BAB I
PRNDAHULUAN
A. Latar Belakang
Prof. Indriyanto Seno Adji menjelaskan bahwa persoalan Korupsi tetap akan
menjadi fokus monopoli penegakan hukum di era tahun 2009 kedepan, walaupun secara
realitas instrumen hukum yang ada baik secara nasional maupun internasional dalam
upaya pemberantasan tindak pidana korupsi maupun dalam upaya pengembalian aset
hasil korupsi dirasakan masih kurang dan belum cukup dalam memberantas tindak pidana
tersebut.
Banyak kalangan yang sependapat bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia
telah berkembang secara sistemik dan meluas. Bagi sebagian dari masyarakat kita
mungkin praktik korupsi sekarang tidak lagi dipandang sebagai “perbuatan melawan
hukum” (onrechmatige daad) karena saking sering dan biasanya terjadi dalam kehidupan
seharihari. Apabila ditinjau dari sisi kehidupan sosial-kemasyarakatan, tindak pidana
korupsi merupakan “benalu sosial” yang merusak struktur pemerintahan, serta menjadi
penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan nasional. Dalam
praktiknya tindak pidana korupsi memang sangat sukar bahkan hampir tidak mungkin
diberantas habis sama sekali oleh karena di samping cukup sulit mengadakan
pembuktian-pembuktian yang eksak, praktik korupsi juga tidak begitu mudah dideteksi
dengan dasar-dasar hukum yang pasti. Menurut Juru Bicara KPK, Johan Budi, sebagian
besar tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan Negara berkaitan dengan
APBN/APBD. Sejak tahun 2004, ada lima tipe korupsi yang mengemuka, yaitu: (1)
berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa, dimana lebih dari 60 persen yang ditangani
KPK terkait pengadaan barang dan jasa, contohnya mark up (penggelembungan harga)
dan penyalahgunaan kewenangan; (2) berupa pungutan-pungutan liar oleh pejabat atau
penyelenggara Negara; (3) terkait perizinan, yang biasanya terjadi transaksi pemberian
uang ke bupati-bupati atau pejabat daerah terkait penerbitan izin tertentu; (4) terkait
dengan penyalahgunaan anggaran; dan (5) korupsi yang berupa suap-menyuap.1
Adanya konsep dan pengertian korupsi yang jelas parameter dan batas-batasnya,
sangat diperlukan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat.
Parameter dan ruang lingkup korupsi itu perlu dirumuskan sehingga mudah dicerna
masyarakat. Perangkat undang-undang yang menjerat pelaku tindak pidana korupsi
adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2001. Sebagai suatu delik formil definisi tindak pidana korupsi tidak diatur secara
definitive dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. Berdasarkan Laporan Bank
Dunia dalam Global Development Finance 20002, Indonesia Negara yang mempunyai
hutang yang parah tapi penghasilannya rendah (Severely Indebted Low Income Country),
satu kelompok dengan Negara-Negara termiskin didunia seperti Mali dan Ethiopia.
Dalam hal pengembalian aset Negara pada tindak pidana korupsi, Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) telah menyetujui dan menetapkan sejumlah konvensi yang
berkaitan dengan upaya menekan tingkat kejahatan, antara lain United Nation Convention
Against Illicit Trafic in Narcotic Drugs and Phychotropic Substances (1988), United
Nations Convention on Transnational Organized Crime (UNTOC, 2000), dan United
Nation Convention Against Corruption (UNCAC, 2003). Selain itu ada pula rekomendasi
yang dikeluarkan oleh Financial Action Task Force (FATF). Salah satu bagian penting
dari konvensi-konvensi PBB dan rekomendasi FATF tersebut adalah adanya pengaturan
yang berkaitan dengan penelusuran, penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen
tindak pidana, termasuk juga kerjasama internasional dalam rangka pengembalian hasil
dan instrumen tindak pidana kepada “Negara korban”, dengan pendekatan follow the
money (“mengikuti aliran uang”) sebagai paradigma baru dalam rezim anti pencucian
uang (AML Regime). Beberapa Negara yang telah menetapkan undangundang mengenai
1
http://www.ppatk.go.id/files/RESENSIBUKUMUHAMMADYUSUF0.pdf diakses pada tanggal
2 Desember 2015 pukul 19.00 WIB
2
Dalam buku Arya Maheka, Mengenali dan Memberantas Korupsi, Jakarta, hlm. 7.
perampasan hasil dan instrumen tindak pidana, antara lain Pemerintah Inggris pada tahun
2002, Pemerintah Australia juga pada tahun 2002, dan Pemerintah Selandia Baru pada
tahun 2005. Ketentuan baru ini membuka kesempatan yang sangat luas bagi aparat
penegak hukum untuk menyita dan merampas instrumen dan aset hasil tindak pidana.
Kekeliruan paradigma terkait dengan uang pengganti kejahatan korupsi terkandung
dalam Pasal 18 Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo. Undang-undang No 20 Tahun
2001, di mana perampasan harta atau kekayaan hanya ditujukan kepada terpidana.
Padahal modus menyembunyikan harta kekayaan hasil korupsi biasanya dengan
menggunakan sanak keluarga, kerabat dekat atau orang kepercayaannya. Contoh yang
paling nyata adalah kasus korupsi APBD yang melibatkan Hendy Boedoro, mantan
bupati Kendal yang telah divonis penjara oleh pengadilan tipikor di tingkat kasasi MA
selama tujuh tahun beserta uang denda serta uang penganti sebesar 13,121 miliar. Putusan
kasasi MA jatuh pada bulan juni 2008, akan tetapi hingga tahun 2010, Hendy Boedoro
belum membayar uang pengganti sebagaimana putusan kasasi MA. Ironisnya, pada Mei
2010 istri Hendy Boedoro, Widya Kandi Susanti resmi megikuti pilkada Kendal dan
menang. Padahal, untuk menjadi calon bupati, dibutuhkan uang yang tidak sedikit.3
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Mekanisme Asset Recovery Sesuai dalam Ketentuan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan dalam
Kententuan UNCAC ?
2. Bagaimana Efektifitas Asset Recovery Negara dalam Tindak Pidana Korupsi Lintas
Yurisdiksi?
3
Adnan Topan Husodo, 2010, “Catatan Kritis atas Usaha Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana
Korupsi” dalam Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana, Jurnal Legislasi Indonesia, hlm. 584.
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang dilaksanakan
oleh Kejaksaan Agung dan KPK sebagai aparat berwenang dalam penegakan hukum
juga mengenal dua mekanisme pengembalian aset, yaitu; 5
a) pengembalian aset melalui perampasan aset tanpa pemidanaan, serta
b) pengembalian aset secara sukarela. Namun, pengembalian asset oleh KPK hanya
dilakukan melalui jalur pidana dan secara sukarela.
4
Purwaning M Yanuar, 2007, Pengembalian Aset Hasil Korupsi. Bandung: PT Alumni, hlm. 206.
5
Ibid.
Berikut adalah penjabaran 5 mekanisme pengembalian asset yang dikenal di Indonesia:6
Dalam hal pengembalian asset oleh kejaksaan dan KPK kedua berdasarkan atas
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain kedua
undang-undang tersebut, Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi adalah lndasan hukum yang dipakai sesuai dengan instansi
keduanya.
Sementara dalam pada Pasal 38 ayat (5), (6), (7) Undang-Undang Nomor 31
tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagai berikut:
“(5) dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat
bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana
6
Dalam Jurnal Himawan Ahmed Sanusi Berjudul Mekanisme Pengembalian Aset Hasil Tindak
Pidana Korupsi, hlm. 3-15.
korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-
barang yang telah disita. (6). penetapan perampasan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (5) tidak dapat dimohonkan upaya banding. (7). setiap orang yang
berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah
menjatuhkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), dalam waktu 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3).”
7
Ibid.
”temporally prohibiting the transfer, conversion, disposition, or movement of
property or temporally assuming custody or control of property on the basis of an
order issued by court or competent authority”.
c) Penyitaan
Penyitaan diatur dalam ketentuan Pasal 1 Butir 16 KUHAP yaitu
“serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di
bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak
berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan
peradilan”.
f) Penyerahan asset
Peneyrahan asset adalah serangkaian upaya yang dilakukan oleh lembaga
pengelola asset untuk kemudian diserahkan kepada Penuntut Umum atau jaksa
eksekutor untuk dilanjutkan pada proses hukum selanjutnya.
Pengembalian asset melali jalur perdata dapat ditemukan ketentuannya dalam Pasal 32
ayat (1), Pasal 34, Pasal 38B ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 sebagai berikut:
“dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak
pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian
keuangan Negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan
tersebut kepada jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan
kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh
juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian
harta benda tersebut dirampas untuk Negara. (3). tuntutan perampasan harta benda
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diajukan oleh penuntut umum pada saat
membacakan tuntutannya pada perkara pokok.,”
Pasal 20 UNCAC 2003, Pasal 3 Butir 2 UNCAC 2003 makna “Kerugian Negara”
sebagai berikut:
“bahwa tunduk pada konstitusinya dan prinsip-prinsip dasar dari sistem hukumnya,
setiap Negara peserta wajib mengadopsi tindakan-tindakan legeslatif dan tindakan-
tindakan yang lain sejauh diperlukan untuk menetapkan sebagai suatu tindak pidana, bila
dilakukan dengan sengaja, memperkaya secara tidak sah, yaitu suatu kenaikan yang
berarti dari aset-aset seorang pejabat publik yang tidak dapat dijelaskan secara masuk
akal berkaitan dengan pendapatanya yang sah”.
Pengajuan gugatan perdata dinilai seperti senjata yang sangat ampuh untuk
langsung menyerang para pelaku tindak pidana dalam upaya pengembalian aset-aset hasil
tindak pidana korupsi selain mendapatkan hukuman pidana. Hal tersebut harus
dilaksanakan apabila aset yang disebutkan dalam putusan sebelumnya melalui jalur
pidana, tidak sebanding dengan aset yang telah dikorupsi, atau ditemukan lagi adanya
aset lain yang belum terindikasi sebagai hasil tindak pidana korupsi. Menurut George
Kegoro, Seorang Sekertaris Law Society Kenya, upaya melalui jalur gugatan perdata
memang dapat memberikan hasil yang signifikan dalam pengembalian asset, misalnya
dalam kasus Kuwait yang Menggugat Group Torras di Pengadilan Inggris.8
8
Purwaning M Yanuar., Op.Cit, hlm. 248.
3. Pengembalian Aset Melalui Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan
Non-Conviction Based juga dikenal dengan pengembalian asset tanpa melalui jalur
pemidanaan. Dalam upaya ini dilakukan dengan cara perampasan aset tanpa adanya
pemidanaan pelaku. Pada bulan september 2007 Bank Dunia bermitra dengan Kantor
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai narkoba dan kejahatan meluncurkan Stolen Asset
Recovery Initiative (StAR) sebagai pelaksanaan dari UNCAC 2003. Perampasan Aset
NCB merupakan alat penting untuk memulihkan hasil dan instrumentalisasi korupsi. Ini
merupakan mekanisme yang sah dalam melaksanakan penahanan, perampasan dan
perampasan aset curian tanpa perlu adanya pemidanaan kejahatan, karena ini merupakan
esensial keberhasilan pemulihan aset ketika dihadapkan pada situasi pelaku kejahatan
telah meninggal dunia, telah melarikan diri dari yurisdiksinya, kebal terhadap investigasi
atau penuntutan, atau intinya terlalu kuat untuk dituntut.9
Dalam hal keberadaan pengembalian asset, StAR ini memiliki peranan penting
termasuk bagi Indonesia yang dapat membantu dalam hal menghasilkan dan
menyebarkan pengetahuan mengenai pemulihan aset dan mendukung pelaksanaan
langkah-langkah yang mengurangi hambatan untuk pemulihan aset. StAR ini pula dapat
mendukung upaya nasional untuk membangun kapasitas kelembagaan untuk pemulihan
aset, seperti rezim perampasan yang efektif atau kapasitas untuk menanggapi serta
mengajukan permintaan bantuan hukum timbal balik internasional yang disertai dengan
pemantauan dana yang telah dipulihkan apabila diminta oleh pihak berwenang.10
9
Theodore S. Greenberg. Linda m Samuell, dkk, 2009, Stolen Asset Recovery Good Practice
Guide untuk Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan(Non-Conviction Based/ NCB Asset Forfeiture).
Woshington DC : Bank Dunia, hlm. 1.
10
Ibid.
adalah apabila pelanggar merupakan buronan. Hukuman pidana tidak memungkinkan
apabila terdakwa merupakan buronan. Pelanggar telah tiada atau meninggal dunia
sebelum adanya penghukuman, kematian mengakhiri suatu proses peradilan pidana.11
Masalah pengembalian asset dikenal juga dengan masalah kejahatan lintas Negara atau
lintas yurisdiksi. Hal ini dikarenakan koruptor sering menyembunyikan asetnya bahkan
sampai ke Negara lain. Secara historis pembentukan UNCAC 2003 dalam Pasal 51
hingga Pasal 59 banyak Negara yang pro dan kontra menyangkut mengenai persoalan
suatu kedaulatan Negara. Oleh sebab itu, ketentuan tersebut hanya mengatur mengenai
mekanisme, bentuk kerjasama, proses pembekuan, dan pengembalian asetnya. Tersirat
dalam pembukaan BAB V UNCAC 2003 ada kata-kata ‘... in accordance with its
domestic law...” artinya sudah mempersoalkan mengenai masalah kedaulatan suatu
Negara.
Pengembalian Aset secara sukarela merupakan bentuk prosedur lain dalam pengembalian
aset yang secara langsung diserahkan oleh pelaku tindak pidana korupsi atas putusan
yang telah berkekuatan hukum tetap. Komisi Pemberantasan Korupsi dengan jelasnya
menyebutkan suatu pengembalian aset itu tidak dapat dilakukan dengan cara mencicil
atau angsuran.12
Peristiwa ini terjadi pada perkara Abdulah Puteh yang didasari data Laporan Harta
Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) yang dikeluarkan KPK, tercatat harta kekayaannya
senilai Rp 13,5 miliar. Semuanya dalam bentuk tanah, rumah dan barang lainnya dan
bukan dana tunai. Permohonan utang kepada sebuah bank pun dilakukan untuk
membayar uang pengganti korupsi dan denda Rp 500 juta. Terpidana kasus korupsi
11
Ibid.
12
Lilik Mulyadi, 2007, Tindak Pidana Korupsi (Normatif, Teorits, Praktik, dan Masalahnya), PT
Alumni, Bandung, hlm. 107.
pembelian helikopter MI-2 Rostov buatan Rusia itu terpaksa harus mengagunkan
sejumlah aset tanah miliknya untuk memperoleh utang kepada Bank Mega untuk
memenuhi perintah pengadilan. Akhirnya, mantan gubernur Nanggroe Aceh Darusalam
membayar denda dengan cara berhutang di bank. Hal itu terjadi lantaran palu hakim
Mahkamah Agung menetapan Abdulah Puteh wajib membayar Rp 6,564 miliar dalam
putusan No. 1344K/Pid/2005. Namun, lain halnya dengan terpidana korupsi dana
reboisasi Probosutedjo yang sanggup membayar uang pengganti sebesar Rp 100,9 miliar
dan denda Rp 30 juta. Penandatanganan dilakukan di Lembaga Pemasyarakan Cipinang,
Jakarta, tempat Probo menjalani hukuman. Surat kesanggupan ditandatangani Probo dan
Jaksa Penuntut Umum I Ketut Murtika, sebagai penerima pernyataan kesanggupan.
Berdasarkan uraian diatas, pengembalian asset Negara dari tindak pidana korupsi
seharusnya tidak begitu rumit dengaan berpangku pada peraturan yang telah ada. Apabila
asset tersebut telah diwariskan kepada keluarga tau kerabat terdekat, maka asset tersebut
oleh ahli waris dapat dikembalikan secara sukarela kepada Negara melalui pengadilan.
Namun, dalam hal pengembalian asset dibutuhkan kestabilan aparat hukum yang sikron
dengan amanah Undang-Undang. Mekanisme penelulusuran asset, perampasan,
pembekuan, pengelolaan, pengawasan, penyerahan dan penyitaan melalui jalur pidana
dan adanya mechanism pengembalian asset secara sukarela dan tanpa pemidanaan
seharusnya dapat dilaksanakan dengan optimal, karena yang harus dipulihkan adalah
keuangan Negara, bukan hanya melulu pada pemidanaan pelaku tindak pidana korupsi.
Dalam sejarah perampasan aset korupsi di Indonesia masih belum membuahkan hasil
yang signifikan. Aset-aset yang dibawa keluar negeri seperti dalam beberpa kasus Edy
Tansil, Bank Global, kasus-kasus BLBI, dan kasuskasus lainnya sampai hari ini aparat
penegak hukum masih mengalami kesulitan pelacakan sampai perampasannya. Hambatan
itu bukan saja karena perangkat hukumnya yang masih lemah, tetapi juga belum
perangkat hukum yang mengatur kerjasama dengan Negara lain untuk perampasan hasil
13
kejahatan. Di Indonesia, beberapa ketentuan pidana sudah mengatur mengenai
kemungkinan untuk menyita dan merampas hasil dan instrumen tindak pidana.14
Jika kita berbicara mengenai pengembalian asset lintas yurisdiksi secara umum
maka kita akan kembali merujuk pada ketentuan dalam pasal 51 sampai dengan pasal 54
UNCAC mengenai Pengembalian asset. Sementara untuk mekanisme pengembalian asset
dijelaskan dalam pasal 54 ayat (1) poin a sampai c sebagai berikut:15
“setiap Negera Peserta, dalam rangka mengadakan bantuan hukum timbal balik sesuai
pasal 55 dari Konvensi ini, sehubungan dengan kekayaannya yang diperoleh melalui atau
terlibat dalam perbuatan kejahatan yang ditetapkan sesuai dengan Konvensi ini, wajib,
sesuai dengan hukum nasionalnya”
13
Ramelan, Laporan Akhir Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan
Aset Tindak Pidana, Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum
Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I, hlm. 6
14
Ketentuan-ketentuan di dalam KUHP dan KUHAP serta beberapa ketentuan perundang-
undangan lainnya telah mengatur mengenai kemungkinan untuk menyita dan merampas hasil dan
instrumen tindak pidana meskipun pengertiannya tidak sepenuhnya sama dengan pengertian hasil dan
instrumen tindak pidana yang berkembang pada saat ini
15
Andi hamzah, 2007, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Nasional dan Internasional,
United nations convention against corruption, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 430-432.
dengan alasan meninggal dunia, kabur, atau tidak hadir dalam kasus-kasus lain yang
sepadan.
16
Adnan Topan Husodo, 2010, “Catatan Kritis atas Usaha Pengembalian Aset Hasil Tindak
Pidana Korupsi” dalam Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana, Jurnal Legislasi Indonesia, hlm. 591.
17
Explanatory Note New Zealand Criminal Proceeds and Instruments Bill menyatakan bahwa …
Other jurisdiction, in Australia, Ireland and the United Kingdom, have introduced legislation that enable
criminal proceeds to be targeted without a conviction necessarily being obtained. These regimes are
proving considerably more effective than previous laws in terms of the value of criminal proceeds
confisticated.
18
Ibid.
Negara asing, karena di banyak yurisdiksi hal ini dapat memicu masalah yurisdiksi
dan prosedural.
2. sebagai Negara yang harus dipulihkan dari kerusakan yang disebabkan oleh tindak
pidana (korupsi). Penerimaan dari korupsi harus dipulihkan hanya dengan alasan
penyitaan, dan Negara Pihak diwajibkan untuk memungkinkan pengadilan mereka
untuk mengenali hak-hak korban Negara-Negara Pihak untuk menerima kompensasi.
Hal ini relevan dengan pelanggaran (tindak pidana) yang telah menyebabkan kerugian
di Negara Pihak lain.
3. sebagai pihak ketiga yang mengklaim hak kepemilikan dalam prosedur penyitaan,
baik secara perdata maupun pidana. Sebagai Negara korban mungkin saja tidak
mengetahui secara pasti prosedur yang akan dilakukan, maka Negara Pihak perlu
memberitahu Negara korban untuk mengikuti prosedur yang berlaku dan
membuktikan klaimnya.
Belajar dari kasus pengembalian aset yang berada dalam yurisdiksi asing,
Indonesia menemukan bahwa yurisdiksi Negara lain belum tentu menunjukkan outward
looking approach; sebaliknya, mereka telah memberlakukan kebijakan yang kaku dan
ketat berkaitan dengan rezim mendukung kerjasama internasional terkait rezim
pembekuan, penyitaan dan pengungkapan.19
19
Sebagaimana disampaikan oleh Bapak Havas Oegroseno yang saat itu masih menjabat sebagai
Dirjen Hukum dan Perjanjian Internasional Kemlu RI di UNODC Jakarta Talk Series, 2008.
20
Matthew H. Fleming, 2005, Asset Recovery and Its Impact on Criminal Behavior, An Economic
Taxonomy: Draft for Comments, University College, London, hlm. 27.
Beberapa mekanisme dalam melakukan proses pengembalian aset hasil tindak
pidana korupsi, yaitu: 21
a) pelacakan,
b) aset yang sudah dilacak dan diketahui kemudian dibekukan,
c) aset yang dibekukan lalu disita dan dirampas oleh badan berwenang dari Negara
dimana aset tersebut berada, dan kemudian dikembalikan kepada Negara tempat asset
tersebut diambil melalui mekanisme-mekanisme tertentu.
Tindak pidana korupsi merupakan polemic semua Negara karena Negara dapat
mengalami kerugian yang sangat banyak atas tindak pidana korupsi. Pengembalian asset
lintas yurisdiksi hingga saat ini masih menuai kendala. Sekalipun telah diatur dalam
hukum nasional maupun dalam ketentuan UNCAC, rupanya pengembalian asset hasil
korupsi masih terkendala pada pengekan hukum internasional yang berbenturan dengan
hukum nasional disetiap Negara.
Dalam Jurnal Svetlana Anggita Prasasthi, “Upaya Pemerintah Republik Indonesia dalam
21
Bantuan Hukum Timbal Balik untuk Masalah Pidana (Mutual Legal Assistance – Mla) terhadap
Pengembalian Aset di Luar Negeri Hasil Tindak Pidana Korupsi (Stolen Asset Recovery), hlm. 3.
f) Selain domestic law hukum di Negara tertentu cenderung me-legalize adanya
koruptor dari Negara lain yang manyimpan harta hasil korupsinya ke Negara tersebut.
Beberapa Negara cenderung menyulitkan eksekusi penyitaan aset
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Mekanisme pengembalian aset atau asset recovery diatur dalam ketentuan Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan dalam
kententuan UNCAC. Pengembalian aset dapat melalui jalur pidana berupa: perampasan,
pembekuan, pengelolaan, pengawasan, penyerahan, penyitaan, dana pemeliharaan
melalui jalur pidana. Selain itu dapat juga dilakukan dengan pengembalian aset melalui
jalur perdata, pengembalian aset secara sukarela, pengembalian aset jalur administrasi
dan politik, pengembalian aset tanpa pemidanaan, dan pengembalian asset secara
sukarela.
2. Mengenai pengembalian asset lintas yurisdiksi telah diatur dalam hukum nasional
maupun dalam ketentuan UNCAC, rupanya pengembalian asset hasil korupsi masih
terkendala pada pengekan hukum internasional yang berbenturan dengan hukum nasional
disetiap Negara. Selain system hukum yang berbeda, system perbankan dan financial
yang berbeda, juga atas penghargaan terhadap otonomi domestic law menentukan yang
kehendak dukungan kekuasaan Negara peserta. Kendala inilah yang menjadi salah satu
faktor penghambat sulitnya pengembalian aset hasil korupsi dilakukan di Indonesia.
B. Saran
1. Guna efektifitas pengembalian aset dalam tindak pidana korupsi dan menekan korupsi di
indonesia sesuai dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 dan dalam kententuan UNCAC, maka perlu adanya penjerahan
terhadap para koruptor tersebut dengan konsistensi aparat hukum (polisi, jaksa dan hakim)
yang tanpa pandang bulu dalam menjerat pelaku korupsi sesuai dengan asas equality
before the law.
2. Perlunya konsistensi setiap negara dalam memberantas tindak pidana korupsi dengan
sikap kooperatif dalam tahap pembuktian dan proses pengembalian aset lintas yurisdiksi.
DAFTAR PUSTAKA
Adnan Topan Husodo, 2010, “Catatan Kritis atas Usaha Pengembalian Aset Hasil Tindak
Pidana Korupsi” dalam Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana, Jurnal Legislasi
Indonesia.
Jurnal Himawan Ahmed, “Mekanisme Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi”.
Theodore S. Greenberg. Linda m Samuell, dkk. 2009. Stolen Asset Recovery Good Practice
Guide untuk Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan(Non-Conviction Based/ NCB Asset
Forfeiture), Bank Dunia, Woshington DC.
Lilik Mulyadi. 2007. Tindak Pidana Korupsi (Normatif, Teorits, Praktik, dan Masalahnya), PT
Alumni, Bandung.
Andi hamzah, 2007, Pemberantasan korupsi melalui hukum nasional dan internasional, United
Nations Convention Against Corruption, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Matthew H. Fleming, 2005, Asset Recovery and Its Impact on Criminal Behavior, An Economic
Taxonomy: Draft for Comments,University College London, hlm. 27.
Peraturan Perundang-Undangan: