Anda di halaman 1dari 20

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Penyakit menular sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan


masyarakat di seluruh dunia, baik di negara maju maupun di negara berkembang.
Insiden maupun prevalensi yang sebenarnya di berbagai negara tidak diketahui
dengan pasti. World Health Organization (WHO) memperkirakan pada tahun 1999 di
seluruh dunia terdapat sekitar 340 juta kasus baru penyakit menular yang salah
satunya adalah penyakit herpes. Penyakit herpes ini disebabkan oleh virus Herpes
simpleks (HSV) tipe 1 dan tipe 2. Di Amerika Serikat kurang lebih 20 persen orang di
atas usia 12 tahun terinfeksi virus herpes simpleks. Sekitar 80 persen orang dengan
HIV juga terinfeksi herpes kelamin. Infeksi HSV-2 lebih umum pada perempuan. Di
Amerika Serikat kurang lebih satu dari empat perempuan dan satu dari lima laki-laki
terinfeksi HSV-2. HSV berpotensi menyebabkan kematian pada bayi yang terinfeksi.

HSV tidak termasuk infeksi yang mendefinisikan AIDS. Namun orang yang
terinfeksi dengan HIV dan HSV bersamaan biasanya mengalami jangkitan herpes.
Jangkitan lebih parah dan bertahan lebih lama dibanding dengan orang HIV-negatif.
Di Indonesia, sampai dengan saat ini belum diketahui yang terinfeksi oleh virus
herpes. Akan tetapi, menurut hasil survei yang dilakukan oleh Direktorat Jendral
Pencegahan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (PPMPL) Departemen
Kesehatan pada beberapa kelompok perilaku risiko tinggi, tampak bahwa banyak
masyarakat kita yang terinfeksi oleh HIV. Hal ini akan menjadi penyebab
terjangkitnya penyakit herpes, disamping itu dengan kemajuan sistem transportasi
pada saat ini, tidak menutup kemungkinan virus herpes bisa mewabah di Indonesia.
Untuk itu, diperlukan usaha pencegahan yang bisa diterapkan untuk mencegah
masuknya virus Herpes di Indonesia mengingat virus ini sangat mudah menular dan
pengobatan yang dilakukan kepada masyarakat kita jika sudah terinfeksi oleh virus
Herpes.

1
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa definisi dari Herpes simplex?
1.2.2 Apa Etiologi dan patogenesis Herpes simplex?
1.2.3 Bagaimana patofisiologi Herpes simplex?
1.2.4 Apa saja manifestasi klinis Herpes simplex?
1.2.5 Apa saja komplikasi Herpes Simplex?
1.2.6 Bagaimana penatalaksanaan Herpes simplex?
1.2.7 Apa definisi dari Herpes zoester?
1.2.8 Apa Etiologi dari Herpes zoester?
1.2.9 Apa saja klasifikasi Herpes zoester?
1.2.10 Bagaimana patofisiologi Herpes zoester?
1.2.11 Apa saja manifestasi klinis dari Herpes zoester?
1.2.12 Bagaimana Penatalaksanaan Herpes zoester?
1.2.13 Bagaimana Asuhan Keperawatan pada klien Herpes ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui Definisi dari Herpes simplex
1.3.2 Untuk mengetahui Etiologi dan patogenesis
1.3.3 Untuk mengetahui Patofisiologi Herpes simplex
1.3.4 Untuk mengetahui Manifestasi klinis Herpes simplex
1.3.5 Untuk mengetahui Komplikasi Herpes Simplex
1.3.6 Untuk mengetahui Penatalaksanaan Herpes Simplex
1.3.7 Untuk mengetahui Definisi dari Herpes zoester
1.3.8 Untuk mengetahui Etiologi dari Herpes zoester
1.3.9 Untuk mengetahui Klasifikasi Herpes zoester
1.3.10 Untuk mengetahui Patofisiologi Herpes zoester
1.3.11 Untuk mengetahui Manifestasi klinis dari Herpes zoester
1.3.12 Untuk mengetahui Penatalaksanaan Herpes Zoester
1.3.13 Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan pada klien dengan Herpes

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Herpes Simplex


Herpes simpleks adalah penyakit akut yang ditandai dengan timbulnya
vesikula yang berkelompok, timbul berulang, yang mengenai permukaan
mukokutaneus, dan disebabkan oleh Virus Herpes Simpleks (HSV). Ada dua jenis
herpes simpleks :
1. Herpes simplex virus tipe 1 (HSV-1)
2. Herpes simplex virus tipe 2 (HSV-2)
Keduanya berkaitan erat, tetapi berbeda dalam epidemologi. HSV-1 secara
umum berhubungan dengan lesiorofacial, sedangkan HSV-2 secara umum
dikaitkan dengan penyakit kelamin. Namun, lokasi lesi tidak selalu menunjukkan
jenis virus.

2.2 Etiologi dan pathogenesis


HSV ditularkan melalui kontak langsung. Infeksi HSV terjadi melalui
inokulasi virus ke dalam permukaan mukosa (misanya: orofaring, serviks,
konjungtiva) atau melalui suatu lesi kecil di kulit
HSV-1 ditularkan terutama melalui kontak dengan air yang terinfeksi virus,
dengankan HSV-2 ditularkan secara seksual atau dari infeksi melalui kontak
pada jalan lahir seorang ibu untuk bayinya yang lahir.

2.3 Patofisiologi
Infeksi primer dimulai 2 – 20 hari setelah mengalami kontak. Infeksi
genetalia HSV-1 dan HSV-2 secara klinis identik. Individu dangan riwayat lesi
oral dan antibodi HSV-1 cenderung untuk menderita infeksi HSV-2 yang tidak
begitu berat. Infeksi primer dapat menimbulkan lesi atau gejala yang ringan atau
tidak ada sama sekali. Akan tetapi pada wanita infeksi herpes genetalis primer
secara khas ditunjukkan oleh adanya vesikel multipel pada labia mayora dan

3
minora, menyebar pada perineum dan paha yang kemudian berlanjut menjadi
tukak yang sangat nyeri.
HSV mempunyai kemampuan untuk reaktivasi melalui beberapa rangsangan
(misalnya: demam, trauma, stres emosional, sinar matahari dan menstruasi).
HSV-1 dapat aktif kembali dan lebih sering pada bagian oral dari pada genetalia.
Sementar itu, HSV-2 dapat aktif kembali 8-10 kali lebih sering di daerah genital
dari pada di daerah ororlabial. Reaktivitas lebih umum dan parah terjadi pada
individu dengan kondisi penurunan fungsi imun.

2.4 Manifestasi Klinis


Infeksi herpes simpleks virus berlangsung dalam tiga tahap: infeksi primer,
fase laten dan infeksi rekuren. Pada infeksi primer herpes simpleks tipe I tempat
predileksinya pada daerah mulut dan hidung pada usia anak-anak. Sedangkan
infeksi primer herpes simpleks virus tipe II tempat predileksinya daerah
pinggang ke bawah terutama daerah genital.Infeksi primer berlangsung lebih
lama dan lebih berat sekitar tiga minggu dan sering disertai gejala sistemik,
misalnya demam, malaise dan anoreksia. Kelainan klinis yang dijumpai berupa
vesikel berkelompok di atas kulit yang sembab dan eritematosa, berisi cairan
jernih dan menjadi seropurulen, dapat menjadi krusta dan dapat mengalami
ulserasi.
Pada fase laten penderita tidak ditemukan kelainan klinis, tetapi herpes
simpleks virus dapat ditemukan dalam keadaan tidak aktif pada ganglion
dorsalis. Pada tahap infeksi rekuren herpes simpleks virus yang semula tidak
aktif di ganglia dorsalis menjadi aktif oleh mekanisme pacu (misalnya: demam,
infeksi, hubungan seksual) lalu mencapai kulit sehingga menimbulkan gejala
klinis yang lebih ringan dan berlangsung sekitar tujuh sampai sepuluh hari
disertai gejala prodormal lokal berupa rasa panas, gatal dan nyeri. Infeksi rekuren
dapat timbul pada tempat yang sama atau tempat lain di sekitarnya

4
2.5 Komplikasi
Komplikasinya yaitu: pioderma, ekzema herpetikum, herpeticwhithlow,
herpes gladiatorum (pada pegulat yang menular melalui kontak), esophagitis,
infeksi neonatus, keratitis, dan ensefalitis.
Menurut Hunter (2003) komplikasi herpes simpleks adalah herpes ensefalitis
atau meningitis tanpa ada kelainan kulit dahulu, vesikel yang menyebar luas ke
seluruh tubuh, ekzema herpeticum, jaringan parut, dan eritema multiforme.

2.6 Penatalaksanaan Herpes Simplex


Pada lesi yang dini dapat digunakan obat topikal berupa salap/krim yang
mengandung preparat idoksuridin (stoxil, viruguent, virunguent-P) atau preparat
asiklovir (zovirax).Pengobatan oral preparat asiklovir dengan dosis 5x200mg per
hari selama 5 hari mempersingkat kelangsungan penyakit dan memperpanjang
masa rekuren.Pemberian parenteral asiklovir atau preparat adenine arabinosid
(vitarabin) dengan tujuan penyakit yang lebih berat atau terjadi komplikasi pada
organ dalam.
Untuk terapi sistemik digunakan asiklovir, valasiklovir, atau famsiklovir. Jika
pasien mengalami rekuren enam kali dalam setahun, pertimbangkan untuk
menggunakan asiklovir 400 mg atau valasiklovir 1000 mg oral setiap hari selama
satu tahun. Untuk obat oles digunakan lotion zinc oxide atau calamine.Pada
wanita hamil diberi vaksin HSV sedangkan pada bayi yang terinfeksi HSV
disuntikkan asiklovir intra vena.

2.7 Definisi Herpes Zoster

Herpes zoester (shingles, cacar monyet ) merupakan kelainan inflamatorik viral


di mana virus penyebabnya menimbulkan erupsi vesicular yang terasa nyeri di
sepanjang distribusi saraf sensosrik dari satu atau lebih ganglion posterior. Infeksi ini
disebabkan oleh virus varisela, yang dikenal sebagai virus varisela-zoester. Virus ini

5
merupakan anggota kelompok virus DNA. Virus cacar air dan herpes zoester tidak
dapat dibedakan sehingga diberi nama virus varisela-zoester.

Patogenesis herpes zoester belum seluruhnya diketahui. Selama terjadi varisela,


virus varisela zoester berpindah tempat dari lesi kulit dan permukaan mukosa ke
ujung saraf sensorik ke ganglion sensoris. Pada ganglion terjadi infeksi laten, virus
tersebut tidak lagi menular dan tidak bermultiplikasi, tetapi tetap mempunyai
kemampuan untuk berubah menjadi infeksius.

Komplikasi herpes zoester dapat terjadi pada 10 – 15% kasus, komplikasi yanga
terbanyak adalah neuralgia pasca-herpetik yaitu berupa rasa nyeri yang persisten
setelah krusta terlepas. Komplikasi jarang terjadi pada usia dibawah 40 tahun, tetapi
hamper 1/3 kasus terjadi pada usia diatas 60 tahun. Hal ini dapat terjadi oleh karena
defek imunologi karena keganasan atau pengobatan imunosupresi.

2.8 Etiologi

Herpes zoester disebabkan oleh infeksi virus varisela zoester (VVZ) dan
tergolong virus berinti DNA. Virus ini berukuran 140 – 200 nm, yang termasuk
subfamily alfa herpes viridae. Berdasarkan sifat biologisnya seperti siklus replikasi,
penjamu, sifat sitotpksik, dan sel tempat hidup laten diklasifikasikan kedalam 3
subfamili yaitu alfa, beta, dan gamma. VVZ dalam subfamily alfa mempunyai sifat
khas menyebabkan infeksi primer pada sel epitel yang menimbulkanlesi vascular.
Selanjutnya setelah infeksi primer, infeksi oleh virus herpes alfa biasanya menetap
dalam bentuk laten di dalam neurondari ganglion. Virus yang laten ini pada saatnya
akan menimbulkan kekambuhan secara periodic.

2.9 Klasifikasi herpes zoester


Klasifikasi herpes zoster menurut Harahap,Marwali. 2000 adalah sebagai
berikut:
1. Herpes zoster oftalmikus

6
Herpes zoster oftalmikus merupakan infeksi virus herpes zoster yang
mengenai bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf dari cabang
ophtalmicus saraf trigeminus (N.V), ditandai erupsi herpetik unilateral pada
kulit. Infeksi diawali dengan nyeri kulit pada satu sisi kepala dan wajah
disertai gejala konstitusi seperti lesu, demam ringan. Gejala prodromal
berlangsug 1 sampai 4 hari sebelum kelainan kulit timbul. Fotofobia, banyak
kelar air mata, kelopak mata bengkak dan sukar dibuka.

Gambar 1. Herpes zoster oftalmikus sinistra


2. Herpes zoster fasialis
Herpes zoster fasialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai
bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf fasialis (N.VII), ditandai
erupsi herpetik unilateral pada kulit.

Gambar 2. Herpes zoster fasialis dekstra.


3. Herpes zoster brakialis
Herpes zoster brakialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai
pleksus brakialis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

7
Gambar 3. Herpes zoster brakialis sinistra
4. Herpes zoster torakalis
Herpes zoster torakalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai
pleksus torakalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

Gambar 4. Herpes zoster torakalis sinistra

5. Herpes zoster lumbalis


Herpes zoster lumbalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai
pleksus lumbalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

8
Gambar 5. Herpes zoster lumbalis

6. Herpes zoster sakralis


Herpes zoster sakralis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai
pleksus sakralis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

Gambar 6. Herpes zoster sakralis dekstra.

2.10 Patofisiologi
Sesudah seseorang menderita cacar air, virus varisela-zoester yang diyakini
sebagai penyebab terjadinya penyakit ini hidup secara inaktif (dormant) di dalam
sel sel saraf di dekat otak dan medulla spinalis. Kemudian hati ketika virus yang
laten ini mengalami reaktivasi, virus tersebut berjalan melewati saraf perifer ke
kulit. Virus varisela yang dorman diaktifkan dan timbul vesikel –
vesikelmeradang unilateral di sepanjang satu dermaton. Kulit disekitarnya
mengalami edema dan perdarahan. Keadaan ini biasanya didahu;ui atau disertai
nyeri hebat dan/ atau rasa terbakar.

9
Meskipun setiap saraf dapat terkena, tetapi saraf torakal, lumbal, atau kranial
agaknya paling sering terserang. Herpes zoester dapat berlangsung selama
kurang lebih tiga minggu. Adanya keterlibatan saraf perifer secara local
memeberikan respons nyeri, kerusakan integritas jaringan terjadi akibat adanya
vesikula. Respon sistemik memberikan manifestasi peningkatan suhu tubuh,
perasaan tidak enak badan, dan gangguan gastrointestinal. respon psikologis pada
kondisi adanya lesi pada kulit memberikan respon kecemasan dan gangguan
gambaran diri.

2.11 Manifestasi klinis

1. Gejala prodromal sistematik (demam, pusing, malese) maupun gejala


prodomal lokal (nyeri otot tulang, gatal, pegal).
2. Setelah itu timbul eritema yang dalam waktu singkat menjadi vesikel yang
berkelompok, vesikel ini berisi cairan yang jernih kemudian menjadi keruh
(berwarna abu-abu) dapat menjadi pustule dan krusta. (Prof. dr. Adhi
Juwanda, 199:107).
3. Gambaran yang khas pada herpes zoster adalah erupsi yang lokalisata dan
hampir selalu unilateral
Menurut daerah penyerangnya dikenal :
a) Herpes zosrter of oftalmikus : menyerang dahi dan sekitar mata
b) Herpes zosrter servikalis : menyerang pundak dan lengan
c) Herpes zosrter torakalis : menyerang dada dan perut
d) Herpes zosrter lumbalis : menyerang bokong dan paha.
e) Herpes zosrter sakralis : menyerang sekitar anus dan getalia
f) Herpes zosrter atikum : menyerang telinga

10
2.12 Penatalaksanaan Herpes Zoester
a) Pengobatan topical
1. Pada stadium vesicular diberi bedak salicyl 2% atau bedak kocok
kalamin untuk mencegah vesikel pecah.
2. Bila vesikel pecah dan basah,diberikan kompres terbuka dengan
larutan antiseptik atau kompres dingin dengan larutan burrow 3 kali
sehari selama 20 menit.
3. Apabila lesi berkrusta dan agak basah dapat diberikan salep
antibiotik(basitrasin/polysporin) untuk mencegah infeksi sekundar
selama 3 kali sehari.
b) Pengobatan sistemik
Memakai Aciclovir yang dapat mengintervensi sintesis virus dan
replikasinya.Meskitidak menyembuhkan infeksi Herpes namun dapat
menurunkan keparahan penyakit dan nyeri. Dapat diberikan secara
oral,topikal atau parental Antiviral lain yang dianjurkan adalah
vidarabine (Ara-A,Vira-A) dapat diberikan lewat infus intravena atau
salep mata. Analgesik non narkotik dan narkotik diresepkan untuk
manajemen nyeri dan anthistamin diberikan untuk penyembuhan
priritus.

11
BAB 3

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN HERPES

3.1 Pengkajian
1. Biodata
A. Identitas Pasien
Di dalam identitas hal-hal yang perlu di kaji antara lain nama pasien,
alamat pasien, umur pasien biasnya kejadian ini mencakup semua usia antara
anak-anak sampai dewasa, tanggal masuk ruma sakit penting untuk di kaji
untuk melihat perkembangan dari pengobatan, penanggung jawab pasien agar
pengobatan dapat di lakukan dengan persetujuan dari pihak pasien dan
petugas kesehatan.
2. Riwayat Kesehatan
A. Keluhan Utama
Gejala yang sering menyebabkan penderita datang ke tempat
pelayanan kesehatan adalah nyeri pada lesi yang timbul dan gatal-gatal
pada daerah yang terkena pada fase-fase awal baik pada herpes zoster
maupun simpleks.
B. Riwayat penyakit sekarang
Penderita merasakan nyeri yang hebat, terutama pada area kulit yang
mengalami peradangan berat dan vesikulasi yang hebat, selain itu juga
terdapat lesi/vesikel perkelompok dan penderita juga mengalami demam.
C. Riwayat penyakit keluarga
Tanyakan kepada penderita ada atau tidak anggota keluarga atau
teman dekat yang terinfeksi virus ini.
D. Riwayat penyakit dahulu
diderita kembali oleh pasien yang pernah mengalami penyakit herpes
simplek atau memiliki riwayat penyakit seperti ini

12
E. Riwayat psikososial.
Kaji respon pasien terhadap penyakit yang diderita serta peran dalam
keluarga dan masyarakat, respon dalam keluarga maupun masyarakat.

3. Pola Kehidupan

A. Aktivitas dan Istirahat


Pasien mengeluh merasa cemas, tidak bisa tidur karena nyeri, dan
gatal.
B. Pola Nutrisi dan Metabolik
Pada Herpes Zoster oftalmik , pasien mengalami penurunanan nafsu
makan , karena mengeluh nyeri pada daerah wajah dan pipi sehingga
pasien tidak dapat mengunyah makanan dengan baik karena disebabkan
oleh rasa nyeri
C. Pola Aktifitas dan Latihan
Dengan adanya nyeri dan gatal yang dirasakan, terjadi penurunan pola
saat aktifitas berlebih ,sehingga pasien akan membatasi pergerakan
aktivitas .
D. Pola Hubungan dan peran
Pasien akan sedikit mengalami penurunan psikologis, isolasi karena
adanya gangguan citra tubuh.
4. Pengkajian fisik
1) Keadaan Umum
Tingkat Kesadaran
TTV
2) Head To Toe
a. Kepala
wajah : ada lesi (ukuran > 1 , bentuk :benjolan berisi air , penyebaran :
merata dengan kulit )
b. Rambut

13
Warna rambut hitam, tidak ada bau pada rambut, keadaan rambut
tertata rapi.
c. Mata (Penglihatan)
Adanya Nyeri tekan, ada penurunan penglihatan.
d. Hidung (Penciuman)
Septum nasi tepat ditengah, tidak terdapat secret, tidak terdapat lesi,
dan tidak terdapat hiposmia.
e. Telinga (Pendengaran)
Inspeksi
 Daun telinga : tidak terdapat lesi, kista epidemoid, dan keloid
 Lubang telinga : tidak terdapat obstruksi akibat adanya benda asing.
Palpasi
Tidak terdapat edema, tidak terdapat nyeri tekan pada otitis media dan
mastoidius.
f. Mulut dan gigi
Mukosa bibir lembab, tidak pecah-pecah, warna gusi merah muda,
tidak terdapat perdarahan gusi, dan gigi bersih.
g. Abdomen
Inspeksi
o Bentuk : normal simetris
o Benjolan : tidak terdapat lesi
Palpasi
o Tidak terdapat nyeri tekan
o Tidak terdapat massa / benjolan
o Tidak terdapat tanda tanda asites
o Tidak terdapat pembesaran hepar
h. Integument
- Ditemukan adanya vesikel-vesikel berkelompok yang nyeri,
- Edema di sekitar lesi,dan dapat pula timbul ulkus pada infeksi
sekunder.

14
- akral hangat
- turgor kulit normal/ kembali <1 detik
- terdapat lesi pada permukaan kulit wajah

3.2 Diagnosa keperawatan


1. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi jaringan
2. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan respon peradangan
3. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan penampilan, sekunder
akibat penyakit herpes simplex
4. Resiko penularan infeksi berhubungan dengan pemajanan melalui kontak
(langsung, tidak langsung, kontak droplet)
5. Kurang pengetahuan tentang penyakit dan risiko penyebaran infeksi berulang

3.3 Intervensi keperawatan

Diagnosa 1 : Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi jaringan

Tujuan : Tingkat nyeri berkurang

Kriteria hasil :

- Klien mengungkapkan nyeri berkurang / membaik


- Menunjukkan mekanisme koping spesifik untuk nyeri dan metode untuk
mengontrol nyeri secara benar

Intervensi

1. Kaji kembali faktor yang menurunkan toleransi nyeri


2. Kurangi atau hilangkan faktor yang meningkatkan pengalaman nyeri
3. Beri informasi pada klien dan keluarga tentang penyebab rasa nyeri
4. Jaga kebersihan dan kenyamanan lingkungan sekitar klien
5. Diskusikan dengan klien tentang penggunaan terapi distraksi, relaksasi,
imajinasi, dan ajarkan teknik / metode yang dipilih
6. Kolaborasikan dengan tim medis untuk pemberian analgesik

15
Diagnosa 2 : Gangguan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan respon
peradangan

Tujuan : kerusakan integritas kulit menurun

Kriteria hasil :

- Lesi mulai pulih, integritas jaringan kembali normal, dan area bebas dari
infeksi lanjut
- Kulit bersih dan area sekitar bebas dari edema

Intervensi

1. Kaji kembali tentang lesi, bentuk, ukuran, jenis, dan distribusi lesi
2. Pertahankan integritas jaringan kulit dengan jalan mempertahankan
kebersihan dan kekeringan kulit
3. Lakukan perawatan kulit setiap hari. Untuk mencegah infeksi sekunder
diberikan bedak salicil 2%, bila erosif diberikan kompres terbuka
4. Pertahankan kebersihan dan kenyamanan tempat tidur
5. Jika terjadi ulserasi, kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian salep
antibiotik

Diagnosa 3 : Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan penampilan,


sekunder akibat penyakit herpes simplex

Tujuan : Menunjukkan peningkatan harga diri

Kriteria hasil :

- Klien mengatakan dan menunjukkan penerimaan atas penampilannya


- Menunjukkan keinginan dan kemampuan untuk melakukan perawatan diri
- Melakukan pola – pola penanggulangan yang baru

Intervensi

1. Ciptakan hubungan saling percaya antara klien – perawat

16
2. Dorong klien untuk menyatakan perasaannya, terutama tentang cara ia
merasakan, berpikir, atau memandang dirinya
3. Jaga privasi dan lingkungan individu
4. Jaga kebersihan dan kenyamanan lingkungan sekitar klien
5. Jernihkan kesalahan konsepsi individu tentang dirinya, penatalaksanaan, atau
perawatan dirinya
6. Dorong klien untuk berbagi rasa, masalah, kekuatiran, dan persepsinya

Diagnosa 4 : Resiko penularan infeksi berhubungan dengan pemajanan melalui


kontak (langsung, tidak langsung, kontak droplet)

Tujuan : Pasien tidak mengalami infeksi

Kriteria hasil :

- Klien menyebutkan perlunya isolasi sampai ia tidak lagi menularkan infeksi


- Klien dapat menjelaskan cara penularan penyakit

Intervensi

1. Jelaskan tentang penyakit herpes simplex, cara penularan, dan akibat yang
ditimbulkan
2. Anjurkan klien untuk menghentikan kegiatan hubungan seksual selama sakit
dan jika perlu menggunakan kondom
3. Ajarkan klien untuk cuci tangan dengan benar dengan sabun antimikroba
4. Anjurkan klien dan keluarga untuk memisahkan alat – alat mandi, dan tidak
menggunakannya bersama (handuk, pakaian, baju dalam)
5. Pertahankan teknik isolasi (karena penyakit ini disebabkan oleh virus yang
dapat menular melalui udara)

17
Diagnosa 5 : Kurang pengetahuan tentang penyakit dan risiko penyebaran infeksi
berulang

Tujuan : Tingkat pengetahuan pasien meningkat

Kriteria hasil :

- Mengungkapkan pengertian tentang proses infeksi, tindakan yang dibutuhkan


dengan kemungkinan penularan
- Mengenal perubahan gaya hidup/tingkah laku untuk mencegah terjadinya
penularan

Intervensi

1. Beritahukan pasien/orang terdekat mengenal dosis, aturan, dan efek


pengobatan serta pembatasan aktivitas seksual yang dapat dilakukan.
2. Jelaskan tentang pentingnya pengobatan antivirus dan cara menggunakan
obatnya
3. Meningkatkan cara hidup sehat seperti intake makanan yang baik,
keseimbangan antara aktivitas dan istirahat, monitor status kesehatan dan
adanya infeksi
4. Beritahu pasien bahwa mereka dapat menulari orang lain
5. Identifikasi sumber – sumber pendukung yang memungkinkan untuk
mempertahankan perawatan di rumah yang dibutuhkan

3.4 Evaluasi

1. Terjadi penurunan respon nyeri


2. Resiko infeksi tidak terjadi
3. Meminimalisir kerusakan integritas kulit
4. Peningkatan gambaran diri (citra diri)
5. Terpenuhinya informasi kesehatan

18
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Penyakit herpes disebabkan oleh virus, yaitu virus Herpes Simpleks tipe 1 dan 2.
dimana akibat yang ditimbulkan berupa luka pada kulit, rasa nyeri, panas, dan
lepuhan seperti luka terbakar.

Upaya pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari kontak langsung,


memperkecil kemungkinan terjadinya penularan secara tidak langsung, tidak
memakai benda bersama-sama dengan penderita herpes, dan menghindari faktor
pencetus. Upaya pengobatan yang dilakukan yaitu dengan mengkonsumsi obat kumur
anestetik, mengkonsumsi vitamin C, dan memakai salep asiklovir.

4.2 Saran

Meskipun sampai saat ini belum diketahui adanya penyakit yang disebabkan oleh
virus Herpes, akan tetapi hendaknya kita selalu waspada terhadap virus
Herpes, mengingat virus ini sangat cepat menular, menyebabkan kematian, dan
sampai saat ini belum ditemukan vaksin yang bisa mencegah infeksi virus Herpes..

19
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Bolognia J.L., Jorizzo J.L., dan Rapini R.P.2003. Dermatology. Volume 1. St. Louis
Mosby.

Burd R. 2006. Impetigo. In: LebwohlMG, Heymann WR, Berth-Jones J, et al.


Treatment of Skin Disease: Comprehensive Therapeutic Strategies. London:
Mosby

Handoko, Ronny P., 2010. Herpes Simpleks. Dalam: Djuanda, A., Hamzah, M.,
Aisah, S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 380-382.

Rahariyani, Loetfia Dwi. 2007. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem


Integumen. Jakarta : EGC

20

Anda mungkin juga menyukai