Anda di halaman 1dari 52

1

MAKALAH

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan Khusus

ALIFIA FITRAH RAHMAWATI

1601470033

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN LAWANG

JURUSAN KEPERAWATAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke-hadirat Tuhan Yang MahaEsa yang telah memberikan

karunia serta kesehatan kepada penulis, sehingga penulis dapat mengerjakan

Makalah matakuliah Askep Gadar Khusus yang berjudul “Terapi Surfaktan” ini

hingga selesai.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah

mendukung dan membantu membuat makalah ini, terutama kepada:

1. Bapak Budiono, S.Kp, M.Kes selaku kepala Program Studi Sarjana

Terapan Keperawatan Lawang

2. Ibu Dr. Nurul Pujiastuti, S.Kep., Ns. M.Kes selaku dosen matakuliah

Askep Gadar Khusus

3. Kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyelesaian

makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak kekurangan.

Oleh karena itu, penulis mengharap kritik dan saran dari semua pihak dan

sekaligus pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita.

Lawang, 13 Desember 2019

Penulis

Alifia Fitrah Rahmawati

i
DAFTAR ISI

UCAPAN TERIMAKASIH ..................................................................................... i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................3
1.3 Tujuan Penulisan ...............................................................................................3
1.4 Manfaat .............................................................................................................4

BAB 2 TINJAUAN TEORI


2.1 Surfaktan ...........................................................................................................5
2.1.1 Definisi .....................................................................................................5
2.1.2 Fisiologis Surfaktan .................................................................................7
2.1.3 Sejarah Surfaktan .....................................................................................9
2.1.4 Jenis Surfaktan .......................................................................................10
2.1.5 Fungsi Fisiologis Surfaktan Paru ...........................................................14
2.2 Tahap Pematangan Paru Intrauterin ................................................................15
2.3 Penyakit Membran Hialin (PMH) ...................................................................17
2.3.1 Definisi ...................................................................................................17
2.3.2 Faktor Resiko .........................................................................................18
2.3.3 Patofisiologi ...........................................................................................18
2.3.4 Manifestasi Klinis ..................................................................................21
2.3.5 Diagnosis ................................................................................................21
2.3.6 Pemeriksaan Penunjang .........................................................................22
2.3.7 Pemberian Kortikosteroid Pada Kehamilan Preterm .............................26
2.3.8 Mekanisme Kortikosteroid dalam Pematangan Paru Intrauterine .........26
2.3.9 Dosis dan Teknik Pemberian Kortikosteroid .........................................27
2.4 Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) ..................................................................29
2.4.1 Definisi ...................................................................................................29
2.4.2 Etiologi ...................................................................................................30
2.4.3 Klasifikasi ..............................................................................................31
2.5 Faktor Resiko Terhadap PMH dan BBLR ......................................................31
2.5.1 Faktor Ibu ...............................................................................................32
2.5.2 Faktor Janin ............................................................................................35
2.5.3 Faktor Persalinan ...................................................................................41
2.6 Terapi Surfaktan Pada PMH ...........................................................................42
2.6.1 Efek Samping Surfaktan ........................................................................46
BAB 3 PENUTUP
5.1 Kesimpulan ......................................................................................................48

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................49

ii
1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Surfaktan adalah suatu senyawa percampuran yang dapat menurunkan

tegangan permukaan (atau tegangan antar permukaan) antara dua zat cair atau

antara zat cair dengan zat padat. Surfaktan pada paru manusia merupakan

senyawa lipoprotein dengan komposisi yang kompleks dengan variasi berbeda

sedikit diantara spesies mamalia. (Ayu & Sari, 2017)

Penyakit membran hialin (PMH) atau Respiratory Distress Syndrome

(RDS) adalah suatu sindroma yang terjadi pada bayi prematur karena

imaturitas struktur paru dan insufisiensi produksi surfaktan. Surfaktan

biasanya didapatkan pada paru yang matur, sedangkan pada bayi prematur

produksi surfaktan berkurang. Hal ini disebabkan karena pada bayi prematur,

sel pneumosit tipe II yang menghasilkan surfaktan kurang matur. Defisiensi

surfaktan ini akan mengakibatkan alveolus kolaps dan daya berkembang paru

kurang sehingga bayi akan mengalami sesak nafas . Sindrom ini terjadi

beberapa saat setelah lahir (4-6 jam) yang ditandai adanya pemapasan cuping

hidung, dispnu atau takipnu, retraksi (suprasternal, interkostal, atau

epigastrium), sianosis, suara merintih saat ekspirasi, yang menetap dan

menjadi progresif dalam 48-96 jam pertama kehidupan.(Sri Utami Fajariyah,

Herman Bermawi, 2016)

Prevalensi BBLR diperkirakan 15% dari seluruh kelahiran di dunia dengan

batasan 3,3%-38% dan lebih sering pada negara-negara berkembang atau

sosial ekonomi rendah. Kejadian BBLR didapatkan 90% di negara

berkembang dan menyebabkan angka kematian 35 kali dibandingkan bayi


lahir lebih dari 2500. Angka kejadian di Indonesia sangat bervariasi antara

satu daerah dengan daerah lainnya, yaitu berkisar antara 9%-30%. (Ayu &

Sari, 2017)

Penyakit membran hialin (PMH) biasanya terjadi pada bayi prematur dan

insidennya secara proporsional berlawanan dengan usia gestasi dan berat lahir.

Enam puluh sampai delapan puluh persen teijadi pada bayi dengan gestasi

kurang dari 28 minggu, 15-30% teijadi pada gestasi antara 32-36 minggu, dan

5% pada gestasi 37 minggu keatas (Sri Utami Fajariyah, Herman Bermawi,

2016)

Penyebab terbanyak dari angka kesakitan dan kematian pada bayi

prematur adalah Respiratory Distress Syndrome ( RDS ). Sekitar 5 -10%

didapatkan pada bayi kurang bulan, 50% pada bayi dengan berat 501-1500

gram (lemons et al,2001). Angka kejadian berhubungan dengan umur gestasi

dan berat badan dan menurun sejak digunakan surfaktan eksogen ( Malloy &

Freeman 2000). Saat ini RDS didapatkan kurang dari 6% dari seluruh

neonatus.4,5 Defisiensi surfaktan diperkenalkan pertamakali oleh Avery dan

Mead pada 1959 sebagai faktor penyebab terjadinya RDS. Penemuan

surfaktan untuk RDS termasuk salah satu kemajuan di bidang kedokteran,

karena pengobatan ini dapat mengurangi kebutuhan tekanan ventilator dan

mengurangi konsentrasi oksigen yang tinggi. (a, Etika, Damanik, Indarso, &

Harianto, 2018)

2
1.1 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan masalah pada makalah ini

adalah “bagaimana cara kerja terapi surfaktan”.

1.2 Tujuan Penulisan

1.2.1 Tujuan Umum

Mengetahui cara kerja surfaktan terhadap Penyakit Membran Hialin

(PMH) atau Respiratory Distress Syndrome (RDS) dan BBLR.

1.2.2 Tujuan Khusus

a. Mengetahui definisi terapi surfaktan

b. Mengetahui manfaat surfaktan

c. Mengetahui fungsi fisiologis surfaktan paru

d. Mengetahui jenis surfaktan

e. Mengetahui definisi Penyakit Membran Hialin (PMH)

f. Mengetahui faktor resiko Penyakit Membran Hialin (PMH)

g. Mengetahui patofisiologi Penyakit Membran Hialin (PMH)

h. Mengetahui manifestasi klinis Penyakit Membran Hialin (PMH)

i. Mengetahui diagnosis Penyakit Membran Hialin (PMH)

j. Mengetahui definisi BBLR

k. Mengetahui etiologi BBLR

l. Mengetahui klasifikasi BBLR

m. Mengetahui faktor resiko BBLR

n. Mengetahui terapi pemberian surfaktan pada Penyakit Membran Hialin

(PMH)

3
o. Mengetahui efek samping pemberian surfaktan Penyakit Membran

Hialin (PMH)

1.3 Manfaat

1. Mendapatkan pengetahuan tentang terapi pemberian surfaktan

2. Sebagai acuan dan pengembangan bagi para mahasiswa

3. Mampu menjadi referensi dalam bidang keperawatan

4
5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Surfaktan

2.1.1 Definisi

Surfaktan adalah suatu senyawa percampuran yang dapat

menurunkan tegangan permukaan (atau tegangan antar permukaan) antara

dua zat cair atau antara zat cair dengan zat padat. Surfaktan pada paru

manusia merupakan senyawa lipoprotein dengan komposisi yang

kompleks dengan variasi berbeda sedikit diantara spesies mamalia.

Senyawa ini terdiri dari fosfolipid (hampir 90% bagian), berupa

Dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC) yang juga disebut lesitin, dan

protein surfaktan sebagai SPA, SPB, SPC dan SPD (10% bagian). (Ayu &

Sari, 2017)

Surfaktan merupakan suatu senyawa organik yang bersifat

ampifilik, yaitu mempunyai bagian hidrofobik (pada bagian ekor)

sekaligus bagian hidrofilik (bagian kepala). Sehingga sebuah surfaktan

mengandung kedua komponen yang bersifat tidak larut air (larut minyak)

dan juga komponen larut air. Surfaktan akan menyebar di air dan

menyerap pada antarmuka udara dan air (atau minyak dan air pada

percampuran minyak dan air). Bagian hidrofobik surfaktan dapat keluar

dari zat cair menuju udara atau minyak, sementara bagian hidrofilik masih

tetap berada dalam zat cair. Keberadaan surfaktan pada permukaan suatu

zat akan merubah sifat dari permukaan air pada antarmukanya dengan

udara atau minyak. (Ayu & Sari, 2017)


Surfaktan dibuat oleh sel alveolus tipe II yang mulai tumbuh pada

gestasi 22-24 minggu dan mulai mengeluarkan keaktifan pada gestasi 24-

26 minggu, yang mulai berfungsi pada masa gestasi 32-36 minggu.

Produksi surfaktan pada janin dikontrol oleh kortisol melalui reseptor

kortisol yang terdapat pada sel alveolus type II. Produksi surfaktan dapat

dipercepat lebih dini dengan meningkatnya pengeluaran kortisol janin

yang disebabkan oleh stres, atau oleh pengobatan betamethasone atau

deksamethason yang diberikan pada ibu yang diduga akan melahirkan bayi

dengan defisiensi surfaktan atau kehamilan preterm 24-34 minggu. (Ayu

& Sari, 2017)

Paru-paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah

fosfolipid dalam cairan amnion dapat untuk menilai produksi surfaktan,

sebagai tolak ukur kematangan paru, dengan cara menghitung rasio

lesitin/sfingomielin dari cairan amnion. Sfingomielin adalah fosfolipid

yang berasal dari jaringan tubuh lainnya kecuali paru- paru. Jumlah lesitin

meningkat dengan bertambahnya gestasi, sedangkan sfingomielin

jumlahnya menetap. Rasio L/S biasanya 1:1 pada gestasi 31-32 minggu,

dan menjadi 2:1 pada gestasi 35 minggu. Rasio L/S 2:1 atau lebih

dianggap fungsi paru telah matang sempurna, rasio 1,5-1,9 sejumlah 50%

akan menjadi RDS, dan rasio kurang dari 1,5 sejumlah 73% akan menjadi

RDS. Bila radius alveolus mengecil, surfaktan yang memiliki sifat

permukaan alveolus, dengan demikian mencegah kolapsnya alveolus pada

waktu ekspirasi. Kurangnya surfaktan adalah penyebab terjadinya

6
atelektasis secara progresif dan menyebabkan meningkatnya distres

pernafasan pada 24-48 jam pasca lahir. . (Ayu & Sari, 2017)

2.1.2 Fisiologis Surfaktan

Fisiologis Surfaktan Efek fisiologis surfaktan pada paru preterm,

antara lain:

1. Mempertahankan stabilitas alveoli Alveoli digambarkan sebagai

bidang berbentuk bola dimana surfaktan berfungsi untuk

mempertahankan ukurannya. Alveoli bersifat interdependen dimana

struktur mereka ditentukan oleh bentuk dan elastisitas dinding alveoli

lain yang saling bersinggungan.3 Pada saat alveoli mengalami kolaps

maka alveoli di sekitarnya akan teregang oleh alveoli tersebut.

2. Menurunkan tegangan permukaan Kemampuan surfaktan untuk

menuurunkan tegangan permukaan berasal dari komponen fosfolipid

yang dikandungnya. Fosfolipid memiliki bagian hidrofilik dan

sekaligus bagian hidrofobik.

3. Reduksi ultra-filtrasi Selain menurunkan tegangan permukaan secara

keseluruhan dan menciptakan stabilitas alveolar, surfaktan juga

mencegah terjadinya edema paru. Apabila tidak terdapat surfaktan,

untuk mengembangkan alveoli, tekanan transpulmoner harus

meningkat hingga mencapai -28 cm H2O, ini akan menyebabkan net

gradient tekanan yang bekerja dengan arah keluar. Namun dengan

adanya surfaktan, tegangan permukaan akan menurun, sehingga

mengurangi tekanan transpulmoner yang dibutuhkan, akibatnya net

7
gradien tekanan akan bekerja kearah dalam dan menjaga interstisial

alveoli tetap kering. (Ayu & Sari, 2017)

Masalah yang ditemukan pada BKB adalah akibat imaturitas

sistem organ. Biasanya akibat kegagalan adaptasi kehidupan di luar rahim,

disebabkan karena kurang matangnya sistem organ salah satunya pada

pernapasan bayi kurang bulan dapat beradaptasi dengan pergantian gas dan

terjadi depresi perinatal di ruang bersalin. Respiratory Distress Syndrome

(RDS) dapat disebabkan karena defisiensi surfaktan dan apne dapat

disebabkan karena kurang matangnya me- kanisme pengaturan napas.

Dilaporkan bahwa BKB juga mempunyai risiko terjadi Bronkho-

pulmonary dysplasia (BPD). Salah satu penyulit pada BBLR adalah

asfiksia karena faktor paru yang belum matang pada bayi BBLR yang

prematur, atau karena distres respirasi (gangguan napas ) pada BBLR yang

kecil untuk masa kehamilannya; sehingga BBLR mempunyai dua risiko

yang mengancam kehidupannya yaitu berat lahir rendah dan asfiksia.

(Nugroho & Dewantiningrum, 2016)

Prematuritas merupakan salah satu penyebab mortilitas dan

morbiditas pada bayi. Salah satu penyebab kematian pada bayi prematur

adalah respiratory distress syndrome (RDS). RDS berhubungan dengan

struktur dan fungsi paru yang imatur. Imaturitas struktur dan fungsi paru

akan mengurangi produksi surfaktan oleh sel alveolar tipe II sehingga

terjadi defisiensi surfaktan dan mengakibatkan RDS. Rasio

lecithin/sphingomyelin (L/S) merupakan gold standard pemeriksaan

8
maturitas paru dari cairan amnion. Paru janin imatur jika rasio L/S<2.0

dan matur jika rasio L/S ≥ 2.0. (Ayu & Sari, 2017)

2.1.3 Sejarah Surfaktan

Penelitian yang dilakukan oleh Pattle dan Clement pada tahun 1950-

1960 menemukan bahwa tegangan permukaan yang melapisi paru rendah,

rendahnya tegangan permukaan tersebut dikarenakan terdapatnya suatu

lapisan pada alveoli yang memungkinkan alveoli tidak mengembang

berlebihan saat inspirasi dan dapat kembali ke ukuran normal saat ekspirasi.

Lapisan tersebut yang kemudian disebut sebagai surfaktan paru. Pada tahun

1950, Avery melakukan penelitian yang bertujuan untuk membuktikan

penemuan Clement namun pembuktiannya dilakukan secara terbalik. Dia

ingin mengetahui apa yang teijadi jika pada paru tidak terdapat surfaktan.

Sedangkan Dr. Clement membandingkan tegangan permukaan paru yang

normal dan paru yang mengalami PMH, dan didapatkan kesimpulan bahwa

pada PMH terdapat defisiensi surfaktan. (Sri Utami Fajariyah, Herman

Bermawi, 2016)

Biosintesis surfaktan dimulai kira-kira pada minggu ke 16-24

kehamilan. Pembentukan dan proses memepertahankan lapisan permukaan

dilakukan melalui sistem metabolik yang komplek, meliputi sintesis,

penyimpanan intraseluler, sekresi, pembentukan lapisan permukaan, dan

pembentukan sisa partikel untuk kemudian di ambil dan di pecah atau di

daur ulang. Sel yang melakukan sintesa ini adalah sel tipe II alveolus.

Sintesa surfaktan teijadi didalam retikulum endoplasmik dari sel pneumosit

tipe II dengan substrat dasar glukose fosfat dan asam lemak. Sintesa ini

9
melibatkan berbagai enzim untuk membentuk fosfatidilkolin jenuh sebagai

fofolipid utama. (Sri Utami Fajariyah, Herman Bermawi, 2016).

Substrat untuk sintesa surfaktan, seperti glukosa dan asam lemak

diambil dari darah dan masuk melalui endotel kapiler dengan proses difusi,

setelah melalui komplek golgi, sintesis DPPC dilanjutkan di retikulum

endoplasmik didalam sel alveolus tipe II. DPPC dan protein hidrofobik

seperti SP-B dan SP-C dibungkus dalam badan lamelar, yang merupakan

granula penyimpanan dan granula sekresi, yang terdapat dalam sel tipe II.

Badan lamelar ini merupakan simpanan surfaktan intraseluler. (Sri Utami

Fajariyah, Herman Bermawi, 2016).

2.1.4 Jenis Surfaktan

Menurut (Sri Utami Fajariyah, Herman Bermawi, 2016) surfaktan

dibagi menjadi 2 jenis, yaitu :

1. Surfaktan Alami

Surfaktan alami bisa didapat dan paru sapi ataupun dari babi

yangpurifikasinya meliputi proses ekstraksi menggunakan pelarut

organik sehingga protein yang hidrofilik seperti surfaktan protein-A (SP-

A) dan surfaktan protein D (SP-D ) akan terbuang, jadi yang tertinggal

hanya material yang mengandung lipid dan sejumlah kecil protein

hidrofobik yaitu SP-B dan SP-C. Ekstrak surfaktan alami mengandung

protein spesifik yang membantu penyerapan surfaktan dan tahan terhadap

inaktifasi surfaktan. Surfaktan alami mempunyai onset keija yang cepat.

Jika dibandingkan dengan surfaktan sintesis, respon fisiologis setelah

diberikan surfaktan alami lebih cepat timbul yang di manifestasikan

10
dengan kemampuan untuk menurunkan FiO2 dan menurunkan tekanan

ventilator , namun kekurangan surfaktan alami harus disimpan dalam

kondisi beku.

2. Surfaktan Sintetis

Setelah para peneliti mengerti apa itu surfaktan, mereka mencoba

untuk meneliti apa komposisi surfaktan, di produksi oleh apa, bagaimana

regulasi serta bagaimana surfaktan dapat di replikasi dan di sintesa.

Surfaktan sintetis pertamakali diproduksi tahun 1980. Surfaktan ini hanya

mengandung dipalmitoiylphosphatidylcholine (DPPC), sebagai zat

permukaan aktif yang utama, Akhir-akhir ini surfaktan sintetis

mengandung campuran berbagai fosfolipid permukaan aktif dan zat

spreading. Kelebihan sintesis dibandingkan dengan yang alami yaitu

penympanannya lebih praktis, tidak perlu di bekukan, hanya disimpan

pada suhu dibawah 30°c dalam tempat yang kering.

Tabel 1. Surfactan Alami Tersedia Secara Komersil (derivatif hewan)

(Sri Utami Fajariyah, Herman Bermawi, 2016)

Nama Preparat Kandungan protein dan

Generik Phospholipid Utama *

Surfacten Surfactant- Ekstrak paru sapi dengan ditambah DPPC, PG, SP-B, SP-C

TA DPPC, tripalmitoylgiycerol, dan

asam palmitic

Survanta Beractant Ekstrak paru sapi dengan ditambah DPPC, PG, SP-B, SP-C

DPPC,

tripalmitoylgiycerol, dan asam

11
Curosurf Poractant Ekstrak paru sapi dengan perlakuan DPPC, SP-B, SP-C

ekstraksi chloroform- metanol

dimurnikan dengan cairan gel

chromatography

Infasurf Calf Lung Ekstrak paruanak sapi dengan DPPC, SP-B, SP-C

Surfactant perlakuan ekstraksi chloroform-

Extract methanol

BLES Bovine Ekstrak paru sapi dengan perlakuan DPPC, SP-B, SP-C

Lipid ekstraksi chloroformmethanol

Extract

Surfactant

Alveofact SF-RI 1 Ekstrak paru sapi dengan perlakuan DPPC, SP-B, SP-C

ekstraksi chloroformmethanol

* Semua surfactant alami mengandung lebih sedikit proporsi phospolipid lain,

lemak netral,dan asam Iemak. Proses pemurnian mengunakan asam organic untuk

melepaskan protein hydrophilic. Tidak satu pun surfactant alami mengandung

protein surfactant lainnya (SP-A) atau (SP-D) from Wiswell TE: perluasan dalam

penggunaan terapi surfactant. Clinical Perinat 28:695,2001

DPPC, Dipalmitoyphosphatidylcholine, PG, phospatidylglucerol, (SP-B mimic),

SP-B, Surfactant protein B, SP-C, surfactant protein C.

Tabel 2. Surfactan Sintetik (Sri Utami Fajariyah, Herman Bermawi, 2016)

Nama Nama Generik Preparat Kandungan protein dan

Dagang Phospholipid Utama

12
Exosurf Colfosceril DPPC dengan 9% DPPC, tanpa protein

plamitate, hexadecanol dan 6%

hexadecanol, tyloxapol

tyloxapol

Pneumacta Artificial lung DPPC dan PG dengan DPPC dan PG, tanpa protein

nt* expanding rasio 7 : 3

compound

(ALEC)

Surfaxin Lucinactant Sintesis peptide kimia Sinapultide, DPPC, POPG

kombinasi dengan dan asam palmitic

phospholipids dan asam

palmitic

Venicute rSP-C surfactant Rekombinan SP-C rSP-C, DPPC, POPG dan

kombinasi dengan asam palmitic

phospholipids dan asam

palmitic

* Pneumactant ditarik dari pasaran oleh produsen tahun 2000 from Wiswell TE:

perluasan dalam penggunaan terapi surfactant. Clinical Perinat 28:695,2001.

DPPC, Dipalmitoyphosphatidylcholine, PG, phospatidylglucerol, POPG,

palmytoil-oleoyl phosphatidylglycerol, rSP-C,recombinant surfactant protein C;

sinapultide, KL4 peptide (SP-B mimic); SP-C, surfactant protein C.

13
2.1.5 Fungsi Fisiologis Surfaktan Paru

Surfaktan merupakan zat aktif pada permukaan udara-air di alveoli

yang memberikan penurunan tegangan permukaan paru. Tegangan

permukaan yang tinggi timbul akibat adanya ketidakseimbangan distribusi

gaya molekul pada molekul air di permukaan udara-cairan. Tegangan

permukaan yang rendah yang dihasilkan oleh surfaktan membantu

mencegah alveolus kollaps dan menjaga cairan interstisial agar tidak

menggenangi alveolus. (Sri Utami Fajariyah, Herman Bermawi, 2016)

Surfaktan juga mencegah bronchioli tergenagi oleh cairan, yang

mengakibatkan obstruksi luminal. Kepentingan fisologis surfaktan dapat

dijelaskan dengan membandingkan hubungan tekanan-volume selama

inflasi dan deflasi pada paru dengan system surfaktan yang normal dengan

paru yang mengalami gangguan atau defisiensi system surfaktan. Kurva

tekanan-volume tersebut didapat dari pencatatan volume selama inflasi

paru yang tekanannya ditingkatkan secara bertahap sebesar 2 cmH2O.

kemudian dilakukan pula pencatatan selama deflasi dengan cara yang

sama. (Sri Utami Fajariyah, Herman Bermawi, 2016)

Dari kurva tekanan-volume, dapat disimpulkan bahwa setiap

tekanan >4 cmH20, paru normal menyimpan volume udara yang lebih

tinggi dibandingkan dengan paru yang tidak normal. Pada tekanan yang

tertinggi, paru normal berisi volume udara tiga kali lebih banyak jika

dibandingkan dengan paru yang tidak normal. Hubungan antara volume

dan tekanan dalam paru tersebut dinamakan compliance paru. (Sri Utami

Fajariyah, Herman Bermawi, 2016)

14
2.2 Tahap Pematangan Paru Intrauterin

Perkembangan paru normal dapat dibagi dalam beberapa tahap.

Organogenesis paru dibagi menjadi lima tahapan yang berbeda. Tahapan

awal meliputi fase embrionik (hari ke 26 hingga 52) dan fase

pseudoglanduler (hari ke 52 hingga akhir minggu ke-16 kehamilan), yang

berikutnya adalah fase kanalikuler (17 hingga 26 minggu kehamilan), fase

sakuler (26 hingga 36 minggu kehamilan) dan terakhir adalah fase alveolar

(36 minggu sampai 24 bulan postnatal).

Gambar 1. Perkembangan morfologi paru manusia. (Ayu & Sari, 2017)

Setelah lima tahapan perkembangan paru, paru memasuki tahapan

postnatal growth pada usia 2-18 tahun. Pada fase embrional, paru pertama

kali muncul sebagai sebuah ventral bud yang terpisah dari esofagus dan

kaudal dari sulkus laringotrakheal. Celah antara bud paru dan esofagus akan

semakin dalam, disertai dengan semakin memanjangnya bud dan mesenkim

dan semakin terpisah membentuk calon bronkhi. Pada fase pseudoglandular,

pembelahan cepat membentuk 15 hingga 20 saluran udara. Saluran udara

yang terbentuk dilapisi oleh selapis sel kuboid yang kaya akan glikogen.

Pembuluh darah arteri dan paru juga berkembang seiring dengan

perkembangan saluran udara. Di akhir fase pseudoglanduler saluran udara,

15
arteri dan vena telah berkembang menyerupai pola yang ditemukan pada

paru dewasa. Pada fase ini pula diafragma terbentuk dan memisahkan

rongga dada dan abdomen, kegagalan penutupan akan menyebabkan hernia

diafragma dan hipoplasia paru.

Fase kanalikuler, antara 17 hingga 26 minggu kehamilan,

menunjukkan perubahan dari paru yang praviabel menjadi paru yang

berpotensi viabel dengan kemampuannya untuk melakukan pertukaran gas.

Perubahan utama yang terjadi pada fase ini adalah terbentuknya asinus,

diferensiasi epitel dengan pembentukan sawar udara-darah (air blood

barrier) dan dimulainya sintesis surfaktan di sel tipe II. Struktur asinus

terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus alveolar, dan alveoli rudimenter.

Setelah usia kehamilan 20 minggu, sel kuboid yang kaya akan glikogen ini

akan mulai membentuk badan lamelar dalam sitoplasmanya menandakan

dimulainya produksi surfaktan. Badan lamelar mengandung protein

surfaktan dan fosfolipid dalam pneumosit tipe II dapat ditemui dalam asinus

tubulus pada stadium ini.

Fase sakuler merupakan fase perkembangan paru pada janin yang

dianggap viabel yaitu pada usia kehamilan 26 hingga 36 minggu. Sakulus

merupakan struktur terminal dari paru janin, yang terdiri dari tiga tahapan

pembentukan, yaitu bronkiolus repiratorik, duktus alveolaris, baru kemudian

terjadi septasi sekunder dari sakulus yang akan membentuk alveoli.

Alveolarisasi dimulai pada usia kehamilan 32 hingga 36 minggu dari

sakulus terminalis dengan munculnya septa yang mengandung kapiler, serat

elastin, dan kolagen. Selama tahap alveolar, dibentuk septa alveolar

16
sekunder yang terjadi dari gestasi 36 minggu sampai 24 bulan setelah lahir.

(Ayu & Sari, 2017)

2.3 Penyakit Membran Hialin (PMH)

2.3.1 Definisi

Penyakit membran hialin (PMH) atau Respiratory Distress

Syndrome (RDS) adalah suatu sindroma yang terjadi pada bayi prematur

karena imaturitas struktur paru dan insufisiensi produksi surfaktan. Pada

bayi prematur, defisiensi surfaktan, baik produksi maupun sekresi

surfaktan, akan menurunkan simpanan surfaktan intraseluler dan

ekstraseluler, yang selanjutnya mengakibatkan insufisiensi surfaktan

alveolar dan atelektasis..Sindrom ini terjadi pada bayi prematur segera atau

beberapa saat setelah lahir (4-6 jam) yang ditandai adanya pemapasan

cuping hidung, dispnu atau takipnu, retraksi (suprastemal, interkostal, atau

epigastrium), sianosis, suara merintih saat ekspirasi, yang menetap dan

menjadi progresif dalam 48-96 jam pertama kehidupan. (Sri Utami

Fajariyah, Herman Bermawi, 2016)

Penyakit membran hialin (PMH) adalah penyakit karena

ketidakmatangan paru terutama sistem sintesa surfaktan. Risiko PMH

berbanding terbalik dengan masa gestasi. Penyakit membran hialin biasa

disebut respiratory distress syndrome (RDS) atau sindroma gawat napas.

(Ayu & Sari, 2017)

Respiratory distress syndrome (RDS) atau hyaline membran

disease (HMD) merupakan suatu gangguan respiratori yang disebabkan

17
oleh defisiensi surfaktan, sehingga alveoli berada pada keadaan kolaps.

(Suminto, 2017)

2.3.2 Faktor Resiko

Faktor-faktor yang meningkatkan dan mengurangi risiko PMH

sebagai berikut: menurut Liu J (2014), faktor-faktor yang dapat

meningkatkan risiko PMH antara lain: prematuritas, jenis kelamin laki-

laki, seksio sesaria, asfiksia berat, infeksi ibu-janin, dan diabetes.8

Penelitian lainnya menyebutkan faktor-faktor yang dapat mengurangi

risiko PMH adalah preeklamsia, ketuban pecah lama, dan kehamilan

ganda, sedangkan faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko PMH

adalah jenis kelamin laki-laki, masa gestasi, seksio sesaria, diabetes, dan

korioamnionitis. (Ayu & Sari, 2017)

2.3.3 Patofisiologi

Penyakit membran hialin merupakan suatu keadaan dimana paru

secara anatomis maupun fisiologis imatur. Secara anatomis, paru tidak

mampu melakukan ventilasi secara adekuat karena alveolus tidak

berkembang dengan baik sehingga permukaan area untuk teijadinya

pertukaran gas kurang. Pada penyakit membrane hyalin juga terdapat

ketidaksempurnaan kapiler paru, serta banyak terdapat mesenkim

interstisial sehingga memperjauh jarak antara alveolus dan membrane sel

endothelial. (Sri Utami Fajariyah, Herman Bermawi, 2016)

Defisiensi surfaktan pada penyakit membran hialin teijadi karena

kurangnya sel- sel pneumosit tipe II yang matur, yang menghasilkan

surfaktan. Secara fisiologi, jumlah surfaktan yang kurang akan

18
menyebabkan alveoli kolaps setiap akhir ekspirasi, sehingga untuk

pemapasan berikutnya dibutuhkan tekanan negatif intratoraks yang lebih

besar dan usaha inspirasi yang lebih kuat. Kolaps paru ini akan

menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia alveolar,

retensi C02 dan asidosis. Hipoksia alveolar akan menimbulkan:

(1) oksigenasi jaringan menurun, sehingga akan teijadi metabolisme

anaerob dengan penimbunan asam laktat dan asam organik lainnya yang

menyebabkan teijadinya asidosis metabolik pada bayi,

(2) kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolaris akan

menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan terbentuknya

fibrin. Selanjutnya fibrin bersama-sama dengan jaringan epitel yang

nekrotik membentuk suatu lapisan yang disebut membran hialin. Asidosis

dan atelektasis juga menyebabkan terganggunya sirkulasi darah dari dan

ke jantung. Demikian pula aliran darah paru akan menurun dan hal ini

akan mengakibatkan berkurangnya pembentukan substansi surfaktan (Sri

Utami Fajariyah, Herman Bermawi, 2016).

Patofisiologi PMH akibat fungsi dan jumlah surfaktan terganggu.

Surfaktan pada saat lahir normal penting untuk memberikan tegangan pada

paru.16Unsur utama surfaktan mengandung campuran zat antara lain:

fosfolipid, lipid serta protein. Fosfolipid yang paling penting adalah

fosfatidilkolin (70-80%) dan fosfatidil gliserol (5-10%). Sekitar 60% dari

fosfatidilkolin adalah disaturated palmityl phosphatidylcholine (DPPC) /

lesitin. Jenis protein surfaktan (PS) ada 4 macam: PS-A, PS-B, PS-C, dan

PS-D. Penambahan jumlah fosfolipid yang disintesis dan disimpan di

19
dalam retikulum endoplasma dari sel alveolar tipe II dengan semakin

bertambahnya masa gestasi. Agen aktif ini dilepaskan ke dalam alveoli

untuk mengurangi tegangan permukaan dan membantu mempertahankan

stabilitas alveolar dengan jalan mencegah kolapsnya ruang udara kecil

pada akhir ekspirasi. Jumlah yang dihasilkan atau dilepaskan tidak

mencukupi kebutuhan pasca-lahir karena imaturitas. Kadar surfaktan paru

akan matang biasanya muncul sesudah 35 minggu. Glukokortikoid dan

hormon-hormon lain mengatur sel alveolar tipe II untuk memproduksi

surfaktan dan meningkat setelah gestasi 35 minggu. Bayi dengan PMH

memiliki kadar fosfatidilkolin sedikit dan fosfatidilgliserol tidak ada

sehingga menyebabkan fungsi dari surfaktan terganggu. Keadaan tersebut

tidak efektif untuk menurunkan tekanan permukaan alveoli. Dinding dada

bayi preterm yang sangat lemah memberikan lebih sedikit tekanan

daripada dinding dada bayi yang matur terhadap kecenderungan alamiah

paru untuk kolaps. Volume toraks dan paru cenderung mendekati volume

residu pada akhir ekspirasi sehingga menyebabkan atelektasis. Keadaan

tersebut dapat mengakibatkan hipoksia, asidosis, dan kerusakan kapiler

paru. Terbentuk eksudat yang kaya fibrin (membran hialin) karena proses

tersebut sehingga dapat memperburuk pertukaran gas. (Ayu & Sari, 2017)

Tegangan permukaan berkurang karena adanya produksi surfaktan

yang cukup sehingga mempunyai efek penting :

1) Mencegah dinding alveoli menempel satu sama lain, mengakibatkan

mudah terbuka oleh tekanan inspirasi

20
2) Menyebabkan cairan alveoli menyebar bahkan melapisi permukaan

dinding alveoli. Ini mencegah permukaan terpapar langsung terhadap

udara dan sel yang kontak dengan gas yang telah larut (Ayu & Sari,

2017)

2.3.4 Manifestasi Klinis

Bayi dengan PMH tidak menerima surfaktan eksogen dalam 4 jam

setelah lahir, maka timbul gejala takipnea (frekuensi napas > 60

kali/menit), retraksi interkostal dan subkostal, retraksi sternum, dan

cuping. Manifestasi lainnya: bradikardi (pada PMH berat), hipotensi, tonus

otot menurun, jumlah urin menurun, sianosis, dan edema perifer. Bayi

dyspnoea memburuk selama 24 sampai 36 jam setelah lahir, jika sintesis

surfaktan endogen dimulai sekitar 36 sampai 48 jam setelah lahir maka

status pernafasan bayi membaik.(Ayu & Sari, 2017)

2.3.5 Diagnosis

Penyakit membran hialin didiagnosis pada bayi yang lahir

prematur dan memiliki rontgen dada yang menunjukkan kekeruhan

granular halus (atelaktasis difus) di kedua bidang paru dan bronkogram

udara (bronkus berisi udara tampak nyata terhadap paru yang atelektasis).

Paru yang buram akan susah untuk membedakan antara batas paru dan

siluet jantung pada penyakit berat disebut “whiteout” (Tekstur kekeruhan

paru “reticulogranular”, penurunan ekspansi paru, penipisan pembuluh

paru yang normal, udara bronkogram hingga padat, konsolidasi paru

simetris bilateral). (Ayu & Sari, 2017)

21
Berdasarkan pemeriksaan radiologi, menurut kriteria Bomsel terdapat 4

stadium PMH yaitu:

1) Stadium I : terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit

bronkogram udara

2) Stadium II : bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru

dan gambaran air bronkogram udara lebih jelas dan meluas sampai ke

perifer menutupi bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru

3) Stadium III : kumpulan alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua

lapangan paru terlihat lebih opak dan bayangan jantung hampir tak terlihat,

bronkogram udara lebih luas ; batas jantung kabur

4) Stadium IV : kolaps seluruh lapangan paru (white lung)

2.3.6 Pemeriksaan Penunjang

Kriteria diagnosis sindrom distres pernapasan sebagai berikut:

a. Tekanan parsial oksigen (PaO2) kurang dari 50 mmHg dan sianosis

sentral pada keadaan udara ruangan. Dalam hal ini, bayi membutuhkan

suplementasi oksigen untuk menjaga agar PaO2 berada pada tekanan

lebih dari 50 mmHg, atau untuk menjaga agar saturasi oksigen 85%

atau lebih.

b. Gambaran radiografi toraks dalam 24 jam usia bayi berupa pola

retikulogranular pada lapangan paru dengan atau tanpa adanya air

bronchogram. (Suminto, 2017)

22
Tes yang dipercaya saat ini untuk menilai kematangan paru janin

adalah Tes Kematangan Paru yang biasanya dilakukan pada bayi prematur

yang mengancam jiwa untuk mencegah terjadinya Neonatal Respiratory

Distress Syndrome (RDS). Tes tersebut diklasifikasikan sebagai tes

biokimia dan biofisika.

a. Tes Biokimia (Lesithin - Sfingomyelin rasio)

Paru-paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah

fosfolipid dalam cairan amnion dapat untuk menilai produksi

surfaktan, sebagai tolok ukur kematangan paru, dengan cara

menghitung rasio lesitin dibandingkan sfingomielin dari cairan

amnion.

Tes ini pertamakali diperkenalkan oleh Gluck dkk tahun 1971,

merupakan salah satu test yang sering digunakan dan sebagai

standarisasi tes dibandingkan dengan tes yang lain. Rasio Lesithin

dibandingkan Sfingomyelin ditentukan dengan thin- layer

chromatography (TLC). Cairan amnion disentrifus dan dipisahkan

dengan pelarut organik, ditentukan dengan chromatography dua

dimensi; titik lipid dapat dilihat dengan ditambahkan asam sulfur

atau kontak dengan uap iodine. Kemudian dihitung rasio lesithin

dibandingkan sfingomyelin dengan menentukan fosfor organik dari

lesithin dan sfingomyelin.

Sfingomyelin merupakan suatu membran lipid yang secara relatif

merupakan komponen non spesifik dari cairan amnion. Gluck dkk

menemukan bahwa L/S untuk kehamilan normal adalah < 0,5 pada

23
saat gestasi 20 minggu dan meningkat secara bertahap pada level 1

pada usia gestasi 32 minggu. Rasio L/S = 2 dicapai pada usia

gestasi 35 minggu dan secara empiris disebutkan bahwa Neonatal

RDS sangat tidak mungkin terjadi bila rasio L/S > 2. Beberapa

penulis telah melakukan pemeriksaan rasio L/S dengan hasil yang

sama. Suatu studi yang bertujuan untuk mengevaluasi harga

absolut rasio L/S bayi immatur dapat memprediksi perjalanan

klinis dari neonatus tersebut dimana rasio L/S merupakan prediktor

untuk kebutuhan dan lamanya pemberian bantuan pernapasan.

Dengan melihat umur gestasi, ada korelasi terbalik yang signifikan

antara rasio L/S dan lamanya hari pemberian bantuan pernapasan.

Adanya mekonium dapat mempengaruhi hasil interpretasi dari tes

ini. Pada studi yang dilakukan telah menemukan bahwa mekonium

tidak mengandung lesithin atau sfingomyelin, tetapi mengandung

suatu bahan yang tak teridentifikasi yang susunannya mirip

lesithin, sehingga hasil rasio L/S meningkat palsu

b. Test Biofisika

1. Shake test diperkenalkan pertamakali oleh Clement pada

tahun 1972. Test ini bardasarkan sifat dari permukaan cairan

fosfolipid yang membuat dan menjaga agar gelembung tetap

stabil . Dengan mengocok cairan amnion yang dicampur

ethanol akan terjadi hambatan pembentukan gelembung oleh

unsur yang lain dari cairan amnion seperti protein, garam

empedu dan asam lemak bebas. Pengenceran secara serial dari

24
1 ml cairan amnion dalam saline dengan 1 ml ethanol 95%

dan dikocok dengan keras. Bila didapatkan ring yang utuh

dengan pengenceran lebih dari 2 kali (cairan amnion : ethanol)

merupakan indikasi maturitas parujanin. Pada kehamilan

normal, mempunyai nilai prediksi positip yang tepat dengan

resiko yang kecil untuk terjadinya neonatal RDS .

2. TDX- Maturasi paru janin (FLM II) tes lainnya yang

berdasarkan prinsip tehnologi polarisasi fluoresen dengan

menggunakan viscosimeter, yang mengukur mikroviskositas

dari agregasi lipid dalam cairan amnion yaitu mengukur rasio

surfaktan-albumin. Tes ini memanfaatkan ikatan kompetitif

fluoresen pada albumin dan surfaktan dalam cairan amnion.

Bila lompatan fluoresen kearah albumin maka jaring

polarisasi nilainya tinggi, tetapi bila mengarah ke surfaktan

maka nilainya rendah. Dalam cairan amnion, polarisasi

fluoresen mengukur analisa pantulan secara otomatis rasio

antara surfaktan dan albumin, yang mana hasilnya

berhubungan dengan maturasi paru janin. Menurut referensi

yang digunakan oleh Brigham and Women’s Hospital,

dikatakan immatur bila rasio < 40 mg/dl; intermediet 40-59

mg/dl; dan matur bila lebih atau sama dengan 60 mg/dl. Bila

terkontaminasi dengan darah atau mekonium dapat

menggangu interpretasi hasil test. (a et al., 2018)

25
2.3.7 Pemberian Kortikosteroid Pada Kehamilan Preterm

Strategi mengurangi kejadian RDS pada bayi yang lahir secara

prematur dilakukan dengan memberikan kortikosteroid kepada wanita

dengan risiko persalinan preterm sebelum 32-34 minggu kehamilan.6

Kortikosteroid yang diberikan pada ibu dengan risiko persalinan preterm

secara signifikan menurunkan insiden respiratory distress syndrome (RDS)

pada bayi baru lahir, utamanya jika persalinan terjadi dalam waktu 24 jam

hingga 7 hari setelah pemberian kortikosteroid.7 Cochrane review

terhadap 21 penelitian (melibatkan 3885 wanita dan 4269 bayi)

menunjukkan bahwa pemberian kortikosteroid antenatal menurunkan

risiko kematian bayi sebesar 31%, RDS 44% dan intraventricular

haemorrhage sebesar 46%. Kortikosteroid antenatal juga berkaitan dengan

penurunan kejadian necrotising enterocolitis, kebutuhan akan alat bantu

pernapasan, perawatan intensif dan infeksi sistemik dalam 48 jam pertama

kehidupan dibandingkan dengan kelompok pasien tanpa terapi atau

plasebo. Tidak didapatkan adanya efek samping dari pemberian

kortikosteroid antenatal ini. Hasil yang signifikan pada luaran bayi

diperoleh apabila persalinan terjadi setidaknya 48 jam setelah pemberian

kortikosteroid dan pada usia kehamilan di atas 24 minggu. Pemberian

kortikosteroid pada kehamilan >34 minggu tidak memberikan manfaat dan

dapat menyebabkan komplikasi pada janin. (Ayu & Sari, 2017)

2.3.8 Mekanisme Kortikosteroid dalam Pematangan Paru Intrauterine

Pemberian kortikosteroid sebelum paru matang akan memberikan

efek berupa peningkatan sintesis fosfolipid surfaktan pada sel pneumosit

26
tipe II dan memperbaiki tingkat maturitas paru. Kortikosteroid bekerja

dengan menginduksi enzim lipogenik yang dibutuhkan dalam proses

sintesis fosfolipid surfaktan dan konversi fosfatidilkolin tidak tersaturasi

menjadi fosfatidilkolin tersaturasi, serta menstimulasi produksi antioksidan

dan protein surfaktan. Efek fisiologis glukokortikoid pada paru meliputi

peningkatan kemampuan dan volume maksimal paru, menurunkan

permeabilitas vaskuler, meningkatkan pembersihan cairan paru, maturasi

struktur parenkim, memperbaiki fungsi respirasi, serta memperbaiki

respon paru terhadap pemberian terapi surfaktan postnatal. (Ayu & Sari,

2017)

2.3.9 Dosis dan Teknik Pemberian Kortikosteroid

Betametason dan deksametason adalah kortikosteroid sintetis kerja

panjang dengan potensi glukokortikoid yang serupa dan efek

mineralokortikoid yang tidak bermakna. Adanya perbedaan dalam hal

ikatan dengan albumin, transfer plasenta dan afinitas pada reseptor

kortikosteroid, maka dibutuhkan dosis kortisol, kortison, hidrokortison,

prednisone dan prednisolon yang lebih tinggi untuk mencapai ekuivalensi

dosis yang sama dengan deksametason dan betametasone pada janin.

Deksametason dan betametason merupakan long acting glucocorticoids

dimana keduanya mampu menembus plasenta dalam bentuk aktif.

Betametason tersedia dalam bentuk betamethasone sodium phosphate

solution dengan waktu paruh 36-72 jam dan betamethasone acetate

suspension dengan waktu paruh relatif lebih lama. Deksametason secara

umum tersedia dalam bentuk deksametason sodium phosphate solution

27
dengan waktu paruh 36-72 jam. Regimen yang sering digunakan adalah 2

kali dosis 12 mg betametason intramuskular dengan interval 24 jam dan 4

kali dosis 6 mg deksametason dengan interval 12 jam intramuskular.

Betametasone injeksi sulit ditemukan di Indonesia dan sangat mahal

sehingga deksametason lebih sering digunakan karena lebih murah dan

lebih mudah ditemukan. (Ayu & Sari, 2017)

Regimen pemberian kortikosteroid yang direkomendasikan oleh

Royal College of Obstetricians and Gynaecologists (RCOG) tahun 2010

adalah 2 dosis betametasone 12 mg berjarak 24 jam dari dosis pertama,

diberikan intramuskuler atau 4 dosis deksametason 6 mg tiap 6 jam,

diberikan intramuskuler. Menurut rekomendasi dari RCOG setiap klinisi

sepatutnya menawarkan pemberian terapi kortikosteroid antenatal ini pada

setiap wanita dengan risiko persalinan preterm dengan usia kehamilan 24

minggu + 0 hari hingga 34 minggu + 6 hari. (Ayu & Sari, 2017)

Betametason dan deksametason adalah antenatal kortikosteroid yang

digunakan dalam penurunan respiratory distress syndrome (RDS). RDS

terkait dengan imaturitas struktur dan fungsi paru yang ditentukan dengan

rasio lesitin/sfingomielin (L/S) sebagai gold standard. Suatu penelitian

telah dilakukan untuk menganalisis penggunaan deksametason dengan

dosis lebih rendah dalam mempercepat maturitas paru janin. Pemberian

deksametason antara dosis 4 mg dan 6 mg setiap 12 jam selama 2 hari

pada ibu hamil dengan resiko persalinan preterm tidak menunjukkan

perbedaan nilai rasio L/S. (Ayu & Sari, 2017)

28
Deksametason secara intramuskular lebih dipilih karena rute

intramuskular memiliki pelepasan yang lebih lambat dengan durasi yang

lebih lama. Administrasi intravena tidak direkomendasikan karena akan

memberi paparan kortikosteroid terhadap wanita hamil dan janin nya

dengan konsentrasi tinggi pada tahap awal sehingga meningkatkan efek

samping akibat penetrasi deksametason secara cepat ke plasenta.

Deksametason diberikan 4 kali dosis selama 2 hari karena terapi

kortikosteroid antenatal dilakukan menyerupai paparan kortikosteroid

endogen yang terjadi selama kehamilan dimana induksi kortisol endogen

pada ibu juga terjadi selama 48 jam (2 hari), sehingga durasi deksametason

juga diberikan selama 2 hari. (Ayu & Sari, 2017)

2.4 Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)

2.4.1 Definisi

Berat lahir adalah berat neonatus saat lahir ditimbang dalam waktu

satu jam sesudah lahir. Berat merupakan ukuran antropometri yang

terpenting dan paling sering digunakan untuk mendiagnosis bayi normal

atau BBLR. (Ayu & Sari, 2017)

Bayi berat lahir rendah merupakan bayi yang lahir dengan berat kurang

dari 2500 gram. Menurut Prawirohardjo (2007), world health organization

(WHO) telah mengganti istilah premature baby dengan low birth weight

(LBW) sejak tahun 1961. Hal ini dilakukan karena tidak semua bayi

prematur merupakan bayi lahir dengan berat kurang dari 2.500 gram.

Keadaan ini dapat disebabkan oleh berat yang sesuai dengan masa gestasi

kurang dari 37 minggu atau sesuai masa kehamilan (SMK) atau bayi yang

29
berat kurang dari semestinya menurut masa gestasi atau kecil masa

kehamilan (KMK) ataupun keduanya (SMK dan KMK). (Ayu & Sari,

2017).

2.4.2 Etiologi

Menurut Wibowo (2007) dalam (Ayu & Sari, 2017), faktor-faktor

yang berhubungan dengan BBLR adalah status sosial ekonomi rendah,

ibu dengan anemia, kehamilan umur belasan tahun, jarak waktu

kehamilan dekat, dan riwayat multipara. Penelitian lain menyebutkan

penyebab dari BBLR sebagai berikut:

1) Komplikasi obstetri

a. Perdarahan antepartum

b. Riwayat kelahiran prematur

c. Pregnancy induce hypertension (PIH)

d. Ketuban pecah dini

2) Komplikasi medis

a. Diabetes maternal

b. Hipertensi kronis

c. Infeksi traktus urinarius

3) Faktor ibu

a. Penyakit ibu

b. Usia ibu: angka kejadian prematuritas paling banyak pada usia

ibu dibawah 20 tahun dan multigravida yang jarang kehamilan

terlalu dekat

c. Gizi ibu hamil

30
d. Keadaan sosial ekonomi

4) Faktor janin

Hidramnion, gemelli, dan kelainan janin

2.4.3 Klasifikasi

BBLR dapat diklasifikasikan berdasarkan masa gestasi dan berat

lahir. Menurut Prawihardjo (2007) dalam (Ayu & Sari, 2017),

mengklasifikasikan BBLR menurut berat lahir sebagai berikut:

1) Bayi berat lahir rendah (BBLR), yaitu bayi lahir dengan berat

kurang dari 2.500 gram

2) Bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR), yaitu bayi lahir dengan

berat lahir kurang dari 1.500 gram

3) Bayi berat lahir amat sangat rendah (BBLASR), yaitu bayi lahir

dengan berat lahir kurang dari 1.000 gram

Menurut Pantiawati (2010) dalam (Ayu & Sari, 2017), BBLR dapat

dibagi menjadi 2 golongan:

1) Prematuritas murni adalah bayi dengan masa gestasi kurang dari 37

minggu dengan berat sesuai masa gestasi

2) Dismaturitas adalah berat badan kurang dari seharusnya untuk masa

gestasinya, yaitu berat dibawah persentil 10 pada kurva pertumbuhan

intrauterin, disebut dengan kecil masa gestasi.

2.5 Faktor Resiko Terhadap PMH dan BBLR

Faktor risiko yang dapat menimbulkan PMH pada BBLR terdiri dari faktor

ibu, faktor janin, dan faktor persalinan.

31
1) Faktor ibu: perdarahan antepartum, infeksi ibu, preeklamsia, usia ibu, dan

ketuban pecah dini.

2) Faktor janin: riwayat BBLR, infeksi janin, tanpa pemberian antenatal

steroid (ANS), masa gestasi, dan prematur.

3) Faktor persalinan: cara persalinan

2.5.1 Faktor Ibu

2.5.1.1 Usia Ibu

Penelitian yang dilakukan Dani C dkk menjelaskan bahwa usia ibu

diatas 32 tahun lebih sering menyebabkan PMH daripada usia ibu

dibawah 32 tahun. Penelitian lainnya oleh Sun H dkk mengatakan

bahwa usia ibu lebih dari 40 tahun pengaruh terhadap kejadian PMH

lebih besar pada bayi prematur khususnya pada bayi sangat prematur.

Hal ini berkaitan dengan penyakit kehamilan di lanjut usia, seperti

hipertensi, diabetes, perdarahan antepartum menyebabkan persalinan

prematur, dan operasi seksio sesaria. (Ayu & Sari, 2017)

2.5.1.2 Preeklamsia

Preeklamsia ialah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema,

dan proteinuria yang timbul karena kehamilan. Umumnya penyakit ini

terjadi dalam trisemester ke-3, tetapi dapat terjadi sebelumnya.

Hipertensi biasanya timbul lebih dahulu daripada tanda-tanda lain.

Penegakkan diagnosis preeklamsia dilakukan dengan cara

pemeriksaanlaboratoriumantara lainkenaikan tekanan sistolik harus 30

mmHg atau lebih diatas tekanan yang biasa ditemukan atau mencapai

140 mmHg atau lebih. Kenaikan diastolik sebenarnya lebih dapat

32
dipercaya. Apabila tekanan diastolik naik dengan 15 mmHg atau lebih

atau menjadi 90 mmHg atau lebih, maka diagnosis hipertensi dapat

dibuat. (Ayu & Sari, 2017)

Penelitian Putra Y dkk mengatakan bahwa kematian BBLSR sering

terjadi pada preeklamsia berat. Hal ini menjelaskan bahwa hipertensi

mengakibatkan spasme pembuluh darah sehingga terjadi gangguan

fungsi plasenta, maka sirkulasi uteroplasenter akan terganggu. Pasokan

nutrisi dan oksigen akan terganggu sehingga pertumbuhan janin akan

terganggu dan bayi akan lahir dengan berat lahir rendah. (Ayu & Sari,

2017)

2.5.1.3 Pendarahan Antepartum

Perdarahan antepartum yang bersumber kelainan plasenta

umumnya berbahaya dibandingkan dengan kelainannya bukan

bersumber dari plasenta. Perdarahan antepartum yang besumber dari

plasenta secara klinis terbagi menjadi 2 macam, yaitu plasenta previa

dan solusio plasenta.28 Beberapa penelitian di cina menyebutkan

bahwa faktor risiko solusio plasenta tidak signifikan menyebabkan

PMH. (Ayu & Sari, 2017)

2.5.1.4 Infeksi Ibu dan Janin

Tanda leukositosis darah tepi ibu merupakan tanda dari infeksi

intauterin pada persalinan prematur.29 Persalinan prematur

mengakibatkan organ-organ pada bayi belum tumbuh sempurna yang

akan mengakibatkan rentannya bayi prematur mengalami gangguan

penyakit, salah satunya adalah PMH. (Ayu & Sari, 2017)

33
Infeksi intrauterin dapat diketahui dengan melihat tanda-tanda sebagai

berikut: temperatur tubuh diatas 38oC, uterus teraba tegang, cairan

vagina purulen, berbau busuk, takikardia ibu (>120 kali/menit),

takikardia janin (>160 kali/menit), dan leukositosis ibu (15.000-18.000

sel/mm3). (Ayu & Sari, 2017)

Infeksi ibu-janin adalah penyebab penting dari PMH. Hal ini

menjelaskan infeksi ibu-janin menurunkan sintesis dan sekreasi

surfaktan paru.Keadaan ini menghambat aktivitas surfaktan paru dan

menyebabkan surfaktan paru tidak aktif. Infeksi ibu-janin dapat

meningkatkan angka kematian dan memperpanjang lama tinggal di

rumah sakit pada pasien PMH.Ini penting bagi kita memperhatikan

pasien ini untuk mengelolanya dengan benar. (Ayu & Sari, 2017)

2.5.1.5 Ketuban Pecah Dini

Secara umum ketuban pecah dini didefinisikan sebagai

pengeluaran cairan amnion melalui serviks uteri sebelum dimulainya

persalinan atau pecahnya ketuban sebelum inpartu, yaitu bila

pembukaan pada primi kurang dari 3 cm dan pada multipara kurang

dari 5 cm atau ketuban yang pecah lebih dari 6 jam sebelum lahir.

Ketuban pecah dini dapat terjadi pada kehamilan genap bulan ataupun

setiap umur kehamilan sebelum genap bulan.32 Ketuban pecah dini

merupakan salah satu kondisi ibu yang merangsang terjadinya kontraksi

spontan, sehingga terjadi kelahiran prematur dengan berat lahir rendah.

(Ayu & Sari, 2017)

34
Ketuban pecah dini dapat menyebabkan PMH dikarenakan ketuban

pecah dini menyebabkan infeksi ibu-janin. Infeksi dalam uterus dan

korioamnionitis menyebabkan secara langsung pada paru janin.

Penyakit ini menyebabkan menurunnya sintesis ataupun pengeluaran

dari surfaktan (Ayu & Sari, 2017)

2.5.2 Faktor Janin

2.5.2.1 BBLR

Berat lahir adalah berat neonatus pada saat kelahiran yang

ditimbang dalam waktu satu jam sesudah lahir.22 Berat lahir berkaitan

dengan masa gestasi. Semakin rendah masa gestasi dan semakin kecil

bayi, semakin tinggi mortalitas dan morbiditas. Bayi berat lahir rendah

merupakan bayi lahir dengan berat kurang dari 2.500 gram, BBLSR

merupakan bayi lahir dengan berat kurang dari 1.500 gram hingga

1.000 gram, sedangkan BBLASR merupakan bayi lahir dengan berat

kurang dari 1.000 gram. Semakin rendah berat bayi lahir, semakin

tinggi kemungkinan terjadinya PMH.17, 23 Penyebab kematian

terbanyak pada BBLSR adalah PMH dan sepsis.(Ayu & Sari, 2017)

2.5.2.2 Masa Gestasi

Masa gestasi dikatakan cukup bulan ketika janin berusia diantara

37 minggu - 42 minggu. Bayi prematur adalah bayi yang dilahirkan

pada kehamilan sampai usia 37 minggu. Bayi yang dilahirkan

prematur belum memiliki organ-organ yang tumbuh dan berkembang

secara lengkap dibandingkan dengan bayi yang dilahirkan cukup

35
bulan. Bayi prematur akan mengalami lebih banyak kesulitan untuk

hidup normal di luar uterus ibunya. (Ayu & Sari, 2017)

Risiko PMH berbanding terbalik dengan masa gestasi.15 Semakin

kecil masa gestasi, semakin besar terjadinya PMH. The EuroNeoNet

pada tahun 2010 menyebutkan masa gestasi 24-25 minggu angka

insidensinya sebesar 92%, 26-27minggu sebesar 88%, 28-29 minggu

sebesar 76%, dan 30-31 minggu sebesar 57%.20, 34, 35 Penelitian

Putra Y dkk menjelaskan kematian BBLSR semakin meningkat bila

masa gestasi kurang dari 36 minggu. (Ayu & Sari, 2017)

2.5.2.3 Premature

Bayi prematur adalah bayi yang dilahirkan dalam usia gestasi

kurang dari 37 minggu., Secara fisiologis, kondisi bayi prematur

adalah sebagian masih sebagai janin dan sebagai bayi baru lahir. Bayi

pematur yang dilahirkan dalam usia gestasi <37 minggu mempunyai

resiko tinggi terhadap pernyakit-penyakit yang berhubungan dengan

prematuritas, antara lain sindroma gangguan pernafasan idiopatik

(penyakit membran hialin), aspirasi pneumonia karena refleksi

menelan dan batuk belum sempurna, perdarahan spontan dalam

ventrikel otak lateral, akibat anoksia otak (erat kaitannya dengan

gangguan pernafasan, hiperbilirubinemia, karena fungsi hati belum

matang), hipotermia. (a et al., 2018)

Prematuritas dialami oleh bayi yang mengalami persalinan

preterm. Persalinan preterm didefinisikan sebagai dimulainya

kontraksi uterus yang menyebabkan perubahan serviks sebelum masa

36
gestasi 37 minggu, yang mengindikasikan suatu risiko untuk

persalinan preterm. (Ayu & Sari, 2017)

Berdasarkan atas timbulnya bermacam-macam problematik pada

derajat prematuritas maka usher menggolongkan bayi tersebut dalam

tiga kelompok:

1) Bayi sangat prematur (extremely premature): 24-30 minggu. Bayi

dengan masa gestasi 24-27 minggu sukar hidup terutama di negara

berkembang. Bayi dengan masa gestasi 28-30 minggu memiliki

kemungkinan hidup dengan perawatan yang intensif.

2) Bayi pada derajat prematur sedang (moderately premature): 31-36

minggu. Golongan ini kesanggupan untuk hidup jauh lebih baik

dari golongan pertama dan gejala sisa yang dihadapinya di

kemudian hari juga lebih ringan, dengan pengelolaan bayi yang

intensif.

3) Borderline premature: masa gestasi 37-38 minggu. Bayi ini

mempunyai sifat-sifat prematur dan matur. Biasanya beratnya

seperti bayi matur dan dikelola seperti bayi matur, akan tetapi

sering timbul problematik, seperti yang dialami bayi prematur,

misalnya sindroma gangguan napas, hiperbilirubinemia, daya isap

yang lemah, dan sebagainya sehingga bayi ini harus diawasi

dengan seksama. (Ayu & Sari, 2017)

37
Kebanyakan komplikasi yang terjadi pada bayi prematur adalah

yang berhubungan dengan fungsi imatur dari sistem organ.

Komplikasi-komplikasi yang bisa terjadi meliputi :

a. Paru-paru

Produksi surfaktan seringkali tidak memadai guna mencegah

alveolar collapse dan atelektasis, yang dapat terjadi Respitarory

Distress Syndrome.

b. SSP ( Susunan syaraf pusat)

Disebabkan tidak memadainya koordinasi refleks menghisap dan

menelan, bayi yang lahir sebelum usia gestasi 34 minggu harus

diberi makanan secara intravena atau melalui sonde lambung.

Immaturitas pusat pernafasan di batang otak mengakibatkan

apneic spells (apnea sentral).

c. Infeksi

Sepsis atau meningitis kira-kira 4X lebih berisiko pada bayi

prematur daripada bayi normal.

d. Pengaturan suhu

Bayi prematur mempunyai luas permukaan tubuh yang besar

dibanding rasio masa tubuh, oleh karena itu ketika terpapar dengan

suhu lingkungan di bawah netral, dengan cepat akan kehilangan

panas dan sulit untuk mempertahankan suhu tubuhnya karena efek

shivering pada prematur tidak ada

e. Saluran pencernaan (Gastrointestinal tract).

38
Volume perut yang kecil dan reflek menghisap dan menelan yang

masih immatur pada bayi prematur, pemberian makanan melalui

nasogastrik tube dapat terjadi risiko aspirasi.

f. Ginjal

Fungsi ginjal pada bayi prematur masih immatur, sehingga batas

konsentrasi dan dilusi cairan urine kurang memadai seperti pada

bayi normal.

g. Hiperbilirubinemia

Pada bayi prematur bisa berkembang hiperbilirubinemia lebih

sering daripada pada bayi aterm, dan kernicterus bisa terjadi pada

level bilirubin serum paling sedikit 10mg/dl (170 umol/L) pada

bayi kecil, bayi prematur yang sakit.

h. Hipoglikemia

Hipoglikemia merupakan penyebab utama kerusakan otak pada

periode perinatal. Kadar glukosa darah kurang dari 20 mg/100cc

pada bayi kurang bulan atau bayi prematur dianggap menderita

hipoglikemia.

i. Mata

Retrolental fibroplasia, kelainan ini timbul sebagai akibat

pemberian oksigen yang berlebihan pada bayi prematur yang umur

kehamilannya kurang dari 34 minggu. Tekanan oksigen yang

tinggi dalam arteri akan merusak pembuluh darah retina yang

masih belum matang (immatur). (a et al., 2018)

39
2.5.2.4 Tanpa Pemberian Antenatal Steroid

Pemberian steroid pada ibu hamil dapat menurunkan angka

kejadian PMH, kematian bayi, perdarahan serebral, dan necrotising

enterocolitis. Hasil didapatkan secara maksimal saat inpartu antara 24

hingga 168 jam sejak terapi diberikan, hasil kurang maksimal bila ibu

diberikan kurang dari 24 jam.36, 37 Petunjuk dalam penggunaaan

antenatal steroid telah dibuat oleh the Royal College of Obstetricians

dan Institut Nasional dalam bidang kesehatan dari Amerika Serikat,

penggunaan antenatal steroid yang dianjurkan untuk semua ibu hamil

yang memiliki risiko lahir prematur antara 24-36 minggu. Pemberian

ANS umumnya diberikan pada kehamilan kurang dari 34 minggu

dengan tujuan untuk mematangkan paru janin. Pemberian dosis

betametason, yaitu dibagi dalam 2 dosis 12 mg dalam 24 jam perhari

lebih baik daripada deksametason. Pemberian deksametason, yaitu

dibagi dalam 4 dosis 6 mg dalam 12 jam perhari pemberian secara

intramuskuler. (Ayu & Sari, 2017)

Penelitian Sun H dkk menyebutkan penggunaan antenatal steroid

paling banyak pada bayi sangat prematur dan sedikit pada bayi cukup

bulan. Hal ini menunjukkanpada imaturitas, jumlah surfaktan yang

dihasilkan tidak cukup atau bisa sampai tidak ada, maka diperlukan

untuk menstimulasi surfaktan dengan cara menggunakan steroid

karena produksi surfaktan diatur oleh steroid. (Ayu & Sari, 2017)

40
2.5.2.5 Jenis Kelamin

Jenis kelamin laki-laki adalah faktor risiko PMH karena paru janin

perempuan produksi surfaktan didalam kandungan lebih cepat

dibandingkan paru janin laki-laki. Beberapa kepustakaan mengatakan

androgen menunda sekresi fibroblast paru dari faktor pneumosit

fibroblas, dapat menunda pembentukan sel alveolar tipe II, dan

mengurangi pelepasan surfaktan paru.Androgen memperlambat

pengembangan paru janin dengan menyesuaikan jalur sinyal faktor

pertumbuhan epidermal dan mengubah growth factor-beta. Estrogen

meningkatkan sintesis surfaktan paru, termasuk fosfolipid, lesitin, dan

protein surfaktan A dan B. Estrogen juga meningkatkan

pengembangan paru janin dengan meningkatkan jumlah jenis sel

alveolar II dan dengan meningkatkan pembentukan badan lamella.

(Ayu & Sari, 2017)

2.5.3 Faktor Persalinan

2.5.3.1 Cara Persalinan

Seksio sesaria merupakan salah satu faktor risiko yang paling

penting PMH pada bayi cukup bulan. Persalinan secara seksio sesaria

mempengaruhi aktivitas dari amiloride-sensitive sodium channels

dalam sel epitel alveolar, aktivitas tersebut menurun setelah seksio

sesaria, yang mengarah ke pengurangan fluid clearance. Persalinan

seksio sesaria dapat menyebabkan lahir prematur. Kejadian PMH

meningkat pada bayi cukup bulan ketika operasi sesaria dilakukan

awal. Menurut penelitian di cina, 31,7% dari bayi dengan PMH pada

41
masa gestasi 38 minggu mendapat tindakan operasi tersebut,

sementara itu hanya 15,1% pada bayi yang tanpa mengalami PMH

mendapat tindakan operasi tersebut. (Ayu & Sari, 2017)

2.6 Terapi Surfaktan Pada PMH

Sejak tahun 1980 banyak dilakukan penelitian yang membandingkan

efek terapi surfaktan dengan placebo atau tanpa terapi. Beberapa dari

penellitian ini mempelajari efek surfaktan profilaksis pada bayi yang

memilikiPenelitian lain mempelajari efek terapi surfaktan terhadap

perbaikan klinis dan radiologis pada bayi yang mengalami penyakit

membran hialin. Beberapa penelitian tersebut menggunakan surfaktan alami

sedangkan sebagian yang lain menggunakan surfaktan sintesis. Review

sistematik dari berbagai penelitian tersebut menunjukkan bahwa

dibandingkan dengan placebo atau tanpa terapi, ternyata pemberian

surfaktan sebagai terapi ataupun pemberian surfaktan sebagai profilaksis

(baik menggunakan surfaktan sintetis maupun surfaktan alami) dapat

menurunkan kebutuhan oksigen dan kebutuhan ventilasi mekanis,

menurunkan insiden penyakit membran hialin serta menurunkan resiko

teijadinya pneumothorak dan menurunkan angka kematian. (Sri Utami

Fajariyah, Herman Bermawi, 2016)

Hasil dari studi meta analisis dengan penelitian acak

berpembanding (Soll,2003) menunjukkan bahwa terapi surfaktan

menurunkan angka kematian sebesar 40% dan dapat menurunkan insiden

pneumothorax pada penyakit membran hialin sebesar 30-70%. (Sri Utami

Fajariyah, Herman Bermawi, 2016)

42
Semua golongan surfaktan secara in vitro menurunkan tegangan

permukaan, terutama terdapat pada surfaktan kombinasi protein, dapat

menurunkan pemakaian kebutuhan oksigen dan ventilator dengan cepat.

Pada suatu studi meta analisis yang membandingkan antara penggunaan

surfaktan derifat binatang dengan surfaktan sintetik pada 5500 bayi yang

terdaftar dalam 16 penelitian random, 11 penelitian memberikan hasil yang

signifikan bahwa surfaktan derivat binatang lebih banyak menurunkan

angka kematian dan pneumothorak dibandingkan dengan surfaktan

sintetik. (Sri Utami Fajariyah, Herman Bermawi, 2016)

Menurut (Sri Utami Fajariyah, Herman Bermawi, 2016) berikut adalah

kegunaan terapi surfaktan pada PMH :

1. Surfaktan Sebagai Terapi Profilaksis

Surfaktan profilaksis adalah pemberian surfaktan pada bayi yang

memiliki resiko tinggi untuk berkembang mengalami penyakit

membran hialin, yaitu bayi prematur dengan usia gestasi kurang dari 32

minggu. namun demikian, bayi mana yang dinilai mempunyai resiko

tinggi untuk mengalami penyakit membran hialin dan selanjutnya dapat

diberi surfaktan profilaksis belum jelas.4 Para ahli memiliki perbedaan

pendapat mengenai indikasi surfaktan profilaksis, namun secara garis

besar indikasi pemberian surfaktan sebagai profilaksis yaitu 1) bayi

yang lahir dengan masa gestasi kurang dari 32 minggu, 2) bayi yang

lahir dengan berat badan kurang dari 1300gr, 3) bayi dengan

pemeriksaan laboratoris menunjukkan defisiensi surfaktan.

43
Secara operasional pemberian surfaktan dilakukan sebelum bayi

melakukan usaha nafas, sebelum dilakukan resusitasi awal, atau paling

umum yaitu setelah resusitasi awal namun dalam 10 sampai 30 menit

setelah kelahiran 14-15.

Penelitian pada binatang didapatkan bukti bahwa distribusi

surfaktan akan homogen jika surfaktan diberikan pada paru yang berisi

cairan dan adanya kepercayaan bahwa pemberian surfaktan pada paru

yang belum dilakukan pemasangan ventilator atau yang mendapat

ventilator minimal akan mengurangi trauma paru akut. Ventilasi

mekanik sebelum pemberian surfaktan dapat menyebabkan kerusakan

kapiler alveoli, rembesan cairan proteinaceuous ke rongga alveoli, dan

pelepasan mediator inflamasi serta lebih lanjut menurunkan respon

terhadap pemberian surfaktan.12 Namun demikian, pada sebagian besar

penelitian menunjukkan bahwa pemberian surfaktan sebagai profilaksis

yang diberikan sebelum dilakukan resusitasi awal dan sebelum

dilakukan stabilisasi akan menimbulkan komplikasi yang lebih besar

dibandingkan setelah dilakukan resusitasi awal.

Penelitian meta analisis pada bayi dengan masa gestasi kurang

dari 30 minggu, didapatkan bahwa penggunaan surfaktan sebagai

profilaksis dapat menurunkan angka kesakitan, menurunkan resiko

pneumothorak, dan menurunkan resiko emfisema interstisial paru.12

Namun demikian, terapi profilaksis tersebut hanya relevan untuk bayi

immature yang memang mempunyai kemungkinan besar berkembang

mengalami gangguan paru. Hal tersebut dikarenakan bayi yang lahir

44
dengan masa gestasi kurang dari 30 minggu 30%-40% tidak mengalami

penyakit membran hialin, dan penggunaan surfaktan sebagai profilaksis

tersebut mungkin akan menyebabkan penatalaksanaan yang berlebihan.

2. Surfaktan Sebagai Terapi Penyelamatan

Surfaktan sebagai terapi penyelamatan diartikan sebagai

pemberian surfaktan pada bayi premature yang telah terdiagnosa

mengalami PMH, dimana surfaktan paling sering diberikan dalam 12

jam pertama kelahiran. Surfaktan sebagai terapi dibedakan menjadi 2

yaitu terapi dini, dimana surfaktan diberikan dalam 1 sampai 2 jam

setelah kelahiran, dan terapi akhir, yaitu surfaktan diberikan setelah 2

jam atau lebih kelahiran.

Pada 4 penelitian acak berpembanding, dimana dibandingkan

efektifitas pemberian surfaktan sebagai terapi dini dan surfaktan sebagai

terapi akhir, didapatkan kesimpulan bahwa pada bayi yang lahir kurang

bulan, yang tidak mendapatkan kortikosteroid antenatal, surfaktan

sebaiknya diberikan secepat mungkin.

Pada beberapa rumah sakit, berlaku pedoman indikasi pemberian

surfaktan sebagai terapi penyelamatan antara lain yaitu: 1) bayi

prematur atau bayi aterm terbukti secara klinis mengalami penyakit

mambran hialin 2) bayi prematur atau bayi aterm terbukti secara

radiologis mengalami penyakit mambran hialin 3) bayi yang mengalami

peningkatan kebutuhan oksigen, yang ditandai dengan sianotik, agitasi

dan penurunan Pa02, Sp02.

45
2.6.1 Efek Samping Surfaktan

Secara teoritis, penggunaan surfaktan alami akan menyebabkan

resiko teijadinya transmisi mikroorganisme tertentu, misalnya

penggunaann surfaktan bovine akan meningkatkan resiko terinfeksi

Bovine Spongioform Encephalitis,dan inveksi virus lain. Namun hal

tersebut di eliminasi dengan proses pembuatan surfaktan alami yang

menggunakan pelarut organik, tekhnik strerilisasi yang cermat, dan

screening terhadap hewan yang jaringan parunya akan dijadikan bahan

pembuat surfaktan. (Sri Utami Fajariyah, Herman Bermawi, 2016)

Pada awal penelitian klinis terapi surfaktan alami, dipikirkan

bahwa akan terjadi respon imunologis terhadap protein surfaktan, namun

pada 2 penelitian yang dilakukan di inggris menunjukkan bahwa tidak

didapatkan antibodi spesifik terhadap protein surfaktan pada serum bayi

yang diterapi dengan surfaktan alami. (Sri Utami Fajariyah, Herman

Bermawi, 2016)

Secara teknis, saat pemberian surfaktan dapat terjadi hipoksia dan

bradikardi sementara yang timbul akibat obstruksi jalan nafas ataupun

timbul sumbatan mucus pada endotrakeal tube. Juga dapat terjadi refluk

surfaktan ke faring dari endotrakeal tube. Pada beberapa literatur

dinyatakan bahwa segera setelah pemberian surfaktan dapat tteijadi

penurunan sementara tekanan darah, penurunan sementara kecepatan

aliran darah otak, penurunan sementara konsentrasi oksihemoglobin atak,

dan penurunan sementara aktivitas otak. (Sri Utami Fajariyah, Herman

Bermawi, 2016)

46
Secara garis besar, komlikasi pemberian surfaktan berkaitan

dengan lambatnya pemberian surfaktan atau akibat peningkatan tekanan

jalan nafas saat pemberian. Pada beberapa penelitian, pernah dilaporkan

terjadinya perdarahan paru, walaupun mekanisme pasti terjadinya

perdarahan paru belum jelas, namun diperkirakan bahwa peningkatan

ventilasi dan penurunan resistensi pembuluh darah paru yang terjadi

setelah pemberian surfaktan mengakibatkan shunt dari kiri ke kanan

melalui ductus arteriosus, yang selanjutnya menyebabkan edema paru

hemorragis.. Mekanisme lam terjadinya perdarahan paru yang dijelaskan

secara invitro yaitu akibat sitotoksisitas secara langsung, dimana hal ini

sipengaruhi oleh jenis dan dosis surfaktan. (Sri Utami Fajariyah, Herman

Bermawi, 2016)

Perdarahan paru dilaporkan terjadi pada lebih dari 6% bayi

premature yang diterapi dengan surfaktan, dan memiliki ciri khas yaitu

terjadi 72 jam pertama setelah pemberian terapi surfaktan. Secara umum

gambaran klinis perdarahan paru yang terjadi setelah pemberian surfaktan

yaitu timbulnya perburukan oksigenasi dan ventilasi yang diikuti

gangguan kardiovaskuler yang timbul secara akut. (Sri Utami Fajariyah,

Herman Bermawi, 2016)

47
48

BAB 3

PENUTUP

2.2 Kesimpulan

Pematangan paru intrauterine meliputi fase embrionik, pseudoglanduler,

kanalikuler, fase sakuler dan fase alveolar. Paru mulai memproduksi

surfaktan pertama kali antara minggu ke 28 dan 32 kehamilan. Imaturitas

pada struktur dan fungsi paru akan mengakibatkan produksi surfaktan yang

rendah oleh sel alveolar tipe II, sehingga defisiensi surfaktan dapat

mengakibatkan sindrom distres pernafasan pada bayi baru lahir.

Penyakit membrane hialin merupakan suatu sindrom yang terjadi pada

bayi prematur akibat defisiensi surfaktan yang ditandai dengan pernafasan

cuping hidung, nafas cepat, retraksi, sianosis, suara merintih saat ekspirasi

yang timbul segera atau beberapa saat setelah lahir (4- 6 jam) dan menetap

serta menjadi progresif dalam 48-96 jam pertama kehidupan. Terapi

surfaktan, baik yang diberikan sebagai profilaksis maupun sebagai terapi

penyelamatan, dapat menurunkan insiden dan keparahan penyakit membrane

hialin. Terapi penyelamatan dini (2 jam setelah kelahiran) yang diberikan

pada bayi dengan usia gestasi kurang dari 32 minggu dan tanpa pemberian

steroid antenatal, akan menurunkan keparahan penyakit membrane hialin

lebih bermakna jjika dibandingkan dengan terapi penyelamatan akhir. Efek

samping terapi surfaktan berkaitan dengan efek yang timbul akibat obstruksi

jalan nafas yaitu hipoksia, bradikardi, dapat juga terjadi refluk surfaktan ke

faring, sedangkan komplikasi yang pernah dilaporkan yaitu dapat terjadi

perdarahan paru.
49

DAFTAR PUSTAKA

a, N., Etika, R., Damanik, S. M., Indarso, F., & Harianto, A. (2018).

PEMBERIAN SURFAKTAN PADA BAYI PREMATUR DENGAN

RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME Nur .A, Risa Etika, Sylviati

M.Damanik , Fatimah Indarso., Agus Harianto Lab/SMF Ilmu Kesehatan

Anak FK. Unair/RSUD Dr. Soetomo. Sepsis, 1–30.

Ayu, R., & Sari, N. & R. D. P. (2017). Peran Kortikosteroid dalam Pematangan

Paru Intrauterin The Role of Corticosteroids in Intrauterine Lung Maturation.

Majority, 6(3), 142–147.

Nugroho, L., & Dewantiningrum, J. (2016). Perbedaan Luaran Janin Pada

Persalinan Preterm Usia Kehamilan 34-36 Minggu Dengan Dan Tanpa

Ketuban Pecah Dini. Jurnal Kedokteran Diponegoro, 1(1), 225–231.

Sri Utami Fajariyah, Herman Bermawi, J. M. T. (2016). Terapi Surfaktan pada

Penyakit Membran Hyalin. Oktober, 3(3), 194–202.

Suminto, S. (2017). Peranan Surfaktan Eksogen pada Tatalaksana Respiratory

Distress Syndrome Bayi Prematur. Cdk-255, 44(8), 568–571.

Anda mungkin juga menyukai