Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
I.1

Latar Belakang
Cairan intravena
Kehilangan cairan terjadi setiap saat dan mutlak diganti agar metabolisme tubuh
dapat berlangsung normal. Harus ada keseimbangan antara jumlah air yang berasal dari
masukkan serta dari hasil oksidasi karbohidrat, lemak dan protein dan pada satu pihak
lain dengan keluarnya air melalui ginjal, paru, kulit dan saluran cerna. Keseimbangan air
ini dikelola dengan pengaturan masukkan dan pengeluaran.
Air tubuh terdapat didalam sel (intrasel) dan diluar sel (ekstrasel).Cairan
extraselular meliputi cairan interstisial dan plasma yang mempunyai komposisi yang
sama. Natrium merupakan kation terpenting sedangkan anion terpenting adalah klorida
dan bikarbonant. Kation terpenting pada intrasel adalah kalium dan magnesium
sedangkan anion terpenting adalah fosfat organik, protein dan sulfat. Biasanya perubahan
komposisi plasma darah mencerminkan perubahan yang terjadi dalam semua cairan
tubuh.
Kehilangan cairan normal berlangsung akibat pemakaian energi yang dapat dibagi
menjadi tiga kategori yaitu kehilangan cairan insensibel, produksi urin serta kehilangan
cairan melalui tinja. Selain itu dapat terjadi kehilangan cairan abnormal yang disebabkan
oleh berbagai penyakit yang berupa pengurangan masukkan cairan atau peningkatan
pengeluaran cairan. Pemenuhan cairan berdasarkan kehilangan cairan akibat penyakit dan
kehilangan yang tetap berlangsung secara normal.
Cara pemberian cairan akibat kehilangan oleh karena penyakit bisa diberikan
secara oral ataupun parenteral. Perlu diperhatikan bahwa sebaiknya pemberian cairan
diusahakan secara oral tapi pada keadaan yang tidak memungkinkan, dapat pula
diberikan secara intravena.D alam pelaksanaannya pemberian cairan secara intravena
pada bayi dan anak yang sakit perlu diperhatikan hal-hal seperti pemilihan jenis cairan,
jumlah dan lama pemberian yang disesuaikan dengan keadaan penyakit dan gejala klinik
lainnya karena terdapat perbedaan komposisi, metabolisme dan derajat kematangan
sistem pengaturan air dan elektrolit.

Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi
kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ,
disebabkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang
tidak adekuat. Paling sering, syok hipovolemik merupakan akibat kehilangan darah yang
cepat (syok haemoragik).
Kehilangan darah dari luar yang akut akibat trauma tembus dan perdarahan
gastrointestinal yang berat merupakan dua penyebab yang paling sering pada syok
hemoragik. Syok hemoragik juga dapat merupakan akibat dari kehilangan darah yang
akut

secara

signifikan

dalam

rongga

dada

dan

rongga

abdomen.

Dua penyebab utama kehilangan darah dari dalam yang cepat adalah cedera pada organ
padat dan rupturnya aneurisma aorta abdominalis. Syok hipovolemik dapat merupakan
akibat dari kehilangan cairan yang signifikan (selain darah). Dua contoh syok
hipovolemik yang terjadi akibat kehilangan cairan, antara lain gastroenteritis refrakter
dan luka bakar yang luas. Pembahasan utama dari referat ini adalah syok hipovolemik
akibat kehilangan darah dan kontraversi mengenai penanganannya. Referat ini dianjurkan
untuk mendiskusikan tentang patofisiologi dan penanganan syok hipovolemik akibat
kehilangan cairan dibandingkan darah.
Banyak cedera yang mengancam kehidupan yang terjadi selama perang tahun
1900-an yang berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan prinsip resusitasi
syok hemoragik. Selama perang Dunia I, W.B Cannon menganjurkan menunda resusitasi
cairan hingga penyebab syok hemoargik ditangani dengan pembedahan. Kristaloid dan
darah digunakan secara luas selama Perang Dunia II untuk penanganan pasien yang
kondisinya tidak stabil. Pengalaman dari perang Korea dan Vietnam menunjukkan bahwa
resusitasi volume dan intervensi bedah segera sangat penting pada cedera yang
menyebabkan syok hemoragik. Prinsip ini dan prinsip yang lain membantu pada
perkembangan pedoman yang ada untuk penanganan syok hemoragik traumatik. Namun,
peneliti terbaru telah mempertanyakan pedoman ini, dan sekarang, muncul kontraversi
seputar penangan minimal pada syok haemoragik.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
SYOK
II. 1

Definisi dan Penyebab Syok


Syok adalah suatu sindrom klinis akibat kegagalan akut fungsi sirkulasi yang
menyebabkan ketidakcukupan perfusi jaringan dan oksigenasi jaringan, dengan akibat
gangguan mekanisme homeostasis. Berdasarkan penelitian Moyer dan Mc Clelland
tentang fisiologi keadaan syok dan homeostasis, syok adalah keadaan tidak cukupnya
pengiriman oksigen ke jaringan. Syok merupakan keadaan gawat yang membutuhkan
terapi yang agresif dan pemantauan yang kontinyu atau terus-menerus di unit terapi
intensif.

Syok secara klinis didiagnosa dengan adanya gejala-gejala seperti berikut:


1. Hipotensi: tekanan sistole kurang dari 80 mmHg atau TAR (tekanan arterial ratarata) kurang dari 60 mmHg, atau menurun 30% lebih.
2. Oliguria: produksi urin kurang dari 20 ml/jam.
3. Perfusi perifer yang buruk, misalnya kulit dingin dan berkerut serta pengisian
kapiler yang jelek.
Syok dapat diklasifikasi sebagai syok hipovolemik, kardiogenik, dan syok anafilaksis.
Di sini akan dibicarakan mengenai syok hipovolemik yang dapat disebabkan oleh
hilangnya cairan intravaskuler, misalnya terjadi pada:
1. Kehilangan darah atau syok hemoragik karena perdarahan yang mengalir keluar
tubuh seperti hematotoraks, ruptura limpa, dan kehamilan ektopik terganggu.
2. Trauma yang berakibat fraktur tulang besar, dapat menampung kehilangan darah yang
besar. Misalnya, fraktur humerus menghasilkan 5001000 ml perdarahan atau fraktur
femur menampung 10001500 ml perdarahan.
3. Kehilangan cairan intravaskuler lain yang dapat terjadi karena kehilangan protein
plasma atau cairan ekstraseluler, misalnya pada:
a. Gastrointestinal: peritonitis, pancreatitis, dan gastroenteritis
b. Renal: terapi diuretic, krisis penyakit Addison.
c. Luka bakar (kombustio) dan anafilaksis.
Pada syok, konsumsi oksigen dalam jaringan menurun akibat berkurangnya aliran
darah yang mengandung oksigen atau berkurangnya pelepasan oksigen ke dalam
jaringan. Kekurangan oksigen di jaringan menyebabkan sel terpaksa melangsungkan
metabolisme anaerob dan menghasilkan asam laktat. Keasaman jaringan bertambah
dengan adanya asam laktat, asam piruvat, asam lemak, dan keton (Stene-Giesecke, 1991).
Yang penting dalam klinik adalah pemahaman kita bahwa fokus perhatian syok
hipovolemik yang disertai asidosis adalah saturasi oksigen yang perlu diperbaiki serta
perfusi jaringan yang harus segera dipulihkan dengan penggantian cairan. Asidosis
merupakan urusan selanjutnya, bukan prioritas utama.
Manajemen cairan adalah penting dan kekeliuan menejemen dapat berakibat fatal.
Untuk mempertahankan keseimbangan cairan maka input cairan harus sama untuk

mengganti cairan yang hilang. Cairan itu termasuk air dan elektrolit. Tujuan terapi cairan
bukan untuk kesempurnaan keseimbangan cairan, tetapi penyelamatan jiwa dengan
menurunkan angka mortalitas.
Perdarahan yang banyak (syok hemoragik) akan menyababkan gangguan pada fungsi
kardiovaskuler. Syok hipovolemik karena perdarahan akibat lanjutan dari gangguan
fungsi kardiovaskuler. Pada keadaan demikian, memperbaiki keadaan umum dengan
mengatasi syok yang terjadi dapat dilakukan dengan pemberian cairan elektrolit, plasma,
atau darah. Untuk memperbaiki sirkulasi langkah utamanya adalah mengupayakan aliran
vena yang memadai.

II. 2

Patofisiologi
Tubuh manusia berespon terhadap perdarahan akut dengan mengaktivasi sistem
fisiologi utama sebagai berikut: sistem hematologi, kardiovaskuler, ginjal, dan sistem
neuroendokrin.
Sistem hematologi berespon terhadap kehilangan darah yang berat dan akut
dengan mengaktivasi kaskade koagulasi dan vasokonstriksi pembuluh darah (melalui
pelelepasan tromboksan A2 lokal). Selain itu, platelet diaktivasi (juga melalui pelepasan
tromboksan A2 lokal) dan membentuk bekuan darah immatur pada sumber perdarahan.
Pembuluh darah yang rusak menghasilkan kolagen, yang selanjutnya menyebabkan
penumpukan fibrin dan menstabilkan bekuan darah. Dibutuhkan waktu sekitar 24 jam
untuk menyempurnakan fibrinasi dari bekuan darah dan menjadi bentuk yang sempurna.
Sistem kardiovaskuler pada awalnya berespon terhadap syok hipovolemik dengan
meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas miokard, dan vasokonstriksi
pembuluh darah perifer. Respon ini terjadi akibat peningkatan pelepasan norepinefrin dan
penurunan ambang dasar tonus nervus vagus (diatur oleh baroreseptor di arcus caroticus,
arcus aorta, atrium kiri, dan penbuluh darah pulmonal). Sistem kardiovaskuler juga

berespon dengan mengalirkan darah ke otak, jantung, dan ginjal dengan mengurangi
perfusi kulit, otot, dan traktus gastrointestinal.
Sistem renalis berespon terhadap syok hemoragik dengan peningkatan sekresi
renin dari apparatus juxtaglomeruler. Renin akan mengubah angiotensinogen menjadi
angiotensin I, yang selanjutnya akan dikonversi menjadi angiotensin II di paru-paru dah
hati. Angotensin II mempunyai 2 efek utama, yang keduanya membantu perbaikan
keadaan pada syok hemoragik, yaitu vasokonstriksi arteriol otot polos, dan menstimulasi
sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron bertanggungjawab pada reabsorbsi
aktif natrium dan akhirnya akan menyebabkan retensi air.
Sistem neuroendokrin berespon terhadap syok hemoragik dengan meningkatan
Antidiuretik Hormon (ADH) dalam sirkulasi. ADH dilepaskan dari glandula pituitari
posterior sebagai respon terhadap penurunan tekanan darah (dideteksi oleh baroreseptor)
dan terhadap penurunan konsentrasi natrium (yang dideteksi oleh osmoreseptor). Secara
tidak langsung ADH menyebabkan peningkatan reabsorbsi air dan garam (NaCl) pada
tubulus distalis, duktus kolektivus, dan lengkung Henle.
Patofisiologi dari syok hipovolemik itu telah tercakup pada apa yang ditulis
sebelumnya. Referensi untuk bacaan selanjutnya dapat ditemukan pada bibliografi.
Mekanisme yang rumit yang telah dijelaskan sebelumnya efektif dalam memenuhi
perfusi organ vital pada kehilangan darah yang berat. Tanpa resusitasi cairan dan darah
dan atau koreksi keadaan patologi yang mendasari perdarahan, perfusi jantung akhirnya
akan

II. 3

berkurang,

dan

kegagalan

berbagai

organ

akan

segera

terjadi.

Gejala dan Tanda Klinis


Sistem Kardiovaskuler
a. Gangguan sirkulasi perifer - pucat, ekstremitas dingin. Kurangnya pengisian vena
perifer lebih bermakna dibandingkan penurunan tekanan darah.
b. Nadi cepat dan halus

c. Hipotensi, karena tekanan darah adalah produk resistensi pembuluh darah


sistemik dan curah jantung, vasokonstriksi perifer adalah faktor yang esensial
dalam mempertahankan tekanan darah. Autoregulasi aliran darah otak dapat
dipertahankan selama tekanan arteri turun tidak di bawah 70 mmHg. Hal ini
kurang bisa menjadi pegangan, karena adanya mekanisme kompensasi sampai
terjadi kehilangan 1/3 dari volume sirkulasi darah.
d. Vena perifer kolaps. Vena leher merupakan penilaian yang paling baik.
e. CVP rendah.
Sistem Respirasi
Pernapasan cepat dan dangkal.

Sistem Saraf Pusat


Perubahan mental pasien syok sangat bervariasi. Bila tekanan darah rendah sampai
menyebabkan hipoksia otak, pasien menjadi gelisah sampai tidak sadar. Obat sedatif
dan analgetika jangan diberikan sampai yakin bahwa gelisahnya pasien memang
karena kesakitan.
Sistem Saluran Cerna
Bisa terjadi mual dan muntah.
Sistem Saluran Kencing
Produksi urin berkurang. Normal rata-rata produksi urin pasien dewasa adalah 60
ml/jam (1/5--1 ml/kg/jam).
Pada penderita yang mengalami hipovolemia selama beberapa saat, dia akan
menunjukkan adanya tanda-tanda dehidrasi seperti: (1) Turunnya turgor jaringan; (2)

Mengentalnya sekresi oral dan trakhea, bibir dan lidah menjadi kering; serta (3) Bola
mata cekung.
Akumulasi asam laktat pada penderita dengan tingkat cukup berat, disebabkan
oleh metabolisme anaerob. Asidosis laktat tampak sebagai asidosis metabolik dengan
celah ion yang tinggi. Selain berhubungan dengan syok, asidosis laktat juga berhubungan
dengan kegagalan jantung (decompensatio cordis), hipoksia, hipotensi, uremia,
ketoasidosis diabetika (hiperglikemi, asidosis metabolik, ketonuria), dan pada dehidrasi
berat.
Tempat metabolisme laktat terutama adalah di hati dan sebagian di ginjal. Pada
insufisiensi hepar, glukoneogenesis hepatik terhambat dan hepar gagal melakukan
metabolisme laktat. Pemberian HCO3 (bikarbonat) pada asidosis ditangguhkan sebelum
pH darah turun menjadi 7,2. Apabila pH 7,07,15 dapat digunakan 50 ml NaHCO3 8,4%
selama satu jam. Sementara, untuk pH < 7,0 digunakan rumus 2/2 x berat badan x
kelebihan basa.

II. 4

Pemeriksaan Laboratorium dan Hematologi


Pemeriksaan

laboratorium

sangat

bermanfaat

untuk

menentukan

kadar

hemoglobin dan nilai hematokrit. Akan tetapi, resusitasi cairan tidak boleh ditunda
menunggu hasil pemeriksaan. Hematokrit pasien dengan syok hipovolemik mungkin
rendah, normal, atau tinggi, tergantung pada penyebab syok.Jika pasien mengalami
perdarahan lambat atau resusitasi cairan telah diberikan, nilai hematokrit akan rendah.
Jika hipovolemia karena kehilangan volume cairan tubuh tanpa hilangnya sel darah
merah seperti pada emesis, diare, luka bakar, fistula, hingga mengakibatkan cairan
intravaskuler menjadi pekat (konsentarted) dan kental, maka pada keadaan ini nilai
hematokrit menjadi tinggi.
II.5

Diagnosa Differensial

Syok hipovolemik menghasilkan mekanisme kompensasi yang terjadi pada


hampir semua organ tubuh. Hipovolemia adalah penyebab utama syok pada trauma
cedera. Syok hipovolemik perlu dibedakan dengan syok hipoglikemik karena
penyuntikan insulin berlebihan. Hal ini tidak jarang terjadi pada pasien yang dirawat di
Unit Gawat Darurat.Akan terlihat gejala-gejala seperti kulit dingin, berkeriput, oligurik,
dan takhikardia. Jika pada anamnesa dinyatakan pasien sebelumnya mendapat insulin,
kecurigaan hipoglikemik sebaiknya dipertimbangkan. Untuk membuktikan hal ini,
setelah darah diambil untuk pemeriksaan laboratorium (gula darah sewaktu), dicoba
pemberian 50 ml glukosa 50% intravena atau 40 ml larutan dextrose 40% intravena.
II. 6

Penanggulangan Syok
Penanggulangan syok dimulai dengan tindakan umum yang bertujuan untuk
memperbaiki perfusi jaringan; memperbaiki oksigenasi tubuh; dan mempertahankan suhu
tubuh. Tindakan ini tidak bergantung pada penyebab syok. Diagnosis harus segera
ditegakkan sehingga dapat diberikan pengobatan kausal.
Segera berikan pertolongan pertama sesuai dengan prinsip resusitasi ABC. Jalan
nafas (A = air way) harus bebas kalau perlu dengan pemasangan pipa endotrakeal.
Pernafasan (B = breathing) harus terjamin, kalau perlu dengan memberikan ventilasi
buatan dan pemberian oksigen 100%. Defisit volume peredaran darah (C = circulation)
pada syok hipovolemik sejati atau hipovolemia relatif (syok septik, syok neurogenik, dan
syok anafilaktik) harus diatasi dengan pemberian cairan intravena dan bila perlu
pemberian obat-obatan inotropik untuk mempertahankan fungsi jantung atau obat
vasokonstriktor untuk mengatasi vasodilatasi perifer.
Segera menghentikan perdarahan yang terlihat dan mengatasi nyeri yang hebat,
yang juga bisa merupakan penyebab syok. Pada syok septik, sumber sepsis harus dicari
dan ditanggulangi.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan sebagai pertolongan pertama dalam menghadapi
syok:

Posisi Tubuh
1. Posisi tubuh penderita diletakkan berdasarkan letak luka. Secara umum posisi
penderita dibaringkan telentang dengan tujuan meningkatkan aliran darah ke organorgan vital.
2. Apabila terdapat trauma pada leher dan tulang belakang, penderita jangan digerakkan
sampai persiapan transportasi selesai, kecuali untuk menghindari terjadinya luka yang
lebih parah atau untuk memberikan pertolongan pertama seperti pertolongan untuk
membebaskan jalan napas.
3. Penderita yang mengalami luka parah pada bagian bawah muka, atau penderita tidak
sadar, harus dibaringkan pada salah satu sisi tubuh (berbaring miring) untuk
memudahkan cairan keluar dari rongga mulut dan untuk menghindari sumbatan jalan
nafas oleh muntah atau darah. Penanganan yang sangat penting adalah meyakinkan
bahwa saluran nafas tetap terbuka untuk menghindari terjadinya asfiksia.
4. Penderita dengan luka pada kepala dapat dibaringkan telentang datar atau kepala agak
ditinggikan. Tidak dibenarkan posisi kepala lebih rendah dari bagian tubuh lainnya.
5. Kalau masih ragu tentang posisi luka penderita, sebaiknya penderita dibaringkan
dengan posisi telentang datar.
6. Pada penderita-penderita syok hipovolemik, baringkan penderita telentang dengan
kaki ditinggikan 30 cm sehingga aliran darah balik ke jantung lebih besar dan tekanan
darah menjadi meningkat. Tetapi bila penderita menjadi lebih sukar bernafas atau
penderita menjadi kesakitan segera turunkan kakinya kembali.
Pertahankan Respirasi
1. Bebaskan jalan napas. Lakukan penghisapan, bila ada sekresi atau muntah.
2. Tengadah kepala-topang dagu, kalau perlu pasang alat bantu jalan nafas
(Gudel/oropharingeal airway).

3. Berikan oksigen 6 liter/menit


4. Bila pernapasan/ventilasi tidak adekuat, berikan oksigen dengan pompa sungkup
(Ambu bag) atau ETT.
Pertahankan Sirkulasi
Segera pasang infus intravena. Bisa lebih dari satu infus. Pantau nadi, tekanan
darah, warna kulit, isi vena, produksi urin, dan (CVP).
Cari dan Atasi Penyebab
Syok Hipovolemik
Perdarahan merupakan penyebab tersering dari syok pada pasien-pasien trauma,
baik oleh karena perdarahan yang terlihat maupun perdarahan yang tidak terlihat.
Perdarahan yang terlihat, perdarahan dari luka, atau hematemesis dari tukak lambung.
Perdarahan yang tidak terlihat, misalnya perdarahan dari saluran cerna, seperti tukak
duodenum, cedera limpa, kehamilan di luar uterus, patah tulang pelvis, dan patah tulang
besar atau majemuk.
Syok hipovolemik juga dapat terjadi karena kehilangan cairan tubuh yang lain.
Pada luka bakar yang luas, terjadi kehilangan cairan melalui permukaan kulit yang
hangus atau di dalam lepuh. Muntah hebat atau diare juga dapat mengakibatkan
kehilangan banyak cairan intravaskuler. Pada obstruksi, ileus dapat terkumpul beberapa
liter cairan di dalam usus. Pada dibetes atau penggunaan diuretik kuat, dapat terjadi
kehilangan cairan karena diuresis yang berlebihan. Kehilangan cairan juga dapat
ditemukan pada sepsis berat, pankreatitis akut, atau peritonitis purulenta difus.
Pada syok hipovolemik, jantung akan tetap sehat dan kuat, kecuali jika miokard
sudah mengalami hipoksia karena perfusi yang sangat berkurang. Respons tubuh
terhadap perdarahan bergantung pada volume, kecepatan, dan lama perdarahan. Bila
volume intravaskular berkurang, tubuh akan selalu berusaha untuk mempertahankan
perfusi organ-organ vital (jantung dan otak) dengan mengorbankan perfusi organ lain

seperti ginjal, hati, dan kulit. Akan terjadi perubahan-perubahan hormonal melalui sistem
renin-angiotensin-aldosteron, sistem ADH, dan sistem saraf simpatis. Cairan interstitial
akan masuk ke dalam pembuluh darah untuk mengembalikan volume intravaskular,
dengan akibat terjadi hemodilusi (dilusi plasma protein dan hematokrit) dan dehidrasi
interstitial.
Dengan demikain, tujuan utama dalam mengatasi syok perdarahan adalah
menormalkan kembali volume intravaskular dan interstitial. Bila defisit volume
intravaskular hanya dikoreksi dengan memberikan darah maka masih tetap terjadi defisit
interstitial, dengan akibat tanda-tanda vital yang masih belum stabil dan produksi urin
yang kurang. Pengembalian volume plasma dan interstitial ini hanya mungkin bila
diberikan kombinasi cairan koloid (darah, plasma, dextran, dsb) dan cairan garam
seimbang.
Penanggulangan
Pasang satu atau lebih jalur infus intravena no. 18/16. Infus dengan cepat larutan
kristaloid atau kombinasi larutan kristaloid dan koloid sampai vena (v. jugularis) yang
kolaps terisi. Sementara, bila diduga syok karena perdarahan, ambil contoh darah dan
mintakan darah. Bila telah jelas ada peningkatan isi nadi dan tekanan darah, infus harus
dilambatkan. Bahaya infus yang cepat adalah udem paru, terutama pasien tua. Perhatian
harus ditujukan agar jangan sampai terjadi kelebihan cairan.
Pemantauan
Nadi:

nadi

yang

perlu

yang

dilakukan
cepat

dalam

menentukan

menunjukkan

adanya

kecepatan

infus:

hipovolemia.

Tekanan darah: bila tekanan darah < 90 mmHg pada pasien normotensi atau tekanan
darah turun > 40 mmHg pada pasien hipertensi, menunjukkan masih perlunya transfusi
cairan.
Produksi urin. Pemasangan kateter urin diperlukan untuk mengukur produksi urin.
Produksi urin harus dipertahankan minimal 1/2 ml/kg/jam. Bila kurang, menunjukkan
adanya hipovolemia. Cairan diberikan sampai vena jelas terisi dan nadi jelas teraba. Bila
volume intra vaskuler cukup, tekanan darah baik, produksi urin < 1/2 ml/kg/jam, bisa

diberikan Lasix 20-40 mg untuk mempertahankan produksi urine. Dopamin 2--5


g/kg/menit bisa juga digunakan pengukuran tekanan vena sentral (normal 8--12
cmH2O), dan bila masih terdapat gejala umum pasien seperti gelisah, rasa haus, sesak,
pucat, dan ekstremitas dingin, menunjukkan masih perlu transfusi cairan.

BAB III
RESUSITASI CAIRAN

III. 1

Manajemen Resusitasi cairan


Manajemen resusitasi cairan adalah penting dan kekeliruan manajemen dapat
berakibat fatal. Untuk mempertahankan keseimbangan cairan maka input cairan harus
sama untuk mengganti cairan yang hilang. Cairan itu termasuk air dan elektrolit. Tujuan

terapi cairan bukan untuk kesempurnaan keseimbangan cairan, tetapi penyelamatan jiwa
dengan menurunkan angka mortalitas.
Perdarahan yang banyak (syok hemoragik) akan menyebabkan gangguan pada
fungsi kardiovaskuler. Syok hipovolemik karena perdarahan merupakan akibat lanjut.
Pada keadaan demikian, memperbaiki keadaan umum dengan mengatasi syok yang
terjadi dapat dilakukan dengan pemberian cairan elektrolit, plasma, atau darah.Untuk
perbaikan sirkulasi, langkah utamanya adalah mengupayakan aliran vena yang memadai.
Mulailah dengan memberikan infus Saline atau Ringer Laktat isotonis. Sebelumnya,
ambil darah 20 ml untuk pemeriksaan laboratorium rutin, golongan darah, dan bila
perlu Cross test. Perdarahan berat adalah kasus gawat darurat yang membahayakan jiwa.
Jika hemoglobin rendah maka cairan pengganti yang terbaik adalah tranfusi darah.
Resusitasi cairan yang cepat merupakan landasan untuk terapi syok hipovolemik.
Sumber kehilangan darah atau cairan harus segera diketahui agar dapat segera dilakukan
tindakan. Cairan infus harus diberikan dengan kecepatan yang cukup untuk segera
mengatasi defisit atau kehilangan cairan akibat syok. Penyebab yang umum dari
hipovolemia adalah perdarahan, kehilangan plasma atau cairan tubuh lainnya seperti luka
bakar, peritonitis, gastroenteritis yang lama atau emesis, dan pankreatitis akut.

III. 2 Macam- Macam Jenis Cairan


Umumnya terapi cairan yang dapat diberikan berupa cairan kristaloid dan koloid
atau kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan yang mengandung air, elektrolit
dan atau gula dengan berbagai campuran. Cairan ini bisa isotonik, hipotonik, dan
hipertonik terhadap cairan plasma. Sedangkan cairan koloid yaitu cairan yang BM nya
tinggi 7,8.
Cairan Kristaloid

Cairan kristaloid terdiri dari:


1. Cairan Hipotonik
Cairan ini didistribusikan ke ekstraseluler dan intraseluluer. Oleh karena itu
penggunaannya ditujukan kepada kehilangan cairan intraseluler seperti pada dehidrasi
kronik dan pada kelainan keseimbangan elektrolit terutama pada keadaan
hipernatremi yang disebabkan oleh kehilangan cairan pada diabetes insipidus. Cairan
ini tidak dapat digunakan sebagai cairan resusitasi pada kegawatan. Contohnya
dextrosa 5%
2. Cairan Isotonik
Cairan isotonik terdiri dari cairan garam faali (NaCl 0,9%), ringer laktat dan
plasmalyte. Ketiga jenis cairan ini efektif untuk meningkatkan isi intravaskuler yang
adekuat dan diperlukan jumlah cairan ini 4x lebih besar dari kehilangannya. Cairan
ini cukup efektif sebagai cairan resusitasi dan waktu yang diperlukanpun relatif lebih
pendek dibanding dengan cairan koloid.
3. Cairan Hipertonik
Cairan ini mengandung natrium yang merupakan ion ekstraseluler utama. Oleh
karena itu pemberian natrium hipertonik akan menarik cairan intraseluler ke dalam
ekstra seluler. Peristiwa ini dikenal dengan infus internal. Disamping itu cairan
natrium hipertonik mempunyai efek inotropik positif antara lain mevasodilatasi
pembuluh darah paru dan sistemik. Cairan ini bermanfaat untuk luka bakar karena
dapat mengurangi edema pada luka bakar, edema perifer dan mengurangi jumlah
cairan yang dibutuhkan, contohnya NaCl 3%
Beberapa contoh cairan kristaloid :
a. Ringer Laktat (RL)
Larutan yang mengandung konsentrasi Natrium 130 mEq/L, Kalium 4 mEq/l,
Klorida 109 mEq/l, Kalsium 3 mEq/l dan Laktat 28 mEq/L. Laktat pada larutan ini

dimetabolisme di dalam hati dan sebagian kecil metabolisme juga terjadi dalam
ginjal. Metabolisme ini akan terganggu pada penyakit yang menyebabkan gangguan
fungsi hati. Laktat dimetabolisme menjadi piruvat kemudian dikonversi menjadi CO2
dan H2O (80% dikatalisis oleh enzim piruvat dehidrogenase) atau glukosa (20%
dikatalisis oleh piruvat karboksilase). Kedua proses ini akan membentuk HCO3.
Sejauh ini Ringer Laktat masih merupakan terapi pilihan karena komposisi
elektrolitnya lebih mendekati komposisi elektrolit plasma. Cairan ini digunakan untuk
mengatasi kehilangan cairan ekstra seluler yang akut. Cairan ini diberikan pada
dehidrasi berat karena diare murni dan demam berdarah dengue. Pada keadaan syok,
dehidrasi atau DSS pemberiannya bisa diguyur.
b. Ringer Asetat
Cairan ini mengandung Natrium 130 mEq/l, Klorida 109 mEq/l, Kalium 4
mEq/l, Kalsium 3 mEq/l dan Asetat 28 mEq/l. Cairan ini lebih cepat mengoreksi
keadaan asidosis metabolik dibandingkan Ringer Laktat, karena asetat dimetabolisir
di dalam otot, sedangkan laktat di dalam hati. Laju metabolisme asetat 250 400
mEq/jam, sedangkan laktat 100 mEq/jam. Asetat akan dimetabolisme menjadi
bikarbonat dengan cara asetat bergabung dengan ko-enzim A untuk membentuk asetil
ko-A., reaksi ini dikatalisis oleh asetil ko-A sintetase dan mengkonsumsi ion hidrogen
dalam

prosesnya.

Cairan

ini

bisa

mengganti

pemakaian

Ringer

Laktat.

c. Glukosa 5%, 10% dan 20%


Larutan yang berisi Dextrosa 50 gr/liter , 100 gr/liter , 200 gr/liter.9 Glukosa
5% digunakan pada keadaan gagal jantung sedangkan Glukosa 10% dan 20%
digunakan pada keadaan hipoglikemi , gagal ginjal akut dengan anuria dan gagal
ginjal akut dengan oliguria .
d. NaCl 0,9%

Cairan fisiologis ini terdiri dari 154 mEq/L Natrium dan 154 mEq/L Klorida,
yang digunakan sebagai cairan pengganti dan dianjurkan sebagai awal untuk
penatalaksanaan hipovolemia yang disertai dengan hiponatremia, hipokloremia atau
alkalosis metabolik. Cairan ini digunakan pada demam berdarah dengue dan renjatan
kardiogenik juga pada sindrom yang berkaitan dengan kehilangan natrium seperti
asidosis diabetikum, insufisiensi adrenokortikal dan luka bakar. Pada anak dan bayi
sakit penggunaan NaCl biasanya dikombinasikan dengan cairan lain, seperti NaCl
0,9% dengan Glukosa 5 %.
Cairan Koloid
Jenis-jenis cairan koloid adalah :
a. Albumin
Terdiri dari 2 jenis yaitu:
1. Albumin endogen.
Albumin endogen merupakan protein utama yang dihasilkan dihasilkan di hati
dengan BM antara 66.000 sampai dengan 69.000, terdiri dari 584 asam amino.
Albumin merupakan protein serum utama dan berperan 80% terhadap tekanan
onkotik plasma. Penurunan kadar Albumin 50 % akan menurunkan tekanan
onkotik plasmanya 1/3nya.

2. Albumin eksogen.
Albumin eksogen ada 2 jenis yaitu human serum albumin, albumin
eksogen yang diproduksi berasal dari serum manusia dan albumin eksogen yang
dimurnikan (Purified protein fraction) dibuat dari plasma manusia yang
dimurnikan.

Albumin ini tersedia dengan kadar 5% atau 25% dalam garam fisiologis.
Albumin 25% bila diberikan intravaskuler akan meningkatkan isi intravaskuler
mendekati 5x jumlah yang diberikan.Hal ini disebabkan karena peningkatan
tekanan onkotik plasma. Peningkatan ini menyebabkan translokasi cairan
intersisial ke intravaskuler sepanjang jumlah cairan intersisial mencukupi.
Komplikasi albumin adalah hipokalsemia yang dapat menyebabkan depresi fungsi
miokardium, reaksi alegi terutama pada jenis yang dibuat dari fraksi protein yang
dimurnikan. Hal ini karena faktor aktivator prekalkrein yang cukup tinggi dan
disamping itu harganya pun lebih mahal dibanding dengan kristaloid.8 Larutan ini
digunakan pada sindroma nefrotik dan dengue syok sindrom

3. HES (Hidroxy Ethyl Starch)


Senyawa

kimia

sintetis

yang

menyerupai

glikogen.

Cairan

ini

mengandung partikel dengan BM beragam dan merupakan campuran yang sangat


heterogen.Tersedia dalam bentuk larutan 6% dalam garam fisiologis. Tekanan
onkotiknya adalah 30 mmHg dan osmolaritasnya 310 mosm/l. HES dibentuk dari
hidroksilasi

aminopektin,

salah

satu

cabang

polimer

glukosa.8

Pada penelitian klinis dilaporkan bahwa HES merupakan volume ekspander yang
cukup efektif. Efek intarvaskulernya dapat berlangsung 3-24 jam. Pengikatan
cairan intravasuler melebihi jumlah cairan yang diberikan oleh karena tekanan
onkotiknya yang lebih tinggi. Komplikasi yang dijumpai adalah adanya gangguan
mekanisme pembekuan darah. Hal ini terjadi bila dosisnya melebihi 20 ml/ kgBB/
hari.
4. Dextran
Campuran dari polimer glukosa dengan berbagai macam ukuran dan berat
molekul. Dihasilkan oleh bakteri Leucomostoc mesenteriodes yang dikembang
biakkan di media sucrose. BM bervariasi dari beberapa ribu sampai jutaan Dalton.
Ada 2 jenis dextran yaitu dextran 40 dan 70. dextran 70 mempunyai BM 70.000

(25.000-125.000).

sediaannya

terdapat

dalam

konsentrasi

6%

dalam

garam fisiologis. Dextran ini lebih lambat dieksresikan dibandingkan dextran 40.
Oleh karena itu dextran 70 lebih efektif sebagai volume ekspander dan merupakan
pilihan terbaik dibadingkan dengan dextran 40.
Dextran 40 mempunyai BM 40.000 tersedia dalam konsentrasi 10% dalam
garam fisiologis atau glukosa 5%. Molekul kecil ini difiltrasi cepat oleh ginjal dan
dapat memberikan efek diuretik ringan. Sebagian kecil dapat menembus membran
kapiler dan masuk ke ruang intersisial dan sebagian lagi melalui sistim limfatik
kembali ke intravaskuler.
Pemberian dextran untuk resusitasi cairan pada syok dan kegawatan
menghasilkan perubahan hemodinamik berupa peningkatan transpor oksigen.
Cairan ini digunakan pad penyakit sindroma nefrotik dan dengue syok sindrom.
Komplikasi antara lain payah ginjal akut, reaksi anafilaktik dan gangguan
pembekuan darah.

5. Gelatin
Cairan ini banyak digunakan sebagai cairan resusitasi terutama pada orang
dewasa

dan

pada

bencana

1.Modified Fluid Gelatin (MFG)


2. Urea Bridged Gelatin (UBG)

alam.

Terdapat

bentuk

sediaan

yaitu:

Kedua cairan ini punya BM 35.000. Kedua jenis gelatin ini punya efek volume
expander yang baik pada kegawatan. Komplikasi yang sering terjadi adalah reaksi
anafilaksis.
Cairan Kombinasi
1. KaEn 1 B (GZ 3 : 1)
Larutan yang mengandung Natrium 38,5 mEq/L, Klorida 38,5 mEq/L.
Dextrose 37,5 gr/L. Cairan ini digunakan sebagai cairan rumatan pada penyakit
bronkopneumonia, status asmatikus dan bronkiolitis.
2. Cairan 2a
Larutan yang terdiri dari glukosa 5% dan NaCl 0,9 % dengan perbandingan 1 :
1 yang terdiri dari dextrosa monohidrat 55gr/L, dextrosa anhidrat 50 gr/L, Natrium
150 mmol/L dan klorida 150 mmol/L. Cairan ini digunakan pada diare dengan
komplikasi dan bronkopneumoni dengan komplikasi. Sedangkan campuran glukosa
10% dan NaCl 0,9 % dengan perbandingan 1:1 digunakan pada bronkopneumoni
dengan dehidrasi oleh karena intake kurang.

3. Cairan G:B 4:1


Larutan yang terdiri dari glukosa 5% dan Natrium Bikarbonat 1,5 % yang
merupakan campuran dari 500 cc Glukosa 5% dan 25 cc Natriun Bikarbonat 8,4%.
Cairan ini digunakan pada neonatus yang sakit
4. Cairan DG

Cairan ini terdiri dari Natriun 61 mEq/L, Kalium 18mEq/L serta Laktat 27
mEq/L dan Klorida 52 mEq/L serta Dextrosa 25 g/L.9 Cairan ini digunakan pada
diare dengan komplikasi.
5. Cairan Natrium Bicarbonat (Meylon)
Cairan ini mengandung natrium 25 mEq/25ml dan bicarbonat 25 mEq/25ml.
Cairan ini digunakan pada keadaan asidosis akibat defisit bicarbonat.9 Sediaan dalam
bentuk flakon sebanyak 25 ml dengan konsentrasi 8,4% ( 84 mg/ml)
6. Cairan RLD
Cairan yang terdiri dari I bagian Ringer laktat dan 1 bagian Glikosa 5% yang
bisa digunakan pada demam berdarah dengue .
7. Cairan G:Z 4:1
Cairan yang terdiri dari 4 bagian glukosa 5-10% dan 1 bagian NaCL 0,9%
yang bisa digunakan pada dehidrasi berat karena diare murni.

Prinsip Terapi Cairan


Terapi cairan merupakan salah satu aspek terpenting dari perawatan pasien.
Pemilihan cairan sebaiknya berdasarkan atas status hidrasi pasien, konsentrasi elektrolit
dan kelainan metabolik yang ada. Secara sederhana tujuan terapi cairan dibagi atas
resusitasi atau pengganti yaitu untuk mengganti kehilangan cairan akut dan rumatan
untuk mengganti kehilangan harian.

Kebutuhan air dan elektrolot sebagai terapi dapat dibagi atas 3 kategori:
1. Terapi pemeliharaan atau rumatan

Sebagai pengganti cairan yang hilang melalui pernafasan, kulit, urin dan tinja
( Normal Water Losses = NWL). Kehilangan cairan melalui pernafasan dan kulit
disebut Insesible Water Losses (IWL). Kebutuhan cairan pengganti rumatan ini
dihitung berdasarkan kg BB. Kebutuhan cairan untuk terapi rumatan dipengaruhi oleh
suhu lingkungan dan C diatasaktifitas terutama IWL oleh karena itu setiap kenaikan
suhu 1 C kebutuhan cairan ditambah 12%. Sebaliknya IWL akansuhu tubuh 37
menurun pada keadaan menurunnya aktivitas seperti dalam keadaan koma dan
keadaan hipotermi maka kebutuhan cairan rumatan harus dikurangi 12% C dibawah
suhu tubuh normal. Cairanpada setiap penurunan suhu 1 intravena untuk terapi
rumatan ini biasanya campuran Dextrosa 5% atau 10% dengan larutan NaCl 0,9% 4:1 ,
3:1, atau 1:1 yang disesuaikan dengan kebutuhan dengan menambahkan larutan KCl 2
mEq/kgBB.

2.

Terapi deficit
Sebagai pengganti air dan elektrolit yang hilang secara abnormal (Previous
Water Losses=PWL) yang menyebabkan dehidrasi. Jumlahnya berkisar antara 515% BB. Biasanya kehilangan cairan yang menyebabkan dehidrasi ini disebabkan
oleh diare, muntah-muntah akibat stenosis pilorus, kesulitan pemasukan oral dan

asidosis karena diabetes. Berdasarkan PWL ini derajat dehidrasi dibagi atas ringan
yaitu kehilangan cairan sekitar 3-5% BB, dehidrasi sedang kehilangan cairan
sekitar 6-9% BB dan dehidrasi berat kehilangan cairan berkisar 10% atau lebih
BB.
3.

Terapi

pengganti

kehilangan

cairan

yang

masih

tetap

berlangsung

( Concomitant water losses=CWL).


Kehilangan cairan ini bisa terjadi melalui muntah dan diare yang masih tetap
berlangsung, pengisapan lendir, parasentesis dan lainnya. Jumlah kehilangan
CWL

ini

diperkirakan

25

ml/kgBB/24

jam

untuk

semua

umur.

Untuk mengatasi keadaan diatas diperlukan terapi cairan. Bila pemberian cairan
peroral tidak memungkinkan, maka dicoba dengan pemberian cairan personde
atau gastrostomi, tapi bila juga tidak memungkinkan, tidak mencukupi atau
membahayakan keadan penderita, terapi cairan secara intra vena dapat diberikan
III. 3

Pemilihan Cairan Intravena


Pemilihan cairan sebaiknya didasarkan atas status hidrasi pasien, konsentrasi
elektrolit, dan kelainan metabolik yang ada. Berbagai larutan parenteral telah
dikembangkan menurut kebutuhan fisiologis berbagai kondisi medis. Terapi cairan
intravena atau infus merupakan salah satu aspek terpenting yang menentukan dalam
penanganan dan perawatan pasien.
Terapi awal pasien hipotensif adalah cairan resusitasi dengan memakai 2 liter
larutan isotonis Ringer Laktat. Namun, Ringer Laktat tidak selalu merupakan cairan
terbaik untuk resusitasi. Resusitasi cairan yang adekuat dapat menormalisasikan tekanan
darah pada pasien kombustio 1824 jam sesudah cedera luka bakar.
Larutan parenteral pada syok hipovolemik diklasifikasi berupa cairan kristaloid,
koloid, dan darah. Cairan kristaloid cukup baik untuk terapi syok hipovolemik.
Keuntungan cairan kristaloid antara lain mudah tersedia, murah, mudah dipakai, tidak
menyebabkan reaksi alergi, dan sedikit efek samping. Kelebihan cairan kristaloid pada

pemberian dapat berlanjut dengan edema seluruh tubuh sehingga pemakaian berlebih
perlu dicegah.
Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal syok hipovolemik
dengan hiponatremik, hipokhloremia atau alkalosis metabolik. Larutan RL adalah larutan
isotonis yang paling mirip dengan cairan ekstraseluler. RL dapat diberikan dengan aman
dalam jumlah besar kepada pasien dengan kondisi seperti hipovolemia dengan asidosis
metabolik, kombustio, dan sindroma syok. NaCl 0,45% dalam larutan Dextrose 5%
digunakan sebagai cairan sementara untuk mengganti kehilangan cairan insensibel.
Ringer asetat memiliki profil serupa dengan Ringer Laktat. Tempat metabolisme
laktat terutama adalah hati dan sebagian kecil pada ginjal, sedangkan asetat
dimetabolisme pada hampir seluruh jaringan tubuh dengan otot sebagai tempat
terpenting. Penggunaan Ringer Asetat sebagai cairan resusitasi patut diberikan pada
pasien dengan gangguan fungsi hati berat seperti sirosis hati dan asidosis laktat. Adanya
laktat dalam larutan Ringer Laktat membahayakan pasien sakit berat karena dikonversi
dalam hati menjadi bikarbonat.
Secara sederhana, tujuan dari terapi cairan dibagi atas resusitasi untuk mengganti
kehilangan cairan akut dan rumatan untuk mengganti kebutuhan harian

DAFTAR PUSTAKA

1. Latief S.A., 2007. Petunjuk Praktis Anastesiologi. Edisi Kedua. Penerbit FKUI. Jakarta.

2. Handaya,

yuda,

2010.

Infus

cairan

intravena

diambil

dari

http://dokteryudabedah.com/infus-cairan-intravena-macam-macam-cairan-infus / diakses
tanggal 17 oktober 2011.
3. Sunatrio, S, Larutan Ringer Asetat dalam Praktik Klinis, Simposium Alternatif Baru Dalam
Terapi Resusitasi Cairan, Bagian Anestesiologi FKUI/RSCM, Jakarta, 14 Agustus 1999.
4. Sudoyo, Aru w. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1, Edisi IV. FKUI. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai