PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Kanker rongga mulut memiliki potensi yang cukup mematikan. Di Indonesia
angka kejadian relatif rongga mulut sebesar 3,75% dan 90% terjadi jenis squamous cell
carcinoma (SCC). Dari penelitian yang dilakukan oleh Hastin ditemukan sebesar 227
kasus tumor ganas rongga mulut, 209 kasus tumor ganas mulut epitel.1
Penyebab pasti dari squamous cell carcinoma belum diketahui, dapat disebabkan
bahan karsinogen( menyebabkan timbulnya kanker) dan faktor predisposisi(faktor
pencetus). Salah satunya infeksi Epstein Barr Virus (EBV). EBV memiliki potensi
karsinogenik yaitu mampu mengubah gen suppresor (p53) dan berikatan dengan sel epitel
sehingga terjadi transport virus DNA ke sel epitel. Tujuan penulisan adalah menambah
informasi tentang EBV yang berkaitan dengan SCC.1
Neoplasma malignant dari lidah biasanya timbul dari jaringan epitel mukosa
mulut dan sebagian besar merupakan karsinoma epidermoid, yang merupakan salah satu
tumor ganas pada rongga mulut yang paling sering dijumpai diklinik dan mempunyai
tingkat kematian yang tinggi, yang secara klinik dapat menyerang 2/3 anterior lidah dan
1/3 bagian posterior lidah dan juga dapat bermetastase baik pada daerah sekitar lidah
misalnya: ke submaxillary dan digastricus juga ke daerah leher dan servikal. 1,2
Dari penelitian Gibbel dan Martin dilaporkan bahwa karsinom lidah ini sering
dijumpai bersama-sama dengan penyakit syphilis dan premalignant seperti: leukoplakia,
erythroplasia sedangkan menurut penelitian Frazell dan Lucas kasus-kasus kanker lidah
yang terjadi bagian dorsum lidah hanya 4%, tetapi lebih ganas. 2
Karsinoma lidah mempunyai prognosis yang jelek, sehingga diagnosa dini sangat
diperlukan lebih-lebih apabila telah terjadi metastase kedaerah lain (leher dan servikal). 2
1.2. Tujuan
Mahasiswa mampu memahami gambaran oral squamous cell carcinoma secara
keseluruhan.
BAB II
2.1. Definisi
Squamous Cell Carcinoma atau disebut juga Karsinoma Sel Skuamosa merupakan
kanker yang sering terjadi pada rongga mulut yang secara klinis terlihat sebagai plak
keratosis, ulserasi, tepi lesi yang indurasi, dan kemerahan.3
2.2. Epidemiologi
Berapa besar insidens kanker rongga mulut di Indonesia belum kita ketahui
dengan pasti. Frekwensi relatif di Indonesia diperkirakan 1,5%-5% dari seluruh kanker.
Insidens kanker rongga mulut pada laki-laki yang tinggi terdapat di Perancis yaitu 13.0
per 100.000, dan yang rendah di Jepang yaitu 0.5 per 100.000, sedang pada perempuan
yang tinggi di India yaitu 5.8 per 100.000 dan yang rendah di Yugoslavia yaitu 0.2 peran
100.000 (Renneker, 1988). Angka kejadian kanker rongga mulut di India sebesar 20-25
per 100.000 atau 40% dari seluruh kanker, sedangkan di Amerika dan Eropa sebesar 3-5
per 100.000 atau 3-5% dari seluruh kanker. Kanker rongga mulut paling sering mengenai
lidah (40%), kemudian dasar mulut (15%), dan bibir (13%). Kanker rongga mulut
sebagian besar timbul pada usia diatas 40 tahun (70%).4
2.3. Etiologi
Etiologi dari squamous cell carcinoma bersifat multifactor dan erat kaitannya dengan
gaya hidup, umumnya kebiasaan hidup dan diet (terutama tembakau atau tembakau
dalam sirih dan pengunaan alkohol) meskipun factor lain seperti bahan infeksius,
kerusakan bahan metabolisme karsinogen, kerusakan enzim yang memperbaiki DNA
yang rusak dan kombinasi factor-faktor ini juga berperan dalam terjadinya squamous cell
carcinoma.5
a) Mutasi gen
Mutasi gen supresor tumor (TSGs) yang mengontrol pertumbuhan sel dianggap
merupakan etiologi squamous cel carcionoma. Mengidentifikasi perubahan pada
kromosom DNA terutama kromosom 3,9,11, dan 17 secara berurutan, yang
mempengaruhi TSGs. TSGs berfungsi mengontrol pertumbuhan. Mutasi TSGs dapat
menghilangkan mekanisme control pertumbuhan. Mutasi TSGs mungkin berkaitan
dengan sitokrom P450 yang berperan dalam karsinogenesis squamous cell carcinoma
rongga mulut. Seperti halnya dengan kerusakan TSGs, kanker juga berkaitan dengan
kerusakan gen lain yang mempengaruhi pertumbuhan terutama yang berperan dalam
pengiriman sinya sel yaitu onkogen, terutama pada kromosom 11 dan kromosom
17.Kerusakan genetic yang mencakup berkurangnya kromosom 3,9,11 dan 17 dan
berperan dalam inaktivasi TSGs, terutama P16 dan TP53.5
b) Alkohol
Penguna alcohol berat merupakan factor risiko terkena kanker mulut.Alcohol
mengandung karsinogen atau prokarsinogen, termasuk kontaminan dari nitrosamine
dan uretan selain etanol.Etanol dimetabolisme oleh alcohol-dehidrogenase dan oleh
sitokrom P450 menjadi asetaldehid yang bersifat karsinogen.Alcohol dehidroginase
mengoksidasi etanol menjadi asetaldehid yang sitotoksik dan menghasilkan radikal
bebas serta basa DNA hidroksilasi. Sitokrom P450 dapat mengaktivasi prokarsinogen
lingkungan.5
c) Tembakau
Tembakau mengandung karsinogen yang potensial meliputi nitrosamine (nicotine,
Polycylic aromatic hydrocarbons, nitrodicthanolamine, nitrosoproline dan
polonium.Asap tembakau mengandung karbonmonoksida, thicynate, hydrogen
cyianide, nicotine dan metabolit dari kandungan ini. Aktivitas gluatation S-transferase
(GST) menjadi rusak sehingga mengurangi kapasitas detoksikasi karsonogen
tembakau. Merokok dan cara pemakaian tembakau lainya berhubungan dengan 70-
80% kasus kanker mulut. Merokok, panas yang ditimbulkan, kandungan bahan, dan
pipa merupakan factor yang mengiritasi mukosa mulut.6
d) Diet
Diet rendah buah dan sayuran mempunyai kontribusi terhadap terjadinya kanker.
Buah dan sayuran mengandung antioksidan yang mengikat molekul berbahaya
penyebab mutasi gen sehingga dapat mencegah terjadinya kanker.6
e) Bahan infeksius
Virus herpes dan virus papilloma dapat dijumpai pada beberapa kasus squamous
cell carcinoma. HPV terutama berperan dalam kanker orofaring.6
2.4. Patogenesis
Squamous cell carcinoma terjadi akibat adanya proses perubahan sel yang
bertahap dari normal menjadi lesi displastik hingga akhirnya menjadi squamous cell
carcinoma. Lesi premalignansi atau prekanker didefinisikan oleh WHO sebagai jaringan
yang berubah secara morfologis. Lesi yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah
leukoplakia dan eritroplakia sedangkan lichen planus lebih diklasifikasikan sebagai suatu
kondisi dengan potensi menjadi malignan.4
Secara histopatologis lesi premalignant dapat memperlihatkan adanya dysplasia
dengan kategori ringan,sedang dan berat. Berdasarkan kriteria histomorfologis, dysplasia
ringan memiliki sel displastik yang terbatas pada lapisan basal epitelium; sementara
perubahan pada dysplasia sedang dan berat meliputi perubahan morfologi seluler dan
peningkatan ketebalan lapisan epitel sebanyak 2/3 sampai ¾ ketebalan lapisan
epitel.Carcinoma in-situ adalah lesi di mana sel abnormal meliputi selurh epitel tanpa
menginvasi membran dasar.Suatu squamous cell carcinoma terdiagnosis ketika terdapat
kerusakan membrane dasar dan invasi sel epitel displastik menuju jaringan ikat.
Keberadaan dan keparahan dysplasia diperkirakan berhubungan dengan peningkatan
resiko kearah keganasan.4
Squamous cell carcinoma dapat berkembang di tempat yang sebelumnya terdapat
leukoplakia dan eritroplakia atau dapat berkembang secara de novo.Secara klinis lesi
memliki tampilan lesi prakanker pada tahap awal karsinogenesis. Ketika telah
menginvasi submukosa, squamous cell carcinoma tampak sebagai ulserasi kronis yang
ireguler, dengan tepian yang meninggi dan terdapat indurasi.4
Perbanyakan gen dan overekspresi protein ditemukan pada squamous cell
carcinoma kepala dan leher, contohnya cyclin D yang sering terampilifikasi dan
overekspresi pada tahap awal tumorigenesis. Tumor suppressor gen p53 adalah gen yang
paling sering termutasi pada squamous cell carcinoma dengan frekuensi mencapai 50%
kasus. Perubahan genetic lain pada squamous cell carcinoma juga telah diidentifikasi
pada kromosom 4,8 dan 11.4
Alkohol
2. Moderate differentiated ( Grade II) : yaitu proliferasi sel-sel tumor dimana sebagian
sel-sel basaloid tersebut masih menunjukkan differensiasi, membentuk keratin.
3. Poorly differentiated ( Grade III) : Yaitu proliferasi sel-sel tumor dimana seluruh sel-
sel basaloid tidak berdiferensiasi membentuk keratin, sehinga sel sulit dikenali lagi.
2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin, seperti: darah, urine, SGOT/SGPT, alkali
fosfatase, BUN/kreatinin, albumin, globulin, serum elektrolit, faal hemostasis, untuk
menilai keadaan umum dan persiapan operasi. 5
3. Pemeriksaan Patologi
Semua penderita kanker rongga mulut atau diduga kanker rongga mulut harus
diperiksa patologis dengan teliti.Spesimen diambil dari biopsi tumorBiopsi jarum halus
(FNA) untuk pemeriksaan sitologis dapat dilakukan pada tumor primer atau pada
metastase kelenjar getah bening leher. 5
Biopsi eksisi : bila tumor kecil, 1 cm atau kurang eksisi yang dikerjakan ialah
eksisi luas seperti tindakan operasi definitif ( 1 cm dari tepi tumor) 5
Biopsi insisi atau biopsi cakot (punch biopsy) menggunakan tang aligator: bila
tumor besar atau inoperabel.5
Yang harus diperiksa dalam sediaan histopatologis ialah tipe, diferensiasi dan
luas invasi dari tumor. 5
Tumor besar yang diperkirakan masih operabel :
Biopsi sebaiknya dikerjakan dengan anestesi umum dan sekaligus dapat dikerjakan
eksplorasi bimanuil untuk menentukan luas infiltrasi tumor (staging) . 5
Tumor besar yang diperkirakan inoperabel :
Biopsi dikerjakan dengan anestesi blok lokal pada jaringan normal di sekitar tumor.(
anestesi infiltrasi pada tumor tidak boleh dilakukan untuk mencegah penyebaran sel
kanker). 5
4. Pemeriksaan toluidine blue
Untuk memudahkan melihat adanya kanker dapat digunakan larutan toluidine
biru yang akan memberi warna biru pada sel kanker. Jaringan normal tidak mengisap
warna, sedang lesi pra-ganas atau non neoplasma tidak konstan mengisap warna. 5
Menurut Mashberg tehnik memberi warna rongga mulut sebagai berikut:
1. Kumur dengan larutan asam asetat 1% : 20 detik
2. Kumur dengan air : 20 detik, 2 x
3. Kumur dengan larutan toluidine blue 1% : 5-10 cc
4. Kumur lagi dengan larutan asam asetat 1% : 1 menit
5. Kumur dengan air.
Pembacaan hasil pemeriksaan dilakukan 24 jam kemudian, pemeriksaan ini
memiliki sensitivitas dan spesifisitas sebesar 90%.
Adapun larutan toluidine biru terdiri dari :
1. Toluidine chlorida : 1 gr
2. Asam asetat : 10 cc
3. Alkohol absolut : 4,2 cc
4. Aquadest : 100 cc
5. Pemeriksaan panendoskopi
Pada kanker rongga mulut, paru, dan esofagus kadang didapatkan synchronous
tumor (10%), oleh karena itu ada yang menganjurkan pemeriksaan panendoskopi
dilakukan sebagai prosedur diagnostik baku. 5
6. Pemeriksaan sitologi
Sitologi eksfoliatifa dari spesimen kerokan atau inprint dari tumor primer
dikerjakan pada lesi yang berupa bercak/superfisial. 5
Bila hasilnya :
Klas I- III : lakukan ulangan sitologi 3 bulan lagi.
Bila 2x ulangan sitologi tetap klas I-III maka perlu dibiopsi
Klas IV-V : lakukan biopsi
7. Pemeriksaan Positron Emission Tomography (PET)
Pemeriksan imaging dengan PET menggunakan tirosin sebagai tracer memiliki
sensitivitas dan spesifisitas cukup tinggi untuk karsinoma rongga mulut. 5
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi tumor <4mm. Untuk staging memiliki
sensitivitas 71% dan spesifisitas 99%, sedangkan untuk dteksi kekambuhan memiliki
sensitivias 92% dan spesifisitas 81%.5
2.9. Pentalaksanaan
a) Bedah
Bedah diindikasikan pada kasus dimana 7:
1. Tumor sudah melibatkan tulang
2. Efek samping bedah diprediksikan lebih sedikit dibandingkan terapi radiasi
3. Tumor yang sensitif dengan terapi radiasi
4. Tumor yang rekuren diarea yang telah diberi terapi radiasi
Pada 80 pasien dengan kasus SCC dengan T1/T2N0M0 pada lidah, signifikan
lebih rendah terjadi rekurensi pada pasien yang menerima terapi selective neck dissection
walaupun tidak ada perbedaan yang ditemukan pada survival rate.7
b) Radiasi
Dosis radiasi yang diperlukan untuk pengobatan karsinoma sel skuamosa yang
berhasil baik metode primer atau tambahan terentang antara 4000 sampai 7000 rads.
Dosis radiasi yang dapat mematikan tumor memberikan efek samping sementara
termasuk ulserasi mukosa, nyeri, disgeusia, kandidiasis, dermatitis, alopesia, dan eritema
kulit. Sementara efek samping yang permanen adalah xerostomia dengan karies servikal
tipe radiasi, telangiektasia kulit, atrofi mukosa mulut dan kulit, alopesia permanen, dan
osteoradio nekrosis.7
Sebelum di rujuk tindakan dokter gigi sebaiknya melakukan pemberian analgesik
atau anti-inflamasi topikal seperti benzydamine serta dapat diberikan Vit B12 dan
mengurangi atau menghentikan konsumsi tembakau dan alkohol.11
2.10. Stadium
Staging atau penahapan merupakan suatu proses untuk menggambarkan sudah
seberapa jauh kanker menyebar. Prognosis penderita kanker tergantung pada seberapa
besar perluasan kanker yang dinyatakan dalam stadium. Stadium kanker merupakan
faktor terpenting dalam menentukan pilihan perawatan.8
1. Stadium klinis dan patologis
Penentuan stadium klinis tumor dilakukan berdasarkan informasi yang sudah ada
sebelum tindakan bedah pengangkatan tumor dilakukan, termasuk hasil
pemeriksaan fisik, radiologi, dan endoskopi. Penentuan stadium patologis
dilakukan dengan menambahkan informasi tadi dengan hasil pemeriksaan
mikroskopis yang dilakukan oleh ahli patologi.8
2. Sistem Stadium
Sistem TNM (T=Tumor, N=Nodus/kelenjar, M=Metastasis) merupakan system
yang paling umum dipakai untuk menentukan perluasan kanker bibir, rongga
mulut dan orofaring. Selain itu kanker payudara, ginjal, laring, paru melanoma,
prostat juga menggunakan system TNM.8
3. Sistem klasifikasi lain8
Umumnya stadium tumor diklasifikasi dengan pemberian skor menggunakan
angka Romawi. System ini menggunakan I, II, III dan IV untuk menguraikan
progresivitas kanker.8
- Stadium 0 : carcinoma in situ
- Stadium I : kanker terbatas pada satu bagian tubuh
- Stadium II dan III : Kanker meluas secara lokal
Kanker diklasifikasikan sstadium II atau III bergantung pada tempat
spesifik dari kanker, contohnya : pada penyakit Hodgkin, stadium II
mengindikasikan terkenanya kelenjar limfe pada hanya satu sisi diafragma,
sedangkan stadium III mengindikasikan terkenanya kelenjar limfe di atas dan
bawah diafragma. kriteria spesifik untuk stadium II dan III berbeda menurut
diagnosisnya.8
- Stadium IV : kanker sudah bermetastasis atau menyebar ke organ lain atau
meluas ke seluruh tubuh
Menentukan stadium kanker rongga mulut dianjurkan memakai sistem
TNM dari UICC, 2002. Tatalaksana terapi sangat tergantung dari stadium.
Sebagai ganti stadium untuk melukiskan beratnya penyakit kanker dapat pula
dipakai luas ekstensi penyakit.8
Sistem TNM dapat menjelaskan kategori suatukan kerapa kah merupakan
tumor primer atau dikategorikan sebagai tumor rekuren yang berarti timbul lagi
sesudah mengalami remisi atau sesudah semua tumor yang terlihat
diangkat.Rekurensi dapat local yang berarti timbul di lokasi yang sama dengan
tumor asal, atau rekurensi jauh, yang berarti di bagian tubuh yang berbeda.8
Tabel sistem TNM.
ST T N M TNM KETERANGAN
0 TIS N0 M0 T0 Tidak ditemukan tumor
TIS Tumor in situ
I T1 N0 M0 T1 2 cm
T2 >2 cm - 4 cm
II T2 N0 M0 T3 > 4 cm
T4a Bibir :infiltrasi tulang, n.alveolaris
inferior, dasar
mulut, kulit
Rongga mulut : infiltrasi tulang, otot
lidah
T4b (ekstrinsik /deep), sinus maksilaris,
kulit
Pada orang Afrika Amerika memiliki 5-year survival rate lebih rendah
dibandingkan ras kaukasian dengan perbandingan 1 : 3 yang memiliki survival rate 53%.
Survival rate tergantung psikis dan lingkungan sosial; informasi tentang kesehatan, gaya
hidup, dan akses pelayanan kesehatan. 7
Tubercular ulser
Secara klinis, tubercular ulser mirip dengan ulser squamous cell carcinoma. Namun
setelah dilakukan pemeriksaaan secara histopatologi ternyata memiliki perbedaaan.
Selain itu, penyebab dari tubercular ulser juga bias berasal dari penggunaan tembakau
dan alkohol.13
Reccurent Apthous Stomatitis (RAS)
Ulser yang terjadi berulang-ulang pada mukosa rongga mulut tanpa adanya tanda-
tanda suatu penyakit. Ulser ini biasanya sakit, berbatas jelas, dangkal, bulat atau oval,
tertutup selaput pseudomembran kuning keabu-abuan, dan dikelilingi pinggiran yang
eritematus dan dapat bertahan untuk beberapa hari atau bulan serta RAS pada jenis
mayor diameternya sekitar 1-2 cm.14
Traumatic ulser
Ulserasi karena suatu keadaan umum akibat dari beberapa penyebab trauma, seperti
bahan-bahan kimia, panas, listrik ataupun gaya mekanik. Traumatic ulser sering
terjadi pada daerah mukosa pipi, mukosa bibir, palatum dan tepi perifer dari lidah.14
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Carsinoma lidah adalah penyakit yang mempunyai tingkat kematian yang cukup
tinggi dan mempunyai prognosa yang jelek, terutama apabila mengenai sepertiga
bagian posterior lidah dan telah bermetastase ke servical dan leher, ke submaksilaris,
submandibula.
Hal-hal yang berhubungan dengan penyakit-penyakit tertentu (premalignant) perlu
diawasi oleh dokter gigi di dalam menentukan gejala awal dari suatu tumor yang ada
pada lidah
Adapun hal-hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah kebersihan dari mulut yang
harus dijaga terutama gigi busuk dengan karang gigi yang banyak dan pemasangan
prothesa yang tidak cocok, serta penggunaan tembakau yang berlebihan
(merokok/menyirih) dan peminum berat (alkoholisme).
3.2.Saran
Melalui makalah ini, diharapkan mahasiswa dapat menginterpretasikan ilmu atau
hasil yang telah didapat melalui proses tutorial. Dapat membuat ilmu tersebut bermanfaat
dan dapat digunakan sebagai sarana pembelajaran untuk bekal ilmu di masa depan
sebagai tenaga kesehatan yaitu dokter gigi.
DAFTAR PUSTAKA
1. A.G.D. Maran, MD, FRCS (ED), FACS, Carsinoma of the tongue, Disease of the
Nose, Throat and Ear, Tenth Edition, Singapore, Hongkong, New Delhi, 123.
2. Frank H. M.D, Ernst Oppenheimer, MD, Malignant tumors, The Ciba Collection of
Medical Illustrations, Digestive System Part I Upper Digetive Track, Volume 3, Ciba,
127.
3. Syafriadi , M. Patologi Mulut Tumor Neoplastik dan Non Neoplastik Rongga Mulut.
ANDI. Yogyakarta. Indonesia, 2008.
4. Mao L, Hong WK. Focus on head and neck cancer. cancer cell.2004. p. 311-6
5. Ord RA, Blanchaert RH. Current management of oral cancer- A multidisciplinary
approach, JADA 2001; 132: 195-235
6. Epstein JB. Oral Cancer. 10th ed. Greenberg MS, Glick M, editors. Hamilton: BC
Decker Inc; 2003
7. Bhudy TI, 2008. Protein Spesifik Karsinoma Sel Skuamosa.MI Kedokteran Gigi.
Vol23 No. 3 : 117-122
8. Sudiono, J. Pemeriksaan Patologi untuk Diagnosis Neoplasma Mulut. EGC. Jakarta.
Indonesia, 2008.
9. Chandrasoma, Parakrama. Rongga mulut dan kelenjar liur. Dalam: Ringkasan Patologi
Anatomi edisi 2. EGC. Jakarta2006..h436-437.
10. Regezi, Joseph A, James J. Sciubba, Richard C.K, Jordan, Oral Pathology : Clinical
Pathologic Correlations. 5th ed, St.Louis, Missouri, 2008, p220
11. Paleri,V, Janet,W. Evaluation of Oral Ulceration in Primary Care. BMJ. 2010.p1238.
12. Al-Rikabi,A, Maria,A. Tuberculosis of the Tongue Clinically Masquerading as a
Neoplasm: A Case Report and Literature Review. Oman Medical Journal.2011.Vol.
26, No. 4: 267-268
13. Nidarsh,H,Hegde,M. Different Diagnosis of Long Term Tongue Ulcers. International
Research Journal of Pharmacy. 2012.p145-148