Anda di halaman 1dari 5

Jakarta, 15 Agustus 2017

Pemerintah berkomitmen kuat mewujudkan eliminasi penyakit campak dan mengendalikan penyakit
rubella serta kecacatan bawaan akibat rubella atau Congenital Rubella Syndrome di Indonesia pada
tahun 2020.

Untuk mewujudkan eliminasi dan pengendalian kedua penyakit ini ditempuh strategi nasional
pemberian imunisasi MR tambahan atau catch up campaign untuk anak usia 9 bulan sampai dengan
kurang dari 15 tahun, diikuti peralihan pemakaian vaksin campak menjadi vaksin Measles Rubella (MR)
ke dalam program imunisasi.

Dengan mempertimbangkan besarnya jumlah sasaran dan mengingat sumber daya yang tersedia, maka
kegiatan ini dilaksanakan dalam dua fase, yaitu: Fase I pada bulan Agustus September 2017 di provinsi di
Pulau Jawa, dan Fase II pada bulan Agustus September 2018 di seluruh provinsi di luar Pulau Jawa. Agar
eliminasi campak dan pengendalian rubella dapat terwujud pada tahun 2020, maka kampanye imunisasi
MR ini harus mencapai cakupan minimal 95%. Sampai Hari Minggu 13 Agustus 2017, cakupan kampanye
imunisasi MR sudah mencapai total 13.475.438 anak (38,5%).

Vaksin yang digunakan dalam program imunisasi nasional termasuk vaksin MR untuk kampanye
imunisasi MR sangat aman dan efektif, namun demikian seiring dengan meningkatnya jumlah vaksin
yang diberikan, menurut Chen dkk (1994) akan muncul Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI). KIPI
merupakan kejadian medik yang terjadi setelah pemberian imunisasi dan diduga berhubungan dengan
imunisasi. Untuk itu diperlukan kajian dari tim ahli yang independen untuk menilai apakah ada kaitan
dengan imunisasi atau tidak.

Indonesia telah memiliki tim ahli independen untuk melakukan kajian terhadap kasus-kasus yang diduga
KIPI yang terbentuk sejak tahun 1998, dengan unsur keanggotaan terdiri dari perwakilan dokter spesialis
anak, dokter spesialis penyakit dalam, dokter spesialis kandungan dan kebidanan, dokter spesialis
syaraf, dokter spesialis forensik, farmakolog, vaksinolog dan imunolog serta unsur lintas sektor terkait.
Di tingkat nasional yaitu Komite Nasional Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca
Imunisasi (Komnas PP KIPI) ditetapkan oleh Menteri Kesehatan RI, sedangkan di tingkat daerah yaitu
Komite Daerah (Komda PP KIPI) provinsi yang ditetapkan oleh Gubernur. Bahkan di tingkat
Kabupaten/Kota sepanjang memenuhi unsur keanggotaan tersebut dapat dibentuk Pokja KIPI
Kabupaten/Kota. Tim ini mempunyai kewenangan dan keahlian untuk melakukan investigasi dan kajian
kasus- kasus diduga KIPI.

Saat ini telah dilakukan koordinasi dengan Komnas PP KIPI dan Komnas telah berkoordinasi dengan
Komite Daerah (Komda PP KIPI) untuk penguatan pemantauan KIPI MR termasuk kajian terhadap kasus-
kasus diduga KIPI yang saat ini sedang diberitakan di beberapa media.

Komnas PP KIPI akan memberikan laporan resmi tentang hasil kajian kasus diduga KIPI kepada Menteri
Kesehatan. Selanjutnya Komnas PP KIPI dan Komda PP KIPI akan memberi penjelasan kepada
masyarakat apabila dibutuhkan.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Untuk
informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemenkes, melalui nomor hotline 1500-567, SMS
081281562620, faksimili (021) 5223002 dan alamat email kontak[at]kemkes[dot]go[dot]id

Jakarta, 15 November 2011

Berdasarkan hasil investigasi Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) Provinsi Jawa Barat, kasus
kematian 3 Balita tidak berkaitan dengan imunisasi campak dan polio. Kematian yang terjadi pada
HMH (2 tahun 10 bulan, Kab. Bekasi) dan INF (3 tahun, Kota Bekasi) diakibatkan oleh infeksi
penyakit lain. Sedangkan kematian PW (1 tahun, 9 bulan) disebabkan karena tersedak (chocking)
yang menyebabkan sumbatan jalan napas.

Komite Daerah Pengkajian dan Penanggulangan (Komda PP) KIPI Provinsi Jawa Barat yang
terdiri dari para ilmuwan dalam bidang kedokteran, dan kesehatan masyarakat telah mengadakan
kajian mendalam pada 3 kasus balita yang diduga meninggal setelah mendapat imunisasi campak
dan polio dalam kegiatan Kampanye Imunisasi Tambahan Campak dan Polio 2011. Komda PP
KIPI.

Campak merupakan salah satu penyakit menular dengan berbagai komplikasi yang berat, sangat
berpotensi menimbulkan wabah atau kejadian luar biasa (KLB), serta dapat menyebabkan
kematian. Sebagai gambaran situasi global di tahun 2008, diketahui terdapat 164.000 kematian
akibat campak di dunia. Artinya, terdapat 450 kematian akibat campak terjadi setiap hari, atau 18
kematian akibat campak terjadi setiap jam. Namun pada dasarnya, penyakit ini merupakan
Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi (PD3I).

Target Milenium Development Goals (MDGs) menyatakan kematian campak pada anak usia
kurang dari 5 tahun harus dapat diturunkan, menjadi 2/3 dalam kurun waktu tahun 1990-2015,
serta mendukung The WHO/Unicef Global Strategic Plan for measles Mortality Reduction and
Regional Elimintation 2001-2005.

Program imunisasi campak di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1984 dengan kebijakan yaitu
memberikan 1 dosis vaksin pada bayi usia 9 bulan. Pada awalnya cakupan campak sebesar
12,7% (1984), kemudian meningkat sampai 85,4% (1990) dan bertahan sampai 91,8% pada
tahun (2004). Dengan mempertimbangkan efikasi vaksin campak hanya 85% pada bayi umur 9
bulan, cakupan imunisasi campak sebesar 91,8% pada tahun 2004 hanya dapat melindungi
sekitar 76,5 % bayi. Sisanya, sebesar 23,5% masuk dalam kelompok rentan campak, yang dari
tahun ke tahun terus terakumulasi sehingga berisiko mengakibatkan KLB campak. Berdasarkan
hal tersebut maka dibutuhkan pemberian dosis kedua campak.

Karena itu, sesuai dengan kajian Kemenkes RI bersama Technical Advisory Group (TAG),
WHO dan UNICEF terhadap pengendalian penyakit campak, maka disimpulkan bahwa perlu
dilakukan Kampanye Imunisasi Campak dan Polio yang dilaksanakan secara bertahap selama
2009-2011.
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan
RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: 021-52907416-9,
faks: 52921669, Pusat Tanggap Respon Cepat (PTRC): 021-500567, atau e-mail
kontak[at]depkes[dot]go[dot]id

akarta, 6 September 2017

Kasus Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) telah terjadi di beberapa daerah belakangan ini, seperti
Demak, Blitar, dan Bogor. Dinas Kesehatan provinsi, kabupaten, dan kota bersama Komite Daerah
Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KOMDA PP-KIPI) telah melakukan
investigasi.

Hasil investigasi tersebut dilanjutkan oleh Komite Nasional Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian
Ikutan Pasca Imunisasi (KOMNAS PP-KIPI) untuk melakukan audit kajian kausalitas terhadap kasus KIPI
yang terjadi.

Berikut hasil Investigasi ;

Kajian KIPI dari Demak

Nama: NA, perempuan, 12 tahun


Berdasarkan hasil investigasi dan analisis KOMNAS PP-KIPI dan KOMDA PP-KIPI provinsi Jawa Tengah,
disimpulkan anak mengalami infeksi susunan syaraf pada tulang belakang.

Penyakit ini dapat disebabkan oleh virus lain. Setelah dirawat di RSUP Dr. Karyadi, pasien dinyatakan
sembuh dan telah pulang ke rumah.

Menurut klasifikasi WHO 2014, KIPI yang terjadi pada anak NA tidak berhubungan dengan imunisasi MR
(koinsiden).

Kajian KIPI dari Blitar

Nama: MAD, laki-laki, 4 tahun.


Berdasarkan hasil investigasi dan analisis KOMNAS PP-KIPI dan KOMDA PP-KIPI provinsi Jawa Timur,
disimpulkan anak mengalami radang otak disertai diare dan dehidrasi (kekurangan cairan).
Radang otak dapat disebabkan oleh virus lain karena masa dari saat diimunisasi sampai gejala klinis tidak
sesuai dengan virus campak maupun rubella.

Menurut klasifikasi WHO 2014, KIPI yang terjadi pada anak MAD tidak berhubungan dengan imunisasi
MR (koinsiden).

Kajian KIPI dari Bogor

Nama: GNJ, perempuan, 11 tahun


Berdasarkan hasil investigasi dan analisis KOMNAS PP-KIPI dan KOMDA PP-KIPI provinsi Jawa Barat,
disimpulkan anak mengalami infeksi susunan syaraf pusat dan syaraf tulang belakang. Pada hasil biakan
cairan serebrospinal ditemukan bakteri sebagai penyebab infeksi.

Menurut klasifikasi WHO 2014, KIPI yang terjadi pada anak GNJ tidak berhubungan dengan imunisasi MR
(koinsiden).

Dapat disimpulkan bahwa reaksi KIPI, setelah dikaji dan ditelaah oleh KOMNAS dan KOMDA PP-KIPI
ternyata tidak berhubungan dengan imunisasi MR. Maka, Kementerian Kesehatan RI menyatakan bahwa
vaksin MR aman untuk digunakan dalam program imunisasi.

Indonesia telah berkomitmen untuk mencapai eliminasi penyakit campak dan rubella (MR) pada 2020.
Strategi yang dilakukan dengan pemberian imunisasi tambahan, yakni vaksin MR pada anak umur 9
bulan sampai dengan kurang dari 15 tahun.

Program ini juga telah dilakukan di berbagai negara di dunia, sehingga Amerika, Eropa, dan Asia Pasifik
telah dinyatakan bebas dari penyakit campak.

KIPI dapat terjadi pada semua jenis imunisasi, baik berupa reaksi lokal pada tempat penyuntikan, seperti
nyeri, bengkak, dan kemerahan, maupun reaksi sistemik, seperti demam, dan ruam.

Untuk menentukan penyebab reaksi KIPI, harus memperhatikan onset, yakni masa sejak diberikan
imunisasi sampai timbul gejala. Selain itu perhatikan pula apakah ada dugaan penyebab lain selain
imunisasi.

Reaksi KIPI ini dipantau langsung oleh KOMNAS PP-KIPI beserta KOMDA PP-KIPI yang berkedudukan di
setiap propinsi.

Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat,Kementerian Kesehatan RI. Untuk
informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline (kode lokal) 1500-
567,SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email
kontak[at]kemkes[dot]go[dot]id.

Dinkes: Belum Ada Laporan KIPI MR

MedanBisnis � Medan. Dinas Kesehatan Sumatera Utara (Dinkes Sumut) menegaskan, sampai
saat ini belum ada laporan kejadian ikutan pascaimunisasi (KIPI) Measles Rubella (MR) dari
kabupaten/kota.

Hal ini diungkapkan Kabid Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Dinkes Sumut dr NG Hikmet
kepada wartawan di sela-sela acara Peningkatan Kapasitas Petugas Rumah Sakit Pemerintah dan
Swasta Tingkat Provinsi Sumut, Jumat (3/8).

Diketahui, realisasi bayi/anak (9 bulan-15 tahun) yang divaksinasi MR baru mencapai 50.035
orang atau 1,2 persen dari total target sasaran di Sumut sebanyak 4.291.857 orang.
Seiring berjalannya imunisasi massal MR di Sumut, beredar pula di medsos berita tahun lalu
ketika Imunisasi MR dilakukan di Pulau Jawa. Dalam berita tersebut, seorang anak berusia 11
tahun Gina Naziba Yasmin, meninggal usai imunisasi MR. Sebelum meninggal, Guna
mengalami kelumpuhan.
Menjawab hal ini, dr NG Hikmet menyebutkan, peristiwa di Bogor itu terjadi tahun 2017 lalu,
dan sudah dikonfirmasi Pokja KIPI dan Komda KIPI daerah tersebut. "Setelah dikonfirmasi,
belum tentu meninggal karena MR tetapi diduga ada sakit lain. Hal ini terungkap dalam
pertemuan di Jakarta tahun lalu," ungkap Hikmet.

Selain itu, beredar juga imbauan dari MUI Kepulauan Riau yang mengimbau umat Islam tidak
mengikuti imunisasi MR tersebut, karena vaksin MR belum bersertifikat halal dan meminta agar
ditunda. Akibatnya, masyarakat ragu anaknya diimunisasi.

Menanggapi hal ini, Hikmet menyayangkan pernyataan tersebut. Dia menyarankan, sebaiknya
diskusi dulu sebelum membuat pernyataan. "Imunisasi ini program Kemenkes kami hanya
menjalankan program Kemenkes. Semua keputusan ada di pusat," imbuhnya.

Menurutnya, target sasaran imunisasi harus tercapai. Sebab, kalau tidak mencapai maka
kekebalan massal tidak tercapai sehingga ada peluang penyakit campak dan rubella tersebut
berjangkit dan menular di masyarakat di Sumut. "Virus ini tidak ada obatnya ketika sudah
terjangkit ke anak kita. Kita obati itu infeksi sekunder dan tahan tubuhnya. Sebab daya tahan
tubuhnya sendiri yang membentuk antibodi untuk membunuh virusnya sendiri," ungkapnya.
Akibat dari virus Rubella ini, lanjutnya, maka anak akan bisa mengalami buta, tuli, cacat lahir
dan lainnya. "Niat dari pemerintah khususnya Kemenkes hanya agar kita terbebas dari campak
dan rubella. Macam kita dari dinas kesehatan bukan ada keuntungan apa-apa tapi hanya betul
untuk kemaslahatan umat, kita bisa eliminasi penyakit MR ini," ujarnya.

Terkait acara Peningkatan Kapasitas Petugas Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta Tingkat
Provinsi Sumut, Hikmet menjawab agar ada kesamaan persepsi dalam menangani kasus KIPI
seperti alergi, bengkak dan bernanah di lokasi tubuh yang disuntik vaksin, demam dan lainnya.
(dewi syahruni lubis)

Anda mungkin juga menyukai