Anda di halaman 1dari 10

SYOK ANAFILAKTIK

Oleh : Rizk Oktaviani (NIM 2015.02038)

Pendahuluan
Anafilaksis berasal dari bahasa Yunani, dari 2 kata, ana yang berarti jauh
dah phylaxis yang berarti perlindungan. Secara harfiah artinya adalah
menghilangkan perlindungan.Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Portier
dan Richet pada tahun 1902 ketika memberikan dosis vaksinasi dari anemone laut
untuk kedua kalinya pada seekor anjing. Hasilnya, anjing tersebut mendadak mati.
Anafilaksis merupakan reaksi alergi sistemik yang berat dan dapat menyebabkan
kematian, terjadi secara tiba-tiba segera setelah terpapar oleh allergen atau
pencetus lainnya. Reaksi anafilaksis termasuk ke dalam reaksi Hipersensivitas
Tipe 1 menurut klasifikasi Gell dan Coombs.
Anafilaksis secara jelas diperkenalkan pada tahun 1901 oleh Charles Richet
dan Paul Portier. Reaksi anafilaksis merupakan reaksi hipersensitifitas tipe cepat
yang melibatkan lebih dari satu sistem organ. Anafilaksis adalah reaksi alergi
yang dapat menyebabkan kematian. Di amerika serikat, setiap tahunnya
diperkirakan terdapat 150 kematian akibat reaksi alergi terhadap makanan.
Sedangkan 400-800 kematian setiap tahunnya karena alergi terhadap antbiotik.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Eka Imbawan,dkk. di RSUP Sanglah
pada tahun 2007-2010, baik laki-laki maupun perempuan memiliki risiko yang
sama untuk mengalami reaksi anafilaksis, dan reaksi terbanyak disebabkan oleh
obat sebesar 63,9%.
Anafilaksis paling sering disebabkan oleh makanan, obat-obatan, sengatan
serangga dan lateks. Gambaran klinis sangat heterogen dan tidak spesifik. Reaksi
awalnya cenderung ringan membuat masyarakat tidak mewaspadai bahaya yang
akan timbul, seperti syok, gagal nafas, henti jantung, dan kematian mendadak.
Pada awalnya gejala anafilaksis cenderung ringan, akan tetapi pada akhirnya bisa
menyebabkan kematian akibat syok anafilaktik. Syok anafilaktik, merupakan
salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis yang ditandai oleh adanya hipotensi
yang nyata dan kolaps sirkulasi darah. Walaupun jarang terjadi, syok anafilaktik
dapat berlangsng sangat cepat, tidak terduga, dan dapat terjadi di mana saja yang
potensial berbahaya sampai menyebabkan kematian. Identifikasi awal merupakan
hal yang penting, dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang
untuk menegakkan suatu diagnosis serta penatalaksanaan cepat, tepat, dan adekuat
suatu syok anafilaktik dapat mencegah keadaan yang lebih berbahaya.
Pada pelayanan kesahatan, anafilaksis tidak dipertimbangkan sebagai
penyebab kematian. Kematian akibat anafilaksis sering tidak terdiagnosis karena
tidak adanya riwayat yang mendetail dari saksi mata, pemeriksaan laboratorium
yang sedikit, dan pemeriksaan post mortem yang tidak spesifik. Reaksi anafilaktik
dapat terjadi dimana saja, di tempat praktek, di meja operasi, bahkan di rumah
pasien sendiri sehingga edukasi kepada pasien dan keluarga merupakan salah satu
upaya preventif dalam kasus ini. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah
melalui kunjungan ke rumah pasien.

Teori dan Pembahasan

Syok anafilaktik adalah syok yang terjadi secara akut yang disebabkan oleh
reasi alergi. (Prof.Dr. H. Tabrani Rab, Agenda Gawat Darurat (Critical Care).

Syok anafilaksis adalah suatu keadaan yang dipicu oleh respon


hipersensivitas generalisata yang diperantai oleh IgE menyebabkan vasodilatasi
sistemik dan peningkatan permeabilitas vascular.(Robbins & Cotrain (Dasar
Patologi Penyakit Edisi 7).

Syok anafilaktik terjadi setelah pajanan antigen terhadap sistem imun yang
menghasilkan dreganulasi sel mast dan pelepasan mediator. Aktivasi sel mast
dapat terjadi baik oleh jalur yang dimediasi imunoglobulin E (IgE) (anafilaktik)
maupun yang tidak dimediasi IgE (anafilaktoid ). Pencetus syok anafilaktik
meliputi gigitan atau sengatan serangga, obat-obatan dan makanan; anafilaksis
dapat juga bersifat idiopatik. Mediator gadar meliputi histamine, leukotriene,
triptase, dan prostaglandin. Bila dilepaskan, mediator menyebabkan peningkatan
sekresi mucus, peningkatan tonus otot polos bronkus, edema saluran napas,
penurunan tonus vascular, dan kebocoran kapiler. Konstelasi mekanisme tersebut
menyebabkan gangguan pernapasan dan kolaps kardiovaskular. ( Michael I.
Greenberg, Teks-Atlas Kedokteran Kedaruratan).

Antigen masuk ke dalam tubuh dapat melalui bermacam cara yaitu kontak
langsung melalui kulit, inhalasi, saluran cerna dan melalui tusukan / suntikan.
Pada reaksi anafilaksis, kejadian masuknya antigen yang paling sering adalah
melalui tusukan / suntikan. Begitu memasuki tubuh, antigen akan diikat langsung
oleh protein yang spesifik (seperti albumin). Hasil ikatan ini selanjutnya
menempel pada dinding sel makrofag dan dengan segera akan merangsang
membrane sel makrofag untuk melepaskan sel precursor pembentuk reagen
antibody immunoglobulin E atau reagenic ( IgE) antibody forming precursor cell.
Sel-sel precursor ini lalu mengadakan mitosis dan menghasilkan serta
membebaskan antibody IgE yang spesifik. IgE yang terbebaskan ini akan diikat
oleh reseptor spesifik yang berada pada dinding sel mast dan basofil membentuk
reseptor baru yaitu F ab. Reseptor F ab ini berperan sebagai pengenal dan
pengikat antigen yang sama. Proses yang berlangsung sampai di sini disebut
proses sensitisasi.

Pada suatu saat dimana tubuh kemasukan lagi antigen yang sama, maka
antigen ini akan segera sikenali oleh reseptor F ab yang telah terbentuk dan diikat
membentuk ikatan IgE – Ag. Adanya ikatan ini menyebabkan dinding sel mast
dan basofil mengalami degranulasi dan melepaskan mediator-mediator endogen
seperti histamine, kinin, serotonin, Platelet Activating Factor (PAF). Mediator-
mediator ini selanjutnya menuju dan mempengaruhi sel-sel target yaitu sel otot
polos. Proses merupakan reaksi hipersensitivitas. Pelepasan endogen tersebut bila
berlangsung cepat disebut fase akut dan karena dapat dilepaskan dalam jumlah
yang besar, maka biasanya tidak dapat diatasi dengan hanya memberikan
antihistamin.

Pada saat fase akut ini berlangsung, pada membran sel mast dan basofil
terjadi pula proses yang lain. Fosfolipid yang terdapat di membrane sel mast dan
basofil oleh pengaruh enzim fosfolipase berubah menjadi asam arakidonat dan
kemudian akan menjadi prostaglandin, tromboksan dan leukotrien / SRSA ( Slow
Reacting Substance of Anaphylaxis) yang juga merupakan mediator-mediator
endogen anafilaksis. Karena proses terbentuknya mediator yang terakhir ini lebih
lambat, maka disebut dengan fase lambat anafilaksis.

Melalui mekanisme yang berbeda, bahan yang masuk ke dalam tubuh dapat
lasung mengaktivasi permukaan reseptor sel plasma dan menyebabkan
pembebasan histamine oleh sel mast dan basofil tanpa melalui pembentukan IgE
dan reaksi ikatan IgE-Ag. Proses ini disebut reaksi anafilaktoid, yang memberikan
gejala dan tanda serta akibat yang sama seperti reaksi anafilaksis. Beberapa sistem
yang dapat mengaktivasi komplemen yaitu, obat-obatan, aktivasi kinin, pelepasan
histamine secara langsung, narkotika, obat pelemas otot : d-tubokurarin,
atrakurium, antibiotika : vankomisin, polimiksin B.

Pada reaksi anafilaksis, histamine dan mediator lainnya yang terbebaskan


akan mempengaruhi sel target yaitu sel otot polos dan sel lainnya. Akibat yang
ditimbulkan dapat berupa:

1. Terjadinya vasodilatasi sehingga terjadi hipovolemi yang relative.


2. Terjadinya kontraksi dari otot-otot polos seperti spasme bronkus
mengakibatkan sesak nafas, kontraksi vesika urinaria menyebabkan
inkontinensia uri, kontraksi usus menyebabkan diare.
3. Terjadi peningkatan permeabilitas kapiler yang mengakibatkan edema
karena pergeseran cairan dari intravaskuler ke interstisial dan menyebabkan
hipovolemi intravaskuler dan syok. Edema yang dapat terjadi terutama di
kulit, bronkus, epiglottis dan laring.
4. Pada jantung dapat terjadi spasme arteri koronaria dan depresi miokardium.
5. Terjadinya spasme arteri koronaria dan depresi miokardium yang bila
sangat hebat dapat menyebabkan henti jantung mendadak. Leukotrin
(SRSA) dan tromboksan yang terbebaskan pada fase lambat dapat
menyebabkan bronkokonstriksi yang lebih kuat dibandingkan dengan yang
disebabkan oleh histamine. Prostaglandin selain dapat menyebabkan
bronkokonstriksi juga dapat meningkatkan pelepasan histamine.
Peningkatan pelepasan histamine ini dapat pula disebabkan oleh PAF.

Gejala dan tanda anafilaksis berdasarkan organ sasaran:

1. Umum : Lesu, lemah, rasa tak enak yang sukar dilukiskan


Prodormal : rasa tak enak di dada, dan perut, rasa gatal di hidung dan
Palatum.
2. Pernapasan :
a. Hidung : hidung gatal, bersin, dan tersumbat
b. Laring : rasa tercekik, suara serak, sesak napas, stridor, edema.
c. Lidah : edema
d. Bronkus : batuk, sesak, mengi, spasme.
3. Kardiovaskuler : pingsan, sinkop, palpitasi, takikardia, hipotensi sampai syok,
aritmia. Kelainan EKG : gelombang T datar, terbalik, atau tanda-tanda
infark miokard
4. Gastrointestinal : disfagia, mual, muntah, kolik,diare yang kadang-kadang
disertai darah, peristaltik usus meninggi.
5. Kulit : urtika, angiodema di bibir, muka, atau ekstermitas.
6. Mata : gatal, lakrimasi
7. Susunan saraf pusat : gelisah, kejang
suatu syok anafilaktik amat tergantung dari kecepatan diagnose dan
pengelolaannya.
1. Adrenalin merupakan drug of choice dari syok anafilaktik. Hal ini disebabkan
3 faktor yaitu :
a. Adrenalin merupakan bronkodilator yang kuat , sehingga penderita dengan
cepat terhindar dari hipoksia yang merupakan pembunuh utama.
b. Adrenalin merupakan vasokonstriktor pembuluh darah dan inotropik yang
kuat sehingga tekanan darah dengan cepat naik kembali.
c. Adrenalin merupakan histamin bloker, melalui peningkatan produksi cyclic
AMP sehingga produksi dan pelepasan chemical mediator dapat berkurang
atau berhenti.
Dosis dan cara pemberiannya.
0,3 – 0,5 ml adrenalin dari larutan 1 : 1000 diberikan secara intramuskuler
yang dapat diulangi 5 – 10 menit. Dosis ulangan umumnya diperlukan,
mengingat lama kerja adrenalin cukup singkat. Jika respon pemberian
secara intramuskuler kurang efektif, dapat diberi secara intravenous
setelah 0,1 – 0,2 ml adrenalin dilarutkan dalam spoit 10 ml dengan NaCl
fisiologis, diberikan perlahan-lahan. Pemberian subkutan, sebaiknya
dihindari pada syok anafilaktik karena efeknya lambat bahkan mungkin
tidak ada akibat vasokonstriksi pada kulit, sehingga absorbsi obat tidak
terjadi.
2. Aminofilin
Dapat diberikan dengan sangat hati-hati apabila bronkospasme belum
hilang dengan pemberian adrenalin. 250 mg aminofilin diberikan perlahan-
lahan selama 10 menit intravena. Dapat dilanjutkan 250 mg lagi melalui drips
infus bila dianggap perlu.
3. Antihistamin dan kortikosteroid.
Merupakan pilihan kedua setelah adrenalin. Kedua obat tersebut kurang
manfaatnya pada tingkat syok anafilaktik, sebab keduanya hanya mampu
menetralkan chemical mediators yang lepas dan tidak menghentikan
produksinya. Dapat diberikan setelah gejala klinik mulai membaik guna
mencegah komplikasi selanjutnya berupa serum sickness atau prolonged effect.
Antihistamin yang biasa digunakan adalah difenhidramin HCl 5 – 20 mg IV
dan untuk golongan kortikosteroid dapat digunakan deksametason 5 – 10 mg
IV atau hidrocortison 100 – 250 mg IV.
Terapi atau tindakan supportif sama pentingnya dengan terapi
medikamentosa dan sebaiknya dilakukan secara bersamaan.
1. Pemberian Oksigen
Jika laring atau bronkospasme menyebabkan hipoksi, pemberian O2 3 –
5 ltr / menit harus dilakukan. Pada keadaan yang amat ekstrim tindakan
trakeostomi atau krikotiroidektomi perlu dipertimbangkan.
2. Posisi Trendelenburg
Posisi trendeleburg atau berbaring dengan kedua tungkai diangkat
(diganjal dengan kursi ) akan membantu menaikan venous return sehingga
tekanan darah ikut meningkat.
3. Pemasangan infus.
Jika semua usaha-usaha diatas telah dilakukan tapi tekanan darah masih
tetap rendah maka pemasangan infus sebaiknya dilakukan. Cairan plasma
expander (Dextran) merupakan pilihan utama guna dapat mengisi volume
intravaskuler secepatnya. Jika cairan tersebut tak tersedia, Ringer Laktat atau
NaCl fisiologis dapat dipakai sebagai cairan pengganti. Pemberian cairan infus
sebaiknya dipertahankan sampai tekanan darah kembali optimal dan stabil.
4. Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP)
Seandainya terjadi henti jantung (cardiac arrest) maka prosedur resusitasi
kardiopulmoner segera harus dilakukan sesuai dengan falsafah ABC dan
seterusnya. Mengingat kemungkinan terjadinya henti jantung pada suatu syok
anafilaktik selalu ada, maka sewajarnya ditiap ruang praktek seorang dokter
tersedia selain obat-obat emergency, perangkat infus dan cairannya juga
perangkat resusitasi(Resucitation kit ) untuk memudahkan tindakan secepatnya.
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penatalaksanaan syok
anafilaktik terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis
riwayat alergi penderita dengan cermat akan sangat membantu menentukan
etiologi dan faktor risiko anafilaksis. Individu yang mempunyai riwayat penyakit
asma dan orang yang mempunyai alergi terhadap banyak obat, mempunyai resiko
lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok anafilaktik.
Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatian bahwa
tes kulit negative pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-
obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi
anafilaksis. Orang dewasa tes kulit negatif, dan mempunyai riwayat alergi positif
mempunyai kemungkinan reaksi sebesar1-3% dibandingkan dengan kemungkinan
terjadinya reaksi 60%, bisla tes kulit positif.
Dalam pemberian obat juga harus berhati-hati, encerkan obat bila pemberian
dengan jalur subkutan, intradermal, intramuscular ataupun intravena dan observasi
selama pemberian. Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan
tepat. Hindari obat-obat yang sering menyebabkan syok anafilaktik. Catat obat
penderita pada status yang menyebabkan alergi. Jelaskan kepada penderita supaya
menghindari makanan atau obat yang menyebabkan alergi. Hal yang paling utama
adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi reaksi anafilaksis
serta adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan. Desensitisasi alergen spesifik
adalah pencegahan untuk kebutuhan jangka panjang.
Dengan penanganan yang cepat, tepat dan sesuai dengan kaedah
kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis jarang menyebabkan kematian. Namun
pasien yang pernah mengalami reaksi anafilaksis mempunyai resikountuk
memperoleh reaksi yang sama bila terpajan oleh pencetus yang sama.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi
anafilaksis yang akan menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu
umur, tipe, alergen, atopi, penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif
kronis, asma, keseimbangan asam basa dan elektrolit, obat-obatan yang
dikonsumsi seperti βblocker dan ACE Inhibitir, serta interval waktu dari mulai
terpajan oleh alergen sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan injeksi
adrenalin.
Kesimpulan
Anafilaksis merupakan reaksi alergi sistemk yang berat dan termasuk ke
dalam reaksi Hipersensitivitas Tipe 1 menurut klasifikasi Gell dan Coombs.
Reaksi anafilaksis dapat disebabkan oleh beragam macam sebab, diantaranya
makanan, lateks, obatobatan, reaksi sengatan serangga serta masih banyak
penyebab lainnya. Anafilaksis merupakan reaksi alergi yang dapat mengancam
nyawa, karena reaksi tersebut timbul secara mendadak dan tidak dapat diprediksi
sebelumnya, sebagai akibat pelepasan berbagai macam mediator dari sel mast dan
basofil, yang mempengaruhi lebih dari satu sistem organ yag gejalanya timbul
serentak atau hampir serentak, seperti pada kulit dan jaringan bawah kulit, saluran
respirasi atas dan bawah, sistem pencernaan, sistem kardiovaskular, serta sistem
organ lainnya.
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penatalaksanaan syok
anafilaktik terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Apabila ditangani secara
cepat dan tepat sesuai dengan kaedah kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis jarang
menyebabkan kematian.

Daftar pustaka

https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/f216832eb3ad0c53b11569
144fed27cf.pdf

Stephen FK, 2011, Anaphylaxis, Medscape. Available from URL:


http://emedicine.medscape.com

Anonym, 2011, Anaphylaxis. Available from URL:


http://en.wikipedia.org/wiki/Anaphylaxis

Neugut AI, Ghatak AT, Miller RL, 2001, Anaphylaxis in the United States, An
Investigation Into Its Epidemiology, Arch Intern Med, Page 161:15-21

Johnson RF, Peebles RS, 2011, Anaphylaxis Syok: Pathopysiology, Recognition


and Treatment, Medscape, Available from URL:
http://www.medscape.com/viewarticle/497498

Ewan, PW, 1998, Anaphylaxis, ABC Allergies, BMJ, Vol 316, Page 1442- 1445
Suryana K, 2003, Diktat Kuliah, Clinical Allergy Immunology, Divisi Allergi
Imunologi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah,
Denpasar

Wiryana M, 2002, Syok dan Penanganannya, Seminar Sehari Traumatologi, IKAYANA


FK UNUD, Denpasar

Wijaya IP, 2009, Syok Hipovolemik, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Interna
Publishing, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai