Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN PENDAHULUAN SYOK HIPOVOLEMIK

NAMA : EUFRASIA GANUR

NIM : 20203012

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN DAN PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA SANTU PAULUS RUTENG
2020/2021
LEMBAR PERSETUJUAN

Asuhan Keperawatan ………………..ini telah disetujui pada


tanggal……………….

Menyetujui,

Pembimbing Institusi Pembimbing Klinik

Ns.Yuliana R.R Krowa.,M.Kep

NIDN
A. DEFENISI
Syok Hipovolemik diinduksi oleh penurunan volume darah ,yang terjadi secara langsung
karena perdarahan hebat atau tidak langsung karena hilangnya cairan yang berasala dari
plasma( misalnya diare berat, pengeluaran urin berlebihan, atau keringat berlebihan).
B. ETIOLOGI
Syok hipovolemik yang dapat disebabkan oleh hilangnya cairan intravaskuler,misalnya
terjadi pada:
1. Kehilangan darah atau syok hemoragik karean perdarahan yanag mengalir keluar tubuh
seperti hematoraks,rupture limpa,dan kehamilan ektopik terganggu.
2. Trauma yang breakibat fraktur tulang besar,dapat menampung kehilangan darah yang
besar, misalnya: fraktur humerus menghasilkan 500-1000 ml perdarahan atau fraktur
femur menampung 1000-1500 ml perdarahan.
3. Kehilangan cairan intravaskuler lain yang dapat terjadi karena kehilangan protein
plasma atau cairan ekstraseluler,misalnya pada:
a. Gastrointestinal: peritonitis,pancreatitis,dan gastroenteritis.
b. Renal: terpai diuretic,krisis penyakit Addison,luka bakar( kombutsio) dan
anafilaksis.
C. PATOFISIOLOGI
Tahap-tahap syok:
Karena sifat-sifat khas dari syok sirkulasi dapat berubah pada berbagai derajat keseriusan,
menurut guyton syok di bagi dalam 3 tahap utama yaitu:
a. Tahap nonprogresif( atau tahap kompensasi), sehingga mekanisme kompensasi
sirkulasi normal akhirnya akan menyebabkan pemulihan sempurna tanpa dibantu terapi
dari luar.
b. Tahap progresif,ketika syok menjadi semakin buruk sampai timbul kematian.
c. Tahap ireversibel, ketika syok telah jauh berkembang sedemikian rupa sehingga semua
bentuk terapi yang diketahui tidak mampu lagi menolong penderita, meskipun pada
saat itu,orang tersebut masih hidup.
D. MANIFESTASI KLINIS
Gejala syok hipovolemik cukup bervariasi, tergantung pada usia,kondisi
premorbid,besarnya volime cairan yang hilang, dan lama berlangsungnya.kecepatan
kehilangan cairan tubuh merupakan factor kritis respon kompensasi.pasien muda dapat
dengan mudah mengkompensasi kehilangan cairan dengan jumlah sedang
vasokontriksinya dan takikardia.kehilangan volume yang cukup besar dalam waktu
lambat,meskipun terjadi pada pasien usia lanjut,masih dapat ditolerir juga dibandingkan
kehilangan dalam waktu yang cepat atau singkat. Apabila syok telah terjadi, tanda-
tandanya akan jelas.pada keadaan hipovolemia,penurunan darah lebih dari 15 mmHg dan
tidak segera kembali dalam beberapa menit. Tanda-tanda syok adalah :

a. Kulit dingin, pucat, dan vena kulit kolaps akibat penurunan pengisian kapiler selalu
berkaitan dengan berkurangnya perfusi jarinagan.
b. Takhikardi: peningkatan laju jantung dan kontraktilitas adalah respon homeostasis
penting untuk hipovolemia. Peningkatan kecepatan aliran darah ke homeostasis penting
untuk hipovolemia.peningkatan kecepatan aliran darah ke mikrosirkulasi berfungsi
mengurangi asidosis jaringan.
c. Hipotensi: karena tekanan darah adalah produk resistensi pembuluh darah sistemik dan
curah jantung,vasokontriksi perifer adalah factor yang esensial dalam mempertahankan
tekanan darah.autoregulasi aliran darah otak dapat dipertahankan selama tekanan arteri
turun tidak dibawah 70 mmHg.
d. Oliguria: produksi urin umumnya akan berkurang pada syok hipovolemik.oliguria pada
orang dewasa terjaadi jika jumlah urin kurang dari 30 ml/jam.
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pasien dengan hipotensi dan /atau kondisi tidak stabil harus pertama kali diresusitasi
secara adekuat. Penanganan ini lebih utama dari pada pemeriksaan radiologi dan
menjadi intervensi segera dan membawa pasien cepat ke ruang operasi.
b. Langkah diagnosis pasien dengan trauma,dan tanda serta gejala hipovolemia langsung
dapat ditemukan kehilangan darah pada sumber perdarahan.
c. Pasien truma dengan syok hipovolemik membutuhkan pemeriksaan ultrasonografi di
unit gawat darurat jika dicurigai terjadi aneurisma aorta abdominalis.jika dicurigai
terjadi perdarahan gastrointestinal,sebaiknya dipasang selang nasogastrik, dan gastric
lavage harus dilakukan.foto polos dada posisi tegak dilakukan jika dicurigai ulkus
perforasi atau sindrom boerhaave. Endoskopi dapat dilakukan ( biasanya setelah pasien
tertangani) untuk selanjutnya mencari sumber perdarahan.
d. Tes kehamilan sebaiknya dilakukan pada semua pasien perempuan usia subur.jika
pasien hamil dan sementara mengalami syok,konsultasi bedah dan ultrasonografi pelvis
harus segera dilakukan pada pelayanan kesehatan yang memiliki fasilitas tersebut.syok
hipovolemik akibat kehamilan ektopik sering terjadi.syok hipovolemik akibat
kehamilan ektopik pada pasien dengan hasil tes kehamilan negative jarang, namun
pernah dilaporkan.
e. Jika dicurigai terjadi diseksi dada karena mekanisme dan penemuan dari foto polos
dada awal,dapat dilakukan transesofageal echocardiography, aortografi.atau CT-Scan
dada.
f. Jika dicurigai terjadi cedera abdomen,dapat dilakukan pemeriksaan FAST( focused
abdominal sonography for trauma) yang bisa dilakukan pada pasien yang stabil atau
tidak stabil.CT-Scan umumnya dilakukan pada pasien yang stabil.
g. Jika dicurigai fraktur tulang panjang,harus dilakukan pemeriksaan radiologi

F. KOMPLIKASI
a. Gagal jantung, gagal ginjal.
b. Kerusakan jaringan ARDS( Acute Respiratory Disstres Syndrom).
c. Kerusakan otot irreversible
d. Dehidrasi kronis
e. Multiple organ failure DIC( Disseminated Intravasculer Coagulation).
G. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama dalam mengatasi syok hipovolemik adalah:
a. Memulihkan volume intravaskuler untuk membalik urutan peristiwa sehingga tidak
mengarah pada perfusi jaringan yang tidak adekuat.
b. Meredistribusi volume cairan dan
c. Memperbaiki penyebab yang mendasari kehilangan cairan secepat mungkin.
H. KONSEP DASR KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Data umum klien, berisi data-data umum tentang pasien misalnya nama,umur,jenis
kelamin,pekerjaan,alamat,tanggal masuk.
b. Pengkajian primer
1. Airway : kaji kepatenan jalan nafas klien,adanya sumbatan atau obstruksi,serta
kaji bunyi nafas tambahan.
2. Breathing : kaji pola nafas klien,frekuensi pernafasan, pergerakan dada
klien,bentuk dada, atau adanya bantuan pernafasan.
3. Circulation: kaji tanda-tanda vital klien, adanya akral dingin dan kaji capillary
refill time( CRT).
4. Disability : kaji adanya penurunan tingkat kesadran,adanya gangguan
verbal,motorik dan sensorik serta reflex pupil.
c. Pengkajian skunder( NANDA)
1. Promosi kesehatan, kaji kesehatan umum klien, alsan masuk rumah sakit, dan
riwayat keluhan utama klien,riwayat penyakit masa lalu,riwayat pengobatan
masa lalu, kemampuan mengontrol kesehatan,factor social ekonomi yang
berpengaruh terhadap kesehatan, riwayat pengobatan sekarang.
2. Nutrisi , melakukan pengkajian antropometri( tinggi badan,berat badan,lingkar
kepala,lingkar dada, lingkar lengan atas, indeks masa tubuh),biochemical( data
laboratorium yang abnormal), clinical( tanda-tanda klinis
integument,anemia),diet( meliputi jenis, frekuensi,nafsu terhadap makanan
yang diberikan selama di RS), energy( kemampuan beraktifitas selama
dirawat),factor( penyebab masalah), penilaian status gizi, pola asupan cairan,
jumlah intake dan output,penilain status cairan( balance cairan), pemeriksaan
abdomen.
3. Eliminasi, mengkaji pola pembuangan urine, riwayat kandung kemih, pola
urine, distensi kandung kemih, system gastrointestinal( konstipasi dan factor
penyebab,pola eliminasi).
4. Aktivitas dana istirahat.mengkaji kebutuhan istirahat/tidur, aktivitas,respons
jantung,pulmonary repons,sirkulasi,riwayat hipertensi,kelainan katup,bedah
jantung,endokarditis,anemia,septic syok,bengkak pada kaki,asites,
takikardi,disritmia,atrial fibrilasi, premature ventricular contraction, bunti s3
gallop,adanya bunyi CA, adanya sistolik atau diastolic,murmur,peningkatan
JVP, adanya nyeri dada, sianosis, pucat, ronchi, hepatomegali.
5. Persepsi dan kognisi, mengkaji orientasi klien,sensasi dan persepsi, kemampuan
komunikasi.
6. Persepsi diri
7. Peranan hubungan( role relationship) mengkaji pola interaksi dengan orang lain
atau kedekatan dengan anggota keluarga atau orang terdekat.
8. Seksualitas, mengkaji maslah identitas seksual, masalah atau disfungi seksual.
9. Mekanisme koping/ toleransi stress.
10. Nilai-nilai kepercayaan.
11. Keamanan, mengakji adanya alergi, penyakit autoimmune,tanda-tanda infeksi,
gangguan/komplikasi( akibat tirah baring, proses perawatan,jatuh,obat-obatan,
penatalaksanaan).
12. Kenyamanan , mengkaji adanya nyeri dirasakan( PQRST), rasa tidak nyaman
lainnya serta gejala-gejal yang menyertai.
13. Pertumbuhan dan perkembangan.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan asupan
makanan tidak adekuat,mual muntah.
b. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan adanya eksudat
dialveoli akibat edema paru.
c. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan kongesti
sistemik,kerusakan transport oksigen, hipervolemia,hipoventilasi, gangguan aliran
atreri, gangguan aliran vena.
d. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi
ventilasi, perubahan membrane kapiler alveoli karena danya penumpukan cairan di
rongga paru.
e. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan/tahanan.
f. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum dan imobilitas.
g. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit berhubungan dengan kurang
informasi.
h. Ansietas berhubungan dengan proses penyakit, ancaman atau perubahan pada status
kesehatan.

3. INTERVENSI KEPERAWATAN
a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafs berhubungan dengan adanya eksudat di alveoli
akibat edema paru.
Criteria hasil:
1. Bernapas dengan mudh dan tanpa dispnea
2. Menunjukan kapasitas ventilasi yang membaik.
3. Melakukan aktivitas sesuai kemampuan.
Intervensi:
1. Instruksikan dan /atau awasi latihan pernapasan dan pernapasan terkontrol.
Rasional: untuk meningkatkan pernapasan disfragmatik yang tepat, ekspansi
sisi,dan perbaikan mobilitas dinding dada.
2. Instruksikan pasien pada metode yang tepat dalam mengontrol batuk.
Rasional: batuk yang tidak terkontrol melelehkan dan inefektif dapat
menimbulkan frustasi.
3. Observasi TTV
Rasional : mengetahui kedaan umum pasien.
4. Dorong postur tubuh yang baik untuk ekspansi paru maksimum.
Rasional : aktivitas yang dapat ditolerasni agar tidak memperberat kondisi
klien.
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan asupan
makanann tidak adekuat,mual muntah
Criteria hasil:
1. Status gizi: asupan gizi: keadekuatan pola asupan zat gizi yang biasanya.
2. Selera makan: keinginan untuk makan dalam keadaan sakit atau sedang
menjalani pengobatan.
Intervensi:
1. Manajemen nutrisi: membantu atau menyediakan asupan makanan dan
cairan diet seimbang.
Aktivitas keperawatan:
- Ketahui makanan kesukaan pasien
Rasional: makanan kesukaaan biasanya meningkatkan selera makan.
- Pantau kandungan nutrisi dan kalori pada catatan asupan.
Rasional: kandungan nutrisi yang tepat untuk meningkatkan enrgi klien
beraktivitas.
- Berikan informasi mengenai kebutuhan nutrisi dan bagaimana
memenuhinya.
Rasional: agar klien dapat memenuhi kebutuhan nutrisi dan energy
secara mandiri.
- Kolaborasi dengan ahli gizi( jika perlu) jumlah kalori dan jenis zat yang
dibutuhkan.
Rasional: pemenuhan nutrisi klien secara tepat melalui gizi klinik.

c. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan kongesti


sistemik,kerusakan transport oksigen,hipervolemia,hipoventilasi,gangguan aliran
atreri ,gangguan aliran vena.
Criteria hasil:
1. Perfiusi jaringan perifer keadekuatan aliran darah melalui pembuluh darah kecil
ekstremitas untuk mempertahankan fungsi jaringan.
Intervensi: perawatan sirkulasi: meningkatkan sirkulasi arteri dan vena
Aktivitas keperawatan:
1. Kaji secara komprehensif sirkulasi perifer( edema,CFR,warna, suhu, nadi
perifer).
Rasional: untuk membantu penegakan diagnose dan pemberian intervensi
yang tepat.
2. Letakkan ekstremitas pada posisi menggantung jika perlu.
Rasional: untuk mencegah edema pada area luka.
3. Pantau parestesia( kebas,kesemutan,hiperestesia dan hipoestesia).
Rasional: untuk mengetahui tingkat sensasi perifer.
4. Lakukan modalitas terapi kompres.
Rasional: untuk memperbaiki aliran darah arteri dan vena.
5. Kolaborasi pemberian obat anti trombosit atau antikoagulan.
Rasional: untuk mencegah pembekuan darah atau terbentuknya emboli.
d. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi
ventilasi,perubahan membrane kapiler alveoli karena adanya penumpukan cairan di
rongga paru.
Criteria hasil:
1. Terlihat adekuatnya ventilasi dan oksigen dari jaringan dimana dalam batas-
batas normal dan bebas dari gejala respiratory distress.
2. Berpartisipasi dalam pengobatan.
Intervensi:
1. Auskultasi suara pernapasan, catat adanya wheezing.
Rasional: menandakan adanya kongesif paru/ pengumpulan sekresi.
2. Ajarkan klien untuk batuk secara efektif dan bernafas dalam.
Rasional: membersihkan jalan nafas dan memudahkan pertukaran oksigen.
3. Support klien untuk merubah posisi
Rasional: membantu mencegah atelektasis dan pneumonia.
4. Atur posisi tidur dengan bagian kepala di tinggikan 20-30 semi fowler, beri
bantal pada siku.
Rasional: mengurangi kebutuhan oksigen dan meningkatkan pengembangan
paru secara maksimal.
5. Kolaborasi pemberian oksigen sesuai dengan kebutuhan.
Rasional: meningkatkan konsentrasi oksigen alveoli di mana dapat
mengurangi hipoksemia jaringan.

e. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan/ tahanan.


Kriteria hasil: klien dapat meningkatkan /mempertahankan mobilitas pada tingkat
paling tinggi yang mungkin dapat mempertahankan posisi fungsional,meningkatkan
kekuatan/ fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh,menunjukkan
teknik yang memampukan melakukan aktivitas.
Intervensi:
1. Pertahankan pelaksanaan aktivitas rekreasi terapeutik (radio, kunjungan
teman/keluarga) sesuai keadaan klien.
Rasional : mengfokuskan perhatian ,meningkatkan perhatian ,meningkatkan
rasa control diri / harga diri, membantu menurunkan isolasi social.
2. Bantu latihan rentang gerak pasif aktif pada extremitas yang sakit maupun
yang sehat sesuai keadaan klien.
Rasional : meningkatkan sirkulasi darah musculoskeletal , mempertahankan
tonus otot, mempertahankan gerak sendi , mencegah kontraktur / atrofi dan
mencegah reabsorsi kalsium karena imobilisasi.
3. Bantu dan dorong perawatan diri (kebersihan/eliminasi sesuai keadaan klien .
Rasional : mempertahankan posis fungsional ekstremitas.
4. Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan sosial .
Rasional : meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan diri sesuai kondisi
keterbatasan klien.
5. Dorong / pertahankan asupan cairan 2000-3000 ml/hari.
Rasional : Menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernapasan
( dekubitus ,atelektasis, pneumonia ). Mempertahankan hidrasi adekuat ,
mencegah komplikasi urinarius dan konstipasi.
6. Berikan diet TKTP.
Rasional : kalori dan protein yang cukup di perlukan untuk proses
penyembuhan dan mempertahankan fungsi fisiologis tubuh.
7. Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi sesuai indikasi.
Rasional : kerjasama dengan fisioterapis perlu untuk menyusun program
aktivitas fisik secara individua

f. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum dan imobilitas .


Kriteria Hasil :
1. Ketahanan : kapasitas untuk menyelesaikan aktivitas .
2. Penghematan energi : tindakan individu untuk mengola energy untuk memulai dan
menyesaikan aktivitas.
Intervensi :
1. Terapi latihan fisik : mobilitas sendi : menggunakan gerakan tubuh aktif atau pasif
untuk Pasif untuk mempertahankan atau memperbaiki fleksibilitas sendi.
Aktivitas Keperawatan :
-Kaji penyebab kelemahan
Rasional : untuk pemberian intervensi yang tepat mengatasi penyebab
-Pantau TTV sebelum , selama dan setelah aktivitas
Rasional : untuk melihat aktivitas yang dapat ditoleransi misalnya nyeri dada,
pucat ,vertigo ,dispnea.
-Bantu klien melakukan Range of Motion
Rasional : untuk melatih fleksibilitas sendi
-Kolaborasi pengobatan pereda nyeri sebelum aktivitas , apabila nyeri merupakan
salah satu penyebab .
Rasional : Agar nyeri tidak mengganggu aktivitas .
g. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit berhubungan dengan kurang
informasi.
Criteria hasil:
1. Pengetahuan tentang proses penyakit: tingkat pemahaman yang ditunjukkan
tentang proses penyakit.
Intervensi:
1. Penyuluhan: proses penyakit: membantu pasien memahami informasi yang
berhubungan dengan proses penyakit tertentu.
Aktivitas keperawatan:
-kaji sejauh mana tingkat pengetahuan pasien tentang penyakitnya.
Rasional: mengetahui apa yang di ketahui pasien tentang penyakitnya.
-beri pendidikan kesehatan tentang penyakit dan perawatan pasien.
Rasional: supaya pasien tahu tata laksan penyakitnya,perawatan
penyakitnya
-beri kesempatan pasien dan keluarga untuk bertanya bila ada yang belum
di mengerti.
Rasional: mengetahui sejauh mana pengetahuan pasien dan keluarga pasien
setelah di beri penjelasan tentang penyakitnya.
-beri reinforcement positif jika klien menjawb dengan tepat.
Rasional: memberikan rasa percaya diri pasien dalam kesembuhan sakitnya.
.
h. Ansietas berhubungan dengan proses penyakit,ancaman atau perubahan pada status
kesehatan.
Criteria hasil:
1. Ansietas berkurang
2. Menunjukkan pengendalian diri terhadap ansietas.
Intervensi:
1. Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan pasien.
Rasional: factor ini mempengaruhi persepsi oasien terhadap ancaman
diri,potensial siklus ansietas, dan dapat mempengaruhi upaya medic untuk
mengontrol ansietas.
2. Beri dorongan kepada pasien untuk mengungkapkan secara verbal pikiran
dan perasaan untuk mengeksternalisasikan ansietas.
Rasional: membantu pasien menurunkan ansietas dan memberikan
kesempatan untuk pasien menerima situasi nyata.
3. Berikan informasi factual menyangkut diagnosis,terapi,dan prognosis.
Rasional : menurunkan ansietas sehubungan dengan ketidaktahuan/ harapan
yang akan dating dan memberikan dasar fakta untuk membuat pilihan
informasi tentang pengobatan.
4. Jelaskan semua prosedur termasuk sensasi yang biasanya di alami selama
prosedur.
Rasional: memberikan dasar pengetahuan sehingga pasien dapat membuat
pilihan yang tepat. Menurunkan ansietas dan dapat meningkatkan kerja
sama dalam program terapi, kerja sama penuh penting untuk keberhasilan
hasil setelah prosedur.
5. Ajarkan teknik relaksasi misalnya imajinasi terbimbing,visualisasi.
Rasional: memfokuskan perhatian pasien,membantu menurunkan ansietas
dan meningkatkan proses penyembuhan.
6. Kolaborasi pemberian obat untuk menurunkan ansietas.
Rasional: dapat digunakan untuk menurunkan ansietas dan memudahkan
istirahat.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner,Suddarth.2002. Keperawatan Medikal Bedah edisi 8 vol 3.Jakarta: EGC

Wilkinson, Judith.M ,Nancy R.Ahern.2011

Buku Saku Diagnosa Keperawatan: Diagnosa NANDA, Intervensi NIC,Kriteria Hasil


NOC. Jakarta: EGC
ASUHAN KEPERAWATAN GAGAL JANTUNG

Nama Mahasiswa Yang Mengkaji: Eufrasia Ganur NIM: 20203012

No. Rekam Medis 665894 Diagnosa Medis : CHF


Nama : Ny.S Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Katolik Status Perkawinan : Menikah
Pekerjaan : IRT Sumber informasi : Keluarga pasien
Tanggal Masuk: 09/02/2021

TRIAGE : Merah

GENERAL IMPRESSION

Keluhan Utama: sesak nafas.

A. PRIMER SURVEY

AIRWAY: batuk dengan sputum berbuih tipis berwarna kemerahan.

BREATHING: Frekuensi nafas 26x/ menit,pernapasan cepat,dangkal ,suara nafas wheezing, hasil
rontgen pembesaran jantung( kardiomegali),

CIRCULATION: Nadi teraba 124x/ menit,TD: 150/100 mmHg.

B. SECONDERY SURVEY

a. Riwayat Penyakit saat ini:


Pasien di antarkan oleh keluarganya ke IGD karena pasien sesak nafas hebat,seperti
tercekik.pasien batuk-batuk dengan sputum berbuih tipis berwarna kemerahan.
Tanda-tanda vital:
TD: 150/100 mmHg, RR: 26x/ menit,HR: 124x/menit.
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Kepala
-Inspeksi: bentuk kepala simetris,rambut berwarna hitam,tidak berketombe,tidak ada lesi
-Palpasi : tidak ada benjolan.
2. Leher: tidak ada pembengkakan kelenjar getah bening.tidak ada pembesaran kelenjar tiroid

3. Dada:
Inspeksi : simetris kiri kanan
Palpasi : fremitus kiri dan kanan sama
Perkusi : terdengar sonor
Auskultasi: terdengar vesikuler.

4. Abdomen:
Inspeksi : tidak asites,tidak ada lesi
Palpasi : Tidak terdapat nyeri tekan
Perkusi : tympani
Auskultasi: bising usus 10x/ menit.:

5. Ektremitas Atas/Bawah:
a. Ekstemitas atas
Inspeksi: Terpasang infus,tidak ada pembengkakan,tidak ada luka.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
b. Ekstremitas Bawah: tidak ada pembengkakan,tidak ada luka dan tidak ada rasa sakit di
tekan.
6. Punggung :
Inspeksi : tidak ada pembengkakan,tidak ada luka
Palpasi : tidak ada rasa sakit saat di tekan.
D. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Rontgen
2. AGD
E. INTERVENSI KEPERAWATAN

DX Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasill Intervensi


Penurunan curah jantung Tujuan : 1. Identifikasi
b/d perubahan preload/ setelah dilakukan tindakan tanda/gejala primer
perubahan afterload/ keperawatan diharapkan penurunan curah jantung
perubahan kontraktilitas curah jantung meningkat 2. tanda/gejala sekunder
Kriteria hasil : penurunan curah jantung
(curah jantung) 3. Monitor intake dan
1.Tanda vital dalam rentang output cairan
normal 4. Monitor keluhan nyeri
2.Kekuatan nadi perifer dada
meningkat 5. Berikan terapi terapi
3. Tidak ada edema relaksasi untuk
mengurangi strees, jika
perlu
6. Anjurkan beraktifitas
fisik sesuai toleransi
7. Anjurkan berakitifitas
fisik secara bertahap
8. Kolaborasi pemberian
antiaritmia, jika perlu
Gangguan pertukaran gas Tujuan : 1. Monitor frekuensi
b.d perubahan membran Setelah dilakukan tindakan irama, kedalaman dan
alveolus-kapiler keperawatan diharapkan upaya nafas
pertukaran gas meningkat. 2. Monitor pola nafas
Kriterian hasil : 3. Monitor kemampuan
(Pertukaran gas batuk efektif
1.Dipsnea menurun 4. Monitor nilai AGD
2.bunyi nafas tambahan 5. Monitor saturasi
menurun oksigen
3.pola nafas membaik 6. Auskultasi bunyi nafas
4. PCO2 dan O2 membaik
7. Dokumentasikan hasil
pemantauan
8. Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
9. Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu
10. Kolaborasi
penggunaan oksigen saat
aktifitas dan/atau tidur .

F. IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN

No. Dx.Keperawatan Tanggal Implementasi Evaluasi


Penurunan curah 09/02/2021 1. Mengidentifikasi S : -Pasien
jantung b/d tanda/gejala primer mengatakan sesak
perubahan penurunan curah nafas hebat dan
afterload/perubahan jantung sedikit tercekik
preload/perubahan 2. Mengidentifikasi -pasien mengatakan
kontraktilitas tanda/gejala sekunder batuk-batuk dengan
penurunan curah sputum berbuih
jantung tipis berwarna
3.Memonitor intake dan kemerahan.
output cairan O : -Pasien terlihat
4. Memonitor keluhan gelisah,pernapasan
nyeri dada cepat dan
5. Memberikan terapi dangkal,berkeringat.
terapi relaksasi untuk -TD: 150/100
mengurangi strees, jika mmHg,RR 26x/
perlu menit,HR:
6. Menganjurkan 124x/menit.
beraktifitas fisik sesuai -auskultasi
toleransi terdengar bunyi
wheezing
7. Menganjurkan
-hasil rontgen
berakitifitas fisik secara
terlihat adanya
bertahap
pembesaran pada
8.Berkolaborasi
jantung.
pemberian antiaritmia,
A : Penurunan
jika perlu .
Curah Jantung
Belum Teratasi.
P: Intervensi
Dilanjutkan.
Gangguan Pertukaran 09/02/2021 1. Memonitor frekuensi S: pasien
Gas b/d perubahan irama, kedalaman dan mengatakan sesak
membrane alveolus- upaya nafas nafas hebat dan
kapiler 2. Memonitor pola sedikit tercekik
nafas . O: -Pasien terlihat
3. Memonitor gelisah,pernapasan
kemampuan batuk cepat dan
efektif dangkal,berkeringat.
4. Memonitor nilai -TD: 150/100
AGD mmHg, RR:
5. Memonitor saturasi 26x/menit,HR:
oksigen 124x/menit.
-auskultasi
6.Mengauskultasi bunyi terdengar bunyi
nafas wheezing.
7.Mendookumentasikan - hasil pemeriksaan
hasil pemantauan AGD terdapata
8. Menjeelaskan tujuan asidosis
dan prosedur respiratorik.
pemantauan
9. Menginformasikan A: masalah
hasil pemantauan, jika gangguan
perlu . pertukaran gas
belum teratasi.
P: Intervensi di
lanjutkan.

TanggalPengkajian: 09/02/2021
Jam: 13.00
Nama: Eufrasia Ganur
RESUME TINDAKAN KEPERAWATAN( SOP)

1. Pemberian Oksigen
a. Defenisi
Pemberian oksigenasi adalah memberikan tambahan oksigen pada klien yang
membutuhkan.
b. Tujuan
1. Kanul
Untuk memberikan oksigen dengan konsentrasi relative rendah saat kebutuhan
oksigen minimal.
c. Alat Dan Bahan Pemberian Oksigen Nasal Kanul
1. Tabung oksigen (O2) lengkap dengan manometer
2. Pengukur aliran flow meter dan humidifier
3. Kanul nasal.
4. Selang oksigen.
5. Plester / pita.
6. Plester / pita

d. Prosedur Pelaksanaan Pemberian Oksigen Nasal Kanul


Langkah-langkah :
a. Tahap pra interaksi :
1) Identifikasi kebutuhan/indikasi pasien.
2) Cuci tangan.
3) Siapkan alat.
b. Tahap orientasi :

1) Beri salam, panggil klien dengan namanya.


2) Jelaskan tujuan dan prosedur tindakan.
3) Beri kesempatan pada klien untuk bertanya
c. Tahap kerja :

1) Bantu klien pada posisi semi fowler jika memungkinkan, untuk memberikan
kemudahan ekspansi dada dan pernafasan lebih mudah.
2) Pasang peralatan oksigen dan humidifier.
3) Nyalakan oksigen dengan aliran sesuai advis.
4) Periksa aliran oksigen pada selang.
5) Sambung nasal kanul dengan selang oksigen.
6) Pasang nasal kanul pada hidung.
7) Letakkan ujung kanul ke dalam lubang hidung dan selang serta kaitkan
dibelakang telinga atau mengelilingi kepala. Yakinkan kanul masuk lubang hidung
dan tidak ke jaringan hidung.
8) Plester kanul pada sisi wajah, selipkan kasa di bawah selang pada tulang pipi
untuk mencegah iritasi.
9) Kaji respon klien terhadap oksigen dalam 15-30 menit, seperti warna, pernafasan,
gerakan dada, ketidaknyamanan dan sebagainya.
10) Periksa aliran dan air dalam humidifier dalam 30 menit.
11) Kaji klien secara berkala untuk mengetahui tanda klinik hypoxia, takhikardi,
cemas, gelisah, dyspnoe dan sianosis.

12) Kaji iritasi hidung klien. Beri air / cairan pelumas sesuai kebutuhan untuk
melemaskan mukosa membran.
13) Catat permulaan terapi dan pengkajian data.
d. Tahap terminasi :

1) Evaluasi hasil / respon klien.


2) Dokumentasikan hasilnya.
3) Lakukan kontrak untuk kegiatan selanjutnya.
4) Akhiri kegiatan, membereskan alat-alat.
5) Cuci tangan

e. Tahap Dokumentasi:
1. Mencatat tindakan yang sudah di lakukan.
2. tanggal dan waktu pelaksanaan

2. Pemberian Obat Oral


a. Pengertian
Memberikan obat melalui oral/ mulut
b. Tujuan
Memberikan obat tertentu yang pemberiannya dengan cara oral
c. Prosedur:
1. Persiapan Alat;
1. Obat sesuai intruksi
2. Cairan / makanan yang di gunakan pasien minum obat
3. Formulir pencatatan
2. Persiapan pasien ;
1. Jelaskan prosedur dan tujuan
2.Tanya pasien makanan / minuman yang sering digunakan untuk minum obat
3.Persiapan perawat Cuci tangan
3. Prosedur kerja
1. Beri salam , sapa, senyum pada pasien
2. Cek gelang identifikasi sesuai dengan spo pemasangan gelang identifikasi
pasien
3. Pastikan obat yang diberikan sesuai dengan instruksi ; jenis, dosis, waktu, cara
pemberian dengan pasien yang diberi obat
4. Kaji adanya kontra indikasi waktu pemberian obat, sukar menelan , peristaltik
turun, operasi gastro intestinal, alergi, instruksi puasa dan lain- lain
5. Bantu pasien posisi duduk/ berbaring
6. Berikan obat dengan tepat dan makanan / minuman yang memudahkan untuk
menelan obat mungkun lebih mudah pasien memegang obat sendiri
7. Jika pasien tidak mampu memegang sendiri obatnya bantu dengan meletakan
obat di bibir/ ujung lidah kemudian minta pasien menelan
8. Tetap bersama pasien sampai obat tertelan atau minta keluarga pastikan obat
tertelan
9. Bereskan alat- alat
10. Ucapkan salam saat meninggalkan kamar pasien
11. Dokumentasikan ( Nama dan tanda tangan perawat, tanggal dan jam
pelaksanaan.
ASUHAN KEPERAWATAN CKB KELOMPOK II B

RUANGAN : IGD Tanggal Masuk : 12-1-2021

No. RM : 286143 Tanggal Pengkajian : 12-1-2021

A. IDENTITAS
Nama : Tn. A
Umur : 47 Tahun Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Katolik Status Perkawinan : Menikah
Pekerjaan : Petani Diagnosa Medis : CKB
Alamat : Cibal Sumber informasi : Keluarga
Triage : Merah
B. GENERAL IMPRESSION
1. Keluhan Utama : Keluarga klien mengatakan klien mengalami penurunan kesadaran
setelah kejadian lalu lintas
2. Mekanisme Cedera : keluarga klien mengatakan pada saat kecelakaan berlangsung klien
mengalami benturan keras pada daerah kepala dan setelah kejadian berlangsung klien
langsung tidak sadarkan diri
3. Riwayat kesehatan : keluarga klien mengatakan sebelumnya klien tidak mengalami
masalah seperti yang dialami klien saat ini
4. Orientasi (Tempat, Waktu, dan Orang) : tidak baik (klien tidak sadarkan diri)
C. PRIMER SURVEY
1. Airway
Jalan Nafas : Tidak Paten
Obstruksi : Darah
Suara Nafas : stridor, gurgling
Keluhan Lain : darah terperangkap di dalam mulut lain

2. BREATHING
Gerakan dada : tampak asimetris
Irama Nafas : Cepat
Pola Nafas : Tidak Teratur
Retraksi otot dada : Ada
Sesak Nafas : Ada RR : 32 x/mnt
Keluhan Lain : tidak terdapat keluhan
3. CIRCULATION
Nadi : Teraba
Sianosis : Tidak
CRT : < 2 detik
Pendarahan : tidak ada
Keluhan Lain : tidak terdapat keluhan lain
4. DISABILITY
Respon : Alert
Kesadaran : koma
GCS : skala 3
Pupil : anisokor
Refleks Cahaya : terdapat refleks cahaya
Keluhan Lain : tidak terdapat keluhan lain

5. EXPOSURE
Terdapat luka pada daerah mata dan pipi sebelah kanan, luka 3 cm di kepala belakang
sebelah kanan.

D. SECONDARY SURVEY
1. ANAMNESA
a) Riwayat Penyakit Saat Ini : Keluarga klien mengatakan, klien tidak sadarkan diri ± 2
jam sebelum masuk rumah sakit karena kecelakaan lalu lintas yang ditabrak oleh
motor di jalan, keluarga mengatakan keadaan klien muntah-muntah dengan
mengeluarkan cairan darah konsistensi cair pekat. Lalu klien segera dibawah ke RSUD
dr. Ben Boi Ruteng untuk mendapatkan pertolongan.
b) Alergi : keluarga klien mengatakan tidak ada riwayat alergi baik makanan, minuman,
obat maupun udara
c) Medikasi : keluarga klien mengatakan sebelumnya tidak mengalami pengobatan
seperti yang dialaminya sekarang
d) Riwayat Penyakit Sebelumnya : keluarga klien mengatakan tidak mengalami penyakit
atau masalah seperti yang dialami sekarang karena pasien hanya mengalami batuk flu
Makan Minum Terakhir : keluarga klien mengatakan makan 3x dalam sehari dengan
menghabiskan 1 porsi makan (nasi, sayur dan lauk) dan klien menghabiskan 6-8 gelas air
putih sehari.
e) Even/Peristiwa Penyebab : kecelakaan lalu lintas
f) Tanda Vital :
BP : 100/60 mmHg
N : 120 x/menit
S: 35,8 0 c
RR : 32 x/menit
SPO2 : 79%

2. PEMERIKSAAN FISIK
a) Kepala dan Leher
Inspeksi : bentuk kepala asimetris, tampak bengkak, echymosis, terdapat luka dengan
ukuran 3 cm di kepala kanan bagian belakang, Pada leher tidak luka atau edema.
Palpasi : kepala terdapat nyeri tekan dan pada leher terjadi pembesaran kelenjar
b) Dada :
Inspeksi : bentuk dada tampak simetris, tidak terdapat lesi atau luka, terdapat retraksi
dinding dada
Palpasi : tidak terdapat benjolan dan tidak terdapat nyeri tekan
Perkusi : sonor
Auskultasi : terdengar suara nafas tambahan (ronchi dan gurgling)
c) Abdomen :
Inspeksi : tampak simetris, terdapat laserasi atau jejas
Auskultasi : peristaltik usus 12 x/menit
Palpasi : tidak terdapat benjolan dan tidak terdapat nyeri tekan
Perkusi : suara timpani disetiap 4 kuadran
d) Pelvis :
Inspeksi : tidak dikaji
Palpasi : tidak dikaji
e) Ektremitas Atas/Bawah :
Inspeksi : terdapat jejas atau luka lecet pada tangan kanan, terdapat keterbatasan gerak
pada tangan kanan.
Palpasi : tidak terdapat nyeri tekan pada kedua ekstermitas dan tidak terdapat fraktur
f) Punggung :
Inspeksi : tidak terdapat lesi atau bekas luka
Palpasi : tidak terdapat benjolan dan tidak terdapat nyeri tekan
g) Neurologis :
Tidak terdapat masalah pada persyarafan klien

E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan laboratorium : darah lengkap, urine, kimia darah, analisa gas darah
2. CT-scan
3. M-RI
4. X-Ray
5. Cerebral Angiography
6. CSF, Lumbal Punksi
7. ABGs
8. Kadar Elektrolit
F. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan trauma
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama masa perawatan diharapkan
masalah ketidakefektifan perfusi jaringan serebral dapat teratasi dengan kriteria hasil :
 Menunjukkan tanda-tanda vital dalam batas normal (TD, nadi, ritme normal, nadi
perifer kuat)
 melakukan aktivitas tanpa dispnea dan nyeri
 edema ekstremitas berkurang
 perfusi perifer adekuat

Intervensi :

a. Observasi
 Monitor tanda-tanda vital : bunyi, fkekuensi, dan irama jantung. irama
jantung.
 Kaji keadaan kulit (pucat, sianois)
 Kaji perubahan pola sensori
 Pantau dan catat adanya letargi dan cemas
 Catat urine output
b. Mandiri
 Posiskan pasien supinasi dengan elevasi 30 derajat dan elevasi kaki
 Lakukan pemasangan EKG 12 lead
 Ciptakan lingkungan ruangan yang kondusif dan nyaman untuk istirahat
 Batasi pengunjung
c. Kolaborasi
 Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi oksigen
 Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat
Implementasi :
 Mengkaji tanda vital : bunyi, fkekuensi, dan irama jantung. irama jantung.
 Mengkaji keadaan kulit (pucat, sianois)
 Melakukan pemasangan EKG 12 lead
 Mencatat urine output
 Memposiskan pasien supinasi dengan elevasi 30 derajat dan elevasi kaki
 Mengkaji perubahan pola sensori
 Mencatat adanya letargi dan cemas
 Menciptakan lingkungan ruangan yang kondusif dan nyaman untuk
istirahat
 Membatasi pengunjung
 Berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi oksigen
 Berkolaborasi dengan dokter dalam pemerian terapi obat
2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan obstruksi jalan napas
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama masa perawatan diharapkan
masalah bersihan jalan napas tidak efektif dapat diatasi dengan kriteria hasil :
a. Respiratory status : Ventilation
b. Respiratory status : Airway patency
c. Aspiration Control

 Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada
sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas
dengan mudah, tidak ada pursed lips)
 Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama
nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas
abnormal)
 Mampu mengidentifikasikan dan mencegah factor yang dapat menghambat
jalan nafas
Intervensi :
a. Observasi
 Monitor adanya tanda-tanda hipoventilasi
 Monitor adanya kecemasan pasien terhadap status oksigen
 Monitor respirasi dan status O2
a. Mandiri
 Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi (semi fowler)
 Pertahankan jalan napas yang paten
 Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
 Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu
 Lakukan suction pada jalan napas secara berkala
 Ajarkan bagaimana agar bisa melakukan batuk efektif
 Atur intake dan cairan untuk mengoptimalkan keseimbangan

b. Kolaborasi
 Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi 02
Implementasi :
 Memonitor adanya tanda-tanda hipoventilasi
 Memonitor adanya kecemasan pasien terhadap status oksigen
 Memonitor respirasi dan status O2
 Memposisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi (semi fowler)
 Memertahankan jalan napas yang paten
 Mengauskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
 Membuka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw thrust bila
perlu
 Melakukan suction pada jalan napas secara berkala
 Mengajarkan bagaimana cara melakukan batuk efektif
 mengatur intake dan cairan untuk mengoptimalkan keseimbangan
 Berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat terapi 02
3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan berhubungan dengan hiperventilasi
Tujuan : setelah dilakukan tindakana keperawatan selama masa perawatan diharapkan
masalah ketidakefektifan pola napas dapat teratasi dengan kriteria hasil :
 Pola napas dalam batas normal (16-20x/menit)
 Irama napas teratur
 Tidak adanya otot bantu pernapasan
 Tidak adanya sekret dan batuk darah
Intervensi :
a. Observasi
 Monitor kecepatan, irama, kedalaman, dan kesulitan bernapas.
 Monitor suara tambahan seperti ngorok atau mengi
 Monitor tanda-tanda vital

b. Mandiri
 Atur posisi klien (semi fowler)
 Anjurkan tekhnik relaksasi napas dalam
 Pertahankan kepatenan jalan napas.
 Auskultasi suara napas, catat dimana area terjadi penurunan atau tidak
adanya ventilasi dan keberadaan suara napas tambahan
c. Kolaborasi
 Kolaborasi dengan dokter dalam memberikan terapi 02
Implementasi :
 Memonitor kecepatan, irama, kedalaman, dan kesulitan bernapas.
 Memonitor suara tambahan seperti ngorok atau mengi
 Memonitor tanda-tanda vital
 Mengtur posisi klien (semi fowler)
 Menganjurkan tekhnik relaksasi napas dalam
 Mempertahankan kepatenan jalan napas.
 Mengauskultasi suara napas, catat dimana area terjadi penurunan atau
tidak adanya ventilasi dan keberadaan suara napas tambahan
 Berkolaborasi dengan dokter dalam memberikan terapi obat dan 02
4. Nyeri Akut berhubungan dengan agen cedera fisik : trauma
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama masa perawatan di harapkan
masalah nyeri dapat teratasi dengan kriteria hasil :
 Mengenali kapan nyeri terjadi dari kadang-kadang ditunjukkan (skala 3) menjadi
secara konsisten menunjukkan (skala 5)
 Menggunakan tindakan pengurangan (nyeri) tanpa analgesic dari tidak pernah
menunjukkan (skala 1) menjadi sering menunjukkan (skala 4)
 Melaporkan nyeri yang terkontrol dari kadangkadang ditunjukkan (skala 3)
menjadi secara konsisten menunjukkan (skala 5)
Intervensi :
a. Observasi
 Monitor respon klien terhadap nyeri
b. Mandiri
 Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif yang meliputi lokasi
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau beratnya nyeri dan
faktor pencetus
 Berikan kebutuhan kenyamanan dan aktivitas lain yang dapat membantu
relaksasi untuk memfasilitasi penurunan nyeri
 Ajarkan penggunaan teknik non farmakologi (relaksasi nafas dalam,
hipnoterapi, murotal)
c. Kolaborasi
 Kolaborasi dengan dokter dalam memberikan analgesik
Implementasi :
 Memonitor respon klien terhadap nyeri
 melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif yang meliputi lokasi
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau beratnya nyeri dan
faktor pencetus
 Memberikan kebutuhan kenyamanan dan aktivitas lain yang dapat
membantu relaksasi untuk memfasilitasi penurunan nyeri
 Mengajarkan penggunaan teknik non farmakologi (relaksasi nafas dalam,
hipnoterapi, murotal)
 Berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesik.
CRITICAL APPRAISAL KELOMPOK II B

JudulArtikel :Penatalaksanaan Pasien Cedera Kepala Berat dengan Evakuasi Perdarahan


Subdural yang Tertunda

Jurnal :Jurnal Neuroanestesi Indonesia, Volume 4, Nomor 3.

Peneliti :Sandhi Christanto, Sri Rahardjo, Bambang Suryono, Siti Chasnak Saleh)

TahunTerbit : 2015

KOMPONEN YANG DI NILAI YA/


PENJELASAN
TIDAK
1. Juduldan a. Apakah judul sesuai Ya Alasannya : penjelasan tentang
abstrak dengan isi Penatalaksanaan Pasien Cedera Kepala
Berat dengan Evakuasi Perdarahan
Subdural yang Tertundasampai hasil
akhir ada karena ditunjukan dengan
hasil kasus yang diteliti.
b. Apakah tujuan penelitian Ya Tujuan dari laporan kasus ini adalah
disebutkan? Apa? membahas tindakan-tindakan tersebut
dengan harapan mendapat masukan
sehingga pengelolaan pasien cedera
kepala dengan PSDA menjadi lebih
baik
c. Apakah abstrak Tidak Di abstrak menjelaskan secara detail
memberikan informasi tentang latar belakang trauma tumpul
yang lengkap: latar thorax, dan Tujuan dari laporan kasus
belakang, tujuan, metode, ini juga membahas secara detail tentang
hasil? tindakan-tindakan tersebut dengan
harapan mendapat masukan sehingga
pengelolaan pasien cedera kepala
dengan PSDA menjadi lebih baik, tetapi
metode dan hasil di abstrak tidak di
tampilkan.
2. Justifikasi, a. Apakah dijelaskan alasan Ya Dilatar belakang dijelaskan alasan
metodologi, melakukan penelitian melakukan penelitian mencoba
dan desain (dilatar belakang dan membahas tindakan-tindakan dengan
tinjauan pustaka) harapan mendapat masukan sehingga
pengelolaan pasien cedera kepala
dengan PSDA menjadi lebih baik.
Sedangkan di tinjauan pustakanya
dijelaskan atau ditambahkan tentang
penaganannya di UGD.
b. Apakah tinjauan ya Ditinjauan pustaka membahas tentang
pustakanya bagaimana itu Penatalaksanaan Pasien
lengkap/cukup Cedera Kepala Berat dengan Evakuasi
Perdarahan Subdural yang Tertundadan
prevalensi yang terjadi di dunia dan
indonesia dan ditambahkan tentang
penanganan apa sebelumnya dan
penanganan yang diteliti.
c. Apakah menggunakan Ya Dalam artikel ini referensi yang
referensi baru (maks 5 digunakan 5 tahun terakhir yaitu dari
tahun) tahun 2010.
d. Apakah hipotesisnya Tidak Dalam artikel tersebut tidak
disebutkan? dicantumkan hipotesis.
e. Jika eksperimen, apakah ya Karena pada penelitian dari artikel ini
kelompok intervensi dan langsungditerapkan pada
kontrol di jelaskan pasienPenatalaksanaan di Unit Gawat
Darurat (UGD) Selama di UGD dan
sebelum dilakukan intubasi, pasien
diberikan terapi oksigen dengan
sungkup, dipasang neck collar, posisi
sedikit head up, infus ringerfundin 100
cc/jam, serta dimonitor ketat tanda-
tanda vital.
f. Apakahkelompok ya -karena pada artikel ini sudah di
intervensi dan kontrol di tunjukan tentang intervensi dan kontrol
matchingkan atau tidak yang di matchingkan.
3. Sampling a. Bagaimana populasi di - Pada artikel ini peneliti tidak
pilih menampilkan seberapa banyak populasi
yang diteliti tetapi menggunakan salah
satu contoh kasus saja.
b. apakah ukuran sampel - Pada artikel ini juga peneliti tidak
cukup menampilkan sample.
5. Pengumpulan a. bagaimana cara - Pada artikel ini tidak menampilkan cara
data pengumpulan datanya pengumpulan data.
b. siapa yang -
mengumpulkan data
c. apakah instrumen Tidak -pada artikel ini peneliti menggunakan
pengumpulan data kasus dari salah satu pasien saja.
dijelaskan
d. apakah instrumen diuji Tidak -
dulu
e. apakah counfouding Tidak -
factors diidentifikasi ?
f. apakah ada penjelasan Tidak Peneliti tidak menguji terlebih dahulu
validitas dan reabilitas karena peneliti langsung mengamati
instrumen secara langsung pada salah satu pasien.
11. Pertimbanga a. apakah penelitian Tidak Karena dalam artikel ini peneliti hanya
n etik menggunakan ethical membahas kasus.
approved dari komite
etik?
b. apakah informed consent Tidak Karena dalam artikel ini peneliti hanya
dalam penelitian ? membahas sebuah kasus.
13. Analisa data a. apakah hasil Ya Hasil penelitian disampaikan dengan
dan hasil disampaikan dengan jelas.
jelas
b. apakah p- value dan Tidak Pada artikel ini tidak dicantumkan p-
confience interval value
dilaporkan ?
c. apakah hasilnya Tidak Tidak dicantumkan
significant ?
d. apakah kesimpulan Ya pada pasien PSDA meskipun diagnosis
penelitian ini di dini, penatalaksanaan yang agresif,
jelaskan? pengawasan ketat selama periode kritis
perawatan telah dilakukan oleh para
klinisi.
Waktu antara cedera dengan evakuasi
bekuan darah subdural merupakan
faktor yang sangat penting dalam
menghasilkan luaran, sayangnya waktu
evakuasi ini sering mengalami
penundaan.
17. Hasil dan a. Apakah hasil bisa Tidak Pada artikel ini peneliti kurang
keterbatasan digeneralisasikan ? melengkapkan hal-hal berkaitan dengan
penelitian penelitiannya misalnya hipotesisnya
belum dijelaskan.
b. Apakah keterbatasan Tidak Peneliti tidak mencantumkan
penelitian disebutkan ? keterbatasan peneliti dalam melakukan
penelitian.
c. Apakah saran untuk tidak -
penelitian selanjutnya ?
d. Apakah implikasi Ada Pada kasus yang kami kerjakan, pasien
penelitian tersebut diberikan dukungan ventilasi dengan
target normokapnea namun selama
menunggu untuk tindakan operasi
terdapat tanda-tanda peningkatan TIK
dan ancaman herniasi sehingga
dukungan ventilasi ditingkatkan sebagai
tindakan sementara agar pasien
memiliki waktu lebih sebelum herniasi
otak terjadi. Bersamaan dengan
kejadian diatas maka keluarga pasien
diberitahu agar pengambilan bekuan
darah harus segera dilakukan untuk
menyelamatkan jiwa. Setelah melalui
waktu yang panjang, pasien akhirmya
masuk ke kamar operasi untuk
dilakukan pembedahan evakuasi PSDA.
Selama pembedahan pasien dalam
kondisi stabil, dekompresi kraniektomi
juga dilakukan mengingat adanya
ancaman herniasi

ARTIKEL KELOMPOK

PENATALAKSANAAN PASIEN CEDERA KEPALA BERAT DENGAN


EVAKUASI PERDARAHAN SUBDURAL YANG TERTUNDA.

Sandhi Christanto*), Sri Rahardjo**), Bambang Suryono**), Siti Chasnak Saleh***)

Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif rumah Sakit Mitra Keluarga Sidoarjo,
*)

Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada-
**)

RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta, ***)Departemen Anestesiologi & Reanimasi Fakultas


Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD. Dr. Soetomo Surabaya

Abstrak

Cedera kepala traumatik merupakan masalah kesehatan serius karena merupakan pemicu
kematian di seluruh dunia. Sekitar 1–1,5 juta jiwa di Eropa dan Amerika Serikat mengalami
cedera kepala tiap tahunnya. Perdarahan subdural akut (PSDA) adalah salah satu kelainan
yang menyertai cedera kepala berat. Insidennya mencapai 12– 30% dari pasien yang masuk
dengan cedera kepala berat. PSDA merupakan tantangan yang berat karena angka morbiditas
dan mortalitasnya yang tinggi (55–70%). Waktu antara trauma dan evakuasi perdarahan
merupakan faktor paling penting dalam menentukan luaran pasien dengan PSDA. Interval
waktu evakuasi lebih dari empat jam pascatrauma meningkatkan angka kematian sampai 85%
dibandingkan bila dilakukan dibawah empat jam (30%). Disamping itu, penundaan tindakan
evakuasi bekuan darah menambah pelik permasalahan yang ada. Laki- laki 29 tahun, 75 kg
diagnosa cedera kepala berat, perdarahan subdural akut fronto-temporo-parietal kiri, dan
direncanakan evakuasi hematoma segera. Setelah stabilisasi didapatkan jalan napas potensial
obstruksi, tekanan darah 160–170/90 mmHg, laju nadi 65–70 x/menit irregular, GCS 1–1–2 ,
pupil anisokor 3mm/4mm, hemiparese kanan. Pasien diintubasi, pernapasan di kontrol dan
dirawat sementara di ICU karena penundaan evakuasi hematoma. Operasi dilakukan setelah 7
jam pasca pasien tidak sadar. Interval waktu evakuasi lebih dari empat jam pascatrauma
menyebabkan peningkatan angka kematian sampai 85% dibandingkan bila dilakukan dibawah
empat jam (30%). Beberapa cara dapat dilakukan selama waktu penundaan evakuasi untuk
mencegah herniasi sehingga klinisi memiliki harapan dalam pengelolaan PSDA yang
mengalami penundaan evakuasi. Tujuan dari laporan kasus ini adalah membahas tindakan-
tindakan tersebut dengan harapan mendapat masukan sehingga pengelolaan pasien cedera
kepala dengan PSDA menjadi lebih baik

Kata kunci: Cedera kepala traumatik, perdarahan subdural akut

JNI 2015;4(3):
177–86

Severe Head Injury Management with Delayed Subdural Hematoma


Abstra
ct
Traumatic brain injury (TBI) is major
health problem and leading cause of
death worldwide. Approximately 1- 177
1,5 milion people in Europe and
United States suffered from TBI
yearly. Acute subdural hematoma
(ASDH) is commonly seen in severe
TBI. The incidence of ASDH is
between 12 to 30% with high
morbidity and mortality rate (55-
70%). Time to surgery is the most
important factor that determined the
outcome. Time to surgery more than 4 I. Pendahuluan
hours is associated with higher
mortality rate (85%) compare to when Cedera kepala traumatik merupakan
the surgery is done within 4 hours masalah kesehatan yang serius di masyarakat
(30%) from the onset of TBI. karena merupakan pemicu kecacatan dan
Furthermore, delayed in surgical clot kematian di seluruh dunia.1,2 Sekitar 1–1,5 juta jiwa
removal may worsen the outcome. A di Eropa dan Amerika Serikat mengalami cedera
29 years old man, 75kgs, suffered kepala tiap tahunnya.2 Selama 20 tahun terakhir
from TBI with left fronto-temporo- penatalaksanaan pasien cedera kepala telah
parietal ASDH and was planned for meningkat secara bermakna dan pedoman
emergency evacuation of subdural. penatalaksanaan cedera kepala traumatik berbasis
The airway tended to suffer from bukti telah dikembangkan, namun walaupun ada
obstruction, blood pressure 160- metode diagnostik dan penatalaksanaan yang
170/90 mmHg, heart rate was muktahir prognosis masih jauh dari harapan.1-3
irregular around 65-70 bpm, GCS 1- Perdarahan subdural akut (PSDA) merupakan salah
1-2, pupil was anisokor 3mm/4mm, satu kelainan yang menyertai cedera kepala berat.
and right hemiparese was found. Insiden PSDA mencapai 12–30% dari pasien yang
Patient.was then intubated, the masuk dengan cedera kepala berat dan terjadi
ventilation was controlled and he was terutama pada usia dewasa muda dibawah 45 tahun
managed in the ICU because the dengan penyebab tersering adalah kecelakaan lalu
operation was delayed. The operation lintas.4 PSDA merupakan tantangan yang berat
was done after more than 7 hours bagi ahli bedah saraf dan anestesi karena
since the neurological deterioration merupakan cedera paling
initiated. There are several methods mematikan dari semua tipe cedera kepala.5 Laju
may be conducted during the delay morbiditas dan mortalitas yang tinggi menjadi
surgery time to prevent herniation, so dasar dari pernyataan tersebut. Laju mortalitas
phycisiant may regain better result on PSDA mencapai 55–70% meskipun dengan
delayed ASDH surgery. This case diagnosis dini, penatalaksanaan yang agresif,
report will discuss methods in pengawasan ketat selama periode kritis menjadikan
managing patient with delayed PSDA merupakan komplikasi yang menghasilkan
evacuation of ASDH for a better keputusasaan bagi klinisi yang merawat.6 Terdapat
outcome. beberapa faktor yang dapat mempengaruhi luaran
pada pasien cedera kepala dengan PSDA, salah
satunya adalah waktu antara trauma dan evakuasi
Key words: Traumatic brain injury, perdarahan.
acute subdural hematoma
Pengendalian tekanan intrakranial dan
JNI evakuasi
2015;4(3):7–86
perdarahan dalam empat jam
pertama pascatrauma dilaporkan memiliki
peran penting dalam penurunan angka aspirasi karena mulut penuh darah dan gigi
kesakitan dan kematian pada pasien depan patah dan beberapa hampir terlepas.
cedera kepala dengan perdarahan Pasien dengan pernapasan cheyne stoke,
intrakranial termasuk PSDA.5 Namun suara napas dikedua lapang paru vesikular
oleh karena banyak hal terutama dan tidak terdapat ronki maupun wheezing.
persetujuan dari keluarga pasien, Tekanan darah berkisar 160– 170/90 mmHg
evakuasi perdarahan sering dengan laju nadi 65–70 x/menit dan sesekali
mengalami penundaan sehingga didapatkan irama ektopik ventrikular. Pada
bahaya peningkatan tekanan pemeriksaan status neurologis didapatkan
intrakranial (TIK) yang berujung pada pasien dengan derajat kesadaran GCS 1–1–2
herniasi otak menjadi salah satu pupil anisokor kiri lebih besar dengan
penyebab kegagalan penatalaksanaan ukuran 3mm/4mm refleks cahaya positif
PSDA. Interval waktu evakuasi sedikit lambat dan lateralisasi kanan.
perdarahan lebih dari empat jam Pemeriksaan bagian tubuh lain tidak
pascatrauma dilaporkan menyebabkan didapatkan kelainan.
peningkatan angka kematian sampai
85% dibandingkan bila evakuasi Penatalaksanaan di Unit Gawat Darurat (UGD)
dilakukan dibawah empat jam (30%).5 Selama di UGD dan sebelum dilakukan intubasi,
Terdapat beberapa cara yang dapat pasien diberikan terapi oksigen dengan sungkup,
dilakukan saat ini maupun yang dipasang neck collar, posisi sedikit head up, infus
sedang dalam penelitian untuk
ringerfundin 100 cc/jam, serta dimonitor ketat tanda-
mengulur waktu evakuasi, menunda
tanda vital.
terjadinya herniasi sehingga para
klinisi dapat memiliki harapan lebih Pasien dilakukan intubasi dengan
dalam pengelolaan cedera kepala immobilisasi inline serta tekanan krikoid
dengan PSDA yang mengalami untuk mengantisipasi cedera leher dan
penundaan evakuasi. Tujuan dari mencegah aspirasi menggunakan pipa
laporan kasus ini adalah mencoba endotrakeal nomor 7,5. Obat anestesi
membahas tindakan-tindakan tersebut diberikan secara titrasi dengan mengawasi
dengan harapan mendapat masukan parameter hemodinamik secara ketat, dan
sehingga pengelolaan pasien cedera secara berurutan mulai fentanyl 100 mcg,
kepala dengan PSDA menjadi lebih propofol 100 mg, rocuronium 50 mg, lidokain
baik. 60 mg, dan propofol tambahan sebelum
intubasi sebanyak 20 mg. Selama periode
II. Kasus induksi dan intubasi tekanan darah berkisar
90–130/60-90 mmHg, laju nadi antara 70–80
Laki-laki 29 tahun, berat badan 75 kg x/menit. Propofol kontinyu 30 mg/jam serta
dirujuk dari klinik dengan penurunan atracurium 25 mg/jam diberikan,
kesadaran setelah tertimpa pagar yang dexketoprofen 3 x 50 mg, pantoprazole 2 x
ditabrak oleh sebuah mobil sekitar 2
40 mg, manitol 200mL. Pasien kondisi stabil
jam sebelum masuk rumah sakit.
pascaintubasi dan dibawa ke ruang radiologi
Pasien sebelumnya masih sadar
untuk pemeriksaan CT-scan dan penunjang
kemudian makin gelisah dan menjadi
lainnya.
tidak sadar. Di ruang gawat darurat
dilakukan resusitasi kemudian
dilakukan evaluasi ulang secara Pemeriksaan Penunjang
menyeluruh sebelum dilakukan
intubasi. Pada pemeriksaan CT-scan didapatkan
subdural hematoma dengan tebal 1,4 cm,
Pemeriksaan Fisik volume 39,75 mL di regio fronto-temporo-
parietal kiri mendesak ventrikel lateralis kiri
Jalan napas potensial obstruksi dan menyebabkan pergeseran garis tengah sejauh
1,4 cm ke kanan. Minimal SAH CO (ETCO ) 32 mmHg. Pasien dilakukan
frontalis kanan-kiri, perdarahan pendinginan dengan matras
kontusional frontal kanan, edema
serebri, perdarahan sinus maksilaris
bilateral dan frontal kiri. Pemeriksaan
foto polos leher AP dan lateral serta
foto polos dada, tidak didapatkan
kelainan. Pemeriksaan
elektrokardiografi didapatkan irama
sinus 70 x/ menit dengan occational
paroxysmal ventricular contraction.
Pemeriksaan laboratorium didapatkan
Hb 14,6 g/dL, leukosit 40.000/mm3,
hematokrit 44,3%, trombosit
395.000/mm3, masa perdarahan
2 menit, masa pembekuan 11 menit,
masa protrombin 10,7 detik,INR 0,97,
APTT 29,6 detik, SGOT 33U/L, SGPT
30 U/L, ureum 27 mg/dL, kreatinin 0,88
mg/dL, gula darah sewaktu (GDS) 166
mg/dL, Natrium 147 mmol/L, Kalium
3,60 mmol/L, klorida 105 mmol/L.
Pasien dirawat di ruang perawatan
intensif (ICU) dengan diagnosa cedera
kepala berat, perdarahan subdural akut
fronto-temporo-parietal kiri yang saat itu
menunggu sampai keluarga setuju
dilakukan evakuasi pendarahan subdural.
Selama di ICU pasien diberikan
pernapasan buatan dengan alat bantu
napas mekanik dengan target
normokapnea, moda kontrol volume, pendingin dengan target suhu tubuh antara 36–
volume tidal 500 ml, frekuensi napas 36,5oC, selama 3 jam di ICU suhu tercapai 36,5oC
12x/menit, PEEP 3, fraksi inspirasi dan tidak didapatkan efek samping akibat tindakan
oksigen 0,5, rasio inspirasi- ekspirasi 1:2, tersebut seperti aritmia, hipotensi dan lain
infus ringerfundin 100 ml/jam, posisi sebagainya.
sedikit head up, propofol kontinyu
30mg/ jam, atracurium 25mg/jam, Namun setelah 2 jam di ICU laju nadi melambat
deksketoprofen 3 x 50mg. Pemeriksaan antara 60–65 x/menit, pada pemeriksaan pupil
didapatkan pupil sebelah kiri makin membesar
dan pengawasan parameter oksigenasi,
ukurannnya, reflek melambat dibanding evaluasi
hemodinamik serta reaksi pupil sebelumnya (3mm/5mm). Dengan
dilakukan secara kontinyu. mempertimbangkan hal tersebut serta menghitung
Pemeriksaan gas osmolaritas plasma pasien pascapemberian manitol
darah didapatkan pH 7,42, pCO2 35,1, pO2 pertama maka diputuskan memberikan manitol
225, HCO3 25,4, SaO2 99,6%. Selama dosis kedua sebanyak 200 ml (+ 0,5 g/ kgBB).
Hiperventilasi ringan dilakukan dengan menambah
periode preoperatif di ICU tekanan darah frekuensi napas menjadi 14 dan setelah beberapa
berkisar 130– 140/70-90, laju nadi antara 60- waktu dengan pengaturan ventilasi mekanik yang
70x/menit teratur tanpa aritmia (sejak setelah baru ETCO2 didapatkan hasil 28 mmHg. Keluarga
dilakukan usaha tindakan penurunan TIK), diberitahu tentang kondisi saat2 ini dan
2 kebutuhan
mendesak untuk dilakukan evakuasi hematoma.
suhu tubuh awal 37,1 oC perektal, end tidal Keluarga akhirnya setuju dilakukan operasi 1 jam
kemudian dan operasi dilakukan setelah 7 pascaoperasi. Infus ringerfundin 2000
jam sejak pasien mengalami penurunan mL/24jam, sonde dekstrose
kesadaran. 50 mL tiap 4 jam diberikan mulai 6 jam
pascaoperasi. Antibiotika ceftriakson 1 g
Pengelolaan Anestesi tiap
12 jam, manitol 100 mL tiap 4 jam. Hasil
Pasien dilakukan tindakan evakuasi pemeriksaan laboratorium pascaoperasi Hb
perdarahan subdural dan dekompresi 9,8 g/dL, leukosit 26.000/mm3, trombosit
kraniektomi. Pemeliharaan anestesi digunakan 268.000/ mm3, hematokrit 29,9%, gula
sevoflurane 1–1,5%, O2– udara tekanmedik, darah sewaktu 178 mg/dL. Tranfusi packed
propofol kontinyu 2–10 mg/kg/jam, red cell (PRC) 1 kantong diberikan untuk
mendapatkan kadar hemoglobin diatas 10
atracurium 5 mcg/kg/menit, fentanyl bolus
g/dL.
bertahap sampai 3 mcg/kgBB (total 250 mcg).
Operasi berlangsung 3 jam, perdarahan 1500 CT scan ulang pada keesokan harinya
mL, produksi urine 200 mL selama 3 jam. didapatkan edema serebri yang lebih
Cairan rumatan diberikan ringerfundin 1000 menurun dibandingkan dengan sebelumnya,
mL, haes 500 mL, whole blood 350 mL. tidak tampak subdural hematoma,
pergeseran garis tengah 0,4 mm ke arah
Hemodinamik selama operasi relatif stabil,
kanan. Tekanan darah stabil berkisar antara
tekanan darah sistolik berkisar antara 100–120 120–130/70–90 mmHg, laju nadi antara 70-
mmHg, laju nadi 70–75 x/menit. Pasien 80x/menit, SaO2 99%, pupil isokor
direncarakan untuk tetap terpasang pipa 3mm/3mm refleks cahaya positif, kadar
endotrakeal serta diberikan sedasi hemoglobin pasca tranfusi 10,3 g/dL,
hematokrit 30,1%, gula darah sewaktu 173
pascaoperasi. Kesadaran preoperatif yang mg/dL, produksi urin antara 75–100
buruk, bahaya obstruksi jalan napas dan mL/jam. Sonde entrasol 100 mL tiap 4 jam,
hipoksia, bahaya gangguan ventilasi dan infus triofusin 1000 1000mL, kalbamin 500
hiperkarbia, potensi edema otak, gangguan mL, ringerfundin 500mL, atracurium
homeostasis intrakranial pascaoperasi menjadi dihentikan, dosis manitol turun 100 mL tiap
6 jam, terapi lain tetap. Pada hari kedua
pertimbangan untuk memastikan pasien masih setelah dilakukan evaluasi CT scan ulangan,
terpasang pipa endotrakeal dan dalam keadaan obat pelumpuh otot dihentikan, dilakukan
sedasi evaluasi status neurologik dan didapatkan
pasien dengan derajat kesadaran GCS 4x6,
pupil isokor 3 mm/3mm, refleks cahaya +/+,
hemiparese kanan. Status generalis dengan
hemodinamik stabil, tekanan darah 130/95
mmHg, laju nadi 70 x/menit, perfusi hangat-
kering- merah, SaO2 99%. Pemeriksaan
laboratorium GDS: 165 mg/dL, Natrium 144
mmol/L, Kalium 4,0 mmol/dL, kreatinin 1,0
mg/ dL, ureum 30 mg/dL (perhitungan
Pengelolaan Pascabedah osmolaritas plasma 307 mosm/L). Sonde
entrasol 100mL tiap 4 jam, terapi lain tetap,
Pasien dirawat di ruang perawatan dukungan ventilasi mekanik dikurangi
intensif, posisi kepala sedikit head up, perlahan dan bila cukup kuat direncanakan
terpasang pipa endotrakeal,ventilasi untuk ekstubasi. Hari ketiga pasien telah
mekanik dengan moda kontrol diekstubasi, status generalis stabil, status
volume sama seperti sebelum operasi. neurologis tetap. Hari keempat pasien
Diberikan sedasi dengan propofol 60 pindah ke ruang intermediate, hari kelima
mg/jam, analgesik fentanyl 50 dipindah ke ruangan dan setelah dua
mcg/jam, dexketoprofen 50 mg tiap 8 minggu perawatan pasien dipulangkan.
jam, serta pelumpuh otot atracurium
25 mg/jam selama 8 jam III. Pembahasan
Cedera kepala traumatik merupakan
masalah kesehatan yang serius di
masyarakat karena merupakan pemicu
kecacatan dan kematian di seluruh
dunia.1,2 Sekitar 1–1,5 juta jiwa di
Eropa dan Amerika Serikat mengalami
cedera kepala tiap tahunnya.2
Perdarahan subdural akut merupakan
salah satu kelainan yang menyertai
cedera kepala berat. Insiden PSDA
mencapai 12–30% dari pasien yang
masuk dengan cedera kepala berat dan
terjadi terutama pada usia dewasa
muda dibawah 45 tahun dengan
penyebab tersering adalah kecelakaan
lalu lintas.4 Sampai saat ini PSDA
masih merupakan cedera paling
mematikan dari seluruh tipe cedera
kepala.5 Angka kematian yang tinggi
mencapai 55–70% pada pasien dengan
skor GCS kurang dari 8 meskipun
dengan diagnosis dini, penatalaksanaan
yang agresif, pengawasan ketat selama
periode kritis menjadikan PSDA
merupakan komplikasi yang
menghasilkan keputusasaan bagi
klinisi yang merawat.6 Penelitian lain
melaporkan dengan penatalaksanaan
konvensional yang terdiri dari
perawatan intensif, evakuasi bekuan
darah dalam kisaran waktu 4 jam
setelah terjadi PSDA angka kematian
mencapai 30% dan perbaikan fungsi
dari pasien mencapai 65%.7 Sedangkan
bila terapi dimulai setelah 4 jam maka
angka kematian mencapai 85%.7

Angka kematian yang demikian tinggi


pada pasien cedera kepala dengan
PSDA menimbulkan pertanyaan apa
yang menjadi penyebab dan faktor
apa saja yang mempengaruhi luaran
dari pasien dengan PSDA. Salah satu
penjelasan patofisiologi yang
berhubungan dengan hal tersebut
adalah setelah terjadi cedera kepala
traumatik dengan PSDA, lesi-lesi
yang timbul akan terus berkembang
meski terkadang tekanan perfusi otak
(CPP) sudah relatif normal.7
Peningkatan kebutuhan energi untuk
metabolisme, pelepasan
daripada pasien yang terlambat dilakukan
operasi.4
glutamat masif, penurunan level
oksigen jaringan otak memicu kematian Pengambilan bekuan darah pada pasien PSDA
sel otak yang akan terus berkembang sering tidak dapat dilakukan dalam waktu yang
karena terdapat hubungan antara singkat. Persetujuan dari keluarga pasien yang
perubahan aliran darah fokal dan terlambat baik karena adanya keraguan akan
metabolisme dengan penambahan daerah keputusan dokter untuk melakukan
infark.7 Selain kerusakan akibat proses pembedahan maupun masalah kekurangan
iskemia yang terjadi di daerah yang biaya merupakan
tertekan oleh perdarahan, PSDA juga
hal yang menjadi permasalahan
dapat menimbulkan terjadinya mikro
termasuk di negara kita. Para dokter bedah saraf
koagulasi pada pembuluh-pembuluh
dan anestesi sering dihadapkan pada kondisi
darah kortikal pada atau sekitar daerah
dimana pasien dilakukan pembedahan pada waktu
yang tertekan oleh hematoma subdural.7
yang melebihi batas optimal sehingga didapatkan
Oklusi dari pembuluh darah kortikal oleh
luaran yang tidak diharapkan. Terdapat beberapa
klot sel darah merah dan trombosit
penelitian yang telah dilakukan untuk mencoba
menimbulkan gangguan mikrosirkulasi
meningkatkan luaran klinis pada pasien PSDA
yang memicu pelepasan glutamat lebih
yang lambat untuk dilakukan pembedahan
banyak lagi dan mengakibatkan nekrosis
evakuasi. Tindakan-tindakan preoperatif ini selain
iskemik dan edema otak progresif.7
dapat mengulur waktu pembedahan, menunda
Adanya mikrokoagulasi inilah yang
terjadinya herniasi, juga diduga berhubungan
diduga mengakibatkan pada beberapa
dengan peningkatan luaran klinis dari pasien
kasus PSDA tidak terjadi perbaikan
PSDA. Tindakan tersebut meliputi pemberian dosis
aliran darah otak dan progresi daerah
tinggi manitol preoperatif, pengaturan ventilasi,
iskemik tetap berlangsung meskipun
regulasi suhu tubuh preoperatif, menjaga stabilisasi
evakuasi hematoma telah dilakukan.7
hemodinamik preoperatif. Namun sebelum hal-hal
tersebut dilakukan, seperti pasien cedera kepala
Terdapat beberapa faktor yang dapat
berat pada umumnya pasien ini juga dilakukan
mempengaruhi luaran pada pasien
tindakan seperti:
dengan PSDA antara lain umur, jenis
kelamin, status neurologik saat masuk
1. Pemasangan pipa endotrakeal memastikan jalan
rumah sakit dan jarak waktu antara
napas tetap bebas dan mencegah aspirasi paru.
trauma dengan evakuasi perdarahan.
2. Oksigenasi dan kontrol ventilasi untuk
Wilberger melaporkan bahwa waktu
mencegah hipoksia dan hiperkapnea.
antara trauma dan operasi adalah faktor
3. Menjaga status hemodinamik tetap stabil
yang paling penting diantara semua
dengan menghindari hipertensi yang berlebih
variabel tersebut diatas.5,8 Seelig dan para
dan mencegah terjadinya hipotensi yang
koleganya menunjukkan adanya
membahayakan. Cairan infus rumatan
penurunan angka kesakitan dan kematian
digunakan yang bersifat isoosmoler
pada pasien yang dilakukan operasi pada
(ringerfundin).
empat jam pertama trauma (angka
4. Posisi kepala netral dan head up untuk
kematian 30%) dibandingkan mereka
memastikan aliran darah balik serebral tidak
yang menjalani operasi setelah waktu
mengalami gangguan (tetap mengawasi akibat
diatas (angka kematian 85%).5 Meskipun
posisi tersebut pada status hemodinamik
terdapat penelitian yang tidak
pasien).
menemukan korelasi antara pembedahan
5. phenytoin sebagai anti kejang diberikan
lebih awal dengan luaran yang lebih baik
intravena.
namun pada umumnya pasien yang
6. Propofol dan atracurium kontinyu serta
dilakukan pembedahan dalam waktu
dexketoprofen intravena diberikan sebagai
empat jam setelah perburukan klinis
sedatif, analgesik serta memfasilitasi
memberikan luaran yang lebih baik
penggunaan ventilasi mekanik pada pasien ini.
7. Pemberian manitol dosis 0,5 g/kgBB global seperti cedera kepala.10,11 Selain rutin
diberikan sebagai usaha mengendalikan digunakan untuk mengendalikan TIK pada
TIK terapi konvensional cedera kepala, beberapa
penelitian memberikan manitol dengan dosis
Pemberian Manitol Preoperatif yang lebih tinggi dari dosis yang
direkomendasikan sebagai pilihan proteksi
Pada keadaan edema otak dan peningkatan otak terutama pada pasien PSDA yang
Tabel 1. Distribusi pasien dengan lambat dilakukan evakuasi bekuan darah.11
preoperatif manitol dosis tinggi Satu penelitian dengan membandingkan
(MDT) dan manitol dosis pasien PSDA yang diberikan manitol dosis
konvensional (MDK) dengan konvensional preoperatif (0,6–0,7 g/kgBB)
glasgow outcome scale setelah 6 dengan yang diberikan dosis tambahan
bulan, G-M (good-moderate kedua preoperatif (0,6– 0,7g/kgBB pada
disability), S (severe disability), V-D pasien dengan pupil normal dan 1,2–1,4
(vegetative state-death). g/kgBB pada pasien dengan pupil yang
mulai melebar).11 Pada penelitian tersebut
didapatkan hasil yang lebih baik pada
G-M S V-D Total kelompok yang diberikan dosis tambahan
MDT 69,2% 13,2% 17,6% 100% preoperatif (laju mortalitas 14,3%)
MDK 46% 24,1% 29,9% 100% dibandingkan pasien yang diberikan dosis
konvensional (laju mortalitas 25,3%) dan
tekanan intrakranial, sering diberikan keseluruhan luaran klinis didapatkan hasil
terapi dengan cairan hiperosmotik yang lebih baik pada pasien dengan manitol
untuk menciptakan suatu perbedaan dosis tinggi (tabel 1).11
osmotik yang dapat menarik air dari
struktur serebral sehingga Hasil yang lebih baik pada pasien dengan
peningkatan TIK dapat dikendalikan manitol dosis tinggi berkaitkan dengan
sementara.9 Manitol adalah diuretika dugaan adanya fungsi neuroproteksi manitol
osmotik yang paling sering digunakan terhadap kerusakan akibat iskemia dan dapat
di ruang perawatan intensif (ICU) menjadi alternatif terapi untuk pasien PSDA
untuk menurunkan edema otak dan yang tidak segera dilakukan evakuasi bekuan
TIK.9 Efek primer yang mendasari darah intrakranial.11 Meskipun terdapat
penurunan TIK adalah dengan beberapa studi lain yang mendukung Cruz
meningkatkan osmotik gradien namun penggunaan manitol dosis tinggi
sepanjang sawar darah otak (bila belum menjadi suatu terapi standar bahkan
masih intak), dan mendorong proses mengundang banyak pertanyaan dari para
osmosis dari parenkim otak dengan peneliti yang lain. Penggunaan dosis tinggi
menurunkan cairan yang terkandung manitol dapat memberikan efek samping
dalam sel-sel otak.10 Manitol juga yang merugikan terutama bila osmolaritas
memiliki fungsi sekunder yang tidak melebihi 320 mosm/L. Gangguan
kalah pentingnya yaitu terjadinya keseimbangan cairan dan elektrolit dapat
peningkatan volume plasma, terjadi mengingat fungsi manitol yang
penururan hematokrit serta viskositas merupakan diuretika.12 Gangguan
darah.10 keseimbangan cairan dapat mengakibatkan
keaadaan hipotensi yang membahayakan
Hal ini akan meningkatkan curah sehingga harus dilakukan pengawasan ketat
jantung, tekanan darah rerata, parameter hemodinamik selama pemberiaan
meningkatkan aliran darah otak manitol.10,12 Manitol juga dapat meningkatkan
(ADO), memperbaiki aliran darah di risiko terjadinya gagal ginjal serta edema otak
mikrovaskular otak sehingga karena proses pembalikan (rebound cerebral
oksigenasi jaringan otak akan edema).12
meningkat pada keadaan hipoperfusi Berdasarkan penjelasan diatas maka pada
kasus kami, manitol diberikan sampai menunjukkan bahwa hipotermia dihubungkan
dosis konvensional yang maksimal dengan luaran neurologik yang lebih baik tetapi
(1g/kgBB). Pemberian manitol terdapat efek samping seperti hipotensi, aritmia,
dilakukan dengan pengawasan ketat koagulopati, dan infeksi yang patut menjadi
parameter hemodinamik serta perhatian.15,16
osmolaritas plasma untuk menghindari
terjadinya efek samping dari obat Beberapa tahun terakhir ini terdapat beberapa
tersebut. Pemberian manitol sampai 1 penelitian tentang hipotermia dini pada pasien-
g/kgBB preoperatif diharapkan agar pasien cedera kepala traumatik.15 Para peneliti
penulis memiliki waktu lebih sebelum tersebut berpendapat bahwa hipotermia dini diduga
keluarga setuju dilakukan evakuasi dapat memberi manfaat pada pasien trauma kepala
bekuan subdural, serta memberikan dengan hematom intrakranial akut dengan jalan
efek neuroproteksi yang mungkin mengurangi efek dari cedera iskemia-reperfusi.17
memberi manfaat pada peningkatan Satu hasil penelitian pada model tikus dengan akut
luaran tanpa keluar dari standar terapi SDH dan menyimpulkan bahwa hipotermia ringan
yang ada. dini dapat mengurangi kerusakan sel neuron dan
sel glia akibat proses reperfusi yang terjadi setelah
Hipotermia Preoperatif evakuasi bekuan darah intrakranial dengan
mengurangi mekanisme neurotoksik termasuk
Hipotermia telah digunakan selama
pembentukan radikal bebas, stres oksidatif, dan
bertahun- tahun sebagai bagian dari
lain sebagainya.17 Dari penjelasan diatas diketahui
terapi cedera kepala berat dan menjadi
bahwa hipotermia memiliki efek proteksi otak yang
bagian dari banyak algoritma pada pasien
dapat memberi keuntungan pada pengelolaan
hipertensi intrakranial yang tak
cedera kepala berat. Hipotermia ringan dini
terkontrol. Sejak digunakan pertama
13
dikatakan oleh beberapa peneliti dapat mengurangi
kali oleh Dr. Temple Fay, terapi induksi
kerusakan sel neuron dari cedera iskemik-reperfusi
hipotermia telah sebagai salah satu cara
setelah dilakukan evakuasi bekuan darah pada
neuroproteksi, namun dalam
pasien dengan perdarahan intrakranial. Pada kasus
perkembangannya masih banyak menjadi
yang kami kerjakan, hipotermia preoperatif dicapai
perdebatan antara kegunaannya dengan
pada suhu pasien antara 36–36,5 oC. Pengawasan
efek samping yang ditimbulkan.14
ketat suhu tubuh, penggunaan matras pendingin
Meskipun mekanisme pasti efek
digunakan dalam mempertahankan suhu pada
neuroproteksi dari induksi hipotermia
kisaran yang diinginkan. Pengawasan ketat status
belum diketahui pasti namun diduga
hemodinamik pasien dilakukan selama di ICU
melalui beberapa jalan antara lain14:
untuk mengantisipasi efek samping yang
1. Menurunkan laju metabolisme otak
dilakukan. Pasien tidak dilakukan pendinginan
dan memberi efek pada ADO.
sampai suhu dibawah 36 oC karena keuntungan
2. Mempengaruhi kaskade sitotoksik
hipotermia dibawah suhu tersebut masih banyak
dengan menekan peningkatan
diperdebatkan dan banyak efek samping yang
kalsium intraselular dan menghambat
dapat ditimbulkan. Tindakan ini dilakukan selama
pelepasan excitatory amino acids.
3 jam sambil menunggu persetujuan operasi dan
3. Menekan kerusakan sawar darah otak.
selama waktu tersebut hemodinamik relatif stabil
4. Memiliki efek anti-apoptotik.
tanpa terjadi efek samping yang diinginkan. Saat
ini terdapat penelitian yang mencoba menggali
Brain Trauma Foundation masih
efek hipotermia pada pasien cedera kepala dengan
memberi tempat pada penggunaan
perdarahan intrakranial. Penelitian tersebut
hipotermia sebagai pilihan dalam
merupakan penelitian klinis, multicenter yang
penatalaksanaan cedera kepala traumatik
dikenal dengan The HOPES Trial (HypOthermia
(rekomendasi level III), namun tindakan
for Patients requiring Evacuation of Subdural
tersebut harus dilakukan dengan hati-hati
hematoma). Dengan penelitian ini diharapkan nanti
karena meskipun terdapat metaanalisis
dapat diketahui apakah hipotermia akan memberi
dari beberapa penelitian yang
manfaat pada penatalaksanaan cedera kepala
traumatik di masa yang akan datang. waktu yang panjang, pasien akhirmya masuk
ke kamar operasi untuk dilakukan
Pengaturan Ventilasi pembedahan evakuasi PSDA. Selama
pembedahan pasien dalam kondisi stabil,
Pasien dengan cedera kepala berat dekompresi kraniektomi juga dilakukan
memerlukan dukungan ventilasi mengingat adanya ancaman herniasi.
mekanik untuk mempertahankan Pascabedah pasien tetap di berikan sedasi,
tekanan oksigen arterial (PaO2) diatas bantuan napas mekanik untuk memastikan
80 mmHg dan PCO2 antara 35 dan 40 keseimbangan homeostasis intrakranial tetap
mmHg. Terdapat hubungan linear terjaga. Setelah dilakukan evaluasi CT-scan
yang positif antara kadar CO2 dengan ulangan, pasien dibangunkan dan memberi
respon yang baik. Mengingat prognosa
ADO pada rentang harga PCO2
pasien ditentukan oleh derajat kesadaran saat
antara 20 mmHg sampai 80 mmHg. awal pemeriksaan, gambaran awal dari CT-
Namun pada harga PCO2 dibawah 28 scan, kecepatan tindakan evakuasi
mmHg terjadi vasokonstriksi hebat hematoma, maka pasien ini diperkiran
yang menyebabkan penurunan ADO memiliki prognosa yang buruk. Tindakan-
sampai pada level iskemik.18 tindakan menurunkan TIK, menjaga perfusi
Hiperventilasi telah banyak dipakai otak, menghindari pemberian obat dan
untuk pengelolaan hipertensi tindakan yang memperberat TIK yang
intrakranial, namun hiperventilasi menjadi dasar dari pengelolaan cedera
agresif dapat membahayakan dan kepala telah dilakukan. Namun tindakan
sebaiknya dihindari pada 24 jam seperti penggunaan manitol dosis tinggi,
pertama cedera otak kecuali terdapat hipotermia ringan preoperatif, hiperventilasi
keadaan darurat seperti ancaman ringan dapat membantu meningkatkan
herniasi.18 Brain Trauma Foundation luaran pada pasien dengan PSDA yang
memasukkan tehnik ini pada mengalami penundaan evakuasi bekuan
pengelolaan sekunder (second-tier darah dan dapat menjadi alternatif yang patut
therapy) trauma kepala pada pasien dipertimbangkan.
dengan refrakter hipertensi
intrakranial atau adanya ancaman IV. Simpulan
herniasi.18 Mengingat risiko yang
ditimbulkan, hiperventilasi hanya Cedera kepala traumatik merupakan masalah
merupakan tindakan sementara sambil kesehatan yang serius di masyarakat karena
melakukan usaha-usaha lain dalam merupakan pemicu kecacatan dan kematian di
menurunkan TIK.1,18 seluruh dunia. Walaupun terdapat metode
diagnostik dan penatalaksanaan yang
Pada kasus yang kami kerjakan, muktahir namun prognosis masih jauh dari
pasien diberikan dukungan ventilasi harapan. PSDA masih merupakan cedera
dengan target normokapnea namun paling mematikan dari seluruh tipe cedera
selama menunggu untuk tindakan kepala. Angka kematian yang tinggi (55–
operasi terdapat tanda-tanda 70%) pada pasien PSDA meskipun diagnosis
peningkatan TIK dan ancaman dini, penatalaksanaan yang agresif,
herniasi sehingga dukungan ventilasi pengawasan ketat selama periode kritis
ditingkatkan sebagai tindakan perawatan telah dilakukan oleh para klinisi.
sementara agar pasien memiliki waktu
lebih sebelum herniasi otak terjadi. Waktu antara cedera dengan evakuasi bekuan
Bersamaan dengan kejadian diatas darah subdural merupakan faktor yang sangat
maka keluarga pasien diberitahu agar penting dalam menghasilkan luaran,
pengambilan bekuan darah harus sayangnya waktu evakuasi ini sering
segera dilakukan untuk mengalami penundaan. Terdapat beberapa
menyelamatkan jiwa. Setelah melalui penelitian yang dilakukan selama periode
preoperatif untuk memberi waktu lebih 6. Jussen D, Papaioannou C, Heimann A,
kepada pasien terhadap bahaya iskemi Kempski O, Alessandri B. Effects of
dan herniasi otak serta meningkatkan hypertonic/hyperoncotic treatment and
luaran pada pasien PSDA. Tindakan surgical evacuation after acute subdural
seperti manitol dosis tinggi, hipotermia hematoma in rats. Crit Care Med 2008;
ringan preoperatif, hiperventilasi masih 36(2).
sedang dalam penelitian namun
memberi harapan pada pengelolaan 7. Solaroglu I, Kaptanoglu E, Okutan O,
pasien dengan PSDA. Beskonakli E, Taskin Y. Prognostic value of
initial computed tomography in patients
Daftar Pustaka with traumatic acute subdural hematoma.
Turkish Neurosurgery;12:89–94.
1. Curry P, Viernes D, Sharma D.
Perioperative management of 8. Sorani M, Manley GT. Dose-response
traumatic brain injury. Int J Crit Illn relationship of mannitol and intracranial
Inj Sci 2011. pressure: a metaanalysis. J Neurosurg
2008;108:80–87.
2. Leitgeb JL, Mauritz W, Brazinova
A, Janciak I, Madjan M, Wilbacher 9. Fink M. Osmotheraphy for intracranial
I, et.al. Outcome after severe brain hypertension: mannitol versus hypertonic
trauma due to acute subdural saline. American Academy of Neurology
hematoma. J Neurosurg 2012;(6): 640–54.
2012;117:324–33.
10. Cruz J, Minoja G, Okuchi K. Improving
3. Moppet IK. Traumatic brain injury: clinical outcomes from acute subdural
assessment, resuscitation and early hematoma with the emergency preoperative
management. Br J Anaesth 2007; administration of high dose of mannitol:
99 : 18–31. a randomized trial. Neurosurgery
2001;49(4):864–71.
4. Karibe H, Hayashi T, Hirano T,
Kameyama M, Nakagawa A, 11. Sharma RM, Setlur R, Swamy MN.
Tominaga T. Surgical management Evaluation of manitol as an
of traumatic acute subdural osmotherapeutic agent in traumatic brain
hematoma in adults: A review. injuries by measuring serum osmolality.
Neurol Med Chir 2014;54:887–94. Medical Journal Armed Forces India 2011;
67(3): 230–33.
Karasu A, Civelek E, Aras Y, Sabanci
PA, Cansever T, Yanar H et.al. 12. Helmy A, Vizcaychipi M, Gupta AK.
Analysis of clinical prognostic factors Traumatic brain injury: intensive care
in operated traumatic acute subdural management. Br J Anaesth 2007; 99 : 32–
hematomas. Turkish Journal of 42.
Trauma & Emergency Surgery
2010;16(3): 233–36. 13. Graffagnino C. Hypothermia: physiology

5. Azhari S, Safdari H, Shabehpoor M, 14. Graffagnino C. Hypothermia: physiology


Hosein N, Amiri Z. Traumatic acute and applications. Dalam:Torbey MT, ed. Neuro
subdural hematom: Analysis of Critical Care. NewYork: Cambridge University
factors affecting outcome in Press;2010,39–45.
comatose patients. Medical Journal
of the Islamic Republic of Iran 15. Xiong Y, Mahmood A, Chopp M. Emerging
1999;12(4): 313–18. treatments for traumatic brain injury. Expert
Opin Emerg Drugs 2009;14(1):67–84.
16. Tolani K, Bendo AA, Sakabe T.
Anesthetic management of head trauma.
Dalam: Newfield P, Cottrell JE, ed.
Handbook of Neuroanesthesia.
Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins;2012, 98–114.

17. Yokobori S, Gajavelli S, Mondello


S, Seaney JM, Bramlett HM,
Dietrich WD, et.al.
Neuroprotective effect of
preoperatively induced mild
hypothermia as determined by
biomarkers and histopathological
estimation in a rat subdural
hematoma decompression model.
J Neurosurg 2013;118: 370–380.

18. Mangat HS. Severe traumatic


brain injury. American Academy
of Neurology 2012: 532–546.

Anda mungkin juga menyukai