Anda di halaman 1dari 17

Syok Hipovolemik

Case Report

Oleh :
Mirza Pratama, S.Ked
Ponda Hernest Hadinata, S.Ked

Pembimbing :
dr. Dendy Maulana, Sp.An

SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


RSUD DR. Hi. Abdul Moeloek
PROVINSI LAMPUNG
2012

0
Kasus

Pria, 24 tahun, berat badan 60 kg. Mengalami kecelakaan sepeda motor


tanpa saksi mata, tidak sadarkan diri dan diduga meminum minuman
keras. Ditangani di rumah sakit awal dengan pemberian oksigen nasal 3
liter/menit, dipasang infus ringer laktat (RL) sekitar 2500 mL dan dilakukan
penjahitan sementara (situasi) pada luka di daerah paha kiri. Pemeriksaan
fisik dan radiologi menunjukkan fraktur femur sinistra 1/3 tengah,
sedangkan hasil pemeriksaan laboratorium adalah sebagai berikut:
hemoglobin (Hb) 17,2 g/dL, hematokrit (Ht) 51%, lekosit (L) 41100/µL,
trombosit (T) 263000/µL, SGOT 112 µ/L, SGPT 83 µ/L, albumin (Alb) 5,8
mg/dL, BUN 25 mg/dL, kreatinin serum 1,54 mg/dL, natrium (Na) 146
mEq/L, kalium (K) 2,8 mEq/L, klorida (Cl) 105 mEq/L, dan gula darah
sewaktu (GDS) 235 mg/dL.

Diskusi

kasus trauma multipel, yaitu pada kepala, dada, dan tungkai bawah yang
mengalami syok, ditandai dengan penurunan tekanan darah yang nyata.
Setelah mengamankan jalan nafas dan memastikan oksigenasi dan
ventilasi yang adekuat, prioritas tertinggi berikutnya adalah
mengendalikan perdarahan. Karena pasien mungkin saja mengalami
perdarahan pada beberapa tempat sekaligus, mungkin perlu beberapa
tindakan secara bersamaan. Sumber perdarahan yang cukup besar
adalah luka terbuka yang keluar tanpa tahanan, perdahan rongga dada,
perdarahan di rongga perut, perdarahan di pelvis dan retroperitoneum,
serta perdarahan pada tulang panjang.

Resusitasi cairan dalam rangka mengatasi syok hipovolemik (hemoragik)


telah dilakukan sejak dari rumah sakit awal dengan pemberian cairan
berupa ringer laktat sebanyak 2500 mL. Sumber perdarahan yang
diketahui pada awalnya adalah fraktur terbuka femur sinistra yang

1
dikatakan mengeluarkan darah sejak ditemukan di tempat kejadian
perkara. Sayangnya belum ada usaha untuk menghentikan perdarahan
dari femur ini. Usaha menjahit “situasi” pada pasien ini yang mungkin
dimaksudkan untuk mengurangi perdarahan keluar dari kulit sehingga
diharapkan terjadi hematom untuk penekan sumber perdarahan tidak
terjadi sehingga perdarahan terus terjadi. Sumber perdarahan lain yang
mungkin pada kasus ini adalah dada, pelvis, dan abdomen.

2
SYOK HIPOVOLEMIK DAN RESUSITASI CAIRAN

A. Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi
kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ,
disebabkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi
yang tidak adekuat. Paling sering, syok hipovolemik merupakan akibat kehilangan
darah yang cepat (syok hemoragik).
Kehilangan darah dari luar yang akut akibat trauma tembus dan perdarahan
gastrointestinal yang berat merupakan dua penyebab yang paling sering pada syok
hemoragik. Syok hemoragik juga dapat merupakan akibat dari kehilangan darah
yang akut secara signifikan dalam rongga dada dan rongga abdomen.
Dua penyebab utama kehilangan darah dari dalam yang cepat adalah cedera pada
organ padat dan rupturnya aneurisma aorta abdominalis. Syok hipovolemik dapat
merupakan akibat dari kehilangan cairan yang signifikan (selain darah). Dua
contoh syok hipovolemik yang terjadi akibat kehilangan cairan, antara lain
gastroenteritis refrakter dan luka bakar yang luas. Pembahasan utama dari artikel
ini adalah syok hipovolemik akibat kehilangan darah dan kontraversi mengenai
penanganannya. Pembaca dianjurkan membaca artikel lain untuk mendiskusikan
tentang patofisiologi dan penanganan syok hipovolemik akibat kehilangan cairan
dibandingkan darah.
Banyak cedera yang mengancam kehidupan yang terjadi selama perang tahun
1900-an yang berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan prinsip
resusitasi syok hemoragik. Selama perang Dunia I, W.B Cannon menganjurkan
menunda resusitasi cairan hingga penyebab syok hemoargik ditangani dengan
pembedahan. Kristaloid dan darah digunakan secara luas selama Perang Dunia II
untuk penanganan pasien yang kondisinya tidak stabil. Pengalaman dari perang
Korea dan Vietnam menunjukkan bahwa resusitasi volume dan intervensi bedah
segera sangat penting pada cedera yang menyebabkan syok hemoragik. Prinsip ini
dan prinsip yang lain membantu pada perkembangan pedoman yang ada untuk
penanganan syok hemoragik traumatik. Namun, peneliti terbaru telah
mempertanyakan pedoman ini, dan sekarang, muncul kontraversi seputar
penaganan optimal pada syok hemoragik.

PATOFISIOLOGI

3
Tubuh manusia berespon terhadap perdarahan akut dengan mengaktivasi sistem
fisiologi utama sebagai berikut: sistem hematologi, kardiovaskuler, ginjal, dan
sistem neuroendokrin.
Sistem hematologi berespon terhadap kehilangan darah yang berat dan akut
dengan mengaktivasi kaskade koagulasi dan vasokonstriksi pembuluh darah
(melalui pelelepasan tromboksan A2 lokal). Selain itu, platelet diaktivasi (juga
melalui pelepasan tromboksan A2 lokal) dan membentuk bekuan darah immatur
pada sumber perdarahan. Pembuluh darah yang rusak menghasilkan kolagen,
yang selanjutnya menyebabkan penumpukan fibrin dan menstabilkan bekuan
darah. Dibutuhkan waktu sekitar 24 jam untuk menyempurnakan fibrinasi dari
bekuan darah dan menjadi bentuk yang sempurna.
Sistem kardiovaskuler pada awalnya berespon terhadap syok hipovolemik dengan
meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas miokard, dan
vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Respon ini terjadi akibat peningkatan
pelepasan norepinefrin dan penurunan ambang dasar tonus nervus vagus (diatur
oleh baroreseptor di arcus caroticus, arcus aorta, atrium kiri, dan penbuluh darah
pulmonal). Sistem kardiovaskuler juga berespon dengan mengalirkan darah ke
otak, jantung, dan ginjal dengan mengurangi perfusi kulit, otot, dan traktus
gastrointestinal.
Sistem renalis berespon terhadap syok hemoragik dengan peningkatan sekresi
renin dari apparatus juxtaglomeruler. Renin akan mengubah angiotensinogen
menjadi angiotensin I, yang selanjutnya akan dikonversi menjadi angiotensin II di
paru-paru dah hati. Angotensin II mempunyai 2 efek utama, yang keduanya
membantu perbaikan keadaan pada syok hemoragik, yaitu vasokonstriksi arteriol
otot polos, dan menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron
bertanggungjawab pada reabsorbsi aktif natrium dan akhirnya akan menyebabkan
retensi air.
Sistem neuroendokrin berespon terhadap syok hemoragik dengan meningkatan
Antidiuretik Hormon (ADH) dalam sirkulasi. ADH dilepaskan dari glandula
pituitari posterior sebagai respon terhadap penurunan tekanan darah (dideteksi
oleh baroreseptor) dan terhadap penurunan konsentrasi natrium (yang dideteksi
oleh osmoreseptor). Secara tidak langsung ADH menyebabkan peningkatan
reabsorbsi air dan garam (NaCl) pada tubulus distalis, duktus kolektivus, dan
lengkung Henle.
Patofisiologi dari syok hipovolemik itu telah tercakup pada apa yang ditulis
sebelumnya. Referensi untuk bacaan selanjutnya dapat ditemukan pada
bibliografi. Mekanisme yang rumit yang telah dijelaskan sebelumnya efektif
dalam memenuhi perfusi organ vital pada kehilangan darah yang berat. Tanpa
resusitasi cairan dan darah dan atau koreksi keadaan patologi yang mendasari
perdarahan, perfusi jantung akhirnya akan berkurang, dan kegagalan berbagai
organ akan segera terjadi.

MANIFESTASI KLINIS
Riwayat Penyakit
• Pada pasien dengan kemungkinan syok akibat hipovolemik, riwayat penyakit
penting untuk menentukan penyebab yang mungkin dan untuk penanganan
lansung. Syok hipovolemik akibat kehilangan darah dari luar biasanya nyata dan

4
mudah didiagnosis. Perdarahan dalam kemungkinan tidak nyata, seperti pasien
hanya mengeluhkan kelemahan, letargi, atau perubahan status mental.
• Gejala-gejala syok seperti kelemahan, penglihatan kabur, dan kebingungan,
sebaiknya dinilai pada semua pasien.
• Pada pasien trauma, menentukan mekanisme cedera dan beberapa informasi lain
akan memperkuat kecurigaan terhadap cedera tertentu (misalnya, cedera akibat
tertumbuk kemudi kendaraan, gangguan kompartemen pada pengemudi akibat
kecelakaan kendaraan bermotor)
• Jika sadar, pasien mungkin dapat menunjukkan lokasi nyeri
• Tanda vital, sebelum dibawa ke unit gawat darurat sebaiknya dicatat.
• Nyeri dada, perut, atau punggung mungkin menunjukkan gangguan pada
pembuluh darah.
• Tanda klasik pada aneurisma arteri torakalis adalah nyeri yang menjalar ke
punggung. Aneurisma aorta abdominalis biasanya menyebabkan nyeri perut, nyeri
punggung, atau nyeri panggul.
• Pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal, mengumpulan keterangan
tentang hematemesis, melena, riwayat minum alkohol, penggunaan obat anti-
inflamasi non steroid yang lama, dan koagulopati (iatrogenik atau selainnya)
adalah sangat penting.
o Kronologi muntah dan hematemesis harus ditentukan.
o Pada pasien dengan hematemesis setelah episode berulang muntah yang hebat
kemungkinan mengalami Sindrom Boerhaave atau Mallory-Weiss tear, sedangkan
pasien dengan riwayat hematemesis sejak sejak awal kemungkinan mengalami
ulkus peptik atau varises esophagus.
• Jika suatu penyebab ginekologik dipertimbangkan, perlu dikumpukan informasi
mengenai hal berikut: periode terakhir menstruasi, faktor risiko kehamilan
ektopik, perdarahan pervaginam (termasuk jumlah dan durasinya), produk
konsepsi pada saluran vagina, dan nyeri. Semua wanita usia subur sebaiknya
menjalani tes kehamilan, untuk meyakinkan apakah mereka hamil. Tes kehamilan
negatif bermakna untuk menyingkirkan diagnosis kehamilan ektopik.

Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisis seharusnya selalu dimulai dengan penanganan jalan napas,
pernapasan, dan sirkulasi. Ketiganya dievaluasi dan distabilkan secara bersamaan,
sistem sirkulasi harus dievaluasi untuk tanda-tanda dan gejala-gejala syok.
Jangan hanya berpatokan pada tekanan darah sistolik sebagai indikator utama
syok; hal ini menyebabkan diagnosis lambat.
Mekanisme kompensasi mencegah penurunan tekanan darah sistolik secara
signifikan hingga pasien kehilangan 30% dari volume darah. Sebaiknya nadi,
frekuensi pernapasan, dan perfusi kulit lebih diperhatikan. Juga, pasien yang
mengkonsumsi beta bloker mungkin tidak mengalami takikardi, tanpa
memperhatikan derajat syoknya.
Klasifikasi perdarahan telah ditetapkan, berdasarkan persentase volume darah
yang hilang. Namun, perbedaan antara klasifikasi tersebut pada pasien
hipovolemik sering tidak nyata. Penanganan sebaiknya agresif dan langsung lebih
berkaitan pada respon terapi dibandingkan klasifikasi awal.
• Perdarahan derajat I (kehilangan darah 0-15%)
o Tidak ada komplikasi, hanya terjadi takikardi minimal.
5
o Biasanya tidak terjadi perubahan tekanan darah, tekanan nadi, dan frekuensi
pernapasan.
o Perlambatan pengisian kapiler lebih dari 3 detik sesuai untuk kehilangan darah
sekitar 10%
• Perdarahan derajat II (kehilangan darah 15-30%)
o Gejala klinisnya, takikardi (frekuensi nadi>100 kali permenit), takipnea,
penurunan tekanan nadi, kulit teraba dingin, perlambatan pengisian kapiler, dan
anxietas ringan .
o Penurunan tekanan nadi adalah akibat peningkatan kadar katekolamin, yang
menyebabkan peningkatan resistensi pembuluh darah perifer dan selanjutnya
meningkatkan tekanan darah diastolik.
• Perdarahan derajat III (kehilangan darah 30-40%)
o Pasien biasanya mengalami takipnea dan takikardi, penurunan tekanan darah
sistolik, oligouria, dan perubahan status mental yang signifikan, seperti
kebingungan atau agitasi.
o Pada pasien tanpa cedera yang lain atau kehilangan cairan, 30-40% adalah
jumlah kehilangan darah yang paling kecil yang menyebabkan penurunan tekanan
darah sistolik.
o Sebagian besar pasien ini membutuhkan transfusi darah, tetapi keputusan untuk
pemberian darah seharusnya berdasarkan pada respon awal terhadap cairan.
• Perdarahan derajat IV (kehilangan darah >40%)
o Gejala-gejalanya berupa takikardi, penurunan tekanan darah sistolik, tekanan
nadi menyempit (atau tekanan diastolik tidak terukur), berkurangnya (tidak ada)
urine yang keluar, penurunan status mental (kehilangan kesadaran), dan kulit
dingin dan pucat.
o Jumlah perdarahan ini akan mengancam kehidupan secara cepat.
• Pada pasien dengan trauma, perdarahan biasanya dicurigai sebagai penyebab
dari syok. Namun, hal ini harus dibedakan dengan penyebab syok yang lain.
Diantaranya tamponade jantung (bunyi jantung melemah, distensi vena leher),
tension pneumothorax (deviasi trakea, suara napas melemah unilateral), dan
trauma medulla spinalis (kulit hangat, jarang takikardi, dan defisit neurologis)
• Ada empat daerah perdarahan yang mengancam jiwa meliputi: dada, perut, paha,
dan bagian luar tubuh.
o Dada sebaiknya diauskultasi untuk mendengar bunyi pernapasan yang melemah,
karena perdarahan yang mengancam hidup dapat berasal dari miokard, pembuluh
darah, atau laserasi paru.
o Abdomen seharusnya diperiksa untuk menemukan jika ada nyeri atau distensi,
yang menunjukkan cedera intraabdominal.
o Kedua paha harus diperiksa jika terjadi deformitas atau pembesaran (tanda-
tanda fraktur femur dan perdarahan dalam paha).
o Seluruh tubuh pasien seharusnya diperiksa untuk melihat jika ada perdarahan
luar.
• Pada pasien tanpa trauma, sebagian besar perdarahan berasal dari abdomen.
Abdomen harus diperiksa untuk mengetahui adanya nyeri, distensi, atau bruit.
Mencari bukti adanya aneurisma aorta, ulkus peptikum, atau kongesti hepar. Juga
periksa tanda-tanda memar atau perdarahan.

6
• Pada pasien hamil, dilakukan pemeriksaan dengan speculum steril. Meskipun,
pada perdarahan trimester ketiga, pemeriksaan harus dilakukan sebagai “double
set-up” di ruang operasi. Periksa abdomen, uterus,atau adneksa.

Penyebab
Penyebab-penyebab syok hemoragik adalah trauma, pembuluh darah,
gastrointestinal, atau berhubungan dengan kehamilan
• Penyebab trauma dapat terjadi oleh karena trauma tembus atau trauma benda
tumpul. Trauma yang sering menyebabkan syok hemoragik adalah sebagai
berikut: laserasi dan ruptur miokard, laserasi pembuluh darah besar, dan perlukaan
organ padat abdomen, fraktur pelvis dan femur, dan laserasi pada tengkorak.
• Kelainan pada pembuluh darah yang mengakibatkan banyak kehilangan darah
antara lain aneurisma, diseksi, dan malformasi arteri-vena.
• Kelainan pada gastrointestinal yang dapat menyebabkan syok hemoragik antara
lain: perdarahan varises oesofagus, perdarahan ulkus peptikum, Mallory-Weiss
tears, dan fistula aortointestinal.
• Kelainan yang berhubungan dengan kehamilan, yaitu kehamilan ektopik
terganggu, plasenta previa, dan solutio plasenta. Syok hipovolemik akibat
kehamilan ektopik umum terjadi. Syok hipovolemik akibat kehamilan ektopik
pada pasien dengan tes kehamilan negatif jarang terjadi, tetapi pernah dilaporkan.

PENATALAKSANAAN
Penanganan Sebelum di Rumah Sakit
Penanganan pasien dengan syok hipovolemik sering dimulai pada tempat kejadian
atau di rumah. Tim yang menangani pasien sebelum ke rumah sakit sebaiknya
bekerja mencegah cedera lebih lanjut, membawa pasien ke rumah sakit sesegera
mungkin, dan memulai penanganan yang sesuai. Penekanan sumber perdarahan
yang tampak dilakukan untuk mencegah kehilangan darah yang lebih lanjut.
• Pencegahan cedera lebih lanjut dilakukan pada kebanyakan pasien trauma.
Vertebra servikalis harus diimobilisasi, dan pasien harus dibebaskan jika mungkin,
dan dipindahkan ke tandu. Fiksasi fraktur dapat meminimalisir kerusakan
neurovaskuler dan kehilangan darah.
• Meskipun pada kasus tertentu stabilisasi mungkin bermanfaat, transportasi
segera pasien ke rumah sakit tetap paling penting pada penanganan awal sebelum
di rumah sakit. Penanganan definitif pasien dengan hipovolemik biasanya perlu
dilakukan di rumah sakit, dan kadang membutuhkan intervensi bedah. Beberapa
keterlambatan pada penanganan seperti terlambat dipindahkan sangat berbahaya.
• Intervensi sebelum ke rumah sakit terdiri dari immobilisasi (pada pasien
trauma), menjamin jalan napas yang adekuat, menjamin ventilasi, dan
memaksimalkan sirkulasi.
• Dalam penanganan syok hipovolemik, ventilasi tekanan positif dapat
mengurangi aliran balik vena, mengurangi cardiac output, dan memperburuk
status/keadaan syok. Walaupun oksigenasi dan ventilasi penting, kelebihan
ventilasi tekanan positif dapat merusak pada pasien dengan syok hipovolemik.
• Penanganan yang sesuai biasanya dapat dimulai tanpa keterlambatan
transportasi. Beberapa prosedur, seperti memulai pemberian infus atau fiksasi
ekstremitas, dapat dilakukan ketika pasien sudah dibebaskan. Namun, tindakan
yang memperlambat pemindahan pasien sebaiknya ditunda. Keuntungan
7
pemberian cairan intravena segera pada tempat kejadian tidak jelas. Namun, infus
intravena dan resusitasi cairan harus dimulai dan dilanjutkan dalam perjalanan ke
tempat pelayanan kesehatan.

Bidang Kegawatdaruratan
Tiga tujuan penanganan kegawatdaruratan pasien dengan syok hipovolemik antara
lain: (1) memaksimalkan pengantaran oksigen-dilengkapi dengan ventilasi yang
adekuat, peningkatan saturasi oksigen darah, dan memperbaiki aliran darah, (2)
mengontrol kehilangan darah lebih lanjut, dan (3) resusitasi cairan.
• Memaksimalkan penghantaran oksigen
o Jalan napas pasien sebaiknya dibebaskan segera dan stabilisasi jika perlu.
Kedalaman dan frekuensi pernapasan, dan juga suara napas, harus diperhatikan.
Jika terjadi keadaan patologi (seperti pneumothoraks, hemothoraks, dan flail
chest) yang mengganggu pernapasan, harus segera ditangani. Tambahan oksigen
dalam jumlah besar dan bantuan ventilator harus diberikan pada semua pasien.
Ventilasi tekanan positif yang berlebihan dapat berbahaya pada pasien yang
mengalami syok hipovolemik dan sebaiknya dihindari.

o Sebaiknya dibuat dua jalur intravena berdiameter besar. Hukum Poeseuille


mengatakan bahwa aliran berbanding terbalik dengan panjang kateter infus dan
berhubungan langsung dengan diameter. Sehingga kateter infus intravena yang
ideal adalah pendek dan diameternya lebar; diameter lebih penting daripada
panjangnya. Jalur intravena dapat ditempatkan pada vena antecubiti, vena sphena,
atau vena tangan, atau pada vena sentralis dengan menggunakan teknik Seldinger.
Jika digunakan jalur utama vena sentralis maka digunakan kateter infus
berdiameter lebar. Pada anak kurang dari 6 tahun dapat digunakan jalur
intraosseus. Faktor yang paling penting dalam melakukannya adalah skill dan
pengalaman.
o Pengadaan infus arteri perlu dipertimbangkan pada pasien dengan perdarahan
hebat. Untuk pasien ini, infus arteri akan memonitoring tekanan darah secara
berkala dan juga analisa gas darah.
o Pada jalur intravena, cairan yang pertama digunakan untuk resusitasi adalah
kristaloid isotonik, seperti Ringer Laktat atau Saline Normal. Bolus awal 1-2 liter
pada orang dewasa (20 ml/kgBB pada pasien anak), dan respon pasien dinilai.
o Jika tanda vital sudah kembali normal, pasien diawasi agar tetap stabil dan darah
pasien perlu dikirim untuk dicocokkan. Jika tanda vital membaik sementara, infus
kristaloid dilanjutkan dan dipersiapkan darah yang cocok. Jika perbaikan yang
terjadi tidak bermakna atau tidak ada, infus kristaloid harus dilanjutkan, dan darah
O diberikan (darah tipe O rhesus (-) harus diberikan kepada pasien wanita usia
subur untuk mencegah sensitasi dan komplikasi lanjut).
o Jika pasien sekarat dan hipotensi berat (syok derajat IV), diberikan cairan
kristaloid dan darah tipe O. Pedoman pemberian kristaloid dan darah tidak diatur,
terapi yang diberikan harus berdasarkan kondisi pasien.
o Posisi pasien dapat digunakan untuk memperbaiki sirkulasi; salah satu
contohnya menaikkan kedua kaki pasien sementara cairan diberikan. Contoh lain
dari posisi yang bermanfaat adalah memiringkan pasien yang sementara hamil
dengan trauma kearah kirinya, dengan tujuan memposisikan janin menjauhi vena
cava inferior dan meningkatkan sirkulasi. Posisi Trendelenburg tidak dianjurkan
8
untuk pasien dengan hipotensi karena dikhawatirkan terjadi aspirasi. Posisi
Trendelenburg juga tidak memperbaiki keadaan kardiopulmonal dan dapat
mengganggu pertukaran udara.
o Autortransfusi mungkin dilakukan pada beberapa pasien trauma. Beberapa alat
diizinkan untuk koleksi steril, antikoagulasi, filtrasi, dan retransfusi darah
disediakan. Pada penanganan trauma. Darah yang berasal dari hemothoraks
dialirkan melalui selang thorakostomi.
• Kontol perdarahan lanjut
o Kontrol perdarahan tergantung sumber perdarahan dan sering memerlukan
intervensi bedah. Pada pasien dengan trauma, perdarahan luar harus diatasi
dengan menekan sumber perdarahan secara langsung, perdarahan dalam
membutuhkan intervensi bedah. Fraktur tulang panjang ditangani dengan traksi
untuk mengurangi kehilangan darah.

B. Terapi Cairan

Kompartemen Cairan Tubuh


Tubuh orang dewasa terdiri dari: zat padat - 40 % berat ba-dan dan
zat cair - 60 % berat badan; zat cair terdiri dari:
cairan intraseluler - 40 % berat badan dan cairan ekstrase-luler - 20
% berat badan; sedangkan cairan ekstraseluler ter-diri dari : cairan
intravaskuler - 5 % berat badan dan cairan
interstisial - 15 % berat badan
Ada pula cairan limfe dan cairan transeluler yang termasuk
cairan ekstraseluler. Cairan transeluler sekitar 1-3 % berat
badan, meliputi sinovial, pleura, intraokuler dan lain-lain.
Cairan intraseluler dan ekstraseluler dipisahkan oleh mem-bran
semipermeabel.

Volume kompartemen cairan sangat dipengaruhi oleh Na-trium dan


protein plasma. Natrium paling banyak terdapat
di cairan ekstraseluler, di cairan intravaskuler (plasma) dan
interstisial kadarnya sekitar 140 mEq/L.
Pergerakan cairan antar kompartemen terjadi secara osmo-sis melalui
membran semipermeabel, yang terjadi apabila
kadar total solute di kedua sisi membran berbeda. Air akan
9
berdifusi melalui membran untuk menyamakan osmolalitas.
Pergerakan air ini dilawan oleh tekanan osmotik koloid. Te-kanan
osmotik koloid atau tekanan onkotik sangat dipen-garuhi oleh albumin.
Apabila kadar albumin rendah, maka
tekanan onkotik rendah sehingga tekanan hidrostatik domi-nan
mengakibatkan ekstravasasi dan terjadi edema.
Cairan ekstraseluler adalah tempat distribusi Na+, sedangkan cairan
intravaskuler adalah tempat distribusi protein
plasma dan koloid; juga tempat distribusi K+, PO4– .Elektrolit
terpenting di dalam cairan intraseluler: K+ dan PO4- dan di cairan
ekstraseluler: Na+ dan Cl–.

Kebutuhan air dan elektrolit perhari:


Dewasa:
• Air 30 – 35 ml/kg Setiap kenaikan suhu 1oC diberi tambahan 10-15
%
• K+ 1 mEq/kg ( 60 mEq/hari atau 4,5 g )
• Na+ 1-2 mEq/kg ( 100 mEq/hari atau 5,9 g )

Bayi dan Anak:


• Air 0-10 kg: 4 ml/kg/jam ( 100 ml/g ) 10-20 kg: 40 ml + 2 ml/kg/jam
setiap kg di atas 20 kg (1000 ml + 50 ml/kg di atas 10 kg) > 20 kg : 60
ml + 1 ml/kg/jam setiap kg di atas 20 kg (1500 ml + 20 ml/kg di atas 20
kg)
• K+ 2 mEq/kg (2-3 mEq/kg)
• Na+ 2 mEq/kg (3-4 mEq/kg)

Kompartemen Cairan Tubuh

1. Cairan Kristaloid
• BM rendah ( < 8000 Dalton ) dengan atau tanpa glukosa
• Tekanan onkotik rendah, sehingga cepat terdistribusi ke

10
seluruh ruang ekstraseluler
• Mengandung elektrolit: Ringer lactate, Ringer’s solution,
NaCl 0,9 %
• Tidak mengandung elektrolit: Dekstrosa 5 %
2. Cairan Koloid
• BM tinggi ( > 8000 Dalton )
• Tekanan onkotik tinggi, sehingga sebagian besar akan
tetap tinggal di ruang intravaskuler
• Termasuk golongan ini: Albumin, Plasma protein frac-tion :
Plasmanat, Produk darah : sel darah merah,
Koloid sintetik: Dekstran, Hydroxyethyl starch
3. Cairan Khusus
• Dipergunakan untuk indikasi khusus atau koreksi; misal:
NaCl 3 %, Sodium-bikarbonat, Mannitol, Natrium laktat
hipertonik
Ada pula cairan kombinasi, misal: Ringer dan Dekstrosa 5 %;
NaCl 0,45 % dan Dekstrosa 5 %.
Osmolaritas adalah konsentrasi osmolal suatu larutan bila
dinyatakan sebagai osmol per liter larutan (osm/L).
Osmolalitas adalah konsentrasi osmolal suatu larutan bila
dinyatakan sebagai osmol per kilogram air (osm/kg). Tonisitas
merupakan osmolalitas relatif suatu larutan. Osmolaritas total setiap
kompartemen adalah 280 – 300 mOsm/L.
Larutan dikatakan isotonik, jika tonisitasnya sama dengan
tonisitas serum darah yaitu 275 – 295 mOsm/kg.
Osmosis adalah bergeraknya molekul ( zat terlarut ) melalui
membran semipermeabel dari larutan dengan kadar rendah
menuju larutan dengan kadar tinggi sampai kadarnya sama.
Seluruh membran sel dan kapiler permeabel terhadap air,
sehingga tekanan osmotik cairan tubuh di seluruh kompar-temen
sama. Membran semipermeabel dapat dilalui air (
pelarut ), tetapi tidak dapat dilalui zat terlarut.

11
Difusi adalah peristiwa bergeraknya molekul melalui pori-pori. Larutan
akan bergerak dari yang berkonsentrasi
tinggi menuju konsentrasi rendah.Tekanan hidrostatik di
dalam pembuluh darah akan mendorong air secara difusi
masuk melalui pori-pori. Difusi tergantung kepada tekanan
hidrostatik dan perbedaan konsentrasi.
Perpindahan air dan zat terlarut di bagian tubuh menggu-nakan
mekanisme transpor pasif dan aktif.
Mekanisme transpor pasif tidak membutuhkan energi; me-kanisme
transpor aktif membutuhkan energi berkaitan den-gan Na-K Pump
yang membutuhkan energi ATP.
Kalium-Sodium pump adalah pompa yang memompa ion
natrium keluar melalui membran sel dan pada saat yang
bersamaan memompa ion kalium ke dalam sel. Bekerja un-tuk
mencegah keadaan hiperosmolar di dalam sel.

Jenis cairan berdasarkan tujuan terapi:


1. Cairan rumatan ( maintenance ).
Bersifat hipotonis: konsentrasi partikel terlarut < konsentrasi
cairan intraseluler (CIS); menyebabkan air berdifusi ke da-lam sel.
Tonisitas < 270 mOsm/kg; misal: Dekstrosa 5 %, Dekstrosa
5 % dalam Salin 0,25 %
2. Cairan pengganti ( resusitasi, substitusi )
Bersifat isotonis: konsentrasi partikel terlarut = CIS; no net
water movement melalui membran sel semipermeabel
Tonisitas 275 – 295 mOsm/kg; misal : NaCl 0,9 %, Lactate
Ringer’s, koloid
3. Cairan khusus
Bersifat hipertonis: konsentrasi partikel terlarut > CIS; me-nyebabkan
air keluar dari sel, menuju daerah dengan kon-sentrasi lebih tinggi
Tonisitas > 295 mOsm/kg; misal: NaCl 3 %, Mannitol, Sodi-um-
bikarbonat, Natrium laktat hipertonik

12
RESUSITASI CAIRAN
Tujuan resusitasi cairan adalah untuk memperbaiki volume
sirkulasi, agar tidak terjadi gangguan perfusi jaringan dan
oksigenasi sel, sehingga dapat mencegah iskemi jaringan
dan gagal organ.
Pemilihan jenis cairan harus atas dasar pertimbangan kom-partemen
yang terganggu atau yang mengalami defi sit.
Defi sit cairan jika tidak segera diresusitasi cairan akan me-nyebabkan
syok dengan segala akibatnya.
Defi sit cairan intraseluler
Kadar natrium yang tinggi, menunjukkan defi sit cairan in-traseluler.
Larutan elektrolit hipotonis akan mengisi kompartemen
intraseluler lebih banyak daripada kompartemen intra-vaskuler dan
interstisial sehingga lebih tepat diberikan pada
keadaan dehidrasi yang telah berlangsung lama. Konsentrasi Na+
larutan ini lebih rendah daripada konsentrasi Na+ plasma. Glukosa
ditambahkan untuk membuat agar larutan
menjadi isotonik.
Di dalam tubuh, glukosa dari cairan infus akan cepat men-galami
metabolisme menjadi air sehingga tekanan osmotiknya menjadi lebih
rendah dari plasma.
Pada defi sit cairan intraseluler dapat diberi cairan hipotonis
seperti D5W (5% Dextrose in water) atau cairan yang ban-yak
mengandung K+, Mg++, HPO4-.
Cairan hipotonis mempunyai osmolaritas lebih rendah dari
serum ( kadar Na+ lebih rendah) sehingga pemberiannya
akan menurunkan osmolaritas serum. Maka cairan akan “di-tarik” dari
dalam pembuluh darah ke jaringan sekitar ( prin-sip cairan berpindah
dari osmolaritas rendah ke osmolaritas
tinggi ) sampai akhirnya mengisi sel-sel yang dituju.
Resusitasi dinyatakan berhasil , apabila:

13
• MAP (Mean Arterial Pressure) ≥ 65 mmHg
• CVP (Central Venous Pressure ) 8 – 12 mmHg
• Urine output ≥ 0,5 ml/kg/jam
• Central venous ( vena cava superior ) atau mixed venous
oxygen saturation ≥ 70 %
• Status mental normal
Red blood cells excess ( hemokonsentrasi ).
Kadar hematokrit ( Ht ) 50 % - 65 %, bahkan sampai 80 %.
Keadaan ini dapat menyebabkan: trombosis, sludging dan
restrictive circulation.
Terapi: Albumin atau Kristaloid untuk menurunkan hema-tokrit
maksimum 65 %.

CAIRAN UNTUK RESUSITASI


Cairan untuk resusitasi umumnya bersifat isotonis atau ter-gantung
kompartemen yang akan diresusitasi.
Golongan Kristaloid
1. Ringer’s Lactate
Cairan paling fi siologis jika diperlukan volume besar.
Banyak digunakan sebagai terapi cairan pengganti (resus-itasi atau
replacement therapy), misalnya pada: syok hipov-olemik, diare, trauma
dan luka bakar.
Laktat dalam RL akan dimetabolisme oleh hati menjadi
bikarbonat untuk memperbaiki keadaan, misal asidosis me-tabolik.
Kalium dalam RL tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari,
apalagi untuk kasus defi sit kalium.
Tidak mengandung glukosa, sehingga sebagai cairan ruma-tan
( maintenance) harus ditambah glukosa untuk mencegah
ketosis.
Pemberian maksimal 2000 ml per hari.
2. NaCl 0,9 % ( Normal saline )
Dipakai sebagai cairan resusitasi ( replacement therapy ),

14
terutama pada kasus:
• kadar Na+ rendah
• jika RL tidak cocok (alkalosis, retensi K+)
• cairan terpilih untuk trauma kepala
• untuk mengencerkan eritosit sebelum transfusi
Mempunyai kekurangan:
• tidak mengandung HCO3–
• tidak mengandung K+
• kadar Na+ dan Cl– relatif tinggi, sehingga dapat terjadi
asidosis hiperkloremia, asidosis dilusional, dan hiperna-tremia
Pemberian maksimal 1500 ml per hari
3. Dekstrosa 5 %
Dipergunakan sebagai cairan rumatan (maintenance) pada
pasien dengan pembatasan asupan natrium atau sebagai
cairan pengganti pada pure water defi cit.
Penggunaan perioperatif:
• berlangsungnya metabolisme
• menyediakan kebutuhan air
• mencegah hipoglikemi
• mempertahankan protein yang ada; dibutuhkan mini-mal 100 g
karbohidrat untuk mencegah dipecahnya
kandungan protein tubuh
• menurunkan kadar asam lemak bebas dan keton
• mencegah ketosis, dibutuhkan minimal 200 g karbohid-rat
Cairan infus mengandung dekstrosa, khususnya Dekstrosa 5
% tidak boleh diberikan pada pasien trauma kepala (neu-ro-trauma)
karena dekstrosa dan air akan berpindah secara
bebas ke dalam sel otak. Di dalam sel otak (intraseluler),
dekstrosa akan dimetabolisir yang akan menyebabkan ede-ma otak.
Golongan Koloid
1. HES ( Hydroxyethyl Starch )
a. Pelarut NaCl 0,9 %: Wida HES, HES Steril

15
b. Pelarut elektrolit berimbang: FIMAHES
2. Gelatin
3. Dekstran
4. Albumin
Keuntungan HES:
• menyumpal kebocoran ( sealing effect )
• memiliki efek antiinfl amasi, dengan cara menghambat
produksi mediator infl amasi NF-Kappa β, sehingga da-pat digunakan
pada kasus infl amasi ( sepsis )
Jumlah cairan yang diperlukan :
Δ PV = volume infus ( PV/dV )
Δ PV = perubahan PV yang diharapkan
dV = volume distribusi cairan infus

DAFTAR PUSTAKA

Sunatrio S. Resusitasi Cairan. Media Aesculapius FKUI: Jakarta, 2000


Agus-tus.

Surjiani-Karsono. Prinsip Dasar Resusitasi Cairan. PT Widatra Bhakti:


2005.
http: // koas kamar 13.wordpress.com/2007/11/09/terapi-cairan

Fluid Replacement.http://en.wikipedia.org/wiki/fl uid replacement

Arifi anto. Pemberian cairan intravena. http:


//www.sehatgroup.web.id/guidelines/isi Guide.asp? Guide ID=6.

16

Anda mungkin juga menyukai