Anda di halaman 1dari 45

ANALISIS

Indonesia adalah satu di antara sekian banyak negara di dunia yang memiliki lahan-

basah. Indikatornya adalah garis pantai yang membentang panjang, sungai yang berjumlah

banyak, serta danau luas dan sempit yang tersebar tidak hanya di pulau-pulau besar, tetapi juga

di pulau-pulau kecil. Indonesia sangat berkepentingan atas kelestarian lahan basah, karena luas

lahan-basahnya mencapai 40 juta ha.5 Kalimantan adalah pulau yang kaya akan Sumber Daya

alam hayatinya. Luas pulau Kalimantan adalah 743.330 km². Salah satu ibu kota di Kalimantan

adalah Banjarmasin yang pada umumnya wilayahnya adalah tanah rawa dan lahan basah.1

Lahan basah memiliki peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Fungsi

lahan basah tidak saja dipahami sebagai pendukung kehidupan secara langsung, seperti sumber

air minum dan habitat beraneka ragam mahluk, tapi juga memiliki berbagai fungsi ekologis

seperti pengendali banjir, pencegah intrusi air laut, erosi, pencemaran, dan pengendali iklim

global. Kawasan lahan basah juga akan sulit dipulihkan kondisinya apabila tercemar, dan perlu

bertahun-tahun untuk pemulihannya. Pemanfaatan lahan basah yang kurang baik identik

dianggap sebagai sumber penularan penyakit. Adapun beberapa penyakit yang berhubungan

dengan lahan basah yaitu diare, malaria, TBC, DHF, leptospirosis, filariasis, fasciolopsis,

kecacingan, pneumoconiosis/silicosis, dan ISPA.

Diare adalah keadaan tidak normalnya pengeluaran feses yang ditandai dengan

peningkatan volume dan keenceran feses serta frekuensi buang air besar lebih dari 3 kali sehari

(pada neonatus lebih dari 4 kali sehari) dengan atau tanpa lendir darah. Jenis diare ada dua, yaitu

diare akut dan diare kronik. Diare akut adalah diare yang berlangsung kurang dari 14 hari,

sementaradiare kronik yaitu diare yang berlangsung lebih dari 15 hari.2


Diare merupakan gangguan pada system pencernaan yang Secara klinis diare dapat di

sebabkan dalam 6 golongan besar yaitu infeksi (disebabkan oleh bakteri, virus atau infestasi

parasit), malabsorpsi, alergi, keracunan, imunodefisiensi dan sebab-sebab lainnya. Penyebab

yang sering ditemukan di lapangan ataupun secara klinis adalah diare yang disebabkan infeksi

dan keracunan.virus yaitu Rotavirus (40-60%), bakteri Escherichia coli (20- 30%), Shigella sp.

(1-2%) dan parasit Entamoeba hystolitica.2

Diare di Indonesia masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama.

Hal ini disebabkan karena masih tingginya angka kesakitan dan kematian terutama pada balita.

Diperkirakan lebih dari 1,3 miliar serangan dan 3,2 juta kematian per tahun pada balita

disebabkan oleh diare. Setiap anak mengalami episode serangan diare rata-rata 3,3 kali setiap

tahun dan lebih dari 80% kematian terjadi pada anak berusia kurang dari dua tahun.3

Diare merupakan salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian hampir di seluruh

daerah geografis di dunia dan semua kelompok usia dapat terserang. Diare menjadi salah satu

penyebab utama mordibitas dan mortalitas pada anak di negara berkembang. Di negara

berkembang, anak-anak balita mengalami rata-rata 3-4 kali kejadian diare per tahun tetapi di

beberapa tempat terjadi lebih dari 9 kali kejadian diare per tahun hampir 15- 20% waktu hidup

dihabiskan untuk diare.4

Faktor–faktor yang mempengaruhi kejadian diare pada anak ada tiga. Faktor yang

pertama adalah faktor lingkungan. Diare dapat terjadi karena seseorang tidak memerhatikan

kebersihan lingkungan dan menganggap bahwa masalah kebersihan adalah masalah yang kecil.

Faktor lingkungan yang dominan dalam penyebaran penyakit diare pada anak yaitu pembuangan

tinja dan sumber air minum. Pengelolaan tinja yang kurang diperhatikan disertai dengan

cepatnya pertambahan penduduk. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kejadian Diare pada Anak
akan mempercepat penyebaran penyakit yang ditularkan melalui tinja memudahkan penularan

diare, terutama yang ditularkan oleh cacing dan parasit. Membuang sampah sembarangan akan

menjadi factor risiko timbulnya berbagai vector bibit penyakit sehingga ada hubungan yang

signifikan antara pembuangan sampah dengan kejadian diare pada anak.Faktor yang kedua

adalah faktor sosiodemografi. Faktor sosiodemografi yang berpengaruh terhadap kejadian diare

pada anak yaitu pendidikan dan pekerjaan orang tua, serta umur anak. Jenjang pendidikan

memegang peranan yang cukup penting dalam kesehatan masyarakat. pendidikan seseorang yang

tinggi memudahkan orang tersebut dalam penerimaan informasi, baik dari orang lain maupun

media masa. Banyaknya informasi yang masuk akan membuat pengetahuan tentang penyakit

diare semakin bertambah

Selain itu yang dapat memengaruhi kejadian diare yaitu faktor perilaku. Pemberian air

susu ibu (ASI) eksklusif dan kebiasaan mencuci tangan merupakan faktor perilaku yang

berpengaruh dalam penyebaran kuman enterik dan menurunkan risiko terjadinya diare.Terdapat

hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan diare pada bayi dibawah 3 tahun. Bayi yang

tidak mendapat ASI eksklusif sebagian besar (52.9%) menderita diare, sedangkan bayi dengan

ASI eksklusif hanya 32.31% yang menderita diare.

Selain ASI, terdapat pula personal hygiene,yaitu upaya seseorang dalam memelihara

kebersihan dan kesehatan dirinya untuk memeroleh kesehatan fisik dan psikologis. Kebiasaan

tidak mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar merupakan kebiasaan yang dapat

membahayakan anak, terutama ketika sang ibu memasak makanan dan menyuapi anaknya, maka

makanan tersebut dapat terkontaminasi oleh kuman sehingga dapat menyebabkan diare. Perilaku

yang dapat mengurangi risiko terjadinya diare adalah mencuci sayur dan buah sebelum
dikonsumsi, karena salah satu penyebaran diare adalah melalui penyajian makanan yang tidak

matang atau mentah.4

Diare secara umum dapat dibedakan menjadi 2 yaitu diare akut adalah diare yang

terjadinya mendadak dan berlangsung kurang dari 2 minggu untuk gejalanya antara lain: tinja

cair, biasanya mendadak, disertai lemah dan kadang-kadang demam atau muntah. Biasanya

berhenti atau berakhir dalam beberapa jam sampai beberapa hari. Diare akut dapat terjadi akibat

infeksi virus, infeksi bakteri, akibat makanan dan diare kronis adalah diare yang melebihi jangka

waktu 15 hari sejak awal diare. Berdasarkan ada tidaknya infeksi, diare dibagi menjadi 2 yaitu

diare spesifik dan diare non spesifik. Diare spesifik adalah diare yang disebabkan oleh infeksi

virus, bakteri, atau parasit. Diare non spesifik adalah diare yang disebabkan oleh makanan.Diare

kronik atau diare berulang adalah suatu keadaan bertambahnya kekerapan dan keenceran tinja

yang berlangsung berminggu-minggu atau berbulan-bulan baik secara terus menerus atau

berulang, dapat berupa gejala fungsional atau akibat suatu penyakit berat. Tanda-tanda diare

kronik seperti: demam, berat badan menurun, malnutrisi, anemia, dan meningginya laju endap

darah. Demam disertai defense otot perut menunjukan adanya proses radang pada perut. Diare

kronik seperti yang dialami seseorang yang menderita penyakit crohn yang mula-mula dapat

berjalan seperti serangan akut dan sembuh sendiri. Sebaliknya suatu serangan akut seperti diare

karena infeksi dapat menjadi berkepanjangan. Keluhan penderita sendiri dapat diarahkan untuk

memebedakan antara diare akut dengan diare kronik.5

Mekanisme dasar penyebab timbulnya diare adalah gangguan osmotik (makanan yang

tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meningkat sehingga

terjadi pergeseran air dan elektrolit kedalam rongga usus, isi rongga usus berlebihan sehingga

timbul diare). Selain itu menimbulkan gangguan sekresi akibat toksin didinding usus, sehingga
sekresi air dan elektrolit meningkat kemudian menjadi diare. Gangguan motilitas usus yang

mengakibatkan hiperperistaltik. Akibat dari diare itu sendiri adalah kehilangan air dan elektrolit

(dehidrasi) yang mengakibatkan gangguan keseimbangan asam basa (asidosis metabolik dan

hypokalemia), gangguan gizi (intake kurang, output berlebih), hipoglikemia dan gangguan

sirkulasi darah (Zein dkk, 2004). Mekanisme terjadinya diare dan termaksut juga peningkatan

sekresi atau penurunan absorbsi cairan dan elektrolit dari sel mukosa intestinal dan eksudat yang

berasal dari inflamasi mukosa intestinal.Infeksi diare akut diklasifikasikan secara klinis dan

patofisiologis menjadi diare noninflamasi dan diare inflamasi. Diare inflamasi disebabkan invasi

bakteri dan sitoksin di kolon dengan manifestasi sindrom disentri dengan diare disertai lendir dan

darah. Gejala klinis berupa mulas sampai nyeri seperti kolik, mual, muntah, tetenus, serta gejala

dan tanda dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja rutin makroskopis ditemukan lendir dan atau darah,

mikoroskopis didapati sek lukosit polimakronuklear. Diare juga dapat terjadi akibat lebih dari

satu mekanisme, yaitu peningkatan sekresi usus dan penurunan absorbsi di usus. Infeksi bakteri

menyebabkan inflamasi dan mengeluarkan toksin yang menyebakan terjadinya diare. Pada

dasarnya, 12 mekanisme diare akibat kuman enteropatogen meliputi penempelan bakteri pada sel

epitel dengan atau tanpa kerusakan mukosa, invasi mukosa, dan produksi enterotoksin atau

sitoksin. Satu jenis bakteri dapat menggunakan satu atau lebih mekanisme tersebut untuk

mengatasi pertahanan mukosa usus.5

Tabel 1.1 Klasifikasi Diare Berdasarkan tabel derajat dehidrasi. 2


Pemeriksaan laboratorium lengkap umumnya tidak di perlukan,hanya pada keadaan

tertentu misalkan penyebab dasarnya tidak diketahui atau ada sebab-sebab lain diare akut atau

pada penderita dengan dehidrasi berat,contoh : pemeriksaan darah lengkap,kultur urine dan tinja

pada sepsis.6

Berdasarkan Prinsip dari tatalaksana diare pada balita adalah LINTAS DIARE, yang

didukung oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dengan rekomendasi WHO. Rehidrasi

bukan satu-satunya cara untuk mengatasi diare tetapi memperbaiki kondisi usus serta

mempercepat penyembuhan/ 14 menghentikan diare dan mencegah anak kekurangan gizi akibat

diare juga menjadi cara untuk mengobati diare untuk itu Kementrian Kesehatan telah menyusun

Lima Langkah Tuntaskan Diare (LINTAS DIARE) yaitu:6

1. Rehidrasi menggunakan oralit osmolaritas rendah

2. Zinc selama 10 hari berturut-turut

3. Pemberian ASI dan makanan

4. Pemberian antibiotik sesuai indikasi

5. Nasihat pada ibu/ pengasuh anak

Oralit Oralit adalah campuran garam elektrolit yang terdiri atas Natrium klorida (NaCl),

Kalium Klorida (KCl), sitrat dan glukosa. Oralit osmolaritas rendah telah direkomedasikan oleh
WHO dan UNICEF (United Nations International Children's Emergency Fund). Manfaat Oralit

Berikan oralit segera bila anak diare, untuk mencegah dan mengobati dehidrasi sebagai

pengganti cairan dan elekrolit yang terbuang saat diare. Sejak tahun 2004, WHO/UNICEF

merekomendasikan Oralit osmolaritas rendah.6

Berdasarkan penelitian dengan Oralit osmolaritas rendah diberikan kepada penderita

diare akan: Mengurangi volume tinja hingga 25%, Mengurangi mual muntah hingga

30%,Mengurangi secara bermakna pemberian cairan melalui intravena sampai 33%.

Cara membuat dan memberikan oralit : 6

a. Cuci tangan dengan air dan sabun

b. Sediakan 1 gelas air minum yang telah dimasak (200cc)

c. Masukkan satu bungkus Oralit 200cc

d. Aduk sampai larut benar

e. Berikan larutan Oralit kepada balita.

Cara memberikan :6

a. Berikan dengan sendok atau gelas

b. Berikan sedikit-sedikit sampai habis atau hingga anak tidak kelihatan haus

c. Bila muntah, dihentikan sekitar 10 menit, kemudian lanjutkan dengan sabar sesendok

setiap 2 atau 3 menit.

d. Walau diare berlanjut, Oralit tetap diteruskan

e. Bila larutan Oralit pertama habis, buatkan satu gelas larutan Oralit berikutnya.

Dehidrasi adalah suatu keadaan penurunan total air di dalam tubuh karena hilangnya

cairan secara patologis, asupan air tidak adekuat, atau kombinasi keduanya. Dehidrasi terjadi

karena pengeluaran air lebih banyak daripada jumlah yang masuk, dan kehilangan cairan ini juga
disertai dengan hilangnya elektrolit. Dehidrasi adalah suatu gangguan dalam keseimbangan air

yang disebabkan pengeluaran dalam tubuh melebihi pemasukan dalam tubuh sehingga jumlah air

pada tubuh berkurang.

Menurut Lekasana (2015) derajat dehidrasi berdasarka persentase kehilangan air dari

berat badan :

1) Dehidrasi Ringan : kehilangan air 5% dari berat badan

2) Dehidrasi Sedang : kehilangan air 10% dari berat badan

3) Dehidrasi Berat : kehilangan air 15% dari berat badan

Tanda dan gejala dehidrasi adalah berat badan menurun, ubun-ubun dan mata cekung

pada bayi, tonus otot berkurang, turgor kulit jelek (elastisitas kulit menurun), membran mukosa

kering. Gejala klinis menyesuaikan dengan derajat atau banyaknya kehilangan cairan yang hilang,

3 faktor risiko terjadinya dehidrasi dengan diare yaitu, penanganan diare di rumah yang tidak

tepat, muntah yang berlebih saat diare, dan demam. Secara umum diare disebabkan oleh infeksi

dengan melakukan invasi pada mukosa, memproduksi enterotoksin dan atau memproduksi

sitotoksin. Mekanisme ini mengakibatkan peningkatan sekresi cairan dan atau menurunkan

absorbsi cairan sehingga akan terjadi dehidrasi dan hilangnya nutrisi dan elektrolit. Infeksi yang

terjadi dapat menyebabkan terjadinya demam dan muntah berlebih. Demam merupakan respon

sistemik dari invasi agent infeksi penyebab diare, timbulnya demam menyebabkan anak tidak

nafsu makan dan minum sehingga pemasukan nutrisi dan cairan ke dalam tubuh kurang. Muntah

merupakan bagian dari respon inflamasi khususnya diare neurotoksin yang diperoleh dari agent

infeksi.

Apabila mengalami muntah yang berlebih dan penanganan dirumah yang tidak tepat

maka akan menyebabkan pengeluaran cairan dalam tubuh semakin banyak sehingga dapat
menyebabkan dehidrasi. Dehidrasi akan menjadi semakin berat apabila pemasukan cairan kedalam

tubuh kurang. Dehidrasi atau kekurangan cairan dalam tubuh memicu gangguan kesehatan. Mulai

dari gangguan ringan seperti mudah mengantuk, hingga penyakit berat seperti penurunan fungsi

ginjal. Pada dehidrasi berat terjadi defisit cairan sama dengan atau lebih dari 10% berat badan.

Tatalaksana

Diare dengan dehidrasi ringan/sedang

Pada umumnya, anak-anak dengan dehidrasi sedang/ringan harus diberi larutan oralit,

dalam waktu 3 jam pertama di klinik saat anak berada dalam pemantauan dan ibunya diajari cara

menyiapkan dan memberi larutan oralit. Pada 3 jam pertama, beri anak larutan oralit dengan

perkiraan jumlah sesuai dengan berat badan anak (atau umur anak jika berat badan anak tidak

diketahui), seperti yang ditunjukkan dalam bagan 15 berikut ini. Namun demikian, jika anak ingin

minum lebih banyak, beri minum lebih banyak. Tunjukkan pada ibu cara memberi larutan oralit

pada anak, satu sendok teh setiap 1 – 2 menit jika anak berumur di bawah 2 tahun; dan pada anak

yang lebih besar, berikan minuman oralit lebih sering dengan menggunakan cangkir.

Lakukan pemeriksaan rutin jika timbul masalah

- Jika anak muntah, tunggu selama 10 menit; lalu beri larutan oralit lebih lambat (misalnya 1

sendok setiap 2 – 3 menit)

- Jika kelopak mata anak bengkak, hentikan pemberian oralit dan beri minum air matang atau ASI.

- Nasihati ibu untuk terus menyusui anak kapan pun anaknya mau.

- Jika ibu tidak dapat tinggal di klinik hingga 3 jam, tunjukkan pada ibu cara menyiapkan larutan

oralit dan beri beberapa bungkus oralit secukupnya kepada ibu agar bisa menyelesaikan rehidrasi

di rumah ditambah untuk rehidrasi dua hari berikutnya.


- Nilai kembali anak setelah 3 jam untuk memeriksa tanda dehidrasi yang terlihat sebelumnya

(Catatan: periksa kembali anak sebelum 3 jam bila anak tidak bisa minum larutan oralit atau

keadaannya terlihat memburuk).

- Jika tidak terjadi dehidrasi, ajari ibu mengenai empat aturan untuk perawatan di rumah beri

cairan tambahan. Beri tablet Zinc selama 10 hari lanjutkan pemberian minum/makan (lihat bagian

10.1) kunjungan ulang jika terdapat tanda berikut ini:

1. anak tidak bisa atau malas minum atau menyusu

2. kondisi anak memburuk

3. anak demam

4. terdapat darah dalam tinja anak

Jika anak masih mengalami dehidrasi sedang/ringan, ulangi pengobatan untuk 3 jam

berikutnya dengan larutan oralit, seperti di atas dan mulai beri anak makanan, susu atau jus dan

berikan ASI sesering mungkin.

Meskipun belum terjadi dehidrasi berat tetapi bila anak sama sekali tidak bisa minum

oralit misalnya karena anak muntah profus, dapat diberikan infus dengan cara: beri cairan

intravena secepatnya. Berikan 70 ml/kg BB cairan Ringer Laktat atau Ringer asetat (atau jika tak

tersedia, gunakan larutan NaCl) yang dibagi sebagai berikut


● Periksa kembali anak setiap 1-2 jam.

● Juga beri oralit (kira-kira 5 ml/kg/jam) segera setelah anak mau minum.

● Periksa kembali bayi sesudah 6 jam atau anak sesudah 3 jam. Klasifikasikan Dehidrasi. Kemudian

pilih rencana terapi yang sesuai (A, B, atau C) untuk melanjutkan penanganan.

● Rencana Terapi B and Rencana Terapi A memberikan penjelasan lebih rinci:

Beri tablet Zinc

Beritahu ibu berapa banyak tablet zinc yang diberikan kepada anak:

● Di bawah umur 6 bulan: ½ tablet (10 mg) per hari selama 10 hari

● 6 bulan ke atas: 1 tablet (20 mg) per hari selama 10 hari

Pemberian Makan

Melanjutkan pemberian makan yang bergizi merupakan suatu elemen yang penting dalam

tatalaksana diare.

● ASI tetap diberikan

● Meskipun nafsu makan anak belum membaik, pemberian makan tetap diupayakan pada anak

berumur 6 bulan atau lebih.

Jika anak biasanya tidak diberi ASI, lihat kemungkinan untuk relaktasi (yaitu memulai lagi

pemberian ASI setelah dihentikan) atau beri susu formula yang biasa diberikan. Jika anak berumur

6 bulan atau lebih atau sudah makan makanan padat, beri makanan yang disajikan secara segar –

dimasak, ditumbuk atau digiling. Berikut adalah makanan yang direkomendasikan:

● Sereal atau makanan lain yang mengandung zat tepung dicampur dengan kacang-kacangan,

sayuran dan daging/ikan, jika mungkin, dengan 1-2 sendok teh minyak sayur yang ditambahkan ke

dalam setiap sajian.


● Makanan Pendamping ASI lokal yang direkomendasikan dalam pedoman Manajemen Terpadu

Balita Sakit (MTBS) di daerah tersebut. (lihat bagian 10.1)

● Sari buah segar seperti apel, jeruk manis dan pisang dapat diberikan untuk penambahan kalium.

Bujuk anak untuk makan dengan memberikan makanan setidaknya 6 kali sehari. Beri makanan

yang sama setelah diare berhenti dan beri makanan tambahan per harinya selama 2 minggu.

Diare dengan dehidrasi berat

Anak dengan dehidrasi berat harus diberi rehidrasi intravena secara cepat yang diikuti dengan

terapi rehidasi oral.

● Mulai berikan cairan intravena segera. Pada saat infus disiapkan, beri larutan oralit jika anak bisa

minum

Catatan: larutan intravena terbaik adalah larutan Ringer Laktat (disebut pula larutan Hartman

untuk penyuntikan). Tersedia juga larutan Ringer Asetat. Jika larutan Ringer Laktat tidak tersedia,

larutan garam normal (NaCl 0.9%) dapat digunakan. Larutan glukosa 5% (dextrosa) tunggal tidak

efektif dan jangan digunakan.

● Beri 100 ml/kg larutan yang dipilih dan dibagi sesuai Tabel 18 berikut ini

Kolera

Curigai kolera pada anak umur di atas 2 tahun yang menderita diare cair akut dan

menunjukkan tanda dehidrasi berat, jika kolera berjangkit di daerah tempat tinggal anak. Nilai dan

tangani dehidrasi seperti penanganan diare akut lainnya. Beri pengobatan antibiotik oral yang
sensitif untuk strain Vibrio cholerae, di daerah tersebut. Pilihan lainnya adalah: tetrasiklin,

doksisiklin, kotrimoksazol, eritromisin dan kloramfenikol. Berikan zinc segera setelah anak tidak

muntah lagi.

Pemantauan

Nilai kembali anak setiap 15 – 30 menit hingga denyut nadi radial anak teraba. Jika

hidrasi tidak mengalami perbaikan, beri tetesan infus lebih cepat. Selanjutnya, nilai kembali anak

dengan memeriksa turgor, tingkat kesadaran dan kemampuan anak untuk minum, sedikitnya setiap

jam, untuk memastikan bahwa telah terjadi perbaikan hidrasi. Mata yang cekung akan membaik

lebih lambat dibanding tanda-tanda lainnya dan tidak begitu bermanfaat dalam pemantauan.

Jika jumlah cairan intravena seluruhnya telah diberikan, nilai kembali status hidrasi anak,

menggunakan. Jika tanda dehidrasi masih ada, ulangi pemberian cairan intravena seperti yang

telah diuraikan sebelumnya. Dehidrasi berat yang menetap (persisten) setelah pemberian rehidrasi

intravena jarang terjadi; hal ini biasanya terjadi hanya bila anak terus menerus BAB cair selama

dilakukan rehidrasi.

Jika kondisi anak membaik walaupun masih menunjukkan tanda dehidrasi ringan,

hentikan infus dan berikan cairan. Jika anak bisa menyusu dengan baik, semangati ibu untuk lebih

sering memberikan ASI pada anaknya. Jika tidak terdapat tanda dehidrasi, anjurkan ibu untuk

menyusui anaknya lebih sering. Lakukan observasi pada anak setidaknya 6 jam sebelum pulang

dari rumah sakit, untuk memastikan bahwa ibu dapat meneruskan penanganan hidrasi anak dengan

memberi larutan oralit.

Semua anak harus mulai minum larutan oralit (sekitar 5ml/kgBB/jam) ketika anak bisa

minum tanpa kesulitan (biasanya dalam waktu 3–4 jam untuk bayi, atau 1–2 jam pada anak yang
lebih besar). Hal ini memberikan basa dan kalium, yang mungkin tidak cukup disediakan melalui

cairan infus. Ketika dehidrasi berat berhasil diatasi, beri tablet zinc.

Pada makalah ini disajikan kasus pasien diare akut dehidrasi berat dengan gizi buruk

klinis dan severe stunting . Pembahasan akan lebih ditujukan pada pembahasan terkait diare

sebagai penyakit yang sering pada area lahan basah.

Pada pasien didapatkan keluhan BAB cair sejak 3 hari SMRS. Pada hari pertama BAB

cair hanya terjadi sebanyak 2 kali, lalu pada hari kedua terjadi 3 kali dalam sehari. Pada hari ini

BAB cair frekuensinya meningkat hingga + 8 kali dalam sehari. BAB cair berwarna kuning

masih ada ampasnya, disertai dengan lendir dan berbau tidak disertai dengan darah. Hal ini

sesuai dengan teori. Diare adalah peningkatan keadaan tidak normalnya pengeluaran feses yang

ditandai dengan peningkatan volume dan keenceran feses serta frekuensi buang air besar lebih

dari 3 kali sehari (pada neonatus lebih dari 4 kali sehari) dengan atau tanpa lendir darah. Jenis

diare ada dua, yaitu diare akut dan diare kronik. Diare akut adalah diare yang berlangsung

kurang dari 14 hari, sementaradiare kronik yaitu diare yang berlangsung lebih dari 15 hari.1

Diare secara umum dapat dibedakan menjadi 2 yaitu diare akut adalah diare yang

terjadinya mendadak dan berlangsung kurang dari 2 minggu untuk gejalanya antara lain: tinja

cair, biasanya mendadak, disertai lemah dan kadang-kadang demam atau muntah. Biasanya

berhenti atau berakhir dalam beberapa jam sampai beberapa hari. Diare kronis adalah diare yang

melebihi jangka waktu 15 hari sejak awal diare. Diare kronik atau diare berulang adalah suatu

keadaan bertambahnya kekerapan dan keenceran tinja yang berlangsung berminggu-minggu atau

berbulan-bulan baik secara terus menerus atau berulang, dapat berupa gejala fungsional atau

akibat suatu penyakit berat. Tanda-tanda diare kronik seperti: demam, berat badan menurun,
malnutrisi, anemia, dan meningginya laju endap darah. Demam disertai defense otot perut

menunjukan adanya proses radang pada perut.5

Pada pasien didapatkan faktor lingkungan yang menjadi risiko penyebab diare terdiri dari

kondisi rumah yang meliputi kepadatan hunian rumah, kondisi rumah ( ventilasi, kelembaban),

pembuangan limbah sampah, pembuangan tinja, penyediaan sumber air bersih. Sedangkan faktor

individu yakni personal higien yang mempengaruhi seperti kebiasaan mencuci tangan,

pemberian ASI, memasak makanan dan air minum sedangkan sosiodemografi berupa tingkat

pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin sadar kesehatan, salah satunya

untuk melakukan pemeriksaan kesehatan rutin dan pencegahan berupa imunisasi lengkap di

fasilitas kesehatan terdekat (puskesmas).2

Hal ini sesuai dengan teori yaitu faktor lingkungan yang dominan dalam penyebaran

penyakit diare pada anak yaitu pembuangan tinja dan sumber air minum. Pengelolaan tinja yang

kurang diperhatikan disertai dengan cepatnya pertambahan penduduk. Faktor-Faktor yang

Memengaruhi Kejadian Diare pada Anak akan mempercepat penyebaran penyakit yang

ditularkan melalui tinja memudahkan penularan diare, terutama yang ditularkan oleh cacing dan

parasit. Membuang sampah sembarangan akan menjadi factor risiko timbulnya berbagai vector

bibit penyakit sehingga ada hubungan yang signifikan antara pembuangan sampah dengan

kejadian diare pada anak.Faktor yang kedua adalah faktor sosiodemografi. Faktor

sosiodemografi yang berpengaruh terhadap kejadian diare pada anak yaitu pendidikan dan

pekerjaan orang tua, serta umur anak. Jenjang pendidikan memegang peranan yang cukup

penting dalam kesehatan masyarakat. pendidikan seseorang yang tinggi memudahkan orang

tersebut dalam penerimaan informasi, baik dari orang lain maupun media masa. Banyaknya

informasi yang masuk akan membuat pengetahuan tentang penyakit diare semakin bertambah.3
Selain itu yang dapat memengaruhi kejadian diare yaitu faktor perilaku. Pemberian air

susu ibu (ASI) eksklusif dan kebiasaan mencuci tangan merupakan faktor perilaku yang

berpengaruh dalam penyebaran kuman enterik dan menurunkan risiko terjadinya diare.Terdapat

hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan diare pada bayi dibawah 3 tahun. Bayi yang

tidak mendapat ASI eksklusif sebagian besar (52.9%) menderita diare, sedangkan bayi dengan

ASI eksklusif hanya 32.31% yang menderita diare.3

Selain ASI, terdapat pula personal hygiene,yaitu upaya seseorang dalam memelihara

kebersihan dan kesehatan dirinya untuk memeroleh kesehatan fisik dan psikologis. Kebiasaan

tidak mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar merupakan kebiasaan yang dapat

membahayakan anak, terutama ketika sang ibu memasak makanan dan menyuapi anaknya, maka

makanan tersebut dapat terkontaminasi oleh kuman sehingga dapat menyebabkan diare. Perilaku

yang dapat mengurangi risiko terjadinya diare adalah mencuci sayur dan buah sebelum

dikonsumsi, karena salah satu penyebaran diare adalah melalui penyajian makanan yang tidak

matang atau mentah.4

Pada pasien ini didapatkan adanya hasil positif terdapat bakteri gram negative dari

pemeriksaan feses hal ini sesuai karena diare merupakan gangguan pada system pencernaan yang

Secara klinis diare dapat di sebabkan dalam 6 golongan besar yaitu infeksi (disebabkan oleh

bakteri, virus atau infestasi parasit), malabsorpsi, alergi, keracunan, imunodefisiensi dan sebab-

sebab lainnya. Penyebab yang sering ditemukan di lapangan ataupun secara klinis adalah diare

yang disebabkan infeksi dan keracunan.virus yaitu Rotavirus (40-60%), bakteri Escherichia coli

(20- 30%), Shigella sp. (1-2%) dan parasit Entamoeba hystolitica.2

Infeksi bakteri menyebabkan inflamasi dan mengeluarkan toksin yang menyebakan

terjadinya diare. Pada dasarnya, 12 mekanisme diare akibat kuman enteropatogen meliputi
penempelan bakteri pada sel epitel dengan atau tanpa kerusakan mukosa, invasi mukosa, dan

produksi enterotoksin atau sitoksin. Satu jenis bakteri dapat menggunakan satu atau lebih

mekanisme tersebut untuk mengatasi pertahanan mukosa usus.5

Pada pasien ini selain mengeluhkan diare juga mengeluhkan muntah sebanyak 3 kali

dalam sehari. Muntah berwarna putih berisi susu. Banyaknya muntah kira-kira setengah gelas

menurut orang tua pasien. Menurut ibu pasien juga anaknya mengalami demam sejak 1 hari

SMRS. Demam muncul mendadak dan turun naik, pasien menjadi lebih rewel dan selalu

menangis. Pasien saat ini sudah mau menyusu lagi. Status gizi pasien juga termasuk severly

underweight (> 2 SD) dan pada pemeriksaan fisik didapatkan rambut pirang, tipis agak mudah

dicabut, Mata mata cekung dan perut tampak cembung maka itu menandakan pasien mengalami

dehidrasi Secara umum diare disebabkan oleh infeksi dengan melakukan invasi pada mukosa,

memproduksi enterotoksin dan atau memproduksi sitotoksin. Mekanisme ini mengakibatkan

peningkatan sekresi cairan dan atau menurunkan absorbsi cairan sehingga akan terjadi dehidrasi

dan hilangnya nutrisi dan elektrolit. Infeksi yang terjadi dapat menyebabkan terjadinya demam

dan muntah berlebih. Demam merupakan respon sistemik dari invasi agent infeksi penyebab diare,

timbulnya demam menyebabkan anak tidak nafsu makan dan minum sehingga pemasukan nutrisi

dan cairan ke dalam tubuh kurang. Muntah merupakan bagian dari respon inflamasi khususnya

diare neurotoksin yang diperoleh dari agent infeksi.5

Apabila mengalami muntah yang berlebih dan penanganan dirumah yang tidak tepat

maka akan menyebabkan pengeluaran cairan dalam tubuh semakin banyak sehingga dapat

menyebabkan dehidrasi. Dehidrasi akan menjadi semakin berat apabila pemasukan cairan kedalam

tubuh kurang. Dehidrasi atau kekurangan cairan dalam tubuh memicu gangguan kesehatan. Mulai
dari gangguan ringan seperti mudah mengantuk, hingga penyakit berat seperti penurunan fungsi

ginjal. Pada dehidrasi berat terjadi defisit cairan sama dengan atau lebih dari 10% berat badan.5

Tabel 1.1 Klasifikasi Diare Berdasarkan tabel derajat dehidrasi. 2

Terapi yang diberikan pada pasien ini adalah IVFD KAEN 3B 500 ml/24 jam, per oral zinc 1 x 20

mg, lacto-B 2 x 1 sachet, oralit 50 ml/BAB cair, diet bubur sun 3 x 90 ml dan bebelac 5 x 90 ml.

Hal ini sesuai dengan teori karena anak dengan dehidrasi berat harus diberi rehidrasi intravena

secara cepat yang diikuti dengan terapi rehidasi oral.6

 Mulai berikan cairan intravena segera. Pada saat infus disiapkan, beri larutan oralit jika

anak bisa minum

Catatan: larutan intravena terbaik adalah larutan Ringer Laktat (disebut pula larutan Hartman

untuk penyuntikan). Tersedia juga larutan Ringer Asetat. Jika larutan Ringer Laktat tidak tersedia,

larutan garam normal (NaCl 0.9%) dapat digunakan. Larutan glukosa 5% (dextrosa) tunggal tidak

efektif dan jangan digunakan.

 Beri 100 ml/kg larutan yang dipilih dan dibagi sesuai Tabel berikut ini
Kolera

Curigai kolera pada anak umur di atas 2 tahun yang menderita diare cair akut dan

menunjukkan tanda dehidrasi berat, jika kolera berjangkit di daerah tempat tinggal anak. Nilai dan

tangani dehidrasi seperti penanganan diare akut lainnya. Beri pengobatan antibiotik oral yang

sensitif untuk strain Vibrio cholerae, di daerah tersebut. Pilihan lainnya adalah: tetrasiklin,

doksisiklin, kotrimoksazol, eritromisin dan kloramfenikol. Berikan zinc segera setelah anak tidak

muntah lagi.6

Untuk Pemantauan, nilai kembali anak setiap 15 – 30 menit hingga denyut nadi radial

anak teraba. Jika hidrasi tidak mengalami perbaikan, beri tetesan infus lebih cepat. Selanjutnya,

nilai kembali anak dengan memeriksa turgor, tingkat kesadaran dan kemampuan anak untuk

minum, sedikitnya setiap jam, untuk memastikan bahwa telah terjadi perbaikan hidrasi. Mata yang

cekung akan membaik lebih lambat dibanding tanda-tanda lainnya dan tidak begitu bermanfaat

dalam pemantauan.6

Jika jumlah cairan intravena seluruhnya telah diberikan, nilai kembali status hidrasi anak,

menggunakan. Jika tanda dehidrasi masih ada, ulangi pemberian cairan intravena seperti yang

telah diuraikan sebelumnya. Dehidrasi berat yang menetap (persisten) setelah pemberian rehidrasi

intravena jarang terjadi; hal ini biasanya terjadi hanya bila anak terus menerus BAB cair selama

dilakukan rehidrasi.7
Jika kondisi anak membaik walaupun masih menunjukkan tanda dehidrasi ringan,

hentikan infus dan berikan cairan. Jika anak bisa menyusu dengan baik, semangati ibu untuk lebih

sering memberikan ASI pada anaknya. Jika tidak terdapat tanda dehidrasi, anjurkan ibu untuk

menyusui anaknya lebih sering. Lakukan observasi pada anak setidaknya 6 jam sebelum pulang

dari rumah sakit, untuk memastikan bahwa ibu dapat meneruskan penanganan hidrasi anak dengan

memberi larutan oralit.8

Semua anak harus mulai minum larutan oralit (sekitar 5ml/kgBB/jam) ketika anak bisa

minum tanpa kesulitan (biasanya dalam waktu 3–4 jam untuk bayi, atau 1–2 jam pada anak yang

lebih besar). Hal ini memberikan basa dan kalium, yang mungkin tidak cukup disediakan melalui

cairan infus. Ketika dehidrasi berat berhasil diatasi, beri tablet zinc.5,6

Konsep dasar dan proses terjadinya penyakit dalam epidemiologi berkembang dari rantai

sebab akibat menuju suatu proses kejadian penyakit yaitu proses interaksi antara manusia

(pejamu) dengan berbagai sifatnya (biologis, fisiologis, psikologis, sosiologis dan antropologis),

dan dengan penyebab (agent) serta lingkungan (enviroment). Menurut John Gordon, model

segitiga epidemiologi menggambarkan interaksi tiga komponen penyakit yaitu manusia (Host),

penyebab (Agent) dan lingkungan (Enviroment).9,10

Agent
Agent dapat berasal dari berbagai unsur seperti unsur biologis yang disebabkan oleh

mikroorganisme (virus, bakteri, jamur, parasit, protozoa, metazoa, dll), unsur nutrisi karena

bahan makanan yang tidak memenuhi standar gizi yang ditentukan, unsur kimiawi yang

disebabkan karena bahan dari luar tubuh maupun dari dalam tubuh sendiri (karbon monoksida,

obat-obatan, arsen, pestisida, dll), unsur fisika yang disebabkan oleh panas, benturan, dll, serta

unsur psikis atau genetik yang terkait dengan heriditer atau keturun. Pada kasus kali ini, diare

adalah peningkatan keadaan tidak normalnya pengeluaran feses yang ditandai dengan

peningkatan volume dan keenceran feses serta frekuensi buang air besar lebih dari 3 kali sehari

(pada neonatus lebih dari 4 kali sehari) dengan atau tanpa lendir darah. Berbagai pathogen

penyebab diare yang paling umum adalah bakteri seperti Escherichia coli.11

Host

Bayi dan balita memiliki mekanisme pertahanan tubuh yang masih rendah dibanding

orang dewasa, sehingga balita masuk ke dalam kelompok yang rawan terhadap infeksi seperti

diare. Hal ini disebabkan imunitas yang belum sempurna dan saluran pencernaan. Kemudian,

anak yang tinggal di lingkungan dan higenitas yang kurang baik akan meningkatkan kejadian

diare.12

Environment

Diare terjadi bisa dikarenakan oleh sanitasi lingkungan yang buruk menjadi faktor

dominan dalam kejadian diare karena apabila didapatkan lingkungan yang tidak sehat maka akan

berakibat perilaku manusia yang tidak sehat pula maka dengan mudahnya penyakit menyerang

individu tersebut.12

Sumber air minum utama merupakan salah satu sarana sanitasi yang tidak kalah

pentingnya berkaitan dengan kejadian diare. Sebagian kuman infeksius penyebab diare
ditularkan melalui jalur fekal oral. Mereka dapat ditularkan dengan memasukkan ke dalam

mulut, cairan atau benda yang tercemar dengan tinja, misalnya air minum, jari-jari tangan, dan

makanan yang disiapkan dalam panci yang dicuci dengan air tercemar. Hal inilah yang

membahayakan karena semakin sering anak dengan kondisi tersebut dan dalam jangka waktu

yang lama maka anak terpapar faktor risiko tersebut, akibatnya makin besar peluang anak untuk

terjangkit diare.13

Pembuangan tinja merupakan bagian yang penting dari kesehatan lingkungan.

Pembuangan tinja yang tidak menurut aturan memudahkan terjadinya penyebaran penyakit

tertentu yang penulurannya melalui tinja antara lain penyakit diare. Anak balita yang berasal dari

keluarga yang menggunakan tempat pembuangan tinja yang kurang higenis akan meningkatkan

kejadian diare.

Ada 3 kemungkinan gangguan keseimbangan, yaitu:

1. Peningkatan kesanggupan agen penyakit, misalnya virulensi kuman bertambah, atau

resistensi meningkat.

2. Peningkatan kepekaan host terhadap penyakit disebabkan pasien yang masih balita

memiliki imunitas yang lebih rendah.

3. Pergeseran lingkungan yang memungkinkan penyebaran penyakit, misalnya lingkungan

yang kotor.

AGEN
T

HOS
T

ENVIRONMEN
T
Pada laporan kasus kali ini, pasien mengalami sakit karena terdapat pergeseran pada faktor

lingkungan dimana pergeseran ini meningkatkan kerentanan host terkena penyakit. Dari hasil

home visit, didapatkan luas rumah 32m2 dihuni oleh 6 orang, pasien tidur bersama kedua

orangtuanya dalam satu kamar. Kamarnya memiliki ukuran 4x2 m (8 m2). Sedangkan luas

tempat tinggal per jiwa menurut rumah sehat adalah 8m2, Rumah pasien terdapat 5 buah jendela,

yang setiap hari dibuka ada 3 jendela sedangkan yang lainnya tidak dibuka, dua di ruang tamu,

satu di kamar pasien satu didapur dan satu di lantai atas (tempat jemuran) menyebabkan kondisi

rumah cenderung lembab. Sanitasi lingkungan berupa pembuangan tinja masih kurang baik.

Adapun pengaruh lingkungan terhadap diare dapat dilihat pada gambar dibawah.

DIAGNOSTIK HOLISTIK KOMPREHENSIF

1. Aspek Personal

a. Keluhan utama: BAB cair. Keluhan penyerta: muntah


b. Kekhawatiran: BAB cair dapat membahayakan hidup

c. Persepsi: BAB cair hanya dapat disembuhkan dengan obat saja dan tidak dipengaruhi

lingkungan

d. Harapan: BAB cair disertai muntah muncul kembali

2. Aspek Klinik

Diare akut dehidrasi berat terehidrasi

Diagnosis banding :

- disentri

- diare virus

3. Aspek Risiko Internal

a. Pasien merupakan bayi dengan usia 8 bulan dengan gizi buruk dan memiliki imunitas yang

masih rendah

4. Aspek Risiko Eksternal

a. Psikososial keluarga: keluarga kurang memahami tentang penyakit pasien, perilaku

menjaga sanitasi lingkungan masih kurang, dan perilaku personal higien keluarga pasien

b. Lingkungan tempat tinggal: keadaan rumah dengan kondisi pembuangan limbah sampah

dan tinja, sumber air bersih dan kepadatan hunian yang tidak sesuai dengan kriteria rumah

sehat.

4. Diagnosis Derajat Fungsional

 Body function (fungsi tubuh) : orang tua pasien mengeluhkan Pasien juga mengalami

batuk disertai demam dan juga dahak yang kental bewarna putih. Pasien tidak dapat tidur

dan menyusui
 Body structure (struktur tubuh) : pada pemeriksaan fisik didapatkan mata cekung, mukosa

bibir kering, tampak gizi buruk (perut cembung, rambut tipis, tampak kurus)

 Impairment pada sistem digestivus: BAB cair frekuensinya meningkat hingga + 8 kali

dalam sehari. BAB cair berwarna kuning masih ada ampasnya, disertai dengan lendir dan

berbau tidak disertai dengan darah.

 Activity and participation : Terganggunya fungsi fisiologis berupa lemas, rewel, tidak

dapat tidur dan menyusu

 Enviromental factors :

- Perumahan : rumah pasien semipermanen berukuran 4x8 m2 , terdapat 1 kamar, tidak

terdapat halaman rumah, pada saat siang hari matahari tidak terlalu dapat masuk sehingga

keadaan penerangan gelap.


INTERVENSI HOLISTIK KOMPREHENSIF

1. Diagnosis Aspek Personal

Tabel 1. Diagnosis Aspek Personal dan Intervensi

No Diagnosis Aspek Intervensi


Personal
1. BAB cair 1. Memberikan informasi mengenai penyakit
frekuensinya diare yang dialami oleh pasien, penyebab,
meningkat hingga + 8 gejala, pengobatan, pencegahan, serta
kali dalam sehari prognosisnya.
2. Kekhawatiran: Pasien 2. Konseling kepada keluarga pasien untuk
khawatir dengan rutin membawa anak ke puskesmas untuk
keluhan BAB cair ini melalukan pemeriksaan kesehatan tanpa
akan bertambah parah . didahui adanya keluhan

3. Harapan : Sembuh
2. Diagnosa Klinis

Tabel 2. Diagnosis Klinis dan Intervensi

No Diagnosis Klinis Intervensi


1. Diare akut dengan 1. Tatalaksana penyakit
dehidrasi berat - Farmakologis:
zinc 1 x 20 mg
lacto-B 2 x 1 sachet
oralit 50 ml/BAB cair
2. Memberikan edukasi
- Menjaga higenitas lingkungan

3. Diagnosis Risiko Internal

Tabel 3. Diagnosis Risiko Internal dan Intervensi

No Diagnosis Risiko Intervensi


Internal
1. Pasien merupakan bayi Pemberian ASI yang baik akan
dengan usia 8 bulan dan meningkatkan imunitas pasien. Pemberian
memiliki imunitas yang ASI juga harus disertai asupan gizi yang
masih rendah baik oleh ibu sehingga meningkatkan
kuantitas dan kualitas ASI

4. Diagnosis Risiko Eksternal dan Psikososial

Tabel 4. Diagnosis Risiko Eksternal dan Psikososial dan Intervensi


No Diagnosis Risiko Intervensi
Eksternal dan
Psikososial
1. Psikososial keluarga : 1. Memberikan edukasi mengenai
keluarga kurang penyakit diare yang dialami oleh
memahami tentang pasien, penyebab, gejala, pengobatan,
penyakit pasien, pencegahan, serta prognosisnya.
terdapat perilaku 2. Memberikan edukasi mengenai
keluarga kurang dapat pengaruh sanitasi lingkungan terhadap
menjaga sanitasi penyakit untuk menurunkan risiko
lingkungan rumah penyakit
2. Lingkungan tempat 1. Memberikan edukasi terhadap seluruh
tinggal : anggota keluarga terhadap pentingnya
keadaan rumah menjaga kebersihan, khususnya
dengan ventilasi dan kebersihan rumah.
pencahayaan serta 2. Memberikan edukasi mengenai
kepadatan hunian pentingnya pencahayaan dan ventilasi
yang tidak sesuai dengan membuka semua pintu dan
dengan kriteria rumah jendela agar cahaya dapat masuk dan
sehat, ada pertukaran udara sehingga
mengurangi kelembapan di dalam
rumah

5. Diagnosis Derajat Fungsional

Kondisi Kesehatan
Diare

Fungsi dan Struktur Aktivitas


Tubuh Terganggunya
1. Impairment pada fungsi fisiologis
sistem pencernaan: berupa tidak
Diare, muntah, dapat tidur dan
demam, rambut mudah menyusu
di cabut, mata
cekung,perut cembung

Faktor Lingkungan Faktor Personal


1. Sanitasi yang buruk 1. Imunitas yang relatif masih rendah
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa diare tidak hanya menyebabkan kematian tetapi
dapat juga menyebabkan malnutrisi. Diare dapat mengakibatkan berkurangnya nafsu makan dan
gangguan pencernaan yang menyebabkan menurunnya absorbsi zat-zat nutrisi dalam tubuh
sehingga menimbulkan malnutrisi. Kejadian diare memiliki hubungan yang signifikan dengan
status gizi pada anak usia di bawah 2 tahun. Malnutrisi merupakan penyakit penyerta pada diare
persisten.

Gizi merupakan suatu proses penggunaan makanan yang dikonsumsi secara normal
melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat
yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari
organ-organ serta menghasilkan energi.

Berkaitan dengan status gizi, untuk bertumbuh dan berkembang, anak membutuhkan zat
gizi yang esensial mencakup protein, lemak, karbohidrat, mineral, vitamin dan air yang harus
dikonsumsi secara seimbang, dengan jumlah yang sesuai kebutuhan pada tahap usianya.
Malnutrisi merupakan suatu keadaan kurang energi protein dan defisiensi mikronutrien yang
sampai saat ini masih merupakan masalah yang membutuhkan perhatian khusus terutama di
negara-negara berkembang.

Status gizi anak dipengaruhi oleh banyak faktor. Beberapa faktor yang mempengaruhi status gizi
anak yaitu sebagai berikut :

a. Aspek Konsumsi
Konsumsi zat gizi yang kurang dapat menyebabkan keterlambatan pertumbuhan badan dan
keterlambatan perkembangan otak serta dapat pula terjadinya penurunan atau rendahnya daya
tahan tubuh terhadap penyakit infeksi. Selain itu faktor kurangnya asupan makanan disebabkan
oleh ketersediaan pangan, nafsu makan anak,gangguan sistem pencernaan serta penyakit infeksi
yang diderita.

b. Penyakit infeksi
Infeksi dan kekurangan gizi selalu berhubungan erat. Infeksi pada anak-anak yang malnutrisi
sebagian besar disebabkan kerusakan fungsi kekebalan tubuh, produksi kekebalan tubuh yang
terbatas dan atau kapasitas fungsional berkurang dari semua komponen seluler dari sistem
kekebalan tubuh pada penderita malnutrisi.

c. Pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan


Seorang ibu merupakan sosok yang menjadi tumpuan dalam mengelola makan keluarga.
Pengetahuan ibu tentang gizi balita merupakan segala bentuk informasi yang dimiliki oleh ibu
mengenai zat makanan yang dibutuhkan bagi tubuh balita dan kemampuan ibu untuk
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kurangnya pengetahuan tentang gizi akan
mengakibatkan berkurangnya kemampuan untuk menerapkan informasi dalam kehidupan sehari-
hari yang merupakan salah satu penyebab terjadinya gangguan gizi. Pemilihan bahan makanan,
tersedianya jumlah makanan yang cukup dan keanekaragaman makanan ini dipengaruhi oleh
tingkat pengetahuan ibu tentang makanan dan gizinya. Ketidaktahuan ibu dapat menyebabkan
kesalahan pemilihan makanan terutama untuk anak balita.

d. Pendidikan ibu
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin mudah diberikan pengertian
mengenai suatu informasi dan semakin mudah untuk mengimplementasikan pengetahuannya
dalam perilaku khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Pendidikan ibu yang relatif rendah akan
berkaitan dengan sikap dan tindakan ibu dalam menangani masalah kurang gizi pada anak
balitanya.

e. Pola asuh anak


Pola asuh anak merupakan praktek pengasuhan yang diterapkan kepada anak balita dan
pemeliharaan kesehatan. Pola asuh makan adalah praktik-praktik pengasuhan yang diterapkan
ibu kepada anak balita yang berkaitan dengan cara dan situasi makanPola asuh yang baik dari ibu
akan memberikan kontribusi yang besar pada pertumbuhan dan perkembangan balita sehingga
akan menurunkan angka kejadian gangguan gizi dan begitu sebaliknya.

f. Sanitasi
Sanitasi lingkungan termasuk faktor tidak langsung yang mempengaruhi status gizi. Gizi buruk
dan infeksi kedua – duanya bermula dari kemiskinan dan lingkungan yang tidak sehat dengan
sanitasi buruk. Upaya penurunan angka kejadian penyakit bayi dan balita dapat diusahakan
dengan menciptakan sanitasi lingkungan yang sehat, yang pada akhirnya akan memperbaiki
status gizinya.

g. Tingkat pendapatan
Tingkat pendapatan keluarga merupakan faktor eksternal yang
mempengaruhi status gizi balita. Keluarga dengan status ekonomi menengah kebawah,
memungkinkan konsumsi pangan dan gizi terutama pada balita rendah dan hal ini mempengaruhi
status gizi pada anak balita Balita yang mempunyai orang tua dengan tingkat pendapatan kurang
memiliki risiko 4 kali lebih besar menderita status gizi kurang dibanding dengan balita yang
memiliki orang tua dengan tingkat pendapatan cukup.

i. Jumlah anggota keluarga


Jumlah anggota keluarga berperan dalam status gizi seseorang. Anak yang tumbuh dalam
keluarga miskin paling rawan terhadap kurang gizi. apabila anggota keluarga bertambah maka
pangan untuk setiap anak berkurang, asupan makanan yang tidak adekuat merupakan salah satu
penyebab langsung karena dapat menimbulkan manifestasi berupa penurunan berat badan atau
terhambat pertumbuhan pada anak, oleh sebab itu jumlah anak merupakan faktor yang turut
menentukan status gizi balita.

j. Sosial budaya
Budaya mempengaruhi seseorang dalam menentukan apa yang
akan dimakan, bagaimana pengolahan, persiapan, dan penyajiannya serta untuk siapa dan dalam
kondisi bagaimana pangan tersebut dikonsumsi. Sehingga hal tersebut dapat menimbulkan
masalah gizi buruk.

Malnutrisi pada anak masih menjadi masalah kesehatan utama di dunia. Data dari WHO pada
tahun 2010 menunjukkan sebanyak 18% anak usia di bawah lima tahun di negara berkembang
mengalami underweight. Keadaan kurang gizi dapat meningkatkan risiko terkena penyakit
infeksi karena daya tahan tubuh yang menurun. Sebaliknya, penyakit infeksi juga dapat
memengaruhi status gizi karena asupan makanan menurun, malabsorpsi, dan katabolisme tubuh
meningkat.

Pada setiap anak gizi buruk lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis. Anamnesis terdiri dari
anamnesis awal dan anamnesis lanjutan.
Anamnesis awal (untuk kedaruratan):
• Kejadian mata cekung yang baru saja muncul
• Lama dan frekuensi diare dan muntah serta tampilan dari bahan muntah dan diare
(encer/darah/lendir)
• Kapan terakhir berkemih
• Sejak kapan tangan dan kaki teraba dingin.
• Bila didapatkan hal tersebut di atas, sangat mungkin anak mengalami dehidrasi
dan/atau syok, serta harus diatasi segera.
Anamnesis lanjutan (untuk mencari penyebab dan rencana tatalaksana selanjutnya, dilakukan
setelah kedaruratan ditangani):
• Diet (pola makan)/kebiasaan makan sebelum sakit
• Riwayat pemberian ASI
• Asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi beberapa hari terakhir
• Hilangnya nafsu makan
• Kontak dengan pasien campak atau tuberkulosis paru
• Pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir
• Batuk kronik
• Kejadian dan penyebab kematian saudara kandung
• Berat badan lahir
• Riwayat tumbuh kembang: duduk, berdiri, bicara dan lain-lain
• Riwayat imunisasi
• Apakah ditimbang setiap bulan
• Lingkungan keluarga (untuk memahami latar belakang sosial anak)
• Diketahui atau tersangka infeksi HIV
Pemeriksaan fisis

• Apakah anak tampak sangat kurus, adakah edema pada kedua punggung kaki.
Tentukan status gizi dengan menggunakan BB/TB-PB.
• Tanda dehidrasi: tampak haus, mata cekung, turgor buruk (hati-hati menentukan
status dehidrasi pada gizi buruk).
• Adakah tanda syok (tangan dingin, capillary refill time yang lambat, nadi lemah
dan cepat), kesadaran menurun.
• Demam (suhu aksilar ≥ 37.5° C) atau hipotermi (suhu aksilar < 35.5° C).
• Frekuensi dan tipe pernapasan: pneumonia atau gagal jantung
• Sangat pucat
• Pembesaran hati dan ikterus
• Adakah perut kembung, bising usus melemah/meninggi, tanda asites, atau adanya
suara seperti pukulan pada permukaan air (abdominal splash)
• Tanda defisiensi vitamin A pada mata:
◦ Konjungtiva atau kornea yang kering, bercak Bitot
◦ Ulkus kornea
◦ Keratomalasia
• Ulkus pada mulut
• Fokus infeksi: telinga, tenggorokan, paru, kulit
• Lesi kulit pada kwashiorkor:
◦ hipo- atau hiper-pigmentasi
◦ deskuamasi
◦ ulserasi (kaki, paha, genital, lipatan paha, belakang telinga)
◦ lesi eksudatif (menyerupai luka bakar), seringkali dengan infeksi sekunder
(termasuk jamur).
• Tampilan tinja (konsistensi, darah, lendir).
• Tanda dan gejala infeksi HIV
Tabel 1. Klasifikasi Status Gizi
Indeks Simpangan Baku Status Gizi
≥ 2 SD Gizi Lebih
-2 SD sampai +2 SD Gizi Baik
BB / U
<-2 SD sampai -3SD Gizi Kurang
<-3 SD Gizi Buruk
-2 SD sampai +2 SD Normal
TB / U
< -2 SD Pendek
≥ 2 SD Gemuk
-2 SD sampai +2 SD Normal
BB / TB
< -2 SD sampai -3 SD Kurus
< -3 SD Sangat Kurus

Terdapat 3 tipe gizi buruk adalah marasmus, kwashiorkor, dan marasmus-kwashiorkor.


Perbedaan tipe tersebut didasarkan pada ciri-ciri atau tanda klinis dari masing-masing tipe yang
berbeda-beda.
a. Marasmus

Gambaran klinik marasmus berasal dari masukan kalori yang tidak cukup karena diet
yang tidak cukup, karena kebiasaan makan yang tidak tepat seperti mereka yang hubungan
orangtua-anak terganggu, atau karena kelainan metabolic atau malformasi congenital.
Gangguan berat setiap system tubuh dapat mengakibatkan malnutrisi.16
Marasmus adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat. Gejala yang timbul
diantaranya muka seperti orangtua (berkerut), tidak terlihat lemak dan otot di bawah kulit
(kelihatan tulang di bawah kulit), rambut mudah patah dan kemerahan, gangguan kulit,
gangguan pencernaan (sering diare), pembesaran hati dan sebagainya. Anak tampak sering
rewel dan banyak menangis meskipun setelah makan, karena masih merasa lapar. Berikut
adalah gejala pada marasmus adalah : 17
a. Anak tampak sangat kurus karena hilangnya sebagian besar lemak dan otot-ototnya,
tinggal tulang terbungkus kulit
b. Wajah seperti orang tua
c. Iga gambang dan perut cekung
d. Otot paha mengendor (baggy pant)
e. Cengeng dan rewel, setelah mendapat makan anak masih terasa lapar

b. Kwashiorkor

Penampilan tipe kwashiorkor seperti anak yang gemuk (suger baby), bilamana dietnya
mengandung cukup energi disamping kekurangan protein, walaupun dibagian tubuh lainnya
terutama dipantatnya terlihat adanya atrofi. Tampak sangat kurus dan atau edema pada kedua
punggung kaki sampai seluruh tubuh.
Walaupun defisiensi kalori dan nutrien lain mempersulit gambaran klinik dan kimia,
gejala utama malnutrisi protein disebabkan karena masukan protein tidak cukup bernilai
biologis baik. Dapat juga karena penyerapan protein terganggu, seperti pada keadaan diare
kronik, kehilangan protein abnormal pda proteinuria (nefrosis), infeksi, perdarahan atau luka
bakar, dan gagal mensintesis protein, seperti pada penyakit hati kronik .16
Kwashiorkor merupakan sindrom klinis akibat dari defisiensi protein berat dan masukan
kalori tidak cukup. Dari kekurangan masukan atau dari kehilangan yang berlebihan atau
kenaikan angka metabolik yang disebabkan oleh infeksi kronik, akibat defisiensi vitamin dan
mineral dapat turut menimbulkan tanda-tanda dan gejala-gejala tersebut. Bentuk malnutrisi
yang paling serius dan paling menonjol di dunia saat ini terutama berada di daerah industri
belum bekembang.16
Bentuk klinik awal malnutrisi protein tidak jelas tetapi meliputi letargi, apatis atau
iritabilitas. Bila terus berlanjut, mengakibatkan pertumbuhan tidak cukup, kurang stamuna,
kehilangan jaringan muskuler, meningkatnya kerentanan terhadap infeksi, dan udem.
Imunodefisiensi sekunder merupakan salah satu dari manifestasi yang paling serius dan
konstan. Pada anak dapat terjadi anoreksia, kekenduran jaringan subkutan dan kehilangan
tonus otot. Hati membesar dapat terjadi awal atau lambat, sering terdapat infiltrasi lemak.
Udem biasanya terjadi awal, penurunan berat badan mungkin ditutupi oleh udem, yang sering
ada dalam organ dalam sebelum dapat dikenali pada muka dan tungkai. Aliran plasma ginjal,
laju filtrasi glomerulus, dan fungsi tubuler ginjal menurun. Jantung mungkin kecil pada awal
stadium penyakit tetapi biasanya kemudian membesar. Pada kasus ini sering terdapat
dermatitis. Penggelapan kulit tampak pada daerah yang teriritasi tetapi tidak ada pada daerah
yang terpapar sinar matahari. Dispigmentasi dapat terjadi pada daerah ini sesudah
deskuamasi atau dapat generalisata. Rambut sering jarang dan tipis dan kehilangan sifat
elastisnya. Pada anak yang berambut hitam, dispigmentasi menghasilkan corak merah atau
abu-abu pada warna rambut (hipokromotrichia).16
Infeksi dan infestasi parasit sering ada, sebagaimana halnya anoreksia, mual, muntah, dan
diare terus menerus. Otot menjadi lemah, tiois, dan atrofi, tetapi kadang-kadang mungkin ada
kelebihan lemak subkutan. Perubahan mental, terutama iritabilitas dan apati sering ada.
Stupor, koma dan meninggal dapat menyertai.16
Berikut ciri-ciri dari kwashiorkor secara garis besar adalah :
a. Perubahan status mental : cengeng, rewel, kadang apatis
b. Rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah dicabut, pada penyakit
kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat rambut kepala kusam.
c. Wajah membulat dan sembab
d. Pandangan mata anak sayu
e. Pembesaran hati, hati yang membesar dengan mudah dapat diraba dan terasa kenyal pada
rabaan permukaan yang licin dan pinggir yang tajam.
f. Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah menjadi coklat
kehitaman dan terkelupas
c. Marasmik-Kwashiorkor

Gambaran klinis merupakan campuran dari beberapa gejala klinik kwashiorkor dan
marasmus. Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung protein dan juga energi untuk
pertumbuhan yang normal. Pada penderita demikian disamping menurunnya berat badan <
60% dari normal memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti edema, kelainan rambut,
kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula.17
Gizi buruk terjadi karena adanya makanan yang tidak adekuat, akan menyebabkan
mobilisasi berbagai cadangan makanan untuk menghasilkan kalori demi penyelamatan hidup,
dimulai dengan pembakaran cadangan karbohidrat kemudian cadangan lemak serta protein
dengan melalui proses katabolik. Kalau terjadi stres katabolik (infeksi) maka kebutuhan akan
protein akan meningkat, sehingga dapat menyebabkan defisiensi protein yang relatif, kalau
kondisi ini terjadi pada saat status gizi masih diatas -3 SD (-2SD--3SD), maka terjadilah
kwashiorkor (malnutrisi akut/”decompensated malnutrition”). Pada kondisi ini penting peranan
radikal bebas dan anti oksidan. Bila stres katabolik ini terjadi pada saat status gizi dibawah -3
SD, maka akan terjadilah marasmik-kwashiorkor. Kalau kondisi kekurangan ini terus dapat
teradaptasi sampai dibawah -3 SD maka akan terjadilah marasmik (malnutrisikronik/
compensated malnutrition). Dengan demikian pada KEP dapat terjadi: gangguan pertumbuhan,
atrofi otot, penurunan kadar albumin serum, penurunan hemoglobin, penurunan sistem kekebalan
tubuh, penurunan berbagai sintesa enzim.16
Penyakit marasmus-kwashiorkor memperlihatkan gejala campuran antara penyakit
marasmus dan kwashiorkor.Makanan sehari-harinya tidak cukup mengandung protein dan juga
energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada penderita demikian, di samping menurunnya berat
badan di bawah 60% dari normal, memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti edema,
kelainan rambut, kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula. Pada KEP terdapat
perubahan nyata dari komposisi tubuhnya, seperti jumlah dan distribusi cairan, lemak, mineral,
dan protein, terutama protein otot.16
Kurangnya protein dalam diet akan menimbulkan kekurangan berbagai asam amino
essensial yang dibutuhkan untuk sintesis albumin, sehingga terjadi hipoalbuminemia dan edema.
Anak dengan marasmus kwashiorkor juga sering menderita infeksi multipel, seperti tuberkulosis
dan gastroenteritis. Infeksi akan mengalihakan penggunaan asam amino ke sintesis protein fase
akut, yang semakin memperparah berkurangnya sintesis albumin di hepar. Penghancuran
jaringan akan semakin lanjut untuk memenuhi kebutuhan energi, memungkinkan sintesis glukosa
dan metabolit essensial lainnya seperti asam amino. Kurangnya kalori dalam diet akan
meningkatkan kadar kortisol dan menurunkan kadar insulin. Hal ini akan menyebabkan atrofi
otot dan menghilangnya lemak di bawah kulit. Pada awalnya, kelaina ini merupakan proses
fisiologis. Untuk kelangsungan hidup, jaringan tubuh memerlukan energi yang dapat dipenuhi
oleh makanan yang diberikan, jika hal ini tidak terpenuhi maka harus didapat dari tubuh sendiri
sehingga cadangan protein digunakan juga untuk memenuhi kebutuhan energi. Tubuh akan
mengandung lebih banyak cairan sebagai akibat menghilangnya lemak dan otot sehingga tampak
edema.16
Pada anamnesis sering didapatkan keluhan pertumbuhan dan perkembangan terganggu,
tubuh kurus, berat badan yang kurang atau sukar bertambah, serta anak sering rewel. Pada
anamnesis juga diperoleh informasi bahwa sering terjadi infeksi berulang atau penyakit lain
seperti diare atau konstipasi (WHO, 2009).
Pada pemeriksaan fisik, penting untuk melakukan penilaian status antropometri yang
meliputi pengukuran berat badan (BB), tinggi atau panjang badan (TB/PB), lingkar lengan atas
(LLA). LLA dapat digunakan untuk menentukan status gizi yang dapat memperkirakan jumlah
otot rangka dalam tubuh (lean body mass atau massa tubuh tidak berlemak). Perlu dilakukan juga
pengukuran ketebalan lipatan kulit di lengan atas bagian posterior (lipatan trisep) yang ditarik
menjauhi lengan, sehingga lapisan lemak subkutan dapat diukur menggunakan jangka lengkung
(kaliper). Lemak di bawah kulit banyaknya adalah 50% dari lemak tubuh. Lipatan kulit normal
sekitar 1,25 cm pada laki-laki dan 2,5 cm pada perempuan (WHO, 2009).
Berikut Kriteria Anak Gizi Buruk menurut KEMENKES, 2011
1. Gizi Buruk Tanpa Komplikasi
a. BB/TB : < -3SD dan atau;
b. Terlihat sangat Kurus dan atau;
c. Adanya edema dan atau;
d. LILA <11,5 cm untuk anak 6 – 59 bulan
2. Gizi Buruk dengan komplikasi
Gizi buruk dengan tanda-tanda tersebut di atas disertai salah satu atau lebih dari tanda
komplikasi medis berikut :
a. Anoreksia
b. Pneumonia berat
c. Anemia berat
d. Dehidrasi berat
e. Demam sangat tinggi
f. Penurunan kesadaran
(KEMENKES, 2011)
Alur pemeriksaan anak gizi buruk, KEMENKES, 2011 (Direktorat jenderal gizi)
2.8 Tatalaksana

Penanganan umum gizi buruk meliputi 10 langkah dan terbagi dalam 3 fase yaitu fase
stabilisasi, fase transisi, dan fase rehabilitasi seperti pada tabel berikut :
Tabel 3. Alur Tatalaksana Gizi Buruk (Direktorat Bina Gizi – Direktorat Jenderal Bina
Gizi KIA, 2011)

Jika ditemukan ulkus kornea, beri vitamin A dan obat tetes mata kloramfenikol/tetrasiklin
dan atropin, tutup mata dengan kassa yang telah dibasahi dengan larutan garam normal, dan
balutlah (WHO, 2009).
Perhitungan kebutuhan gizi menurut fase PMT
Energi Protein Cairan
80 – 100 100 – 130
Stabilisasi 1 – 1,5 g/kg/hari
kkal/kg/hari ml/kg/hari
100 – 150
Transisi 2 – 3 g/kg/hari 150 ml/kg/hari
kkal/kg/hari
150 – 200 150 – 200
Rehabilitasi 4 – 6 g/kg/hari
kkal/kg/hari ml/kg/hari

Hipoglikemia
Semua anak dengan gizi buruk berisiko hipoglikemia (kadar gula darah < 3 mmol/L atau
< 54 mg/dl) yang sering kali menyebabkan kematian pada 2 hari pertama perawatan (WHO,
2009). Tanda-tanda hipoglikemi pada anak tidak selalu diikuti dengan berkeringat dan pucat.
Anak dengan letargis, nadi lemah, dan kehilangan kesadaran merupakan tanda-tanda yang harus
diwaspadai terjadinya hipoglikemi, bahkan terkadang tanda-tanda hipoglikemi pada anak hanya
ditandai dengan mengantuk.
Tanda hipoglikemia pada anak menurut usia :
 Neonatus : Tremor, sianosis, hipotermia, kejang, apneu atau pernapasan tidak teratur, letargi
atau apatis, berkeringat, takipneau atau takikardia, tidak mau minum.
 Balita : Kejang, letargi, pucat, berkeringat dingin, hipotermia, takikardia, lemah, gangguan
bicara, dan koma
Diagnosis hipoglikemia pada anak :
1) Adanya gejala klinis hipoglikemia
2) Kadar gula plasma darah <50mg/dL
3) Respon klinis baik terhadap pemberian gula
Berikut tatalaksana anak gizi buruk dengan hipoglikemia:

Bila anak sadar dan dapat minum Bila anak tidak sadar
 Bolus 50 ml larutan glukosa 10%  Glukosa 10% intra vena (5mg/ml)
atau sukrosa 10% peroral atau diikuti 50 ml Glukosa 10% atau
dengan pipa NGT kemudian mulai sukrosa lewat pipa NGT. Kemudian
pemberian F75 setiap 2 jam. mulai pemberian F75 setiap 2 jam
 Antibiotik spektrum luas  Antibiotik spektrum luas
 Pemberian makan per 2 jam  Pemberian makanan per 2 jam

Tabel 3. Penanganan hipoglikemia pada anak dengan gizi buruk (WHO, 2009).
Pemantauan yang perlu dilakukan adalah setelah 2 jam ulangi pemeriksaan kadar gula
darah. Jika kadar gula darah di bawah 3 mmol/L (< 54 mg/dl), ulangi pemberian 50 ml
bolusglukosa 10% atau larutan sukrosa, lanjutkan pemberian makan F75 setiap 2 jam hingga
anak stabil. Jika suhu rektal < 35.5° C atau bila kesadaran memburuk, mungkin hipoglikemia
disebabkan oleh hipotermia, ulangi pengukuran kadar gula darah dan tangani sesuai keadaan
(hipotermia dan hipoglikemia).
Sebagai pencegahan, beri makanan awal (F-75) setiap 2 jam, mulai sesegera mungkin
atau jika perlu lakukan rehidrasi lebih dulu. Pemberian makan harus teratur setiap 2-3 jam siang
malam.

Koreksi Defisiensi Mikronutrien


Semua anak gizi buruk mengalami defisiensi vitamin dan mineral. Meskipunsering
ditemukan anemia, tidak boleh diberikan preparat besi pada periode awal (stabilisasi, transisi),
tetapi tunggusampai anak mempunyai nafsu makan yang baik dan mulai bertambah
beratbadannya (biasanya pada minggu kedua, mulai fase rehabilitasi). Pemberian preparatbesi
dapat memperburuk keadaan infeksi serta terjadinya reaksi oksidatif oleh besi bebas yang akan
merusak membran sel dan berakibat fatal (IDAI, 2011).
Tatalaksana
Pemberian pada hari 1:
- Asam folat 5 mg, oral
- Vitamin A: diberikan secara oral pada hari ke 1 (kecuali bila telah diberikan sebelum dirujuk)
(IDAI, 2011), dengan dosis seperti di bawah ini :

Tabel 6. Dosis vitamin A sesuai dengan usia anak (IDAI, 2011)

Umur Dosis (IU)


< 6 bulan 50 000 (1/2 kapsul Biru)
6–12 bulan 100 000 (1 kapsul Biru)
1-5 tahun 200 000 (1 kapsul Merah)

Pemberian harian selama 2 minggu:


- Asam folat 1 mg/hari
- Suplemen multivitamin
- Zinc (2 mg Zn elemental/kgBB/hari)
- Tembaga (0.3 mg Cu/kgBB/hari)
- Ferosulfat 3 mg/kgBB/hari setelah berat badan naik (pada fase rehabilitasi)
Jika ada gejala defisiensi vitamin A, atau pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir, beri
vitamin A dengan dosis sesuai umur pada hari ke 1, 2, dan 15 (IDAI, 2011).

Pemberian Makan Awal


Pada fase stabilisasi, pemberian makan (formula) harus diberikan secara hati-hati sebab
keadaan fisiologis anak masih rapuh dan kapasitas homeostasisnya berkurang. Pemberian makan
sebaiknya dimulai sesegera mungkin setelah pasien masuk dan harus dirancang untuk memenuhi
kebutuhan energi dan protein secukupnya untuk mempertahankan proses fisiologi dasar (IDAI,
2011).
Tatalaksana
Gambaran hal-hal penting dalam pemberian makan pada fase stabilisasi adalah sebagai berikut:
- Makanan dalam jumlah sedikit tetapi sering dengan osmolaritasrendahdan rendah laktosa (F-
75)
- Pemberian makan secara oral atau melalui NGT, hindari penggunaan parenteral
- Energi: 80 –100 kkal/kgBB/hari
- Protein: 1-1.5 g/kgBB/hari
- Cairan: 130 ml/kgBB/hari (bila ada edema berat beri 100 ml/kgBB/hari)
- Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan, tetapi pastikan bahwa jumlahF-75yang ditentukan
harus dipenuhi (IDAI, 2011).

Tabel 7. Jadwal pemberian F-75 (WHO, 2009)


HARI
FREKUENSI VOLUME/KGBB/PEMBERIAN VOLUME/KGBB/HARI
KE
1-2 setiap 2 jam 11 ml 130 ml
3-5 setiap 3 jam 16 ml 130 ml
6 dst setiap 4 jam 22 ml 130 ml

Formula awal F-75 sesuai resep (Tabel 8) dan jadwal makan (Tabel 7) dibuat untuk
mencukupi kebutuhan zat gizi pada fase stabilisasi. Pada F-75 yang berbahan serealia, sebagian
gula diganti dengan tepungberas atau maizena sehingga lebih menguntungkan karena
mempunyaiosmolaritas yang lebih rendah, tetapi perlu dimasak dulu. Formula ini baikbagi anak
gizi buruk dengan diare persisten (WHO, 2009).
Formula F-75 mengandung 75 kkal/100 ml dan 0,9 gram protein / 100 ml cukup
memenuhi kebutuhan bagi sebagian besar anak. Berikan dengan menggunakan cangkir atau
sendok. Anak yang sangat lemah, mungkin perlu diberikan dengan sendok atau secara drop atau
dengan spuit (IDAI, 2011).
Cara Membuat Formula WHO (F-75, F-100)
- Campurkan gula dan minyak sayur, aduk sampai rata dan masukkan susu bubuk sedikit demi
sedikit, aduk sampai kalis dan berbentuk gel.Tambahkan air hangat dan larutan mineral-mix
sedikit demi sedikitsambil diaduk sampai homogen dan volumenya menjadi 1000 ml.Larutan
ini bisa langsung diminum atau dimasak selama 4 menit.
- Untuk F-75 yang menggunakan campuran tepung beras atau maizena,larutan harus
dididihkan (5-7 menit) dan mineral-mix ditambahkansetelah larutan mendingin.
- Apabila tersedia blender, semua bahan dapat dicampur sekaligusdengan air hangat
secukupnya. Setelah tercampur homogen baruditambahkan air hingga volume menjadi 1000
ml. Apabila tidaktersedia blender, gula dan minyak sayur (dianjurkan minyak kelapa)harus
diaduk dahulu sampai rata, baru tambahkan bahan lain dan air hangat (WHO, 2009).
Jika jumlah petugas terbatas, beri prioritas untuk pemberian makan setiap2 jam hanya pada
kasus yang keadaan klinisnya paling berat, dan bilaterpaksa upayakan paling tidak tiap 3 jam
pada fase permulaan. Libatkan danajari orang tua atau penunggu pasien.Pemberian makan
sepanjang malam hari sangat penting agar anak tidakterlalu lama tanpa pemberian makan (puasa
dapat meningkatkan risiko kematian) (WHO, 2009).
Apabila pemberian makanan per oral pada fase awal tidak mencapaikebutuhan minimal (80
kkal/kgBB/hari), berikan sisanya melalui NGT. Janganmelebihi 100 kkal/kgBB/hari pada fase
awal ini. Pada cuaca yang sangat panas dan anak berkeringat banyak maka anakperlu mendapat
ekstra air/cairan.

Pemantauan
- Pantau dan catat setiap hari:
- Jumlah makanan yang diberikan dan dihabiskan
- Muntah
- Frekuensi defekasi dan konsistensi feses
- Berat badan (WHO, 2009).

Kriteria sembuh
Bila BB/TB atau BB/PB >-2 SD dan tidak ada gejala klinis dan memenuhi kriteria pulang
sebagai berikut (KEMENKES RI, 2011) Direktorat Bina Gizi 2011
a) Edema sdah berkurang atau hilang, anak sadar, dan aktif
b) BB/PB atau BB/TB >-3 SD
c) Komplikasi sudah teratasi
d) ibu telah mendapat konseling gizi
e) ada kenaikan BB sekitar 50 g/kgBB/minggu selama 2 minggu berturut-turut
selera makan sudah membak, makanan yang diberikan dapat di habiskan
dapus

1. Bahartha AS, AlEzzy J.I. Risk Factors of Diarrhea in Children Under Five Years in Al-
Mukalla Yemen. Saudi Med J. 2015; 36(6):720-4.

2. Ciccarelli S, Stolfi I, Caramia G. Management Strategies in the Treatment of Neonatal


and Pediatric Gastroenteritis. Dovepress. 2013; 6:133-161.

3. Dahlan MS. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Salemba Medika Edisi 5 cetakan
ketiga. 2013. Jakarta

4. Dahlan MS. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian Kedokteran
dan Kesehatan. Salemba Medika Edisi 3 cetakan kedua. Jakarta: 2013.

5. Danquah L., Mensah CM, Agyemang S, Awuah E.Risk Factors Associated with Diarrhea
Morbidity Among Children Younger than Five Years in the Atwima Nwabiagya District,
Ghana: A Cross-Sectional Study. Science Journal of Public Health. 2015; 3(3):344-52.

6. Departemen Kesehatan RI. Buku Saku Petugas Kesehatan Lintas Diare Lima Langkah
Tuntaskan Diare. 2011.

7. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2012. Buku Profil Kesehatan Provinsi Jawa
Tengah Tahun 2012. Semarang:

8. Dinas Kesehatan Kota Surakarta.Kasus Diare yang Ditangani Menurut Jenis Kelamin,
Kecamatan, dan Puskesmas Kota Surakarta Tahun 2014. Surakarta: 2015.
9. Eralita. Hubungan Sanitasi Lingkungan, Pengetahuan dan Perilaku Ibu Terhadap Diare
akut pada Balita di Kecamatan Pahandut Kota Palangka Raya. Program Pascasarjana
Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta. 2014.

10. Evayanti N. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Diare pada Balita yang
Berobat ke Badan Rumah Sakit Umum Tabanan. Jurnal Kesehatan Lingkungan. 2014;
4(2): 134-139.

11. Fauziah. Hubungan Faktor Individu dan Karakteristik Sanitasi Air Dengan Kejadian
Diare Pada Balita Umur 10-59 bulan di Kelurahan Sumur Batu Kecamatan Bandar
Gebang Kota Bekasi Tahun 2013. Universitas Islam Negeri. 2013.

12. Kasaluhe, Meityn D.FaktorFaktor yang Berhubungan dengan Kejadian Diare pada Balita
di Wilayah Kerja Puskesmas Tahuna Timur Kabupaten Kepulauan Sangihe. Jurnal
Online. Fakultas Kesehatan Masyara. 2014.

13. Kementrian Kesehatan, R. I.Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia tahun 2016.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Pusdatin Kemenkes RI 2017.

14. Profil Kesehatan NTB 2015

Anda mungkin juga menyukai