Anda di halaman 1dari 16

01010101000101010010010010101

01001010110101010101010101001
10101010100000000000000100000
00000000000000000000000000000
MAKALAH

00000000000000000000000000000
(Etika Profesi)
“Undang- undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) dan Undang-

00000000000000000000000000000
Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)”

00000000000000000000010101010
101010010101001010
11010101010011010101111111111
11111111111111111111111111111 OLEH

11111010101010101010101011000
NAMA : YESAYA R NAHAS
NIM : 17120139
KELAS : B

00000000000000000000000000000
00000001010110000000000000000
PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA (S1)

00000000000111111111111111111
SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA KOMPUTER
STIKOM UYELINDO KUPANG 2019

11111111111110101010010101001
00101000101001001010101001101
01001001010100101001001010001
00101010010100100101010010100
10010010010101001000101010101
00101010110010101010101001010
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa Penyayang, karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya, penulis bisa menyusun dan menyelesaikan makalah yang berjudul “Undang-
Undang tentang KIP dan Undang-undang ITE”. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih
kepada berbagai pihak yang telah memberikan dorongan dan motivasi.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik serta
saran yang membangun guna menyempurnakan makalah ini dan dapat menjadi acuan dalam
menyusun makalah-makalah atau tugas-tugas selanjutnya.
Penulis juga memohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini terdapat kesalahan
pengetikan dan kekeliruan sehingga membingungkan pembaca dalam memahami maksud
penulis.

Kupang , 17 Desember 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Hadirnya Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU
KIP) merupakan tonggak penting bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. undang-undang ini
mengatur pemenuhan kebutuhan informasi yang terkait dengan kepentingan publik. Kehadiran
UU KIP sekaligus memberikan penegasan bahwa keterbukaan informasi publik bukan saja
merupakan bagian dari hak asasi manusia secara universal, namun juga merupakan constitutional
rights sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28 F perubahan kedua UUD 1945. Informasi selain
merupakan kebutuhan pokok setiap orang untuk pengembangan diri dan sosial, juga merupakan
bagian penting ketahanan nasional. Hak untuk memperoleh informasi adalah hak asasi manusia.
Keterbukaan informasi publik adalah salah satu ciri penting negara demokratis yang menjunjung
tinggi kedaulatan rakyat yang pada dasarnya bertujuan untuk mewujudkan good governance.

Pada dasarnya, UU KIP mempunyai tiga sumbu utama yaitu transparansi, partisipasi, dan
akuntabilitas publik. Ketiga sumbu utama tersebut telah secara komprehensif mengatur
kewajiban badan/pejabat publik untuk memberikan akses informasi yang terbuka dan efisien
kepada publik. Badan-badan publik diwajibkan untuk semakin transparan dan informasi harus
dibuka sebesar-besarnya dengan pengecualian hal-hal yang menyangkut keamanan negara, hak
privat, dan yang diatur oleh UU (Dewangga, 2010).Pengelolaan informasi publik yang baik
merupakan salah satu upaya untuk mengembangkan masyarakat informasi.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik
yang diundangkan pada tanggal 30 April 2008 mengisyaratkan bahwa penyelenggaraan negara
harus dilakukan secara terbuka atau transparan. Setiap orang dijamin haknya untuk memperoleh
informasi publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ini antara lain bertujuan agar
penyelenggaraan negara dapat diawasi oleh publik dan keterlibatan masyarakat dalam proses
penentuan kebijakan publik semakin tinggi. Keterlibatan tersebut pada akhirnya akan
menghasilkan penyeleggaraan negara yang lebih berkualitas. Partisipasi seperti itu menghendaki
adanya jaminan terhadap keterbukaan informasi publik.

Namun di tengah harapan yang itu, muncul pula sejumlah kekhawatiran dan kesangsian
mengenai efektivitasnya UU KIP ini dalam tataran implementasinya. Hal ini disebabkan karena
masih adanya kenyataan bahwa tidak sedikit aturan perundang-undangan yang substansinya
demokratis, namun pelaksanaanya justru kontraproduktif dengan semangat demokrasi. Dalam
konteks ini, kehadiran Komisi Informasi merupakan momentum strategis yang ditunggu-tunggu.
Selain merupakan imperatif normatif UU KIP, keberadaan Komisi Informasi tentu diharapkan
menjadi implementor yang mampu mewujudkankan freedom of information act secara
signifikan.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana model implementasi kebijakan UU KIP mampu mendorong
terciptanya good governance.

Dengan dasar pemikiran diatas maka kami mencoba membahas implementasi kebijakan
Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi
Publik terhadap penerapan prinsip Good Governance.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah yang telah diberikan
2. Menambah wawasan pengetahuan kita mengenai Undang- undang Keterbukaan Informasi
Publik (UU KIP) dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE),
sehingga kita juga dapat memahami pentingnya untuk selalu berhati-hati dalam penggunaan
informasi dan transaksi elektronik di dalam kehidupan sehari-hari.

1.3 Pembahasan

a. Sejarah dirumuskannya Undang- Undang KIP NO. 14 TAHUN 2008


Sesungguhnya proses advokasi UU ini adalah perjalanan panjang yang cukup
melelahkan. Setelah hampir 8 tahun sejak awal 2000, 42 koalisi LSM mendorong UU
ini. Adalah Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), sebuah LSM yang
bergerak di bidang kebijakan lingkungan, yang mengawali gagasan perlunya
mendorong sebuah undang-undang yang mengadopsi prinsip-prinsip freedom of
information.
Secara normatif UU KIP dapat dikatakan sebagai produk regulasi yang cukup
maju dalam mewujudkan keterbukaan penyelenggaraan Negara. Sebab, UU ini secara
tegas memberikan kewajiban kepada Badan Publik untuk membuka informasi yang
berkaitan dengan institusinya, kebijakan yang dihasilkan, serta kegiatan-kegiatan yang
dilakukan, termasuk kondisi keuangan dan penggunaan anggaran. Dengan kata lain,
publik memiliki hak atas informasi dari Pemerintah karena merupakan Badan Publik.
Lantas apa yang dikategorikan sebagai Badan Publik? Badan Publik di sini
adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif dan badan lain yang fungsi dan tugas
pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh
dananya bersumber dari APBN atau APBD atau organinisasi non pemerintah yang
sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan atau APBD, sumbangan
masyarakat, atau luar negeri.
Sebagaimana diketahui, tujuan UU KIP, seperti tercantum dalam Pasal 3 UU
KIP, antara lain menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan
kebijakan publik, program kebijakan publik dan proses pengambilan keputusan publik
serta alasan pengambilan suatu keputusan publik; mendorong partisipasi masyarakat
dalam proses pengambilan kebijakan publik; meningkatkan peran aktif masyarakat
dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan badan publik yang baik;
mewujudkan penyelenggaran negara yang baik yaitu transparan, efektif dan efisien,
akuntabel, serta dapat dipertanggungjawabkan.
Adapun yang dimaksud informasi publik, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal
1 UU KIP, adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim dan atau
diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan
penyelenggaraan negara dan atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik
lainnya yang sesuai dengan UU serta informasi lain yang berkaitan dengan
kepentingan publik.
Mengacu definisi tersebut, informasi publik yang dimaksud mencakup
informasi yang berkaitan dengan badan publik, informasi mengenai kegiatan dan
kinerja badan publik terkait, informasi mengenai laporan administrasi keuangan serta
informasi lain yang diatur dalam perundang-undangan.
Di sisi lain, hak atas informasi publik masyarakat juga memiliki kewajiban
untuk mematuhi berbagai peraturan dan ketentuan yang berlaku serta mekanisme
untuk memperoleh dan menggunakan informasi tersebut secara bertanggungjawab.
Untuk itu, UU KIP selain mengatur kewajiban Badan Publik juga mengatur
kewenangan Badan Publik, diantaranya hak menolak memberikan informasi yang
termasuk dalam kategori informasi yang dikecualikan dan apabila tidak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

b. Tujuan di rumuskannya Undang- Undang KIP NO. 14 tahun 2008


Undang-Undang ini bertujuan untuk
- Menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan
publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta
alasan pengambilan suatu keputusan publik;
- mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik;
- meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan
pengelolaan Badan Publik yang baik;
- mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan
efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan;
- mengetahui alasan kebijakan publik yang memengaruhi hajat hidup orang banyak;
- mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan/atau
meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan Publik
untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas.

c. Pengecualian
Informasi yang dikecualikan dalam Undang-undang ini antara lain adalah:
- Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi
Publik dapat menghambat proses penegakan hukum;
- Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi
Publik dapat mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan
intelektual dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat;
- Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi
Publik dapat membahayakan pertahanan dan keamanan negara;
- Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi
Publik dapat mengungkapkan kekayaan alam Indonesia;
- Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi
Publik, dapat merugikan ketahanan ekonomi nasional;
- Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi
Publik, dapat merugikan kepentingan hubungan luar negeri;
- Informasi Publik yang apabila dibuka dapat mengungkapkan isi Fakta otentik
yang bersifat pribadi dan kemauan terakhir ataupun wasiat seseorang;
- Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi
Publik dapat mengungkap rahasia pribadi;
- memorandum atau surat-surat antar Badan Publik atau intra Badan Publik, yang
menurut sifatnya dirahasiakan kecuali atas putusan Komisi Informasi atau
pengadilan;
- informasi yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan Undang-Undang.

d. Implementasi kebijakan publik undang - undang KIP NO. 14 tahun 2008 dalam
bidang pemerintahan
Salah satu inisiatif yang dibangun untuk mewujudkan keterbukaan informasi
adalah Open Governance Patnership (OGP) dimana Indonesia sebagai salah satu
negara yang telah berkomitmen terhadap insiatif OGP, bertanggungjawab untuk
menjalankan berbagai inisiatif guna mendorong keterbukaan informasi di dalam
negeri. dimana Indonesia sebagai salah satu negara yang telah berkomitmen terhadap
insiatif OGP, bertanggungjawab untuk menjalankan berbagai inisiatif guna
mendorong keterbukaan informasi di dalam negeri.
Salah satu rencana strategi yang telah disusun di tingkat Open Governance
Indonesia (OGI) untuk optimalisasi implementasi UU KIP adalah mendorong
percepatan penetapan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) di
seluruh Pemerintah Daerah. Implementasi kebijakan untuk mendorong pembentukan
PPID Pemerintah Daerah ini dilaksanakan oleh Kementerian Dalam Negeri yang
memiliki fungsi koordinasi, pembinaan dan pengawasan Pemerintahan Daerah.
Dalam negeri sendiri penerapan Keterbukaan informasi publik dalam praktik
penyelenggaraan Negara secara terbuka kini juga digiatkan dalam bidang
pemerintahan. Dimana di setiap daerah telah membentuk badan pengelola informasi
dan dokumentasi tingkat pusat dan daerah yang di sebut sebagai PPID.
PPID merupakan pelaksana utama pengelolaan informasi dan dokumentasi di
tingkat Pusat, daerah serta Kabupaten/Kota yang bertanggungjawab dalam
mewujudkan pelayanan informasi secara cepat, tepat dan sederhana kepada
masyarakat. PPID ditunjuk dan ditetapkan oleh pimpinan Badan Publik. PPID
melekat pada pejabat struktural yang membidangi tugas dan fungsi pelayanan
informasi serta memiliki kompetensi dalam mengelola informasi dan dokumentasi
dalam bidang dan instansi terkait. Dalam melaksanakan tugasnya, PPID dibantu oleh
PPID Pembantu dan/atau pejabat fungsional lainnya.
Dalam mendukung percepatan pembentukan PPID Pemda maka perlu
dilakukan pengorganisasian secara efektif, efisien, integrative dan komprehensif.
Mengingat dalam pembentukan PPID Pemda ini terkait dengan beberapa aspek,
diantaranya aspek regulasi, aspek perencanaan, aspek kelembagaan, aspek pembinaan,
aspek pengawasan dan aspek pertanggungjawaban dan pelaporan.
Namun yang saat ini yang menjadi kendala di berbagai daerah Setelah tiga
tahun berlangsung, UU KIP belum sepenuhnya berjalan dengan optimal. Selain,
kurangnya kesiapan Pemerintah yang berbanding lurus dengan keinginan masyarakat
yang besar untuk akses informasi publik, terlebih ketidaksiapan Badan Publik dalam
layanan akses informasi di masyarakat yang tidak sesuai harapan dan realita, bukan
tidak mungkin akan berdampak pada munculnya sengketa informasi, belum lagi
dukungan database yang tersedia masih sangat terbatas disamping rendahnya
kompetensi dan kepedulian SDM pengelola informasi yang memahami mekanisme
akses informasi dan sistim pendokumentasian.
Mengingat informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses setiap
pengguna informasi publik, maka pemerintah harus menyediakan akses dan sarana
infrastruktur yang mudah dijangkau oleh masyarakat. Hal ini juga ditegaskan dalam
Pasal 9 UU KIP bahwa kewajiban untuk menyebarkanluaskan informasi publik
dengan cara yang mudah dijangkau oleh masyarakat. Namun dalam realita yang
terjadi bahwa sebahagian besar masyarakat tidak mengetahui adanya undang undang
KIP ini, mereka juga seakan tidak memahami dimana mereka bisa mengakses ketika
menginginkan sebuah informasi Publik. seharusnya implementasi undang undang itu
sendiri harus di barengi dengan sosialisasi ke masyarakat agar mereka mengerti
sehingga mereka mudah untuk mengakses informasi Publik yang di perlukan.
Nyaris tak ada yang menyangkal bahwa UU KIP merupakan produk legislasi
yang penting. UU KIP bahkan dinilai banyak pihak sebagai undang-undang pertama
yang tidak hanya menjamin hak publik atas informasi, tapi juga secara komprehensif
mengatur kewajiban badan/lembaga publik untuk memberikan akses informasi berikut
sanksi-sanksinya bila itu tidak dipenuhi.
“Informasi publik” yang dimaksudkan di sini adalah informasi yang
dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan atau diterima oleh suatu badan publik.
Sementara “badan publik” yang dimaksudkan di sini adalah lembaga eksekutif,
legislatif, yudikatif, dan lembaga yang mendapat dana dari APBN atau APBD,
sumbangan masyarakat, dan mendapatkan dana dari luar negeri. Sesuai dengan peran
dan fungsinya, badan-badan publik semacam itu bercorak impersonal. Berbagai aspek
dan dimensi yang inheren dengan badan-badan publik dengan sendirinya terbuka
untuk dibaca dan dianalisis oleh siapa pun. Namun masalahnya, selama berdemokrasi
badan-badan publik pemerintah ternyata tak memiliki kemauan mewujudkan
keterbukaan informasi Publik itu sendiri.
Karena kenyataan itu, praksis demokrasi di Indonesia minus transparansi. Pada
satu sisi, kebebasan berpendapat dan berserikat mendapatkan aksentuasi baru untuk
diwujudkan di tengah kancah praksis demokrasi. Tetapi pada lain sisi, ketertutupan
tetap mewarnai keberadaan sektor public tersebut dengan memultitafsirkan
Pengecualian pada undang – undang KIP tersebut.
Hampir pada berbagai lini pengelolaan pemerintahan, begitulah situasinya.
Diakui atau tidak, kultur dan mentalitas semacam ini telah hadir seacara utuh sebagai
masalah besar dalam pengelolaan informasi Publik.
Jelas pada akhirnya, UU KIP penting tapi tak memadai. Implementasi UU KIP
akan berbenturan dengan berbagai cabang kekuasaan di negeri ini. Sangat muskil bagi
aktor-aktor pengelola negara dan pemerintahan untuk mengubah secara serta-merta
cara pandang terhadap kekuasaaan yang dilandaskan pada ketertutupan informasi.
Mengingat upaya bina kekuasaan sejauh ini dilakukan melalui pola operasional politik
secara tertutup, tidaklah mungkin para aktor pengelola negara dan pemerintah itu
tulus ikhlas menerima kehadiran prinsip-prinsip keterbukaan infomasi dalam
manajemen dan kepemimpinan.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik

Pada tanggal 21 April 2008 lalu, pemerintah telah mengesahkan undang-undang baru
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) No. 11 tahun 2008. Undang-undang ini
sebagai upaya pemerintah untuk menerapkan etika dan moral dalam penggunaan internet
yang merugikan masyarakat, bangsa, dan negara. Etika dan moral dalam penggunaan
informasi dan transaksi elektronik perlu dipahami agar terhindar dari pelanggaran yang diatur
oleh UU ITE.
Menurut UU ITE No. 11 tahun 2008, informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data
elektronik, termasuk, tetapi tidak terbatas, pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto,
surat elektronik (e-mail), telegram, telecopy atau sejenisnya yang telah diolah yang memiliki
arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Sedangkan, transaksi
elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan
komputer, dan/atau media elektronik lainnya.
Saat ini dikenal hukum cyber atau hukum telematika yang secara internasional digunakan
untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi.
Permasalahan hukum yang sering kali dihadapi adalah ketika terkait dengan penyampaian
informasi, komunikasi, dan/atau transaksi secara elektronik, khususnya dalam hal pembuktian
dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik.
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terdiri dari 13 bab dan 54
pasal yang terdiri dari :
· Bab I ( pasal 1 – 2)
Tentang istilah-istilah penting yang terdapat dalam undang-undang ini dan mengenai daya
laku undang-undang ini.
· Bab II ( pasal 3– 4)
Tentang asas dan tujuan dari Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.
· Bab III (pasal 5 – 12)
Tentang Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya yang
merupakan alat bukti hukum yang sah, tentang Tanda Tangan Elektronik.
· Bab IV (pasal 13 – 16)
Tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik, tentang Penyelenggara Sistem Elektronik.
· Bab V ( pasal 17-22)
Tentang Penyelenggaraan Transaksi Elektronik dalam lingkup publik ataupun
Privat, tentang Penyelenggara Agen Elektronik.
· Bab VI (pasal 23 – 26)
Tentang Nama Domain berdasarkan prinsip pendaftar pertama, tentang Hak Kekayaan
Intelektual.
· Bab VII (pasal 27 – 37)
Tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik.
· Bab VIII ( pasal 38 – 39)
Tentang penyelesaian sengketa dalam Sistem Elektronik dan/atau menggunakan Teknologi
Informasi yang menimbulkan kerugian.
· Bab IX (pasal 40 – 41)
Tentang peran pemerintah dalam pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik,
tentang peran masyarakat dalam pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.
· Bab X (pasal 42 – 44)
Tentang penyidikan terhadap tindak pidana berdasarkan ketentuan dalam Hukum Acara
Pidana dan ketentuan dalam Undang-Undang informasi dan transaksi elektronik ini, tentang
Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
· Bab XI ( pasal 45-52)
Tentang ketentuan pidana.
· Bab XII ( pasal 53)
Tentang ketentuan peralihan.
· Bab XIII ( pasal 54)
Tentang ketentuan penutup.
Undang-undang yang memuat 54 pasal inilah yang mengatur semua penggunaan informasi,
transaksi elektronik, upaya hukum, dan sanksi. Asas dan tujuan dari UU ITE ini diatur dalam
Pasal 3 yang menyatakan :
“Pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik dilaksanakan berdasarkan asas
kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, itikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau
netral teknologi.”

2.2 Perbuatan yang dilarang


Untuk mengatur secara tegas tentang informasi dan transaksi elektronik, terdapat perbuatan
yang dilarang, yang dicantumkan dalam Pasal 26 sampai dengan Pasal 34 UU ITE No. 11
tahun 2008. Berikut kutipannya.
BAB III
PERBUATAN YANG DILARANG

Pasal 26
Setiap orang dilarang menyebarkan informasi elektronik yang memiliki muatan pornografi
dan atau pornoaksi melalui komputer atau sistem elektronik.

Pasal 27
Setiap orang dilarang:
(1) Menggunakan dan atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik dengan cara
apapun tanpa hak, untuk memperoleh, mengubah, merusak, atau menghilangkan informasi
dalam komputer dan atau sistem elektronik.
(2) Menggunakan dan atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik dengan cara
apapun tanpa hak, untuk memperoleh, mengubah, merusak, atau menghilangkan informasi
milik pemerintah yang karena statusnya harus dirahasiakan atau dilindungi.
(3) Menggunakan dan atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik dengan cara
apapun tanpa hak, untuk memperoleh, mengubah, merusak, atau menghilangkan informasi
pertahanan nasional atau hubungan internasional yang dapat menyebabkan gangguan atau
bahaya terhadap Negara dan atau hubungan dengan subyek Hukum Internasional.

Pasal 28
Setiap orang dilarang melakukan tindakan yang secara tanpa hak yang menyebabkan
transmisi dari program, informasi, kode atau perintah, komputer dan atau sistem elektronik
yang dilindungi Negara menjadi rusak.

Pasal 29
Setiap orang dilarang menggunakan dan atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik
secara tanpa hak atau melampaui wewenangnya, baik dari dalam maupun luar negeri untuk
memperoleh informasi dari komputer dan atau sistem elektronik yang dilindungi oleh negara.

Pasal 30
Setiap orang dilarang:
(1) Menggunakan dan atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik milik pemerintah
yang dilindungi secara tanpa hak;
(2) Menggunakan dan atau mengakses tanpa hak atau melampaui wewenangnya, komputer
dan atau sistem elektronik yang dilindungi oleh negara, yang mengakibatkan komputer dan
atau sistem elektronik tersebut menjadi rusak.
(3) Menggunakan dan atau mengakses tanpa hak atau melampaui wewenangnya, komputer
dan atau sistem elektronik yang dilindungi oleh masyarakat, yang mengakibatkan komputer
dan atau sistem elektronik tersebut menjadi rusak.
(4) Mempengaruhi atau mengakibatkan terganggunya komputer dan atau sistem elektronik
yang digunakan oleh pemerintah.

Pasal 31
Setiap orang dilarang:
(1) Menggunakan dan atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik secara tanpa hak
atau melampaui wewenangnya untuk memperoleh keuntungan atau memperoleh informasi
keuangan dari Bank Sentral, lembaga perbankan atau lembaga keuangan, penerbit kartu
kredit, atau kartu pembayaran atau yang mengandung data laporan nasabahnya.
(2) Menggunakan dan atau mengakses dengan cara apapun kartu kredit atau kartu
pembayaran milik orang lain secara tanpa hak dalam transaksi elektronik untuk memperoleh
keuntungan
Pasal 32
Setiap orang dilarang menggunakan dan atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik
Bank Sentral, lembaga perbankan dan atau lembaga keuangan yang dilindungi secara tanpa
hak atau melampaui wewenangnya, untuk disalah gunakan, dan atau untuk mendapatkan
keuntungan daripadanya.

Pasal 33
Setiap orang dilarang:
(1) Menyebarkan, memperdagangkan, dan atau memanfaatkan kode akses (password) atau
informasi yang serupa dengan hal tersebut, yang dapat digunakan menerobos komputer dan
atau sistem elektronik dengan tujuan menyalahgunakan yang akibatnya dapat mempengaruhi
sistem elektronik Bank Sentral, lembaga perbankan dan atau lembaga keuangan, serta
perniagaan di dalam dan luar negeri.
(2) Menyebarkan, memperdagangkan, dan atau memanfaatkan kode akses (password) atau
informasi yang serupa dengan hal tersebut, yang dapat digunakan menerobos komputer dan
atau sistem elektronik dengan tujuan menyalahgunakan komputer dan atau sistem elektronik
yang digunakan atau dilindungi oleh pemerintah.

Pasal 34
Setiap orang dilarang melakukan perbuatan dalam rangka hubungan internasional dengan
maksud merusak komputer atau sistem elektronik lainnya yang dilindungi negara dan berada
di wilayah yurisdiksi Indonesia.

2.1.2 Ketentuan pidana pelanggaran ITE


Ketentuan pidana atas pelanggaran Pasal 26 sampai dengan Pasal 34 diatur dalam Pasal 42
sampai dengan Pasal 47. Berikut uraiannya.
BAB IV
KETENTUAN PIDANA

Pasal 42
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp.1.000.000.000,-. (satu milyar rupiah).
(2) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak
Rp. 1.000.000.000.,- (satu milyar rupiah).

Pasal 43
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1),
Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan atau denda paling
banyak Rp.100.000.000.,- (seratus juta rupiah).

Pasal 44
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan atau denda paling banyak
Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dituntut atas pengaduan
dari orang yang terkena tindak pidana.

Pasal 45
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3),
Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30 ayat (1), Pasal 30 ayat (2), Pasal 30 ayat (3), Pasal 30 ayat (4),
Pasal 33 ayat (2), atau Pasal 34, dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan)
tahun dan atau denda paling banyak Rp.2.000.000.000.,- (dua milyar rupiah).

Pasal 46
Setiap orang yang melanggar Pasal 27 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama
20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling banyak Rp.10.000.000.000,- (sepuluh milyar
rupiah).

Pasal 47
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1),
Pasal 31 ayat (2), Pasal 32, atau Pasal 33 ayat (1), pasal 35 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan atau denda paling banyak Rp.2.000.000.000.,- (dua
milyar rupiah).
BAB IV
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Undang- undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) dan Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE),adalah upaya pemerintah untuk menerapkan
etika dan moral dalam penggunaan berbagai teknologi informasi dan komunikasi. Etika dan
moral dalam penggunaan informasi dan transaksi elektronik perlu dipahami agar terhindar
dari pelanggaran yang diatur oleh UU ITE. Dengan adanya undang-undang tersebut,
pengguna teknologi informasi dan komunikasi diharuskan untuk berhati-hati, karena adanya
pasal-pasal dan sanksi yang mengatur penggunaan informasi secara tegas.

3.2 SARAN
Dalam perkembangan teknologi saat ini, kita sebagai calon guru harus memahami dan
mematuhi peraturan perundang-undangan yang telah mengatur penggunaan teknologi
informasi agar kita terhindar dari pelanggaran Undang- undang Keterbukaan Informasi
Publik (UU KIP) dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Daftar Pustaka

Sumber :
Undang Undang Keterbukaan Informasi Publik No. 14 Tahun 2008
Cangara, Hafied. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa. 2014.
http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Keterbukaan_Informasi_Publik
http://system-basis-data-1.blogspot.com/2013/07/pengertian-informasi-menurut-para-
ahli.html
Hidayat Rudi, 2011, Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk SMA/MA Kelas X Edisi
Revisi, Penerbit Erlangga

Anda mungkin juga menyukai