Anda di halaman 1dari 12

Essay syok hipovolemik

Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik dan
metabolik ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan perfusi
yang adekuat ke organ-organ vital tubuh. Hal ini muncul akibat kejadian pada hemostasis
tubuh yang serius seperti perdarahan yang masif, trauma atau luka bakar yang berat
(syok hipovolemik), infark miokard luas atau emboli paru (syok kardiogenik), sepsis
akibat bakteri yang tak terkontrol (syok septik), tonus vasomotor yang tidak adekuat (syok
neurogenik) atau akibat respons imun (syok anafilaktik).
Seseorang dikatakan syok bila terdapat ketidakcukupan perfusi oksigen dan zat gizi
ke sel- sel tubuh. Kegagalan memperbaiki perfusi menyebabkan kematian sel yang
progressif, gangguan fungsi organ dan akhirnya kematian penderita (Boswick John. A,
1997, hal 44).
Syok Hipovolemik atau oligemik Perdarahan dan kehilangan cairan yang banyak
akibat sekunder dari muntah, diare, luka bakar, atau dehidrasi menyebabkan pengisian
ventrikel tidak adekuat, seperti penurunan preload berat, direfleksikan pada penurunan
volume, dan tekanan end diastolic ventrikel kanan dan kiri. Perubahan ini yang
menyebabkan syok dengan menimbulkan isi sekuncup (stroke volume) dan curah
jantung yang tidak adekuat.
Syok hipovolemik merupakan keadaan berkurangnya perfusi organ dan oksigenasi
jaringan yang disebabkan gangguang kehilangan akut dari darah (syok hemorragic) atau
cairan tubuh yang dapat disebabkan oleh berbagai keadaan. Penyebab terjadinya syok
hipovolemik diantaranya adalah diare, luka bakar, muntah, dan trauma maupun
perdarahan karena obsetri. Syok hipovolemik merupakan salah satu syok dengan angka
kejadian yang paling banyak dibandingkan syok lainnya.
Syok hipovolemik pada umumnya terjadi pada negara dengan mobilitas penduduk
yang tinggi karena salah satu penyebabnya adalah kehilangan darah karena kecelakaan
kendaraan. Sebanyak 500.000 pasien syok hipovolemik pada wanita karena khasus
perdarahan obsetri meninggal pertahunnya dan 99% terjadi pada negara berkembang.
Sebagian besar penderita meninggal setelah beberapa jam terjadi perdarahan karena
tidak mendapat perlakuan yang tepat dan adekuat.
Kondisi hipovolemik adalah penyebab tersering dari keadaan syok dibandingkan
dengan sebab yang lain akibat suatu trauma/ non trauma yang menyebabkan kehilangan
sejumlah besar darah atau cairan tubuh (ENA, 2007).
World Health Organization (WHO) tahun 2008 melaporkan bahwa kematian di
Amerika Serikat yang diakibatkan syok akibat perdarahan tidak terkontrol pada trauma
terjadi pada sekitar 9% dari total kematian di dunia (663.000 orang) dan di Eropa tercatat
6,9% (Gourgiotis et al, 2013).
Kematian akibat syok di negara berkembang terjadi pada sekitar 50% dalam waktu 24
jam pertama setelah tanda -tanda syok timbul (Al Aseri, 2012), hal ini berhubungan
dengan beberapa faktor yang mempengaruhi kematian di antaranya, dokter terlambat
dalam mengenali tanda awal syok yang berimplikasi terhadap penatalaksanaan, sekitar
54% disebabkan keterlambatan mencapai fasilitas pelayanan dan faktor biaya (Al Aseri,
2012)
Kematian akibat syok hipovolemik di Indonesia diakibatkan karena perdarahan yang
tidak dapat diatasi pada kondisi trauma, menurut laporan PT. Jasa Raharja pada tahun
2010 tercatat sekitar 33.671 orang, sedangkan angka kematian non trauma sekitar 28%
terjadi pada perdarahan pada proses kehamilan (Napitupulu & Rahardjo, 2013).
Syok hipovolemik kebanyakan akibat dari kehilangan darah akut sekitar 20% dari
volume total. Tanpa darah yang cukup atau penggantian cairan, syok hipovolemik
dapat menyebabkan kerusakan irreversible pada organ dan system. Syok
hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi kehilangan cairan
dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ, disebabkan oleh
volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang tidak adekuat.
Paling sering, syok hipovolemik merupakan akibat kehilangan darah yang cepat
(syok hemoragik). Syok hipovolemik dapat disebabkan oleh kehilangan volume
massive yang disebabkan oleh: perdarahan gastro intestinal, internal dan eksternal
hemoragi, atau kondisi yang menurunkan volume sirkulasi intravascular atau cairan
tubuh lain, intestinal obstruction, peritonitis, acute pancreatitis, ascites, dehidrasi dari
excessive perspiration, diare berat atau muntah, diabetes insipidus, diuresis, atau
intake cairan yang tidak adekuat.
Kemungkinan besar yang dapat mengancam nyawa pada syok hipovolemik
berasal dari penurunan volume darah intravascular, yang menyebabkan penurunan
cardiac output dan tidak adekuatnya perfusi jaringan. Kemudian jaringan yang
anoxia mendorong perubahan metabolisme dalam sel berubah dari aerob menjadi
anaerob. Hal ini menyebabkan akumulasi asam laktat yang menyebabkan asidosis
metabolic.
Ketika mekanisme kompensasi gagal, syok hipovolemik terjadi pada rangkaian
keadaan Penurunan volume cairan intravascular, Pengurangan venous return, yang
menyebabkan penurunan preload dan stroke volume, Penurunan cardiac output,
Penurunan Mean Arterial Pressure (MAP), Kerusakan perfusi jaringan, Penurunan
oksigen dan pengiriman nutrisi ke sel, Kegagalan multisistem organ Secara khas,
riwayat pasien meliputi kondisi-kondisi yang menyebabkan penurunan volume
darah, seperti gastrointestinal hemoragi, trauma, diare berat dan muntah. Pengkajian
yang didapatkan meliputi: kulit pucat, penurunan sensori, pernafasan cepat dan
dangkal, urin output kkurang dari 25ml/jam, kulit teraba dingin, clammy skin, MAP
dibawah 60 mm Hg dan nadi melemah, penurunan CVP, penurunan tekanan atrial
kanan, penurunan PAWP, dan penurunan cardiac output.
Setelah anamnesis dan pemeriksaan fisis dlakukan, langkah diagnosis
selanjutnya tergantung pada penyebab yang mungkin pada hipovolemik, dan
stabilitas dari kondisi pasien itu sendiri. Pemeriksaan laboratorium awal yang
sebaiknya dilakukan antara lain: analisis Complete Blood Count (CBC), kadar
elektrolit Na, K, Cl, HCO3, BUN, kreatinin, kadar glukosa), PT, APTT, AGD, urinalisis
(pada pasien yang mengalami trauma), dan tes kehamilan. Darah sebaiknya
ditentukan tipenya dan dilakukan pencocokan.
Pasien dengan hipotensi dan/atau kondisi tidak stabil harus pertama kali
diresusitasi secara adekuat. Penanganan ini lebih utama daripada pemeriksaan
radiologi dan menjadi intervensi segera dan membawa pasien cepat ke ruang
operasi. Langkah diagnosis pasien dengan trauma, dan tanda serta gejala
hipovolemia langsung dapat ditemukan kehilangan darah pada sumber perdarahan.
Pasien trauma dengan syok hipovolemik membutuhkan pemeriksaan
ultrasonografi di unit gawat darurat jika dicurigai terjadi aneurisma aorta abdominalis.
Jika dicurigai terjadi perdarahan gastrointestinal, sebaiknya dipasang selang
nasogastrik, dan gastric lavage harus dilakukan. Foto polos dada posisi tegak
dilakukan jika dicurigai ulkus perforasi atau Sindrom Boerhaave. Endoskopi dapat
dilakukan (biasanya setelah pasien tertangani) untuk selanjutnya mencari sumber
perdarahan.
Tes kehamilan sebaiknya dilakukan pada semua pasien perempuan usia subur.
Jika pasien hamil dan sementara mengalami syok, konsultasi bedah dan
ultrasonografi pelvis harus segera dilakukan pada pelayanan kesehatan yang
memiliki fasilitas tersebut. Syok hipovolemik akibat kehamilan ektopik sering terjadi.
Syok hipovolemik akibat kehamilan ektopik pada pasien dengan hasil tes kehamilan
negatif jarang, namun pernah dilaporkan Jika dicurigai terjadi diseksi dada karena
mekanisme dan penemuan dari foto polos dada awal, dapat dilakukan
transesofageal echocardiography, aortografi, atau CT-scan dada. Jika dicurigai
terjadi cedera abdomen, dapat dilakukan pemeriksaan FAST (Focused Abdominal
Sonography for Trauma) yang bisa dilakukan pada pasien yang stabil atau tidak
stabil. CT-Scan umumnya dilakukan pada pasien yang stabil. Jika dicurigai fraktur
tulang panjang, harus dilakukan pemeriksaan radiologi Hasil pemeriksaan yang
dapat mendukung diagnosis, diantaranya: penurunan HCT, penurunan Hb,
penurunan RBC dan jumlah platelet, peningkatan serum potassium, sodium, lactate
dehydrogenase, creatinin, dan BUN, peningkatan berat jenis urin (> 1.020) dan
osmolalitas urin; sodium urin < 50 mEq/L, penurunan creatinin urin, penurunan pH,
peningkatan PaCO2, gastroskopi, X-Ray, aspirasi isi lambung melalui NGT,
pemeriksaan koagulasi pada disseminated intravascular coagulation (DIC).
Syok hipovolemik merupakan syok yang terjadi akaibat berkurangnya volume plasma
di intravaskuler. Syok ini dapat terjadi akibat perdarahan hebat (hemoragik), trauma yang
menyebabkan perpindahan cairan (ekstravasasi) ke ruang tubuh non fungsional, dan
dehidrasi berat oleh berbagai sebab seperti luka bakar dan diare berat. Kasus-kasus
syok hipovolemik yang paing sering ditemukan disebabkan oleh perdarahan sehingga
syok hipovolemik dikenal juga dengan syok hemoragik. Perdarahan hebat dapat
disebabkan oleh berbagai trauma hebat pada organ- organ tubuh atau fraktur yang yang
disertai dengan luka ataupun luka langsung pada pembuluh arteri utama.
Perdarahan akan menurunkan tekanan pengisian pembuluh darah rata-rata dan
menurunkan aliran darah balik ke jantung. Hal inilah yang menimbulkan penurunan curah
jantung. Curah jantung yang rendah di bawah normal akan menimbulkan beberapa
kejadian pada beberapa organ.
Mikrosirkulasi Ketika curah jantung turun, tahanan vaskular sistemik akan berusaha
untuk meningkatkan tekanan sistemik guna menyediakan perfusi yang cukup bagi
jantung dan otak melebihi jaringan lain seperti otot, kulit dan khususnya traktus
gastrointestinal. Kebutuhan energi untuk pelaksanaan metabolisme di jantung dan otak
sangat tinggi tetapi kedua sel organ itu tidak mampu menyimpan cadangan energi.
Sehingga keduanya sangat bergantung akan ketersediaan oksigen dan nutrisi tetapi
sangat rentan bila terjadi iskemia yang berat untuk waktu yang melebihi kemampuan
toleransi jantung dan otak. Ketika tekanan arterial rata-rata (mean arterial pressure/MAP)
jatuh hingga 60 mmHg, maka aliran ke organ akan turun drastis dan fungsi sel di
semua organ akan terganggu.
Neuroendokrin, Hipovolemia, hipotensi dan hipoksia dapat dideteksi oleh baroreseptor
dan kemoreseptor tubuh. Kedua reseptor tadi berperan dalam respons autonom tubuh
yang mengatur perfusi serta substrak lain Kardiovaskular, Tiga variabel seperti;
pengisian atrium, tahanan terhadap tekanan (ejeksi) ventrikel dan kontraktilitas miokard,
bekerja keras dalam mengontrol volume sekuncup. Curah jantung, penentu utama dalam
perfusi jaringan, adalah hasil kali volume sekuncup dan frekuensi jantung. Hipovolemia
menyebabkan penurunan pengisian ventrikel, yang pada akhirnya menurunkan volume
sekuncup. Suatu peningkatan frekuensi jantung sangat bermanfaat namun memiliki
keterbatasan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan curah jantung.
Gastrointestinal, Akibat aliran darah yang menurun ke jaringan intestinal, maka terjadi
peningkatan absorpsi endotoksin yang dilepaskan oleh bakteri gram negatif yang mati di
dalam usus. Hal ini memicu pelebaran pembuluh darah serta peningkatan metabolisme
dan bukan memperbaiki nutrisi sel dan menyebabkan depresi jantung.
Ginjal Gagal ginjal akut adalah satu komplikasi dari syok dan hipoperfusi, frekuensi
terjadinya sangat jarang karena cepatnya pemberian cairan pengganti. Yang banyak
terjadi kini adalah nekrosis tubular akut akibat interaksi antara syok, sepsis dan
pemberian obat yang nefrotoksik seperti aminoglikosida dan media kontras angiografi.
Secara fisiologi, ginjal mengatasi hipoperfusi dengan mempertahankan garam dan air.
Pada saat aliran darah di ginjal berkurang, tahanan arteriol aferen meningkat untuk
mengurangi laju filtrasi glomerulus, yang bersama-sama dengan aldosteron dan
vasopresin bertanggung jawab terhadap menurunnya produksi urin.
Gejala-gejala klinis pada suatu perdarahan bisa belum terlihat jika kekurangan darah
kurang dari 10% dari total volume darah karena pada saat ini masih dapat dikompensasi
oleh tubuh dengan meningkatkan tahanan pembuluh dan frekuensi dan kontraktilitas otot
jantung. Bila perdarahan terus berlangsung maka tubuh tidak mampu lagi
mengkompensasinya dan menimbulkan gejala-gejala klinis. Secara umum syok
hipovolemik menimbulkan gejala peningkatan frekuensi jantung dan nadi (takikardi),
pengisian nadi yang lemah, kulit dingin dengan turgor yang jelek, ujung-ujung ektremitas
yang dingin dan pengisian kapiler yang lambat Pemeriksaan yang dilakukan untuk
menegakkan diagnosis adanya syok hipovolemik tersebut pemeriksaan pengisian dan
frekuesnsi nadi, tekanan darah, pengisian kapiler yang dilakukan pada ujung-uung jari
(refiling kapiler), suhu dan turgor kulit. Berdasarkan persentase volume kehilangan
darah, syok hipovolemik dapat dibedakan menjadi empat tingkatan atau stadium.
Stadium syok dibagi berdasarkan persentase kehilangan darah sama halnya dengan
perhitungan skor tenis lapangan, yaitu 15, 15-30, 30-40, dan >40%. Setiap stadium syok
hipovolemik ini dapat dibedakan dengan pemeriksaan klinis tersebut.
Stadium-I adalah syok hipovolemik yang terjadi pada kehilangan darah hingga
maksimal 15% dari total volume darah. Pada stadium ini tubuh mengkompensai dengan
dengan vasokontriksi perifer sehingga terjadi penurunan refiling kapiler. Pada saat ini
pasien juga menjadi sedkit cemas atau gelisah, namun tekanan darah dan tekanan nadi
rata-rata, frekuensi nadi dan nafas masih dalam kedaan normal.
Syok hipovolemik stadium-II afalah jika terjadi perdarahan sekitar 15-30%. Pada
stadium ini vasokontriksi arteri tidak lagi mampu menkompensasi fungsi kardiosirkulasi,
sehingga terjadi takikardi, penurunan tekanan darah terutama sistolik dan tekanan nadi,
refiling kapiler yang melambat, peningkatan frekuensi nafas dan pasien menjadi lebih
cemas.
Syok hipovolemik stadium-III bila terjadi perdarahan sebanyak 30-40%. Gejala-gejala
yang muncul pada stadium-II menjadi semakin berat. Frekuensi nadi terus meningkat
hingga diatas 120 kali permenit, peningkatan frekuensi nafas hingga diatas 30 kali
permenit, tekanan nadi dan tekanan darah sistolik sangat menurun, refiling kapiler yang
sangat lambat.
Stadium-IV adalah syok hipovolemik pada kehilangan darah lebih dari 40%. Pada saat
ini takikardi lebih dari 140 kali permenit dengan pengisian lemah sampai tidak teraba,
dengan gejala-gejala klinis pada stadium-III terus memburuk. Kehilangan volume
sirkulasi lebih dari 40% menyebabkan terjadinya hipotensi berat, tekanan nadi semakin
kecil dan disertai dengan penurunan kesadaran atau letargik.
Penatalaksanaan sebelum di tempat pelayanan kesehatan harus memperhatikan
prinsip- prinsip tahapan resusitasi. Selanjutnya bila kondisi jantung, jalan nafas dan
respirasi dapat dipertahankan, tindakan selanjutnya adalah adalah menghentikan
trauma penyebab perdarahan yang terjadi dan mencegah perdarahan berlanjut.
Menghentikan perdarahan sumber perdarahan dan jika memungkinkan melakukan
resusitasi cairan secepat mungkin. Selanjutnya dibawa ke tempat pelayaan kesehatan,
dan yang perlu diperhatikan juga adalah teknik mobilisai dan pemantauan selama
perjalanan. Perlu juga diperhatikan posisi pasien yang dapat membantu mencegah
kondisi syok menjadi lebih buruk, misalnya posisi pasien trauma agar tidak memperberat
trauma dan perdarahan yang terjadi, pada wanita hamil dimiringkan kea rah kiri agar
kehamilannya tidak menekan vena cava inferior yang dapat memperburuh fungsi
sirkulasi. Sedangkan saat ini posisi tredelenberg tidak dianjurkan lagi karena justru dapat
memperburuk fungsi ventilasi paru.
Pada pusat layanan kesehatan atau dapat dimulai sebelumnya harus dilakukan
pemasangan infus intravena. Cairan resusitasi yang digunakan adalah cairan isotonik
NaCl 0,9% atau ringer laktat. Pemberian awal adalah dengan tetesan cepat sekitar 20
ml/KgBB pada anak atau sekitar 1-2 liter pada orang dewasa. Pemberian cairan terus
dilanjutkan bersamaan dengan pemantauan tanda vital dan hemodinamiknya. Jika
terdapat perbaikan hemodinamik, maka pemberian kristaloid terus dilanjutnya.
Pemberian cairan kristaloid sekitar 5 kali lipat perkiraan volume darah yang hilang dalam
waktu satu jam, karena istribusi cairan koloid lebih cepat berpindah dari intravaskuler ke
ruang intersisial. Jika tidak terjadi perbaikan hemodinamik maka pilihannya adalah
dengan pemberian koloid, dan dipersiapkan pemberian darah segera.
Penatalaksanaan Syok Hipovolemik petama Mempertahankan Suhu Tubuh, Suhu
tubuh dipertahankan dengan memakaikan selimut pada penderita untuk mencegah
kedinginan dan mencegah kehilangan panas. Jangan sekali-kali memanaskan tubuh
penderita karena akan sangat berbahaya. Pemberian Cairan, Jangan memberikan
minum kepada penderita yang tidak sadar, mual-mual, muntah, atau kejang karena
bahaya terjadinya aspirasi cairan ke dalam paru. Jangan memberi minum kepada
penderita yang akan dioperasi atau dibius dan yang mendapat trauma pada perut serta
kepala (otak). Penderita hanya boleh minum bila penderita sadar betul dan tidak ada
indikasi kontra. Pemberian minum harus dihentikan bila penderita menjadi mual atau
muntah. Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan pertama
dalam melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume intravaskuler, volume
interstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma berguna untuk
meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler.
Pada syok hipovolemik, jumlah cairan yang diberikan harus seimbang dengan jumlah
cairan yang hilang. Sedapat mungkin diberikan jenis cairan yang sama dengan cairan
yang hilang, darah pada perdarahan, plasma pada luka bakar. Kehilangan air harus
diganti dengan larutan hipotonik. Kehilangan cairan berupa air dan elektrolit harus diganti
dengan larutan isotonik. Penggantian volume intra vaskuler dengan cairan kristaloid
memerlukan volume 3–4 kali volume perdarahan yang hilang, sedang bila menggunakan
larutan koloid memerlukan jumlah yang sama dengan jumlah perdarahan yang hilang.
Telah diketahui bahwa transfusi eritrosit konsentrat yang dikombinasi dengan larutan
ringer laktat sama efektifnya dengan darah lengkap.
Pemantauan tekanan vena sentral penting untuk mencegah pemberian cairan yang
berlebihan. Pada penanggulangan syok kardiogenik harus dicegah pemberian cairan
berlebihan yang akan membebani jantung. Harus diperhatikan oksigenasi darah dan
tindakan untuk menghilangkan nyeri. Pemberian cairan pada syok septik harus dalam
pemantauan ketat, mengingat pada syok septik biasanya terdapat gangguan organ
majemuk (Multiple Organ Disfunction). Diperlukan pemantauan alat canggih berupa
pemasangan CVP, “Swan Ganz” kateter, dan pemeriksaan analisa gas darah.
Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan antara lain Kaji jumlah
kehilangan volume cairan dan mulai lakukan penggantian cairan sesuai order.
Pastikan golongan darah untuk pemberian terapi transfuse, Kaji AGD/Analisa Gas
Darah, jika pasien mengalami cardiac atau respiratory arrest lakukan CPR, Berikan
terapi oksigen sesuai order. Monitor saturasi oksigen dan hasil AGD untuk
mengetahui adanya hypoxemia dan mengantisipasi diperlukannya intubasi dan
penggunaan ventilasi mekanik. Atur posisi semi fowler untuk memaksimalkan
ekspansi dada. Jaga pasien tetap tenang dan nyaman untuk meminimalkan
kebutuhan oksigen, Monitor vital sign, status neurologis, dan ritme jantung secara
berkesinambungan. Observasi warna kulit dan cek capillary refill, Monitor parameter
hemodinamik, termasuk CVP, PAWP, dan cardiac output, setiap 15 menit, untuk
mengevaluasi respon pasien terhadap treatmen yang sudah diberikan, Monitot
intake dan output.pasang dower cateter dan kaji urin output setiap jam. Jika
perdarahan berasal dari gastrointestinal maka cek feses, muntahan, dan gastric
drainase. Jika output kuranng dari 30 ml/jam pada pasien dewasa pasang infuse,
tetapi awasi adnya tanda kelebihan cairan seperti peningkatan PAWP. Lapor dokter
jika urin output tidak meningkat, Berikan transfuse sesuai lorder, monitor Hb secara
serial dan HCT, Berikan Dopamin atau norepineprin I.V., sesuai order untuk
meningkatkan kontraktilitas jantung dan perfusi renal, Awasi tanda-tanda adanya
koagulopati seperti petekie, perdarahan, catat segera, Berikan support emosional,
Siapkan pasien untuk dilakukan pembedahan, jika perlu, Pemantauan yang perlu
dilakukan dalam menentukan kecepatan infus.
Nadi: nadi yang cepat menunjukkan adanya hipovolemia. Tekanan darah: bila
tekanan darah < 90 mmHg pada pasien normotensi atau tekanan darah turun > 40
mmHg pada pasien hipertensi, menunjukkan masih perlunya transfusi cairan.
Produksi urin. Pemasangan kateter urin diperlukan untuk mengukur produksi urin.
Produksi urin harus dipertahankan minimal 1/2 ml/kg/jam. Bila kurang, menunjukkan
adanya hipovolemia. Cairan diberikan sampai vena jelas terisi dan nadi jelas teraba.
Bila volume intra vaskuler cukup, tekanan darah baik, produksi urin < 1/2 ml/kg/jam,
bisa diberikan Lasix 20-40 mg untuk mempertahankan produksi urine. Dopamin 2-5
µg/kg/menit bisa juga digunakan pengukuran tekanan vena sentral (normal 8-12
cmH2O), dan bila masih terdapat gejala umum pasien seperti gelisah, rasa haus,
sesak, pucat, dan ekstremitas dingin, menunjukkan masih perlu transfusi cairan.
Syok hipovolemik pada anak, Syok merupakan salah satu kegawatan sirkulasi yang
sering dijumpai di unit gawat darurat dan ruang rawat intensif anak. Di dunia, lebih dari
10 juta anak meninggal akibat keterlambatan penanganan syok, dengan angka kematian
tertinggi ditemukan pada anak usia kurang dari 5 tahun.Insidens syok yang sebenarnya
tidak diketahui dengan pasti, karena hanya penyakit yang mendasarinya saja yang
dilaporkan, seperti diare, sindrom syok dengue, pneumonia, luka bakar, perdarahan, dll.
Syok hipovolemik merupakan penyebab syok paling sering pada anak yang terjadi
sekunder akibat dehidrasi. Pengenalan syok dini masih merupakan masalah sampai saat
ini, terutama pada anak karena gambaran klinis yang berbeda dengan dewasa;
sedangkan tata laksana segera yang agresif dan adekuat diperlukan untuk
mengembalikan volume intravaskular dan menghentikan kaskade biokemikal, sehingga
prognosis pasien menjadi lebih baik.
Pada syok terjadi kegagalan akut sistem sirkulasi dalam menghantarkan oksigen dan
nutrien untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan sehingga menyebabkan defisit
oksigen di tingkat sel. Kegagalan proses penghantaran ini dapat terjadi bila salah satu
fungsi sistem sirkulasi yaitu jantung, volume intravaskular, atau tonus vaskular
terganggu. Berdasarkan hal tersebut maka syok dapat diklasifikasikan sebagai syok
kardiogenik, syok hipovolemik, dan syok distributif/septik.
Kegagalan sirkulasi menyebabkan hantaran oksigen (DO 2) ke jaringan berkurang diikuti
dengan penurunan tekanan oksigen parsial (pO2). Pada saat terjadi penurunan pO2 sampai
pada titik kritis, maka fosforilasi oksidatif yang bergantung pada oksigen akan menggeser
metabolisme, dari aerob menjadi anaerob, sehingga kadar laktat darah meningkat dan
menyebabkan terjadinya asidosis laktat. Hantaran oksigen dipengaruhi oleh kandungan
oksigen darah arteri (CaO2) dan curah jantung (CO) sesuai dengan persamaan berikut.
Curah jantung pada anak sangat tergantung pada detak jantung (HR) dibandingkan
dengan isi sekuncup (SV) karena miokard belum matang. Pada saat tubuh kehilangan
volume intravaskular lebih dari 10% akan terlihat beberapa usaha tubuh untuk
mengembalikan fungsi kardiovaskular dan volume darah dengan mekanisme kompensasi
yang melibatkan respon neurohumoral, kemoreseptor, dan endokrin. Berdasarkan proses
patofisiologi tersebut syok terbagi menjadi 3 fase, yaitu fase kompensasi, dekompensasi,
dan ireversibel.
Pada fase kompensasi beberapa mekanisme neurohormonal bekerja untuk
mempertahankan tekanan darah dan aliran darah, terutama ditujukan ke organ vital, seperti
jantung dan otak. Bila mekanisme ini gagal akan terjadi iskemia jaringan, disfungsi
mikrosirkulasi, dan pelepasan mediator inflamasi. Pada fase ireversibel biasanya sudah
terjadi cedera organ yang berat dan tidak responsif terhadap terapi konvensional, yang akan
berakhir pada gagal multi-organ dan kematian. Keberhasilan tata laksana syok tergantung
pada saat dimulainya intervensi di setiap fase Diagnosis syok hipovolemik merupakan
diagnosis klinis berdasarkan adanya kehilangan volume intravaskular akibat diare,
muntah, asupan tidak adekuat, luka bakar, perdarahan, kebocoran plasma, kehilangan
melalui urin, dan pemakaian obat-obatan diuretik osmotik. Pada pemeriksaan fisis dapat
ditemukan tanda-tanda sebagai berikut, Berbeda dengan gambaran klinis pada
dewasa, pada anak hipotensi merupakan keadaan yang sudah terlambat, sehingga
sangat diperlukan kecurigaan yang cukup besar dari para klinisi serta pemeriksaan
fisis yang terarah agar dapat mendiagnosis syok pada fase awal.
Pemeriksaan penunjang tidak diperlukan dalam mendiagnosis syok hipovolemik,
biasanya dipakai hanya untuk mencari etiologi penyakit yang mendasarinya,
mengevaluasi beratnya hipoperfusi dan, disfungsi organ, serta gangguan metabolik yang
terjadi. Pemeriksaan awal yang bisa dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap,
elektrolit, analisis gas darah, laktat, gula darah, urinalisis, dan pemeriksaan lain sesuai
kemungkinan etiologinya.
Tata Laksana, Pengenalan awal dan intervensi di saat yang tepat merupakan hal
yang sangat mendasar dalam tata laksana syok hipovolemik pada anak. Beberapa
pedoman yang ada menekankan pentingnya waktu dan resusitasi agresif untuk memperbaiki
luaran. Hal ini berdampak pada penurunan angka mortalitas pada anak yang mendapat
resusitasi awal (8%) dibandingkan yang tidak mendapatkan resusitasi awal yang
sesuai (38%).tujuan resusitasi ini adalah untuk mengembalikan perfusi dan fungsi
organ dengan cara
Optimalisasi kandungan oksigen darah arteri (CaO2). Memperbaiki curah
jantung dan distribusi darah, Menurunkan kebutuhan oksigen, Memperbaiki
gangguan metabolic Seperti umumnya penanganan kegawat-daruratan pada anak maka
tata laksana awal syok selalu dimulai dengan airway (pembebasan jalan napas), breathing
(berikan suplementasi oksigen 100%), dan circulation (pasang akses vena dan berikan
cairan resusitasi).
Dalam hal pemberian cairan pada syok hipovolemik terdapat beberapa hal yang harus
dipertimbangkan agar tujuan yang diinginkan bisa tercapai, yaitu cara pemberian, waktu
atau kecepatan pemberian, jenis dan jumlah cairan yang diberikan, serta komplikasi
pemberian cairan. Terapi inisial dengan bolus cairan kristaloid atau koloid sebanyak 20
ml/kgBB selama 6-20 menit melalui 1 atau lebih akses vena besar, akan mengembalikan
perfusi dengan cepat dan mencegah kerusakan organ lebih lanjut. Bolus cairan ini dapat
diulang sampai 60 ml/kgBB atau lebih dalam waktu 30-60 menit pertama, bahkan jumlah
cairan dapat mencapai 100-200 ml/kgBB bila diperlukan. Jumlah urin 1-2 ml/ kgBB/jam
dapat dipakai sebagai indikator perfusi organ yang cukup adekuat, sehingga pasien dengan
syok sebaiknya dipasang kateter urin. Penilaian secara terus menerus perlu dilakukan
selama pemberian cairan resusitasi, untuk melihat tanda-tanda kelebihan cairan,
kongesti paru, dan pembesaran hepar. Selain itu, terapi cairan dapat menyebabkan
beberapa komplikasi seperti gangguan terhadap profil koagulasi, pelepasan mediator
inflamasi, dan edem jaringan.
Pemilihan Cairan, Perdebatan masih terjadi sampai saat ini mengenai jenis cairan yang
diberikan pada saat awal resusitasi. Masing-masing ahli memberikan argumentasi
mengenai keuntungan pemberian cairan kristaloid ataupun koloid. Penelitian pada
anak dengan sindrom syok dengue melalui uji kontrol randomisasi (RCT),
memperlihatkan efek yang sama antara anak yang diberikan cairan kristaloid
dibandingkan dengan cairan koloid. Hasil yang sama diperlihatkan pula pada beberapa
penelitian yang membandingkan kristaloid dan koloid dalam hal terjadinya edema pulmonal,
mortalitas dan lama rawat. Di Amerika Utara lebih banyak klinisi yang memakai cairan
kristaloid sedangkan klinisi di Eropa lebih menyukai cairan koloid sebagai cairan resusitasi.
Tentu saja sebagai klinisi perlu mempertimbangkan berbagai faktor dalam pemilihan cairan
kristaloid maupun koloid berdasarkan karakteristik individu, perjalanan penyakit,
patofisiologi, pengalaman klinis, harga, dan faktor eksternal lain.
Obat Vasoaktif, Obat vasoaktif biasanya jarang digunakan pada syok hipovolemik
kecuali bila tanda-tanda hipoperfusi masih terlihat walaupun cairan resusitasi yang
diberikan sudah cukup adekuat. Tujuannya adalah untuk memperbaiki fungsi miokardial
dan sirkulasi, dan katekolamin merupakan obat pilihan untuk memperbaiki
kontraktilitas miokard. Katekolamin terdiri dari 3 reseptor adrenergik yaitu reseptor
alfa (α), beta (β), dan dopaminergik. Secara umum reseptor 1 memberikan efek
inotropik (kontraktilitas), kronotropik (denyut jantung) dan dromotropik (kecepatan
konduksi). Reseptor 2 mempunyai efek vasodilatasi dan relaksasi otot polos bronkus,
sedangkan reseptor menyebabkan vasokonstriksi dan konstriksi otot bronkus. Reseptor
dopaminergik memberikan efek relaksasi otot polos. Dengan memahami patofisiologi
syok yang terjadi dapat membantu dalam pemilihan obat vasoaktif yang sesuai Pada
pasien yang mengalami syok, setelah dilakukan resusitasi maka pemantauan yang
ketat merupakan hal yang sangat penting seperti tanda vital, saturasi oksigen, tanda klinis
syok, dan jumlah urin. Beberapa parameter yang dapat dijadikan target akhir resusitasi
adalah: perbaikan kesadaran, denyut nadi dan tekanan darah kembali normal, tidak ada
perbedaan pulsasi sentral dan perifer, waktu pengisian kapiler < 2 detik, akral hangat, dan
diuresis minimal 1 ml/kgBB/jam. Selain itu bila memungkinkan perlu diperiksakan
parameter lain seperti laktat dan defisit basa untuk memantau hipoperfusi yang masih
mungkin terjadi di tingkat mikrosirkulasi.
Syok hipovolemik merupakan keadaan gawat darurat yang dapat dengan mudah
ditangani bila dapat diidentifikasi sejak awal. Keberhasilan tata laksana tergantung dari
pemberian cairan resusitasi yang agresif, ditandai dengan kembalinya fungsi sirkulasi
dan perfusi jaringan dengan cepat. Pemantauan berkesinambungan merupakan salah
satu kunci suksesnya resusitasi.
Syok hipovolemik merupakan kegagalan perfusi jaringan yang disebabkan oleh
kehilangan cairan intravaskuler. Proses kegagalan perfusi akibat kehilangan volume
intravaskuler terjadi melalui penurunan aliran darah balik ke jantung (venous return) yang
menyebabkan volume sekuncup dan curah jantung berkurang. Penurunan hebat curah
jantung menyebabkan hantaran oksigen dan perfusi jaringan tidak optimal yang dalam
kedaan berat menyebabkan syok. Gejala klinis syok hipovolemik baru jelas terlihat bila
kekurangan volume sirkulasi lebih dari 15% karena pada tahap awal perdarahan kurang
mekanisme kompensasi sisitim kardiovaskuler dan saraf otonom masih dapat menjaga
fungsi sirkulasi dalam kedaan normal. Gejala dan tanda klinis juga tidak muncul pada
waktu bersamaan, seperti perubahan tekanan darah sitolik terjadi lebih lambat dari
adanya perubahan tekanan nadi, frekuensi jantung dan penurunan produksi urin. Oleh
karena itu pemeriksaan dan penatalaksanaan yang cermat harus dilakukan untuk
penatalaksanaan yang tepat, serta penanggulangan segera kasus-kasus yang beresiko
agar tidak jatuh kedalam kondisi syok.

Daftar pustaka

Anda mungkin juga menyukai