Anda di halaman 1dari 36

TUGAS MATA KULIAH

KEPERAWATAN HIV/AIDS
“ASKEP PENATALAKSAAN PASIEN DAN ARV“

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 1

1. Dina Putri Aryati (1710142010004)


2. Feby Septi Muswari (1710142010006)
3. Intan Permata Surya (1710142010011)
4. Liza Anggraini (1710142010013)
5. Mery Ardianti (1710142010016)
6. Nadia Hanifa (1710142010020)
7. Ovilia Zulita (1710142010025)
8. Rani Nadya Aliyyan (1710142010030)
9. Sherin Syafitri (1710142010037)
10. Tyovanny Oktavia Dewi (1710142010040)
11. Welly Utama (1710142010042)

PRODI S1 KEPERAWATAN
DOSEN PEMBIMBING : Ns. Dian Anggraini, M.Kep

STIKES YARSI SUMBAR BUKITTINGGI


TA 2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan yang maha esa karena atas berkat Rahmat dan
Hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Askep
Penatalaksaan Pasien dan ARV” pada anak dengan tepat waktu.

Harapan kami semoga dengan makalah ini dapat membantu menambah


pengetahuan bagi para pembaca. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan , oleh karna itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata kami mengucapkan terima kasih kepada semua bela pihak yang
terlibat dalam pembuatan makalah ini.

Bukittingi , 6 Maret 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................................ i

Daftar Isi. ..................................................................................................................... ii

BAB I Pendahuluan

1.1.Latar Belakang .................................................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah .............................................................................................. 2

1.3. Tujuan Penulisan ................................................................................................ 2

1.4. Manfaat Penulisan .............................................................................................. 3

BAB II Pembahasan

2.1. Pengkajian Setelah Diagnosis HIV .................................................................... 1

2.2. Pengertian ARV ................................................................................................. 4

2.3. Tujuan Pedoman Terapi ARV ............................................................................ 9

2.4. Tujuan Pemberian ARV ..................................................................................... 9

2.5. Sasaran pengguna pedoman terapi ARV........................................................... 9

2.6. Jenis-jenis obat ARV ......................................................................................... 9

2.7. Efek Samping ARV............................................................................................ 11

2.8. Pelaksanaan kegiatan terapi ARV ...................................................................... 12

2.9. Kesiapan pasien sebelum memulai ARV ........................................................... 13

BAB III Penutup

3.1. Kesimpulan ........................................................................................................ 17

3.2. Saran .................................................................................................................. 17

Daftar Pustaka

Lampiran

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penemuan obat antiretroviral pada tahun 1996 mendorong suatu revolusi dalam
perawatan ODHA di negara maju. Meskipun belum mampu menyembuhkan penyakit
dan menambah tantangan dalam hal efek samping serta resistensi kronis terhadap
obat, namun secara dramatis menunjukkan penurunan angka kematian dan kesakitan,
peningkatan kualitas hidup ODHA, dan meningkatkan harapan masyarakat, sehingga
pada saat ini HIV dan AIDS telah diterima sebagai penyakit yang dapat dikendalikan
dan tidak lagi dianggap sebagai penyakit yang menakutkan.
Di Indonesia sejak tahun 1999 telah terjadi peningkatan jumlah ODHA pada
subpopulasi tertentu di beberapa provinsi yang memang mempunyai prevalensi HIV
cukup tinggi. Peningkatan ini terjadi pada kelompok orang berperilaku risiko tinggi
tertular HIV yaitu para penjaja seks komersial dan penyalah-guna NAPZA suntikan.
Di beberapa provinsi seperti DKI Jakarta, Riau, Bali, Jabar dan Jawa Timur telah
tergolong sebagai daerah dengan tingkat epidemi terkonsentrasi (concentrated level of
epidemic ). Sedang tanah Papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas
(generalized epidemic). Hasil estimasi tahun 2006, di Indonesia terdapat 193.000
orang dengan HIV positif.
Pedoman Nasional Pengobatan Antiretroviral ini akan terus diperbaharui secara
periodik dengan mengacu pada pedoman dan rekomendasi WHO sesuai dengan
perkembangan bukti ilmiah yang berupa kajian klinik dan penelitian observasional
atas efikasi, efek samping obat serta pengalaman pemakaian ARV oleh program di
negara dengan keterbatasan sumber daya, seperti obat dan biaya.
Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral Edisi Kedua tahun 2007 ini memuat
rekomendasi tentang terapi dan pemantauan terapi ARV yang dimaksudkan sebagai
satu komponen paket perawatan komprehensif berkesinambungan di Indonesia,
antara lain pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik, program gizi dan

1
dukungan psikososial kepada ODHA yang membutuhkan. Pengobatan HIV dalam
pedoman ini juga meliputi usaha pencegahan bagi orang yang belum terinfeksi.
Pedoman terapi ditujukan untuk membakukan dan menyederhanakan terapi
ARV, sebagaimana terapi TB dalam program nasional pengendalian tuberkulosis,
dengan tidak mengesampingkan rumitnya pemberian terapi HIV. Di dalamnya
memuat informasi tentang saat yang tepat untuk memulai terapi ARV (starting), cara
memilih obat yang harus diteruskan bila harus mengganti sebagian paduan obat
(subtituting), alasan untuk mengganti seluruh paduan (switching) dan
saat menghentikan terapi ARV (stopping).
Pedoman ini menyediakan petunjuk sederhana dengan standar baku tatalaksana
klinis ODHA dan penggunaan antiretroviral sebagai bagian dari perawatan HIV yang
komprehensif. Batasan dewasa digunakan untuk pasien berusia 18 tahun atau lebih
dan remaja merujuk kepada pasien berusia 10 – 18 tahun.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa pengkajian setelah didiagnostik HIV/AIDS
2. Apa pengertian ARV
3. Apa tujuan pedoman dari terapi ARV
4. Apa tujuan pemberian terapi ARV
5. Siapa sasaran pengguna pedoman terapi ARV
6. Apa sajakah Jenis-jenis obat ARV
7. Efek samping ARV
8. Pelaksanaan kegiatan terapi ARV
9. Kesiapan pasien sebelum memulai ARV

1.1. Tujuan Penulisan


1. Pengkajian Setelah Diagnosis HIV
2. Mengetahui apa pengertian ARV
3. Mengetahui tujuan pedoman terapi ARV
4. Mengetahui sasaran dari pemberian terapai ARV

2
5. Mengetahui tujuan dari terapi ARV
6. Mengetahui saja jenis-jenis Obat-obatan terapi ARV
7. Mengetahui efek samping dari ARV
8. Mengetahui penatalaksanaan kegiatan terapi ARV
9. Mengetahui kesiapan pasien sebelum memulai ARV

1.4. Manfaat Penulisan

1.4.1. Bagi Penulis

Mengembangkan kemampuan penulis dalam hal menyusun makalah serta


menambah pengetahuan penulis mengenai Penatalaksanaan terapi ARV

1.4.2. Bagi Pembanca

Dapat menambah wawasan pembaca/mahasiswa mengenai Penatalaksanaan terapi


ARV

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengkajian Setelah Diagnosis HIV


Sesudah dinyatakan HIV positif, dilakukan pemeriksaan untuk mendiagnosisi
adanya penyakit penyerta serta infeksi oportunistik dan pemeriksaan laboratorium.
Selanjutnya dilakukan pencatatan pada ikhtisar perawatan HIV dan Terapi
Antiretroviral (ARV)

Pada ODHA dilakukannya pemeriksan CD4. CD4 adalah parameter terbaik untuk
mengukur imunodefisiensi. Jika digunakan bersamaan dengan penilaian klinis, CD4
dapat menjadi petunjuk dini progresivitas penyakit karena jumlah CD4 menurun lebih
dahulu dibandingkan kondisi klinis. Pemantauan CD4 dapat digunakan untuk
memulai pemberian ARV atau penggantian obat. Jumlah CD4 dapat berfluktuasi
menurut individu dan penyakit yang dideritanya. Bila mungkin harus ada 2 kali hasil
pemeriksaan CD4 di bawah ambang batas sebelum ARV dimulai.

Makin muda umur, makin tinggi nilai CD4. Untuk anak < 5 tahun digunakan
persentase CD4. Bila ≥ 5 tahun, jumlah CD4 absolut dapat digunakan. Pada anak < 1
tahun jumlah CD4 tidak dapat digunakan untuk memprediksi mortalitas, karena risiko
kematian dapat terjadi bahkan pada jumlah CD4 yang tinggi.

2.2. Pengertian ARV

Obat antiretroviral adalah pengobatan untuk perawatan infeksi oleh retrovirus,


terutama HIV. Kelas obat antiretroviral yang berbeda berjaman pada stadium
lingkaran kehidupan HIV yang berbeda.

Pengobatan antiretroviral (ARV) kombinasi merupakan terapi terbaik bagi pasien


terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) hingga saat ini. Tujuan utama
pemberian ARV adalah untuk menekan jumlah virus (viral load), sehingga akan
meningkatkan status imun pasien HIV dan mengurangi kematian akibat infeksi

4
oportunistik. Pada tahun 2015, menurut World Health Organization (WHO)
antiretroviral sudah digunakan pada 46% pasien HIV di berbagai negara.
Penggunaan ARV tersebut telah berhasil menurunkan angka kematian terkait
HIV/AIDS dari 1,5 juta pada tahun 2010 menjadi 1,1 juta pada tahun 2015.
Antiretroviral selain sebagai antivirus juga berguna untuk mencegah penularan HIV
kepada pasangan seksual, maupun penularan HIV dari ibu ke anaknya. Hingga pada
akhirnya diharapkan mengurangi jumlah kasus orang terinfeksi HIV baru di berbagai
negara.

2.2.1. Persiapan Pemberian ARV

Prinsip pemberian ARV adalah harus menggunakan 3 jenis obat yang ketiganya
harus terserap dan berada dalam dosis terapeutik dalam darah, dikenal dengan highly
active antiretroviral therapy (HAART). Istilah HAART sering disingkat menjadi
ART (antiretroviral therapy) atau terapi ARV. Pemerintah menetapkan paduan yang
digunakan dalam pengobatan ARV dengan berdasarkan pada 5 aspek yaitu
efektivitas, efek samping/toksisitas, interaksi obat, kepatuhan, dan harga obat.

Konseling terapi yang memadai sangat penting untuk terapi seumur hidup dan
keberhasilan terapi jangka panjang. Isi dari konseling terapi ini termasuk: kepatuhan
minum obat, potensi/kemungkinan risiko efek samping atau efek yang tidak
diharapkan atau terjadinya sindrom pulih imun (Immune Reconstitution Inflammatory
Syndrome/IRIS) setelah memulai terapi ARV, terutama pada ODHA dengan stadium
klinis lanjut atau jumlah

Jumlah CD4 <100 sel/mm3, dan komplikasi yang berhubungan dengan terapi
ARV jangka panjang.

Orang dengan HIV harus mendapatkan informasi dan konseling yang benar dan
cukup tentang terapi antiretroviral sebelum memulainya. Hal ini sangat penting dalam
mempertahankan kepatuhan minum ARV karena harus diminum selama hidupnya.
Faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum ARV adalah penyediaan ARV secara

5
cuma-cuma, kemudahan minum obat dan kesiapan untuk meminumnya. Setelah
dilakukan konseling kepatuhan, ODHA diminta berkomitmen untuk menjalani
pengobatan ARV secara teratur untuk jangka panjang. Konseling meliputi cara dan
ketepatan minum obat, efek samping yang mungkin terjadi, interaksi dengan obat
lain, monitoring keadaan klinis dan monitoring pemeriksaan laboratorium secara
berkala termasuk pemeriksaan CD4.

Pada anak dengan HIV, perlu dilakukan kajian khusus untuk kesiapan terapi ARV, di
antaranya:

1. Kaji situasi keluarga termasuk jumlah orang yang terkena atau berisiko
terinfeksi HIV dan situasi kesehatannya.
2. Identifikasi orang yang mengasuh anak dan kesediaannya untuk mematuhi
pengobatan ARV dan pemantauannya.
3. Kaji pemahaman keluarga mengenai infeksi HIV dan pengobatannya serta
informasi mengenai status infeksi HIV dalam keluarga.
4. Kaji status ekonomi, termasuk kemampuan untuk membiayai perjalanan
ke klinik, kemampuan membeli atau menyediakan tambahan makanan
untuk anak yang sakit dan kemampuan membayar bila ada penyakit yang
lain.
Penilaian klinis dan tes laboratorium berperan penting untuk melihat kondisi
ODHA sebelum inisiasi ARV dan membantu penentuan paduan yang akan
digunakan.
a) Jika tidak tersedia CD4, gunakan stadium klinis WHO
b) Jika memungkinkan, tes HbsAg harus dilakukan untuk mengidentifikasi orang
dengan HIV dan koinfeksi hepatitis B dan siapa ODHA yang perlu inisiasi
ARV dengan TDF
c) Direkomendasikan pada ODHA yang mempunyai riwayat perilaku terpapar
hepatitis C, atau pada populasi dengan prevalensi tinggi hepatitis C. Populasi
risiko tinggi yang dimaksud adalah penasun, LSL, anak dengan ibu yang
terinfeksi hepatitis C, pasangan dari orang yang terinfeksi hepatitis C,

6
pengguna narkoba intranasal, tato dan tindik, serta kelompok yang mendapat
transfusi berulang, seperti ODHA talasemia dan yang menjalani hemodialysis
d) Dapat dipertimbangkan jika tersedia fasilitas pemeriksaan antigen
kriptokokus (LFA) mengingat prevalensi antigenemia pada ODHA
asimtomatik di beberapa tempat di Indonesia mencapai 6.8-7.2%.
e) Pertimbangkan penilaian ada tidaknya penyakit kronis lain terkait
penatalaksanaan HIV seperti hipertensi, penyakit kardiovaskular, dan diabetes
f) Terapi ARV dapat dimulai sambil menunggu hasil CD4. Pemeriksaan CD4
awal tetap diperlukan untuk menilai respons terapi.
g) Untuk ODHA dengan risiko tinggi mengalami efek samping TDF: penyakit
ginjal, usia lanjut, IMT rendah, diabetes, hipertensi, penggunaan PI atau obat
nefrotoksik lainnya. Dipstik urin digunakan untuk mendeteksi glikosuria pada
ODHA non diabetes.
h) Untuk anak dan dewasa yang berisiko tinggi mengalami efek samping terkait
AZT (CD4 rendah atau Indeks Massa Tubuh rendah)
i) Untuk ODHA dengan risiko tinggi efek samping NVP, misalnya ARV naif,
wanita dengan CD4 > 250 sel/mm3 dan koinfeksi HCV. Namun enzim hati
awal memiliki nilai prediktif yang rendah untuk memonitor toksisitas NVP.

2.2.2. Indikasi Memulai ART


Inisiasi ART secara dini terbukti bermanfaat secara klinis, berguna untuk
pencegahan, meningkatkan harapan hidup dan menurunkan insiden infeksi terkait
HIV dalam populasi. Rekomendasi inisiasi ART pada dewasa dan anak dapat
dilihat dalam table :

Populasi Rekomendasi
Dewasa dan Inisiasi ART pada orang terinfeksi HIV stadium klinis 3
Anak ≥ 5 dan 4, atau jika jumlah CD4 ≤ 350 sel/mm3
Tahun Inisiasi ART tanpa melihat stadium klinis WHO dan
berapapun jumlah CD4

7
 Koinfeksi Tba
 Koinfeksi Hepatitis B
 Ibu hamil dan menyusui terinfeksi HIV
 Orang terinfeksi HIV yang pasangannya HIV
negatif (pasangan serodiskordan), untuk
mengurangi risiko penularan
 LSL, PS, Waria, atau Penasunb
 Populasi umum pada daerah dengan epidemi HIV
meluas
Anak <5 Tahun Inisiasi ART tanpa melihat stadium klinis WHO dan
berapapun jumlah CD4c

a) Pengobatan TB harus dimulai lebih dahulu, kemudian obat ARV diberikan


dalam 2-8 minggu sejak mulai obat TB, tanpa menghentikan terapi TB.
Pada ODHA dengan CD4 kurang dari 50 sel/mm3, ARV harus dimulai
dalam 2 minggu setelah mulai pengobatan TB. Untuk ODHA dengan
meningitis kriptokokus, ARV dimulai setelah 5 minggu pengobatan
kriptokokus.
b) Dengan memperhatikan kepatuhan
c) Bayi umur < 18 bulan yang didiagnosis terinfeksi HIV dengan cara presumtif,
maka harus segera mendapat terapi ARV. Bila dapat segera dilakukan
diagnosis konfirmasi (mendapat pemeriksaan PCR DNA sebelum umur 18
bulan atau menunggu sampai umur 18 bulan untuk dilakukan pemeriksaan
antibodi HIV ulang), maka perlu dilakukan penilaian ulang apakah anak pasti
terdiagnosis HIV atau tidak. Bila hasilnya negatif, maka pemberian ARV
dihentikan.
DNA sebelum umur 18 bulan atau menunggu sampai umur 18 bulan untuk
dilakukan pemeriksaan antibodi HIV ulang), maka perlu dilakukan penilaian ulang

8
apakah anak pasti terdiagnosis HIV atau tidak. Bila hasilnya negatif, maka pemberian
ARV dihentikan.

2.3. Tujuan Pedoman Terapi ARV

1. Menyediakan standar terapi ARV sebagai bagian dari perawatan HIV dan
AIDS yang paripurna (comprehensive)
2. Menyediakan rujukan bagi para dokter dan pemberi layanan kesehatan lain
yang merawat pasien HIV dan AIDS, juga bagi pengelola program AIDS dan
perencana kesehatan yang terlibat dalam program perawatan dan pengobatan
HIV nasional.

2.4. Tujuan Pemberian ARV


1. Menghentikan replikasi HIV.
2. Memulihkan sistem imun dan mengurangi terjadi infeksi oportunistik.
3. Memperbaiki kualitas hidup.
4. Menurunkan morbiditas dan mortalitas karena infeksi HIV.

2.5. Sasaran Pengguna Pedoman Terapi ARV


Pedoman penggunaan antiretroviral ditujukan kepada:
1. Para dokter dan petugas kesehatan terkait.
2. Pengelola program AIDS nasional dan perencana kesehatan lain yang terlibat
dalam program perawatan dan pengobatan HIV sebagai rujukan untuk
pedoman pengobatan nasional.

2.6. Kesiapan Pasien Sebelum Memulai Terapi ARV

a) Menelaah kesiapan pasien untuk terapi ARV. Mempersiapan pasien untuk


memulai terapi ARV dapat dilakukan dengan cara:
Mengutamakan manfaat minum obat daripada membuat pasien takut minum
obat dengan semua kemunginan efek samping dan kegagalan pengobatan

9
b) Membantu pasien agar mampu memenuhi janji berkunjung ke klinik
c) Mampu minum obat profilaksis IO secara teratur dan tidak terlewatkan
d) Mampu menyelesaikan terapi TB dengan sempurna.
e) Mengingatkan pasien bahwa terapi harus dijalani seumur hidupnya.
f) Jelaskan bahwa waktu makan obat adalah sangat penting, yaitu kalau dikatakan
dua kali sehari berarti harus ditelan setiap 12 jam.
g) Membantu pasien mengenai cara minum obat dengan menyesuaikan kondisi
pasien baik kultur, ekonomi, kebiasaan hidup (contohnya jika perlu disertai
dengan banyak minum wajib menanyakan sumber air, dll).
h) Membantu pasien mengerti efek samping dari setiap obat tanpa membuat
pasien takut terhadap pasien, ingatkan bahwa semua obat mempunyai efek
samping untuk menetralkan ketakutan terhadap ARV.
i) Tekankan bahwa meskipun sudah menjalani terapi ARV harus tetap
menggunakan kondom ketika melakukan aktifitas seksual atau menggunakan
alat suntik steril bagi para penasun.
j) Sampaikan bahwa obat tradisional (herbal) dapat berinteraksi dengan obat
ARV yang diminumnya. Pasien perlu diingatkan untuk komunikasi dengan
dokter untuk diskusi dengan dokter tentang obatobat yang boleh terus
dikonsumsi dan tidak.
k) Menanyakan cara yang terbaik untuk menghubungi pasien agar dapat
memenuhi janji/jadwal berkunjung.
l) Membantu pasien dalam menemukan solusi penyebab ketidak patuhan tanpa
menyalahkan pasien atau memarahi pasien jika lupa minum obat.
m) Mengevaluasi sistem internal rumah sakit dan etika petugas dan aspek lain
diluar pasien sebagai bagian dari prosedur tetap untuk evaluasi ketidak patuhan
pasien

10
2.7. Jenis Obat Obatan ARV
Obat ARV terdiri atas beberapa golongan antara lain nucleoside reverse
transcriptase inhibitor, non- nucleoside reverse transcriptase inhibitor, protease
inhibitor dan fussion inhibitor.
a. Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI)
Obat ini dikenal sebagai analog nukleosida yang menghambat proses perubahan
RNA virus menjadi DNA (proses ini dikenal oleh virus HIV agar bisa bereplikasi.
Contoh dari obat ARV yang termasuk dalam golongan ini terdapat pada tabel di
bawah ini.
Nama Generik Nama Dagang Nama Lain
Zidovudine Retrovir AZT,ZCV
Didazone Videx ddi
Zalzitabine Hivid ddC, dideokxycytidine
Stavudine Zerit d4t
Lamivudine Epivir 3TC
Zidovudine/lamivudine Combivir Kombinasi AZT dan 3TC
Abacavir Ziagen ABC
Zidovudine/lamivuine/abacivir Trizivir Kombinasi AZT, 3TC,
dan abacivir
tenofavir viread Bis-poc PMPA
b. Nucleotide reverse transcriptase inhibitor (NtRTI), yangtermasuk golongan ini
adalah tenofovir (TDF).
c. non- nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). Golongan ini juga
bekerja dengan menghambat proses perubahan RNA menajdi DNA dengan
cara mengikat reverse transcriptase sehingga tidak berfungsi.
d. Protease inhibitor (PI, menghalangi kerja enzim protesa yang berfungsi
memotong DNA yang dibentuk oleh virus dengan ukuran yang benar untuk
memproduksi virus baru, contoh obat golongan ini adalah indinavir (APV),
dan nelvinavir (NFV), squinavir (SQV), ritonavir (RTV), amprenavir (APV)
dan loponavir/ritonavir (LPV/r).

11
e. Fusion inhibitor. Yang termasuk golongan ini adalah enfuvirtide (T-20).

2.8. Efek samping ARV


Pasien yang sedang mendapatkan HAART umumnya menderita efek samping.
Sebagai akibatnya, pengobatan infeksi HIV dan risiko toksisitas yang kompleks
antara menyeimbangkan keuntungan supresi HIV dan risiko toksisitas obat. Sekitar
25% penderita tidak meminum dosis yang dianjurkan karena takut akan efek samping
yang ditimbulkan oleh ARV (Arminio Monforte, Chesney, Eron, 2000, dan
Ammassari, 2001 dalam kapser et al , 2006). Obat-obat ARV mempunyai efek
samping tertentu seperti

Jenis obat Efek samping


ARV
NRTI Zidovudine Anemia, neutropenia, intoleransi gastrointestinal, sakit
kepala, sulit tudur, miopati, asidosis laktat dengan
steatosis hepatitis (jarang)
Lamivudine Sedikit teksosisitas, asidosis laktat dengan steatosis
hepatitis (jarang)
Stavudine Neauropati perifer, pankreatitis, lipodistrofi (efek
samping jangka panjang), asidosis laktat dengan
steatosis hepatitis (jarang)
Didanosine Pankreatitis, neuropati perifer, lipoatrofi, asidosis laktat
dengan steatosis hepatitis (jarang)
NNRTI NWP -Ruam kulit berat
-Hepatitis
EFV -SSP
-Terorogenik (jangan diberikan pada usia muda dalam
usia reproduksi tanpa metode IB yang aman)
Nalfinovir Diare, hiperglikemia, perpindahan lemak (lipodistrofi),

12
kelainan lipid

2.9. Pelaksanaan Kegiatan ARV


A. Asuhan Keperawata pada pasien ARV
a. Pengkajian
b. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan
aktif (diare)
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriterian Intervensi
Hasil
Kekurangan volume  Keseimbangan  Pantau warna, jumlah
Cairan elektrolit dan asam dan frekuensi
basa; keseimbangan kehilangan cairan
Definisi : kekurangan elektrolit dan non  Observasi kehilangan
volume cairan yang ada elektrolit dalam cairan
pada tubuh kompartemen  Pantau pendarahan
intrasel dan ekstrasel  Identifikasi faktor
Batasan Karakteristik: tubuh dehidrasi
Subjektif : Haus  Hidrasi;  Kaji adanya vertigo
Objektif : keadekuatan cairan atau hipotensi postural
 Perubahan status yang adekuat dalam  Timbang berat badan
mental kompartemen tiap hari
 Penurunan turgor kulit intrasel dan ekstrasel
dan lidah tubuh
 Penurunan haluaran  Status nutrisi;
urin asupan makanan dan
 Penurunan pengisian cairan: jumlah
vena makanan dan cairan

13
 Kulit dan membran yang masuk
mukosa kering kedalam tubuh
 Kematokrit meningkat selama 24 jam
 Suhu tubuh meningkat
 Peningkatan frekuensi
nadi, penurunan TD,
penurunan volume dan
tekanan nadi
 Konsentrasi urin
meningkat
 Penurunan berat badan
tiba-tiba
 Kelemahan

2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan


dengan mual muntah

Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriterian Intervensi


Hasil
Ketidakseimbangan  Selera makan;  Motivasi klien untuk
nutrisi kurang dari keinginan makan mengubah kebiasaan
kebutuhan tubuh ketika dalam keadaan makan
sakit  Pantau nilai
Batas karakteristik:  Perawatan diri; laboraturium
 Berat badan kurang kemampuan untuk khususnya transferin,
dari 20% mempersiapkan albumin dan elektrolit
 Kehilangan berat secara mandiri  Manajemen nutrisi
badan dengan asupan  Berat badan; tingkat
makanan yang kesesuian berat

14
adekuat badan, otot, dan
 Melaporkan lemak
kurangnya makanan
 Diare atau steatore

3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan efek samping obat

Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriterian Hasil Intervensi


Gangguan pola tidur NOC NIC
Definisi :  Anxiety reduction
gangguan  Determinasi efek-efek
kualitas dan  Comfort level
kuantitas meditasi terhadap pola
 Pain level
waktu tidur akibat faktor tidur
eksternal  Rest: extent and pattern  Jelaskan pentingnya tidur
 Sleep: extent an patten yang adekuat
Batas Karakteristik;  Ciptakan lingkungan yag
 Perubahan pola tidur
Kriteria hasil: nyaman
normal  Jumlah jam tidur  Kolaborasikan pemberian
dalam
 Ketidakpuasan tidur batas normal 6-8 jam obat tidur
 Menyatakan  Pola
sering tidur dalam  Catat
batas kebutuhan tidur
terjaga normal klien setiap hari
 Menyatakan  Perasaan segar sesudah tidur
tidak
merasa cukup tidur
Faktor yang
berhubungan
 Kelembaban lingkungan
sekitar
 Suhu lingkungan sekitar
 Perubahan pejanan
terhadap cahaya gelap

15
 Kurang kontrol tidur

4. Ansietas berhubungan dengan ancaman kematian

Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriterian Hasil Intervensi


Ansietas berhubungan  Klien mampu  Gunakan pendekatan
dengan ancaman mengidentifikasi gejala  Jelaskan prosedur
kematian cemas kegiatan semua
 Menunjukkan teknik  Ajarkan nafas dalam
megontrol cemas pada pasien untuk
 TTV dalam batas normal mengurangi cemas
 Cemas berkurang

16
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Antiretroviral (ARV) adalah obat yang diberikan untuk pasien HIV/AIDS dengan
tujuan menghentikana aktivitas virus, memulihkan sitem imun dan mengurangi
terjadinya infeksi oportunistik, memperbaiki kualitas hidup, dan menurunkan
kecacatan. ARV tidak menyembuhkan pasien HIV, namun bisa memperbaiki kualitas
hidup dan memperpanjang usia harapan hidup penderita HIV/AIDS. Peran perawat
dalam menigkatkan kepatuhan minum obat pasien sangat penting yaitu dengan cara
memberikan informasi seputar pengobatan ARV, konseling perorangan untuk
mengeksplorasi kesiapan pengobatan pasien dan membuat rencana terapi pasien.

3.2. Saran
Antiretroviral (ARV) adalah obat yang diberikan untuk pasien HIV/AIDS dengan
tujuan menghentikana aktivitas virus, memulihkan sitem imun dan mengurangi
terjadinya infeksi oportunistik, memperbaiki kualitas hidup, dan menurunkan
kecacatan. ARV tidak menyembuhkan pasien HIV, namun bias memperbaiki kualitas
hidup dan memperpanjang usia harapan hidup penderita HIV/AIDS. Peran perawat
dalam menigkatkan kepatuhan minum obat pasien sangat penting yaitu dengan cara
memberikan informasi seputar pengobatan ARV, konseling perorangan untuk
mengeksplorasi kesiapan pengobatan pasien dan membuat rencana terapi pasien.

17
DAFTAR PUSTAKA
(Askep & Arv, n.d.)Askep, A., & Arv, P. (n.d.). Askep Penatalaksanaan Pasien ARV
dan Peran Perawat dalam Meningkatan Adherence, 1–17.
Yuliandra, Y., Nosa, U. S., Raveinal, R., & Almasdy, D. (2017). Terapi Antiretroviral
pada Pasien HIV/AIDS di RSUP. Dr. M. Djamil Padang: Kajian Sosiodemografi
dan Evaluasi Obat. Jurnal Sains Farmasi & Klinis, 4(1), 1.
https://doi.org/10.29208/jsfk.2017.4.1.173
https://www.scribd.com/document/366852151/ASKEP-ARV
Analisis Jurnal

ANALISIS JURNAL

1. Jurnal
Judul : “Terapi Antiretroviral pada Pasien HIV/AIDS di RSUP. Dr.
M. Djamil Padang: Kajian Sosiodemografi dan Evaluasi Obat”
Pengarang : Yori Yuliandra, Ulfa Safly Nora, Raveinal, Dedy Almasdy
Tahun : 2017

2. Latar Belakang

Penyakit AIDS (acquired immunodeficiency syndrome) merupakan manifestasi


klinis tahap akhir dari infeksi HIV (human immunodeficiency virus). Virus ini
menyerang sel-sel CD4 di dalam sistem kekebalan tubuh yang merupakan komponen
penting dalam melawan infeksi. Tanpa pengobatan, HIV secara bertahap dapat
menghancurkan sistem kekebalan tubuh dan menyebabkan terjadinya AIDS. Data-data
terkait HIV/AIDS di Indonesia juga terbilang mengkhawatirkan. Meskipun tren
infeksi HIV baru cenderung turun sejak tahun 2005, jumlah penderita HIV/AIDS
secara nasional masih dianggap tinggi yaitu mencapai 620.000 orang, dimana 48.000
orang diantaranya merupakan pasien HIV/AIDS baru yang terinfeksi di tahun
2016.

Meskipun belum ada obat yang dapat membunuh virus penyebab AIDS,
pengobatan yang mampu meningkatkan harapan dan kualitas hidup pasiennya sudah
lama diperkenalkan. Pengobatan ini dilakukan dengan pemberian kombinasi obat-
obat antiretroviral. Meskipun hanya sekitar separuh penderita HIV/AIDS yang
menerima terapi antiretroviral pada akhir tahun 2016, pengobatan ini memiliki tingkat
keberhasilan yang menjanjikan. Laporan UNAIDS juga menunjukkan tren yang
bagus, dimana persentase penggunaan obat antiretroviral di kalangan penderita
HIV/AIDS meningkat dari tahun ke tahun. Meskipun demikian, untuk dapat
memberikan hasil terapi yang optimal, penggunaan obat- obat ini harus dilakukan
dengan beberapa persyaratan yang ketat.

Beberapa hal di antaranya adalah penggunaan kombinasi yang tepat, kepatuhan


pasien, serta dengan mewaspadai efek yang tidak diinginkan akibat adanya interaksi
Analisis Jurnal

obat. Terapi antiretoroviral, sebagaimana halnya penggunaan obat-obat untuk


penyakit lainnya, perlu dievaluasi terutama terkait dengan kesesuaian terapi dengan
standar yang sudah ditetapkan Di dalam proses evaluasi penggunaan obat, gambaran
tentang pola penggunaan obat dapat diketahui dan bisa dibandingkan dengan pola
penggunaannya pada periode waktu tertentu. Salah satu tujuan penting lainnya adalah
sebagai sumber masukan untuk melakukan intervensi perbaikan penggunaan obat di
masa yang akan dating.

3. Metode Penelitian
Penelitian yang dilakukan dengan pengambilan data secara retrospektif melalui
rekam medis pasien HIV/AIDS sepanjang tahun 2015 pada instalasi CVT di RSUP Dr.
M. Djamil Padang. Kriteria data yang diambil adalah pasien HIV/AIDS laki-laki dan
perempuan yang berusia 18 – 65 tahun dengan catatan rekam medis yang lengkap
dengan cara:
Pengumpulan data
Data yang dikumpulkan adalah data sosiodemografis pasien yang meliputi jenis
kelamin, usia, pendidikan, status marital, dan pekerjaan. Data tentang faktor risiko
penularan pada masing-masing pasien juga dikumpulkan untuk melengkapi kajian
sosiodemografi. Data penggunaan obat yang dikoleksi meliputi jenis dan kombinasi
obat (obat antiretroviral dan obat lain) dan dosis yang digunakan.
Analisis data
Data dianalisis secara deskriptif evaluatif dan dikaji melalui perbandingan dengan
literatur

4. Hasil Penelitian
Penularan dan perkembangan HIV/AIDS memiliki tren yang berbeda antar negara
dan wilayah. Meskipun strategi dan program penanggulangan AIDS sudahdicetuskan
secara global untuk mengakhiri endemik HIV/ AIDS pada tahun 2030,penerapannya
di masing- masing negara memerlukan penyesuaian khusus. Hal ini tidak terlepas
dari perbedaan aspek sosiodemografis dari setiap daerah. Pengkajian terhadap
Analisis Jurnal

karakteristik masyarakat ini sangat penting dalam menekan angka penularan HIV.
Selain itu, kajian dan evaluasi terhadap penggunaan obat antiretroviral yang
digunakan di dalam pengobatan HIV/AIDS juga menjadi penting untuk
meningkatkan efektivitas terapi. Sepanjang tahun 2015, sebanyak 136 orang positif
terinfeksi HIV tercatat pada poliklinik tersebut. Meskipun demikian, hanya 89
pasien yang memenuhi kriteria didalam penelitian ini akibat banyaknya data rekam
medis yang tidak lengkap.
Data pada penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas penderita HIV/AIDS
adalah pasien berjenis kelamin laki-laki, yaitu mencapai 76,40%. Data ini pada
dasarnya bertolak belakang dengan persentase penderita HIV/AIDS global dimana
jumlah penderita perempuan adalah dua kali lebih banyak dibandingkan dengan laki,
Meskipun demikian, temuan pada penelitian ini memperlihatkan kesesuaian dengan
data HIV/ AIDS nasional tahun 2016 yang dirilis oleh Yayasan Spiritia, dimana
penderita laki-laki merupakan penderita mayoritas dengan persentase 64%.
Perbedaan tren ini sangat mungkin terjadi sebagai dampak dari aspek
sosiodemografis yang sangat bervariasi antar negara dan wilayah. Tingginya
persentase penderita laki-laki sangat mungkin terjadi sebagai akibat dari penularan
melalui pekerja seks komersial (PSK), dimana masing-masing PSK dapat menularkan
HIV/AIDS kepada setiap partner lelakinya. Hal ini juga sangat didukung oleh data
pada penelitian ini, dimana faktor resiko penularan terbesar adalah melakuli seks
(61,80%) dengan partner seks terbanyak adalah PSK, yaitu sebesar 38,33% di
antaranya. Tren seperti ini pada dasarnya juga berlaku secara nasional dan regional.
Salah satu hal lain yang juga menjadi kontribusi tingginya angka kejadian infeksi
HIV pada laki-laki adalah meningkatnya kecenderungan praktek lelaki seks lelaki
(LSL). Data penelitian ini menempatkan jenis seks ini pada urutan ke tiga terbanyak
sebagai penyebab penularan HIV/ AIDS di atas seks dengan pacar dan dengan istri..
Penelitian ini mengungkap masih adanya ketidaktepatan di dalam terapi
antiretroviral yang digunakan yakninya berupa ketidaktepatan pemilihan obat.
Terdapat 2 kasus dimana pasien hanya menerima 1 obat dan 2 obat saja. Pedoman
nasional penggunaan antiretroviral sudah menggariskan penggunaan kombinasi
Analisis Jurnal

beberapa obat sepanjang proses terapi .Untuk terapi lini pertama, regimen yang
disarankan oleh 2 obat dari golongan NRTI (Nucleoside Reverse Transcriptase
Inhibitor) yang dikombinasi dengan salah satu obat dari golongan NNRTI (Non-
nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor). Panduan pengobatan dari WHO
menyatakan bahwa pengobatan lini pertama, ke dua, maupun ke tiga harus
menggunakan tiga kombinasi obat antiretroviral dengan komposisi yang sudah
ditentukan.
Penggunaan obat yang tepat merupakan aspek yang sangat penting di dalam
terapi antiretroviral. Salah satu tantangan di dalam pengobatan infeksi HIV adalah
resistensi yang sudah terjadi terhadap obat-obat antiretroviral. Hal ini membutuhkan
penanganan segera berupa optimalisasi kepatuhan pasien dalam menggunakan obat,
melakukan kajian resistensi obat, dan monitoring yang baik terhadap hasil
pengobatan.
Tinjauan sistematis terhadap hasil studi efektivitas dan keamanan obat- obat
antiretroviral juga menyarankan regimen baru yang lebih baik, misalnya dua obat dari
golongan NRTI yang dikombinasikan dengan satu obat dari golongan Integrase Strand
Transfer Inhibitor (INSTI) memiliki efektivitas dan tingkat toleransi yang jauh lebih
baik dibandingkan kombinasi dengan efavirenz .
Penggunaan kombinasi obat antiretroviral memiliki risiko potensi interaksi yang
besar. Potensi interaksi yang merugikan dapat terjadi sesama obat antiretroviral dan
dengan obat lain yang juga sering digunakan oleh pasien HIV/AIDS, khususnya
mereka yang sudah menderita penyakit infeksi oportunistik. Data penelitian ini
mengungkap adanya 10% pasien yang menggunakan kombinasi obat yang memiliki
potensi interaksi merugikan (Tabel 4) dengan jenis interaksi yang tergolong moderat.
Dampak dari interaksi tersebut sangat potensial untuk menyebabkan penurunan
efektivitas obat, kegagalan terapi, dan berkontribusi dalam menyebabkan terjadinya
resistensi terhadap obat antiretroviral

5. Kekurangan Jurnal
Salah satu batasan di dalam penelitian ini adalah sampling yang tidak mewakili
Analisis Jurnal

segmen penderita HIV/ AIDS secara umum. Penelitian ini hanya mengambil sampel
dari pasien yang mengunjungi poliklinik dan menerima pengobatan saja, sedangkan
laporan WHO menyebutkan bahwa persentase penderita HIV/AIDS yang menerima
terapi antiretroviral hanya sekitar 50%.Karenanya, kajian sosiodemografis ini mungkin
kurang mewakili penderita HIV/AIDS yang tidak menjalani terapi. Selain itu,
ketidaklengkapan data rekam medis, termasuk data jumlah CD4 pasien, juga menjadi
kendala di dalam melakukan kajian terhadap evaluasi pengobatan.

6. Kelebihan Jurnal
Pada jurnal dijelaskan bahwa penelitian dilengkapi dengan data yang relevan dan
bisa di buktikan kebenarannya,karena menggunakan data dari hasil survey dan
dengan perhitungan pada banyak kategori misalnya data pertahunnya dari sampel
dapat di temukan sebagai contohnya.

7. Kesimpulan
a) Karakteristik penderita infeksi HIV yang dominan adalah pasien laki-laki
(76,40%); usia 26-35 tahun (41,57%), dan tingkat pendidikan SMA (56,18%).
b) Penularan infeksi HIV terbesar adalah melalui hubungan seksual (61,80%)
dengan partner seks yang didominasi oleh PSK (38,33%).
c) Evaluasi terhadap penggunaan obat mengungkap adanya kejadian
ketidaktepatan pilihan obat (2,24%) serta potensi interaksi obat (10,11%) yang
mayoritasnya dapat menyebabkan berkurangnya efektivitas obat
Lampiran

Jurnal Sains Farmasi & Klinis, 4(1), 1–8

Jurnal Sains Farmasi & Klinis


(p- ISSN: 2407-7062 e-ISSN: 2442-5435)

Terapi Antiretroviral pada Pasien HIV/AIDS di RSUP. Dr. M.


Djamil Padang: Kajian Sosiodemografi dan Evaluasi Obat
(Antiretroviral therapy on HIV/AIDS patients in Dr. M. Djamil Hospital Padang:

Socio-demographic analysis and drug evaluation) #

Yori Yuliandra1*, Ulfa Syafli Nosa1, Raveinal2, & Dedy Almasdy1


1
Fakultas Farmasi Universitas Andalas

2
Keywords: ABSTRACT: The objective of this study was to exploreFakultas Kedokteran Universitas
the socio-demographic Andalas
characteristics
HIV; AIDS; of HIV/AIDS patients and to evaluate the appropriateness of antiretroviral drugs use. The study
was a#Makalah
descriptive-evaluative with quantitative
ini sudah dipresentasikan and Asian
di dalam kegiatan qualitative methods
Conference using
on Clinical retrospective
Pharmacy data
(ACCP 2017)
antiretroviral; ART;
within 2015 from Dr. M. Djamil Hospital, Padang, West Sumatra, Indonesia. Medical records of
socio-demographic;
HIV/AIDS patients in both sexes aged 18-65 were included.
yang The socio-demographic
diselenggarakan profiles
di Yogyakarta pada 28-30 Juliwere
2017
drug evaluation
examined, while the appropriateness of drug use was evaluated and compared with standard
treatment of the hospital. A number of 89 out of 136 medical records were included, with 76,40%
men counted. Patients were mostly at the age range of 26-35 years old (41.57%), dominated with
married men/women (58.43%) and those who were senior high school-graduated (56.18%). Private
employees and housewife were among the highest percentage (19.10% each). The transmission
of the disease was mostly acquired through sexual intercourse (61.80%), mostly with sex workers
(38.33%). Evaluation on the drug use showed that the antiretroviral drugs were used in 100% of
appropriateness of indication and dose, while only 97.76% of the patients received appropriate
drug selection. The study also revealed that 10.11% of the patients had potential drug interaction.
The antiretroviral treatment requires the appropriate drug selection to improve the efficacy. Clinical
pharmacists are encouraged to participate in the antiretroviral therapy for HIV/AIDS patients.

ABSTRAK: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji karakteristik sosiodemografi pasien
Kata Kunci:
HIV/AIDS dan mengevaluasi penggunaan obat antiretroviral pada pasien tersebut. Penelitian ini
bersifat deskriptif-evaluatif dengan metode kuantitatif dan kualitatif dengan menggunakan data
HIV; AIDS;
retrospektif pada tahun 2015 di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Data diperoleh dari rekam medik
antiretroviral; ART; dengan kriteria: pasien HIV/AIDS laki-laki dan perempuan; berusia 18-65 tahun; dan menggunakan
sosiodemografi; obat antiretroviral. Profil sosiodemografi dianalisis sercara deskriptif, sementara kesesuaian
evaluasi obat. penggunaan obat dievaluasi dan dibandingkan dengan standar pengobatan. Dari 136 rekam medik
pasien yang diambil, 89 diantaranya memenuhi kriteria, dimana 76,40% merupakan pasien laki-
laki. Pasien kebanyakan berusia antara 26-35 tahun (41,57%), didominasi oleh pasien yang menikah
(58,43%) dan mereka yang berpendidikan SMA (56,18%). Pegawai swasta dan ibu rumah tangga
merupakan jenis pekerjaan dengan persentase tertinggi (masing-masing 19,10%). Penyakit ini
DOI: 10.29208/jsfk.2017.4.1.173
sebagian besar diperoleh melalui hubungan seksual (61,80%) dengan PSK (Pekerja Seks Komersial)
sebagai partner seks yang paling dominan (38,33%). Evaluasi penggunaan obat menunjukkan
Access this article
bahwa obat antiretroviral digunakan dengan 100% kesesuaian indikasi dan dosis, sementara hanya
97,76% pasien yang menerima pemberian obat yang sesuai. Studi tersebut juga mengungkapkan
bahwa 10,11% pasien memiliki potensi terjadinya interaksi obat. Pengobatan antiretroviral
Lampiran

memerlukan pemilihan meningkatkan efikasi. Apoteker dianjurkan untuk ikut berpartisipasi dalam pengobatan
obat yang tepat untuk pasien HIV/AIDS.

*Corresponding Author: Yori Yuliandra Article History:

Bagian Farmakologi dan Farmasi Klinis, Fakultas Farmasi Universitas Andalas, Received: 17 Sep 2017

Kampus Limau Manis, Kec. Pauh, Padang 25163, Sumatera Barat Accepted: 15 Oct 2017
email: yoriyuliandra@ffarmasi.unand.ac.id, Telp (0751) 71682
Published: 30 Nov 2017

1
Terapi Antiretroviral pada Pasien HIV/AIDS di RSU P... Yuliandra et. al.

PENDAHULUAN antiretroviral di kalangan penderita HIV/AIDS meningkat


dari tahun ke tahun [3]. Meskipun demikian, untuk dapat
Penyakit AIDS (acquired immunodeficiency memberikan hasil terapi yang optimal, penggunaan obat-
syndrome) merupakan manifestasi klinis tahap akhir dari obat ini harus dilakukan dengan beberapa persyaratan
infeksi HIV (human immunodeficiency virus). Virus ini yang ketat. Beberapa hal di antaranya adalah penggunaan
menyerang sel-sel CD4 di dalam sistem kekebalan tubuh kombinasi yang tepat, kepatuhan pasien, serta dengan
yang merupakan komponen penting dalam melawan mewaspadai efek yang tidak diinginkan akibat adanya
infeksi. Tanpa pengobatan, HIV secara bertahap dapat interaksi obat.
menghancurkan sistem kekebalan tubuh dan menyebabkan Terapi antiretoroviral, sebagaimana halnya
terjadinya AIDS [1]. Dari awal epidemiknya, lebih dari 70 penggunaan obat-obat untuk penyakit lainnya, perlu
juta manusia telah terinfeksi oleh HIV dan menyebabkan dievaluasi terutama terkait dengan kesesuaian terapi
kematian lebih dari 35 juta jiwa. Di sepanjang tahun 2016, dengan standar yang sudah ditetapkan. Selain itu, evaluasi
tercatat satu juta kematian akibat penyakit yang berkaitan penggunaan obat merupakan salah satu tugas dari apoteker
dengan HIV secara global [2]. dan menjadi salah satu standar pelayanan kefarmasian di
Data-data terkait HIV/AIDS di Indonesia juga rumah sakit. Di dalam proses evaluasi penggunaan obat,
terbilang mengkhawatirkan. Meskipun tren infeksi HIV gambaran tentang pola penggunaan obat dapat diketahui
baru cenderung turun sejak tahun 2005, jumlah penderita dan bisa dibandingkan dengan pola penggunaannya
HIV/AIDS secara nasional masih dianggap tinggi yaitu pada periode waktu tertentu. Salah satu tujuan penting
mencapai 620.000 orang, dimana 48.000 orang diantaranya lainnya adalah sebagai sumber masukan untuk melakukan
merupakan pasien HIV/AIDS baru yang terinfeksi intervensi perbaikan penggunaan obat di masa yang akan
di tahun 2016 [3]. Yayasan Spiritia melaporkan bahwa datang [5].
terdapat 806 kematian akibat infeksi HIV/AIDS pada
tahun 2016 di Indonesia [4]. METODE PENELITIAN
Tingginya angka penderita HIV serta pesatnya
pertumbuhan jumlah penderita AIDS tidak terlepas Rancangan penelitian
dari faktor-faktor sosial di dalam kehidupan masyarakat. Penelitian dilakukan melalui pengambilan data secara
Laporan WHO menunjukkan bahwa pertumbuhan retrospektif melalui rekam medis pasien HIV/AIDS
jumlah penderita AIDS memperlihatkan tren yang tinggi sepanjang tahun 2015 pada instalasi CVT di RSUP Dr. M.
pada wilayah tertentu, misalnya pada negara di Afrika Djamil Padang. Kriteria data yang diambil adalah pasien
bagian sub-sahara, dimana 71% penderita HIV/AIDS HIV/AIDS laki-laki dan perempuan yang berusia 18 – 65
secara global terdapat pada wilayah ini [3]. Beberapa tahun dengan catatan rekam medis yang lengkap.
stigma dan kebiasaan di masyarakat juga berkontribusi
dalam pesatnya pertumbuhan penderita infeksi HIV dan Pengumpulan data
keengganan mereka untuk memulai terapi pengobatan. Data yang dikumpulkan adalah data sosiodemografis
Langkah-langkah pencegahan penularan HIV pun pasien yang meliputi jenis kelamin, usia, pendidikan, status
juga harus mempertimbangkan aspek sosial budaya di marital, dan pekerjaan. Data tentang faktor risiko penularan
masyarakat [2]. Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik pada masing-masing pasien juga dikumpulkan untuk
sosial dan demografi merupakan aspek yang penting melengkapi kajian sosiodemografi. Data penggunaan obat
untuk diikutsertakan di dalam kajian ilmiah dalam rangka yang dikoleksi meliputi jenis dan kombinasi obat (obat
mengendalikan suatu penyakit . antiretroviral dan obat lain) dan dosis yang digunakan.
Meskipun belum ada obat yang dapat membunuh
virus penyebab AIDS, pengobatan yang mampu Analisis data
meningkatkan harapan dan kualitas hidup pasiennya Data dianalisis secara deskriptif evaluatif dan dikaji
sudah lama diperkenalkan. Pengobatan ini dilakukan melalui perbandingan dengan literatur.
dengan pemberian kombinasi obat-obat antiretroviral.
Meskipun hanya sekitar separuh penderita HIV/AIDS HASIL DAN DISKUSI
yang menerima terapi antiretroviral pada akhir tahun
2016, pengobatan ini memiliki tingkat keberhasilan yang Penularan dan perkembangan HIV/AIDS memiliki
menjanjikan [2]. Laporan UNAIDS juga menunjukkan tren yang berbeda antar negara dan wilayah. Meskipun
tren yang bagus, dimana persentase penggunaan obat strategi dan program penanggulangan AIDS sudah

Jurnal Sains Farmasi & Klinis | Vol. 04 No. 01 | November 2017 2


Terapi Antiretroviral pada Pasien HIV/AIDS di RSU P... Yuliandra et. al.

dicetuskan secara global untuk mengakhiri endemik HIV/ HIV dari PSK yang menempati urutan teratas semestinya
AIDS pada tahun 2030 [6], penerapannya di masing- menjadikan mereka sebagai target intervensi yang utama di
masing negara memerlukan penyesuaian khusus. Hal ini dalam upaya pencegahan penularan HIV/AIDS sekaligus
tidak terlepas dari perbedaan aspek sosiodemografis dari menekan endemiknya. Studi yang dilakukan pada beberapa
setiap daerah. Pengkajian terhadap karakteristik masyarakat negara di Asia menunjukkan bahwa program pencegahan
ini sangat penting dalam menekan angka penularan HIV. penularan HIV di kalangan PSK berhasil menurunkan
Selain itu, kajian dan evaluasi terhadap penggunaan tingkat penularan HIV/AIDS secara signifikan [8,9].
obat antiretroviral yang digunakan di dalam pengobatan Salah satu hal lain yang juga menjadi kontribusi
HIV/AIDS juga menjadi penting untuk meningkatkan tingginya angka kejadian infeksi HIV pada laki-laki adalah
efektivitas terapi. meningkatnya kecenderungan praktek lelaki seks lelaki
RSUP Dr. M. Djamil merupakan salah satu dari dua (LSL). Data penelitian ini menempatkan jenis seks ini pada
rumah sakit di provinsi Sumatera Barat yang memiliki urutan ke tiga terbanyak sebagai penyebab penularan HIV/
poliklinik untuk menangani pasien HIV/AIDS. Sepanjang AIDS di atas seks dengan pacar dan dengan istri (Tabel 3).
tahun 2015, sebanyak 136 orang positif terinfeksi HIV Informasi yang diperoleh dari sumber tenaga kesehatan
tercatat pada poliklinik tersebut. Meskipun demikian, di salah satu rumah sakit pemerintah di Sumatera Barat
hanya 89 pasien yang memenuhi kriteria di dalam penelitian menyatakan bahwa kasus homoseksual ini juga sudah
ini akibat banyaknya data rekam medis yang tidak lengkap. mulai menjangkiti remaja usia sekolah. Hal ini terbukti
Data pada penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas dengan adanya kasus pasien laki-laki yang masih berstatus
penderita HIV/AIDS adalah pasien berjenis kelamin siswa sekolah menengah yang mengeluhkan pendarahan
laki-laki, yaitu mencapai 76,40%. Data ini pada pada anusnya pada instalasi gawat darurat rumah sakit
dasarnya bertolak belakang dengan persentase penderita tersebut sebagai akibat dari praktek seksual menyimpang
HIV/AIDS global dimana jumlah penderita perempuan sesama jenis. Hal ini semakin memperburuk upaya
adalah dua kali lebih banyak dibandingkan dengan laki- penanggulangan HIV/AIDS karena risiko penularan pada
laki [3]. Meskipun demikian, temuan pada penelitian praktek seks seperti ini terbilang tinggi. Pemeriksaan HIV
ini memperlihatkan kesesuaian dengan data HIV/ yang dilakukan pada pasangan sesama jenis ini di Amerika
AIDS nasional tahun 2016 yang dirilis oleh Yayasan Serikat menunjukkan bahwa 25% dari mereka adalah
Spiritia, dimana penderita laki-laki merupakan penderita positif terinfeksi HIV dan 48% di antaranya justru tidak
mayoritas dengan persentase 64% [4]. Perbedaan tren mengetahui bahwa mereka terinfeksi [10].
ini sangat mungkin terjadi sebagai dampak dari aspek Mayoritas pasien HIV/AIDS di dalam penelitian ini
sosiodemografis yang sangat bervariasi antar negara dan merupakan penderita yang berada pada usia produktif,
wilayah. yaitu rentang usia 26-35 dan 36-45 tahun yang jumlah
Data penderita HIV/AIDS di Indonesia menunjukkan gabungannya mencapai lebih dari 70%. Hal ini juga
bahwa laki-laki memiliki faktor resiko dua hingga tiga berlaku secara nasional berdasarkan data Yayasan Spiritia
kali lebih besar dibandingkan dengan perempuan untuk tahun 2016 yang menunjukkan bahwa 82% penderita
terinfeksi HIV/AIDS (Tabel 1). Hal ini terungkap dari AIDS berasal dari kelompok umur 20-50 tahun, dengan
data penelitian ini yang menunjukkan bahwa 76,40% persentase terbesar berada pada rentang usia 30-39 tahun
pasien adalah berjenis kelamin laki-laki. Laporan berskala [4].
nasional yang dirilis Yayasan Spiritia juga menunjukkan Data penelitian ini juga memperlihatkan cukup
bahwa jumlah penderita HIV/AIDS laki-laki adalah sekitar tingginya angka penularan HIV pada usia muda (17-25
2 kali lipat dibandingkan dengan perempuan [4]. tahun) yang menempati urutan ke tiga. Meskipun secara
Tingginya persentase penderita laki-laki sangat umum angka penularan HIV secara global mengalami
mungkin terjadi sebagai akibat dari penularan melalui penurunan sejak tahun 2010, jumlah penderita baru HIV di
pekerja seks komersial (PSK), dimana masing-masing kalangan perempuan muda (usia 15-24 tahun) justru lebih
PSK dapat menularkan HIV/AIDS kepada setiap partner tinggi 44% dibandingkan dengan laki-laki pada rentang
lelakinya. Hal ini juga sangat didukung oleh data pada usia yang sama [3]. Suatu studi di Zamibia mengungkap
penelitian ini, dimana faktor resiko penularan terbesar beberapa alasan tingginya angka penularan pada wanita
adalah melalui seks (61,80%) dengan partner seks terbanyak muda. Beberapa di antaranya adalah kecenderungan wanita
adalah PSK, yaitu sebesar 38,33% di antaranya (Tabel 2 untuk memiliki pasangan yang lebih tua dan pengaruh dari
dan 3). Tren seperti ini pada dasarnya juga berlaku secara penyakit infeksi herpes simpleks tipe 2 yang lebih sering
nasional dan regional [4,7]. Fakta bahwa angka penularan menyerang wanita [11]. Hal ini menegaskan pentingnya

Jurnal Sains Farmasi & Klinis | Vol. 04 No. 01 | November 2017 3


Terapi Antiretroviral pada Pasien HIV/AIDS di RSU P... Yuliandra et. al.

Tabel 1. Karakteristik sosiodemografi pasien HIV/AIDS

Karakteristik Sosiodemografi Jumlah Pasien Persentase (%)

Jenis Kelamin Laki-laki 68 76,40

Perempuan 20 22,47

Tidak ada keterangan 1 1,12

Kelompok Umur (tahun) 17 – 25 11 12,36

26 – 35 37 41,57

36 – 45 28 31,46

46 – 55 4 4,49

56 – 65 3 3,37

Tidak ada keterangan 6 6,74

Pendidikan SD 3 3,37

SMP 12 13,48

SMA 50 56,18

D2 1 1,12

D3 4 4,49

S1 10 11,24

Tidak ada keterangan 9 10,11

Status Marital Menikah 52 58,43

Belum menikah 33 37,08

Tidak ada keterangan 4 4,49

Pekerjaan Pegawai swasta 17 19,10

Ibu rumah tangga 17 19,10

Wiraswasta 12 13,48

Mahasiswa 7 7,87

Pegawai negeri sipil 4 4,49

Supir 4 4,49

Pedagang 3 3,37

Petani 2 2,25

Calon pegawai negeri sipil 1 1,12

Konsulen kecanduan narkoba 1 1,12

Buruh 1 1,12

Teknisi 1 1,12

Tukang pangkas rambut 1 1,12

Tentara 1 1,12

Petugas kebersihan 1 1,12

Tidak bekerja 4 4,49

Tidak ada keterangan 12 13,48

Jurnal Sains Farmasi & Klinis | Vol. 04 No. 01 | November 2017 4


Terapi Antiretroviral pada Pasien HIV/AIDS di RSU P... Yuliandra et. al.

Tabel 2. Faktor risiko penularan HIV pada pasien HIV/AIDS

No Faktor Risiko Penularan Jumlah Pasien Persentase (%)

1 Seks 55 61,80
2 IDU (Injecting Drug User) 6 6,74
3 Seks dan IDU (Injecting Drug User) 5 5,62
4 Tato 1 1,12
5 Tidak ada keterangan 22 24,72
Total 89 100

menanamkan kewaspadaan akan bahaya dan penularan saja. Pedoman nasional penggunaan antiretroviral sudah
HIV/AIDS di kalangan remaja, khususnya perempuan menggariskan penggunaan kombinasi beberapa obat
muda. Salah satu bentuk program yang dapat dilaksanakan sepanjang proses terapi [14]. Untuk terapi lini pertama,
adalah penyuluhan tentang pencegahan penularan HIV/ regimen yang disarankan oleh 2 obat dari golongan
AIDS yang terbukti dapat meningkatkan angka partisipasi NRTI (Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor) yang
pengujian HIV di Amerika Serikat secara signifikan [12]. dikombinasi dengan salah satu obat dari golongan NNRTI
Edukasi di tingkat sekolah juga perlu melibatkan konselor (Non-nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor).
khusus dibandingkan dengan mengandalkan para guru Panduan pengobatan dari WHO menyatakan bahwa
[13]. pengobatan lini pertama, ke dua, maupun ke tiga harus
Penggunaan antiretroviral yang benar dapat diketahui menggunakan tiga kombinasi obat antiretroviral dengan
melalui proses evaluasi obat yang digunakan oleh pasien. komposisi yang sudah ditentukan [15].
Penelitian ini mengungkap masih adanya ketidaktepatan Penggunaan obat yang tepat merupakan aspek
di dalam terapi antiretroviral yang digunakan (Gambar 1), yang sangat penting di dalam terapi antiretroviral.
yakninya berupa ketidaktepatan pemilihan obat. Terdapat Salah satu tantangan di dalam pengobatan infeksi HIV
2 kasus dimana pasien hanya menerima 1 obat dan 2 obat adalah resistensi yang sudah terjadi terhadap obat-obat

Tabel 3. Partner seks sebagai sumber penularan HIV pada pasien HIV/AIDS

Jumlah Pasien
No Partner Seks Persentase (%)
Laki-laki Perempuan
1 Pekerja seks komersial (PSK) 14 - 23,33
2 Suami - 12 20,00
3 Sesama jenis (laki-laki) 8 - 13,33
4 Pacar 5 3 13,33
5 Istri dan PSK 5 - 8,33
6 Pacar dan sesama jenis 3 - 5,00
7 Pacar dan PSK 2 - 3,33
8 Istri 2 - 3,33
9 Istri dan sesama jenis 1 - 1,67
10 PSK dan sesama jenis 1 - 1,67
11 Istri dan pacar 1 - 1,67
12 Seks tanpa keterangan 3 - 5,00
Total 45 15 100

Jurnal Sains Farmasi & Klinis | Vol. 04 No. 01 | November 2017 5


Terapi Antiretroviral pada Pasien HIV/AIDS di RSU P... Yuliandra et. al.

Tepat

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

Tingkat Ketepatan (%)

Gambar 1. Ketepatan penggunaan obat pada terapi antiretroviral pasien HIV/AIDS

antiretroviral. Hal ini membutuhkan penanganan segera dan tingkat toleransi yang jauh lebih baik dibandingkan
berupa optimalisasi kepatuhan pasien dalam menggunakan kombinasi dengan efavirenz [18].
obat, melakukan kajian resistensi obat, dan monitoring Penggunaan kombinasi obat antiretroviral memiliki
yang baik terhadap hasil pengobatan [16]. Panduan risiko potensi interaksi yang besar. Potensi interaksi
pengobatan yang dikeluarkan oleh lembaga berwenang yang merugikan dapat terjadi sesama obat antiretroviral
juga senantiasa diperbaharui mengikuti perkembangan dan dengan obat lain yang juga sering digunakan oleh
terbaru terkait dengan efektivitas dan keamanan obat pasien HIV/AIDS, khususnya mereka yang sudah
antiretroviral. Pada tahun 2011, pemerintah Indonesia menderita penyakit infeksi oportunistik. Data penelitian
melakukan revisi terhadap pedoman nasional pengobatan ini mengungkap adanya 10% pasien yang menggunakan
HIV/AIDS yang sebelumnya diterbitkan pada tahun kombinasi obat yang memiliki potensi interaksi merugikan
2007. WHO juga melakukan hal yang sama terhadap (Tabel 4) dengan jenis interaksi yang tergolong moderat.
panduan pengobatannya, misalnya dengan menerbitkan Dampak dari interaksi tersebut sangat potensial untuk
update panduan secara berkala [17]. Tinjauan sistematis menyebabkan penurunan efektivitas obat, kegagalan
terhadap hasil studi efektivitas dan keamanan obat- terapi, dan berkontribusi dalam menyebabkan terjadinya
obat antiretroviral juga menyarankan regimen baru yang resistensi terhadap obat antiretroviral [19,20].
lebih baik, misalnya dua obat dari golongan NRTI yang Salah satu batasan di dalam penelitian ini adalah
dikombinasikan dengan satu obat dari golongan Integrase sampling yang tidak mewakili segmen penderita HIV/
Strand Transfer Inhibitor (INSTI) memiliki efektivitas AIDS secara umum. Penelitian ini hanya mengambil

Tabel 4. Potensi interaksi obat yang ditemukan pada terapi antiretroviral pasien HIV/AIDS

No Kombinasi obat Angka kejadian (n = 89) Risiko interaksi

1 Rifampisin- kotrimoksazol 1 Berkurangnya efektivitas kotrimoksazol akibat penurunan


kadar di dalam plasma [21]
2 Rifampisin- evapirenz 4 Berkurangnya efektivitas evapirenz akibat penurunan kadar di
dalam plasma [22]
3 Nevirapin- flukonazol 3 Toksisitas nevirapin (hepatotoksisitas) akibat peningkatan
kadar dalam plasma [23]
4 Rifampisin- zidovudin 1 Berkurangnya efektivitas zidovudin [24]

Jurnal Sains Farmasi & Klinis | Vol. 04 No. 01 | November 2017 6


Terapi Antiretroviral pada Pasien HIV/AIDS di RSU P... Yuliandra et. al.

sampel dari pasien yang mengunjungi poliklinik dan [3] Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS). (2017).
menerima pengobatan saja, sedangkan laporan WHO UNAIDS Data 2017. Retrieved September 25, 2017, from http://
menyebutkan bahwa persentase penderita HIV/AIDS www.unaids.org/en/resources/documents/2017/2017_data_book
yang menerima terapi antiretroviral hanya sekitar 50% [2]. [4] Yayasan Spiritia. (2017). Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia.
Retrieved September 25, 2017, from http://spiritia.or.id/Stats/
Karenanya, kajian sosiodemografis ini mungkin kurang
Statistik.php
mewakili penderita HIV/AIDS yang tidak menjalani [5] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Pedoman Nasional
terapi. Selain itu, ketidaklengkapan data rekam medis, Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa.
termasuk data jumlah CD4 pasien, juga menjadi kendala Kemenkes RI.
di dalam melakukan kajian terhadap evaluasi pengobatan. [6] Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS). (2014). Fast-
Track strategy to end the AIDS epidemic by 2030. Retrieved September
Perilaku seks yang menyimpang merupakan
25, 2017, from http://www.unaids.org/en/resources/
tantangan terbesar dalam pencegahan penularan HIV/ campaigns/World-AIDS-Day-Report-2014/
AIDS, baik secara global maupun nasional. Dalam aspek [7] Ruxrungtham, K., Brown, T., & Phanuphak, P. (2004). HIV/AIDS in Asia.
sosiodemografi di Indonesia, perilaku ini merupakan seks The Lancet, 364(9428), 69–82.
di luar nikah yang mencakup seks dengan PSK, pacar, dan [8] Hearst, N., & Chen, S. (2004). Condom promotion for AIDS
prevention in the developing world: Is it working? Studies in Family
sesama jenis. Di samping itu, terapi antiretroviral yang
Planning, 35(1),39–47.
efektif dan berkesinambungan juga merupakan salah satu
[9] Ng, M., Gakidou, E., Levin-Rector, A., Khera, A., Murray, C. J. L., &
kunci dalam upaya pengobatan HIV/AIDS. Oleh karena Dandona, L. (2011). Assessment of population-level effect of
itu, kedua tantangan dalam pencegahan dan pengobatan Avahan,anHIV-preventioninitiativeinIndia.TheLancet,378(9803), 1643–
HIV/AIDS ini harus menjadi perhatian pihak terkait. 1652.
Profesi apoteker sebagai tenaga profesional di bidang obat [10] Centers for Disease Control and Prevention (CDC). (2005). HIV
prevalence, unrecognized infection, and HIV testing among men who
sangat perlu dilibatkan di dalam strategi penggunaan obat
have sex with men--five U.S. cities, June 2004-April 2005. Morbidity
antiretroviral yang rasional serta di dalam terapi penyakit and Mortality Weekly Report, 54(24), 597–601.
infeksi oportunistik yang juga diderita oleh pasien HIV/ [11] Glynn, J. R., Caraël, M., Auvert, B., Kahindo, M., Chege, J., Musonda, R., …
AIDS [25]. Konseling dari apoteker juga dibutuhkan untuk Buvé, A. (2001). Why do young women have a much higher prevalence
meningkatkan pengetahuan pasien terkait obat dan terapi of HIV than young men? A study in Kisumu, Kenya and Ndola, Zambia.
AIDS, 15(Suppl 4), S51–S60.
yang mereka terima serta meningkatkan kepatuhan mereka
[12] Straub, D. M., Pomputius, P., Boyer, C. B., Someillan, N. S., & Perrin, K. (2007).
dalam menggunakan obat untuk menunjang keberhasilan HIV Prevention Education and Testing among Youth: Is There a Correlation?
terapi [26]. Journalof AdolescentHealth,41(1),105–107.
[13] Borgia, P., Marinacci, C., Schifano, P., & Perucci, C. A. (2005). Is peer
education the best approach for HIV prevention in schools? Findings from
KESIMPULAN
a randomized controlled trial. Journal of Adolescent Health, 36(6),
508–516.
Karakteristik penderita infeksi HIV yang dominan [14] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri
adalah pasien laki-laki (76,40%); usia 26-35 tahun (41,57%), Kesehatan No 62 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
dan tingkat pendidikan SMA (56,18%). Penularan infeksi Kefarmasian di Rumah Sakit (2016).
[15] World Health Organization (WHO). (2015). Consolidated guidelines on
HIV terbesar adalah melalui hubungan seksual (61,80%)
the use of antiretroviral drugs for treating and preventing HIV
dengan partner seks yang didominasi oleh PSK (38,33%). infection: what’s new. Retrieved October 25, 2017, from http://
Evaluasi terhadap penggunaan obat mengungkap adanya www.who.int/hiv/pub/arv/policy-brief-arv-2015/en/
kejadian ketidaktepatan pilihan obat (2,24%) serta [16] Hosseinipour, M. C., Gupta, R. K., Van Zyl, G., Eron, J. J., & Nachega, J.
B. (2013). Emergence of HIV drug resistance during first- and second-
potensi interaksi obat (10,11%) yang mayoritasnya dapat
line antiretroviral therapy in resource-limited settings. Journal of
menyebabkan berkurangnya efektivitas obat. Infectious Diseases, 207(Suppl 2), S49–S56.

[17] World Health Organization (WHO). (2017a). Guidelines: HIV.


Retrieved September 25, 2017, from http://www.who.int/hiv/pub/
REFERENSI guidelines/en/
[18] Kanters, S., Vitoria, M., Doherty, M., Socias, M. E., Ford, N., Forrest,
J. I., … Mills, E. J. (2016). Comparative efficacy and safety of first-line
[1] AIDSinfo. (2017). HIV/AIDS: The Basics. Retrieved September 25, antiretroviral therapy for the treatment of HIV infection: a systematic
2017, from https://aidsinfo.nih.gov/understanding-hiv-aids/fact- review and network meta-analysis. Lancet HIV, 3(11), e510–e520.
sheets/19/45/hiv-aids--the-basics
[2] World Health Organization (WHO). (2017b). HIV/AIDS: Fact [19] Kredo,T.,Mauff,K.,Workman,L.,VanderWalt,J.S.,Wiesner,L.,Smith,
Sheet. Retrieved September 25, 2017, from http://www.who.int/ P. J., … Barnes, K. I. (2015). The interaction between artemether-
mediacentre/factsheets/fs360/en/ lumefantrine and lopinavir/ritonavir-based antiretroviral therapy in
HIV-1 infected patients. BMC Infectious Diseases, 16(1), 30.

[20] Tseng, A. L., la Porte, C., & Salit, I. E. (2013). Significant interaction

Jurnal Sains Farmasi & Klinis | Vol. 04 No. 01 | November 2017 7


Terapi Antiretroviral pada Pasien HIV/AIDS di RSU P... Yuliandra et. al.
between activated charcoal and antiretroviral therapy leading to
subtherapeutic drug concentrations, virological breakthrough and
developmentofresistance.AntiviralTherapy,18(5),735–738.

Jurnal Sains Farmasi & Klinis | Vol. 04 No. 01 | November 2017 8


Terapi Antiretroviral pada Pasien HIV/AIDS di RSU P... Yuliandra et. al.

[21] Ribera, E., Pou, L., Fernandez-Sola, A., Campos, F., Lopez, R. M.,
Ocaña, I., … Pahissa, A. (2001). Rifampin reduces concentrations
of trimethoprim and sulfamethoxazole in serum in human
immunodeficiency virus-infected patients. Antimicrobial Agents and
Chemotherapy, 45(11), 3238–3241.

[22] Lopez-Cortes, L. F., Ruiz-Valderas, R., Viciana, P., AlarcOn-GonzAlez,


A., Gomez-Mateos, J., Leon-Jimenez, E., … Pachon, J. (2002).
Pharmacokinetic Interactions Between Efavirenz and Rifampicin in
HIV-Infected Patients with Tuberculosis. Clinical Pharmacokinetics,
41(9), 681–690.
[23] Wakeham, K., Parkes-Ratanshi, R., Watson, V., Ggayi, A. B., Khoo, S.,
& Lalloo, D. G. (2009). Co-administration of fluconazole increases
nevirapine concentrations in HIV-infected Ugandans. Journal of
Antimicrobial Chemotherapy, 65(2), 316–319.
[24] Burger,D. M., Meenhorst, P.L., Koks, C. H. W.,& Beijnen, J. H. (1993).
Pharmacokinetic interaction between rifampin and zidovudine.
Antimicrobial Agents and Chemotherapy, 37(7), 1426–1431.

[25] Tseng, A., Foisy, M., Hughes, C. A., Kelly, D., Chan, S., Dayneka, N.,
… Yoong, D. (2012). Role of the Pharmacist in Caring for Patients
with HIV/AIDS: Clinical Practice Guidelines. The Canadian Journal of
Hospital Pharmacy, 65(2), 125–145.

[26] Permatasari, J., Almasdy, D., & Raveinal, R. (2017). Pengaruh


Konseling Farmasis Terhadap Pengetahuan dan Kepatuhan Pasien
HIV/AIDS di Poliklinik VCT RSUP Dr.M. Djamil Padang. Jurnal Sains
Farmasi & Klinis, 3(2), 178–185.

Copyright © 2017 The author(s). You are free to share (copy and redistribute the material in any medium or format) and adapt (remix, transform,
and build upon the material for any purpose, even commercially) under the following terms: Attribution — You must give appropriate credit, provide a
link to the license, and indicate if changes were made. You may do so in any reasonable manner, but not in any way that sugge sts the licensor
endorses you or your use; ShareAlike — If you remix, transform, or build upon the material, you must distribute your contributions under the same
license as the original (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/)

Anda mungkin juga menyukai