusnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Darmawan Ockto Sutjipto, M.S. selaku Ketua Program
Pendidikan Vokasi Universitas Brawijaya.
2. Bapak Azna Abrory Wardana, S.H., M.H. selaku Ketua Bidang Keahlian
Perancangan Peraturan dan Kontrak Bisnis Universitas Brawijaya yang telah
memberikan pengarahan dan informasi mengenai Tugas Akhir.
3. Bapak Ibnu Sam Widodo, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing yang telah
meluangkan waktunya untuk memberikan saran, motivasi, ilmu dan ide-
idenya kepada penulis dalam menyelesaikan Tugas Akhir.

iv
4. Ibu Ummu Hilmy S.H., M.S. selaku dosen Perancangan Peraturan dan
Kontrak Bisnis Universitas Brawijaya yang telah memberi pengarahan dan
informasi mengenai Tugas Akhir.
5. Seluruh elemen Biro Hukum Sekretariat Daerah Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta yang telah memberikan ilmu, sambutan hangat, canda tawa, dan
motivasi kepada penulis.
6. Kedua Orang Tua yang saya cintai, Indra Setiawan dan Diana Muinarosa dan
ketiga adik saya yang saya sayangi Diandra Annisa Putri, Nadira Rizki Utami,
dan Muhammad Rizki Ramadhan selalu memberikan doa, motivasi dan
semangat agar proses mengerjakan Tugas Akhir selalu berjalan lancar.
7. Segenap teman baik saya, seluruh Mahasiswa Perancangan Peraturan dan
Kontrak Bisnis Universitas Brawijaya yang selalu memberi support, saling
sharing ilmu dan informasi-informasi berharga.
8. Sinta Lestari yang telah memberikan bantuan berupa semangat dan teknik-
teknik penulisan Tugas Akhir serta telah membantu dalam mempersiapkan
ujian Tugas Akhir.
9. Terima kasih Mas Ibnu, Mas Kanzul, dan Mas Mifta yang telah membantu
saya dalam mengerjakan Tugas Akhir ini.
10. Seluruh teman-teman kontrakan saya yang selalu memberikan motivasi,
semangat, hiburan pada saat proses pengerjaan Tugas Akhir ini.
11. Seluruh Mahasiswa Himpunan Perancangan Peraturan dan Kontrak Bisnis
Pendidikan Vokasi Universitas Brawijaya atas dukungan serta semangat,
wawasan, dan motivasi untuk menyelesaikan Tugas Akhir.
12. Boy Pablo, 21 Savage, Kendrick Lamar, dan Travis Scott terima kasih untuk
lagu-lagunya yang sudah menemani saya selama mengerjakan Tugas Akhir.
13. Seluruh pihak yang telah banyak membantu penulis dalam menjalankan
masa studi serta penulisan Tugas Akhir yang tidak bisa disebutkan satu
persatu.

v
Akhir kata, semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan karunia-Nya dan
membalas segala amal budi serta kebaikan pihak-pihak yang telah membantu
penulis dalam penyusunan Tugas Akhir ini dan semoga tulisan ini dapat
memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Malang, Mei 2019

Penulis

vi
ABSTRAK
Indiwan, Muhammad Arif. 2019. Proses Pembentukan Peraturan Gubernur
Nomor 48 Tahun 2018 Tentang Rumah Aman Bagi Perempuan dan Anak
Korban Tindak Kekerasan Di Provinsi DKI Jakarta (Studi Kasus di Biro
Hukum Sekretariat Daerah Provinsi DKI Jakarta) Tugas Akhir, Bidang
Keahlian Perancangan Peraturan dan Kontrak Bisnis Pendidikan Vokasi
Universitas Brawijaya. Pembimbing: Ibnu Sam Widodo, S.H., M.H.

Fungsi produk hukum daerah khususnya Peraturan Gubernur sebagai salah satu
bentuk aturan pelaksana undang-undang dari peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi. Peraturan Gubernur merupakan instrumen aturan yang diberikan untuk
menyelenggarakan Peraturan Daerah di masing-masing daerah otonom. Dalam
Negara Hukum, peran hukum sebagai sarana untuk mewujudkan kebijakan
pemerintah dan memberikan legitimasi terhadap kebijakan publik sangat
diperlukan. Kebijakan publik diperlukan juga untuk mengatur mengenai kawasan
publik bagi masyarakat. Menurut peraturan daerah Nomor 8 Tahun 2011 tentang
perlindungan perempuan dan anak dari tindak kekerasan, memberikan tugas kepada
pemerintah daerah untuk membuat rumah aman bagi perempuan dan anak korban
tindak kekerasan. Pada proses pembentukan Peraturan Gubernur tentang Rumah
Aman Bagi Perempuan Dan Anak Korban Tindak Kekerasan ini melalui beberapa
tahapan sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015
tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah dan Peraturan Gubernur Nomor 112
tahun 2012 tentang Tata Cara Pembentukan Produk Hukum Daerah, yaitu: 1)
perencanaan; 2) penyusunan; 3) pembahasan; 4) pengundangan dan penomoran 5)
autentifikasi dan penyebarluaasan 6) pendokumentasiaan. Pada pembentukannya
terdapat kendala yang muncul yaitu mengulur waktu yang cukup lama untuk
membuat Peraturan Gubernur tentang Rumah Aman Bagi Perempuan Dan Anak
Koban Tindak Kekerasan. Peraturan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta
tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan masih
berada dalam tahap pembahasan. Upaya yang dilakukan pihak Biro Hukum
Sekretariat Daerah Provinsi DKI Jakarta yaitu mengadakan pembinaan terkait
penyusunan produk hukum daerah, rapat dan koordinasi langsung pada dinas terkait
agar proses pembentukan peraturan gubernur ini terselesaikan dan diakui
keberadaannya.

Kata kunci: Peraturan Gubernur dan Sekertariat Daerah Provinsi DKI Jakarta.

vii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN TUGAS AKHIR ...................................................... i


LEMBAR PERSETUJUAN TUGAS AKHIR .................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv
ABSTRAK ........................................................................................................... vii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. x
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN.................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 4
1.3 Tujuan ............................................................................................................ 4
1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................................... 4
1.4.1 Secara Teoritis ........................................................................................ 4
1.4.2 Secara Praktis .......................................................................................... 5
1.5 Metode Penelitian .......................................................................................... 5
1.5.1 Jenis Penelitian ....................................................................................... 5
1.5.2 Pendekatan Penelitian ............................................................................. 6
1.5.3 Jenis Data ................................................................................................ 6
1.5.4 Teknik Pengambilan Data ....................................................................... 7
1.5.5 Teknik Analisis Data .............................................................................. 8
BAB II .................................................................................................................... 9
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 9
2.1 Pemerintah Daerah ........................................................................................ 9
2.2 Peraturan Perundang-undangan ................................................................... 10
2.2.1 Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan .................................... 13
2.2.2 Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ................... 17
2.2.3 Asas Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan .......................... 18
2.3 Peraturan Gubernur ..................................................................................... 19
2.4 Kewenangan Pemerintah Daerah Untuk Membuat Peraturan Gubernur
Tentang Rumah Aman Bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan 22
2.5 Hak Asasi Manusia ...................................................................................... 24

viii
2.6 Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban .................................................. 25
2.7 Perlindungan Perempuan dan Anak ............................................................ 28
2.8 Hukum Pidana ............................................................................................. 30
2.8.1 Fungsi Hukum Pidana ........................................................................... 33
2.8.2 Sumber Hukum Pidana ......................................................................... 34
2.8.3 Asas-asas Hukum Pidana ...................................................................... 36
BAB III ................................................................................................................. 39
PEMBAHASAN .................................................................................................. 39
3.1 Proses Pembentukan Peraturan Gubernur Nomor 48 Tahun 2018 Tentang
Rumah Aman Bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan di
Provinsi DKI Jakarta ......................................................................................... 39
3.1.1 Perencanaan Rancangan Peraturan Gubernur tentang Rumah Aman
Bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan ................................. 42
3.1.2 Penyusunan Rancangan Peraturan Gubernur tentang Rumah Aman Bagi
Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan .......................................... 43
3.1.3 Pembahasan Rancangan Peraturan Gubernur tentang Rumah Aman
Bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan ................................. 45
3.1.4 Pengundangan dan Penomoran Peraturan Gubernur tentang Rumah
Aman Bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan ...................... 47
3.1.5 Autentifikasi dan Penyebarluasan Peraturan Gubernur tentang Rumah
Aman Bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan ...................... 49
3.1.6 Pendokumentasian Peraturan Gubernur tentang Rumah Aman Bagi
Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan .......................................... 50
3.2 Kendala terhadap pembentukan Peraturan Gubernur tentang Rumah Aman
Bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan ..................................... 51
3.3 Upaya yang dilakukan dari kendala terhadap pembentukan Peraturan
Gubernur tentang Rumah Aman Bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak
Kekerasan .......................................................................................................... 53
BAB IV ................................................................................................................. 58
PENUTUP ............................................................................................................ 58
4.1 Kesimpulan .................................................................................................. 58
4.2 Saran ............................................................................................................ 58
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 60
LAMPIRAN ......................................................................................................... 62

ix
DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1. Bentuk Rancangan Peraturan Gubernur……………………………44


Gambar 3.2. Bentuk Rancangan Peraturan Gubernur……………………………44
Gambar 3.3. Struktur Organisasi Biro Hukum Provinsi DKI Jakarta…………....59

x
1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyelenggaraan pemerintahan yang tertib merupakan syarat utama
terwujudnya tujuan negara. Pemerintah daerah sebagai penyelenggara
pemerintahan daerah tidak terlepas dari tugas membina ketentraman dan
ketertiban masyarakat didaerahnya. Peraturan daerah harus sesuai dengan
keadaan masyarakat dimana peraturan daerah tersebut diberlakukan. Sebagai
penyelenggara pemerintahan daerah maka pemerintah daerah dituntut untuk
memahami dukungan dan tuntutan yang berkembang dalam masyarakatnya,
tetapi kenyataannya sering terjadi bahwa setelah diberlakukannya suatu
peraturan daerah, banyak substansi dari peraturan daerah dianggap tidak sesuai
dengan kebutuhan masyarakat.
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.
Sebagai negara hukum, maka aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara termasuk dalam penyelenggaraan pemerintahan harus berdasarkan
atas hukum. Sehingga untuk mewujudkan negara hukum tersebut diperlukan
tatanan yang tertib antara lain dibidang peraturan perundang-undangan. Dalam
rangka mewujudkan tatanan yang tertib dibidang peraturan perundang-
undangan di Indonesia, telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Berdasarkan jenis
peraturan perundang-undangan sendiri ada 2 (dua) yaitu peraturan perundang-
undangan di tingkat pusat dan di tingkat daerah.1 Dalam negara hukum yang
demokratis peran hukum sebagai sarana untuk mewujudkan kebijakan
pemerintah dan memberikan legitimasi terhadap kebijakan publik sangat
diperlukan. Oleh karena itu, perlu pembangunan hukum dalam rangka menata
kembali substansi hukum melalui peninjauan dan penataan kembali peraturan
perundang-undangan dengan memperhatikan asas umum dan hierarki
peraturan perundang-undangan serta menghormati hak asasi manusia.

1
Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-undangan, Kanisius, Yogyakarta, 2007, hlm. 184.
2

Indonesia merupakan negara hukum yang mana di dalam negara hukum


selalu ada pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Semua
manusia akan mendapat perlakuan yang sama kedudukannya dalam hukum,
sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Termasuk juga hak seorang anak ini semua
telah di atur di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 pada Pasal 28B ayat 2 yang berbunyi “Setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan
dari kekersan dan diskriminasi”. Dapat terlihat jelas bahwa di Negara Republik
Indonesia dijamin adanya perlindungan hak asasi manusia berdasarkan
ketentuan-ketentuan hukum dan bukan kemauan seseorang atau golongan yang
menjadi dasar kekuasaan.2 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberdaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dijunjung oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Jadi, Hak Asasi Manusia
(HAM) adalah hak-hak dasar yang dimiliki manusia yang dibawanya sejak
lahir yang berkaitan dengan martabat dan harkatnya sebagai ciptaan Tuhan
Yang Maha Esa yang tidak boleh dilanggar, dilenyapkan oleh siapa pun juga.3
Kekerasan terhadap perempuan merupakan masalah utama bagi setiap
negara di dunia termasuk negara maju yang disebut sangat menghargai dan
peduli terhadap Hak Asasi Manusia. Sudah seharusnya dalam suatu negara
dibutuhkan adanya perlindungan bagi para wanita yang menjadi korban
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang salah satunya adalah hak-hak perempuan
terutama korban kekerasan seksual. Perempuan sebagai suatu kelompok dalam
masyarakat di dalam suatu negara, merupakan kelompok yang juga wajib
mendapatkan jaminan atas hak-hak yang dimilikinya secara asasi. Dalam
konvensi penghapusaan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan
terdapat 30 Pasal, diantaranya lima pasal pertama memuat dasar pemikiran
penghapusan diskriminasi terhadap wanita dan kewajiban yang harus

2
Didi Nazmi. Konsepsi Negara Hukum. Angkasa Raya, Padang. 1992. hlm. 50.
3
Ibid
3

dilakukan oleh pemerintah. Pasal 6-16 memuat hak-hak substantif dan


kewajiban pemerintah. Pasal 17-30 memuat ketentuan-ketentuan mengenai
struktur kelembagaan, prosedur dan mekanisme pelaporan pelaksanaan
Konvensi, ratifikasi san aksesi Konvensi, dan apabila terjadi perselisihan
mengenai penerapan dan penafsiran Konvensi. Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan memang tidak menyatakan secara
eksplisit tentang adanya 2 jaminan hak asasi terhadap kelompok perempuan
secara khusus, namun dalam Pasal 3 memuat bahwa hak dan kebebasan perlu
dimiliki oleh setiap orang tanpa diskriminasi, termasuk tidak melakukan
diskriminasi berdasarkan jenis kelamin.4
Dalam Pasal 18 UUD 1945 tersebut secara jelas disebutkan bahwa
pemerintahan daerah, baik provinsi maupun kabupaten atau kota, merupakan
bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, jika
dihubungkan dengan pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 maka pemerintahan daerah
bertanggung jawab juga terhadap perlindungan, penghormatan, dan pemajuan
hak asasi manusia. Pada dasarnya pemerintah pusat merupakan penanggung
jawab utama kewajiban melaksanakan hak asasi manusia Internasional dalam
suatu negara. Tindakan illegal otoritas publik, termasuk yang dilakukan
pemerintah daerah, adalah tanggung jawab negara bahkan jika tindakan
tersebut berada di luar kewenangan hukumnya atau bertentangan dengan
undang-undang dan instruksi-instruksi dalam negerinya. Namun demikian,
meskipun pemerintah pusat adalah penanggung jawab utama, pemerintah
daerah juga bertanggung jawab dalam mengemban kewajiban untuk
melaksanakan hak asasi manusia. Dalam hal ini kedudukan pemerintah daerah
sebagai wakil pemerintah di daerah, merupakan pelengkap bagi pelaksanaan
kewajiban pemenuhan hak asasi manusia.
Seperti yang diperintahkan juga dalam Pasal 14 Peraturan Daerah
Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 tahun 2011 tentang Perlindungan Perempuan
dan Anak Dari Tindak Kekerasan untuk menetapkan dan membuat rumah aman
bagi perempuan dan anak korban tindak kekerasan Provinsi DKI Jakarta.

4
Saparinah Sadli, Hak Asasi Perempuan adalah Hak Asasi Manusia, dalam Pemahaman
Bentukbentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya, KK
Convention Watch, Pusat Kajian Wanita dan Jender, Universitas Indonesia, Jakarta, 2000, hlm.1.
4

Dengan demikian Tugas Akhir yang berjudul “Proses Pembentukan Peraturan


Gubernur Nomor 48 Tahun 2018 Tentang Rumah Aman Bagi Perempuan dan
Anak Korban Tindak Kekerasan di Provinsi DKI Jakarta” layak untuk ditulis.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa kendala terhadap pembentukan Peraturan Gubernur tentang Rumah
Aman Bagi Perempuan dan Anak Korban Tidan Kekerasan di Provinsi DKI
Jakarta?
2. Bagaimana upaya penyelesaian dari kendala terhadap pembentukan
Peraturan Gubernur tentang Rumah Aman Bagi Perempuan dan Anak
Korban Tidan Kekeran di Provinsi DKI Jakarta?

1.3 Tujuan
1. Mengidentifikasi dan Mendiskripsikan kendala terhadap pembentukan
Peraturan Gubernur tentang Rumah Aman Bagi Perempuan dan Anak
Korban Tindak Kekerasan.
2. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan upaya penyelesaian untuk mengatasi
kendala terhadap pembentukan Peraturan Gubernur tentang Rumah Aman
Bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Secara Teoritis
Penulisan Tugas Akhir ini bertujuan untuk memberikan input atau
sumbangan pemikiran bagi dunia ilmu pengetahuan kepada orang yang
membutuhkan serta menambah wawasan mengenai kendala yang
menghambat dan upaya penyelesaian terhadap pembentukan Peraturan
Gubernur. Selain itu juga dapat digunakan sebagai bahan referensi untuk
mengkaji proses pembentukan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta
tentang Rumah Aman Bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak
Kekerasan.
5

1.4.2 Secara Praktis


a. Bagi Penulis:
1. Sebagai syarat lulus Diploma III Bidang Keahlian Perancangan
Peraturan dan Kontrak Bisnis Universitas Brawijaya Tahun
Angkatan 2016.
2. Untuk meningkatkan wawasan, pengetahuan dan pengalaman
dalam menyelesaikan kendala terhadap pembentukan Peraturan
Gubernur tentang Rumah Aman Bagi Perempuan dan Anak
Korban Tindak Kekerasan di Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta.
b. Bagi Masyarakat:
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan
dalam rangka pembentukan Peraturan Gubernur di Provinsi DKI
Jakarta untuk masyarakat sesuai dengan prosedur yang benar dan
adanya kepastian hukum.
c. Bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta:
Agar hasil penelitian bermanfaat bagi Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta untuk memberi masukan mengenai upaya penyelesaian
kendala terhadap pembentukan Peraturan Gubernur tentang Rumah
Aman Bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan di
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
d. Bagi Kalangan Akademisi:
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat praktis
berupa ilmu pengetahuan tentang kendala dan upaya
penyelesaiannya terhadap pembentukan Peraturan Gubernur kepada
mahasiswa, khususnya bagi mahasiswa Perancangan Peraturan dan
Kontrak Bisnis Program Pendidikan Vokasi Universitas Brawijaya.

1.5 Metode Penelitian


1.5.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian empiris, yaitu
melakukan pengamatan langsung ke Kantor Biro Hukum Sekretariat
Daerah Provinsi DKI Jakarta untuk mencari dan menggali data tentang
kendala dan upaya penyelesaiannya terhadap pembentukan Peraturan
6

Gubernur Provinsi DKI jakarta tentang Rumah Aman Bagi Perempuan


dan Anak Korban Tindak Kekerasan. Pendekatan yang dipakai dalam
pengamatan ini adalah pendekatan yuridis sosiologis. Pendekatan yuridis
sosiologis adalah pengamatan hukum yang menggunakan data sekunder
sebagai data awalnya, yang kemudian dilanjutkan dengan data primer
atau data lapangan, meneliti kendala yang menghambat dan upaya
penyelesaiannya terhadap pembentukan Peraturan Gubernur Provinsi
DKI Jakarta tentang Rumah Aman Bagi Perempuan dan Anak Korban
Tindak Kekerasan, terdiri dari studi dokumen, pengamatan (observasi),
dan wawancara (interview).
1.5.2 Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan yuridis sosiologis. Pendekatan yuridis sosiologis mebahas
doktrin-doktrin atau asas-asas dalam ilmu hukum. Asas-asas tersebut
menurut pasal 5 undang-undang Nomor 12 tahun 2011 meliputi kejelasan
tujuan, kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, kesesuaian antara
jenis dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan
kehasigunaan, kejelasan rumusan dan keterbukaan.
1.5.3 Jenis Data
a. Data Primer
Data primer merupakan data utama dalam sebuah penelitian
yang berbentuk pengalaman, pendapat, pernyataan yang diperoleh
dari keterangan narasumber yaitu staff Biro Hukum Sekretariat
Daerah Provinsi DKI Jakarta mengenai kendala dan upaya
penyelesaiannya terhadap pembentukan Peraturan Gubernur
Provinsi DKI Jakarta tentang Rumah Aman Bagi Perempuan dan
Anak Korban Tindak Kekerasan.
b. Data Sekunder
Jenis data sekunder adalah data yang berupa dokumen, arsip,
artikel, internet, dan undang-undang serta data lainnya yang dapat
berupa informasi yang berkaitan dengan kendala dan upaya
penyelesaian terhadap pembentukan Peraturan Gubernur Provinsi
7

DKI Jakarta tentang Rumah Aman Bagi Perempuan dan Anak


Korban Tindak Kekerasan.
1.5.4 Teknik Pengambilan Data
1.5.4.1 Data Primer
a. Observasi
Selain dengan cara wawancara, penelitian ini juga
disertai dengan cara observasi. Observasi ini bertempat di
Kantor Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi DKI
Jakarta yang beralamat di Jalan Merdeka Selatan Nomor 8-
9, Kota Administrasi Jakarta Pusat. Observasi dilakukan
dengan durasi waktu 4 (empat) bulan yang dimulai dari
bulan Februari sampai dengan Mei tahun 2018. Hasil dari
observasi yang dilakukan yaitu berupa data yang dapat
mendukung penulisan Tugas Akhir yang berjudul “Proses
Pembentukan Peraturan Gubernur Nomor 48 Tahun 2018
Tentang Rumah Aman Bagi Perempuan dan Anak Korban
Tindak Kekerasan di Provinsi DKI Jakarta”.
b. Wawancara
Wawancara adalah situasi peran antara pribadi
bertatap muka ketika seseorang yakni pewawancara
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk
memperoleh jawaban yang relevan dengan masalah
penelitian kepada responden.5
Sumber data primer diperoleh dengan mengadakan
wawancara bersama dengan Staff Biro Hukum Sekretariat
Daerah Provinsi DKI Jakarta. Dalam proses wawancara
yang dilakukan bersama Staff Biro Hukum Sekreteriat
Daerah Provinsi DKI Jakarta yaitu mengajukan
pertanyaan dengan lingkup praktik kendala dan upaya
penyelesaian terhadap pembentukan Peraturan Gubernur

5
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2006, hlm. 22.
8

Provinsi DKI Jakarta tentang Rumah Aman Bagi


Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan.
1.5.4.2 Data Sekunder
Dokumen
Dokumen yang diperoleh dari tempat penelitian, yaitu
pada Kantor Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi DKI
Jakarta dan ditambah dengan literatur-literatur yang
bersangkutan serta menunjang penulisan Tugas Akhir berjudul
“Proses Pembentukan Peraturan Gubernur Nomor 48 Tahun
2018 Tentang Rumah Aman Bagi Perempuan dan Anak
Korban Tindak Kekerasan di Provinsi DKI Jakarta” dari
perpustakaan pusat Universitas Brawijaya.
1.5.5 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah
cara kualitatif. Cara kualitatif artinya menguraikan data dalam bentuk
kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif
sehingga memudahkan pemahaman interpretasi data. Data yang
terkumpul dianalisis dengan menginterpretasi-kan kalimat-kalimat
yang dikumpulkan selama observasi di mana pada bagian-bagian yang
kurang jelas atau kurang rinci akan dikaitkan dengan hasil wawancara
yang ada dan dikroscek dengan dokumen-dokumen yang terkumpul.
Semua data tersebut dikaitkan satu sama lain (data primer yang
dihasilkan dari observasi dengan wawancara dengan data sekunder
dari hasil dari meng-copy, men-download dan memfoto kegiatan)
untuk memperjelas pembahasan atas rumusan masalah yang ada dan
dari data-data tersebut akan dilakukan analisa yang dikaitkan dengan
teori hukum dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan
sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan dan saran.
9

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pemerintah Daerah
Dalam hubungan dengan pemerintah daerah, baiklah kita lihat pasal 18
UUD 1945 dengan penjelasannya dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, yang pelaksanaannya diatur
dengan Intruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 1974. Dalam pasal 18
UUD 1945 bahwa: “pembagian daerah Indonesia atas daerah besar atau kecil,
dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang,
dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem
pemerintahan daerah, hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat
istimewa”. Penjelasan pasal 18 UUD 1945 bahwa negara Indonesia adalah
suatu negara kesatuan, Indonesia tidak akan mempunyai daerah di dalam
lingkungannya yang juga berbentuk negara yang dibagi menjadi daerah
provinsi dan daerah provinsi dibagi pula menjadi daerah yang lebih kecil.
Daerah itu bersifat otonom atau administratif belaka, semuanya menurut aturan
yang ditetapkan dengan undang-undang. Daerah yang bersifat otonom
diadakan badan perwakilan daerah. Maksudnya ialah bahwa wilayah Indonesia
dibagi menjadi sejumlah daerah besar dan kecil yang bersifat otonom, yaitu
daerah yang boleh mengurus rumah tangganya sendiri dan daerah administrasi,
yaitu daerah yang tidak boleh bediri sendiri.6
Kewenangan untuk daerah kabupaten dan kota didasarkan pada asas
desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.
Kewenangan otonomi yang luas adalah keleluasaan daerah untuk
menyelenggarakan pemerintahan yang mencangkup kewenangan semua
bidang pemerintahan kecuali kewenangan di bidang politik, luar negeri,
pertahanan, keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan
bidang lainnya yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah, disamping itu
keleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam

6
C.S.T. Kansil, S.H, Christine S.T. Kansil, S.H., M.H, Pemerintah Daerah Di Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta, 2004, hlm. 3.
10

penyelenggaraannya mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,


pengendalian dan evaluasi.7
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam
sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.8 Pemerintahan Daerah di Indonesia terdiri dari Pemerintahan Daerah
Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota yang terdiri atas Kepala
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dibantu oleh Perangkat
Daerah. Pelaksanaan pemerintah daerah tidak terlepas dari asas desentralisasi
dan otonomi daerah. Kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga
ini mengandung tiga hal utama didalamnya, yaitu pertama,pemberian tugas
dan wewenang untuk menyelesaikan suatu kewenangan yang sudah diserahkan
kepada pemerintah daerah; kedua, pemberian kepercayaan dan wewenang
untuk memikirkan, mengabil inisiati dan menetapkan sendiri cara-cara
penyelesaian tugas tersebut dan ketiga, dalam upaya memikirkan, mengambil
inisiatif dan mengambil keputusan tersebut mengikutsertakan masyarakat baik
secara langsung maupun DPRD. Kewenangan pemerintah daerah meliputi
kewenangan membuat Peraturan Daerah (zelf wetgeving) dan penyelenggaraan
pemerintah (zelfbestuur) yang diembankan secara demokratis.9

2.2 Peraturan Perundang-undangan


Peraturan perundang-undangan di suatu negara merupakan suatu bagian
integral atau sub sistem dari suatu sistem hukum di negara tersebut. Sebagai
suatu bagian integral atau sub sistem dalam sistem hukum suatu negara
peraturan perundang-undangan tidak dapat berdiri sendiri terlepas dari sistem
hukum negara tersebut. Dalam suatu sistem termuat adanya berbagai
komponen, berbagai kegiatan yang merupakan fungsi dari setiap komponen,

7
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta, Pusat Studi Hukum, 2005,
hlm. 37.
8
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
9
M. Laica Marzuki, Hukum dan Pembangunan Daerah Otonom, Kertas Kerja PSKMP-LPPM
Unhas, Makasar, 1999, Hlm. 12.
11

adanya saling keterhubungan serta ketergantungan antar komponen, adanya


keterpaduan (integrasi) antar komponen, adanya keluasan sistem (ada kawasan
di dalam sistem dan di luar sistem), dan gerak dinamis semua fungsi dari semua
komponen tersebut mengarah, berorientasi ke pencapaian tujuan sistem yang
telah ditetapkan. Dari unsur-unsur sistem tersebut, dapat ditarik berbagai
pengertian atau batasan sistem, antara lain:
1. Sistem adalah komposisi atau susunan yang serasi dari fungsi
komponennya.
2. Sistem adalah rangkaian komponen yang saling berkaitan dan berfungsi
ke arah tercapainya tujuan sistem yang telah ditetapkan lebih dahulu.
3. Sistem adalah pengkoordinasian (pengorganisasian) seluruh komponen
serta kegiatan dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan
lebih dulu.
Beberapa definisi hukum menurut beberapa sarjana hukum dan pakar hukum
antara lain: 10
1. Utrecht:
Hukum adalah suatu himpunan peraturan yang didalamnya berisi
tentang perintah dan larangan, yang mengatur tata tertib kehidupan dalam
bermasyarakat dan harus ditaati oleh setiap individu dalam masyarakat
bagi para penguasa negara dalam melakukan tugasnya. karena
pelanggaran terhadap pedoman hidup itu bisa menimbulkan tindakan dari
pihak pemerintah suatu negara atau lembaga.
2. Mr. E.M. Meyers:
Hukum ialah aturan-aturan yang didalamnya mengandung
pertimbangan kesusilaan. Hukum ditujukan kepada tingkah laku manusia
dalam sebuah masyarakat dan menjadi acuan atau pedoman.
3. Leon Duguit:
Hukum ialah seperangkat aturan tingkah laku para anggota
masyarakat, dimana aturan tersebut harus diindahkan oleh setiap
masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan apabila

10
Bobsusanto, “Pengertian Hukum Menurut Para Ahli”,
http://www.spengetahuan.com/2015/02/20-pengertian-hukum-menurut-para-ahli-terlengkap.html,
diakses pada tanggal 13 Maret 2019 pukul 21.00 WIB.
12

dilanggar akan menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang


melakukan pelanggaran hukum tersebut.
Perlu dipahami juga mengenai ilmu yang mempelajari tentang
perundang-undangan guna mewujudkan tujuan hukum suatu negara. Istilah
“perundang-undangan” (legislation atau gesetzgebung) mempunyai dua
pengertian yang berbeda, yaitu:
1. Peraturan perundang-undangan sebagai sebuah proses pembentukan atau
proses membentuk peraturan-peraturan Negara, baik di tingkat pusat
maupun di tingkat daerah; dan
2. Peraturan perundang-undangan sebagai segala peraturan Negara, yang
merupakan hasil proses pembentukan peraturan-peraturan, baik di
tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
Ihwal dari definisi “Peraturan Perundang-undangan” dapat dilihat dari
pendapat Van Der Tak dan yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tantang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Van Der
Tak dalam bukunya Aziz Syamsuddin mendefinisikan peraturan perundang-
undangan sebagai kaidah hukum tertulis yang dibuat oleh pejabat yang
berwenang, berisi aturan-aturan tingkah laku yang bersifat abstrak dan
mengikat umum.11 Sementara itu, pengertian peraturan perundang-undangan
sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011, “peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang
memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau
ditetapkan oleh Lembaga Negara atau pejabat yang berwenang melalui
prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan”.
Hubungan pemerintah daerah dengan pemerintah pusat dan kaitannya
dengan peraturan perundang-undangan, Gubernur sebagai kepala daerah
provinsi (Gubernur sebagai kepala daerah istimewa, Gubernur sebagai kepala
daerah khusus ibu kota), Bupati sebagai kepala daerah kabupaten, walikota
sebagai kepala daerah kota merupakan lembaga-lembaga pemerintah yang
dapat mengeluarkan peraturan perundang-undangan didaerah yang sifatnya

11
Aziz Syamsuddin, Proses dan Teknik Penyusunan Undang-Undang, Sinar Grafika, Jakarta,
2013, hlm. 19.
13

pendelegasian wewenang atau pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat,


yang mana dikenal peraturan perundang-undangan tingkat daerah sebagai
berikut: 12
1. Peraturan Daerah Provinsi;
2. Peraturan Kepala Daerah Provinsi (Peraturan Gubernur);
3. Peraturan Bersama Kepala Daerah Provinsi;
4. Keputusan Gubernur;
5. Instruksi Gubernur;
6. Peraturan Daerah Kabupaten/Peraturan Daerah Kota;
7. Peraturan Bupati atau Peraturan Walikota;
8. Peraturan Bersama Bupati/Peraturan Bersama Walikota;
9. Keputusan Bupati/Keputusan Walikota;
10. Peraturan Desa atau yang setingkat;
11. Keputusan Kepala Desa atau yang setingkat.
Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom merupakan peraturan-
peraturan yang berada dibawah undang-undang yang memiliki fungsi yang
sama yaitu menyelenggarakan ketentuan-ketentuan yang tercantum didalam
undang-undang. Perbedaan antara kedua peraturan tersebut, yaitu peraturan
pelaksanaan bersumber dari delegasi wewenang sedangkan peraturan otonom
berdasarkan pada atribusi wewenang.13
2.2.1 Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Dalam membentuk peraturan perundang-undangan, ada beberapa
teori yang perlu dipahami oleh perancang yakni teori jenjang norma.
Hans Nawiasky dalam bukunya Aziz Syamsuddin mengembangkan
Teori Jenjang Norma Hukum (die Theorie vom Stufenordnung der
Rechtsnormen), dengan mengkontekstualisasikan kepada suatu negara.
Sesuai dengan teori jenjang norma hukumnya Hans Kelsen, suatu norma
hukum dari negara manapun selalu berjenjang dan berlapis, dimana
norma hukum yang di bawah berlaku, berdasar, dan bersumber pada

12
Zulkarnain, Beni Ahmad, Tinjauan Terhadap Pembagian Urusan Kewenangan Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah, E-Journal Universitas Atmajaya, 2012, hlm. 258.
13
Aziz Syamsuddin, Proses dan Teknik Penyusunan Undang-undang, Sinar Grafika, Jakarta
Timur, 2013, hlm. 26.
14

norma yang lebih tinggi lagi, sampai pada suatu norma hukum negara
tertinggi yang disebut Norma Dasar Negara (Staatsfundamentalnorm).14
Dari teori tersebut, Hans Nawiasky menambahkan bahwa selain norma
itu berlapis-lapis dan berjenjang, norma hukum juga berkelompok-
kelompok. Hans Nawiasky mengelompokkan menjadi 4 kelompok besar
yakni:
1) Staatsfundamentalnorm (norma fundamental negara);
2) Staatsgrundgezets (aturan dasar negara);
3) Formell Gezetz (undang-undang formal);
4) Verordnung dan Autonome Satzung (aturan pelaksana dan aturan
otonom).
Kelompok norma di atas hampir selalu ada dalam tata susunan
norma hukum di setiap Negara, walaupun istilahnya dan jumlah norma
yang berbeda dalam setiap kelompoknya. Sebelumnya, perlu dipahami
bahwa menurut Hans Kelsen dalam bukunya General Theory of Law and
State, terdapat dua sistem norma yang meliputi:
1. Sistem norma statik adalah sistem yang melihat pada ‘isi’ norma.
Menurut sistem norma yang statik, norma umum dapat ditarik
menjadi norma yang lebih khusus, atau norma-norma khusus itu
dapat ditarik dari suatu norma yang umum.
2. Sistem norma yang dinamik adalah sistem norma yang melihat
pada berlakunya suatu norma dari cara ‘pembentukannya’ atau
‘penghapusannya’.
Dalam ilmu perundang-undangan yang dibicarakan adalah norma
hukum sebagai salah satu norma yang dinamik, yaitu norma yang
diterapkan berdasarkan siapa pembuatnya dan bagaimana penerapannya
dikaitkan dengan norma-norma lainnya. Dalam konteks ini, norma
hukum bersifat heteronom, yaitu muncul dari luar diri seseorang. Norma
hukum dibuat oleh pihak penguasa, yaitu bidang legislatif. Hal ini
berbeda dengan norma-norma lainnya yang cenderung merupakan
kaedah otonom, yaitu berasal dari dalam diri seseorang. Selain itu, norma

14
Ibid, hlm. 23.
15

hukum dapat dilekati sanksi dalam rangka menjamin pemenuhannya.


Sanksi ini dipaksakan dan dilaksanakan keberlakuannya oleh aparat
negara. Norma hukum juga dibagi menjadi norma hukum tunggal, dan
norma hukum berpasangan. Norma hukum tunggal adalah norma yang
berdiri sendiri dan tidak diikuti oleh suatu norma hukum lainnya,
sedangkan norma hukum berpasangan adalah norma yang terdiri dari dua
norma hukum, yaitu norma hukum primer dan norma hukum sekunder.
Norma hukum primer adalah norma hukum yang berisi suruhan,
sedangkan norma hukum sekunder adalah norma hukum yang berisi
sanksi untuk memastikan supaya norma hukum primer dipenuhi.
Terdapat beberapa hal yang membedakan teori jenjang norma
menurut Hans Kelsen dan Hans Nawiasky meliputi:
1. Teori Hans Kelsen berlaku untuk segala jenis norma, sedangkan
Hans Nawiasky lebih berfokus pada norma hukum negara.
2. Norma tertingggi menurut Hans Kelsen adalah grundnorm yang
tidak akan pernah bisa berubah, sedangkan norma tertinggi
menurut Hans Nawiasky adalah Staatsfundamentalnorm yang
dapat berubah sesuai dengan kondisi dan situasi dari negara yang
bersangkutan.
3. Hans Kelsen hanya membagi norma dalam jenjang-jenjang saja,
sedangkan Hans Nawiasky juga melakukan terhadap norma
tersebut, tidak hanya membaginya dalam jenjang.
Selain itu, ada pula topik bahasan mengenai perancangan
perundang-undangan. Bidang bahasan ini lebih mengarah pada praktik
pembentukan peraturan perundang-undangan atau yang kerap disebut
dengan legislative drafting. Legislative drafting menurut Jazim Hamidi,
adalah sebuah ilmu pengetahuan yang merupakan aturan-aturan tertentu
yang dapat diletakkan sebagai aplikasi umum terhadap semua tindakan-
tindakan/langkah-langkah yang muncul dalam ”Perencanaan Undang-
Undang” (drafting) dan juga sebagai satu perangkat (set) aturan tertentu
yang selalu diobservasi oleh semua pembuat undang-undang untuk
tujuan dari pemakai metode yang terjamin aman dalam draft mereka.
16

Langkah-langkah pembentukan perundang-undangan menurut


Jazim Hamidi dalam makalahnya dijelaskan, susunan pembentukan
peraturan perundang-undangan terdiri dari:
1. Pengkajian (Interdisipliner)
a. Sudah mendesak untuk diatur undang-undang.
b. Kemungkinan-kemungkinan masalah yang akan timbul di
bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
2. Melakukan Penelitian
a. Penelitian hukum/hasil penelitian.
b. Hukum nasional/hukum negara lain yang mengatur materi yang
bersangkutan.
c. Penyusunan naskah akademik.
d. Penyusunan rancangan undang-undang.
e. Penyusunan peraturan pemerintah dan seterusnya.
Dalam praktiknya, penyusunan peraturan Perundang-undangan
harus memperhatikan beberapa aspek meliputi:
1. Aspek materiil/substansial, berkenaan dengan masalah pengolahan
isi dari suatu peraturan perundang-undangan.
2. Aspek formal/prosedural, berhubungan dengan kegiatan
pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlangsung
dalam suatu negara tertentu.
3. Struktur Kaidah Hukum.
Aturan hukum sebagai pedoman perilaku yang dibuat oleh para
pengemban kewenangan hukum memiliki struktur dasar yang terdiri atas
unsur-unsur sebagai berikut:
1. subjek kaidah: menunjuk pada subjek hukum yang termasuk ke
dalam sasaran penerapan sebuah pengaturan.
2. objek kaidah: menunjuk pada peristiwa-peristiwa atau perilaku apa
saja yang hendak diatur dalam aturan hukum tersebut.
3. operator kaidah: menunjuk pada cara bagaimana objek kaidah
diatur, misalnya menetapkan keharusan atau larangan atas perilaku
17

tertentu, memberikan suatu hak atau membebankan kewajiban


tertentu.
4. kondisi kaidah: menunjuk pada kondisi atau keadaan apa yang
harus dipenuhi agar suatu aturan hukum dapat dilaksanakan
sebagaimana mestinya.
2.2.2 Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Pembentukan Peraturan Daerah yang baik harus berdasarkan pada
asas pembentukan peraturan perundang undangan sesuai ketentuan Pasal
5 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 yaitu sebagai berikut :15
a. Kejelasan tujuan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan
perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang
hendak dicapai.
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, yaitu setiap jenis
peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat
pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang dan
dapat dibatalkan atau batal demi hukum bila dibuat oleh
lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan, yaitu dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar
memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan
perundang-undangan.
d. Dapat dilaksanakan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan
perundang-undangan harus memperhatikan efektifitas peraturan
perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara
filosofis, yuridis maupun sosiologis.
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan, yaitu setiap peraturan
perundang-undangan dibuat karena memang benarbenar
dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan
bermasayarakat, berbangsa dan bernegara.
f. Kejelasan rumusan, yaitu setiap peraturan perundang-undangan
harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan, sistematika dan

15
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan.
18

pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan


mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam
interpretasi dalam pelaksanaannya.
g. Keterbukaan, yaitu dalam proses pembentukan Peraturan
Perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan,
penyusunan dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka.
Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai
kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam
proses pembuatan Peraturan Perundang-undangan.
2.2.3 Asas Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus
tercantum asas materi muatan Peraturan Perundang-undangan, seperti
yang telah disebutkan dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
yaitu:16
a. Asas pengayoman adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan
Perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan
dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.
b. Asas kemanusiaan adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan
penghormatan hak-hak asasi manusia, serta harkat dan martabat
setiap warga dan penduduk Indonesia secara proporsional.
c. Asas kebangsaan adalah bahwa setiap muatan Peraturan Perundang-
undangan harus mencerminkan sifat dan watak
bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
d. Asas kekeluargaan adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk
mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
e. Asas kenusantaraan adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan
Perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan

16
Ibid, Pasal 6.
19

seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Peraturan Perundang-


undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem
hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
f. Asas “bhinneka tunggal ika” adalah bahwa setiap materi muatan
Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman
penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta
budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
g. Asas keadilan adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara
proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.
h. Asas kesamaan dalam hukum dan pemerintahan adalah bahwa setiap
materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh memuat
hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang,
antara lain agama, suku, ras, golongan, gender atau status sosial.
i. Asas ketertiban dan kepastian hukum adalah bahwa setiap materi
muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat mewujudkan
ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian
hukum.
j. Asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan adalah bahwa setiap
materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan
keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara kepentingan
individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.

2.3 Peraturan Gubernur


Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Negara Republik
Indonesia (dengan penyesuaian penyebutan berdasarkan Undang-undang
No.12 Tahun 2011) adalah sebagai berikut:
a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
20

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan


g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah otonom. Berikut adalah tugas Gubernur atau
Kepala Daerah:17
a. memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Daerah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan
kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD;
b. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat;
c. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang RPJPD dan
rancangan Perda tentang RPJMD kepada DPRD untuk dibahas bersama
DPRD, serta menyusun dan menetapkan RKPD;
d. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD, rancangan
Perda tentang perubahan APBD, dan rancangan Perda tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD untuk dibahas
bersama;
e. mewakili Daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat
menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan; dan
f. dihapus.
g. melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Peraturan Gubernur adalah peraturan perundang-undangan yang bersifat
pengaturan yang ditetapkan oleh Gubernur untuk menjalankan perintah
peraturan perundang-undagan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan
kewenangan pemerintah daerah. Materi muatan Peraturan Gubernur berisi
materi yang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi atau materi untuk melaksanakan kewenangan penyelenggaraan

17
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
21

pemerintahan daerah.18 Pada pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun


2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan
bahwa Peraturan Gubernur diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Pasal 246 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
menyebutkan Peraturan Gubernur dibentuk untuk melaksanakan Peraturan
Daerah atau atas kuasa peraturan perundang-undangan.19
Peraturan Gubernur yang disusun berdasarkan perintah peraturan
perundang-undangan lebih tinggi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 merupakan delegasi kewenangan yang diberikan oleh
peraturan perundang-undangan lebih tinggi kepada Peraturan Gubernur, baik
itu perintah peraturan daerah maupun peraturan menteri/pemimpin lembaga
pemerintahan nonkementerian, peraturan presiden, peraturan pemerintah
dan/atau undang-undang. Delegasi kewenangan tersebut dirumuskan secara
langsung dan jelas dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lebih tinggi
dengan kalimat “ketentuan lebih lanjut mengenai (materi muatan) diatur
dengan/dalam peraturan gubernur atau peraturan kepala daerah”.20
Peraturan Gubernur yang dibentuk untuk melaksanakan Peraturan
Daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
merupakan delegasi kewenangan yang diberikan oleh Peraturan Daerah untuk
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur. Sedangkan atas kuasa peraturan
perundang-undangan merupakan kuasa yang diberikan oleh peraturan
perundang-undangan lebih tinggi dari Peraturan Daerah yang memberikan
delegasi kewenangan untuk mengatur suatu urusan tertentu dengan peraturan
gubernur secara langsung. Secara yuridis pembentukan Peraturan Gubernur
berbeda dengan pembentukan peraturan daerah, jika Peraturan Gubernur
menekankan pada delegasi kewenangan dari peraturan perundang-undangan

18
Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 112 Tahun 2012 tentang Tata Cara
Pembentukan Produk Hukum Daerah.
19
Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Provinsi Kepulauan Bangka Belitung,
http://jdih.babelprov.go.id/content/dasar-pembentukan-peraturan-gubernur, diakses pada tanggal
15 Mei 2019 pukul 19.32 WIB.
20
Ibid
22

yang lebih tinggi atau berdasarkan kewenangan, Peraturan Daerah berdasarkan


Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dapat mengatur materi
muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan
serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan demikian setiap
rancangan peraturan gubernur yang akan disusun sebelum ditetapkan oleh
gubernur agar diupayakan memenuhi unsur perintah peraturan perundang-
undangan lebih tinggi atau berdasarkan kewenangan, karena apabila salah satu
dari kedua unsur tersebut tidak terpenuhi berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 konsekuensi yuridisnya
pembentukan Peraturan Gubernur tersebut tidak diakui keberadaannya dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.21

2.4 Kewenangan Pemerintah Daerah Untuk Membuat Peraturan Gubernur


Tentang Rumah Aman Bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak
Kekerasan
Pemerintah daerah mempunyai wewenang untuk membuat Peraturan
Gubernur tentang Rumah Aman Bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak
Kekerasan yang mana turunan atau perintah dari Peraturan Daerah Nomor 8
Tahun 2011 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak. Keterangan yang
memperkuat bahwa pemerintah daerah mempunyai wewenang untuk membuat
rumah aman terdapat pada pasal 14 Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perlindungan Perempuan dan Anak “Pemerintah Daerah dan
masyarakat atau lembaga pelayanan sosial dapat membentuk rumah pemulihan
atau rumah aman”.
Kewajiban dan tanggung jawab dalam memberikan perlindungan
terhadap perempuan dan anak dari tindak kekerasan merupakan tanggung
jawab bersama:22
a. Pemerintah Daerah;
b. Masyarakat;

21
Ibid
22
Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban
Tindak Kekerasan.
23

c. Keluarga; dan
d. Orangtua.
Kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah Daerah sebagaimana
dimaksud, meliputi:23
a. melaksanakan kebijakan perlindungan perempuan dan anak dari tindak
kekerasan yag ditetapkan oleh pemerintah;
b. menetapkan kebijakan, program, dan kegiatan perlindungan perempuan
dan anak dari tindak kekerasan;
c. melakukan kerja sama dalam penyelenggaraan perlindungan perempuan
dan anak dari tindak kekerasan;
d. memberikan dukungan sarana dan prasarana pelaksanaan perlindungan
perempuan dan anak dari tindak kekerasan;
e. mengalokasikan anggaran penyelenggaraan perlindungan perempuan dan
anak dari tindak kekerasan sesuai kemampuan keuangan daerah; dan
f. membina dan mengawasi penyelenggaraan perlindungan perempuan dan
anak dari tindak kekerasan.
Untuk mencegah terjadi tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak,
pemerintah daerah melakukan pemberdayaan dan penyadaran kepada keluarga,
orangtua, dan masyarakat dengan memberikan informasi, bimbingan dan/atau
penyuluhan. Selain pemberdayaa dan penyadaran, Pemerintah Daerah
melakukan upaya sebagai berikut:24
a. peningkatan jumlah dan mutu pendidikan baik formal maupun non formal
dan informasi;
b. pembukaan aksebilitas untuk memperoleh pendidikan pelatihan,
pendanaan, peningkatan, peningkatan pendapatan dan pelayanan sosial;
c. pembukaan lapangan kerja bagi perempuan;
d. membangun partisipasi dan kepedulian masyarakat terhadap pencegahan
perlindungan perempuan dan anak dari tindak kekerasan;
e. membangun dan menyediakan sistem informasi yang lengkap dan mudah
di akses;

23
Ibid, Pasal 7
24
Ibid, Pasal 10
24

f. membangun jejaring dan kerja sama dengan aparatur penegak hukum,


aparatur pemerintah, perguruan tinggi dan berbagai lembaga swadaya
masyarakat yang bergerak dan/atau peduli terhadap perempuan dan anak;
dan
g. membuka pos pengaduan perlindungan perempuan dan anak dari tindak
kekerasan.
Dalam rangka pelayanan perlindungan kepada perempuan dan anak dari
tindak kekerasan, pemerintah daerah membentuk Pusat Pelayanan Terpadu
Pemberdayaan Perempuan dan Anak yang disingkat (P2TP2A) sebagai pusat
pelayanan terpadu dalam perlindungan perempuan dan anak dari tindak
kekerasan termasuk korban tindak kekerasan. P2TP2A berfungsi sebagai pusat
pelayanan terpadu dalam memberikan perlindungan kepada perempuan dan
anak dari tindak kekerasan.25 Selain membentuk P2TP2A, guna menunjang
telaksananya penyelenggaraan perlindungan kepada perempuan dan anak dari
tindak kekerasan, Gubernur membentuk:
a. gugus tindak perdagangan orang;
b. komite aksi daerah penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan teburuk untuk
anak.

2.5 Hak Asasi Manusia


Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.26 Setiap negara
bertanggungjawab terhadap hak asasi tiap warga negaranya. Sebagaimana
dalam Pasal 71 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia. Pemerintah harus senantiasa menjamin eksistensi
hak-hak dasar setiap warga negaranya. Tidak boleh membiarkan begitu saja
dan lepas tanggungjawab terhadap hak asasi tiap warga negaranya. Sebisa
mungkin untuk memenuhinya karena sudah tercantum dalam konstitusi.

25
Ibid, Pasal 16
26
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
25

Pembiaran terhadap hak asasi warga negara dapat dikatakan sebagai


pelanggaran HAM.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
telah mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung
jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk
memberikan perlindungan terhadap anak. Orang tua, keluarga dan masyarakat
bertanggungjawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai
dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Demikian juga dalam rangka
penyelenggaraan perlindungan anak, negara dan pemerintah bertanggungjawab
menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin
pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah.27

2.6 Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban


Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), adalah lembaga yang
bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain
kepada Saksi dan/atau Korban.28 LPSK merupakan lembaga yang mandiri,
LPSK bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan
bantuan pada Saksi dan Korban berdasarkan tugas dan kewenangan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006. Undang-
undang LPSK menyatakan bahwa LPSK adalah lembaga yang mandiri. Apa
yang dimaksud mandiri dalam undang-undang ini, lebih tepatnya adalah
sebuah lembaga yang yang independen (biasanya disebut sebagai komisi
independen), yakni organ negara (state organ) yang diidealkan independen dan
karenanya berada di luar cabang kekuasaan baik eksekutif, legislatif maupun
judikatif, namun memiliki fungsi campuran antara tiga cabang kekuasaan
tersebut.29 Dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan
bahwa LPSK bertanggung jawab kepada Presiden. Disebutkan pula bahwa
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban adalah lembaga yang bertugas dan

27
Muhammad Bastoni, “Hak asasi manusia terhadap anak”,
http://eprints.ums.ac.id/13241/2/BAB_1.pdf, di akses pada tanggal 18 Maret 2019 pukul 08.00
WIB.
28
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
29
Prof.DR.Muhadar .SH. M.Si, Edi Abdullah, SH, M.H, Husni Thamrin, S.H, M.M, M.H.
’’Perlindungan Saksi Dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana”, ITS Press, Surabaya, 2009
hlm. 206.
26

berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi


dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Ruang lingkup perlindungan ini
adalah pada semua tahap proses peradilan pidana. Tujuan perlindungan ini
adalah untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban dalam
memberikan keterangan dalam proses peradilan pidana.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 dalam ketentuan umumnya
telah menyatakan bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, adalah
lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan hak-
hak lain kepada Saksi dan/atau Korban. Namun Undang-undang LPSK tidak
merinci tugas dan wewenang tersebut lebih lanjut, perumus Undang-undang
menjabarkan tugas dan wewewnang LPSK dalam suatu bagian atau bab
tersendiri dalam tugas dan kewenangan yang tersebar dalam Undang-Undang
Nomor13 Tahun 2006, yaitu:
a. Menerima permohan Saksi dan /atau Korban untuk Perlindungan
(pasal29).
b. Memberikan keputusan pemberian perlindungan Saksi dan/atau korban
(pasal29).
c. Memberikan perlindungan kepada saksi dan /atau Korban (Pasal 1).
d. Menghentikan progam perlindungan Saksi dan/ Korban (pasal 32).
e. Mengajukan ke pengadilan (berdasarkan keinginan korban) berupa hak
atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasai manusia yang berat
dan hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab
pelaku tindak pidana (pasal 7).
f. Menerima permintaan tertulis dari Korban ataupun orang yang mewakili
korban untuk bantuan (pasal 33 dan 34).
g. Menentukan diperlukan diberikannya bantuan kepada Saksi dan /atau
Korban (Pasal 34).
h. Bekerja sama dengan instansi terkait yang berwenang dalam
melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan (pasal 39).
LPSK bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan
bantuan kepada saksi dan korban berdasarkan tugas dan kewenangan
27

sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang


Perlindungan Saksi dan Korban.30 Untuk melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud di atas, LPSK melaksanakan:
a. merumuskan kebijakan di bidang Perlindungan Saksi dan Korban;
b. melaksanakan perlindungan terhadap Saksi dan Korban;
c. melaksanakan pemberian kompensasi, restitusi, dan bantuan kepada Saksi
dan atau Korban;
d. melaksanakan diseminasi dan hubungan masyarakat;
e. melaksanakan kerjasama dengan instansi dan pendidikan pelatihan;
f. melaksanakan pengawasan, pelaporan, penelitian dan pengembangan; dan
g. melaksanakan tugas lain berkaitan dengan pelindungan Saksi dan Korban.
Perlindungan terhadap saksi dan korban diberikan berdasarkan beberapa
asas seperti yang tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2006 tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yaitu: penghargaan atas
harkat dan martabat, rasa aman, keadilan, tidak diskriminatif, dan kepastian
hukum. Sebelum saksi dan korban bisa mendapatkan perlindungan hukum dari
LPSK, mereka harus melewati beberapa prosedur yang telah ditetapkan oleh
LPSK disamping mereka harus memenuhi persyaratan untuk mendapat
perlindungan dari LPSK ini seperti yang telah dijelaskan dalam pasal 28 – pasal
36 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006. Proses Pemberian Perlindungan
Bagi Saksi dan/atau Korban:31
a. Permintaan diajukan secara tertulis oleh pihak yang bersangkutan, baik
atas inisiatif sendiri, diajukan oleh orang yang mewakilinya, dan atau oleh
pejabat yang berwenang kepada LPSK;
b. Pemberian perlindungan dan bantuan kepada Saksi dan/atau Korban
ditentukan dan didasarkan pada “Keputusan LPSK;
c. Dalam hal LPSK menerima permohonan tersebut, Saksi dan/atau Korban
yang bersangkutan berkewajiban menandatangani pernyataan kesediaan
mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan Saksi dan Korban;

30
Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 5 tahun 2010 tentang Tugas dan
Fungsi LPSK.
31
Permohonan Pelindungan Saksi dan Korban, http://www.lpsk.go.id/permohonan di akses pada
tanggal 15 Mei 2019, pukul 20.40 WIB.
28

d. Perlindungan LPSK diberikan kepada Saksi dan/atau Korban termasuk


keluarganya sejak ditandatanganinya pernyataan kesediaan;
e. Perlindungan bagi Saksi dan/ atau Korban diberikan sejak
ditandatanganinya perjanjian pemberian perlindungan;
f. Pembiayaan perlindungan dan bantuan yang diberikan dengan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara;
g. Perlindungan bagi Saksi dan/ atau Korban hanya dapat dihentikan
berdasarkan alasan: (a) inisiatif sendiri dari Saksi dan/ atau Korban yang
dilindungi, (b) atas permintaan pejabat yang berwenang, (c) saksi dan/ atau
korban melanggar ketentuan sebagaimana tertulis dalam perjanjian; atau
(d) LPSK berpendapat bahwa Saksi dan/ atau Korban tidak lagi
memerlukan perlindungan berdasarkan bukti-bukti yang meyakinkan; dan
h. Penghentian perlindungan bagi Saksi dan/ atau Korban harus dilakukan
secara tertulis.
Adapun beberapa persyaratan yang telah di tentukan oleh LPSK untuk
pemberian perlindungan dan bantuan terhadap saksi dan korban tercantum
dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang berbunyi:
Perjanjian perlindungan LPSK terhadap Saksi dan/atau Korban tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) diberikan dengan
mempertimbangkan syarat sebagai berikut:
a. Sifat pentingnya keterangan Saksi dan/atau Korban;
b. Tingkat ancaman yang membahayakan Saksi dan/atau Korban;
c. Basil analisis tim medis atau psikolog terhadap Saksi dan/atau Korban;
d. Rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh Saksi dan/atau Korban.

2.7 Perlindungan Perempuan dan Anak


Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
29

tangga.32 Kekerasan dalam rumah tangga dapat disebabkan oleh banyak faktor,
baik faktor internal maupun eksternal dalam lingkup rumah tangga. Faktor
internal yang dapat memicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga antara
lain, karakter pelaku kekerasan yang cenderung emosi, ketergantungan
ekonomi, pihak ketiga dalam rumah tangga, keadaan ekonomi, dan komunikasi
yang berjalan dengan tidak baik. Sementara faktor eksternal adalah budaya
yang memandang perempuan sebelah mata dan kesalahan penafsiran ajaran
agama didalam masyarakat. Faktor-faktor tersebut dapat memicu terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga yang selama ini banyak terjadi.33
Dalam Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dijelaskan bahwa
keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram, dan
damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Keutuhan dan
kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri
tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah
tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang
berada dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Banyaknya korban kekerasan dalam rumah tangga, maka sangat
diperlukan perlindungan bagi korban kekerasan adanya penegakan hukum dari
aparat penegak hukum yang baik maka kasus-kasus KDRT akan dapat
terselesaikan dengan baik pula. Berbagai upaya telah dilakukan oleh
pemerintah untuk menanggulangi masalah ini, tetapi hasilnya tidak pernah
memuaskan. Meskipun demikian, lahirnya sebuah Undang-Undang sebagai
landasan legal-formal bukanlah serta merta akan menjamin pelaksanaannya
sesuai dengan yang diharapkan atau sesuai dengan pasal-pasal yang
menjaminnya. Kesadaran ini harus sejak dini ditanamkan sehingga
implementasinya menjadi efektif.34
Masalah kejahatan khususnya tindak kekerasan terhadap perempuan
merupakan bagian dari kenyataan sosial dan bukan hal yang baru, meskipun

32
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
33
S.A. Christian, Kekerasan terhadap perempuan, http://ejournal.uajy.ac.id/166/2/1HK09663.pdf,
di akses pada tanggal 18 Maret 2019 pukul 20.00 WIB.
34
Ibid
30

tempat dan waktunya berlainan, tetapi prinsipnya dinilai sama. Persamaan


tersebut dapat diketahui dari banyak fenomena dalam masyarakat yang
menggambarkan bahwa tingkat kejahatan semakin meningkat dan hal ini juga
berpengaruh terhadap kejahatan kekerasan terhadap perempuan. Peningkatan
tindak kekerasan terhadap perempuan dari waktu ke waktu tidak dapat
dielakkan dengan berbagai bentuk perubahan sebagai pendorongnya.35
Kewajiban dan tanggung jawab negara dan pemerintah dalam usaha
perlindungan anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
Perlindungan Anak pasal 21 s/d 24 yakni:
1) Menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan
suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya, dan bahasa,
status hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan/atau
mental;
2) Memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan
perlindungan anak;
3) Menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan
memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang
secara umum bertanggung jawab terhadap anak dan mengawasi
penyelenggaraan perlindungan anak;
4) Menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan
pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak.
Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak
anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang
berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.

2.8 Hukum Pidana


Istilah pidana berasal dari bahasa hindu Jawa yang artinya Hukuman,
nestapa atau sedih hati, dalam bahasa Belanda disebut straf. Dipidana artinya
dihukum, kepidanaan artinya segala sesuatu yang bersifat tidak baik, jahat,

35
Ibid
31

pemidanaan artinya penghukuman. Jadi Hukum Pidana sebagai terjemahan


dari bahasa belanda strafrecht adalah semua aturan yang mempunyai perintah
dan larangan yang memakai sanksi (ancaman) hukuman bagi mereka yang
melanggarnya.36 Sedangkan menurut Prof. Moeljatno, S.H Hukum Pidana
adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang
mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan
yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana
tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan.
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan
tersebut.
Hukum pidana tidak lahir dengan sendirinya atau dengan kata lain
hukum pidana tidak lahir dari norma hukum itu sendiri, tetapi telah ada pada
norma lain seperti norma agama, adat dan kesusilaan. Lahirnya hukum pidana
adalah untuk menguatkan norma-norma tersebut. Hukum Pidana di Indonesia
itu sendiri secara umum dapat dibagi menjadi dua yaitu:
1. Hukum pidana materiil yaitu semua ketentuan dan peraturan yang
menunjukkan tentang tindakan-tindakan yang mana adalah merupakan
tindakan-tindakan yang dapat dihukum, siapakah orangnya yang dapat
dipertanggungjawabkan ter-hadap tindakan-tindakan tersebut dan
hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan terhadap orang tersebut,
disebut juga dengan hukum pidana yang abstrak.
2. Hukum Pidana Formil merupakan sejumlah peraturan yang mengandung
cara-cara negara mempergunakan haknya untuk mengadili serta
memberikan putusan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindakan
pidana, atau dengan kata lain adalah caranya hukum pidana yang bersifat

36
Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung, 1992, hlm. 114.
32

abstrak itu harus diberlakukan secara konkrit. Biasanya orang menyebut


jenis hukum pidana ini sebagai hukum acara pidana.37
Hukum Pidana merupakan ilmu pengetahuan hukum, oleh karena itu
peninjauan bahan-bahan mengenai Hukum Pidana terutama dilakukan dari
sudut pertanggung jawaban manusia tentang “Perbuatan yang dapat dihukum”.
Kalau seorang melanggar peraturan pidana, maka akibatnya ialah bahwa orang
itu dapat dipertanggung jawabkan tentang perbuatannya itu sehingga ia dapat
dikenakan hukuman (kecuali orang gila, dibawah umur, dsb). Tujuan Hukum
Pidana itu memberi sistem dalam bahan-bahan yang banyak dari hukum, asas-
asas dihubungkan satu sama lain sehingga dapat dimasukkan dalam satu
sistem. Penyelidikan secara demikian adalah dogmatis yuridis. Peninjauan
bahan-bahan hukum pidana terutama dilakukan dari sudut pertanggung
jawaban manusia tentang perbuatan yang dapat dihukum.38
Pada prinsipnya sesuai dengan sifat hukum pidana sebagai hukum publik
tujuan pokok diadakannya hukum pidana ialah melindungi kepentingan-
kepentingan masyarakat sebagai suatu kolektivitas dari perbuatan-perbuatan
yang mengancamnya atau bahkan merugikannya baik itu datang dari
perseorangan maupun kelompok orang (suatu organisasi). Berbagai
kepentingan bersifat kemasyarakatan tersebut antara lain ialah ketentraman,
ketenangan dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat. Salah satu
kesimpulan dari seminar kriminologi ke-3 1976 di Semarang antara lain,
hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk social
defense yaitu untuk perlindungan masyarakat.39
Namun demikian, dalam perspektif barat yang kehidupan bersamannya
lebih didasarkan pada paham-paham seperti individualisme dan liberalisme.
Konsep tentang tujuan diadakannya hukum pidana agaknya cenderung
diorientasikan untuk memberikan perlindungan terhadap berbagai macam
kepentingan warga negara secara individu dari kesewenang-wenangan
penguasa. Konsep demikian antara lain dapat ditelusuri melalui berbagai

37
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 2.
38
CST. Kansil, Pengantar ilmu hukum dan Tata hukum Indonesia, Ctk.9, Balai Pustaka, Jakarta,
1993, hlm. 250.
39
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, Ctk. I, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2005, hlm. 52.
33

pemikiran barat khususnya yang terkait dengan gagasan tentang asas legalitas.
Sementara itu, ada pula pemikiran yang menggabungkan secara sekaligus dua
tujuan diadakannya hukum pidana yang telah disebutkan diatas. Sehingga
konsepnya menjadi bahwa hukum pidana diadakan tujuannya adalah
disamping untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang bersifat
kemasyarakatan, sekaligus (secara implisit) juga melindungi kepentingan-
kepentingan yang bersifat perseorangan.40
2.8.1 Fungsi Hukum Pidana
Fungsi Hukum Pidan dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Fungsi umum Hukum Pidana adalah untuk mengatur
hidup kemasyarakatan atau menyelenggarakan tata dalam masyarakat
yang berisi ketentuan hukum pidana yang berlaku untuk seluruh
lapangan hukum pidana, baik yang terdapat dalam KUHP maupun
diluar KUHP, kecuali ditentukan lain. Bagian umum ini, dalam KUHP
dimuat dalam buku I KUHP (Aturan Umum), pasal 1-103. Mengatur
tentang ketentuan tentang batas berlakunya KUHP, pidana, hal yang
menghapuskan, mengurangkan atau memberatkan pidana, percobaan,
penyertaan, perbarengan daluarsa dsb. Pasal 103 merupakan aturan
penutup yang mengatur tentang dapat dibuatnya Undang-Undang
pidana lainnya diluar KUHP.
2. Fungsi Khusus salah satu contohnya adalah melindungi kepentingan
hukum dari perbuatan yang hendak memperkosanya dengan sanksi
pidana yang sifatnya lebih tajam bila dibandingkan dengan sanksi
pidana yang terdapat pada cabang hukum yang lain. Kepentingan
hukum yang wajib dilindungi itu ada tiga macam yaitu :
a. Kepentingan hukum perorangan (individuale belangen) misalnya
kepentingan hukum terhadap hak hidup (nyawa), kepentingan
hukum atas tubuh, kepentingan hukum akan hak milik benda,
kepentingan hukum terhadap harga diri dan nama baik,
kepentingan hukum terhadap rasa susila, dsb.

40
Ibid
34

b. Kepentingan hukum masyarakat (sociale of maatschapppelijke


belangen), misalnya kepentingan hukum terhadap keamanan dan
ketertiban umum, ketertiban berlalu lintas di jalan raya, dsb.
c. Kepentingan hukum negara (staatsbelangen), misalnya
kepentingan hukum terhadap keamanan dan keselamatan negara,
kepentingan hukum terhadap negara-negara sahabat, kepentingan
hukum terhadap martabat kepala negara dan wakilnya, dsb.
Berisi perbuatan yang dapat dipidana dan ancaman pidananya.
Diatur dalam buku II (kejahatan) dan buku III (Pelanggaran) KUHP.
Perbedaannya terletak pada berat ringannya pidana yang diancamkan
kejahatan lebih berat daripada pelanggaran. Ancaman pidana terberat
hanya diancamkan dengan kurungan paling lama 1 tahun. Sanksi hukum
pidana mempunyai pengaruh preventif (pencegahan) terhadap timbulnya
pelanggaran-pelanggaran norma hukum (Theorie des psychischen
Zwanges / ajaran Paksaan Psikis).
2.8.2 Sumber Hukum Pidana
Selain daripada itu dijelaskan pula sumber hukum yang merupakan
asal atau tempat untuk mencari dan menemukan hukum. Tempat untuk
menemukan hukum, disebut dengan sumber hukum dalam arti formil.
Menurut Sudarto sumber hukum pidana Indonesia adalah sebagai
berikut:41
1) Sumber utama hukum pidana Indonesia adalah hukum yang tertulis
induk peraturan hukum pidana positif adalah KUHP, yang nama
aslinya adalah Wetboek van Strafrecht voor nederlandsch indie
(W.v.S), sebuah Titah Raja (Koninklijk Besluit) tanggal 15 Oktober
1915 No. 33 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918. KUHP.
ini merupakan copie (turunan) dari Wetboek van Strafrecht Negeri
Belanda, yang selesai dibuat tahun 1881 dan mulai berlaku pada
tahun 1886 tidak seratus persen sama, melainkan diadakan
penyimpangan-penyimpangan menurut kebutuhan dan keadaan
tanah jajahan Hindia Belanda dulu, akan tetapi asas-asas dan dasar

41
Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, 1990, Hlm. 15-19.
35

filsafatnya tetap sama. KUHP yang sekarang berlaku di Indonesia


setelah Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17-8-1945 mendapat
perubahan-perubahan yang penting berdasarkan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1942 (Undang-undang Pemerintah Republik
Indonesia, Yogyakarta), Pasal 1 berbunyi: “Dengan menyimpang
seperlunya dari Peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal 10
Oktober 1945 Nomor 2 menetapkan, bahwa peraturan hukum pidana
yang sekarang berlaku ialah peraturan-peraturan hukum pidana yang
ada pada tanggal 8 Maret 1942”. Ini berarti bahwa teks resmi (yang
sah) untuk KUHP kita adalah Bahasa Belanda. Sementara itu
Pemerintah Hindia Belanda yang pada tahun 1945 kembali lagi ke
Indonesia, setelah mengungsi selama zaman pendudukan Jepang
(1942-1945) juga mengadakan perubahan-perubahan terhadap
(KUHP), misalnya dengan Staat-blad 1945 Nomor 135 tentang
ketentuan-ketentuan sementara yang luar biasa mengenai hukum
pidana Pasal 570. Sudah tentu perubahan-perubahan yang dilakukan
oleh kedua pemerintahan yang saling bermusuhan itu tidak sama,
sehingga hal ini seolah-olah atau pada hakekatnya telah
menimbulkan dua buah KUHP yang masing-masing mempunyai
ruang berlakunya sendiri-sendiri. Jadi boleh dikatakan ada dualisme
dalam KUHP (peraturan hukum pidana). Guna melenyapkan
keadaan yang ganjil ini, maka dikeluarkan Undang-Undang Nomor
73 Tahun 1958 yang antara lain menyatakan bahwa Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 itu berlaku untuk seluruh
wilayah Indonesia. Dengan demikian perubahan-perubahan yang
diadakan oleh Pemerintah Belanda sesudah tanggal 8 Maret 1942
dianggap tidak ada.
2) Hukum pidana adat di daerah-daerah tertentu dan untuk orang-orang
tertentu hukum pidana yang tidak tertulis juga dapat menjadi sumber
hukum pidana. Hukum adat yang masih hidup sebagai delik adat
masih dimungkinkan menjadi salah satu sumber hukum pidana, hal
ini didasarkan kepada Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951
36

Pasal 5 ayat 3 sub b. Dengan masih berlakunya hukum pidana adat


(meskipun untuk orang dan daerah tertentu saja) maka sebenarnya
dalam hukum pidana pun masih ada dualisme. Namun harus disadari
bahwa hukum pidana tertulis tetap mempunyai peranan yang utama
sebagai sumber hukum. Hal ini sesuai dengan asas legalitas yang
tercantum dalam Pasal 1 KUHP.
3) Memorie van Toelichting (Memori Penjelasan) adalah penjelasan
atas rencana undang-undang pidana, yang diserahkan oleh Menteri
Kehakiman Belanda bersama dengan Rencana Undang-undang itu
kepada Parlemen Belanda. Rancangan Undang-Undang ini pada
tahun 1881 disahkan menjadi Undang-Undang dan pada tanggal 1
September 1886 mulai berlaku.
2.8.3 Asas-asas Hukum Pidana
Teori tetang ruang lingkup berlakunya hukum pidana nasional menurut
tempat terjadinya. Perbuatan (yurisdiksi hukum pidana nasional), apabila
ditinjau dari sudut negara ada 2 (dua) pendapat yaitu: 42

a. Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan


pidana yang terjadi diwilayah negara, baik dilakuakan oleh warga
negaranya sendiri maupun oleh orang lain (asas territorial).
b. Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan
pidana yang dilakukan oleh warga negara, dimana saja, juga
apabila perbuatan pidana itu dilakukan diluar wilayah negara.
Pandangan ini disebut menganut asas personal atau prinsip nasional
aktif.
Pada bagian ini, akan melihat kepada berlakunya hukum pidana
menurut ruang tempat dan berkaitan pula dengan orang atau subyek.
Dalam hal ini asas-asas hukum pidana menurut tempat:43

42
Modul Azas-Azas Hukum Pidana, https://www.academia.edu/29658231/Asas-
asas_Hukum_Pidana_EBook_ , diakses pada tanggal 16 Mei 2019 pukul 11.00 WIB.
43
Ibid
37

I. Asas Teritorial
Asas ini diatur juga dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) yaitu dalam pasal 2 KUHP yang menyatakan: “Ketentuan
pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi
setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana di Indonesia”.
II. Asas Pesonal
Asas Personal atau Asas Nasional yang aktif tidak mungkin
digunakan sepenuhnya terhadap warga negara yang sedang berada
dalam wilayah negara lain yang kedudukannya sama-sama
berdaulat. Apabila ada warga negara asing yang berada dalam
suatu wilayah negara telah melakukan tindak pidana dan tindak
pidana dan tidak diadili menurut hukum negara tersebut maka
berarti bertentangan dengan kedaulatan negara tersebut. Pasal 5
KUHP hukum Pidana Indonesia berlaku bagi Warga Negara
Indonesa di luar Indonesia yang melakukan perbuatan pidana
tertentu kejahatan terhadap keamanan negara, martabat kepala
negara, penghasutan, dll.
III. Asas Perlindungan
Sekalipun asas personal tidak lagi digunakan sepenuhnya tetapi ada
asas lain yang memungkinkan diberlakukannya hukum pidana
Nasional terhadap perbuatan pidana yang terjadi di luar wilayah
negara Pasal 4 KUHP (seteleh diubah dan ditambah berdasarkan
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1976) “Ketentuan pidana dalam
perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang
melakukan di luar Indonesia”. Dalam pasal 4 KUHP ini terkandung
asas melindungi kepentingan yaitu melindungi kepentingan
Nasional dan melindungi kepentingan Internasional (universal).
Pasal ini menentukan berlakunya hukum pidana Nasional bagi
setiap orang (baik warga Negara Indonesia maupun warga negara
asing) yang di luar Indonesia melakukan kejahatan.
38

IV. Asas Universal


Berlakunya pasal 2-5 dan 8 KUHP dibatasi oleh pengecualian-
pengecualian dalam hukum internasional. Bahwa asas melindungi
kepentingan internasional (asas universal) adalah dilandasi
pemikiran bahwa setiap Negara di dunia wajib turut melaksanakan
tata hukum sedunia (hukum internasional).
39

BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Proses Pembentukan Peraturan Gubernur Nomor 48 Tahun 2018 Tentang
Rumah Aman Bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan di
Provinsi DKI Jakarta
Salah satu tiang utama dalam penyelenggaraan pemerintahan suatu
negara adalah pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik,
harmonis, dan mudah diterapkan dalam masyarakat. Sebagai suatu wacana
untuk melaksanakan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik
deperlukan adanya suatu peraturan yang dapat dijadikan pedoman dan acuan
bagi para pihak yang berhubungan dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
Peraturan yang memberikan pedoman tentang pembentukan peraturan
perundang-undangan tersebut selama ini selalu ditunggu dan diharapkan dapat
memberikan suatu arahan dan panduan, sehingga proses pembentukan
peraturan perundang-undangan yang meliputi tahap perencanaan, persiapan,
perumusan, pembahasan, pengesahan atau penetapan dan pengundangannya
menjadi lebih jelas.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membentuk suatu Peraturan Gubernur
tentang Rumah Aman Bagi Perempuan dan Anak Koraban Tindak Kekerasan
tidak tanpa alasan. Hal ini melihat kondisi masyarakat khusususnya perempuan
dan anak di Jakarta yang tidak sedikit telah menjadi korban tindak kekerasan.
Peratuan Gubernur ini dibuat karena hubungan vertikal peraturan perundang-
undangan yaitu Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perlindungan
Perempuan Dan Anak Korban Tindak Kekerasan yang didalam pasalnya
mengharus kan membuat rumah aman bagi perempuan dan anak korban tindak
kekerasan.
Melihat kondisi masyarakat Jakarta tersebut, maka Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta perlu untuk membentuk Peraturan Gubernur tentang Rumah Aman
Bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan karena sampai saat ini
masih belum ada Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta yang mengatur hal
tersebut. Seperti yang dikatakan oleh salah satu tim dari Dinas Sosial bahwa:
40

“Provinsi DKI Jakarta belum memiliki Peraturan Gubernur tentang


Rumah Aman Bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan,
padahal peraturan ini penting untuk melindungi korban dari sang
pengancam. Seperti perintah dari Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun
2011 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak yang di dalam pasal
14 berbunyi Pemerintah Daerah dan masyarakat atau lembaga
pelayanan sosial dapat membentuk rumah pemulihan atau rumah
aman.”44
Prosedur pembentukan Peraturan Gubernur telah tercantum pada
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan
Produk Hukum Daerah dan juga Peraturan Gubernur Nomor 112 Tahun 2012
tentang tata cara pebentukan produk hukum daerah. Disini mengapa ada dua
peraturan yang digunakan untuk membuat peraturan gubernur, seperti yang di
katakana oleh staff Bagian Hukum peraturan perundang-undangan:
“Jadi pergub nomor 112 tahun 2012 tentang Tata Cara Pembentukan
Produk Hukum Daerah ini masih berlaku sepanjang tidak betentangan
dengan permendagri nomor 80 tahun 2015 tentang Pembentukan
Produk Hukum Daerah, sebenarnya kita juga sedang dalam proses
pembuatan peraturan gubernur yang baru dalam penyusunan peraturan
perundang-undangan.”

44
Hasil wawancara dengan staff Biro Hukum Sekretariat Daerah provinsi DKI Jakarta pada saat
melaksanakan observasi di Kantor Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi DKI Jakarta.
41

Gambar 3.1. Bentuk Rancangan Peraturan Gubernur

Gambar 3.2. Bentuk Rancangan Peraturan Gubernur


42

Pembentukan produk hukum daerah adalah proses pembuatan peraturan


perundang-undangan daerah yang dimulai dari tahap perencanaan,
penyusunan, pengesahan, pengundangan, penyebarluasan dan
pendokumentasian.45 Sehingga tahapan yang harus dilakukan dalam
pembentukan Peraturan Gubernur tentang Rumah Aman Bagi Perempuan dan
Anak Korban Tindak Kekerasan, adalah:
1. Perencanaan Rancangan Peraturan Gubernur;
2. Penyusunan Rancangan Peraturan Gubernur;
3. Pembahasan Rancangan Peraturan Gubernur;
4. Pengundangan dan Penomoran Rancangan Peraturan Gubernur;
5. Autentifikasi dan Penyebarluasan Peraturan Gubernur; dan
6. Pendokumentasian Peraturan Gubernur;
3.1.1 Perencanaan Rancangan Peraturan Gubernur tentang Rumah
Aman Bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan
Produk hukum daerah adalah produk hukum berbentuk peraturan
meliputi perda atau nama lainnya, perkada, PB KDH, peraturan DPRD
dan berbentuk keputusan meliputi keputusan kepala daerah, keputusan
DPRD, keputusan pimpinan DPRD dan keputusan badan kehormatan
DPRD.46 Perencanaan penyusunan Peraturan Kepala Daerah dan
peraturan DPRD merupakan kewenangan dan disesuaikan dengan
kebutuhan lembaga, komisi atau instansi masing-masing.47 Mengenai
tahapan penyusunan Program Pembentukan Peraturan Gubernur telah
dipaparkan pada Pasal 12 Peraturan Gubernur Provisi DKI Jakarta
Nomor 112 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pembentukan Produk Hukum
Daerah dengan tahap awal yaitu Kepala SKPD dan/atau UKPD
pemrakarsa membuat rencana penyusunan rancangan Peraturan
Gubernur yang di delegasikan oleh peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi atau untuk melaksanakan penyelenggaraan kewenangan

45
Peraturan Gubernur Nomor 112 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pembentukan Produk Hukum
Daerah.
46
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum
Daerah.
47
Ibid, Pasal 19 ayat (1).
43

pemerintah daerah. Peraturan perundang-undangan lebih tinggi


sebagaimana dimaksud diatas, meliputi:
a. Undang-undang/ Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang
(Perpu);
b. Peraturan Pemerintah;
c. Peraturan Presiden;
d. Keputusan Presiden;
e. Peraturan Menteri/lembaga non kementerian;
f. Keputusan Menteri/lembaga non kementerian; dan/atau
g. Peraturan Daerah.
Dalam konteks pembentukan Peraturan Gubernur Provinsi DKI
Jakarta tentang Rumah Aman Bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak
Kekerasan untuk tahap perancangaan penyusunan yang telah dilakukan
oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yaitu menyesuaikan dengan alur
yang terdapat pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun
2015 dan Peraturan Gubenur Nomor 112 Tahun 2012 tentang Tata Cara
Pembentukan Produk Hukum Daerah. Diawali dengan Kepala SKPD
dan/atau UKPD Pemrakarsa yaitu Dinas Sosial membuat rencana
penyusunan rancangan Peraturan Gubernur yang di delegasikan oleh
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Rencana penyusunan
rancangan Peraturan Gubernur, dikoordinasikan oleh masing-masing
Kepala Biro Sekretariat Daerah sesuai bidang tugas dan fungsinya yaitu
Dinas Sosial, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,
Biro kesejahteraan sosial, Biro Hukum, dan Badan Perencanaa
Pembangunan Daerah. Tahapan di atas adalah penjelasan dari
perencanaan penyusunan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta
tentang Rumah Aman Bagi Perempuan dan Anak Korban tindak
Kekerasan yang telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
3.1.2 Penyusunan Rancangan Peraturan Gubernur tentang Rumah Aman
Bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan
Untuk melaksanakan Peraturan Daerah atau atas kuasa peraturan
perundang-undangan, kepala daerah menetapkan peraturan kepala
44

daerah dan/atau Peraturan Bersama Kepala Daerah.48 Penyusunan


produk hukum daerah berbentuk peraturan berupa Peraturan Gubernur
dilakukan berdasarkan pada pasal 19 sampai pasal 21 Peraturan Gubenur
Nomor 112 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pembentukan Produk Hukum
Daerah. Pada tahap penyusunan Rancangan Peraturan Gubernur Provinsi
DKI Jakarta tentang Rumah Aman Bagi Perempuan dan Anak Korban
Tindak Kekerasan yang menjadi perangkat daerah pemrakarsa yaitu dari
Dinas Sosial. Tahap awal penyusunan Rancangan Peraturan Gubernur
adalah Kepala SKPD/UKPD pemrakarsa dapat membentuk tim
penyusun rancangan Peraturan Gubernur yang berasal dari unsur SKPD
dan/atau UKPD terkait. Tim penyusun Rancangan Peraturan Gubernur
yang dimaksud sekurang-kurangnya terdiri dari:
a. Kepala SKPD/UKPD Pemrakarsa sebagai ketua tim;
b. Pejabat eselon III SKPD/UKPD pemrakarsa sebagai anggota;
c. Pejabat eselon III atau eselon IV SKPD dan/atau UKPD terkait
sebagai anggota;
d. Pejabat eselon III atau eselon IV Biro Hukum sebagai anggota;
e. Pejabat eselon III atau eselon IV SKPD/UKPD pemrakarsa sebagai
sekertaris tim;dan
f. Pejabat fungsional khusus yang berkompeten.
Dalam hal untuk menyukseskan rancangan Peraturan Gubernur
Provinsi DKI Jakarta tentang Rumah Aman Bagi Perempuan dan Anak
Korban Tindak Kekerasan, SKPD pemrakarsa yaitu Dinas Sosial
membentuk tim penyusun rancangan Peraturan Gubernur Provinsi DKI
Jakarta tentang Rumah Aman Bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak
Kekerasan. Keanggotaan tim penyusun Rancangan Peraturan Gubernur
Provinsi DKI Jakarta terdiri atas:
a. Kepala Dinas Sosial sebagai ketua tim;
b. Pejabat eslon III Dinas Sosial;
c. Pejabat eslon II atau eslon IV Dinas Sosial sebagai sekertaris tim;
d. Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta;

48
Ibid, Pasal 42 ayat (1).
45

e. Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak;


f. Biro kesejahteraan sosial;
g. Biro Hukum;
h. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah;
i. Perancang Peraturan Perundang-undangan;dan
j. Lembaga Perlindungan saksi dan korban.
Dalam penyusunan Rancangan Peraturan Gubernur tentang Rumah
Aman Bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan, Dinas
Sosial dapat mengikutsertakan unsur instansi vertikal dan/atau tenaga
ahli sebagai anggota tim penyusun. Pejabat atau keanggotaan tim
penyusun dalam proses penyusunan Rancangan Peraturan Gubernur
dapat mewakilkan kepada pejabat bawahannya yang berkompeten. Tim
penyusun Rancangan Peraturan Gubernur, bertugas menyusun materi
muatan Rancangan Peraturan Gubernur sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
3.1.3 Pembahasan Rancangan Peraturan Gubernur tentang Rumah
Aman Bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan
Tahap selanjutnya setelah tahap penyusunan Rancangan Peraturan
Gubernur yaitu tahap pembahasan Rancangan Peraturan Gubernur
bersama dengan Gubernur. Gubernur membentuk tim pembahasan
Rancangan Peraturan Gubernur dan/atau Rancangan Peraturan Bersama
Gubernur. Tim sebagaiman dimaksud, terdiri dari:49
a. Ketua: pimpinan perangkat daerah pemrakarsa atau pejabat yang
ditunjuk oleh pimpinan perangkat daerah pemrakarsa.
b. sekretaris: pimpinan perangkat daerah yang membidangi hukum
provinsi;dan
c. Anggota: sesuai kebutuhan.
Dalam hal ketua tim adalah pejabat lain yang ditunjuk pimpinan
perangkat daerah, pemrakarsa tetap bertanggungjawab terhadap materi
muatan rancangan peraturan gubernur dan/atau rancangan peraturan
bersama gubernur. Tim tersebut ditetapkan dengan keputusan gubernur.

49
Ibid, pasal 79.
46

Dalam pembahasan Rancangan Peraturan Gubernur tentang


Rumah Aman Bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan
mengacu pada pasal 33 sampai 36 Peraturan Gubernur Nomor 112
tentang Tata Cara Pembentukan Produk Hukum Daerah. Apabila
Rancangan Peraturan Gubernur yang telah disusun oleh tim penyusun
masih diperlukan pembahasan, kepala SKPD/UKPD pemrakarsa dapat
membentuk tim pembahasan Rancangan Peraturan Gubernur. Tim
pembahasan Peraturan Gubernur terdiri atas:
a. Kepala SKPD/UKPD;
b. Unsur biro hukum ;
c. Unsur SKPD dan/atau UKPD terkait dengan materi muatan
rancangan peraturan gubernur;
d. Pejabat eslon III atau eslon IV SKPD pemrakarsa sebagai sekertaris
tim; dan
e. Pejabat fungsional khusus yang berkompeten.
Dalam pembahasan Rancangan Peraturan Gubernur dapat
mengikutsertakan tenaga ahli dan/atau unsur instansi vertikal sebagai
anggota tim pembahas. Pejabat atau anggota tim pembahasan Rancangan
Peraturan Gubernur dalam proses pembahasan Peraturan Gubernur
tentang Rumah Aman Bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak
Kekerasan dapat mewakilkan kepada pejabat bawahannya yang
berkompeten. Tim pembahasan Rancangan Peraturan Gubernur
ditetapkan oleh kepala SKPD/UKPD pemrakarsa dengan tugas untuk
harmonisasi, pemantapan konsepsi dan sinkronisasi materi muatan, serta
bahasa dan teknis penulisan sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan. Maka disini SKPD yang mempunyai tugas pengharmonisaian
dan pemantapan konsepsi adalah Biro Hukum.
Terhadap Rancangan Peraturan Gubernur yang telah disusun
dan/atau dibahas, selanjutnya kepala SKPD/UKPD pemrakarsa
menyampaikan surat perbal disertai Rancangan Peraturan Gubernur dan
dokumen terkait lainnya kepada kepala SKPD terkait, kepala UKPD
terkait dan Kepala Biro Hukum untuk mendapatkan paraf koordinasi.
47

Paraf koordinasi wajib disampaikan kembali kepada kepala


SKPD/UKPD pemrakasrsa paling lama 5 hari kerja sejak surat perbal
diterima. Jangka waktu 5 hari dilaksanakan apabila pembentukan
Rancangan Peraturan Gubernur telah sesuai dengan kaidah pembentukan
produk hukum daerah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan dan dokumen pendukung lengkap. Hasil perbaikan atas perbal
disampaikan Kepala SKPD/UKPD pemrakarsa kepada Kepala Biro
Umum untik tiknet dan pembuatan surat pengantar kepada Gubernur
disertai Rancangan Peraturan Gubernur dan softcopy dalam CD
sebanyak 3 rangkap.
Berdasarkan surat pengantar tersebut, selanjutnya Gubernur
menetapkan Rancangan Preaturan Gubernur dengan mebubuhkan tanda
tangan. Dalam hal gubernur meminta penjelasan atas Rancangan
Peraturan Gubernur, Kepala SKPD/UKPD pemrakarsa wajib
menyiapkan bahan yang diperlukan dan menjelaskan kepada Gubernur.
3.1.4 Pengundangan dan Penomoran Peraturan Gubernur tentang
Rumah Aman Bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak
Kekerasan
Pada tahap keempat dalam pembentukan Peraturan Gubernur
yaitu tahap pengundangan dan penomoran Rancangan Peraturan
Gubernur. Pengundangan adalah penempatan Peraturan Daerah dalam
lembaran daerah, tambahan lembaran daerah atau berita daerah,
sedangkan penomoran adalah proses pencantuman nomor di buku
agenda penomoran produk hukum daerah yang akan diundangkan.50
Tahap awal dari pengundangan dan penomoran Peraturan Gubernur
adalah naskah gubernur yang telah ditetapkan oleh gubernur dibubuhi
nomor dan tahun oleh Kepala Biro Umum dan diundangkan oleh
Sekertaris Daerah. Kepala Biro Hukum dalam mengundangkan
Peraturan Gubernur menempatkannya dalam berita daerah pada
halaman akhir Peraturan Gubernur. Berita daerah pada naskah

50
Peraturan Gubernur nomor 112 tahun 2012 tentang Tata Cara Pembentukan Produk Hukum
Daerah.
48

Peraturan Gubernur dibubuhi tahun dan nomor. Berita Daerah adalah


penerbitan/pemberitahuan resmi pemerintah daerah yang digunakan
untuk mengundangkan peraturan daerah.51
Selanjutnya yang dilakukan oleh Biro Hukum adalah penomoran
pada Peraturan Gubernur. Penomoran dalam berita daerah pada naskah
peraturan gubernur terdiri atas 5 digit atau angka. Digit atau angka
pertama disebutkan sebagai berikut:
a. Kode 1 merupakan pelaksanaan undang-undang;
b. Kode 2 merupakan pelaksanan peraturan pemerintah;
c. Kode 3 merupakan pelaksanan peraturan presiden;
d. Kode 4 merupakan pelaksanan keputusan presiden;
e. Kode 5 merupakan pelaksanaan peraturan perundang-undangan
materi/lembaga non kementerian;
f. Kode 6 merupakan pelaksanaan peraturan daerah; dan
g. Kode 7 merupakan pelaksanaan kewenangan penyelenggaraan
pemerintah daerah.
Jadi dari keterangan diatas dapat disebutkan bahwa untuk
Peraturan Gubernur tentang Rumah Aman Bagi Perempuan dan Anak
Korban tindak Kekerasan adalah kode dengan nomor 6. Selanjutnya
pemberian digit atau angka kedua disebutkan sebagai berikut:
a. Kode 1 untuk bidang perekonomian;
b. Kode 3 untuk bidang administrasi;
c. Kode 3 untuk bidang pembangunan;
d. Kode 4 untuk bidang lingkungan hidup; dan
e. Kode 5 untuk bidang kesejahteraan masyarakat.
Jadi yang menjadi kode nomor ke 2 untuk penomoran Peraturan
Gubernur tentang Rumah Aman Bagi Perempuan dan Anak Korban
Tindak Kekerasan adalah kode dengan angka 5 yaitu bidang
kesejahteraan masyarakat. Lalu selanjutnya untuk angka ketiga,
keempat dan kelima merupakan nomor urut.

51
Ibid, Pasal 1 angka 20
49

3.1.5 Autentifikasi dan Penyebarluasan Peraturan Gubernur tentang


Rumah Aman Bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak
Kekerasan
Langkah selanjutnya dalam membuat Peraturan Gubernur tentang
Rumah Aman Bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan
adalah Autentifikasi dan Penyebarluasan. Autentifikasi dan
Penyebarluasan dapat dilihat dalam Pasal 53 sampai 61 Peraturan
Gubernur Nomor 112 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pembentukan
Produk Hukum Daerah. Autentifikasi adalah penilaian/pengkajian
produk hukum daerah yang dilakukan terhadap keaslian produk hukum
daerah yang akan diundangkan. Langkah awal setelah Peraturan
Gubernur diundangkan yaitu sebelum disampaikan kepada Kepala
SKPD/UKPD pemrakarsa dan disebarluaskan, wajib dilakukan
autentifikasi oleh Kepala Biro Hukum. Naskah produk hukum daerah
yang disebarluaskan oleh Kepala SKPD/UKPD pemrakarsa merupakan
salinan produk hukum daerah yang telah diautentifikasi oleh Biro
Hukum. Dalam penyebarluasannya SKPD pemrakasrasa wajib
melakukan penyebarluasan hal-hal yang disebutkan, sebagai berikut:
a. Rancangan Peraturan Daerah yang sedang dalam proses
perencanaan, penyebarluasan peraturan daerah tersebut
dimaksudkan agar SKPD/UKPD terkait masyrakat dan pihak terkait
lainnya dapat memberikan masukan sebelum ditetapkan.
b. Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur dan Peraturan Bersama yang
telah diundangkan dalam lembaran daerah maupun berita daerah,
penyebarluasan tersebut dimaksudkan agar SKPD/UKPD tekait,
masyarakat dan pihak terkait lainnya dapat mengetahui dan
memahami serta melaksanakan materi muatan dalam peraturan
daerah, peraturan gubernur dan peraturan bersama yang telah
ditetapkan.
Penyebarluasan Peraturan Gubernur dilakukan melalui media
cetak, media elektronik dan cara lainnya. Penyebarluasan melalui media
cetak terhadap Peraturan Gubernur yang telah ditetapkan dengan cara
50

menyampaikan salinan Peraturan Gubernur yang diundangkan dalam


lembaran daerah dan berita daerah. Lembaran daerah adalah
penerbitan/pemberitahuan resmi pemerintah daerah yang digunakan
untuk mengundakan peraturan daerah. Bagi pihak yang membutuhkan
salinan autentik Peraturan Gubernur dapat mengajukan surat
permohonan secara tertulis kepada Kepala Biro hukum. Penyebarluasan
melalui media elektronik dapat dilakukan melalui jaringan informasi
produk hukum daerah atau di singkat JDIH pada Biro Hukum dan juga
terdapat di website yang diselenggarakan oleh SKPD yang tugas dan
fungsinya di bidang hubungan masyarakat.
Selain penyebarluasan media cetak dan media elektronik,
Peraturan Gubernur juga dapat disebarluaskan dengan cara tatap muka
atau dialog langsung, berupa ceramah, workshop/seminar, pertemuan
ilmiah, konfersi pers, atau cara lainnya. Kegitan tersebut dapat dilakukan
oleh Biro Hukum, SKPD/UKPD pemrakarsa, SKPD/UKPD
bersangkutan dan/atau masyarakat. Kegiatan penyebarluasan peraturan
gubernur dapat dilakukan sendiri-sendiri atau bersama-sama dan dengan
menggunakan salinan produk hukum bersangkutan dalam bentuk “ttd”.
Penggandaan produk hukum daerah menjadi tanggung jawab
SKP/UKPD pemrakarsa dan/atau Biro Hukum.
3.1.6 Pendokumentasian Peraturan Gubernur tentang Rumah Aman Bagi
Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan
Setelah autentifikasi dan penyebarluasan yang dilakukan adalah
pendokumentasian Peraturan Gubernur tentang Rumah Aman Bagi
Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan. Pendokumentasian
naskah asli Peraturan Gubernur dilakukan oleh Kepala Biro Umum.
Pendokumentasian ini bertujuan untuk mengurutkan dan menyimpan
naskah asli agar tidak hilang. Informasi hukum yang baik didapat dari
kegiatan dokumentasi hukum yang baik yang memenuhi kaedah
pendokumentasian yang benar dengan memakai sistem simpan dan sitem
temu kembali.
51

3.2 Kendala terhadap pembentukan Peraturan Gubernur tentang Rumah


Aman Bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan
Pembentukan peraturan perundang-undangan dalam Negara Hukum
memang penting demi tercapainya tujuan sebuah negara. Oleh karena itu,
penting bagi lembaga yang berwenang dalam membentuk Peraturan
perundang-undangan memahami secara keseluruhan mengenai pembentukan
peraturan perundang-undagan. Akan tetapi pada kenyataannya ada beberapa
hal yang menjadi kendala dari proses atau tahapan pembentukan peraturan
perundang-undangan. Hal ini juga terjadi pada saat pembentukan Peraturan
Gubernur tentang Rumah Aman Bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak
Kekerasan. Sehingga perlu untuk diidentifikasi mengenai kendala terhadap
pembentukan Peraturan Gubernur tentang Rumah Aman Bagi Perempuan dan
Anak Korban Tindak Kekerasan untuk mendapatkan solusi pemecahan terkait
kendala yang dihadapi.
Pada prinsipnya proses pembentukan Peraturan Daerah harus
memperhatikan harmonisasi dan sinkronisasi dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi. Pembentukan Peraturan Gubernur sudah
dilaksanakan dengan pedoman pada asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan. Pembentukan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta
tentang Rumah Aman Bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan
juga sudah berpedoman pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah,
Peraturan Gubernur Nomor 112 tahun 2012 tentang Tata Cara Pembentukan
Produk Hukum Daerah serta Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perlindungan Perempuan dan Anak. Dalam proses pembentukan Peraturan
Gubernur tentang Rumah Aman Bagi Perempuan dan Anak telah melibatkan
instansi vertikal yang memiliki jabatan fungsional perancang peraturan
perundang-undangan. Rancangan Peraturan Daerah yang dibentuk juga
dikoordinasikan dengan Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi DKI Jakarta.
Disini kendala utamanya adalah mengapa membutuhkan jangka waktu
yang cukup lama untuk membentuk Peraturan Gubernur tentang Rumah Aman
52

Bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan. Dapat digambarkan


peraturan gubernur ini adalah turunan atau peraturan untuk menjalan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun
2011 tentang Perlindungan Perempuan Dan Anak. Dapat dilihat bahwa
Peraturan Daerah tentang perlindungan perempuan dan anak ini sudah ada
sejak tahun 2011, tetapi mengapa turunannya baru dibuat atau dibentuk pada
tahun 2018 dan itu memakan waktu cukup lama yaitu 7 tahun lamanya. Pada
umumnya turunan suatu Peraturan Daerah itu paling tidak 1 sampai 2 tahun
lamanya. Berikut ini adalah kendala mengapa pereturan gubernur ini lama
diproses atau dibentuk:
1. Dinas sosial sebagai dinas yang mempunyai kewajiban untuk membuat
draf Peraturan Gubernur tentang Rumah Aman Bagi Perempuan dan Anak
tidak mengetahui atau tidak sadar kalau Peraturan Daerah nomor 8 tahun
2011 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak ini menyuruh untuk
mengatur lebih lanjut di peraturan gubernur untuk membuat rumah aman;
“Salah satu kendala mengapa Peraturan Gubernur tentang Rumah
Aman Bagi perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan ini
lama untuk di proses adalah, karena dinas pemrakarsa yaitu Dinas
Sosial tidak mengetahui kalau ada pengaturan lebih lanjut di
peraturan gubernur untuk membuat rumah aman bagi perempuan
dan anak korban tindak kekerasan, mereka pikir peraturan daerah
dibuat urusan selesai.”52
2. Dinas Sosial suka mengulur waktu untuk membuatnya atau menindak
lanjuti pembuatan Peraturan Gubernur tersebut;
“yang kedua yaitu Dinas Sosial suka mengentar-entarin atau
mengulur waktu untuk menindaklanjuti pembuatan Peraturan
Gubernur tentang Rumah Aman Bagi Perempuan dan Anak Korban
Tindak Kekerasan, mereka bilang harus ada perintah dari Gubernur
dulu.”53

52
Wawancara dengan staff bagian Peraturan Perundang-Undangan Biro Hukum Sekretariat
Daerah Provinsi DKI Jakarta.
53
Ibid
53

3. Dinas sosial tidak bisa atau tidak mengerti cara membuat draft Peraturan
Gubernur;
“terus mereka juga ga ngerti cara membuat draft Peraturan Gubernur
maka mereka terhambat dalam pembentukan Peraturan Gubernur
tentang Rumah Aman Bagi Perempuan Dan Anak Korban Tindak
Kekerasan ini.”54
Ketiga hasill wawancara dengan staff Biro Hukum tersebutlah yang
menjadi alasan mengapa peraturan gubernur tentang Rumah Aman Bagi
Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan lama untuk dibuat.

3.3 Upaya yang dilakukan dari kendala terhadap pembentukan Peraturan


Gubernur tentang Rumah Aman Bagi Perempuan dan Anak Korban
Tindak Kekerasan
Dari beberapa kendala yang terjadi sebagaimana telah disebutkan di atas,
ada beberapa tindakan yang dilakukan oleh pihak Biro Hukum Sekretariat
Daerah Provinsi DKI Jakarta sebagai solusi untuk mengatasi hal-hal tersebut.
Adapun tindakan yang dilakukan oleh Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi
DKI Jakarta yang pertama yaitu pembinaan. Pembinaan adalah suatu usaha,
tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna berhasil guna untuk
memperoleh hasil yang lebih baik. Secara umum pembinaan disebut sebagai
sebuah perbaikan terhadap pola kehidupan yang direncanakan.
“Jadi solusi untuk hambatan yang disebutkan tadi salah satunya
adalah pembinaan, menurut pasal 63 Peraturan Gubernur Nomor
112 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pembentukan Produk Hukum
Derah disebutkan bahwa, Biro Hukum berkewajiban membina
dalam tata cara pembentukan produk hukum daerah”55
Kegiatan pembinaan dapat dilakukan oleh Biro Hukum dengan cara
melakukan kegiatan:
1. Bimbingan teknis, salah satu maksud dan tujuan dilaksanakannya kegiatan
bimbingan teknis ini, dikarenakan masih banyaknya sumber daya
perancang yang dianggap masih kurang memahami secara kongkrit

54
Ibid
55
Ibid
54

sistematis dalam proses penyusunan produk hukum daerah dan perlu


dilakukan pemahaman teknis lebih mendalam sehingga implementasi dari
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan dapat terlaksana dengan baik. Dimana dalam proses
penyusunan/pembentukannya harus dilakukan berdasarkan pada asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
kejelasan tujuan; kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
kesesuaian antara jenis, hierarki, materi muatan; dapat dilaksanakan;
kedayagunaan; kejelasan rumusan; dan keterbukaan. Selain itu bimbingan
teknis ini bertujuan untuk:
a. Memberikan pengetahuan dan pemahaman mengenai penyusunan
Peraturan Gubernur;
b. Memberikan pemahaman mengenai pentingnya sinergitas antara
permasalahan dan potensi permasalahan hukum masyarakat dengan
produk hukum yang dihasilkan oleh pemerintah daerah; dan
c. Memberikan pengetahuan dan pengalaman mengenai mekanisme
pengidentifikasian dan analisis serta evaluasi terhadap permasalahan
hukum dimasyarakat sebagai bahan dalam penyusunan perencanaan
pembentukan produk hukum daerah.
2. Sosialisasi, sosialisasi diselenggarakan dalam rangka penyebarluasan
informasi mengenai peraturan perundang-undangan pusat dan daerah
terkait produk hukum yang diperintahkan yaitu Peraturan Kepala Daerah
atau Peraturan Gubernur. Tujuan diselenggaraakannya sosialisasi ini
antara lain sebagai ajang diskusi bagi Dinas Sosial pelaksana teknis
penyusunan Peraturan Gubernur yang mempunyai kewajiban menyusun
draft peraturan gubernur tentang Rumah Aman Bagi Perempuan dan Anak
Korban Tindak Kekerasan. Materi sosialisasi meliputi Peraturan Daerah
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban
Tindak Kekerasan dan Peraturan Gubernur Nomor 112 Tahun 2012
tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.
3. Konsultasi, fasilitas konsultasi pembentukan produk hukum daerah
merupakan salah satu upaya mewujudkan produk hukum daerah yang
55

berkualitas. Konsultasi Legislasi memberikan layanan kepada Perangkat


Daerah pemrakarsa yaitu Dinas Sosial atas masalah dan kepentingan
legislasinya terkait dengan peraturan perundang-undangan. Setelah
mendiagnosis masalah dan kepentingan legislasi, kemudian akan
diberikan pendapat hukum dan nasihat hukum kepada Dinas Sosial dalam
menghadapi masalah legislasinya dan memperjuangkan kepentingan
legislasinya berdasarkan regulasi, kaidah, dan teknik pembentukan
peraturan perundang-undangan. Pedoman Fasilitasi pembentukan produk
hukum daerah disusun dengan sistematika sebagai berikut: Bab I
Pendahuluan, Bab II Perencanaan Kegiatan dan biaya, Bab III Pedoman,
Mediasi dan Konsultasi, Pengharmonisasian, dan Pemetaan Peraturan
Daerah, Bab IV Pelaporan dan Evaluasi.

Gambar 3.2. Struktur Organisasi Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi DKI
Jakarta

Tindakan yang selanjutnya dilakukan oleh Biro Hukum Sekretariat


Daerah Provinsi DKI Jakarta adalah mengadakan rapat dan berkoordinasi
secara langsung dengan perangkat daerah pemrakarsa dan perangkat daerah
terkait. Kegiatan rapat yang dilakukan meliputi kegiatan mematangkan
substansi dan materi muatan, serta sistematika penulisan rancangan Peraturan
Gubernur tentang Rumah Aman Bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak
56

Kekerasan. Dengan adanya kegiatan rapat yang diadakan oleh Biro Hukum
diharapkan dapat memaksimalkan serta mempercepat dalam mempersiapakan
rancangan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta. Rapat ini dihadiri oleh
Dinas terkait yaitu:
1. Biro Hukum.
2. Dinas Sosial.
3. Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
4. Biro Kesejaheraan Sosial.
5. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.
6. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Sulit memang kalau dinas pemrakarsa tidak mempunyai seseorang yang
ahli dalam membentuk peraturan perundang-undangan, maka dari itu Biro
Hukum turut serta atau membantu untuk menyelesaikan Peraturan Gubernur
sehingga menghasilkan Rancangan Peraturan Gubernur yang baik guna
menghindari adanya pembatalan nantinya. Kegiatan rapat koordinasi
Pembentukan Peraturan Gubernur tentang Rumah Aman Bagi Perempuan dan
Anak Korban Tindak Kekerasan dilaksanakan dalam rangka pembiayaan
pembuatan rumah aman dan mempercepat proses penyusunan draft Peraturan
Gubernur tentang Rumah Aman Bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak
Kekerasan. Adapun hasil rapat antara dinas terkait dalam upaya mempercepat
penyusunan draft Peraturan Gubernur tentang Rumah Aman Bagi Perempuan
dan Anak Korban Tindak Kekerasan, antara lain sebagai berikut:
1. Pembiayaan pembuatan rumah aman dibebankan dari Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
2. Tenaga ahli dari Biro Hukum terutama bagian peraturan perundang-
undangan turut membantu untuk menyusun dan merancang Peraturan
Gubernur tentang Rumah Aman Bagi Perempuan Dan Anak Korban
Tindak Kekerasan.
3. Rumah aman dibentuk dan dilaksanakan oleh Dinas Sosial melalui Panti
Sosial Perlindungan Bhakti Kasih.
57

4. Sebelum korban dapat memasuki rumah aman, korban harus mendapat


rujukan dan memenuhi syarat dari Pusat Pelayanan Terpadu
Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A).
5. Dinas Sosial memiliki tugas dan tanggung jawab dalam menyusun
Rencana Strategis, Kebijakan, Standar Operasional dan Prosedur Rumah
Aman.
6. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban tetap turut berkontribusi dalam
mendampingi dalam proses layanan dirumah aman.
Inisiatif yang dilakukan oleh Biro Hukum dengan mengadakan kegiatan
rapat terhadap Rancangan Peraturan Gubernur tentang Rumah Aman Bagi
Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan suatu hal yang bagus. Pada
saat saya melaksanakan kegiatan On The Job Training, saya menemui sebuah
hal dimana pada saat rapat ada beberapa perangkat daerah terkait pembentukan
Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta tentang Rumah Aman Bagi
Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan tidak dapat hadir tanpa
mengirim perwakilan. Oleh karena itu, dari Biro Hukum mengadakan
koordinasi langsung dengan perangkat daerah pemrakarsa maupun perangkat
daerah terkait di luar dari rapat. Kegiatan koordinasi langsung ini dilakukan
langsung di kantor Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi DKI Jakarta
dengan harapan adanya progress dalam mempersiapkan rancangan Peraturan
Gubernur Provinsi DKI Jakarta tentang Rumah Aman Bagi Perempuan dan
Anak Korban Tindak Kekerasan.
58

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Kendala terhadap pembentukan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta
tentang Rumah Aman Bagi Perepuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan,
yaitu: 1) Dinas sosial tidak mengetahui atau tidak sadar kalau peraturan
daerah nomor 8 tahun 2011 tentang perlindungan perempuan dan anak ini
menyuruh untuk mengatur lebih lanjut di Peraturan Gubernur untuk
membuat rumah aman, 2) Dinas sosial suka mengulur waktu untuk
membuatnya atau menindak lanjuti pembuatan Peraturan Gubernur, 3)
Dinas Sosial tidak mengerti cara membuat draft Peraturan Gubernur.
2. Upaya penyeselesaian kendala terhadap pembentukan Peraturan Gubernur
tentang Rumah Aman Bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak
Kekerasan, yaitu: 1) mengadakan pembinaan terkait tata cara pembentukan
produk hukum daerah dengan cara, Bimbingan Teknis, Sosisalisasi, dan
Konsultasi. 2) mengadakan rapat dan koordinasi langsung terhadap
perangkat daerah pemrakarsa yaitu Dinas Sosial dan Perangkat Daerah
terkait.

4.2 Saran
1. Bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
Melihat dari salah satu kendala terhadap pembentukan peraturan
gubernur tentang Rumah Aman Bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak
Kekerasan yaitu kurangnya Sumber Daya Manusia secara kuantitas
maupun kualitas mampu menyurusun draft peraturan perundang-undangan
yang ditempatkan pada Dinas Sosial, seharusnya menambah jumlah staff
yang mampu menyusun draft produk hukum daerah di Dinas Sosial. Serta
memberikan pelatihan terhadap perangkat daerah mengenai seni
merancang peraturan perundang-undangan untuk menambah kemampuan
dalam merancang peraturan perundang-undangan, sehingga dapat
membentuk suatu peraturan perundang-undangan yang baik.
59

2. Bagi Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi DKI Jakarta


Meningkatkan kemampuan dalam merancang peraturan Perundang-
undangan dan tetap konsisten dalam menggunakan peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi. Serta mengadakan pembinaan kepada
perangkat daerah terkait pembentukan peraturan perundang-undangan yang
baik dan benar agar tidak ada alasan lagi bagi perangkat daerah untuk
mengulur waktu dan menunda-nunda.
3. Bagi Masyarakat Provinsi DKI Jakarta
Sebagai masyarakat Provinsi DKI Jakarta hendaknya ikut berperan
aktif dalam mengawal pembentukan Peraturan Gubernur Provinsi DKI
Jakarta dengan cara memberikan masukan-masukan terkait dengan
pembentukan produk hukum daerah. Masyarakat berhak memberikan
masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam proses pembentukan
rancangan peraturan daerah. Masukan dari masyarakat dapat melalui
konsultasi publik, seminar dan sosialisasi.
DAFTAR PUSTAKA

Barkatullah, T. P. (2005). Politik Hukum Pidana, Ctk. I. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.
Bastani, M. Hak Asasi Manusia Terhadap Anak. Diambil kembali dari
http://eprint.ums.ac.id, diakses pada tanggal 18 Maret 2019.
Bobsusanto. (2015, Februari 20). Pengertian hukum menurut para ahli. Retrieved
from www.spengtahuan.com/2015/02/20-pengertian-hukum-menurut-para-
ahli-terlengkap.html
C.S.T. Kansil, C. S. (2004). Pemerintah Daerah di Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika.
Christian, S. Kekerasan terhadap Perempuan. Diambil kembali dari e-
journal.uajy.ac.id/166/2/1HK09663.pdf, diakses pada tanggal 18 maret
2019.
Hilman Hadikusuma. (1992). Bahasa Hukum Indonesia. Bandung: Penerbit
Alumni.
Indrawati, M. F. (2007). Ilmu Perundang-undangan. Yogyakarta: Kanisius.
Kansil, C. (1993). Pengantar ilmu hukum dan Tata hukum Indonesia, Ctk.9.
Jakarta: Balai Pustaka.
Manan, B. (2005). Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Yogyakarta: Pusat Studi
Hukum.
Marpaung, L. (2005). Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.
Marzuki, M. L. (1999). Hukum dan Pembangunan Daera Otonom. Kertas Kerja
PSKMP LPPM Unhas.
Nazmi, D. (1992). Konsespi Negara Hukum . Padang: Angkasa Raya.
Peraturan Daerah, Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perlindungan Perempuan dan
Anak Korban Tindak Kekerasan.
Peraturan Gubernur, Nomor 112 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pembentukan
Produk Hukum Daerah.
Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Nomor 5 Tahun 2010 tentang
Tugas dan Fungsi LPSK.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan
Produk Hukum Daerah.
Permohonan Perlindungan Saksi dan Korban. Diambil kembali dari
http://www.lpsk.go.id/permohonan, diakses pada tanggal 15 Mei 2019.
Prof.DR.Muhadar .SH. M.Si, E. A. (2009). Perlindungan Saksi Dan Korban Dalam
Sistem Peradilan Pidana. Surabaya: ITS Press.
Jaringan Dokumentasi Informasi Hukum Provinsi Kepulauan Bangka Belitung,
Diambil kembali dari http://jdih.babelprov.go.id/content/dasar-
pembentukan-peraturan-gubernur, diakses pada tanggal 15 Mei 2019.
Sadli, S. (2000). Hak asasi perempuan adalah hak asasi manusia, dalam pemahaman
bentuk-bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan dan alternatif
pemecahannya, KK convention watch. pusat kajian wanita dan jender.
Soekanto, S. (2006). Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
Sudarto. (1990). Hukum Pidana I. Semarang: Yayasan Sudarto.
Syamsudin, A. (2013). Proses dan teknik penyusunan undang-undang. Jakarta:
Sinar Grafika.
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga.
Zulkarnain, B. A. (2012, Maret 23). Tinjauan Terhadap Pembagian Urusan
Kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. E-Journal
Universitas Atmajaya.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai