Anda di halaman 1dari 118

1.

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Infeksi saluran urinary (urinary tract infection – UTI) adalah salah satu penyakit
menular yang paling dominan dengan beban finansial yang substansial di tengah
masyarakat. Di AS, UTI bertanggunajwab atas lebih dari 7 juta kunjungan dokter
setiap tahunnya. Kurang lebih 15% dari semua antibiotik yang diresepkan-untuk
masyarakat di AS diberikan untuk UTI dan data dari beberapa negara Eropa
menunjukkan level yang setara dengan ini. Di AS, UTI terhitung mencapai lebih
dari 100,000 admisi rumah sakit setiap tahunnya, paling sering terjadi untuk
pyelonephritis. Data ini tidak mencakup UTI komplikasi yang diasosiasikan
dengan pasien urologi, prevalensi yang masih belum diketahui. Infeksi saluran
urinary mewakili setidaknya 40% dari semua infeksi yang diperoleh ruma h sakit
dan dalam kebanyakan kasus, diasosiasikan dengan kateter. Bakteriuria
berkembang pada mencapai 25% pasien yang membutuhkan kateter urinary untuk
satu minggu atau lebih dengan resiko harian 5-75%. Studi-studi penelitian Global
Prevalence Infection in Urologi (GPIU) terkini telah menunjukkan bahwa 10-12%
pasien yang dimasukkan ke rumah sakit dalam bangsal urologi memiliki healthcare
associated infection (HAI). Strain diperoleh dari pasien -pasien ini bahkan lebih
resisten.

1.2 Perkembangan resistensi bakteri


Kondisi saat ini dalam perkembangan resistensi mikrobial sangatlah
mengkhawatirkan. Penggunaan antibiotik di negara-negara Eropa yang berbeda
mencerminkan peningkatan global dalam strain yang resisten. Adanya extended -
spectrum β-lactamase (ESBL) menghasilkan bakteri yang menunjukkan resistensi
terhadap sebagian besar antibiotik, kecuali untuk grup carbapenem, semakin
meningkat di tengah populasi. Bahkan lebih mengkhawatirkan lagi adalah laporan
terkini dari semua benua mengenai bakteri faecal yang memb awa enzim
ESBL CARBA (misal., New Delhi metallo-β-lactamase NDM-1) yang membuat
mereka resisten terhadap semua antibiotik yang tersedia termasuk grup
carbapenem.
Khususnya sangat menyusahkan adalah semakin meningkatnya resistensi
terhadap antibiotik spektrum-luas seperti misalnya fluoroquinolones dan
cephalosporins karena adanya konsumsi berlebihan dari dua grup ini dan
perkembangan paralel dari ko-resistensi terhadap antibiotik lain (collateral
damage). Perkembangan ini adalah sebuah ancaman terhadap pasi en yang
menjalani pembedahan urologi secara umum dan manusia yang menjadi subyek
terhadap biopsi prostat secara khusus.
Sebuah panduan yang urgen dan kuat dalam perkembangan yang
mengkhawatirkan ini karenanya akan diperlukan. Dengan hanya sedikit antibio tik
baru yang diharapkan eksis dalam 5 hingga 10 tahun ke depan, penggunaan
bijaksana dari antibiotik yang tersedia adalah satu -satunya opsi untuk
menangguhkan pengembangan resistensi dan komunitas urologi memiliki sebuah
tanggungjawab untuk berpartisipasi dalam pertempuran ini. Esensial untuk
mempertimbangkan lingkungan mikroba lokal dan pola resistensi serta faktor
resiko untuk menemukan mikroba yang resisten dalam pasien individual.
Perkembangan resistensi bakteri adalah sebuah ancaman
 Terhadap perawatan UTI
 Profilaksis dalam pembedahan urologi
Terdapat korelasi langsung antara penggunaan antibiotik dan perkembangan
resistensi
Terdapat kebutuhan yang urgen untuk memerangi perkembangan resistensi
dengan penggunaan antibiotik yang ada secara bijaksana.

1.3 Tujuan panduan


Panduan ini bertujuan untuk memberikan kepada para urolog dan dokter dari
keahlian medis lain dengan panduan berbasis-bukti berkenaan dengan perawatan
dan profilaksis UTI. Panduan ini mencakup UTI pria dan wanita, infeksi genital
pria, dan bidang khusus seperti misalnya UTI dalam urologi pediatrik,
immunosuppression, ketakcukupan renal (renal insufficiency) dan penerima
transplantasi ginjal. Lebih banyak perhatian akan diberikan pada antibiotik
profilaksis, bertujuan untuk mengurangi penggunaan berlebihan dari antibiotik
prophylactic peri-operative. Riset klinis yang berkualitas tinggi menggunakan
definisi dan klasifikasi yang diakui secara internasionaldalam section ini akan
dianjurkan.

1.4 Patogenesis UTI


Mikroorganisme bisa mencapai saluran urinary dengan penyebaran haematogenous
atau limfatik, tapi terdapat banyak bukti klinis dan eksperimental untuk
menunjukkan bahwa kenaikan mikroorganisme dari uretra adalah pathway yang
paling umum yang mengarah pada UTI, khususnya organisme dengan asal enterik
(misal., E. coli dan Enterobacteriaceae lain). Hal inimenyediakan sebuah
penjelasan lokal untuk frekuensi UTI yang lebih besar pada wanita dibandingkan
pada pria, dan untuk peningkatan resiko infeksi setelah kate terisasi atau
instrumentasi kandung kemih. Sebuah pemasukan tunggal kateter ke dalam
kandung kemih urinary dalam pasien ambulatory menghasilkan infeksi urinary
dalam 1-2% kasus. Kateter yang dimasukkan dengan sistem open -drainage akan
menghasilkan bacteriuria dalam hampir 100% kasus dalam 3-4 hari. Penggunaan
sebuah sistem closed-drainage, termasuk sebuah katup untuk mencegah retrograde
flow, menunda permulaan infeksi, tapi pada akhirnya tidak akan bisa
mencegahnya. Terdapat anggapan bahwa bakteri bermigras i di dalam ruang
mucopurulent antara uretra dan kateter, dan hal ini mengarah pada perkembangan
bacteriuria dalam hampir semua pasien dalam kurun waktu sekitar 4 minggu.
Infeksi haematogenous dari saluran urinary dibatasi pada sejumlah kecil
mikroba yang relatif tidak umum, seperti misalnya Staphylococcus aureus,
Candida sp, Salmonella sp dan Mycobacterium tuberculosis, yang menyebabkan
infeksi primer di tempat lain dalam tubuh. Candida albicans biasanya
menyebabkan sebuah UTI klinis melalui rute haematogenous, tapi C. albicans juga
penyebab dari sebuah infeksi ascending jika sebuah kateter dalam tubuh
digunakan, atau setelah terapi antibiotik.
Konsep virulensi atau patogenisitas bakterial dalam saluran urinary diduga
bahwa tidak semua spesies bakteri sama-sama mampu dalam menginduksi infeksi.
Semakin terkompromikan mekanisme pertahanan alami (misal., obstruksi, atau
kateterisasi kandung kemih), semakin kecil ketentuan virulensi dari strain bakteri
manapun untuk menginduksi infeksi. Hal ini didukung dengan pengamatan in vitro
yang terdokumentasi baik bahwa bakteri yang diisolasi dari pasien dengan sebuah
UTI komplikasi seringkali gagal menunjukkan faktor virulensi. Konsep virulensi
juga menyatakan bahwa strain bakteri tertentu di dalam sebuah spesies akan
dilengkapi secara unik dengan faktor virulensi khusus, misal., tipe pili yang
berbeda, yang memfasilitasi kenaikan bakteria dari faecal flora, introitus vagin ae
atau periurethral area di uretra ke kandung kemih, atau yang lebih jarang terjadi,
memungkinkan organisme untuk mencapai ginjal dalam menginduksi inflamasi
sistemik.

1.5 Mikrobiologi dan temuan laboratorium lainnya


Jumlah bakteri dianggap relevan untuk diagnosa sebuah UTI. Di tahun 1960, Kass
mengembangkan konsep bacteriuria signifikan (≥10 5 cfu/mL) dalam konteks
pyelonephritis dalam kehamilan. Meski konsep ini memperkenalkan mikrobiologi
kuantitatif ke dalam diagnosa penyakit menular, dan karenanya masih cukup
penting, baru-baru ini tampak jelas bahwa tidak ada hitungan bakteri yang fix
dalam mengindikasikan bacteriuria signifikan, yang bisa diterapkan pada semua
jenis UTI dan dalam semua situasi. Seperti yang dideskripsikan dalam Lampiran
16.1, hitungan bakteri berikut ini secara klinis termasuk relevan:

 ≥10 3 cfu/mL uropathogen dalam sebuah mid-stream sample of urine


(MSU) dalam acute uncomplicated cystitis pada wanita
 ≥10 4 cfu/mL uropathogen dalam sebuah MSU dalam acute uncomplicated
pyelonephritis pada wanita
 ≥10 5 cfu/mL uropathogen dalam sebuah MSU pada wanita, atau ≥10 4
cfu/mL uropatogen dalam sebuah MSU pada pria, atau pada straight
catheter urine pada wanita, dalam sebuah complicated UTI.

Dalam sebuah spesimen suprapubic bladder puncture, hitungan bakteri apapun


akan termasuk relevan. Masalah dalam menghitung angka yang rendah harus pula
dipertimbangkan. Jika sebuah inokulum 0.1 mL urine digunakan dan 10 koloni
identik dibutuhkan untuk alasan kepercayaan statistik, maka dalam setting ini,
angka terendah yang bisa dihitung adalah 100 cfu/mL uropathogen. Bacter iuria
asimptomatik didiagnosa jika dua kultur dari strain bakteri yang sama (dalam
kebanyakan kasus spesies ini satu-satunya yang tersedia), diambil dalam ≥ 24 jam
jeda, menunjukkan bacteriuria ≥10 5 cfu/mL uropathogen.
Sudah jelas bahwa metode penumpulan dan pengkulturan urine, serta
kualitas penelitian laboratorium, bisa jadi akan bervariasi. Dua level standar harus
digunakan untuk manajemen pasien. Sebuah level standar dasar diperlukan untuk
assessment rutin, dimana level standar yang lebih tinggi akan diperlukan untuk
assessment ilmiah dan dalam situasi klinis khusus, misal., demam yang tidak jelas
darimana asalnya pada pasien immunocompromised. Dalam riset, kebutuhan untuk
sebuah definisi metode sampling yang akurat, seperti misalnya waktu dimana urine
disimpan dalam kandung kemih, harus diketahui, dan parameter ini dicatat dengan
seksama.
Dalam assessment rutin klinis, sejumlah kriteria dasar harus dilihat sebelum
sebuah diagnosa dapat dikembangkan, termasuk diantaranya:

 Gejala klinis
 Hasil uji tes laboratorium tertentu (darah, urin, atau expressed prostatic
secretion (EPS))
 Bukti adanya mikroorganisme dengan mengkulturkan atau melakukan uji
tes spesifik lainnya
 Kebanyakan penyelidikan ini saat ini bisa dilakukan di laboratorium.

Harus dipertimbangkan, bahwa metodologi mikrobiologi dan definisi yang


diterapkan harus mengikuti standar yang telah diterima berkenaan dengan
transport spesimen, identifikasi patogen, dan pengujian kerentanan antimikroba.
Metode ini dan definisi mikrobiologi bisa jadi akan bervariasi antar negara dan
institusi. Salah satu contohnya adalah breakpoints untuk klasifikasi kerentanan
patogen. Penting untuk melaporkan tidak hanya hasil, tapi juga metode dan standar
mana yang digunakan, seperti misalnya European Committee for Antimicrobial
Susceptibility Testing (EUCAST) atau National Committee for Clinical
Laboratory Standards (NCCLS). Hasil yang mixing/bercampur diperoleh dengan
metode yang berbeda, misal laju resistensi bakteri, bisa menjadi hal yang
problematis dan membutuhkan interpretasi yang seksama. Penyelidikan histologi
terkadang menunjukkan adanya inflammasi non-spesifik. Hanya dalam beberapa
kasus, hasil temuan seperti ini (misal., protatitis pada pasien yang memiliki
peningkatan level prostate-specific antigen (PSA) bisa membantu dalam
menentukan perawatan yang tepat, dimana dalam inflamasi yang lebih spesifik,
seperti misalnya tuberculosis dan actinomycosis, histologi bisa jadi akan
diagnosttik. Secara umum, hasil temuan histologi biasanya memberikan k ontribusi
yang sangat sedikit terhadap keputusan perawatan.

1.6 Metodologi
Panel panduan EAU Urological Infection terdiri atas sekelompok urolog,
berspesialisasi dalam perawatan UTI. Harus ditekankan bahwa panduan klinis
memberikan bukti terbaik yang tersedia bagi para ahli pada saat paper ini ditulis.
Namun, mengikuti rekomendasi panduan tidak akan selalu memberikan hasil
terbaik. Panduan tidak pernah bisa menggantikan keahlian klinis ketika keputusan
perawatan untuk pasien individual diambil. Panduan membantu untuk
memfokuskan keputusan. Keputusan klinis harus pula turut memperhitungkan nilai
personal pasien dan preferensi mereka serta situasi individual mereka.

1.6.1 Level bukti dan grade rekomendasi panduan


Referensi yang digunakan dalam teks telah dinilai sesuai dengan level bukti
ilmiah mereka (Tabel 1). Rekomendasi panduan telah digrading (Tabel 2)
sesuai dengan level bukti (LE) Oxford Centre for Evidence -Based Medicine.
Tujuan dari melakukan grading recommendation (GR) adalah untuk
menyediakan transparansi antara bukti dasar dan rekomendasi yang diberikan.

Tabel 1: level bukti*


Tipe bukti LE
Bukti diperoleh dari meta-analisis percobaan acak 1a
Bukti diperoleh dari setidaknya satu percobaan acak 1b
Bukti diperoleh dari setidaknya satu studi terkontrol yang 2a
dirancang baik tanpa pengacakan
Bukti diperoleh dari setidaknya satu tipe studi quasi - 2b
experimental yang dirancang baik
Bukti diperoleh dari studi non-eksperimental yang dirancang 3
baik, seperti studi komparatif, studi korelasi dan laporan
kasus
Bukti diperoleh dari laporan atau opini komite ahli atau 4
pengalaman klinis dari otoritas yang berwenang
* dimodifikasi dari Sackett et al.

Harus diketahui bahwa ketika rekomendasi di-grading, link antara LE dan GR


tidak linier langsung. Ketersediaan randomised controlled trial (RCT) mungkin
tidak selalu ditranslasikan ke dalam GR: A ketika terdapat keterbatasan
metodologis atau disparitas dalam hasil yang dipublikasikan.
Sebaliknya, tidak adanya LE yang tinggi tidak selalu mengecualikan sebuah
GR:A, jika terdapat banyak pengalaman dan konsensus klinis. Selain itu, bisa
jadi terdapat situasi pengecualian dimana studi-studi untuk memperkuat dugaan
tidak bisa dilakukan, untuk untuk alasan etika atau alasan lain dan dalam kasus
ini rekomendasi tegas dianggap akan membantu bagi para pembaca. Kualitas
dari bukti ilmiah dasar – meski merupakan sebuah faktor yang sangat penting
– harus diseimbangkan terhadap benefit dan burden, values dan preferences dan
juga cost ketika sebuah grade diberikan.
EAU Guidelines Office, tidak melakukan assessment biaya, juga mereka
tidak bisa menanggapi preferensi lokal/nasional dalam sebuah cara yang
sistematis. Tapi kapanpun data ini tersedia, panel ahli akan memasuk kan
informasi ini.

Tabel 2: Grade recommendation*


Sifat rekomendasi GR
Berdasarkan pada studi klinis berkualitas dan berkonsistensi A
baik dalam menanggapi rekomendasi spesifik dan
memasukkan setidaknya satu percobaan teracak
Berdasarkan pada studi klinis terlaksana baik, tapi tanpa B
percobaan klinis teracak
Dibuat meski tidak adanya studi klinis terlaksana langsung C
yang berkualitas bagus
* Dimodifikasi dari Sackett et al.
1.6.2 Sejarah publikasi
Sebuah versi pertama dari panduan manajemen UTI dan i nfeksi genital pria
dipublikasikan dalam panduan EAU 2001 dan dalam European Urology.
Sebuah versi kedua terupdate dimasukkan dalam panduan EAU 2006. Buku
teks EAU/ICUD dalam Urogenital Infection telah menjadi buku rujukan untuk
Panduan dan update terkini di tahun 2011. Panduan dalam kondisi khusus
saluran urogenital juga telah dipublikasikan di tempat lain.

Prosedur standar untuk publikasi EAU termasuk sebuah assesment tahunan dari
literatur yang baru dipublikasikan dalam bidang ini, memandu update masa
depan. Sebuah dokumen referensi ultra-pendek dipublikasikan sejalan dengan
publikasi ini. Semua dokumen tersedia dengan akses bebas melalui website
EAU Uroweb (http://www.uroweb.org/guidelines/online-guidelines/).

1.7 Daftar Pustaka

2. KLASIFIKASI UTI
2.1 Pendahuluan
Panduan berikut ini akan mencakup UTI dan male accessory gland infection
(MAGI), keduanya berasosiasi erat pada pria. Bab 3 -9 mencakup UTI dan Bab 10-
12 mencakup MAGI. Secara tradisional, UTI diklasifikasikan berbasis pada gejala
klinis, data laboratorium dan hasil temuan mikrobiologi. Secara praktis, UTI telah
dibagi dalam UTI uncomplicated dan complicated, serta sepsis. Model klasifikasi
berikut ini adalah sebuah instrumen kerja yang bermanfaat untuk assessment
harian dan untuk riset klinis.
Sebuah tinjauan kritis dari klasifikasi saat ini dilakukan untuk inisiatif
EAU/ICUD Urogenital Infections dalam Lampiran 16.1. Tujuan keseluruhan
adalah untuk menyediakan sebuah alat terstandarisasi dan nomenklatur UTI untuk
para dokter dan peneliti. Panduan saat ini memberikan sebuah ringkasan pendek
sebuah sistem klasifikasi UTI yang diduga lebih baik berbasis pada:

 Level infeksi anatomis


 Grade keparahan infeksi
 Faktor resiko yang mendasari
 Hasil temuan mikrobiologi

Gejala, tanda-tanda dan hasil temuan laboratirum terfokus pada level anatomis dan
tingkatan keparahan infeksi. Analisa faktor resiko memberikan kontribusi untuk
mendefinisikan langkah terapeutik tambahan apapun yang diperlukan (misal.,
drainage).

2.2 Level infeksi anatomis


Gejala, seperti yang disajikan dalam Lampiran 16.1, terfokus pada level anatomis
dari infeksi, didefinisikan sebagai:

 Uretra: urethritis (UR)


 Kandung kemih urinary: cystitis (CY)
 Ginjal: pyelonephritis (PN)
 Aliran darah: sepsis (US)

Bagan 2.1 mengilustrasikan diagnostik dasar dan strategi perawatan untuk UTI.
Urethritis, masih kurang dipahami, untuk saat ini tidak turut dimasukkan. Selain
itu, MAGI, orchitis, epididymitis dan prostatitis juga tidak dimasukkan.
Asymptomatic bacteriuria (ABU) perlu diperhitungkan sebagai sebuah
entitas khusus karena entitas ini bisa memiliki sumbernya di saluran urinary bawah
dan atas, dan tidak membutuhkan perawatan apapun kecuali pasien menjadi subyek
pembedahan urologi.

2.3 Level keparahan (grade of severity)


Tingkatan keparahan ditentukan dalam skala 1-6 yang dihubungkan pada resiko
fatal outcome (Bagan 2.1).

Bagan 2.1: Klasifikasi UTI sebagaimana yang diusulkan oleh EAU European
Section of Infection in Urology (ESIU)
Keparahan Gradien keparahan
Gejala Tidak Gejala lokal Gejala umum Respon Kegagalan
ada Dysuria, Demam, flank sistemsik sirkulasi dan
gejala frekuensi, pain, mual, SIRS organ
urgensi, rasa muntah Demam, Disfungsi organ
sakit atau menggigil Kegagalan
kelunakan Kegagalan organ
kandung sirkulasi
kemih
Diagnosis ABU CY-1 PN-2 PN-3 US-4 US-5 US-6
Febrile
UTI
Penyelidika Dipstick (MSU Culture Dipstick Dipstick
n + S seperti yang MSU Culture + MSU Culture+S dan kultur
diperlukan) S darah
Renal US atau Renal US dan/atau Renal dan
IV abdominal CT
Pyelogram/renal
CT
Faktor Assessment faktor resiko menurut ORENUC (Tabel 2.1)
resiko Uncomplicated UTI Complicated UTI
Perawatan NO* Empiris Empiris Empiris+terarah Empiris+terara
medis dan 3-5 hari +terara 7-14 hari h
bedah h Pertimbangkan 10-14 hari
7-14 mengkombinasikan Kombinasikan
hari 2 antibiotik 2 antibiotik
* Dua pengecualian: selama kehamilan dan sebelum pembedahan/operasi urologi

Tabel 2.1 Faktor resiko inang dalam UTI


Tipe Kategori faktor resiko Contoh faktor resiko
O RF yang tidak - Wanita pramenopause
diketahui/diasosiasikan yang sehat
R RF recurrent UTI, tapi tidak ada - Perilaku seksual dan
resiko hasil yang parah alat kontrasepsi
- Defisiensi hormonal
dalam paska
menopause
- Tipe secretory dari
grup darah tertentu
- Diabetes mellitus
terkontrol
E Extra-urogenital RF, dengan resiko - Kehamilan
hasil yang lebih parah - Gender pria
- Diabetes mellitus yang
terkontrol buruk
- Immunosuppression
relevan
- Penyakit jaringan
konektif
- Prematuritas, new-born
N Penyakit nephropathic, dengan - Ketidakcukupan renal
resiko hasil yang lebih parah yang relevan
- Polycystic nephropathy
U Urological RF, dengan resiko hasil - Obstruksi ureteral
yang lebih parah, yang bisa (misal., batu, stricture)
diselesaikan selama terapi - Kateter saluran urinary
jangka pendek dan
sementara
- Asymtomatic
bacteriuria
- Disfungsi kandung
kemih neurogenic
terkontrol
- Bedah urologi
C Permanent urinary catheter dan - Perawatan kateter
uriological RF tanpa penyelesaian, saluran urinary jangka
dengan resiko hasil yang lebih panjang
parah - Obstruksi urinary tak
terpecahkan
- Kandung kemih
neurogenic yang
terkontrol buruk
RF=Faktor Resiko, *=tidak terdefinisikan dengan baik, **=biasanya berkombinasi
dengan RF lain (misal., kehamilan, intervensi urologi)

2.4 Patogen
Kultur urin biasanya mengidentifikasikan patogen kausatif () dan pola
kerentanannya. Kedua karakteristik bisa diperkenalkan dalam klasifikasi akhir
tahap klinis dari infeksi. Tingkatan kerentanan didefinisikan sebagai grade a
(rentan) hingga c (resisten).

2.5 Klasifikasi UTI


Bagan 2.2 menunjukkan sebuah ringkasan parameter aditif yang membentuk
sebuah kelas individual UTI.

Bagan 2.2: Parameter aditif klasifikasi UTI dan assessment


keparahan/severity

Presentasi klinis Tingkat Faktor Resiko Patogen


keparahan ORENUC
UR: urethritis 1: rendah, cystitis O: tidak ada RF Spesies
CY: cystitis 2: PN, sedang R: recurrent UTI Grade kerentanan
PN: pyenolephritis 3: PN, parah, RF  rentan
US: urosepsis berkembang E: extra urogenital  kerentanan
MA: male genital 4: US: SIRS RF tereduksi
glands 5: US: disfungsi N: nephropathic RF  multi-
organ U: urological RF resisten
6: US: kegagalan C: cathether RF
organ

Dengan mengakumulasikan parameter yang berbeda, UTI dapat diklasifikasikan


sebagai berikut:
- CY-1R: E.coli (a): cystisis sederhana tapi recurrent dengan kerentanan terhadap
antibiotik standar
- PN-3U: K pneumonia (b): pyelonephritis parah (dengan demam tinggi dan
muntah), dengan penyakit urologi dasar (misal, batu atau obstruksi) karena
Klebsiella sp, dengan profil resistensi antibiotik sedang/menengah.
- US-5C: Enterococcus sp (a): urosepsis parah dengan sebuah Enterococcus sp
sensitif-antibiotik dalam sebuah pasien yang memiliki kateter.

2.6 Daftar Pustaka

3. UNCOMPLICATED UTI PADA ORANG DEWASA


3.1 Ringkasan dan rekomendasi
Bab ini dengan sendirinya adalah ringkasan inisiatif EAU/ICUD mengenai infeksi
urogenital, Bab 3 mengenai uncomplicated UTI.

3.2 Definisi
Acute, uncomplicated UTI pada orang dewasa akan termasuk episodik dari -
komunitas yang sporadik dalam hal acute cystitis dan acute pyelonephritis pada
individual yang sehat. UTI-UTI ini terlihat banyak diderita oleh wanita tanpa
abnormalitas struktural dan fungsional di dalam saluran urinary, penyakit ginjal
atau ko-morbiditas yang bisa mengarah pada hasil yang lebih serius dan karenanya
membutuhkan perhatian tambahan.

3.2.1 Spektrum aetiologis


Spektrum agen aetiologi serupa pada uncomplicated upper dan lower UTI,
dengan E.coli adalah patogen kausatif dalam 70-95% kasus dan Staphylococcus
saprophyticus pada 5-10% kasus. Terkadang, Enterobacteriaceae lain, seperti
misalnya Proteus mirabilis dan Klebsiella sp terisolasi (LE:2a).

3.3 Acute uncomplicated sporadic cystitis pada wanita non -hamil pra-
menopause
3.3.1 Diagnosis
3.3.1.1 Diagnosis klinis
Diagnosis acute complicated cystitis bisa dilakukan dengan probabilitas
tinggi berdasarkan pada sebuah sejarah terfokus dari simptomatologi
irritative urinary (dysuria, frekuensi dan urgensi) dan tidak adanya vaginal
discharge atau irritasi, pada wanita yang tidak memiliki faktor resiko lain
untuk complicated UTI (LE:2a, GR:B).

3.3.1.2 Diagnosis laboratorium


Pengujian urine dipstick, berlawanan dengan urinary microscopy, adalah
sebuah alternatif yang logis untuk urinalysis dalam diagnosa acute
uncomplicated cystitis (LE:2a, GR:B).
Kultur urine direkomendasikan untuk mereka yang: (i) diduga acute
pyelonephritis; (ii) gejala yang tidak berakhir atau terjadi kembali dalam 2 -
4 minggu setelah penyelesaian perawatan; dan (iii) wanita yang
menunjukkan atypical symptom (LE:4, GR:B).
Sebuah hitungan koloni ≥10 3 cfu/mL uropathogen akan didiagnostik
secara mikrobiologis pada wanita yang menunjukkan gejala acute
uncomplicated cystitis (LE:3, GR:B).
Wanita yang menunjukkan atypical symptoms dari acute
uncomplicated cystitis atau acute uncomplicated pyelonephritis, serta
mereka yang gagal memberikan respon terhadap terapi antimikroba yang
tepat seharusnya dipertimbangkan untuk studi diagnostik tambahan (LE:4,
GR:B).

3.3.2 Terapi
Terapi antibiotik direkomendasikan karena kesuksesan klinis secara signifikan
akan lebih mungkin terjadi pada wanita yang diberi perawatan dengan
antibiotik dibandingkan dengan mereka yang diberikan plasebo (LE:1a, GR:A).
Pilihan antibiotik untuk terapi harus dipandu oleh:
 spektrum dan pola kerentanan dari uropatogen aetiologis
 efikasi untuk indikasi tertentu dalam studi klinis
 tolerabilitas dan reaksi negatif
 efek ekologi negatif
 biaya
 ketersediaan
Menurut prinsip ini dan pola kerentanan yang tersedia di Eropa, fosfomycin
trometamol 3 g dosis tunggal, pivmecillinam 400 mg bid untuk 3 hari dan
nitrofurantoin macrocrystal 100 mg bid untuk 5 hari, dianggap sebagai obat
pilihan pertama di banyak negara, ketika tersedia (LE:1a, GR:A) (Tabel 3.1).
Antibiotik alternatif termasuk trimethoprim saja atau dikombinasikan dengan
sulphonamide dan kelas fluoroquinolone. Co-trimoxazole (160/180 mg bid
untuk tiga hari) atau trimethoprim (200 mg untuk 5 hari) seharusnya hanya
diperhitungkan sebagai obat pilihan pertama dalam area-area yang memiliki
tingkat resistensi E coli yang sudah diketahui <20% (LE:1b, GR:B). Namun,
pengaruh negatif termasuk pengaruh ekologi negatif dan pemilihan resistensi
juga harus turut diperhitungkan (Tabel 3.1).
Aminopenicillin tidak lebih cocok untuk terapi empiris karena resistensi E.coli
yang tinggi di seluruh dunia. Aminopenicillin dikombinasi dengan belactamase
inhibitor seperti misalnya ampicillin/sulbactam atau amoxicillin/slavulanic
acid dan oral cephalosporin umumnya tidak terlalu efektif sebagai terapi jangka
pendek dan tidak direkomendasikan untuk terapi empiris karena pengaru h
kolateral ekologi, tapi dapat digunakan dalam kasus tertentu.

Tabel 3.1: Terapi antimikroba yang direkomendasikan dalam acute


uncomplicated cystitis pada wanita pra-menopause sehat
Antibiotik Dosis harian Durasi terapi
1
Fosfomycin trometamol 3 g SD 1 hari
Nitrofurantoin 50 mg q6h 7 hari
Nitrofurantoin 100 mg bid 5-7 hari
macrocrystal
Pivmecillinam 2 400 mg bid 3 hari
Pivmecillinam 2 200 mg tid 5 hari
Alternatif
Ciprofloxacin 250 mg bid 3 hari
Levofloxacin 250 mg bid 3 hari
Norfloxacin 400 mg bid 3 hari
Ofloxacin 200 mg bid 3 hari
Jika pola resistensi diketahui (resistensi E coli<20%)
Trimethoprim 160/180 mg bid 3 hari
sulphamethoxazole
Trimethoprim 200 mg bid 5 hari
1
tidak tersedia di semua negara
2
hanya tersedia di Skandinavia, Belanda, Austria dan Kanada

3.3.3 Follow up
Urinalysis paska-perawatan yang rutin atau kultur urin ruin dalam pasien
asymptomatic tidak diindikasikan (LE:2b, GR:B). Pada wanita yang gejalanya
tidak berhenti di akhir perawatan, dan pada mereka yang gejalanya berhenti
tapi muncul kembali dalam 2 minggu, kultur urin dan uji kerentanan
antimikrobe harus dilakukan (LE:4, GR:B). Untuk terapi dalam situasi ini,
seseorang harus mengasumsikan bahwa organisme penginfeksi tidak rendan
terhadap agen yang digunakan sejak awal. Perawatan ulang dengan regimen 7
hari menggunakan agen yang lain harus diperhitungkan (LE:4, GR:C).

3.4 Acute uncomplicated pyelonephritis pada wanita non hamil pra -


menopause
3.4.1 Diagnosis
3.4.1.1 Diagnosis klinis
Acute pyelonephritis ditandai dengan flank pain (sakit di p anggul), mual
dan muntah, demam (>38°C) atau costovertebral angle tenderness dan hal
ini bisa terjadi dengan tidak adanya gejala cystitis.

3.4.1.2 Diagnosis laboratorium


Urinalysis (yakni menggunakan metode dipstick) termasuk assessment sel
darah merah dan putih dan nitrit, direkomendasikan untuk diagnosis rutin
(LE:4, GR:C).
Hitungan koloni ≥10 4 cfu/mL uropatogen dianggap indikatif
bacteriuria yang relevan klinis (LE:2b, GR:C).

3.4.1.3 Diagnosis pencitraan


Evaluasi saluran urinary atas dengan ultrasound harus dilakukan untuk
menghilangkan kemungkinan urinary obstruction atau penyakit batu ginjal
(LE:4, GR:C).
Penyelidikan tambahan, seperti misalnya unenhanced helical
computed tomography (CT), excretory urography, atau dimercaptosuccinic
acid (DMSA) scanning, harus diperhitungkan ketika pasien tetap febrile
setelah 72 jam perawatan (LE:4, GR:C).

3.4.2 Terapi
Sebagai hasil dari kurangnya studi pengamatan yang sesuai, spektrum dan pola
kerentanan dari uropathogen yang menyebabkan uncomplicated cystitis dapat
digunakan sebagai sebuah panduan untuk terapi empiris (LE:4, GR:B). Namun,
S. saprophyticus tidak sering terjadi pada acute pyelonephritis jika
dibandingkan dengan acute cystitis (LE:4, GR:B).

3.4.2.1 Kasus ringan dan menengah untuk acute uncomplicated


pyelonephritis (Tabel 3.2)
Pada kasus ringan dan menengah untuk acute uncomplicated pyelonephritis,
terapi oral 10-14 hari biasanya akan memadai (LE:1b, GR:B). Sebuah
fluoroquinolone untuk 7-10 hari dapat direkomendasikan sebagai terapi
awal jika tingkat resistensi E. coli masih <10% (LE:1b, GR:A). Jika dosis
fluoroquinolone ditingkatkan, perawatan bisa direduksi menj adi 5 hari saja
(LE:1b, GR:B). Namun, peningkatan jumlah E-coli resisten
fluoroquinolone dalam komunitas telah ditemukan di sejumlah bagian
dunia,s ehingga membatasi manfaat empiris dari fluoroquinolone.
Sebuah generasi ketiga dari oral cephalosporin, seperti misalnya
cefpodoxime proxetil atau ceftibuten, bisa menjadi sebuah alternatif
(LE:1b, GR:B). Namun, studi penelitian yang tersedia telah menunjukkan
hanya efiksi yang ekuivalen klinis, tapi tidak mikrobiologis, yang
dibandingkan dengan ciprofloxacin.

Sebagai akibat dari meningkatnya laju resistensi E.coli >10%,


cotrimoxazole tidaklah cocok untuk terapi empiris pada kebanyakan area,
tapi ini bisa digunakan setelah sensitivitas telah dikonfirmasikan melalui
pengujian kerentanan/susceptibilitas (LE:1b, GR:B).
Co-amoxiclav tidak direkomendasikan sebagai obat pilihan pertama
untuk terapi oral empiris acute pyelonephritis (LE:4, GR:B). Ini
direkomendasikan ketika pengujian kerentanan menunjukkan sebuah
organisme Gram-positif yang rentan (LE:4, GR:C).
Pada komunitas dengan tingkat resisten fluoroquinolone tinggi dan
extended-spectrum b-lactamase (ESBL) penghasil E.coli (>10%), terapi
empiris awal dengan sebuah aminoglycoside atau carbapenem harus
diperhitungkan hingga uji kerentanan/susceptibilitas menun jukkan bahwa
obat oral juga bisa digunakan (LE:4, GR:b).

3.4.2.2 Kasus parah acute uncomplicated pyelonephritis (Tabel 3.2)


Pasien dengan kasus pyelonephritis parah yang tidak bisa mengkonsumsi
pengobatan oral karena gejala sistemik seperti mual dan muntah, haru s
diberi perawatan awal dengan salah satu antibiotik parenteral berikut ini:

LE GR
Sebuah parenteral fluoroquinolone, dalam 1b B
komunitas dengan tingkat resisten-
fluoroquionolone E.coli <10%
Sebuah generasi ketiga cephalosporin, dalam 1b B
komunitas dengan tingkat resistensi penghasil-
ESBL E.coli <10%
Sebuah aminopenicillin plus sebuah b-lactamase- 4 B
inhibitor dalam kasus patogen gram-positif
rentan yang telah diketahui
Sebuah aminoglycoside atau carbapenem 1b B
dalamkomunitas dengan tingkat resisten
fluoroquinolone dan/atau penghasil-ESBL E-coli
>10%

Perawatan inap di rumah sakit (hospital admission) harus dipertimbangkan


jika faktor komplikasi tidak bisa dikesampingkan oleh prosedur diagnostik
yang tersedia dan/atau pasien memiliki tanda dan gejala klinis sepsis (LE:4,
GR:B).
Setelah membaik, pasien bisa dialihkan ke regimen oral
menggunakan salah satu antibakteri yang disebutkan diatas, jika aktif
terhadap organisme penginfeksi, untuk menyelesaikan 1-2 minggu terapi
(LE:1b, GR:B).

Tabel 3.2: Terapi antimikroba empiris awal yang direkomendasikan


dalam acute uncomplicated pyelonephritis pada wanita pra-menopause
sehat

I. Terapi oral dalam kasus ringan dan menengah


Antibiotik Dosis harian Durasi terapi Referensi
1
Ciprofloxacin 500-750 mg bid 7-10 hari 22
Levofloxacin 1 250-500 mg qd 7-10 hari 28
Levofloxacin 750 mg qd 5 hari 23, 24
Alternatif (efikasi klinis tapi tidak ekuivalen mikrobiologis
dibandingkan dengan fluoroquinolone)
Cefpodoxime 200 mg bid 10 hari 25
proxetil
Ceftibuten 400 mg qd 10 hari 24
Hanya jika patogen dikenal rentan (bukan untuk terapi empiris awal)
Trimethoprim- 160/180 mg bid 14 hari 21
sulphamethoxazole
Co-amoxiclav 2, 3 0.5/0.125 g tid 14 hari
1
dosis yang lebih rendah dipelajari, tapi dosis yang lebih tinggi
direkomendasikan oleh ahli.
2
tidak dipelajari sebagai monoterapi untuk acute uncomplicated
pyelonephritis
3
teruatama untuk patogen gram-positif

II. Terapi parenteral awal pada kasus parah


Setelah membaik, pasien bisa dialihkan ke sebuah regimen oral
menggunakan salah satu antibakteri yang disebutkan diatas (jika aktif
terhadap organisme penginfeksi) untuk menyelesaikan 1 -2 minggu
terapi. Sehingga hanya dosis harian dan tidak ada durasi terapi yang
diindikasikan
Antibiotik Dosis harian Referensi
Ciprofloxacin 400 mg bid 22
Levofloxacin 1 250-500 mg qd 28
Levofloxacin 750 mg qd 23
Alternatif
Cefotaxime 2 2 g tid
1,4
Ceftriaxone 1-2 g qd 29
Ceftazidime 2 1-2 g tid 30
1,4
Cefepime 1-2 g bid 31
Co-amoxiclav 2,3 1.5 g tid
Piperacillin/tazobactam 1,4 2.5-4.5 g tid 32

Gentamicin 2 5 mg/kg qd
Amikacin 2 15 mg/kg qd

Ertapenem 4 1 g qd 29
4
Imipenem/cilastatin 0.5/0.5 g tid 32
Meropenem 4 1 g tid 30
4
Doripenem 0.5 g tid 33
1
dosis yang lebih rendah dipelajari tapi dosis yang lebih tinggi
direkomendasikan oleh ahli
2
tidak dipelajari sebagai monoterapi dalam acute uncomplicated
pyelonephritis
3
terutama untuk patogen gram-positif
4
protokol yang sama untuk acute uncomplicated pyelonephritis dan
complicated UTI (stratifikasi tidak selalu memungkinkan)

Bagan 3.1: Manajemen klinis acute pyelonephritis


Gejala/tanda
pyelonephritis

Demam, flank pain

Mual
Muntah

TIDAK YA

Urinalysis dan kultur urin Urinalysis dan kultur urin


Ultrasound (jika anomali Ultrasound (pada semua pasien)
diharapkan) Rawat inap
Terapi rawat jalan Terapi parenteral awal selama 1-3
Terapi oral awal hari

- ciprofloxacin atau levofloxacin - ciprofloxacin atau levofloxacin


- aminopenicillin plus BLI - aminopenicillin atau piperacillin
- cephalosporin grup 3 (misal plus BLI
cefpodoxime proxetil) - cephalosporin grup 3
- TMP-SMX, hanya jika - aminoglycosida
kerentanan patogen diketahui
(tidak untuk terapi empiris)

Perbaikan klinis dalam Tidak ada perbaikan Perbaikan klinis dalam Tidak ada perbaikan
72 jam klinis atau bahkan 72 jam klinis atau bahkan
Terapi oral kontinyu penurunan Pergantian ke terapi oral penurunan
(sesuai pengujian) Penggantian ke terapi (sesuai pengujian) Terapi parenteral
Durasi total terapi parenteral Durasi total terapi kontinyu
1-2 minggu (sesuai pengujian) 1-2 minggu (sesuai pengujian)
Rawat inap Rawat inap berlanjut

Kultur urin dan darah


tambahan
Kultur urin dan darah Investigasi urologi untuk
Kultur urin pada hari 4 tambahan Kultur urin pada hari 4 faktor komplikasi,
dari terapi (opsional) Investigasi urologi untuk terapi (opsional) drainage, dalam kasus
Kultur urin pada 5-10 faktor komplikasi, Kultur urin pada 5-10 obstruksi atau abscess
hari drainage, dalam kasus hari
obstruksi atau abscess Durasi total terapi 2-3
minggu
3.4.3 Follow up
Urinalysis dan kultur urin paska-perawatan yang rutin dalam sebuah pasien
asymptomatic mungkin tidak diindikasikan (LE:4, GR:C).
Pada wanita dengan gejala pyelonephritis yang tidak membaik dalam 3 hari
atau berhenti namun kemudian muncul kembali dalam kurun waktu 2 minggu,
pengulangan kultur urin dan uji kerentanan antimikroba serta sebuah
penyelidikan yang tepat, seperti misalnya renal ultrasound, CT atau renal
scintigraphy, harus dilakukan (LE:4, GR:B).
Pada pasien yang tidak memiliki abnormalitas urologis, harus diasumsikan
bahwa organisme penginfeksi tidak rentan terhadap agen yang digunakan sejak
awal, dan sebuah perawatan alternatif yang disesuaikan harus diperhitungkan
berdasakran pada hasil kultur (LE:4, GR:B).
Untuk pasien yang menderita dengan patogen yang sama, diagnosis
uncomplicated pyelonephritis harus dipertimbangkan ulang. Langkah -langkah
diagnostik yang sesuai akan diperlukan untuk mengesampingkan kemungkinan
faktor komplikasi apapun (LE:4, GR:C). Sebuah algoritma dalam manaje men
klinis acute pyelonephritis ditunjukkan dalam Bagan 3.1.

3.5 Recurrent uncomplicated UTI pada wanita pra-menopause


3.5.1 Diagnosis
Recurrent UTI umum terjadi diantara wanita muda yang sehat, meski mereka
umumnya memiliki saluran urinary normal secara antomis d an fisiologis
(LE:2a).
Recurrent UTI perlu didiagnosis oleh kultur urine (LE:4, GR:A). Pencitraan
terhadap saluran urinary atas dan cystoscopy tidak direkomendasikan secara
rutin untuk evaluasi wanita dengan recurrent UTI (LE:1b, GR:B) tapi harus
dilakukan tanpa penundaan dalam kasus atipikal. Selain itu, urin residual tidak
disertakan (LE:4, GR:B).

3.5.2 Perawatan antimikroba dan pencegahan


Sebelum profilaksis antimikroba manapun dimulai, eradikasi UTI sebelumnya
harus dikonfirmasikan oleh sebuah kultur urin negatif 1-2 minggu setelah
perawatan (LE:4, GR:A). profilaksis antimikroba paska-koital atau kontinyu
untuk pencegahan recurrent UTI harus dipertimbangkan hanya setelah
konseling dan modifikasi perilaku telah dilakukan, dan ketika langkah -langkah
non antimikroba telah tidak sukses dilakukan (LE:4, GR:B). Urin residual
signifikan harus di-treated secara optimal, yang juga termasuk Clean
Intermittent Catheterisation (CIC) ketika dianggap perlu. Dalam wanita paska -
menopause, terapi penggantian hormon harus diperhitungkan.
Pada wanita dengan recurrent uncomplicated cystitis, self-diagnosis dan self-
treatment dengan sebuah regimen pendek dari sebuah agen antimikroba harus
diperhitungkan (LE:2b, GR:A). Pilihan antibiotik akan sama untuk sporadic
uncomplicated UTI (Tabel 3.1).
3.5.2.1 Profilaksis antimikroba
Profilaksis antimikroba dapat diberikan secara kontinyu (harian, mingguan)
untuk periode yang lebih lama (3-6 bulan) atau sebagai satu dosis tunggal
post-coital. Regimen obat digunakan dalam percobaan klinis ditunjukkan
dalam Tabel 3.3 dan 3.4.

Tabel 3.3: Regimen profilaksis antimikroba kontinyu untuk wanita


dengan recurrent UTI
Regimen Expected UTI per tahun
TMP-SMX* 40/200 mg satu kali sehari 0-0.2
TMP-SMX 40/200 mg tiga kali seminggu 0.1
Trimethoprim 100 mg sekali sehari 0-1.5**
Nitrofurantoin 50 mg sekali sehari 0-0.6
Nitrofurantoin 100 mg sekali sehari 0-0.7
Cefaclor 250 mg sekali sehari 0.0
Cephalexin 125 mg sekali sehari 0.1
Cephalexin 250 mg sekali sehari 0.2
Norfloxacin 200 mg sekali sehari 0.0
Ciprofloxacin 125 mg sekali sehari 0.0
Fosfomycin 3g setiap 10 hari 0.14
*Trimethoprim-sulfamethoxazole
**tingkat rekurensi tinggi teramati dengan penggunaan trimethoprim yang
diasosiasikan dengan resistensi trimethoprim

Tabel 3.4: Regimen profilaksis antimikroba post-coital untuk wanita


dengan recurrent UTI
Regimen Expected UTI per tahun
TMP-SMX* 40/200 mg 0.30
TMP-SMX 80/400 mg 0.00
Nitrofurantoin 50 atau 100 mg 0.10
Cephalexin 250 mg 0.03
Ciprofloxacin 125 mg 0.00
Norfloxacin 200 mg 0.00
Ofloxacin 100 mg 0.06
*Trimethoprim-sulfamethoxazole

Secara umum, pilihan antibiotik harus didasarkan pada identifikasi dan pola
kerentanan/susceptibilitas organisme yang menyebabkan UTI, sejarah
pasien terkait alergi obat dan pengaruh kolateral ekologi termasuk
pemilihan resistensi bakteri oleh antimikroba terpilih. Menggunakan
prinsip ini, beberapa isu akan harus diperhitungkan:

 Karena pengaruh kolateral ekologi, fluoroquinolone oral dan


cephalosporin tidak lagi direkomendasikan secara rutin, k ecuali dalam
situasi klinis spesifik
 Peningkatan resistensi E coli di seluruh dunia terhadap trimethoprim
memberikan keraguan terhadap trimethoprim dengan atau tanpa
sulphonamide sebagai sebuah agen prophylaktik yang efektif
 Terdapat peringatan terkini oleh agensi pemerintahan untuk penggunaan
prophylaktik nitrofurantoin jangka panjang karena efek negatif
pulmonary dan hepatik yang parah namun langka terjadi.
Bersama-sama hal ini menunjukkan bahwa profilaksis antimikroba dari
sebuah recurrent UTI perlu dipertimbangkan kembali dalam tiap kasus
individual dan langkah alternatif efektif akan sangat diapresiasi.

3.5.3 Profilaksis non-antimikroba


Terdapat banyak langkah-langkah non antimikroba yang direkomendasikan
untuk recurrent UTI tapi hanya sedikit yang dihasilkan dari studi yang
dirancang dengan baik dan karenanya dapat dijadikan rekomendasi berbasis -
bukti.

3.5.3.1 Immunoactive profilaksis


OM-89 (Uro-Vaxom) sudah terdokumentasi dengan baik dan telah
ditunjukkan lebih efektif dibandingkan dengan plasebo dalam beberapa
percobaan teracak. Oleh karenanya, ini bisa direkomendasikan untuk
immunoprofilaksis pada pasien wanita dengan recurrent uncomplicated UTI
(LE:1a, GR:B). Efikasinya dalam grup pasien yang lein dan efikasinya
relatif terhadap profilaksis antimikroba yang masih perlu dikembangkan.
Untuk produk immunotherapeutic lain di pasar, studi fase III yang
lebih besar masih hilang. Dalam studi fase II yang lebih kecil, StroVac dan
Solco-Urovac telah ditunjukkan efektif ketika diberikan dengan sebuah
booster cycle dari agen yang sama (LE:1a, GR:C).
Untuk produk immunotherapeutic lain, seperti misalnya Urostim dan
Urvakol, tidak ada studi terkontrol yang tersedia. Sehingga, tidak ada
rekomendasi yang memungkinkan.

3.5.3.2 Profilaksis dengan probiotik (Lactobacillus sp)


Aksesibilitas dari probiotik yang terbukti klinis untuk profilaksis UTI saat
ini tidak universal. Hanya strain Lactobacillus yang secara spesifik telah
teruji dalam studi yang harus digunakan untuk profilaksis.
Ketika tersedia secara komersil, akan masuk akal untuk
memperhitungkan penggunaan probiotik intravaginal yang mengandung L.
rhamnosus GR-1 dan L. reuteri RC-14 untuk pencegahan recurrent UTI dan
produk-produk ini dapat digunakan satu atau dua kali seminggu (LE;4,
GR:C). Aplikasi vaginal dari Lactobacillus crispatus mengurangi tingkat
recurrent UTI pada wanita pra-menopause dalam satu studi, dan juga bisa
digunakan jika tersedia (LE:1b, GR:B).

3.5.3.3 Profilaksis dengan cranberry


Studi-studi penelitian yang terbatas sebelumnya telah menyatakan bahwa
cranberry (Vaccinium macrocarpon) sangatlah bermanfaat dalam
mengurangi tingkat UTI yang lebih rendah pada wanita (LE;1b, GR:C).
Namun, salah satu studi penelitian terbaru yang lebih besar masih belum
bisa mengkonfirmasikan pengaruh signifikan apapun. Sebuah meta -analisa
terkini termasuk 24 studi dan membentuk 4,473 partisipan yang
menunjukkan bahwa produk cranberry tidak secara signifikan mengurangi
kemunculan symptomatic UTI keseluruhan atau untuk sub-grup manapun
berikut ini: anak-anak dengan recurrent UTI, orang-orang yang lanjut usia,
wanita dengan recurrent UTI, wanita hamil, pasien kanker, atau orang-
orang dengan neuropathic bladder atau spinal injury. Karena hasil
kontradiktif ini, rekomendasi apapun dari konsumsi harian produk
cranberry tidak bisa diberikan.

3.6 UTI pada kehamilan


Infeksi saluran urinary dan asymptomatic bacteriuria adalah hal yang umum terjadi
selama kehamilan. Kebanyakan wanita rentan terhadap atau mendapatkan
asymptomatic bacteriuria sebelum kehamilan dan 20 -40% wanita dengan
asymptomatic bacteriuria mengembangkan pyelonephritis selama kehamilan.

3.6.1 Diagnosis UTI pada wanita hamil


Kriteria diagnostik acute cystitis dan pyelonephritis pada wanita hamil yang
sehat serupa dengan pada wanita non-hamil. Namun, pemeriksaan fisik dan
urinalysis termasuk kultur urin sangatlah direkomendasikan dalam cystitis.
Selain itu, dalam kasus kecuriaan pyenolephritis, ultrasound ginjal dan saluran
urinary akan perlu dilakukan.

3.6.2 Definisi bacteriuria


Dalam seorang wanita hamil, asymptomatic bacteriuria didiagnosis dalam
kasus dua spesimen urine kosong (voided urine specimens) berturut -turut
dengan pertumbuhan ≥10 5 cfu/mL dari spesies bakteri yang sama; atau satu
spesimen terkateterisasi tunggal dengan pertumbuhan ≥10 5 cfu/mL uropatogen
(LE:2a, GR:A).
Pada wanita hamil dengan gejala yang kompatibel dengan UTI, bacteriuria
dianggap relevan jika sebuah spesimen urine kosong (voided) atau
terkateterisasi (catheterised) tumbuh ≥10 3 cfu/mL dari sebuah uropatogen
(LE:4, GR:B).

3.6.3 Screening
Wanita hamil harus discreened untuk bacteriuria selama trimester pertama
(LE:1a, GR:A).

3.6.4 Perawatan asymptomatic bacteriuria dan acute cystitis


Asymptomatic bacteriuria terdeteksi selama kehamilan harus dihilangkan
dengan terapi antimikroba (LE:1a, GR:A). Acute cystitis harus diobati dengan
seksama.Regimen antibiotik yang direkomendasikan dituliskan dalam Tabel
3.5.
Tabel 3.5: Regimen perawatan untuk asymptomatic bacteriuria dan
cystitis dalam kehamilan
Antibiotik Durasi terapi Keterangan
Nitrofurantoin q12h, 3-5 hari Hindari dalam
(Macrobid) 100 mg defisiensi G6PD
Amoxicillin 500 mg q8 h, 3-5 hari Meningkatkan
resistensi
Co- 500 mg q12 h, 3-5 hari
amoxicillin/clavulanate
Cephalexin (Keflex) 500 q8 h, 3-5 hari Meningkatkan
mg resistensi
Fosfomycin 3 g Dosis tunggal
Trimethoprim q12 h, 3-5 hari Hindari trimethoprim
dalam trimester
pertama
G6PD=glucose-6-phosphate dehydrogenase

3.6.5 Durasi terapi


Kurun pendek dalam terapi antimikroba (3 hari) harus diperhitungkan untuk
perawatan asymptomatic bacteriuria dan cystitis dalam masa kehamilan
(LE:1a, GR:A).

3.6.6 Follow up
Kultur urine harus diperoleh 1-2 minggu setelah penyelesaian terapi untuk
asymptomatic bacteriuria dan symptomatic UTI dalam kehamilan (LE:4,
GR:A).

3.6.7 Profilaksis
Postcoital profilaksis harus diperhitungkan pada wanita hamil dengan sejarah
frequent UTI sebelum awal kehamilan, untuk mengurangi resiko mereka dala m
UTI (LE:2b, GR:B).

3.6.8 Perawatan pyelonephritis


Manajemen pasien rawat jalan dengan antibiotik yang sesuai harus
diperhitungkan pada wanita dengan pyelonephritis dalam kehamilan,
mengingat gejala termasuk ringan dan follow-up yang ketat masih
memungkinkan (LE:1b, GR:A). Regimen antibiotik parenteral yan g
direkomendasikan ditunjukkan dalam Tabel 3.6. Setelah perbaikan klinis terapi
parenteral bisa digantikan ke terapi oral untuk sebuah durasi perawatan total 7 -
10 hari (LE:4, GR:B).

Tabel 3.6: Regimen perawatan untuk pyelonephritis pada kehamilan


Antibiotik Dosis
Ceftriaxone 1-2 g IV atau IM q24 h
Aztreonam 1 g IV q8-12 h
Piperacillin-tazobactam 3.375-4.5 g IV q6 h
Cefepime 1 g IV q12 h
Imipenem-cilastatin 500 mg IV q6 h
Ampicillin+ 2 g IV q6 h
Gentamicin 3-5 mg/kg/hari IV dalam 3 dosis
terpisah

3.6.9 Complicated UTI


Untuk diagnostik faktor komplikasi di dalam saluran urinary, ultrasound atau
magnetic resonance imaging (MRI) harus digunakan secara preferensial untuk
menghindari resiko radiasi terhadap fetus (LE:4, GR:B). Perawatan mengikuti
prinsip umum yang sama seperti yang diuraikan dalam 4.4. Terapi antimikroba
yang tepat untuk 7-10 hari dan manajemen abnormalitas urologi akan harus
dilakukan. Rawat inap di rumah sakit biasanya akan diperlukan dan layanan
suportif diberikan jika diperlukan.
3.7 UTI pada wanita pasks-menopause
3.7.1 Faktor resiko (RF)
Referensi LE
Pada wanita lebih tua yang terinstitusionalisasi, 53 2a
kateterisasi urin dan penurunan status fungsional
tampak sebagai faktor resiko yang paling penting
berkenaan dengan UTI
Atrophic vaginitis 53 2a
Incontinence, cystocele dan post-voiding residual 53 2a
urine
UTI sebelum menopause 53 2a
Status non-secretor dari antigen grup darah 53 2a

3.7.2 Diagnosis
Referensi LE GR
Sejarah, pemeriksaan fisik, dan urinalysis 4 B
termasuk kultur
Gejala genitourinary tidak selalu terkait 54 1b B
dengan UTI dan sebuah indikasi untuk
perawatan anti mikroba

3.7.3 Perawatan
Referensi LE GR
Perawatan acute cystitis pada wanita 55 1b C
paska-menopause serupa dengan pada
wanita pra-menopause, namun terapi
jangka pendek tidak berkembang baik
seperti pada wanita pra-menopause
Perawata pyelonephritis pada wanita 4 C
paska-menopause serupa dengan pada
wanita pra-menopause
Asymptomatic bacteriuria pada wanita 18 2b A
lanjut usia seharusnya tidak dirawat
dengan antibiotik
Antimikrobia optimal, dosis dan durasi 4 C
perawatan pada wanita lanjut usia tampak
serupa dengan yang direkomendasikan
untuk wanita paska-menopause yang lebih
muda
Estrogen (khususnya vaginal) bisa 56 1b C
diberikan untuk pencegahan UTI, tapi
hasilnya masih kontradiktif
Metode alternatif seperti cranberry dan 57 1b C
lactobacilli probiotik bisa berkontribusi
tapi mereka tidak memadai untuk
mencegah recurrent UTI
Jika faktor komplikasi, seperti urinary 4 C
obstruction dan neurogenic bladder
dikecualikan, profilaksis antimikroba
harus dilakukan sebagaimana yang
direkomendasikan untuk wanita pra-
menopause

3.8 Acute uncomplicated UTI pada pria muda


3.8.1 Pria dengan acute uncomplicated UTI
Referensi LE GR
Hanya sejumlah kecil pria berusia 15-50 58
tahun yang menderita acute
uncomplicated UTI
Pria tersebut harus menerima, sebagai 4 B
terapi minimum, regimen antibiotik
selama 7 hari

3.8.2 Pria dengan UTI dan concomitant prostate infection


Referensi LE GR
Kebanyakan pria dengan febrile UTI 59 2a
memiliki concomittant infection di
prostat, seperti yang diukur oleh
peningkatan sementara dalam serum PSA
dan volume prostat
Evaluasi urologi harus dilakukan secara 4 A
rutin pada remaja dan pria dengan febrile
UTI, pyelonephritis atau recurrent
infection, atau kapanpun faktor
komplikasi dicurigai eksis.
Sebuah perawatan minimum berdurasi 2 60 2a B
minggu direkomendasikan, lebih disukai
dengan sebuah fluoroquinolone karena
keterlibatan prostatic seringkali terjadi.

3.9 Asymptomatic bacteriuria


3.9.1 Diagnosis
Referensi LE GR
Bagi wanita, sebuah hitungan ≥10 5 18 2b B
cfu/mL dari sebuah mikroorganisme
dalam sebuah spesimen voided urine
adalah diagnostik bakteriuria
Bagi pria, sebuah hitungan ≥10 3 cfu/mL 61 2a B
dari sebuah mikroorganisme dalam
sebuah spesimen voided urine adalah
diagnostik bacteriuria
Bagi pria dengan spesimen yang 62 2a B
dikumpulkan menggunakan sebuah
external condom catheter, ≥10 5
cfu/mLadalah kriteria diagnostik
kuantitatif yang tepat
Untuk pasien dengan indwelling urethral 18 2b B
catheter, sebuah hitungan ≥10 5 cfu/mL
adalah diagnostik bacteriuria
Untuk sebuah spesimen urine yang 18 2a B
dikumpulkan oleh in and out catheter,
sebuah hitungan ≥100 cfu/mL konsisten
dengan bacteriuria
Pyuria dalam tidak adanya tanda atau 18 2b B
gejala pada seseorang dengan bacteriuria
tidak seharusnya diinterpretasikan sebagai
infeksi simptomatik atau sebagai sebuah
indikasi untuk terapi antimikroba

3.9.2 Screening
Referensi LE GR
Untuk wanita hamil 48 1a A
Sebelum sebuah prosedur genitourinary 18 1b A
invasif dilakukan dimana terdapat resiko
perdarahan mukosal

3.10 Daftar Pustaka

4. COMPLICATED UTI KARENA GANGGUAN UROLOGI


4.1 Ringkasan dan rekomendasi
Sebuah complicated UTI adalah sebuah infeksi yang diasosiasikan dengan sebuah
kondisi, misalnya abnormalitas struktural atau fungsional dari saluran
genitourinary atau adanya penyakit dasar yang mengganggu dengan mekanisme
pertahanan diri inang, yang meningkatkan resiko untuk mendapatkan infeksi atau
kegagalan terapi. Contoh faktor resiko dituliskan dalam Tabel 4.1 dan 2.1.
Bakteri dari rentang yang luas bisa menyebabkan sebuah complicated UTI.
Spektrum disini jauh lebih besar daripada dalam uncomplicated UTI, dan bakteri
cenderung untuk resisten terhadap antimikroba, khususnya dalam sebuah
complicated UTI terkait-perawatan/treatment.
Enterobacteriaceae adalah patogen dominan, dengan E.coli adalah patogen
yang paling umum. Namun, non-fermenter (misal., Pseudomonas aeruginosa) dan
cocci gram-positif (misal., staphylococci dan enterococci) juga bisa memainkan
peranan penting, tergantung pada kondisi yang mendasarinya.
Strategi perawatan akan tergantung pada tingkat keparahan penyakit.
Perawatan mencakup tiga tujuan: manajemen abnormalitas urologi, terapi
antimikroba dan perawatan supportive jika diperlukan. Rawat inap seringkali akan
perlu dilakukan. Untuk menghindari munculnya strain yang resisten, terapi harus
dipandu oleh kultur urine kapanpun memungkinkan.
Jika terapi empiris diperlukan, spektrum antibakteri dari agen antibiotik
harus memasukkan patogen yang paling relevan (GR:A). Sebuah fluoroquinolone
dengan terutama ekskresi renal, sebuah aminopenicillin plus sebuah β -lactamase
inhibitor (BLI), sebuah Grup 2 atau 3a cepahlosporin atau, dalam kasus terapi
parenteral, sebuah aminoglycoside, adalah alternatif yang direkomendasikan
(LE:1, GR:B).
Dalam kasus kegagalan terapi awal, atau dalam kasus infeksi yang parah
secara klinis, sebuah antibiotik dengan spektrum yang lebih luas harus dipilih yang
juga aktif terhadap Pseudomonas (LE;1b, GR:B), misal sebuah fluoroquinolone
(jika tidak digunakan untuk terapi awal), sebuah ecylaminopenicillin (piperacillin)
plus sebuah BLI, sebuah grup 3b cephalosporin at au sebuah carbapenem, dengan
atau tanpa kombinasi dengan sebuah aminoglycoside (LE:1b, GR:B).
Durasi terapi biasanya adalah 7-14 hari (LE:1b, GR:A), tapi terkadang bisa
diperpanjang hingga 21 hari (LE:1b, GR:A).
Hingga faktor yang mempengaruhi sepenuhnya dihilangkan, kesembuhan
sejati tanpa mengalami recurrent infection biasanya tidak akan terjadi. Sehingga,
sebuah kultur urine harus dilakukan 5-9 hari setelah penyelesaian terapi dan juga
4-6 minggu kemudian (GR:B).

4.2 Definisi dan klasifikasi


Sebuah complicated UTI adalah sebuah infeksi yang diasosiasikan dengan sebuah
kondisi, seperti misalnya abnormalitas struktural atau fungsional dari saluran
genitourinary atau adanya sebuah penyakit yang mendasarinya, yang
meningkatkan resiko dalam memperoleh infeksi atau kegagalan terapi. Dua kriteria
akan penting untuk mendefinisikan sebuah complicated UTI; sebuah kultur urin
positif dan satu atau lebih faktor yang dituliskan dalam Tabel 4.1.

Tabel 4.1: Faktor-faktor yang menyatakan sebuah potensi complicated UTI


Adanya indwelling catheter, stent atau splint (urethral, ureteral, renal) atau
penggunaan intermittent bladder catheterisation
Post-void residual urine > 100 mL
Sebuah uropati obstruktif dari aetiologi manapun, misal., bladder outlet
obstruction (termasuk neurogenic urinary bladder), stones/batuan, dan tumor
Vesicoureteric reflux atau abnormalitas fungsional lainnya
Modifikasi saluran urinary, seperti ilegal loop atau pouch
Cedera kimiawi atau radiasi dari uroepithelium
Peri- dan post-operative UTI
Ketidakcukupan/insufisiensi renal dan transplantasi, diabetes mellitus dan
immunodeficiency

Faktor resiko terkait inang untuk UTI secara umum dan complicated UTI secara
khusus dituliskan dalam Tabel 4.1. Complicated UTI bisa muncul dal am sebuah
kelompok pasien heterogen. Namun, tidak satupun dari usia pasien ataupun jenis
kelamin pasien per se adalah bagian dari definisi sebuah complicated UTI.
Berkenaan dengan prognosis dan studi klinis, disarankan untuk menstratifikasikan
complicated UTI karena gangguan urologi ke dalam setidaknya dua kelompok:

 Pasien dimana faktor komplikasi dapat dihilangkan oleh terapi, misal.,


ekstraksi batu, pelepasan indwelling catheter.
 Pasien dimana faktor komplikasi tidak bisa atau tidak dapat dihilangkan
secara memuaskan dengan terapi, misal., permanent indwelling catheter,
residu batu setelah perawatan atau neurogenic bladder

4.2.1 Presentasi/tampilan klinis


Sebuah complicated UTI bisa saja diasosiasikan dengan gejala klinis (misal.,
dysuria, urgensi, frekuensi, flank pain, costovertebral angle tenderness,
suprapublic pain dan demam). Presentasi klinis bisa bervariasi dari severe
obstruction acute pyelonephritis dengan urosepsis hingga post-operative UTI
yang diasosiasikan dengan kateter, yang bisa menghilang secara spontan segera
setelah kateter dilepaskan. Juga telah diketahui bahwa gejala, khususnya lower
urinary tract symptoms (LUTS), tidak hanya disebabkan oleh UTI tapi juga
oleh gangguan urologi lainnya, seperti misalnya benign prostatic hyperplasia
(BPH) atau transurethral resection of the prostate (TURP).
Terpisah dari abnormalitas urologi, kondisi medis yang terjadi
bersamaan, seperti misalnya diabetes mellitus (10%) dan kegagalan renal,
mana yang bisa terkait dengan abnormalitas urologi, seringkali disajikan dalam
sebuah complicated UTI. Hal ini dibahas secara lebih mendetil dalam Section
8.1.3 dan 8.1.4 dalam insufisiensi renal UTI, penerima transpl antasi, diabetes
mellitus dan immunosuppression.

4.2.2 Kultur urine


Bacteriuria yang signifikan dalam sebuah complicated UTI didefinisikan oleh
hitungan ≥10 5 cfu/mLdan ≥10 4 cfu/mL, dalam mid-stream urine (MSU) wanita
dan pria. Jika sebuah sampel urin dari straight catheter diambil, ≥10 4 cfu/mL
bisa dianggap relevan. Untuk seorang pasien asimptomatik, dua kultur urin
berturutan (setidaknya 24 jam terpisah) menghasilkan ≥10 5 cfu/mL dari
mikroorganisme yang sama akan diperlukan. Ketentuan untuk pyuria adalah
≥10 white blood cells (WBC) per high-power field (x400) dalam resuspended
sediment dari sebuah centrifugal aliquot urine atau per mm 3 dalam unspun
urine. Sebuah metode dipstick dapat pula digunakan untuk assessment rutin,
termasuk sebuah uji leukosit esterase, hemoglobin dan mungkin juga reaksi
nitrit.

4.3 Mikrobiologi
4.3.1 Spektrum dan resistensi antibiotik
Pasien dengan complicated UTI, baik yang diperoleh dari komunitas dan rumah
sakit, cenderung untuk menunjukkan beragam mikroorganisme dengan
prevalensi yang lebih tinggi dalam resistensi terhadap antimikroba, dan
tingkatan kegagalan perawatan yang lebih tinggi jika abnormalitas ini tidak
bisa dikoreksi.
Namun, adanya strain yang resisten dengan sendirinya tidaklah
cukup untuk mendefinisikan sebuah complicated UTI. Abnormalitas urinary
(anatomis maupun fungsional) atau adanya penyakit dasar yang mempengaruhi
terjadinya UTI juga perlu eksis.
Sebuah rentang luas bakteri dapat menyebabkan complicated UTI.
Spektrum ini jauh lebih besar dibandingkan dengan uncomplicated UTI dan
bakteri akan lebih cenderung resisten antibiotik (khususnya dalam complicated
UTI terkait-perawatan) dibandingkan dengan yang diisolasi dalam
uncomplicated UTI. E.coli, Proteus, Klebsiella, Pseudomonas dan Serratia sp
serta enterococci adalah strain yang umum digtemukan dalam kultur.
Enterobacteriaceae mendominasi (60-75%) dengan E. coli adalah patogen yang
paling umum; khususnya jika UTI termasuk dalam infeksi pertama. Jika tidak,
spektrum bakteri bisa jadi akan bervariasi sejalan dengan waktu dan dari satu
rumah sakit terhadap rumah sakit lainnya.

4.3.2 Complicated UTI diasosiasikan dengan urinary stones


Dalam subset complicated UTI terkait urinary stones, freku ensi dari infeksi
E.coli dan infeksi enterococci tampaknya merupakan patogen yang kurang
penting. Berkontras dengan ini, sejumlah besar Proteus dan Pseudomonas sp
ditemukan.
Dari organisme penghasil urease, Proteus, Providencia dan
Morganella sp serta Corynebacterium urealyticum termasuk dominan, tapi
Klabsiella, Pseudomonas dan Serratia sp serta staphlyococci juga termasuk
produsen urease hingga tingkatan tertentu.
Diantara pasien dengan penyakit staghorn calculus, 88% ditemukan
memiliki UTI pada waktu diagnosis, dengan 82% pasien terinfeksi dengan
organisme penghasil-urease. Enzim, urease, memecah urea menjadi
karbondioksida dan ammonia. Peningkatan hasil dalam amonia di dalam urin
akan melukai lapisan glycosaminoglycan, yang akan meningkatkan keleka tan
bakteri dan meningkatkan pembentukan struvite crystal. Agregat ini akan
membentuk batuan renal dan incrustation pada kateter urinary.
Potensi patogenik dari coagulase-negative staphylococci dan non-
group D streptococci termasuk kontroversial. Dibawah situasi tertentu, seperti
misalnya adanya sebuah batu atau benda asing, staphylococci bisa menjadi
patogen yang relevan. Jika tidak demikian, staphylococci tidaklah umum dalam
complicated UTI (0-11%) menurut laporan yang dipublikasikan.

4.3.3 Complicated UTI diasosiasikan dengan urinary catheter


Dalam UTI yang diasosiasikan dengan kateter, distribusi mikroorganisme
tampak serupa dan biofilm harus diperhitungkan. Terapi antimikroba mungkin
hanya akan efektif di tahap awal infeksi. Untuk detil lebih lanjut liha t Bab 6
dalam UTI terasosiasi-kateter.

4.4 Perawatan
4.4.1 Prinsip umum
Strategi perawatan akan tergantung pada keparahan penyakit. Terapi
antimikroba yang sesuai dan manajemen abnormalitas urologi akan harus
dilakukan. Jika diperlukan, layanan supportive dapat di berikan. Rawat inap
seringkali perlu dilakukan tergantung pada keparahan penyakit.

4.4.2 Pilihan antibiotik


Perawatan empiris dari symptomatic complicated UTI membutuhkan sebuah
pengetahuan spektrum patogen yang memungkinkan dan pola resistensi
antibiotik lokal, serta assessment mengenai tingkat keparahan dari
abnormalitas urologi dasar (termasuk evaluasi fungsi renal).
Bacteraemia biasanya dilaporkan terlambat untuk mempengaruhi
pilihan antibiotik. Namun, kecurigaan bacteraemia harus mempengaruhi
perawatan empiris. Keparahan dari penyakit yang diasosiasikan dan kondisi
urologi dasar masih merupakan hal yang paling penting untuk prognosis.
Banyak percobaan terapeutik telah dipublikasikan mengenai
penggunaan terapi antimikroba spesifik dalam complicated UT I. Sayangnya,
kebanyakan laporan masih memiliki keterbatasan dalam penggunaan untuk
manajemen praktis pasien dalam situasi hari-ke-hari karena keterbatasan dalam
seperti misalnya:

 Karakterisasi buruk dari populasi pasien


 Evaluasi yang tidak jelas mengenai tingkat keparahan penyakit
 Infeksi nosocomial dan infeksi dari-masyarakat tidak dibedakan secara
akurat
 Hasil urologi jarang turut diperhitungkan

Penggunaan intens dari antimikroba apapun, khususnya ketika digunakan


dalam sebuah basis empiris dalam grup pasien ini dengan sebuah
kecenderungan tinggi recurrent infection, akan mengarah pada munculnya
mikroorganisme resisten dalam infeksi selanjutnya. Kapanpun memungkinkan,
terapi empiris harus digantikan dengan sebuah terapi yang disesuaikan untuk
organisme infektif spesifik yang teridentifikasi dalam kultur urin. Oleh
karenanya, sebuah spesimen urin untuk kultur harus diperoleh sebelum awal
terapi, dan pemilihan sebuah agen antimikroba harus dievaluasi ulang setelah
hasil kultur telah tersedia. Hingga saat ini, masih belum ditunjukkan bahwa
agen atau kelas agen manapun lebih superior dalam kasus dimana organisme
infektif rentan terhadap obat yang diberikan.
Pada pasien dengan kegagalan renal, baik itu yang terkait dengan
abnormalitas urologi atau tidak, penyesuaian dosis yang tepat harus dibuat
setelah perlakuan awal, biasanya dengan jalan monitoring konsentrasi obat.
Jika perlakuan empiris diperlukan, fluoroquinolone dengan eksresi
renal utama biasanya direkomendasikan karena mereka memiliki sebuah
spektrum aktivitas antimikroba yang luas dan mencakup sebagian besar
expected patogen, dan mereka mencapai level konsentrasi tinggi baik dalam
urine dan jaringan urogenital. Fluoroquinolone dapat digunakan secara oral dan
juga secara parenteral. Sebuah aminopenicillin plus sebuah BLI, sebuah Grup
2 atau 3a cephalosporin, atau dalam kasus terapi parenteral, sebuah
aminoglycosude adalah alternatifnya. Sebuah Grup 1 oral carbapenem,
ertapenem dalam sebuah percobaan teracak yang prospektif, telah ditunjukkan
sama efektifnya seperti ceftriaxone.
Di kebanyakan negara, E.coli menunjukkan tingkat resistensi yang
tinggi terhadap TMP-SMX (18-25% dalam evaluasi terakhir di AS) dan oleh
karenanya harus dihindari sebagai perawatan lini-pertama. Fosfomycin
trometamol dilisensi hanya untuk terapi dosis tunggal dari uncomplicated
cystitis. Aminopenicillins, ampicillin ataupun amoxicillin, tidak lagi cukup
aktif terhadap E. coli.
Dalam kasus kegagalan terapi awal, atau jika hasil mikrobiologi tidak
tersedia, atau sebagai terapi awal dalam kasus infeksi yang parah secara klinis,
perawatan harus diubah ke sebuah antibiotik dengan spektrum lebih luas yang
juga aktif terhadap Pseudomonas, seperti misalnya fluoroquinolone (jika tidak
digunakan dalam terapi awal), sebuah acylaminopenicillin (piperacillin) plus
sebuah BLI, sebuah Group 3b cephalosporin, atau sebuah carbapenem, pada
akhirnya berkombinasi dengan sebuah aminoglycoside. Serupa dengan ini,
banyak ahli beranggapan bahwa terapi empiris untuk pasien rawat inap dengan
UTI serius harus pula menyertakan sebuah agen antipseudomonal intravena
karena adanya peningkatan resiko urosepsis.
Pasien umumnya bisa dirawat jalan. Dalam kasus yang lebih parah
(misal., pasien rawat inap), antibiotik harus diberikan secara parenteral.
Sebuah kombinasi sebuah aminoglycoside dengan sebuah BLI atau sebuah
fluoroquinolone banyak digunakan untuk terapi empiris. Setelah beberapa hari
mendapatkan terapi parenteral dan perbaikan klinis, pasien bisa diubah ke
perawatan oral. Terapi harus dipertimbangkan ulang ketika strain infektif t elah
teridentifikasi dan kerentanan mereka telah diketahui.
Perawatan yang sukses dari sebuah complicated UTI selalu
mengkombinasikan terapi antimikroba yang efektif, manajemen optimal dari
abnormalitas urologi dasar atau penyakit lainnya dan langkah -langkah
penopang-hidup (life-supporting) yang memadai. Opsi perawatan antibakteri
diringkas dalam Tabel 4.2 dan Lampiran 16.2 (Rekomendasi untuk terapi
antimikroba dalam urologi).

4.4.3 Durasi terapi antibiotik


Perawatan 7-14 hari umumnya direkomendasikan, tapi durasi ini harus terkait
dengan perawatan abnormalitas yang terjadi. Terkadang, perpanjangan hingga
21 hari, menurut situasi klinis, akan perlu dilakukan.

4.4.4 Complicated UTI diasosiasikan dengan urinary stones


Jika sebuah nidus dari sebuah batuan atau sebuah infeksi tetap ada,
pertumbuhan batu/stone akan terjadi. Penghilangan komplit dari batuan dan
terapi antimikroba yang memadai akan sama-sama diperlukan. Eradikasi
infeksi mungkin akan menghilangkan pertumbuhan struvite calculi. Terapi anti
mikroba jangka panjang harus diperhitungkan jika penghilangan komplit dari
batu/stone tidak dapat dicapai.

4.4.5 Complicated UTI diasosiasikan dengan indwelling catheter


Data saat ini tidak mendukung perawatan asymptomatic bacteriuria, baik
selama kateterisasi jangka pendek (<30 hari) atau selama kateterisasi jangka
panjang, karena hal ini akan mempromosikan munculnya strain yang resisten.
Dalam kateterisasi jangka pendek, antibiotik dapat menunda permulaan
bacteriuria, tapi tidak mengurangi komplikasi.
Sebuah symptomatic complicated UTI yang diasosiasikan dengan
indwelling cathether dirawat dengan sebuah agen yang memiliki spektrum
sesempit mungkin, berdasarkan pada hasil kultur dan sensitivitas. Durasi
optimal masih belum ditentukan. Durasi perawatan yang terlalu pendek dan
juga terlalu panjang bisa menyebabkan munculnya strain yang resisten. Durasi
7-14 hari bisa menjadi kompromi yang logis.

4.4.6 Complicated UTI pada pasien dengan cedera tulang belakang


(spinal cord injury)
Dalam kasus UTI yang persisten dan dugaan retensi urinary, sebuah assessment
urodinamika full untuk menilai fungsi kandung kemih sebaiknya dilakukan.
Prioritas adalah untuk memastikan drainase yang tep at dari kandung kemih
untuk melindungi saluran urinary. Untuk detil lebih lanjut, lihat panduan EAU
dalam Neurogenic Lower Urinary Tract Dysfunction.
Umumnya telah dapat diterima bahwa asymptomatic bacteriuria pada
pasien dengan cedera tulang belakang seharusnya tidak diobati, bahkan dalam
kasus intermittent catheterisation. Untuk episode infeksi simptomatik pada
pasien dengan cedera tulang belakang, hanya sedikit sekali studi penelitian
yang telah menyelidiki agen yang paling tepat dan durasi terapi. Sa at ini, 7-10
hari terapi adalah yang paling umum digunakan. Tidak ada superioritas dari
satu agen atau kelas antimikroba dalam kelompok pasien ini.
Opsi perawatan antimikroba diringkas dalam Tabel 4.2.
Tabel 4.2: Opsi perawatan antimikroba untuk terapi empiris
Antibiotika yang direkomendasikan untuk perawatan empiris awal
Fluoroquinolones
Aminopenicillin plus sebuah BLI
Cephalosporin (Grup 2 atau 3a)
Aminoglycoside
Antibiotika yang direkomendasikan untuk perawatan empiris dalam
kasus kegagalan awal atau untuk kasus yang lebih parah
Fluoroquinolone (jika tidak digunakan untuk terapi awal)
Ureidopenicillin (piperacillin) plus BLI
Cephalosporin (group 3b)
Carbapenem
Terapi kombinasi:
- Aminoglycoside + BLI
- Aminoglycoside + fluoroquinolone
Antibiotika yang tidak direkomendasikan untuk perawatan empiris
Aminopenicillin, misal amoxicillin, ampicillin
Trimethoprim-sulphamethoxazole (hanya jika kerentanan patogen telah
diketahui)
Fosfomycin trometamol
BLI=β-lactam inhibitor

4.4.7 Follow up setelah perawatan


Semakin besar kecenderungan keterlibatan mikroorganisme resisten dalam
complicated UTI adalah fitur lain dari penyakit menular ini. Ini bukan a priori
terkait dengan abnormalitas urinary, tapi lebih terkait pada fakta bahwa pas ien
dengan complicated UTI cenderung untuk memiliki recurrent infection. Untuk
alasan ini, sebelum dan sesudah penyelesaian perawatan antimikroba, kultur
urin harus diperoleh untuk identifikasi mikroorganisme dan evaluasi pengujian
kerentanan/susceptibilitas.

4.5 Daftar Pustaka

5. SINDROM SEPSIS DALAM UROLOGI (UROSEPSIS)


5.1 Ringkasan dan rekomendasi
Pasien dengan urosepsis harus didiagnosa di tahapan dini, khususnya dalam kasus
complicated UTI. Sindrom respon inflamatory sistemik, dikenal sebagai SIRS
(demam atau hipotermia, hiperleukositosis atau leukopenia, takikardia, takipnoea),
dikenali sebagai peristiwa pertama dalam rentetan kegagalan multi organ.
Kematian akan semakin mungkin terjadi ketika sepsis yang parah atau septic shock
juga terjadi, meski prognosis urosepsis secara global lebih baik daripada sepsis
dari lokasi infeksi yang lain.
Perawatan urosepsis membutuhkan kombinasi layanan penopang-hidup,
terapi antibiotik yang tepat dan cepat, langkah tambahan (misal., sympthomimetic
amines, hydrocortisone, kontrol gula darah) dan manajemen optimal terhadap
gangguan saluran urinary (LE:1a, GR:A). Drainage untuk obstruksi/hambatan
apapun dalam saluran urinary sangatlah esensial sebagai perawatan lini pertama
(LE:1, GR:A). Urolog direkomendasikan untuk merawat pasien dalam kolaborasi
bersama dengan perawatan intensif dan spesialis penyakit menular (L E:2a, GR:B).
Urosepsis dilihat dalam infeksi yang diasosiasikan layanan kesehatan dan
juga dari-komunitas. Kebanyakan nosocomial urosepsis dapat dihindari dengan
langkah-langkah yang digunakan untuk mencegah infeksi nosocomial, misal.,
reduksi masa tinggal di rumah sakit, pelepasan dini indwelling urethral catheters,
penghindaran kateterisasi uretral yang tidak diperlukan, penggunaan sistem kateter
tertutup yang benar, dan perhatian terhadap teknik asepsis harian yang sederhana
untuk menghindari infeksi-silang (LE:2a, GR:B).

5.2 Latar belakang


Infeksi saluran urinary bisa termanifestasikan sebagai bacteriuria dengan gejala
klinis terbatas, sepsis atau sepsis yang parah, tergantung pada perluasan sistemik
atau terlokalisasi. Sepsis terdiagnosa ketika bukti infeksi klinis disertai dengan
tanda-tanda inflammasi sistemik (demam atau hipotermia, takikardi, tachypnoea,
leukocyturia, atau leukopenia). Sepsis yang parah didefinisikan dengan adanya
gejala disfungsi organ, dan septic shock oleh adanya hipotensi yang p ersisten
diasosiasikan dengan anoxia jaringan.
Sepsis yang parah memiliki tingkat mortalitas 20 -42% dengan sebagian
besar laporan dalam literatur terhubung pada infeksi pulmonary (50%) atau
abdominal (24%), dengan UTI terhitung hanya 5%. Sepsis lebih umu m terjadi pada
pria daripada wanita. Dalam tahun-tahun belakangan ini, insidensi sepsis telah
meningkat 8.7% per tahun, tapi mortalitas yang diasosiasikan dengannya telah
menurun, yang menyatakan adanya perbaikan manajemen pasien (total tingkat
kematian rawat inap menurun dari semula 27.8% menjadi 17.9% dari tahun 1995
hingga 2000. Secara global (hal ini tidak benar untuk urosepsis), banyaknya sepsis
yang disebabkan organisme fungal telah meningkat dimana bakteri gram positif
menjadi patogen yang dominan dalam sepsis, bahkan jika bakteri gram negatif
tetap dominan dalam urosepsis.
Dalam urosepsis, seperti dalam tipe sepsis lainnya, keparahan akan
tergantung pada respon inang. Pasien yang lebih cenderung untuk mengembangkan
urosepsis termasuk: pasien lanjut usia, penderita diabetes, pasien
immunosuppresed, seperti misalnya pasien transplantasi, pasien yang menerima
kemoterapi kanker atau corticosteroid dan pasien dengan AIDS. Urosepsis juga
tergantung pada faktor lokal, seperti misalnya urinary tract calculi ,
obstruksi/hambatan pada level manapun dalam saluran urinary, congenital
uropathy, neurogenic bladder disorders, atau manuver endoskopik. Bagaimanapun,
semua pasien bisa ...

5.3 [Halaman 35 tidak ada]


5.4 [Halaman 35 tidak ada]
... sehingga sulit untuk dirawat. Yang lebih umum, kondisi berkembang dalam
pasien terkompromi (misal., mereka penderita diabetes atau
immunosuppresion) dengan ciri khas sepsis tergeneralisasikan yang
diasosiasikan dengan tanda infeksi lokal. Sebuah hasil yang fatal
dideskripsikan dalam 20-40% dari semua pasien.
5.4.1 Sitokin sebagai penanda respon septik
Sitokin terlibat dalam patogenesis sindrom sepsis. Mereka adalah peptida yang
meregulasikan amplitudo dan durasi respon inflammatory inang. Mereka
dilepaskan dari beragam sel termasuk monosit, makrofag, dan sel endotelial,
sebagai respon terhadap beragam stimuli yang menular. Ketika mereka terikat
pada reseptor spesifik pada sel lain, sitokin mengubah perilaku mereka dalam
respon inflammatory. Keseimbangan kompleks antara respon pro - dan anti-
inflammatory dimodifikasikan dalam sepsis yang parah. Sebuah fase
immunosuppresive mengikuti mekanisme pro-inflammatory awal. Sitokin lain
yang diasosiasikan dengan sepsis adalah interleukin (IL) (IL-1, -6, -8) dan
tumour necrosis factor (TNF)-α. Sepsis dapat mengindikasikan sebuah sistem
imun yang terkompromisasi dan tidak dapat menghilangkan patogen atau
sebuah aktivasi inflammasi yang excessive dan non -regulated, atau keduanya.
Predisposisi umum adalah sebuah penjelasan sepsis yang mungkin dalam
beberapa pasien. Mekanisme kegagalan organ dan kematian pada pasien
dengan sepsis masih tetap baru dipahami secara parsial.

5.4.2 Procalcitonin adalah sebuah penanda/marker sepsis yang potensial


Procalcitonin adalah propeptida dari calcitonin, tapi tidak memiliki aktivitas
hormonal. Normalnya, level ini tidak terdeteksi pada manusia yang sehat.
Selama infeksi tergeneralisasi yang parah (bakterial, parasitik dan fungal)
dengan manifestasi sistemik, level procalcitonin bisa meningkat menjadi > 100
ng/mL. Berkebalikan dengan ini, selama infeksi viral yang parah atau reaksi
inflammatory yang tidak menular (non-infectious), level procalcitonin
menunjukkan peningkatan sedang atau bahkan tidak ada peningkatan. Lokasi
procalcitonin selama sepsis masih tidak diketahui. Monitoring procalcitonin
bisa berguna pada pasien yang cenderung untuk men gembangkan SIRS yang
menular. Level procalcitonin yang tinggi, atau peningkatan mendadak pada
pasien ini, harus memicu pencarian cepat untuk sumber infeksi. Procalcitonin
dapat digunakan dalam membedakan antara penyebab menular dan non -
menular dari status inflammaotry yang parah.

5.5 Pencegahan
Septic shock adalah penyebab kematian yang paling sering terjadi untuk pasien
rawat inap dengan infeksi nosocomial dan yang diperoleh dari -masyarakat (20-
40%). Sepsis memulai rentetan yang menuju ke arah sepsis parah dan kemudian
septic shock dalam sebuah kontinuum klinis. Perawatan urosepsis akan
membutuhkan kombinasi perawatan terhadap penyebab (hambatan/obstruksi
dalam saluran urinary), layanan life-support yang memadai dan terapi antibiotik
yang tepat. Dalam situasi semacam ini, direkomendasikan agar urolog
berkolaborasi dengan perawatan intensif dan spesialis penyakit menular untuk
manajemen terbaik bagi pasien.
5.5.1 Langkah pencegahan dari efikasi yang telah terbukti atau yang
memungkinkan
Metode yang paling efektif untuk mencegah urosepsis nosocomial akan sama
seperti yang digunakan untuk mencegah infeksi nosocomial lainnya:
 Isolasi semua pasien yang terinfeksi dengan organisme multi -resisten
untuk menghindari infeksi silang.
 Penggunaan agen antimikroba dengan bijaksana untuk profilaksis dan
perawatan infeksi yang berkembang, untuk menghindari seleksi strain
resisten. Agen antibiotik harus dipilih sesuai dengan patogen dominan
pada lokasi infeksi di lingkungan rumah sakit.
 Reduksi dalam masa inap di rumah sakit. Telah diketahui bahwa periode
rawat inap yang panjang sebelum operasi akan mengarah pada insidensi
yang lebih besar dari infeksi nosocomial
 Pelepasan dini indwelling urethral catheter, segera setelah kondisi pasien
memungkinkan. UTI nosocomial dipromosikan oleh kateterisasi kandung
kemih dan juga oleh ureteral stenting. Antibiotik profilaksis tidak
mencegah kolonisasi stent, yang muncul 100% pada pasien dengan
permanen ureteral stent dan 70% pada temporal stent.
 Penggunaan drainage catheter tertutup dan minimisasi jeda integritas
sistem, misal., untuk urine sampling atau bladder wash-out.
 Penggunaan metode yang paling tidak invasif untuk melepaskan
hambatan/obstruksi saluran urinary hingga pasien terstabilkan.
 Perhatian terhadap teknik sederhana sehari-hari untuk memastikan
asepsis, termasuk penggunaan rutin dari sarung tangan pelindung
disposable, disinfeksi tangan yang sering dilakukan dan menggunakan
langkah kontrol penyakit menular untuk mencegah terjadinya infeksi
silang.

5.5.2 Profilaksis antimikroba perioperatif yang tepat


Untuk profilaksis antimikroba perioperatif yang tepat, lihat Bab 15. Efek
samping yang potensial dari antibiotik harus diperhitungkan sebelum
digunakan dalam sebuah regimen prophylactic.

5.5.3 Langkah pencegahan dari efikasi yang masih diperdebatkan


 Penyulingan antibiotik atau obat antiseptik ke dalam kateter dan kantong
drainage
 Penggunaan kateter yang dilapisi dengan antibiotik atau perak.

5.5.4 Langkah yang tidak efektif atau counterproductive


 Irigasi kandung kemih kontinyu atau intermittent dengan antibiotik atau
antiseptik urinary yang meningkatkan resiko infeksi dengan bakteri
resisten
 Pemberian rutin obat antimikroba kepada pasien terkateterisasi, yang
mengurangi insidensi bacteriuria hanya selama beberapa hari dan
meningkatkan resiko infeksi dengan bakteri multi-resisten.
Penggunaannya mungkin terbatas untuk pasien immunosuppresed.
5.6 Algoritma untuk manajemen urosepsis

Bagan 5.1: Algoritma klinis untuk manajemen urosepsis

Indikatif status klinis untuk


Observasi
sepsis parah

Indikatif status klinis untuk


sepsis parah

Kriteria SIRS positif


Observasi

Oksigen awal + resusitasi cairan Unit dependensi tinggi

Mikrobiologi (urin, darah – analisa/kultur)

1.Terapi terarah tujuan dini + Transfer ke


Tanda dan gejala indikatif untuk urosepsis terapi antibiotik empiris departemen alternatif
2.Pencitraan

1.Terapi terarah tujuan dini +


terapi antibiotik empiris
2.Pencitraan

Faktor komplikasi dlm saluran urogenital Terapi suportif, terapi sepsis tambahan, jika diperlukan

Kontrol sumber

Terapi suportif, terapi sepsis tambahan, jika diperlukan

5.7 Perawatan
5.7.1 Algoritma klinis untuk manajemen urosepsis

Tabel 5.2: Terapi terarah-tujuan dini


Terapi terarah-tujuan dini
Central venous pressure (CVP) 8-12 mmHg
Mean arterial pressure (MAP) 65-90 mmHg
Central venous oxygen (CVO2) ≥70%
Haematocrit (HKT) >30%
Output urin >40 mL/h
Tabel 5.3: Level terapi dalam sepsis
Level terapi dalam sepsis
Terapi kausal 1. Perawatan antimikroba
2. Kontrol terhadap sumber
Terapi suportif 1. Stabilisasi hemodinamis
2. Jalan udara, respirasi
Terapi adjunctive/tambahan 1. Glucocorticosteroid
2. Terapi insulin
terintensifikasi

5.7.2 Penghilangan hambatan/obstruksi


Drainage terhadap hambatan/obstruksi apapun dalam saluran urinary dan
pelepasan benda asing, seperti misalnya urinary catheter atau stone/batu, harus
mengarah pada resolusi gejala dan pemulihan. Ini adalah komponen kunci dari
strategi. Kondisi ini adalah sebuah emergensi yang absolut.

5.7.3 Terapi antimikroba


Perawatan awal empiris harus menyediakan cakupan antimikroba yang luas dan
kemudian diadaptasikan pada basis hasil kultur. Dosis senyawa antibiotik
sangatlah penting pada pasien dengan sindrom sepsis dan h arus cukup tinggi,
dengan pengecualian pada pasien gagal ginjal. Antimikroba harus diterapkan
tidak lebih lambat dari 1 jam setelah asumsi klinis sepsis (lihat Bagan 5.1).
Opsi perawatan antibakteri diringkas dalam Lampiran 16.1 dan 16.2.

5.7.4 Langkah adjunctive/tambahan


Manajemen cairan dan keseimbangan elektrolit adalah sebuah aspek krusial
dari pasien dengan sindrom sepsis; khususnya ketika jalur klinis dikomplikasi
dengan shock. Penggunaan human albumin masih diperdebatkan. Terapi
terarah-tujuan dini telah ditunjukkan dapat mengurangi mortalitas. Volaemic
expansion dan vasopressor therapy memiliki sejumlah besar dampak terhadap
hasil. Intervensi dini dengan langkah-langkah yang tepat untuk
mempertahankan perfusi jaringan dan pengangkutan oksigen dengan
penggunaan terapi cairan yang cepat, stabilisasi tekanan arteri dan
menyediakan kapasitas transport oksigen yang memadai sangatlah efektif.
Hydrocortisone (dengan sebuah perdebatan dalam hal dosis) akan
bermanfaat pada pasien dengan relatif ketidakcukupan (insufficiency) dalam
kelenjar pituitary-adrenal cortex axis (adrenocortropin test).
Kontrol glukosa darah yang ketat oleh pemberian dosis insulin
hingga 50 U/h yang diasosiasikan dengan sebuah reduksi dalam mortalitas.
Bukti saat ini tidak mendukung penggunaan human recombinant
activated protein C pada orang dewasa dan anak-anak yang mengalami sepsis
parah dan septic shock.
Strategi terbaik telah diringkas dan dinilai sesuai dengan metodologi
berbasis bukti dalam ‘Surviving Sepsis Guideline’ yang baru dipublikasikan.

5.8 Kesimpulan
Sindrom sepsis dalam urologi tetap merupakan sebuah situasi yang parah dengan
tingkat mortalitas bisa mencapai setinggi 20-40%. Sebuah kampanye terkini,
‘Surviving Sepsis Guideline’, bertujuan untuk mengurangi mortalitas sebesar 25%
dalam beberapa tahun berikutnya. Pengakuan dini mengenai gejala ini dapat
menurunkan mortalitas dengan perawatan yang tepat waktu terhadap gangguan
saluran urinary, misal., obstruksi, atau urolithiasis. Langkah -langkah life-support
yang memadai dan perawatan antibiotik yang tepat menyediakan kondisi yang
terbaik untuk meningkatkan kelangsungan hidup pasien. Pencegahan sin drom
sepsis akan tergantung pada praktek yang baik (good practice) dalam menghindari
infeksi nosocomial dan menggunakan antibiotik profilaksis dan terapi antibiotik
dalam cara yang bijak dan dapat diterima.

5.9 Ucapan terima kasih


Para penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Jean M. Carlet, Kepala
Perawatan Intensif, Rumah Sakit Saint Joseph, Paris, Perancis atas mengkaji
manuskrip ini tentang urosepsis.

5.10 Daftar Pustaka

6. UTI YANG DIASOSIASIKAN DENGAN KATETER


Berdasarkan pada panduan EAU yang dipublikasikan pada tahun 2007 (ISBN -13:978-
90-70244-59-0), teks berikut ini menyajikan hasil temuan dalam sebuah update
komprehensif yang dihasilkan sebagai sebuah upaya kolaboratif oleh ESIU (sebuah
kantor seksi EAU), Urological Association of Asia, Asian Association of UTI/STD,
Western Pacific Society for Chemotherapy, Federation of European Societies for
Chemotherapy and Infection dan International Society of Chemotherapy for Infection
and Cancer. Teks ini baru-baru ini dipublikasikan sebagai ‘Panduan Eropa dan Asia
dalam manajemen dan pencegahan infeksi saluran urinary yang diasosiasikan dengan
kateter’. Karena dokumen komplitnya tersedia secara online, hanya abstrak dan
ringkasan rekomendasi yang disajikan disini.

6.1 Abstrak
Kami mensurvei sejumlah besar literatur berkenaan dengan perkembangan, terapi
dan pencegahan UTI terasosiasi-kateter (CAUTI). Kami secara sistematis mencari
meta-analisa dari percobaan terkontrol teracak yang tersedia di Medline, dan
memberikan preferensi pada Cochrane Central Register of Controlled Trials, dan
juga memperhitungkan publikasi lain yang relevan, menilai mereka dalam basis
kualitas mereka. Studi-studi penelitian diidentifikasi melalui pencarian PubMed.
Rekomendasi studi penelitian, dinilai sesuai dengan modifikasi dari US
Department of Health and Human Service (1992), memberikan panduan berbasis -
mendekati-bukti untuk semua bidang medis, dengan penekanan khusus pada
urologi, dimana perawatan kateter adalah sebuah isu yang penting.
Survei menemukan bahwa saluran urinary adalah sumber infeksi
nosocomial yang paling umum, khususnya ketika kandung kemih dikateterisasikan
(LE:2a). Kebanyakan CAUTI diperoleh dari flora kolon pasien sendiri (LE:2b) dan
kateter memberikan kecenderungan UTI dalam beberapa cara. Faktor resiko yang
paling penting untuk pengembangan bakteriuria terasosiasi -kateter adalah durasi
dari kateterisasi (LE:2a). Kebanyakan episode bacteriuria terasosiasi -kateter
berjangka-pendek termasuk asimptomatik dan disebabkan oleh satu organisme
tunggal (LE:2a). organisme ini cenderung diperoleh pasien yang dikateterisasikan
selama > 30 hari.
Dokter harus menyadari dua prioritas: sistem kateter harus tetap tertutup
dan durasi dari kateterisasi harus tetap minimal (GR:A). Penggunaan si stem
pengingat elektronik atau berbasis-perawat untuk melepaskan kateter yang tidak
diperlukan bisa menurunkan durasi kateterisasi dan resiko CAUTI (LE:2a).
Kantong drainage harus selalu berada dibawah level kandung kemih dan selang
penghubung (GR:B). Dalam kasus kateterisasi jangka pendek, profilaksis rutin
dengan antibiotik sistemik tidak direkomendasikan (GR:B). Terdapat sedikit sekali
data mengenai antibiotik profilaksis pada pasien dalam kateterisasi jangka
panjang, sehingga, tidak ada rekomendasi yang bisa dibuat (GR:C). Untuk pasien
yang menggunakan intermittent catheterisation, antibiotik profilaksis tidak
direkomendasikan (GR:B). Irigasi antibiotik dari kateter dan kandung kemih
tidaklah menguntungkan (GR:A). Pekerja layanan kesehatan harus selalu i ngat
mengenai resiko infeksi silang antara pasien terkateterisasi. Mereka harus
mengikuti protokol pencucian tangan dan perlunya menggunakan sarung tangan
yang disposable (GR:A).
Minoritas pasien bisa diatasi dengan penggunaan non -return (flip) valve
catheter, sehingga menghindari kantong drainage tertutup. Pasien semacam ini
dapat bertukar kenyamanan dalam on-demand drainage dengan peningkatan resiko
infeksi. Pasien dengan urethral catheter yang dipasang selama ≥10 tahun harus
discreening tiap tahun untuk kanker kandung kemih (GR:C). Dokter harus selalu
memperhitungkan alternatif indwelling urethral catheter yang kurang rentan dalam
menyebabkan infeksi simptomatik. Pada pasien yang tepat, suprapublic catheters,
condom drainage system dan intermittent catheterisation masing-masing lebih
disukai untuk indwelling urethral catheterisation (GR:B). Ketika kateter sedang
digunakan, perawatan antimikroba sistemik dari bacteriuria terasosiasi -kateter
asimptomatik juga tidak direkomendasikan (GR:A), kecuali untuk be berapa kasus
khusus. Kultur urin yang rutin pada pasien terkateterisasi asimptomatik juga tidak
direkomendasikan (GR:C) karena perawatan secara umum tidak diperlukan.
Perawatan antibiotik direkomendasikan hanya untuk infeksi simptomatik (GR:B).
Setelah permulaan perawatan empiris, biasanya dengan antibiotik spektrum -luas
berbasis pada pola kerentanan lokal (GR:C), pilihan antibiotik mungkin perlu
disesuaikan menurut hasil kultur urin (GR:B). Terapi suppresive antibiotik jangka
panjang tidaklah efektif (GR:A).

6.2 Ringkasan rekomendasi


Rekomendasi GR
Aspek umum
1. Protokol perawatan kateter tertulis akan diperlukan B
2. Pekerja layanan kesehatan harus mematuhi protokol dalam mencuci A
tangan dan kebutuhan untuk menggunakan sarung tangan disposable
antara pasien terkateterisasi
Pemasangan kateter dan pilihan kateter
3. Sebuah kateter indwelling harus diintroduksikan dibawah kondisi B
antiseptik
4. Trauma urethral harus diminimalisasikan dengan menggunakan B
pelumas yang memadai dan kaliber kateter yang paling kecil
5. Kateter dengan impregnasi antibiotik dapat mengurangi frekuensi B
bacteriuria asymptomatik dalam 1 minggu. Tidak ada bukti bahwa
mereka menurunkan infeksi simptomatik. Sehingga, mereka tidak
dapat direkomendasikan secara rutin.
6. Kateter dari perak secara signifikan mengurangi insidensi bacteriuria B
asimptomatik, tapi hanya selama < 1 minggu. Terdapat beberapa bukti
penurunan resiko untuk simptomatik UTI. Sehingga, mereka mungkin
akan berguna dalam beberapa setting.
Pencegahan
7. Sistem kateter harus tetap tertutup A
8. Durasi kateterisasi harus minimal A
9. Antiseptik atau antibiotik topikal yang diaplikasikan pada kateter, A
urethra atau meatus tidak direkomendasikan
10. Keuntungan dari antibiotik prophylactic dan senyawa antiseptic masih A
belum dikembangkan, sehingga, tidak direkomendasikan
11. Pelepasan indwelling catheter setelah operasi non-urologi sebelum B
tengah malam akan menguntungkan
12. Indwelling catheter jangka panjang harus diganti pada interval yang B
diadaptasikan pada pasien individual, tapi harus diubah sebelum
blockage/hambatan terjadi, namun, tidak ada bukti terkait interval yang
tepat dalam penggantian kateter
13. Terapi suppresif antibiotik kronis umumnya tidak direkomendasikan A
14. Kantong drainage harus selalu berada dibawah level kandung kemih B
dan selang penghubung
Diagnostik
15. Kultur urin yang rutin pada pasien asymptomatik terkateterisasi tidak B
direkomendasikan
16. Urin dan pada pasien septic, juga darah untuk kultur harus diambil C
sebelum terapi antimikroba apapun dimulai
17. Episode febrile hanya ditemukan dalam < 10% pasien terkateterisasi A
yang tinggal dalam fasilitas jangka panjang. Oleh karenanya sangatlah
penting untuk mengesampingkan sumber demam yang lain
Perawatan
18. Ketika kateter digunakan, perawatan antimikroba sistemik dari A
bacteriuria terasosiasi-kateter asimptomatik tidak direkomendasika,
kecuali dalam situasi khusus, khususnya sebelum intervensi saluran
urinary traumatik
19. Dalam kasus candiduria asimptomatik, tidak satupun dari terapi A/C
sistemik atau antifungal lokal yang diindikasikan, tapi pelepasan
kateter atau stent harus dipertimbangkan
20. Perawatan antimikroba direkomendasikan hanya untuk infeksi B
simptomatik
21. Dalam kasus CAUTI simptomatik, mungkin akan masuk akal untuk B
menggantikan atau melepaskan kateter sebelum memulai terapi
antimikroba jika indwelling kateter telah digunakan selama > 7 hari
22. Untuk terapi empiris, antibiotik spektrum luas harus diberikan berbasis C
pada pola kerentanan lokal
23. Setelah hasil kultur tersedia, terapi antibiotik harus disesuaikan B
menurut sensitivitas patogen
24. Dalam kasus candiduria yang diasosiasikan dengan gejala urinary, atau B
jika candiduria adalah tanda-tanda infeksi sistemik, terapi sistemik
dengan antifungal diindikasikan
25. Pasien wanita lanjut usia mungkin akan membutuhkan perawatan jika C
bacteriuria tidak berhenti secara spontan setelah pelepasan kateter
Sistem drainage alternatif
26. Terdapat sedikit bukti bahwa post-operative intermittent C
catheterisation mengurangi resiko bacteriuria jika dibandingkan
dengan indwelling catheter. Tidak ada rekomendasi yang bisa
diberikan
27. Pada pasien yang tepat, sebuah suprapublic, condom drainage system B
atau intermittent catheter lebih disukai daripada indwelling urethral
catheter
28. Terdapat sedikit bukti untuk menyatakan bahwa antibiotik profilaksis B
menurunkan bacteriuria pada pasien yang menggunakan intermittent
catheterisation, sehingga, ini tidak direkomendasikan
Follow up jangka panjang
29. Pasien dengan kateter urethral yang dipasang ≥10 tahun harus C
discreening untuk kanker kandung kemih

Daftar pustaka

7. UTI PADA ANAK-ANAK


7.1 Ringkasan dan rekomendasi
Infeksi saluran urinary pada anak-anak adalah sebuah permasalahan kesehatan
yang sering terjadi, dengan insidensi hanya sedikit lebih rendah dibandingkan
dengan infeksi pencernaan dan respirasi atas.
Insidensi UTI bervariasi tergantung pada usia dan jeni s kelamin. Dalam
tahun pertama hidup, sebagian besar dari 3 bulan pertama, UTI lebih umum terjadi
pada anak lelaki (3.7%) dibandingkan pada anak perempuan (2%), setelah mana
insidensi akan berubah menjadi 3% pada anak perempuan dan 1.1% pada anak
lelaki. UTI pediatrik adalah penyebab umum demam yang tidak jelas asalnya pada
anak lelaki berusia < 3 tahun. Presentasi klinis dari UTI pada bayi dan anak -anak
muda bisa bervariasi mulai dari demam hingga gastrointestinal dan gejala saluran
urinary atas atau bawah.
Investigasi harus dilakukan setelah dua episode UTI pada anak perempuan
dan satu episode pada anak lelaki (GR;B). Tujuannya adalah untuk menghilangkan
kemungkinan kemunculan obstruksi yang tidak biasa, vesicoureteric reflux (VUR)
dan dysfunctional voiding, seperti yang disebabkan oleh sebuah gangguan
neuropathic.
Chronic pyelonephritic renal scarring berkembang sangat dini dalam hidup
karena kombinasi dari sebuah UTI, intrarenal reflux dan VUR. Hal ini terkadang
muncul in utero karena displasia. Meski jarang terjadi, renal scarring bisa
mengarah pada komplikasi jangka panjang yang parah seperti hipertensi dan gagal
ginjal kronis.
VUR diobati dengan antibiotik prophylactic jangka panjang (GR:B). Re -
implantasi bedah atau perawatan endoskopik diperuntukkan bagi sejumlah kecil
anak-anak dengan infeksi breakthrough (GR:B).
Untuk perawatan UTI pada anak-anak, jalur pendek (short course) tidak
disarankan dan karenanya perawatan dilanjutkan selama 5 -7 hari dan lebih lama
dari ini (GR:A). Jika anak sangat sakit dengan muntah dan dehidrasi, rawat inap
di rumah sakit akan perlu dilakukan dan antibiotik parenteral diberikan sejak awal
(GR:A).

7.2 Latar belakang


Saluran urinary adalah sumber umum infeksi pada anak-anak dan bayi. Hal ini
mewakili infeksi bakteri yang paling umum terjadi pada anak-anak , 2 tahun
(LE:2a). Hasil dari sebuah UTI biasanya jinak, tapi di masa awal anak -anak, hal
ini bisa berkembang menjadi renal scarring, khususnya ketika diasosiasikan
dengan congenital anomalies dari saluran urinary. Delayed sequelae terkait dengan
renal scarring akan termasuk hipertensi, proteinuria, kerusakan ginjal dan bahkan
gagal ginjal kronis, yang membutuhkan perawatan dialisis dalam sejumlah besar
orang dewasa yang signifikan (LE:2a).
Resiko UTI selama dekade pertama kehidupan adalah 1% pada lelaki dan
3% pada perempuan. Telah disarankan bahwa 5% anak perempuan usia sekolah
dan hingga 0.5% anak lelaki usia sekolah mengalami setidaknya satu episode UTI
selama masa sekolah mereka. Insidensi ini berbeda untuk anak -anak berusia < 3
bulan, ketika hal ini lebih umum terjadi pada anak lelaki. Insidensi asymptomatic
bacteriuria adalah 0.7-3.4% pada neonate, 0.7-3.1% pada bayi < 3 bulan dan 0.2-
0.8% pada anak lelaki dan anak perempuan usia prasekolah. Insidensi symptomati c
bacteriuria adalah 0.14% pada neonate, dengan peningkatan mencapai 0.7% pada
anak lelaki dan 2.8% pada anak perempuan < 6 bulan. Tingkat rekurensi
keseluruhan untuk periode neonatal telah dilaporkan mencapai 25%.

7.3 Etiologi
Sumber patogenik umum adalah bakteria gram-negatif yang terutama bersifat
enterik. Dari sini, E.coli bertanggungjawab untuk 90% episode UTI. Bakteri gram
positif (khususnya enterococci dan staphylococci) mewakili 5 -7% kasus. Infeksi
dari rumah sakit menunjukkan sebuah pola bakteri agresif yang lebih luas, seperti
misalnya Klebsiella, Serratia dan Pseudomonas sp. Grup A dan B streptococci
relatif umum dalam bayi baru lahir. Terdapat semakin meningkatnya trend
terhadap isolasi S. saprophyticus pada UTI pada anak -anak, meski peranan bakteri
ini masih diperdebatkan.
7.4 Patogenesis dan faktor resiko
Saluran urinary adalah sebuah ruang steril dengan batas yang dapat ditembus.
Retrograde ascent adalah mekanisme infeksi yang paling umum. Infeksi
nosocomial dan keterlibatan sebagai bagian dari infeksi sistemik kurang umum
terjadi.
Obstruksi/hambatan dan disfungsi adalah salah satu penyebab paling umum
dari infeksi urinary. Phimosis mempengaruhi UTI (LE:2a). Enter obacteria yang
diperoleh dari intestinal flora mengkoloni preputial sac, permukaan glandular dan
distal urethra. Diantara bakteri-bakteri ini adalah strain E.coli yang
mengekspresikan P fimbriae, yang melekat ke lapisan dalam dari preputial skin
dan ke sel uroepithelial.
Ragam luas dari abnormalitas saluran urinary congenital bisa menyebabkan
UTI melalui obstruksi misal, katup urethral, ureteropelvic junction obstruction
atau non-obstructive urinary stasis (misal., sindrom prune belly, atau VUR).
Penyebab UTI lain yang lebih biasa tapi juga signifikan termasuk labial adhesion
dan konstipasi kronis.
Dysfunctional voiding pada anak yang normal bisa menghasilkan
pengosongan kandung kemih infrekuen dibantu dengan manuver penundaan, misal
menyilangkan kaki, duduk di atas tumit. Disfungsi kandung kemih neuropathic
(misal spina bifida, atau sphincter dyssynergia) dapat mengarah pada post -void
residual urine dan VUR sekunder.
Link antara kerusakan renal dan UTI masih kontroversial. Mekanisme
dalam obstructive nephropathy termasuk self-evident, tapi perubahan yang lebih
samar terjadi ketika terdapat VUR. Hampir pasti, komponen yang diperlukan akan
termasuk VUR, intrarenal reflux dan UTI. Semua ini harus bekerja bersama di
masa awal kanak-kanak ketika ginjal yang tumbuh cenderung rentan terhadap
infeksi parenkima. Di masa kanak-kanak akhir, keberadaan bakteri tampaknya
tidak relevan terhadap kemajuan luka yang ada atau pembentukan yang sangat
tidak biasa dari luka baru. Faktor lain yang membingungkan adalah banyak dari
yang disebut sebagai luka (scars) adalah jaringan renal displastik yang
berkembang in utero.

7.5 Tanda dan gejala


Gejala termasuk non-spesifik, dan beragam sesuai dengan usia anak dan keparahan
penyakit. Epididymorchitis sangatlah tidak biasa. Dengan scrotal pain dan
inflammasi, torsi testicular harus diperhitungkan.
Sebuah UTI pada neonate bisa jadi non-spesifik dan tanpa lokalisasi. Pada
anak kecil, sebuah UTI dapat muncul dengan tanda-tanda gastrointestinal, seperti
misalnya muntah dan diare. Dalam minggu pertama hidup, 13.6% pasien dengan
demam memiliki UTI. Jarang, septic shock adalah presentasi yang muncul. Tan da-
tanda UTI mungkin samar pada anak kecil, tapi nantinya, ketika mereka lebih dari
2 tahun, voiding yang sering terjadi, dysuria dan suprapubic, abdominal atau
lumbar pain bisa muncul dengan atau tanpa demam.

7.6 Klasifikasi
UTI bisa diklasifikasikan sebagai sebuah episode pertama atau recurrent, atau
sesuai dengan keparahan (sederhana atau parah). Recurrent UTI bisa
diklasifikasikan lebih jauh ke dalam tiga kelompok:
 Infeksi tak berhenti (unresolved infection): level antimikroba subterapeutik, non-
compliance dengan perawatan, malabsorpsi, patogen resisten
 Persistensi bakteri (bacterial persistence): bisa jadi disebabkan oleh sebuah nidus
untuk infeksi persisten dalam saluran urinary. Koreksi bedah atau perawatan medis
untuk disfungsi urinary mungkin akan diperlukan.
 Re-infeksi (re-infection): tiap episode adalah sebuah infeksi baru yang diperoleh
dari periurethral, perineal atau rectal flora.

Dari sudut pandang klinis, bentuk UTI parah/severe dan sederhana/simple harus
dibedakan karena hingga tingkatan tertentu keparahan gejala ini menunjukkan
tingkatan urgensi dengan mana investigasi dan perawatan yang harus diterima
(Tabel 7.1).

Tabel 7.1: Klasifikasi klinis UTI pada anak-anak


UTI parah (severe) UTI sederhana (simple)
Demam ≥39°C Pyrexia ringan
Muntah yang persisten Asupan cairan yang bagus
Dehidrasi serius Sedikit dehidrasi
Buruknya kepatuhan terhadap Kepatuhan yang baik terhadap
perawatan perawatan

7.6.1 UTI parah (severe UTI)


UTI parah/severe terkait pada adanya demam ≥39°C, merasa sakit, munt ah
yang persisten dan dehidrasi sedang atau parah.

7.6.2 UTI sederhana (simple UTI)


Seorang anak dengan UTI sederhana/simple mungkin hanya memiliki pyrexia
ringan, tapi dapat mengkonsumsi obat cair dan oral. Anak hanya sedikit atau
tidak terdehidrasi, dan memiliki level kepatuhan yang bagus. Ketika level
kepatuhan lebih rendah dari yang diharapkan, anak ini harus tangani seperti
anak yang memiliki UTI parah.

7.7 Diagnosis
7.7.1 Pemeriksaan fisik
Akan wajib untuk mencari phimosis, labial adhesion, tanda -tanda
pyelonephritis, epididymo-orchitis dan stigmata dari spina bifida, misal hairy
patch di sacral skin. Tidak adanya demam tidak menghilangkan adanya proses
infektif.

7.7.2 Uji laboratorium


Diagnosis definitif infeksi pada anak-anak membutuhkan sebuah kultur urin
positif. Urin harus diperoleh dibawah kondisi yang reliable secara bakteriologis
ketika menjalankan sebuah kultur spesimen urin. Sebuah kultur urin positif
didefinisikan sebagai keberadaan > 100,000 cfu/mL dari satu patogen.
Spesimen urin bisa jadi akan sulit untuk diperoleh pada seorang anak < 4 tahun,
dan metode yang berbeda akan disarankan karena terdapat resiko tinggi
kontaminasi.

7.7.2.1 Pengumpulan urin


7.7.2.1.1 Suprapubic bladder aspiration
Suprapubic bladder aspiration adalah metode yang paling sensitif,
meskipun urin dapat diperoleh dalam 23-99% kasus.

7.7.2.1.2 Kateterisasi kandung kemih


Kateterisasi kandung kemih juga merupakan metode yang sangat
sensitif, meskipun terdapat resiko introduksi patogen noso comial.

7.7.2.1.3 Kantong plastik terhubung pada genitalia


Studi prospektif telah menunjukkan sebuah insidensi tinggi hasil positif
yang palsu, berkisar mulai dari 85-99%. Akan berguna ketika kultur
termasuk negatif dan memiliki nilai prediktif positif 15%. Untuk
mendapatkan sebuah sampel urin dalam kondisi terbaik pada anak-anak
< 2 tahun (anak perempuan dan anak lelaki yang belum disunat tanpa
sphincteric control), akan lebih baik untuk menggunakan suprapubic
bladder aspiration atau kateterisasi kandung kemih. Pada anak -anak
yang lebih tua dengan sphincteric control, koleksi MSU akan
memungkinkan dan juga reliable.

7.7.2.2 Kuantifikasi bacteriuria


Konsentrasi akhir bakteri pada urin terhubung langsung pada metode
koleksi, diuresis dan metode penyimpanan serta transport spesimen.
Definisi klasik dari bacteriuria signifikan >10 5 cfu/mL masih digunakan dan
tergantung pada lingkungan klinis.
Adanya pyuria (> 5 leukosit per bidang) dan bacteriuria dalam
sebuah sampel urin segar memperkuat diagnosis klinis UTI.
Pada anak lelaki, ketika urin diperoleh dengan menggunakan
kateterisasi kandung kemih, kultur urin dianggap positif dengan >10 4
cfu/mL. Meskipun Hoberman telah mengidentifikasi sebuah
mikroorganisme dalam 65% kasus dengan hitungan koloni antara 10,000
dan 50,000 cfu/mL, terdapat sebuah pola pertumbuhan mixed yang
menyatakan kontaminasi. Dalam kasus ini, akan lebih baik untuk
mengulangi kultur atau untuk mengevaluasi adanya tanda-tanda lain, seperti
pyuria, nitrit atau penanda biokimia lain. Pengumpulan MSU atau dalam
sebuah kantong pengumpul ≥10 5 cfu/mL dianggap positif (Tabel 7.2).

Tabel 7.2: Kriteria untuk UTI pada anak-anak


Spesimen urin dari Spesimen urine dari Spesimen urine dari
suprapubic bladder kateterisasi kandung midstream void
puncture kemih
Jumlah cfu/mL ≥1,000 – 50,000 ≥10 4 cfu/mL dengan
manapun (setidaknya cfu/mL gejala
10 koloni identik) ≥10 5 cfu/mL tanpa
gejala

7.7.2.3 Penanda/marker biokimia lain


Keberadaan penanda/marker biokimia lain dalam sebuah sampel urin akan
bermanfaat untuk mengembangkan diagnosis UTI. Marker yang paling
sering adalah nitrit dan leukosit esterase yang biasanya dikombinasikan
dalam sebuah uji dipstick.
7.7.2.3.1 Nitrit
Nitrit adalah degradasi produk nitrat dalam metabolisme bakteri,
khususnya dalam bakteri gram negatif. Ketika sebuah infeksi
disebabkan oleh bakteri gram positif, test/uji bisa jadi akan negatif.
Kekurangan dari uji nitrit termasuk:
 Tidak semua uropathogen mereduksi nitrat menjadi nitris, misal. P.
aeruginosa atau enterococci
 Bahkan patogen penghasil nitrit bisa menunjukkan sebuah hasil uji
negatif, karena waktu transit pendek dalam kandung kemih untuh
kasus diuresis tinggi dan pengenceran urin, misal neonate.
 Uji nitrit memiliki sensitivitas hanya 45-60% tapi memiliki
spesifisitas yang bagus dengan 85-98%.

7.7.2.3.2 Leukocyte esterase


Leukocyte esterase dihasilkan oleh aktivitas leukosit. Uji untuk
leukocyte esterase memiliki sensitivitas 48-86% dan sebuah spesifisitas
17-93%.
Sebuah kombinasi pengujian nitrit dan leukocyte esterase akan
meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas, tapi membawa resiko hasil
positif-palsu.
Uji dipstick telah menjadi bermanfaat untuk mengecualikan
keberadaan UTI dengan cepat dan reliable, apabila uji nitrit dan
leukocyte esterase adalah negatif. Jika hasil uji termasuk positif, maka
akan lebih baik mengkonfirmasikan hasil dalam kombinasi dengan
gejala klinis dan uji-uji lain.
Bacteriuria tanpa pyuria bisa jadi akan ditemukan:

 Dalam kontaminasi bakteri


 Dalam kolonisasi (asymptomatic bacteriuria)
 Ketika mengumpulkan sebuah spesimen sebelum permulaan
sebuah reaksi inflammatory

Dalam kasus semacam ini, akan disarankan untuk mengulang urinalysis


setelah 24 jam untuk mengklarifikasi situasi. Bahkan dalam anak-anak
febrile dengan kultur urin positif, tidak adanya pyuria bisa memberikan
keraguan terhadap diagnosis UTI. Namun, asymptomatic bacteriuria
dengan fokus septic yang terjadi bersamaan dan bertanggungjawab
untuk sindrom febrile akan harus dipertimbangkan.
Bacteriuria tanpa pyuria ditemukan dalam 0.5% spesimen. Angka ini
berkorespondensi dengan estimasi angka asymptomatic bacteriuria pada
masa kanak-kanak (LE:2a). Pyuria tanpa bacteriuria bisa jadi
disebabkan karena:

 Perawatan UTI antimikroba yang tidak komplit


 Urolithiasis dan benda asing
 Infeksi yang disebabkan oleh M. tuberculosis dan bakteri lain,
misal., Chlamydia trachomatis.

Sehingga, baik bacteriuria ataupun pyuria bisa jadi tidak dianggap


sebagai parameter yang reliable untuk mendiagnosa atau mengecualikan
UTI. Assessment mereka dapat dipengaruhi oleh faktor lain, seperti
misalnya tingkatan hidrasi, metode pengumpulan spesim en, mode
sentrifugasi, volume dimana sedimen dire-suspended dan interpretasi
subyektif terhadap hasil. Namun, menurut Landau et al., pyuria pada
anak-anak febrile termasuk indikatif pyelonephritis akut.
Untuk semua alasan ini, pada neonates dan anak-anak < 6 bulan, baik
pyuria, bacteriuria ataupun uji nitrit, secara terpisah, memiliki nilai
prediktif minimal untuk UTI (LE:3). Berkebalikan dengan ini, nilai
prediktif positif dari staining Gram signifikan dengan pyuria adalah 85%
(LE: 2b). Pada anak-anak yang lebih tua, pyuria dengan sebuah uji nitrit
positif akan lebih reliable untuk diagnosis UTI, dengan nilai prediktif
positif 98%.
Mengkombinasikan bacteriuria dan pyuria pada anak -anak febrile,
hasil ≥ 10 WBC/mm 3 dan ≥50,000 cfu/mL pada sebuah spesimen yang
dikumpulkan dengan kateterisasi termasuk signifikan untuk sebuah UTI,
dan membedakan antara infeksi dan kontaminasi.

7.7.2.3.3 C-reactive protein


Meski non-spesifik pada anak-anak febrile dengan bacteriuria, C-
reactive protein tampaknya bermanfaat dalam membedakan antara
pyelonephritis akut dan penyebab bacteriuria lainnya. Hal ini dianggap
signifikan pada konsentrasi >20 µg/mL.

7.7.2.3.4 Urinary N-acetyl-β-glucosaminidase


Urinary N-acetyl-β-glucosaminidase adalah sebuah penanda/marker
kerusakan tubular. Ini akan meningkat dalam febrile UTI dan bisa
menjadi penanda/marker diagnostik yang reliable untuk UTI, meski ini
juga akan meningkat pada VUR.

7.7.2.3.5 IL-6
Penggunaan klinis dari konsentrasi urinary IL-6 dalam UTI masih dalam
tahap riset.
7.7.3 Pencitraan saluran urinary
Sebuah teknik pencitraan standar emas harus efektif biaya, tanpa rasa sakit,
aman dan memiliki radiasi minimal atau tanpa radiasi, serta memiliki
kemampuan dalam mendeteksi anomali struktural signifikan apapun. Teknik
saat ini masih belum memenuhi semua ketentuan ini.

7.7.3.1 Ultrasound
Ultrasound (US) telah menjadi sangat bermanfaat pada anak -anak karena
keamanan, kecepatan dan akurasi tinggi dalam mengidentifikasikan
anatomi dan ukuran renal parenchyma dan sistem pengumpul. Teknik ini
subyektif dan karenanya akan tergantung pada operator, dan tidak
memberikan informasi mengenai fungsi renal. Namun, scars/luka bisa
diidentifikasi, meski tidak sebaik dengan menggunakan Tc-99m DMSA
scanning (LE:2a). Teknik ini telah ditunjukkan sangat sensitif dan excretory
urography harus dibalikkan/reversed hanya ketika imej perlu diklarifikasi
secara morfologi.

7.7.3.2 Studi radionuclide


Tc-99m DMSA adalah sebuah radiopharmaceutical yang terikat pada
membran basement dari proximal renal tubular cells; separuh dari dosis
tetap berada di dalam renal cortex setelah 6 jam. Teknik ini membantu
dalam menentukan massa renal fungsional dan memastikan sebuah
diagnosis yang akurat dalam cortical scarring dengan menunjukkan area -
area hypoactivity, yang mengindikasikan kurangnya fungsi. Sebuah UTI
akan mengganggu asupan radiotracer ini di proximal renal tubular cells, dan
bisa menunjukkan area kecacatan fokal dalam renal parenchyma. Sebuah
kerusakan berbentuk bintang dalam renal parenchyma bisa
mengindikasikan sebuah episode akut pyelonephritis. Kerusakan fokal
dalam renal cortex biasanya mengindikasikan sebuah lesi kronis atau
sebuah renal scar (LE:2a).
Focal scarring atau sebuah kehilangan senyawa renal yang seragam
dan halus seperti yang ditunjukkan oleh Tc-99m DMSA umumnya dianggap
sebagai hal yang diasosiasikan dengan VUR (reflux nephropathy). Namun,
Rushton et al. telah menyatakan bahwa renal scarring yang signifikan bisa
saja terjadi, tanpa melihat eksistensi atau tidak adanya VUR. Ransley dan
Risdon telah melaporkan bahwa Tc-99m DMSA menunjukkan sebuah
spesifisitas 100% dan sensitivitas 80% untuk renal scarring.
Penggunaan Tc-99m DMSA scanning bisa sangat bermanfaat dalam
diagnosis awal acute pyelonephritis. Sekitar 50 -85% anak-anak
menunjukkan hasil positif dalam minggu pertama. Kerusakan parenkima
minimal, ketika dikarakterisasikan dengan area kecil hypoactivity, bisa
diobati dengan terapi antimikroba. Namun, kerusakan yang bertahan >5
bulan dianggap sebagai renal scarring (LE:2a).
Tc-99m DMSA scans dianggap lebih sensitif daripada excretory
urography dan US dalam pendeteksian renal scars. Masih tetap
dipertanyakan apakah radionuclide scans bisa menggantikan echography
sebagai sebuah pendekatan diagnostik lini-pertama pada anak-anak dengan
UTI.

7.7.3.3 Cystourethrography
7.7.3.3.1 Conventional voiding cystourethrography
Voiding cystourethrography (VCU) adalah eksplorasi radiologis yang
paling banyak digunakan untuk studi salsuran urinary bawah dan
khususnya VUR. Teknik ini dianggap wajib dalam evaluasi UTI pada
anak-anak < 1 tahun. Kekurangan utamanya adalah resiko infeksi,
kebutuhan untuk retrogrades filling dari kandung kemih, dan pengaruh
merusak yang mungkin terjadi dari radiasi terhadap anak -anak. Dalam
tahun-tahun belakangan, VCU fluoroskopik berdosis rendah yang
disesuaikan telah digunakan untuk evaluasi VUR pada anak peremp uan
dalam rangka meminimalkan pemaparan radiologi. VCU diwajibkan
untuk dilakukan dalam assessment febrile childhood UTI, bahkan
dengan adanya US normal. Hingga 23% dari pasien ini bisa jadi akan
menunjukkan VUR.

7.7.3.3.2 Radionuclide cystography (tidak langsung)


Investigasi ini dilakukan dengan memperpanjang periode scanning
setelah injeksi Tc-99m diethylene triamine pentaacetate (DTPA) atau
mercaptoacetyltryglycine (MAG-3) sebagai bagian dari renografi
dinamis. Hal ini mewakili sebuah alternatif atraktif terhada p
cystography konvensional, khususnya ketika dilakukan pada pasien
dengan reflux, karena dosis radiasinya yang lebih rendah. Kekurangan
dari teknik ini adalah resolusi imej yang buruk dan kesulitan dalam
mendeteksi abnormalitas saluran urinary bawah.

7.7.3.3.3 Cystosonography
Contrast-material-enhanced voiding US telah diintroduksikan untuk
diagnosis VUR tanpa iradiasi. Studi penelitian selanjutnya akan perlu
dilakukan untuk menentukan peranan modalitas pencitraan baru ini
terkait UTI.

7.7.3.4 Pencitraan tambahan


Excretory urography tetap menjadi alat yang bermanfaat dalam evaluasi
saluran urinary pada anak-anak, tapi manfaatnya dalam UTI masih
diperdebatkan kecuali pencitraan pendahuluan telah menunjukkan
abnormalitas yang membutuhkan penyelidikan lebih lanjut. Kekura ngan
utama pada bayi adalah resiko efek samping dari pemaparan terhadap media
kontras dan radiasi. Namun, peranan excretory urography semakin menurun
sejalan dengan semakin meningkatnya superioritas teknis dari CT dan MRI.
Namun, indikasi untuk manfaat mereka masih terbatas.

7.7.3.5 Evaluasi urodinamika


Ketika voiding dysfunction diduga terjadi, misal., inkontinensi, urin
residual, peningkatan ketebalan dinding kandung kemih, evaluasi
urodinamika dengan uroflowmetry, cystometry (video), termasuk studi
aliran tekanan (pressure flow) dan electromyography ha rus
dipertimbangkan.

7.8 Jadwal investigasi


Screening terhadap bayi untuk asymptomatic bacteriuria cenderung untuk tidak
mencegah pembentukan pyelonephritic scar, dimana hal ini biasanya berkembang
sangat dini dalam masa infancy. Hanya minoritas anak dengan UTI yang memiliki
gangguan urologi dasar, tapi ketika eksis, gangguan semacam ini bisa
menyebabkan sejumlah besar morbiditas. Sehingga, setelah maksimum dua
episode UTI pada anak perempuan dan satu episode pada anak lelaki, investigasi
perlu dilakukan (Bagan 7.1), tapi tidak dalam kasus asymptomatic bacteriuria.
Perlunya DTPA/MAG-3 scanning ditentukan oleh hasil temuan US, khususnya jika
terdapat kecurigaan adanya lesi obstruktif.

Bagan 7.1: Jadwal investigasi sebuah UTI pada seorang anak

Pemeriksaan fisik
+
Urinalysis / kultur urin

 1 episode UTI
 2 episode UTI
Pada anak lelaki
Pada anak perempuan

Echografi + VCU

Opsional: urografi intravena


DMSA scan

7.9 Perawatan
Perawatan memiliki empat tujuan utama:
 Penghilangan gejala dan penghilangan bacteriuria dalam episode akut
 Pencegahan renal scarring
 Pencegahan recurrent UTI
 Koreksi terhadap lesi urologi yang diasosiasikan

7.9.1 UTI parah (severe UTI)


Sebuah UTI parah/severe akan membutuhkan penggantian cairan parenteral
yang memadai dan juga perawatan antimikroba yang tepat, lebih disukai
dengan cephalosporin (generasi ketiga). Jika sebuah UTI gram positif diduga
dengan melakukan stain gram, maka akan bermanfaat untuk menggunakan
aminoglycoside dalam kombinasi dengan ampicillin atau
amoxycillin/clavulanate (LE:2a). Perawatan antimikroba harus dimulai dalam
basis empiris, tapi harus disesuaikan dengan hasil kultur sesegera mungkin.
Pada pasien dengan sebuah alergi pada cephalosporin, aztreonam atau
gentamicin dapat digunakan. Ketika aminoglycoside diperlukan, level serum
harus dimonitor untuk penyesuaian dosis.
Sebuah ragam antimikroba yang luas dapat digunakan pada anak -anak yang
lebih tua, dengan pengecualian tetracyline (karena tooth staining). Fluorinated
quinolone dapat menghasilkan toksisitas kartilage, tapi jika diperlukan, bisa
digunakan sebagai terapi lini kedua dalam perawatan untuk infeksi serius,
karena event negatif musculoskeletal memiliki intensitas menengah dan
transient/sementara. Untuk periode aman 24-36 jam, terapi parenteral harus
dilakukan. Ketika anak menjadi afebrile dan bisa memasukkan cairan, dia bisa
diberikan agen oral untuk melengkapi 10-14 hari perawatan, yang bisa
dilanjutkan dalam basis rawat jalan. Hal ini menyediakan beberapa
keunggulan, seperti misalnya dampak psikologis yang lebih kecil pada anak
dan kenyamanan yang lebih besar bagi seluruh keluarga. Ini juga tidak terlalu
mahal, dapat ditoleransi dan pada akhirnya bisa mencegah infeksi oportunistik.
Antimikroba oral yang banyak digunakan antara lain: trimethoprim (TMP), co -
trimoxazole (TMP plus sulphamethoxazole), sebuah cephalosporin oral, atau
amoxycillin/clavulanate. Namun, indikasi untuk TMP semakin menurun dalam
area-area dengan resistensi yang semakin meningkat.

Pada anak-anak ,3 tahun, yang memiliki kesulitan dalam mengkonsumsi obat


oral, perawatan parenteral selama 7-10 hari tampaknya akan disarankan,
dengan hasil yang serupa jika dibandingkan dengan mereka yang menggunakan
perawatan oral.
Jika terdapat abnormalitas signifikan dalam saluran urinary (misal., VUR,
atau obstruksi), intervensi urologi yang tepat harus diperhitungkan. Jika renal
scarring terdeteksi, pasien akan membutuhkan follow -up yang seksama oleh
seorang dokter anak dalam antisipasi sequelae seperti misalnya hipertensi,
kerusakan fungsi renal dan recurrent UTI.
Sebuah kajian dalam perawatan febrile UTI pada anak-anak diberikan
dalam Bagan 7.2 dan pemberian dosis agen antimikroba diuraikan dalam Tabel
7.3.
Bagan 7.2: Perawatan febrile UTI pada anak-anak

UTI parah UTI sederhana

Terapi parenteral hingga afebrile Terapi oral


- Hidrasi yang mencukupi Terapi parenteral dosis tunggal (hanya dalam kasus
- Cephalosporin (generasi ketiga) kepatuhan yang diragukan)
- Amoxycilin/clavulanate jika cocci eksis - Cephalosporin (generasi ketiga)
- Gentamicin

Terapi oral untuk menyelesaikan perawatan 10-14 hari Terapi oral untuk menyelesaikan perawatan 5-7 hari

Amoxicillin
Cephalosporin
Trimethoprim

Prophylaxis oral harian


Nirofurantoin
Cefalexin
Trimethoprim

Tabel 7.3: Pemberian dosis agen anti mikroba pada anak-anak usia 3 bulan
hingga 12 tahun*

Agen antimikroba Aplikasi Usia Dosis total per Jumlah


hari dosis per
hari
Ampicillin Intravena 3-12 bln 100-300 mg/kg 3
BW
Ampicillin Intravena 1-12 thn 60-150 3
(-300) mg/kg BW
Amoxycillin Oral 3 bln-12 thn 50-100 mg/kg 2-3
BW
Amoxycillin/clavulanate Intravena 3 bln-12 thn 60-100 mg/kg 3
BW
Amoxycillin/clavulanate Oral 3 bln-12 thn 37.5-75 mg/kg 2-3
BW
Cephalexin
Perawatan Oral 3 bln-12 thn 50-100 mg/kg 3
BW
Profilaksis Oral 1-12 thn 10 mg/kg BW 1-2

Cefaclor
Perawatan Oral 3 bln-12 thn 50-100 mg/kg 3
BW
Profilaksis Oral 1-12 thn 10 mg/kg BW 1-2
Cefixime Oral 3 bln-12 thn 8-12 mg/kg BW 1-2

Cetriaxone Intravena 3 bln-12 thn 50-100 mg/kg 1


BW

Aztreonam Intravena 3 bln-12 thn (50)-100 mg/kg 3


BW

Gentamicin Intravena 3-12 bln 5-7.5 mg/kg BW 1-3


Gentamicin Intravena 1-2 thn 5 mg/kg BW 1-3

Trimethoprim
Perawatan Oral 1-12 thn 6 mg/kg BW 2
Profilaksis Oral 1-12 thn 1-2 mg/kg BW 1

Nitrofurantoin
Perawatan Oral 1-12 thn 3-5 mg/kg BW 2
Profilaksis Oral 1-12 thn 1 mg/kg BW 1-2
BW=body weight (berat badan)
*Diadaptasi dari ref. 63

7.9.2 UTI sederhana (simple UTI)


Sebuah UTI sederhana/simple dianggap sebagai infeksi beresiko rendah pada
anak-anak. Perawatan empiris oral dengan TMP, sebuah cephalosporin oral
atau amoxycillin/clavulanate akan direkomendasikan , sesuai dengan pola
resistensi lokal. Durasi perawatan dalam uncomplicated UTI dirawat secara
oral harus mencapai 5-7 hari (LE:1b). Sebuah dosis parenteral tunggal dapat
digunakan dalam kasus kepatuhan yang diragukan dan dengan saluran urinary
normal (LE:2a). Jika responnya termasuk buruk atau komplikasi berkembang,
anak harus dirawat inap untuk perawatan parenteral.

7.9.3 Profilaksis
Jika terdapat peningkatan resiko pyelonephritis misal., VUR dan recurrent UTI,
antibiotik profilaksis dosis rendah direkomendasikan (LE:2a). Hal ini juga
dapat digunakan setelah sebuah episode UTI akut hingga diagnostic work -up
terselesaikan. Agen antimikroba yang paling efektif antara lain: nitrofurantoin,
TMP, cephalexin dan cefaclor.

7.10 Ucapan terima kasih


Dengan ucapan terima kasih kami, bab dalam UTI pada anak -anak ini diupdate
pula oleh Jorge Caffaratti Sfulcini, Paediatric Urology, Fundacio Puigvert,
Barcelona, Spanyol, sebagai ko-penulis.

7.11 Daftar pustaka

8. UTI PADA RENAL INSUFFICIENCY, PENERIMA TRANSPLANTASI,


DIABETES MELLITUS DAN IMMUNOSUPPRESI
8.1 Ringkasan dan rekomendasi
8.1.1 Efek akut UTI terhadap ginjal
Dalam acute pyelonephritis, perubahan yang sangat dramatis bisa terjadi
dengan reduksi fokal dalam perfusi dalam pencitraan dan berkorespondensi
dengan disfungsi renal tubular. Namun, jika ginjal orang dewasa sebelumnya
normal, kerusakan ginjal kronis cenderung tidak terjadi. Tidak ada bukti bahwa
perpanjangan atau perawatan antibiotik yang intensif terhadap acute
pyelonephritis akan memperpendek episode atau mencegah komplikasi.
Pada diabetes mellitus, infeksi bisa mempengaruhi infeksi pyogenic dengan
pembentukan intrarenal perinephric abscess, emphysematous pyelonephritis
dan jarang, sebuah bentuk spesifik dari interstitial nephropathy infektif.
Papillary necrosis adalah sebuah konsekuensi umum dari pyelonephritis pada
pasien dengan diabetes. Wanita lebih rentan terhadap asymptomatic bacteriuria
dibandingkan dengan pria penderita diabetes, tapi dalam dua jenis kelamin ini,
progress ke pyelonephritis klinis lebih cenderung terjadi dibandingkan pada
individu normal. Faktor resiko untuk mengembangkan asymptomatic
bacteriuria akan berbeda antara diabetes tipe 1 dan tipe 2.
Masih diperdebatkan bahwa pasien diabetes termasuk rentan terhadap
progress infeksi parenkima yang pesat. Namun, pembersihan/clearance dari
asymptomatic bacteriuria seharusnya tidak dicoba jika maksudnya adalah
untuk mencegah komplikasi, khususnya acute pyelonephritis (GR:A).

8.1.2 Penyakit ginjal kronis dan UTI


Terdapat beberapa faktor umum yang cukup penting dan mempengaruhi infeksi
dalam uraemia, termasuk hilangnya beberapa mekanisme pertahanan urinary
dan tingkatan immunosuppression. Biasanya, adult polycystic kidney disease
(APCKD), VUR kotor (gross VUR) dan end-stage obstructive uropathy
membawa foci infektif atau mempromosikan infeksi yang meningkat, tapi tidak
selalu demikian. Jelasnya, UTI yang parah dengan bacteraemia bisa
mempercepat progress kegagalan ginjal, tapi hanya terdapat sedikit sekali bukti
bahwa perawatan yang vigor dengan tingkat infeksi yang lebih rendah atau
profilaksis akan bisa memperlambat kerusakan fungsional renal/ginjal setelah
hal ini terjadi (GR:C).
Pada pasien dengan VUR dan UTI dalam end-stage chronic renal failure,
bilateral nephroureterctomy harus dilakukan sebagai upaya terakhir (GR:B).

8.1.2.1 Penyakit ginjal polycystic dewasa


Pada pasien dengan acute pyelonephritis dan sista terinfeksi (muncul
sebagai reccurrent bacteraemia atau sepsis lokal), perawatan membutuhkan
sebuah masa panjang fluoroquinolone sistemik berdosis tinggi, diikuti
dengan profilaksis. Bilateral nephrectomy seharusnya digunakan sebagai
upaya terakhir (GR:B).

8.1.2.2 Calculi dan UTI


Manajemen akan serupa seperti untuk pasien tanpa kerusakan ginjal, yakni
untuk membersihkan batu jika memungkinkan dan untuk meminimalkan
perawatan antibiotik jika calculus tidak bisa dihilangkan. Nephrectomy
harus dilakukan sebagai upaya terakhir, tapi bahkan residual renal function
bisa jadi sangat penting (GR:B).

8.1.2.3 Obstruksi/hambatan di saluran urinary dan UTI


Seperti dalam situasi lainnya, kombinasi obstruksi dan infeksi sangatlah
berbahaya dan harus dirawat dengan vigor. Obstruksi bisa tersembunyi dan
membutuhkan uji diagnostik spesifik, misal, video-urodynamics atau studi
aliran tekanan saluran urinary atas.

8.1.3 UTI dalam transplantasi ginjal dan immunosuppresi


Kebutuhan untuk mengoreksi uropathy atau untuk menghilangkan sebuah fokus
potensial infeksi dalam sebuah penyakit ginjal tahap akhir akan lebih menuntut
pada pasien yang terdaftar untuk transplantasi ginjal. Meski demikian, hasil
nephrectomy untuk sebuah ginjal yang luka/scarred atau hydronephrotic bisa
jadi mengecewakan.
Immunosuppression adalah hal yang penting sekunder, meski jika hal ini
cukup ekstrim, maka akan bisa mempromosikan bacteriuria persisten, yang
akan menjadi symptomatic. Dalam konteks transplantasi ginjal, UTI sangatlah
umum, tapi immunosuppression hanyalah satu dari banyak faktor yang
terutama diklasifikasikan sebagai ‘surgical’.
Infeksi HIV diasosiasikan dengan penyakit ginjal akut dan kronis, mungkin
melalui mekanisme thrombotic microangiopathy dan immune -mediated
glomerulonephritis. Steroids, angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitors
dan terapi retroviral yang sangat aktif tampaknya mengurangi progression
menuju penyakit renal tahap akhir.

8.1.4 Perawatan antibiotik untuk UTI dalam renal insufficiency dan setelah
transplantasi renal
Prinsip perawatan antibiotik untuk UTI dengan adanya kerusakan ginjal,
selama perawatan dialisis dan setelah transplantasi ginjal , dibahas dalam teks
dan diringkas dalam Tabel 8.1-8.4.

8.2 Latar belakang


Kapanpun UTI eksis pada pasien dengan renal insufficiency, masalah timbul dalam
perawatan infeksi dan manajemen penyakit ginjal. Terdapat pula isu ilmiah penting
untuk diperhitungkan berkenaan dengan penyebab, kerentanan khusus, pengaruh
dan komplikasi infeksi parenkima renal, khususnya pada pasien
immunosuppressed.
Bagian panduan ini dapat dibagi kembali menjadi empat section.
1. Apa saja pengaruh akut UTI terhadap ginjal dan apakah lesi menjadi kronis?
2. Apakah kemajuan penyakit ginjal kronis menjadi lebih cepat sebagai akibat
dari infeksi dan apakah penyakit ginjal tertentu mempengaruhi UTI?
3. Apakah pasien immunosuppresed termasuk rentan terhadap UTI, khususnya
dalam konteks transplantasi ginjal? Apakah UTI adalah penyebab signifikan
dalam kegagalan graft?
4. Permasalahan apa yang muncul dalam terapi antibiotik pada pasien dengan
renal insufficiency dan setelah transplantasi ginjal?

8.3 Efek akut UTI terhadap ginjal


Beberapa penulis menganggap acute pyelonephritis sebagai hal yang rumit karena,
dalam pandangan mereka, hal ini bisa menyebabkan renal scarring dalam sebuah
ginjal yang sebelumnya normal (LE:2a). Secara patologi, sebuah proses yang sama
bisa terjadi dalam situasi yang berbeda secara fundamental sebagai obstructive dan
reflux nephropathy, meski distribusi dan tingkatan lesi bisa jadi berbeda (LE:2a).

8.3.1 VUR dan intrarenal reflux


Pengaruh VUR dan intrarenal reflux terhadap parenkim renal, dan kontribusi
dari infeksi ascending masih belum terpecahkan. Renal scarring jelas bisa
terjadi karena tiga faktor ini, meski, dalam hampir semua kasus, hal ini
biasanya terjadi sangat dini dalam hidup. Dalam rentang usia yang sempit ini,
pengembangan renal dysplasia harus menjadi pertimbangan utama dalam
pathogenesis pyelonephritis kronis.
Meski infeksi akut termasuk penting dalam tahapan awal penyakit ini, status
recurrent acute UTI atau asymptomatic bacteriuria secara spesifik dalam
progression pembentukan scar/luka termasuk lemah. Antibiotik profilaksis
oleh karenanya menawarkan sedikit manfaat dalam mempertahankan jaringan
renal dalam reflux nephropathy pada anak-anak yang berusia lebih tua dan
orang dewasa, bahkan jika reflux tidak dirawat dengan sukses (GR:A). Namun,
pembahasan lebih lanjut mengenai reflux nephropathy berada diluar cakupan
panduan ini.

8.3.2 [Halaman 55 tidak ada]


8.3.3 [Halaman 55 tidak ada]
8.3.4 [Halaman 55 tidak ada]
8.3.5 [Halaman 55 tidak ada]
... kontroversial (LE:2a). telah disepakati bersama bahwa reduksi dramatis
dalam renal perfusion dan eksresi bisa terjadi secara akut dan disebut ‘lobar
nephronia’ telah ditunjukkan dengan metode pencitraan yang lebih baru,
seperti CT atau DMSA scanning, tapi tidak dengan standard intravenous
urography (IVU).
Sebuah studi penelitian telah menunjukkan bahwa 55% pasien tanpa pre -
existing lesions mengembangkan lesi parenkim akut selama episode acute
pyelonephritis (LE:2a). lesi ini ditemukan tetap ada setelah 3-6 bulan follow-
up dalam 77% pasien (LE:3).
Sebuah studi awal oleh Alwall melibatkan 29 wanita yang dipantau selama
20-30 tahun, dengan bukti peningkatan kerusakan ginjal dan pyelonephtritis
kronis dalam biopsi (LE:3). Studi penelitian ini mengunakan teknik diagnostik
kasar, yang bisa jadi tidak mengidentifikasi penyakit yang sudah ada (pre -
exist), sehingga, pasien mungkin sejak awal memang memiliki kerusakan renal.
Dalam periode yang panjang tersebut, mustahil untuk mengesampingkan
penyebab lain kerusakan renal dan interstitial nephropathy, misal
penyalahgunaan analgesik. Isu penting ini diklarifikasi oleh sebuah studi
penelitian kritis terbaru dalam DMSA scanning selama fase akut dari acute
pyelonephritis. Dalam studi penelitian tersebut, 37 dari 81 pasien memiliki satu
atau lebih kerusakan perfusi, dimana, mayoritas akan terselesaikan/sembuh
dalam 3 bulan. Pada lesi yang tetap ada, pencitraan selanjutnya menunjukkan
bukti reflux atau obstructiv nephropathy yang pastilah mendahului episode
infektif akut (LE:2a).
Ringkasnya, luka parenkim kecil yang ditunjukkan oleh pencitraan modern
bisa berkembang sebagai akibat dari acute non-obstructive pyelonephritis.
Namun, pasien ini tidak mengembangkan gagal ginjal kronis dan scar adalah
lesi yang sangat berbeda dari scar tipikal dari reflux nephropathy. Hal ini
tercermin dalam pengalaman klinis. Sehingga, dalam acute pyelonephritis, IVU
atau DMSA scanning selama sebuah infeksi urinary akut bisa memberikan hasil
yang mengkhawatirkan dan dramatis, tapi dalam artian praktis perubahan yang
teramati ini sebagian besar bisa disembuhkan.
Korelasi yang buruk antara keparahan gejala dalam sebuah episode acute
pyelonephritis dan resiko kerusakan permanen, yang sangat kecil, seharusnya
mengecilkan minat dokter dari memberikan perawatan antibiotik berlebihan
melampaui yang dibutuhkan untuk menekan reaksi acute inflammatory (GR:A).
Di masa mendatang, kemunculan langka kerusakan ginjal tampaknya
berasal dari acute atau recurrent uncomplicated UTI bisa dicegah dengan
menarget perawatan jangka panjang pada pasien tertentu. Pasien ini akan
diidentifikasikan memiliki kerusakan genetik intrinsik dalam respon inang
dalam pelepasan sitokin terhadap infeksi. Kerusakan genetik semacam ini akan
lebih penting lagi jika pasien juga memiliki abnormalitas struktural yang bisa
menyebabkan complicated UTI.

8.3.6 Kondisi spesifik dimana sebuah UTI akut menyebabkan kerusakan


ginjal/renal
Terdapat beberapa kondisi spesifik dimana UTI akut bisa menyebabkan
kerusakan ginjal.

8.3.6.1 Diabetes mellitus


Asymptomatic bacteriuria adalah hal yang umum pada wanita penderita
diabetik. Dalam sebuah studi prospektif wanita non-hamil dengan diabetes
mellitus, 26% memiliki bacteriuria signifikan (≥10 5 cfu/mL) jika
dibandingkan dengan 6% kontrol. Wanita dengan diabetes tipe 1 khususnya
memiliki resiko jika mereka menderita diabetes sejak lama atau komplikasi
telah berkembang, khususnya peripheral neuropathy dan proteinuria. Faktor
resiko pada pasien dengan diabetes tipe 2 adalah usia lanjut, proteinuria,
indeks massa tubuh yang rendah dan sejarah masa lalu mengalami recurrent
UTI (LE:2a).
Diabetes mellitus meningkatkan resiko acute pyelonephritis dari
infeksi oleh Enterobacteriaceae yang berasal dari saluran urinary bagian
bawah. Infeksi Klebsiella khususnya umum terjadi (25% jika dibandingkan
dengan 12% pada non diabetik).
Asymptomatic bacteriuria adalah hal yang umum terjadi pada wanita
dengan diabetes (meski tidak pada pria). Jika tetap tidak dirawat, hal ini
bisa mengarah pada kerusakan fungsi ginjal. Mekanisme ini masih kurang
dipahami dan seperti dalam uncomplicated acute pyelonephritis, hubungan
kausal langsung masih diragukan. Faktor samar lain bisa saja eksis, seperti
misalnya diabetic nephropathy dasar dan autonomic nephropathy yang
menyebabkan voiding dysfunction. Kerusakan resistensi inang dianggap
mempengaruhi persistensi organisme nephropathogenic, tapi bukti spes ifik
masih kurang untuk pengembangan komplikasi ginjal. Glycosuria
menghambat fagositosis dan mungkin juga imunitas seluler, dan mendorong
kelekatan bakteri. Namun, wanita diabetik dengan asymptomatic bacteriuria
bisa memiliki kontrol glikemik yang bagus akan tetapi masih menunjukkan
penurunan urinary cytokine dan konsentrasi leukosit (meski fungsi
polimorfik normal). Kontrol glikemik yang buruk masih belum ditunjukkan
dapat meningkatkan resiko bacteriuria.
Selalu dikenali bahwa pasien diabetik khususnya rentan terhadap
kemajuan cepat dalam infeksi parenkima renal dan menyebabkan
komplikasi. Hingga baru-baru ini, tidak ada konsensus mengenai
pertanyaan pre-emptive screening, perawatan dan profilaksis asymptomatic
bacteriuria. Namun, isu ini telah ditanggapi dalam sebuah percobaan
teracak double-blind terkontrol plasebo (LE:1b), yang telah menyimpulkan
bahwa perawatan tidak mengurangi komplikasi dan diabetes seharusnya
tidak dianggap sebagai sebuah indikasi untuk melakukan screening atau
perawatan terhadap asymptomatic bacteriuria. Hasil dari percobaan ini telah
banyak diakui dalam panduan yang dipublikasikan oleh Infectious Diseases
Society of America (IDSA) dalam diagnosis dan perawatan asymptomatic
bacteriuria secara umum.
Pasien diabetik juga rentan terhadap interstitial nephritis infektif
yang kurang dilaporkan dan mungkin mengambil bentuk yang tidak biasa,
yang terkadang termasuk infeksi oleh organisme pembentuk -gas, dengan
mortalitas tinggi (emphysematous pyelonephritis). Hal ini
dikarakterisasikan secara histologi dengan acute pyogenic infiltration
menggunakan micro-abscesses dan pengembangan kegagalan ginjal akut.
Asal usul organisme bisa jadi hematogenous. Bahkan dengan tidak adanya
obstruksi, infeksi parenkim akut bisa berkembang secara tersembunyi untuk
membentuk sebuah abscess intrarenal yang meletus, dan mengarah pada
perinephric collection dan sebuah psoas abscess. Kemunculannya bisa
terkadang cukup lambat.
Papillary necrosis umum terjadi pada penderita diabetes, khususnya
dalam asosiasi dengan acute pyelonephritis. Hal ini jelas diasosiasikan
dengan permanent renal parenchymal scarring, meski sulit untuk
mengecualikan obstruksi dengan sloughed papillae sebagai penyebab
nephropathy. Antibiotik profilaksis untuk perawatan asymptomatic
bacteriuria mungkin akan diperlukan (GR:C).

8.3.6.2 Tuberculosis
Tuberculosis bisa menyebabkan kerusakan ginjal akut dan kronis melalui
bilateral renal infiltration. Jarang terjadi, hal ini bisa mengarah pada
kegagalan ginjal tahap akhir. Namun, sebuah bentuk samar penyakit
interstitial granulomatous bisa terjadi, yang sudah mencukupi untuk
menyebabkan kegagalan ginjal dengan tidak adanya fibrosis, kalsifikasi
atau obstruksi (LE:3).
Tuberculosis dan leprosy bisa menyebabkan kerusakan renal melalui
pengembangan amyloid dan sebuah bentuk proliferative glomerulonephritis
(LE:2b). Untuk detil lebih jauh lihat panduan EAU dalam genitourinary
tuberculosis.

8.4 Penyakit ginjal kronis dan UTI


Terdapat alasan-alasan yang bagus mengapa semua pasien uraemic seharusnya
rentan terhadap UTI, dan mengapa UTI harus meningkatkan level kerusakan fungsi
renal. Properti antibakteri dari urin normal, karena urea atau pH rendah dan
osmolalitas yang tinggi, mungkin hilang. Pasien uraemic juga mengalami
immunosuppressi ringan dan pembentukan protective uroepithelial mucus bisa jadi
terhambat (LE: 2b).
Namun, terlepas dari sejumlah pengecualian, terdapat sedikit bukti untuk
hubungan kausal antara pre-existing penyakit ginjal kronis dan UTI persisten.
Hasil dari menghilangkan sebuah scarred atau hydronephrotic kidney dengan
harapan menyembuhkan infeksi seringkali cukup mengecewakan.
Sejumlah kecil pengecualian akan termasuk berikut ini:

8.4.1 Adult dominant polycystic kidney disease (ADPKD)


Infeksi saluran urinary adalah sebuah komplikasi nyata ADPKD, dengan
symptomatic UTI menunjukkan fitur ini dala 23-42% pasien, yang biasanya
wanita. Mungkin akan sulit untuk memperoleh sebuah kultur positif dalam
media laboratorium standar, tapi pyuria umum terjadi, khususnya di tahapan
akhir kemajuan penyakit. Acute pyelonephritis termasuk umum dan bisa
berasal dari infeksi pyogenic dalam sista (LE:3).
Efikasi perawatan antibiotik bisa jadi akan tergantung pada apakah sista
diperoleh dari proximal (sekresi aktif) atau distal tubules (difusi pasif) dan
dalam solubilitas lipid dari agen yang digunakan. Cephalosporin, gentamicin
dan ampicillin, yang merupakan perawatan standar untuka cute pyelonephritis
dan membutuhkan transport aktif seringkali tidak efektif (LE;2b).
Fluoroquinolone umumnya adalah yang paling efektif (GR:A).
Setelah transplantasi, graft keseluruhan dan tingkat survival pasien tidak
berbeda antara kelompok ADPKD dan kelompok kontrol (LE:2a). Namun,
karena monitoring erat terhadap pasien, UTI dan episode septicaemic masih
merupakan penyebab utama morbiditas, sehingga bilateral nephrectomy adalah
satu-satunya pilihan.
Penyakit polycystic tidak boleh dibingungkan dengan penyakit renal cystic
di ginjal tahap akhir, yang tidak memberikan pengaruh pada UTI.
Isu mengenai apakah komplikasi urologi, termasuk UTI mempengaruhi
kemajuan gagal ginjal dalam penyakit polycystic atau dalam patologi ginjal
lain termasuk kontroversial. Symptomatic UTI yang parah bisa
mengindikasikan sebuah prognosis negatif, khususnya pada pria penderita
ADPKD.

8.4.2 Renal calculi


Nephrolithiasis, khususnya dari batu struvite infektif, obstructive uropathy dan
gross reflux, jelasnya mempromosikan infeksi, meski tidak selalu demikian.
Namun masih diragukan apakah perawatan vigor asymptomatic bacteriuria atau
bahkan UTI klinis yang ringan bisa memberikan perbedaan terhadap kemajuan
penyakit ginjal (LE:3).
Sangat mengecewakan bahwa sejumlah kecil studi penelitian telah
memberikan data serial jangka panjang yang mengidentifikasikan kerusakan
ginjal dan hubungan kausalnya dengan infeksi. Dalam hal ini, merupakan
sebuah ketertarikan tersendiri bahwa sebuah studi pada 100 pasien yang
menjalani reflux prevention surgery setidaknya 20 tahun sebelumnya telah
baru-baru ini dipublikasikan. Disimpulkan bahwa bahkan pasien yang reflux
prevention surgery-nya telah sukses juga tetap rentan terhadap recurrent UTI,
hipertensi dan komplikasi, yang terkadang juga memasukkan progressive renal
scarring. Konsekuensi semacam ini harus setidaknya menginformasikan
keputusan pasien dalam memutuskan antara melakukan operasi dan perawatan
medis VUR.

8.5 UTI dalam transplantasi ginjal


Infeksi saluran urinary termasuk umum terjadi setelah transplantasi ginjal.
Bacteriuria eksis dalam 35-80% pasien, meski resiko ini telah direduksi dengan
perbaikan dalam operasi donasi, yang telah menurunkan dosis terapi
immunosuppresive dan antibiotik profilaksis.
8.5.1 Infeksi organ donor
Faktor awal yang mempengaruhi UTI akan termasuk infeksi dalam ginjal yang
ditransplantasikan. Jelasnya, donor organ harus discreening untuk beragam
infeksi viral dan bakteri. Pembahasan mendetil dalam proses ini berada dilua r
batasan panduan ini. Namun, harus diakui bahwa saluranurinary dari jenazah
donor jarang diinvestigasi, bahkan jika kultur mid-stream urine (MSU) sudah
positif. Antibiotik diberikan secara empiris, tapi biasanya kecurigaan dalam
kemunculan awal abnormalitas saluran renal dimunculkan selama operasi
donasi organ. Dibawah situasi ini, hanya abnormalitas renal atau ureteric yang
paling nyata akan terdeteksi. Terkadang, donasi organ akan diabaikan di
tahapan akhir ini.
Setelah ginjal dipindahkan dari kotak penyimpanannya, effluent dari vena
renal dan cairan di sekelilingnya dalam kantong plastik steril yang menampung
potongan ginjal harus secara ideal dikulturkan karena mikroorganisme
cenderung telah terintroduksi selama proses donasi. Kateter kandung kemih
dan ureteric stent mempromosikan hilangnya lapisan glycosoaminoglycan dari
tubuh asing. Infeksi dalam ginjal asli bisa menjadi lebih parah sebagai akibat
dari immunosuppression maksimum.
Dalam penerima transplantasi ginjal, permasalahan berikut ini tampak
paling nyata: papillary necrosis, khususnya pada diabetes mellitus, massive
infective VUR, penyakit polycystic, dan infective calculi. Terdapat pula
concern mengenai semakin meningkatnya anak-anak dengan congenital
uropathy, seringkali diasosiasikan dengan disfungsi kandung kemih
neuropathic dan kombinasi dari obstruksi intravesical, poor bladder
compliance, residual urine dan VUR. Sebuah assessment urodynamic full,
mengembangkan sebuah self-catheterisation intermittent rutin dan operasi
kandung kemih yang diperlukan harus diselesaikan sebelum transplantasi
ginjal.
Urinary diversion dan bladder augmentation dan substitution juga telah
diselesaikan secara komplit pada pasien dengan perawatan dialisis dan setelah
transplantasi, meski bacteriuria masih umum terjadi dan mungkin
membutuhkan perawatan antibiotik.
Dalam 3 bulan pertama, UTI akan cenderung symptomatic dengan relaps
yang tinggi. Nantinya, terdapat tingkatan pyelonephritis dan bacteraemia yang
lebih rendah dan respon yang lebih baik terhadap antibi otik kecuali terdapat
komplikasi urologi (misal., fistula, atau obstruksi dalam saluran urinary).
Infarction, baik seluruh ginjal atau satu segmen saja yang disebabkan karena
kerusakan arteri, bisa mempromosikan Uti melalui kolonisasi bakteri di dalam
jaringan yang mati. Hal ini seringkali terjadi pada patogen komensal atau
fastidious. Infeksi bisa jadi mustahil untuk dihilangkan hingga ginjal, atau
setidaknya segmen yang mati tersebut, dihilangkan.

8.5.2 Kegagalan graft


Terdapat beberapa mekanisme potensial dimana UTI yang parah bisa
menyebabkan kegagalan graft. Terdapat anggapan awal bahwa reflux ke dalam
graft dapat mengarah pada pyelonephritis dan parenchymal scarring. Namun,
hasil temuan ini masih belum dikonfirmasikan dan kebanyakan dokter bedah
tidak memberikan upaya khusus untuk melakukan sebuah antireflux
anastomosis.
Infeksi bisa secara teoretis menginduksi kegagalan graft dengan tiga
mekanisme lain yakni dengan direct effect dari sitokin, faktor pertumbuhan
(misal., tumour necrosis factor (TNF)) dan radikal bebas sebagai bagian dari
rangkaian inflammasi. UTI juga bisa mereaktivasikan infeksi cytomegalovirus,
yang bisa mengarah pada penolakan transplantasi akut. Terkadang akan sangat
sulit untuk membedakan penolakan dari infeksi (LE:2b).
Selama bertahun-tahun, polyomavirus tipe BK telah dituliskan sebagai
sebuah kandidat yang mungkin dalam menyebabkan transplant ureteric
stenosis. Peningkatan deteksi dari apa yang disebut sebagai ‘decoy cells’ pada
urin dan dari virus DNA dengan polymerase chain react ion telah
mengkonfirmasikan hubungan kausal antara infeksi dan obstruksi, tapi juga
dengan interstitial nephropathy yang berkembang menjadi kehilangan graft
dalam kemungkinan 5% penerima. Virus ini rentan terhadap perawatan dengan
agen antiviral cidofovir (LE:2a).

8.5.3 Ginjal dan transplantasi pankreas organ-utuh


Secara simultan ginjal dan transplantasi pankreas organ -utuh bisa menyajikan
komplikasi urologi spesifik ketika kandung kemih diplih untuk drainage sekresi
eksokrin. Hal ini bisa termasuk recurrent UTI, chemical urethritis dan bladder
calculi dari tingkat keparahan tertentu yang menjadmin konversi cystoenteric.
Resiko komplikasi semacam ini diminimalisasikan ketika abnormalitas
urodynamic seperti misalnya obstruksi, teridentifikasi dan terkoreksi dengan
baik sebelum prosedur transplantasi (LE:3).

8.6 Terapi antibiotik dalam gagal ginjal dan penerima transplantasi


Kebanyakan informasi mendetil dalam antibiotik yang diresepkan dalam
kegagalan ginjal diringkas dalam Tabel 8.1-8.5 dan Lampiran 16.3. Penting untuk
mengetahui bahwa dialisis peritoneal dan hemodialisis membebaskan sejumlah
antibiotik tertentu, yang harus dihindari atau diberikan pada dosis yang lebih
tinggi. Selain itu, juga terdapat interaksi penting untuk memperhitungkan antara
agen immunosuppresive dan antibiotik.

Tabel 8.1: Penggunaan antibiotik untuk UTI dengan kerusakan ginjal

Kebanyakan antibiotik memiliki indeks terapeutik yang luas. Tidak ada


penyesuaian dosis yang diperlukan hingga GFR<20mL/menit, kecuali antibiotik
dengan potensi nephrotoxic, misal aminoglycosida.
Obat yang hilang dengan dialisis harus diberikan setelah perawatan dialisis.
Kombinasi loop diuretics (misal., furosemide) dan sebuah cephalosporin
termasuk nephrotoxic.
Nitrofurantoin dan tetracyclines dikontraindikasikan, tapi tidak untuk
doxycycline.
GFR=glomerular filtration rate

Tabel 8.2: Pembersihan/clearance antibiotik pada hemodialisis

Terdialisis Sedikit terdialisis Tidak terdialisis


Amoxycillin/ampicillin Fluoroquinolone* Amphotericin
Carbenicillin Co-trimoxazole Methicillin
Cephalosporin* Erythromycin Teicoplanin
Aminoglycosida* Vancomycin
Trimethoprim
Metronidazole
Aztreonam*
Fluconazole*
*Obat dibersihkan dengan dialisis peritoneal
Tabel 8.3: Perawatan tuberculosis dalam gagal ginjal

Rifampicin dan isoniazid (INH) tidak terhilangkan dengan dialisis. Berikan


pyridoxine.
Ethambutol tidak terdialisis. Kurangi dosis jika GFR<30 mL/menit.
Hindari rifampicin dengan cyclosporin.
GFR=glomerular filtration rate
Tabel 8.4: Rekomendasi untuk pencegahan dan perawatan UTI dalam
transplantasi ginjal

Rawat infeksi pada penerima sebelum transplantasi.


Kulturkan sampel jaringan donor dan perfusate.
Perioperatif antibiotic profilaksis.
Dosis rendah TMP-SMX (co-trimoxazole) (LE:1b, GR:A) selama enam bulan
Perawatan empiris dari infeksi overt (quinolone, TMP -SMX selama 10-14 hari)
TMP-SMX=trimethoprim-sulphamethoxazole

Tabel 8.5: Interaksi obat dengan cyclosporing dan tacrolimus

Rifampicin
Erythromycin
Aminoglycoside
TMP-SMX
Amphotericin B
TMP-SMX=trimethoprim-sulphamethoxazole

8.6.1 Treatment UTI dalam penerima transplantasi ginjal


Perawatan untuk symptomatic UTI akan sama seperti perawatan yang diberikan
pada pasien non transplantasi. Namun, kurun waktu pendek dalam perawatan
ini masih belum dikembangkan, dan dalam kebanyakan kasus 10 -14 hari
perawatan diberikan.
Pilihan antibiotik ditentukan oleh kebutuhan khusus untuk penetrasi ke
parenkim renal daripada hanya untuk antibiotik ‘mukosal’. Fluoroquinolone
tampaknya cukup efektif.
Terdapat bukti yang bagus untuk manfaat menguntungkan dari
memperlakukan asymptomatic bacteriuria dalam enam bulan pertama setelah
transplantasi ginjal (LE:2a). Pasien harus diinvestigasi untuk komplikasi
bedah.
Dalam sebagian besar unit, kombinasi trimethoprim dan sulphamethoxazole
(co-trimoxazole) termasuk efektif dalam mencegah UTI ( LE:1b). Hal ini juga
akan mencegah Pneumocystis carinii pneumonia (PCP) dan infeksi dalam
organisme fastidious langka lainnya. Antibiotik profilaksis dosis rendah
dengan co-trimoxazole telah direkomendasikan untuk enam bulan setelah
transplantasi. Hal ini akan mencakup periode resiko tinggi ketika infeksi
cenderung symptomatic dan diasosiasikan dengan kerusakan graft akut. Pada
dosis rendah, interaksi negatif dengan cyclosporin tidak terjadi, meski dosis
lebih tinggi yang disarankan oleh sejumlah unit menghasilkan nephrotoxicity
sinergistik dengan trimethoprim.
Sejumlah interaksi obat yang lain perlu diperhatikan, misal., gentamicin,
co-trimoxazole dan amphotericin B yang mempromosikan toksisitas
cyclosporin dan tacrolimus. Rfampicin dan erythromicin juga berinteraksi
dengan calcinerin inhibitor dengan jalan meningkatkan sintetase sitokrom p450
dan menghambat metabolisme hepatic cyclosporin A.
Pada pasien manapun yang mengalami relapsing atau recurrent infection,
sebuah penyebab anatomis, seperti misalnya komplikasi urologi dalam ginjal
yang ditransplantasikan atau disfungsi kandung kemih penerima, harus
diperhatikan dan dirawat dengan seksama.

8.6.2 Infeksi fungal


Infeksi candidal bisa terjadi pada pasien immunosuppresed manapun, tapi lebih
umum terjadi pada pasien diabetes dan mereka yang memiliki residual urine
kronis dan pada mereka yang memiliki indwelling catheter atau stent. Akan
bijaksana untuk merawat pasien dengan agen antifungal (fluconazole,
amphotericin B plus flucytosine) bahkan ketika mereka termasuk
asymptomatic. Pelepasan kateter atau stent biasanya akan diperlukan (GR:B).

8.6.3 Schistosomiasis
Schistosomiasis adalah sebuah masalah yang familiar bagi pasien yang dirawat
untuk gagal ginjal tahap akhir dari lokasi dimana penyakit ini endemik.
Transplantasi ginjal akan memungkinkan, bahkan ketika donor hidup dan
penerima memiliki lesi aktif, mengingat mereka dalam perawatan. Pengobatan
kombinasi (praziquantil dan oxaminoquine) akan direkomendasikan untuk 1
bulan. Dalam sebuah percobaan yang membandingkan pasien terinfeksi dengan
mereka yang tidak menderita schistosomiasis, tidak ada perbedaan antara
insidensi penolakan akut dan kronis. Namun, UTI dan komplikasi urologi
terjadi pada kelompok yang terinfeksi dan dosis cyclosporin yang lebih tinggi
akan diperlukan. Meski adanya hal ini, disimpulkan bahwa schistosomiasis
yang aktif tidak mendahului transplantasi (LE:3). Untuk detil lebih jauh
mengenai schistosomiasis dalam infeksi saluran genitourinary lihat Bichler et
al.

8.7 Immunosuppression
Telah banyak diketahui bahwa infeksi viral dan fungal umum terjadi pada pasien
dengan immunosuppresion.

8.7.1 Infeksi human immunodeficiency virus (HIV)


Infeksi HIV dapat mengarah pada gagal ginjal akut melalui penyakit sistemik
parah non spesifik, dan ke gagal ginjal kronis melalui beragam nephropaties.
Hal ini termasuk HIV-induced thrombotic microangiopathy, immune-mediated
glomerulonephritis dan nephropathy yang disebabkan karena kerusakan seluler
terinduksi-virus, terutama ke sel epitel glomerular. Terapi kombinasi
menggunakan corticosteroid, ACE inhibitor, dan terapi antriretroviral yang
sangat aktif tampaknya dapat menunda dan mencegah progress dari
nephropathy, meski bukti dari percobaan acak tidak tersedia. Infeksi HIV oleh
karenanya tidak lagi merupakan kontraindiksi terhadap terapi penggantian
ginjal.
Tempat immunosuppression per se dalam perkembangan UTI masih tetap
tidak terpecahkan. Pasien dengan gagal ginjal tahap akhir umumnya tidak
rentan terhadap patogen urinary gram-negatif, meski mereka memperoleh
infeksi yang tidak biasa dan granulomatous. Pasien memiliki bukti adanya
penurunan imunitas seluler dan humoral.
Namun, situasi ini sedikit lebih jelas pada pasien pria dengan HIV dan
AIDS, dimana terdapat hubungan erat antara hitungan CD4 dan resi ko
bacteriuria, khususnya pada pasien yang hitungannya mencapai <200 sel/mL.
Sekitar 40% pasien dengan bacteriuria termasuk asymptomatic. Pada pasien
ini, PCP profilaksis dari tipe yang digunakan dalam pasien transplantasi
mungkin tidak akan mengurangi laju bacteriuria, mungkin karena
perkembangan organisme resisten sebelumnya.

8.7.2 Infeksi viral dan fungal


Infeksi viral dan fungal relatif umum pada pasien dengan immunosuppression.

8.8 Daftar pustaka

9. URETHRITIS
9.1 Epidemiologi
Dari sebuah sudut pandang terapeutik dan klinis, gonorrheal urethritis harus
dibedakan dari urethritis non spesifik. Di Eropa Tengah, urethritis non spesifik
jauh lebih sering terjadi daripada gonorrheal urethritis. Terdapat korelasi antara
persetubuhan dan status sosioekonomi rendah dan frekuensi infeksi karena
Neisseria gonorrhoeae dan C. trachomatis. Infeksi tersebar dengan kontak seksual.

9.2 Patogen
Patogen akan termasuk N. gonorrhoeae, C. trachomatis, Mycoplasma genitalium
dan Trichomonas vaginalis. Frekuensi dari spesies yang berbeda akan bervariasi
antara populasi pasien. Mycoplasma hominis mungkin tidak menyebabkan
urethritis dan Ureaplasma urealyticum adalah penyebab yang jarang terjadi. Dalam
sebagian besar kasus, bukti klinis Mycoplasma atau Ureaplasma disebabkan oleh
kolonisasi asymptomatic dari saluran urogenital.

9.3 Rute infeksi dan patogenesis


Agen kausatif akan tetap eksis secara ekstraseluler di lapisan epitel atau menembus
ke epitel (N.gonorrhoeae dan C. trachomatis) dan menyebabkan infeksi p yogenic.
Meski muncul dari urethritis, chlamydiae dan gonococci bisa tersebar melalui
salurna urogenital untuk menyebabkan epididymitis pada pria atau cervicitis,
endometritis dan salpingitis pada wanita. Bukti terkini telah menyatakan bahwa
Myc. genitalium juga bisa menyebabkan cervicitis dan penyakit inflammatory
pelviks pada wanita (LE:3).

9.4 Jalur klinis


Mucopurulent atau purulent discharge, alguria, dysuria, dan urethral pruritus
adalah gejala urethritis. Namun, banyak infeksi di urethra yang asymptomatic.

9.5 Diagnosis
Sebuah gram stain dari sebuah urethral discharge atau sebuah urethral smear yang
menunjukkan lebih dari lima leukosit per high power field (x1,000) dan pada
akhirnya, gonococci berada secara intraseluler sebagai gram -negatif diplococci,
mengindikasikan pyogenic urethritis (LE:3, GR:B). Gram stain adalah uji
diagnostik cepat yang lebih disukai untuk mengevaluasi urethritis. Ini sangatlah
sensitif dan spesifik dalam mendokumentasikan urethritis dan keberadaan atau
ketidak beradaan infeksi gonococcal. Sebuah uji leukosit yang positif atau > 10
leukosit per high power field (x400) dalam spesimen voiding urine pertama akan
diagnostik. Pada semua pasien dengan urethritis, dan ketika transmisi seksual
diduga terjadi, tujuannya haruslah untuk mengidentifikasikan organisme
patogenik. Jika sebuah sistem amplifikasi digunakan untuk mengidentifikasikan
patogen, spesimen voiding pertama bisa digunakan dan bukannya urethral smear.
Trichomonas sp biasanya dapat diidentifikasikan secara mikroskopik.

9.6 Terapi
9.6.1 Perawatan gonorrhea urethritis
Panduan berikut ini untuk terapi sesuai dengan rekomendasi dari US Cente rs
for Disease Controls and Prevention. Antimikroba berikut ini bisa
direkomendasikan untuk perawatan gonorrhoeae.

Sebagai perawatan pilihan pertama


 Ceftriaxone, 1 g intramuscularly (dengan anestetik lokal) sebagai dosis
tunggal.
 Azithromycin, 1 g secara oral sebagai dosis tunggal

Regimen alternatif
 Ciprofloxacin, 500 mg secara oral sebagai dosis tunggal
 Ofloxacin, 400 mg secara oral sebagai dosis tunggal
 Levofloxacin, 250 mg secara oral sebagai dosis tunggal

9.6.2 Perawatan non-gonorrhe urethritis


Perawatan berikut ini telah diaplikasikan dengan sukses pada urethritis non -
gonorrhoeae:

Sebagai pilihan perawatan pertama LE GR


Azithromycin, 1 g secara oral sebagai dosis tunggal 1b A
Doxycycline, 100 mg secara oral dua kali sehari selama 7 hari 1b A
Sebagai pilihan perawatan kedua
Basis erythromycin, 500 mg secara oral empat kali sehari 1b A
selama 14 hari
Erythromycin ethylsuccinate, 800 mg secara oral empat kali
sehari selama 7 hari
Ofloxacin, 300 mg secara oral dua kali sehari selama 7 hari 1b A
Levofloxacin, 500 mg secara oral sekali sehari selama 7 hari

Doxycycline dan azithromycin dianggap sama efektifnya dalam perawatan


infeksi chlamydial, namun infeksi dengan Myc. genitalium bisa memberikan
respon lebih baik pada azythromycin. Erithromycin kurang efektif dan
menyebabkan lebih banyak efek samping. Pada wanita hamil, fluoroquinolone
dan doxycycline dikontraindikasikan, sehingga, selain erythromycin dan
azythromycin, sebuah regimen dengan amoxicillin 500 mg tiga kali sehari
selama 7 hari juga direkomendasikan.
Jika terapi gagal, seseorang harus mempertimbangkan untuk merawat
infeski dengan menggunakan T. vaginalis dan/atau Mycoplasma dengan
kombinasi metronidazole (2 g secara oral sebagai dosis tunggal) dan
erythromycin (500 mg secara oral empat kali sehari selama 7 hari). Seperti
dalam STD lainnya, perawatan/treatment terhadap partner seksual juga perlu
dilakukan.

9.7 Follow up dan pencegahan


Pasien harus kembali untuk evaluasi jika gejala tetap ada atau recur (muncul
kembali) setelah penyelesaian terapi. Pasien seharusya diinstruksikan untuk absen
dari hubungan seksual selama 7 hari setelah terapi dimulai, mengingat gejala
mereka telah diatasi dan partner seksual mereka telah dirawat pula. Orang yang
telah didiagnosis dengan STD baru harus menerima pengujian untuk STD lain,
termasuk sifilis dan HIV.

9.8 Daftar pustaka

10. PROSTATITIS BAKTERI


10.1 Ringkasan dan rekomendasi
Prostatitis bakteri adalah sebuah entitas penyakit yang didiagnosis secara klinis
dan oleh bukti inflammasi dan infeksi terlokalisasi pada prostat. Menurut durasi
gejala, prostatitis bakteri dideskripsikan sebagai akut atau kronis, ketika gejala
tetap eksis selama setidaknya 3 bulan. Direkomendasikan bahwa urolog Eropa
menggunakan klasifikasi yang disarankan oleh National Institute of Diabetes and
Digestive and Kidney Disease (NIDDK) dari National Institute of Health (NIH),
dimana prostatitis bakteri dengan infeksi terkonfirmasi atau te rduga dibedakan
dari chronic pelvic pain syndrome (CPPS).
Prostatitis bakteri akut bisa menjadi infeksi yang serius. Pemberian
parenteral dari dosis tinggi sebuah antibiotik bactericidal biasanya akan
diperlukan, yang bisa termasuk sebuah penicillin spektrum luas, sebuah
cephalosporin generasi ketiga, atau sebuah fluoroquinolone. Semua agen ini bisa
dikombinasikan dengan sebuah aminoglycoside untuk terapi awal. Perawatan akan
diperlukan hingga terdapat defervescence dan normalisasi parameter infeksi
(LE:3, GR:B). Pada kasus yang tidak terlalu parah, sebuah fluoroquinolone dapat
diberikan secara oral selama 10 hari (LE:3, GR:B).
Pada prostatitis bakteri kronis, dan jika infeksi diduga kuat dalam CPPS,
lebih disukai jika fluoroquinolone harus diberikan sel ama setidaknya 4 minggu.
Dalam kasus resistensi fluoroquinolone atau reaksi negatif, trimethoprim dapat
diberikan secara oral untuk periode 4-12 minggu setelah diagnosis awal. Pasien
kemudian harus di-assess ulang dan antibiotik hanya akan dilanjutkan jika kultur
pra-perawatan bernilai positif dan/atau pasien telah melaporkan pengaruh positif
dari perawatan yang diberikan. Periode perawatan total 4 -6 minggu
direkomendasikan (LE:3, GR:B).
Pasien dengan CPPS dirawat secara empiris dengan beragam modalitas
medis dan fisik. Manajemen rasa sakit dan gejala terkait lainnya dicakup dalam
EAU Guidelines on Chronic Pelvic Pain.

10.2 Introduksi dan definisi


Secara tradisional, istilah prostatitis telah memasukkan prostatitis bakteri akut dan
kronis, dimana sebuah infective origin telah diterima dan istilah sindrom
prostatitis atau baru-baru ini, CPPS, dimana tidak ada agen infektif yang bisa
ditemukan dan yang asal usulnya multifaktorial dan dalam sebagian besar kasus
termasuk samar.
Prostatitis dan CPPS didiagnosa oleh gejala dan bukti inflammasi dan
infeksi terlokalisasi pada prostat. Sebuah patogen kausatif, terdeteksi oleh metode
rutin dalam hanya 5-10% kasus dan dimana terapi antimikroba oleh karenanya
memiliki sebuah basis rasional. Sisa pasien dirawat secara empiris dengan beragam
modalitas medis dan fisik. Namun, perbaikan terkini dalam klasifikasi dan aplikasi
metode modern, termasuk biologi molekuler, harus memungkinkan sistematisasi
yang tepat dari perawatan.
Bab ini mengkaji infeski bakteri terdokumentasi atau terduga dari prostat.

10.3 Diagnosis
10.3.1 Sejarah dan gejala
Menurut durasi gejala, prostatitis bakteri dideskripsikan sebagai akut atau
kronis, yang terakhir disebut didefinisikan oleh gejala yang tetap eksis selama
setidaknya 3 bulan. Gejala yang dominan adalah rasa sakit di beragam lokasi
dan LUTS (Tabel 10.2 dan 10.3). Prostatitis bakteri kronis seringkali
merupakan penyebab recurrent UTI pada pria.

Tabel 10.1: Klasifikasi prostatitis dan CPPS menurut NIDDK/NIH


Tipe Nama dan deskripsi
I Prostatitis bakteri akut
II Prostatitis bakteri kronis
III Prostatitis abakteri kronis – CPPS
IIIA CPPS inflammatory (sel putih pada semen/EPS/VB3)
IIIB CPPS non inflammatory (tidak ada sel putih pada
semen/EPS/VB3)
IV Prostatitis inflammatory asymptomatic (prostatitis histologi)
CPPS=chronic pelvic pain syndrome, EPS=expressed prostatic secretion,
VB3=voided bladder urine 3 (urine setelah pemijatan pros tat)

Tabel 10.2: Lokalisasi rasa sakit pada pasien dengan gejala mirip
prostatitis*
Lokasi rasa sakit Persentase pasien
Prostat/perineum 46%
Scrotum dan/atau testis 39%
Penis 6%
Kandung kemih urinary 6%
Punggung bawah 2%
*Diadaptasi dari Zermann et al.

Tabel 10.3: LUTS pada pasien dengan gejala mirip prostatitis*


Kebutuhan untuk buang air kecil yang sering
Kesulitan dalam buang air kecil, misal aliran lemah dan tegang/straining
Rasa sakit saat buang air kecil atau yang meningkat sejalan dengan urinasi
*Diadaptasi dari Alexander et al.

10.3.1.1 Kuesioner gejala


Gejala tampaknya memiliki basis yang kuat untuk digunakan sebagai
sebuah parameter klasifikasi dalam prostatitis bakteri dan juga dalam CPPS.
Kuesioner gejala prostatitis oleh karenanya telah dikembangkan untuk
kuantifikasi gejala. Mereka termasuk Chronic Prostatitis Symptom Index
(CPSI), yang baru-baru ini dikembangkan oleh International Prostatitis
Collaborative Network (IPCN), dimulai oleh NIH (AS).
Meski CPSI telah divalidasikan, hingga saat ini, manfaatnya dalam
studi klinis masih belum pasti. Kuesioner ini mengandung empat pertanyaan
berkenaan dengan rasa sakit atau rasa tidak nyaman, dua yang berkenaan
dengan urinasi, dan tiga yang terkait dengan kualitas hidup (lihat Lampiran
16.5).

10.3.2 Temuan klinis


Pada prostatitis akut, prostat bisa jadi membengkak dan lunak dalam digital
rectal examination (DRE). Pemijatan prostatik dikontraindikasikan. Jika tidak,
prostat biasanya normal dalam palpasi. Sebuah pertimbangan yang esensial
dalam evaluasi klinis adalah untuk mengesampingkan abscess prostatik.
Dalam kasus gejala yang terus eksis (gejala “prostatitis kronis”) CPPS dan
juga gangguan urogenital dan ano-rectal lain harus turut diperhitungkan.
Gejala prostatitis kronis atau CPPS dapat menutupi tuberculosis prostat.
Pyospermia dan hematospermia pada pria di wilayah endemik atau dengan
sebuah sejarah tuberculosis harus diinvestigasi untuk urogenital tuberculosis.
10.3.3 Kultur urin dan expressed prostatic secretion
Investigasi yang paling enting dalam evaluasi pasien dengan prostatitis akut
adalah kultur mid-stream urine (MSU). Dalam prostatitis bakteri kronis, kultur
lokalisasi bakteriologis kuantitatif dan mikroskopi dari urin tersegmentasi dan
dari expressed prostatic secretion (EPS), seperti yang dideskripsikan oleh
Meares dan Stamey adalah investigasi yang penting (lihat Lampiran 16.6).
Enterobacteriaceae, khususnya E. coli, adalah patogen dominan dalam
prostatitis bakteri akut (Tabel 10.4). Dalam prostatitis bakteri kronis, spektrum
strain akan lebih luas. Signifikasi bakteri intraseluler, seperti misalnya C.
trachomatis, tidaklah pasti. Pada pasien dengan immune deficiency atau infeksi
HIV, prostatitis dapat disebabkan oleh patogen fastidious, s eperti misalnya M.
tuberculosis, Candida sp dan patogen yang langka seperti misalnya Coccidioide
immitis, Blastomyces dermatidis, dan Histoplasma capsulatum. Dalam kasus
dugaan tuberkulosis prostat, urin harus diselidiki untuk Mycobacterium spp
dengan teknik PCR.

Tabel 10.4: Patogen yang paling umum dalam prostatitis


Patogen yang dikenali secara etiologi*
E. coli
Klebsiella sp
Prot. mirabilis
Enterococcus faecalis
P. aeruginosa

Organisme dengan signifikansi yang masih diperdebatkan


Staphylococci
Streptococci
Corynebacterium sp
C. trachomatis
U. urealyticum
Myc. hominis
*Diadaptasi dari Weidner et al dan Schneider et al.

10.3.4 Biopsi prostat


Biopsi perineal tidak bisa direkomendasikan sebagai work -up rutin dan harus
digunakan hanya untuk tujuan riset. Biopsi transrectal prostate tidak disarankan
untuk dilakukan dalam prostatitis bakteri (LE:4, GR:C).

10.3.5 Uji lain


Transrectal ultrasound (TRUS) dapat mengungkapkan intraprostatic abscesses,
kalsifikasi dalam prostat dan dilatasi vesikel seminal tapi tidak reliable dan
tidak bisa digunakan sebagai sebuah alat diagnostik dalam prostatitis.

10.3.6 Investigasi tambahan


10.3.6.1 Analisa ejakulasi
Sebuah analisa ejakulasi tidak direkomendasikan untuk investigasi
mikrobiologi karena sensitivitas dan spesifisitas yang rendah jika
dibandingkan dengan uji 2- atau 3-glass. Analisa ejakulasi seringkali
dilibatkan sebagai bagian dari investigasi atas male accessory gland
infection (MAGI) dan analisa ini menyediakan informasi mengenai kualitas
sperma. Kelompok kerja EAU percaya bahwa panduan dalam prostatitis
seharusnya tidak mengandung set pemeriksaan diagnostik yang berbeda.
Seorang urolog yang berpengalaman seharusnya memutuskan investigasi
mana yang relevan untuk tiap pasien individual. Bladder ouflow dan
urethral obstruction seharusnya dipertimbangkan dan dihilangkan dari
kemungkinan menggunakan uroflowmetry, retrograde urethrography atau
endoskopi.

10.3.6.2 Prostate Specific Antigen (PSA)


Antigen spesifik prostat seringkali meningkat dalam prostatitis bakteri akut
dan infeksi urogenital lain. Jika seorang pasin memiliki peningkatan PSA
dan bukti adanya inflammasi prostatik, serup PSA akan ternormalisasi
setelah perawatan antimikroba selama 4 minggu dalams ekitar 50% pasien.
Sebuah penundaan setidaknya 3 bulan harus dilakukan sebelum bisa
diasumsikan bahwa sebuah level PSA yang stabil telah dicapai. Pengukuran
PSA bebas dan PSA total tidak memberikan informasi diagnostik praktis
dalam prostatitis.
10.4 Perawatan
10.4.1 Antibiotik
Antibiotik adalah penyelamat hidup dalam prostatitis bakteri akut dan
direkomendasikan pula dalam prostatitis bakteri kronis.
Prostatitis bakteri akut adalah sebuah infeksi serius dengan demam, rasa
sakit lokal yang intens, dan gejala umum. Pemberian parenteral dari dosis
tinggi antibiotik bakterisidal, seperti misalnya penicillim berspektrum luas,
sebuah cephalosporin generasi ketiga atau sebuah fluoroquinolone, harus
diberikan. Untuk terapi awal, manapun dari antibiotik tersebut dapat
dikombinasikan dengan sebuah aminoglycosida. Setelah defervescene dan
normalisasi parameter infeksi, terapi oral dapat digantikan dan dilanjutkan
untuk total 2-4 minggu.
Antibiotik yang direkomendasikan dalam prostatitis bakteri kronis, bersama
dengan kelebihan dan kekurangan mereka, dituliskan dalam Tabel 10.5.
Fluoroquinolone, seperti misalnya ciprofloxacin dan levofloxacin, dianggap
obat pilihan karena properti farmakokinetik mereka yang menguntungkan
(LE:2b, GR:B), profil keamanan mereka yang umumnya bagus, dan aktivitas
antibakteri melawan patogen gram negatif, termasuk P. aeruginosa. Selain itu,
levofloxacin termasuk aktif terhadap patogen gram positif dan atipikal, seperti
misalnya C. trachomatis dan mycoplasma genital (LE:2b, GR:B).
Durasi perawatan antibiotik didasarkan pada pengalaman dan opini ahli
serta didukung oleh banyak studi klinis. Pada prostatitis bakteri kronis,
antibiotik harus diberikan selama 4-6 minggu setelah diagnosis awal. Dosis
yang relatif tinggi akan diperlukan dan terapi oral lebih disukai (LE:3, GR:B).
Jika bakteri intraseluler telah dideteksi atau diduga, tetracyclines atau
erythromycin harus diberikan (LE:2b, GR:B).

Tabel 10.5: Antibiotik dalam prostatitis bakteri kronis*

Antibiotik Kelebihan Kekurangan Rekomendasi


Fluoroquinolone Farmokinetik Tergantung pada Direkomendasikan
positif senyawa
Penetrasi yang Interaksi obat
bagus ke dalam
prostat
Bioavailabilitas Fototoksisitas
yang bagus
Farmakokinetik Peristiwa negatif
oral dan dalam sistem saraf
parenteral yang sentral
ekuivalen
(tergantung pada
senyawa)
Aktivitas yang
bagus terhadap
patogen tipikal
dan atipikal dan
P. aeruginosa
Secara umum,
profil keamanan
yang bagus
Trimethoprim Penetrasi yang Tidak ada Dipertimbangkan
bagus ke prostat aktivitas terhadap
Pseudomonas,
beberapa
enteroccci dan
beberapa
Enterobacteriaceae
Bentuk oral dan
parenteral
tersedia
Relatif murah
Tidak perlu
dimonitor
Aktif terhadap
patogen yang
paling relevan
Tetracycline Murah Tidak ada Digunakan untuk
aktivitas terhadap indikasi khusus
P. aeruginosa
Bentuk oral dan Aktivitas tak
parenteral reliable terhadap
tersedia staphylococci
coagulase-
negative, E.coli,
Enterobacteriaceae
lain dan
enterococci
Aktivitas yang Terkontraindikasi
bagus terhadap dalam gagal ginjal
Chlamydia dan dan liver
Mycoplasma Resiko sensitisasi
kulit
Macroslides Cukup aktif Data support yang Digunakan untuk
terhadap bakteri minim dari indikasi khusus
gram positif percobaan klinis
Aktif terhadap
Chlamydia
Penetrasi yang Aktivitas yang
bagus ke dalam tidak reliable
prostat terhadap bakteri
gram negatif
Relatif non toksik
*Diadaptasi dari Bjerklund Johansen et al.

10.4.2 Injeksi antibiotik intraprostatik


Perawatan ini belum dievaluasi dalam percobaan terkontrol dan seharusnya
tidak dipertimbangkan.

10.4.3 Drainage dan pembedahan/surgery


Kurang lebih 10 persen pria dengan prostatitis akut akan mengalami retensi
urinary yang bisa diatasi dengan suprapubic, intermittent atau indwelling
catheterisation. Penempatan suprapubic cystotomy umumnya
direkomendasikan. Penggunaan kateterisasi tanpa bukti retensi dapat
meningkatkan resiko progres ke prostatitis kronis. Perawatan alpha -blocker
juga telah direkomendasikan, tapi bukti klinis terkait manfaatnya masih buruk.
Dalam kasus prostatic abscess, baik strategi perawata drainage dan
konservatif tampaknya memungkinkan untuk dilakukan. Ukuran bisa jadi
penting. Dalam salah satu studi perawatan konservatif sukses dilakukan jika
rongga abscess lebih kecil dari diameter 1 cm, sementara abscess yang lebih
besar akan lebih baik dirawat dengan aspirasi tunggal atau drainage kontinyu.
Pembedahan harus dihindari dalam perawatan prostatitis bakteri.

10.5 Daftar pustaka

11. EPIDIDYMITIS DAN ORCHITIS


11.1 Ringkasan dan rekomendasi
Orchitis dan epididymitis diklasifikasikan sebagai proses akut atau kronis sesuai
dengan permulaan (onset) dan jalur klinisnya. Tipe orchitis yang paling umum,
mumps orchitis, berkembang dalam 20-30% pasien paska-pubertal dengan infeksi
virus mumps. Jika mumps orchitis diduga terjadi, sebuah sejarah parotitis dan
bukti antibodi IgM dalam serum akan mendukung diagnosis.
Epididymitis hampir selalu unilateral dan relatif akut di permulaan. Pada
pria muda hal ini diasosiasikan dengan aktivitas seksual dan inf eksi pasangan
(LE:3). Mayoritas kasus pria aktif seksual berusia < 35 tahun disebabkan karena
organisme yang ditransmisikan secara seksual, dimana pada pasien yang berusia
lanjut, hal ini biasanya disebabkan karena patogen urinary umum (LE:3).
Epididymitis menyebabkan rasa sakit dan bengkak, yang dimulai di ekor
epididymis, dan bisa menyebar untuk mencakup semua jaringan epidydimis dan
testicular. Spermatic cord biasanya lunak dan bengkak. Penting bagi dokter untuk
bisa membedakan antara epididymitis dan spermatic cord torsion dengan sesegera
mungkin menggunakan semua informasi yang tersedia. Etiologi mikroba dari
epididymitis biasanya dapat ditentukan oleh pemeriksaan stain gram dari urethral
smear dan/atau sebuah MSU untuk deteksi bacteriuria gram -negatif (LE:3).
Sebuah urethral swab dan MSU harus diperoleh untuk investigasi mikrobiologis
sebelum terapi antimikroba (GR:C). Antimikroba harus dipilih dalam basis empiris
yang mana pada pria muda yang aktif secara seksual, C. trachomatis biasanya
kausatif, dan bahwa pada pria yang lebih tua, uropathogen yang paling umum akan
terlibat. Fluoroquinolone dengan aktivitas terhadap C. trachomatis (misal.,
ofloxacin dan levofloxacin) haruslah menjadi obat pilihan utama. Jika C.
trachomatis telah terdeteksi, perawatan juga dapat dilanjutkan dengan
doxycycline, 200 mg/hari, untuk total setidaknya 2 minggu. Macrolides dapat
digunakan sebagai agen alternatif (GR:c). Terapi suportif termasuk bed rest, up -
positioning dari testis dan terapi anti-inflammatory. Dalam kasus C. trachomatis
epididymitis, partner seksual juga harus diobati (GR:C). Epididymitis atau orchitis
yang membentuk abscess akan membutuhkan perawatan bedah. Epididymitis
kronis terkadang bisa menjadi manifestasi klinis pertama dari urogenital
tuberculosis.

11.2 Definisi dan klasifikasi


Epididymitis, inflammation epididymis, menyebabkan rasa sakit dan
pembengkakan yang hampir selalu unilateral dan relatif akut sejak permulaan.
Dalam beberapa kasus, testis terlibat dalam proses inflammatory (epididymo -
orchitis). Disisi lain, proses-proses inflammatory dari testikel, khususnya orchitis
yang terinduksi secara viral, seringkali melibatkan epididymis.
Orchitis dan epididymitis diklasifikasikan sebagai proses -proes akut atau
kronis menurut jalur permulaan dan klinis. Pen yakit kronis dengan indurasi
berkembang dalam 15% kasus epididymitis akut. Dalam kasus keterlibatan
testikular, inflammasi kronis dapat mengakibatkan atropi testikular dan destruksi
spermatogenesis.

11.3 Insidensi dan prevalensi


Tidak ada data baru yang tersedia mengenai insidensi dan prevalensi epididymitis.
Menurut data lama, epididymitis telah menjadi penyebab utama rawat inap ke
rumah sakit untuk personel militer (LE:3). Epididymitis akut pada pria muda
diasosiasikan dengan aktivitas seksual dan infeksi d ari pasangan (LE:3).
Tipe orchitis yang paling umum, mumps orchitis, berkembang dalam 20 -
30% pasien paska-pubertas dengan infeksi virus mumps. Insidensi akan tergantung
pada status vaksinasi dari populasi. Orchitis kronis primer adalah sebuah penyakit
granulomatous, dan sebuah kondisi yang langka dengan etiologi yang tidak pasti
telah dilaporkan dalam sekitar 100 kasus di dalam literatur.

11.4 Morbiditas
Komplikasi dalam epididymo-orchitis termasuk pembentukan abscess, testicular
infarction, testicular atrophy, perkembangan indurasi epididymal kronis dan
infertilitas.
Epididymitis disebabkan oleh organisme yang ditransmisikan secara
seksual dan terjadi terutama pada pria berusia <35 tahun yang aktif secara seksual
(LE:3). Mayoritas kasus epididymitis disebabkan karena patogen urinary umum,
yang juga merupakan penyabab umum bacteriuria (LE:3). Bladder outlet
obstruction dan urogenital malformation adalah faktor resiko untuk tipe infeksi
ini.
11.5 Patogenesis dan patologi
Biasanya, dalam epididymitis yang disebabkan karena bakteri umum dan
organisme yang ditransmisikan secara seksual, infeksi ini tersebar dari urethra atau
kandung kemih (bladder). Dalam granulomatous orchitis non -spesifik, fenomena
autoimun diasumsikan memicu inflamasi kronis. Orchitis pediatrik dan mumps
orchitis memiliki asal usul hematogenous.
Epididymo-orchitis juga terlihat pada infeksi sistemik seperti misalnya
tuberculosis, lues, brucellosis dan penyakit cryptococcus.

11.6 Diagnosis
Pada epididymitis akut, inflammasi dan pembengkakan biasanya dimulai di ekor
epididymis dan bisa menyebar untuk kemudian mencakup semua jaringan
epididymis dan testikular. Spermatic cord biasanya lunak dan membengkak.
Semua pria dengan epididymitis yang disebabkan oleh organisme yan g
ditransmisikan secara seksual memiliki sebuah sejarah pemaparan seksual, dan
organisme bisa tetap dorman selama berbulan-bulan sebelum kemudian
memunculkan awal gejala. Jika pasien diperiksa segera setelah mengalami
urinalysis, urethritis dan urethral discharge bisa jadi akan terlewatkan karena WBC
dan bakteri telah terbawa dari urethra selama urinasi.
Etiologi mikroba epididymitis biasanya dapat ditentukan dengan
pemeriksaan sebuah Gram stain dari sebuah urethral smear dan/atau sebuah MSU
untuk deteksi bacteriuria gram-negatif. Adanya diplococci gram-negatif
intraseluler pada smear berkorelasi dengan infeksi N. gonorrhoeae. Adanya WBC
pada urethral smear mengindikasikan adanya urethritis non -gonorrhoeae. C.
trachomatis diisolasikan dalam kurang lebih dua pertiga pasien ini (LE:3).
Analisa ejakulasi menurut kriteria WHO termasuk analisa leukosit
mengindikasikan aktivitas inflammatory yang persisten. Dalam banyak kasus,
hitungan sperma yang menurun sementara dan motilitas ke depan (forward
motility) dapat ditemukan. Azoospermia karena obstruksi komplis dari
epididymides adalah sebuah komplikasi yang jarang terjadi. Jika mumps orchitis
diduga terjadi, sebuah sejarah parotitis dan bukti antibodi IgM dalam serum akan
mendukung diagnosis. Dalam sekitar 20% kasus mumps orchitis, penyakit ini
terjadi secara bilateral pada pria paska-pubertal dengan sebuah resiko testicular
atrophy dan azoospermia (LE:3).

11.6.1 Diagnosis diferensial


Sangatlah penting bagi dokter untuk bisa membedakan antara epididymitis dan
spermatic cord torsion sesegera mungkin dengan menggunakan semua
informasi yang tersedia, termasuk usia pasien, sejarah urethritis, evaluasi klinis
dan Doppler (duplex) scanning terhadap testicular blood flow.

11.7 Perawatan
Hanya sejumlah kecil studi penelitian yang telah mengukur penetrasi agen
antimikroba ke dalam epididymis dan testis pada manusia. Dari semua studi ini,
fluoroquinolone telah menunjukkan properti yang positif (LE:2 a).
Antimikroba seharusnya dipilih dalam basis empiris dimana pada pria muda
yang aktif secara seksual, C. trachomatis biasanya merupakan penyebabnya, dan
bahwa pada pria yang berusia lebih tua, dengan BPH atau gangguan micturition
lain, uropathogen yang paling umum biasanya terlibat. Studi penelitian yang telah
membandingkan hasil mikrobiologi dari puncture/tusukan epididymis dan dari
urethral swab serta dari urin telah menunjukkan korelasi yang sangat bagus.
Sehingga, sebelum terapi antimikroba, sebuah urethral swab dan MSU harus
diperoleh untuk investigasi mikrobiologi (GR:C).
Sekali lagi, fluoroquinolone, lebih disukai mereka yang memiliki aktivitas
terhadap C. trachomatis (misal., ofloxacin dan levofloxacin) haruslah menjadi obat
pilihan pertama, karena spektrum bakteri mereka yang luas dan penetrasi positif
mereka ke dalam jaringan saluran urogenital. Jika C. trachomatis telah dideteksi
sebagai sebuah agen etiologi, perawatan dapat dilanjutkan dengan doxycycline,
200 mg/hari, untuk setidaknya 2 minggu. Macroslides dapat digunakan sebagai
agen alternatif (GR:C).
Terapi suportif termasuk bed-rest, up-positioning dari testis dan terapi
antiphlogistic. Pada pria muda, epididymitis dapat mengarah pada oklusi permanen
saluran epididymal dan karenanya mengarah pada infertilitas, karenanya,
seseorang harus mempertimbangkan terapi anthiphlogistic dengan
methyulprednisolone, 40 mg/hari dan mengurangi dosis ini menjadi separuhnya
setiap hari kedua (GR:C).
Dalam kasus epididymitis C. trachomatis, partner seksual juga harus diobati
(GR:C). Jika uropathogen ditemukan sebagai agen penyebabnya, sebuah pencarian
menyeluruh untuk gangguan micturition harus dilakukan untuk mencegah relapse
(GR:C). Epididymitis atau orchitis yang membentuk abscess juga membutuhkan
perawatan dengan pembedahan/operasi. Epididymitis kronis terkadang bisa
menjadi manifestasi klinis pertama dari urogenital tuberculosis.

11.8 Daftar pustaka

12. GANGREN FOURNIER


12.1 Ringkasan rekomendasi
 Full, surgical debridement berulang harus dilakukan dalam 24 jam setelah
presentasi/kemunculan (LE:3, GR:B)
 Perawatan dengan antibiotik spektrum-luas harus dimulai pada presentasi,
dengan penyesuaian lanjutan sesuai dengan respon kultur dan klinis (LE:3,
GR:B)
 Perawatan tambahan seperti pooled immunoglobulin dan hyp erbaric oxygen
tidak direkomendasikan, kecuali dalam konteks percobaan klinis (LE:3,
GR:C).

12.2 Latar belakang


Gangren Fournier adalah sebuah infeksi jaringan lunak polimikrobial yang
seringkali fatal dan agresif di perineum, lokasi peri -anal dan genitalia eksternal.
Ini adalah sebuah sub-kategori anatomis dari necrotising fascitis dengan mana
penyakit ini berbagi etiologi umum dan pathway manajemen. Bukti berkenaan
dengan investigasi dan perawatan didominasi dari rangkaian kasus dan opini ahli
(LE:3/4).

12.3 Presentasi klinis


Gangren Fournier tetap langka tapi insidensinya semakin meningkat sejalan
dengan menuanya populasi dan prevalensi diabetes yang lebih tinggi, dan
kemunculan dari patogen yang multiresisten. Biasanya terjadi pembengkakan yang
menyakitkan di scrotum atau perineum dengan sepsis yang parah. Pemeriksaan
menunjukkan area necrotic kecil dari kulit dengan erythema dan oedema. Crepitus
pada palpasi dan eksudat berbau tidak enak terjadi pada level penyakit yang lebih
parah. Faktor resiko termasuk pasien immuno-compromised, terutama dalam
diabetes atau malnutrisi, atau memiliki sejarah kateterisasi, instrumentasi atau
bedah perineal. Dalam hingga 40% kasus, permulaan penyakit ini tersembunyi
dengan rasa sakit tidak terdiagnosa yang seringkali dihasilka n dalam penundaan
penanganan. Sebuah indeks kecurigaan yang tinggi dan pemeriksaan yang
seksama, khususnya terhadap pasien obesitas, akan diperlukan.

12.4 Mikrobiologi
Gangren Fournier biasanya merupakan necrotising fasciitis tipe 1 yang berasal
polimikrobial, termasuk S. aureus, Streptococcus sp, Klebsiella sp, E.coli dan
anaerob; keterlibatan Clostridium sp kini kurang umum terjadi. Organisme ini
mensekresikan endotoksin yang menyebabkan nekrosis jaringan dan kerusakan
kardiovaskular parah. Reaksi inflammatory lanjutan oleh inang memberikan
kontribusi pada kegagalan multi-organ dan kematian jika tidak ditangani.

12.5 Manajemen
Tingkatan nekrosis internal biasanya lebih besar daripada yang diperlihatkan oleh
tanda-tanda eksternal, dan karenanya, surgical debridement berulang yang
memadai akan diperlukan untuk menyelematkan hidup pasien (LE:3, GR:B).
Sistem skoring keparahan penyakit tidak tampak superior dibandingkan skor
illness kritis generik dan karenanya tidak direkomendasikan untuk digunakan
sehari-hari (LE:3, GR:C). Computed tomography atau MRI bisa membantu dalam
mendefinisikan keterlibatan para-rectal, menyatakan perlunya dilakukan
colostomy (LE:3, GR:C). Konsensus dari rangkaian kasus menyatakan bahwa
surgical debridement perlu dilakukan sejak dini (<24 jam) dan komplit, karena
penundaan dan/atau pembedahan yang kurang memadai akan menghasilkan
mortalitas yang lebih tinggi (LE:3, GR:B). Perawatan dengan antibiotik parenteral
concurrent harus diberikan yang mencakup semua organisme kausatif dan bisa
menembus jaringan inflammatory (LE:3, GR:B). Hal ini kemudian dapat
disesuaikan setelah kultur bedah. Benefit dari terapi pooled immunoglobulin dan
hyperbaric oxygen masih tidak pasti dan sebaiknya tidak digunakan secara rutin
(LE:3, GR:C). Dengan manajemen medis dan bedah yang dini dan agresif, tingkat
survival akan mencapai > 70% tergantung pada kelompok pasien dan ketersediaan
layanan kritis (LE:3). Setelah resolusi, rekonstruksi menggunakan graft kulit akan
perlu dilakukan.

Bagan 12.1 Pathway dalam perawatan


Kontribusi Operasi Kontribusi Medis

Debridement operasi Diagnosis Antibiotik


Dini, urgen < 24 jam Sejarah Vancomycin/Linezolid
Kultur (urin, darah, luka) - Faktor resiko - MRSA
Komplit Pemeriksaan Clindomycin
Peralihan Assessment sepsis - Streptococcus
- SP catheter Fluoroquinolone
- Colostomy - Gram negatif
Cephalosporin
- Gram negatif
Resusitasi
Aminoglycosida
 Layanan kritis
- Sensitivitas yang
 Asesssment fungsi
diharapkan
organ vital
Metronidazole
Inspeksi Luka  Penggantian cairan
- Anaerob
- Harian agresif
- Debridement lanjutan
- Perubahan dressing
- Pertimbangkan
vacuum assisted Layanan Kritis
dressing jika tersedia  Support organ
(bisa mempercepat  Immunoglobulin
penutupan luka)

Rehabilitasi
 Graft kulit
 Undiversion
 Rekonstruksi

12.6 Daftar pustaka

13. INFEKSI YANG DITRANSMISIKAN SECARA SEKSUAL


Bakteri klasik yang menyebabka penyakit venereal, misal gonorrhoeae, sifilis,
chancroid dan inguinal granuloma, hanya terhitung sebagai proporsi kecil dari
semua penyakit transmisi seksual (STD) saat ini. Bakteri dan virus lain serta juga
yeast, protozoa dan epizoa harus pula dianggap sebagai organisme kausatif STD.
Bersama-sama, semua STD disebabkan oleh > 30 patogen yang relevan. Namun,
tidak semua patogen yang bisa ditransmisikan secara seksual akan
memanifestasikan penyakit genital/kelamin, dan tidak se mua infeksi
genital/kelamin secara eksklusif ditransmisikan secara seksual. Pada saat ini,
pembaca dirujuk pada 2010 CDC STD Treatment Guidelines.
Human immunodeficiency virus (HIV) menyebabkan sebuah penyakit
sistem imun yang mengarah pada sebuah panorama komplikasi yang luas dan
kondisi medis yang kompleks yang juga disebut sebagai acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS). Saluran urogenital jarang terlibat. Topik ini
berada diluar cakupan panduan ini.

13.1 Daftar pustaka


14. INFEKSI SPESIFIK
Urogenital tuberculosis dan bilharziasis adalah dua infeksi yang dapat
mempengaruhi saluran urogenital. Meski tidak endemik di Eropa, kasus urogenital
tuberculosis terkadang didiagnosis dalam semua komunitas. Dalam sebuah dunia
globalisasi, para pelancong secara reguler dikonfrontasikan dengan situasi dimana
mereka bisa terinfeksi. Panduan dalam diagnosa dan manajemen dari dua infeksi
ini telah dipublikasikan di tempat lain. Mengikuti abstrak yang dicetak disini,
terdapat link langsung ke panduan yang dipublikasikan i ni, yang dapat
dikonsultasikan dengan gratis.

14.1 Urogenital tuberculosis


Hampir sepertiga dari populasi dunia diestimasikan terinfeksi M. tuberculosis.
Terlebih lagi, tuberculosis adalah infeksi oportunistik yang paling umum terjadi
pada pasien AIDS. Urogenital tuberculosis tidaklah sangat umum tapi hal ini
dianggap sebagai bentuk parah dari extra-pulmonary tuberculosis. Diagnosis dari
urogenital tuberculosis dibuat berdasarkan pada studi kultur dengan isolasi
organisme kausatif; namun, material biopsi dalam media solid konvensional
terkadang akan diperlukan. Obat-obatan adalah terapi lini pertama dalam
urogenital tuberculosis. Regimen perawatan selama enam bulan akan efektif dalam
sebagian besar pasien. Meski kemoterapi adalah perawatan utama, pembedahan
dalam bentuk ablasi atau rekonstruksi mungkin tidak dapat dihindari. Baik bedah
radikal ataupun rekonstruktif harus dilaksanakan dalam dua bulan pertama
kemoterapi intensif. Manajemen ini harus dilakukan oleh, atau dengan kerjasama
langsung dengan, seorang spesialis dalam bidang tuberculosis.

14.1.1 Daftar pustaka

14.2 Urogenital schistosomiasis


Lebih dari 200 juta orang di seluruh dunia terinfeksi bilharziasis, yang disebabkan
oleh Schistoma heamatobium. Bagi pelancong, langkah pencegahan adalah yang
paling penting. Untuk populasi dalam area endemik, sebuah pendekatan
terintegrasi termasuk pendidikan kesehatan akan perlu dilakukan. Perawatan
farmakologis yang efektif telah tersedia.

14.2.1 Daftar pustaka

3N. ANTIMIKROBA PROFILAKSIS SEBELUM PEMBEDAHAN DALAM


UROLOGI
3N.1 Introduksi
Tujuan dari profilaksis antimikroba dalam pembedahan urologi adalah untuk
menurunkan muatan mikroorganisme pada saat pembedahan/operasi untuk mencegah
terjadinya komplikasi berupa infeksi yang dihasilkan dari prosedur diagnostik dan
terapeutik. Namun, bukti untuk pilihan antibiotik terbaik dan regimen profilaktik masih
terbatas (Tabel 19).
Sebelum pembedahan/operasi, penting untuk mengkategorikan pasien dalam
kaitannya dengan:
 Status kesehatan umum menurut American Society of Anesthesiologi (ASA)
skor P1-P5
 Adanya faktor resiko umum seperti usia lanjut, diabetes mellitus, kerusakan
sistem imun, malnutrisi, berat badan ekstrim
 Adanya faktor resiko endogen atau eksogen spesifik seperti mis alnya
sejarah UTI atau infeksi urogenital, kateter menetap, resiko terjangkit
bakteri, riwayat instrumentasi sebelumnya, faktor genetik
 Tipe pembedahan/operasi dan beban kontaminasi bidang bedah
 Tingkat infasive dari pembedahannya, durasi, dan aspek teknisnya.

Hanya transrectal core prostate biopsy (LE:1b, GR;A) dan TURP (LE:1a, GR:A)
yang terdokumentasikan dengan baik. Tidak ada bukti adanya benefit dar i antibiotik
profilaksis dalam prosedur endoskopik tidak berkomplikasi dan shockwave lithotripsy
(SWL), meskipun hal ini direkomendasikan dalam prosedur yang berkomplikasi dan
pasien dengan faktor resiko yang telah teridentifikasi.
Tidak ada antibiotik profilaksis yang direkomendasikan untuk operasi yang bersih,
dimana dosis tunggal atau dosis 1 hari direkomendasikan dalam kondisi bersih-
terkontaminasi. Pendekatan dalam operasi terkontaminasi akan bervariasi berkaitan
dengan tipe prosedur, level kontaminasi, lokasi bedah, dan level kesulitan.
Kultur urine direkomendasikan sebelum intervensi pembedahan dan dengan
adanya bakteriuri yang telah terkontrol dengan pengobatan sebelum tindakan operasi
yang penyebabnya telah diketahui (LE: 1b, GR A).
Antibiotik profilaksis seharusnya diberikan sebagai dosis tunggal atau sebuah
pengobatan antimikroba jangka pendek yang dapat diberikan secara parenteral atau oral.
Rute pemberian tergantung pada tipe intervensi dan karakteristik pasien. Pemberian oral
membutuhkan obat-obatan yang memiliki bioavailabilitas yang bagus. Dalam sebuah
kasus drainase urine tertutup secara berkelanjutan, perpanjangan dalam antibiotik
profilaksis sebelum pembedahan tidak direkomendasikan.
Banyak antibiotik cocok digunakan untuk antibakteri profilaksis sebelum
pembedahan, yakni co-trimoxazole, cephalosporin generasi kedua, fluoroquinolone,
aminopenicillin plus sebuah beta-lactam inhibitor dan aminoglycosida. Antibiotik dengan
spektrum yang lebih luas yang termasuk fluoroquinolone dan karbapenem harus
digunakan dengan seksama dan disimpan untuk perawatan/penangan an kasus tertentu.
Hal ini juga berlaku untuk penggunaan vancomycin.
Penggunaan antimikroba harus didasarkan pada pengetahuan tentang profil
patogen lokal dan pola kerentanan antibiotik. Latihan terbaik termasuk pengawasan dan
sebuah audit terhadap komplikasi yang menular.

Tabel 19: Kesimpulan dari Level bukti (Level of Evidence/LE) dan tingkat
rekomendasi (Grade of recommendation/GR) untuk penggunaan antibakteri
profilaksis sebelum pembedahan dalam prosedur urologi standar (untuk
manajemen praktek, rujuklah ke Tabel 22-24)
Prosedur LE GR Komentar ABP
Prosedur diagnostik
Sistoskopi 1b A Frekuensi infeksi tidak
rendah.
Pertimbangkan
faktor resiko untuk
UTI (Bakteriuri,
riwayat demam)
Studi urodinamik 1a A Frekuensi infeksi tidak
rendah.
Pertimbangkan
faktor resiko untuk
UTI (Seperti
sistoskopi)
Transrectal core biopsy pada 1b A Resiko infeksi Ya
prostat tinggi
Menilai faktor
resiko dengan
seksama termasuk
resiko membawa
strain bakteri
resisten (misal,
resisten terhadap
fluoroquinolone)
Ureteroskopi diagnostik 4 C Tidak ada studi Tergantung
tersedia
Prosedur terapeutik endourologi/endoskopi pada umumnya (contoh)
Fulgurasi dari tumor buli-buli 2b C Seperti sistoskopi tidak
yang kecil
TUR-BT 2b C Data buruk. Tidak tergantung
ada perhatian yang
diberikan pada
resiko tumor,
misal, ukuran,
jumlah, nekrosis
TURP 1a A Resiko tinggi Ya
untuk demam
infeksi dan sepsis.
Kontrol untuk
bakteriuri/UTI dan
faktor resiko
lainnya sebelum
operasi
SWL (standar, tidak ada 1a A Frekuensi infeksi tidak
bakteriuri, tidak terpasang rendah
kateter, dengan kata lain sehat)
SWL dengan faktor resiko 1a A Terdapat resiko Ya
infeksi infeksi. Kontrol
dari bakteriuri dan
faktor resiko
Ureteroskopi untuk manajemen 2b B Frekuensi infeksi Tergantung,
batu (A) rendah tapi berhubungan
bervariasi dengan
tergantung lokasi tingkat
batu (i.e batu kesulitan
proksimal) kontrol
dari bakteriuri dan
faktor resiko
Manajemen batu perkutan dan 1b A Resiko demam Ya
retrograde intra-renal infeksi dan sepsis
tinggi
Operasi terbuka dan laparoskopi pada umumnya (contoh)
Operasi bersih (tidak membuka/masuk kedalam saluran kemih)
Nefrektomi 3 C Luka operasi tidak
terdokumentasikan
dengan buruk
Bakteriuri/UTI
yang berhubungan
dengan
pemasangan kateter
setelah operasi
Operasi skrotum, vasektomi, 3 C Tinjauan studi tidak
varikokel yang terjadwal berkontradiksi
Implan prostesa 3 B Dokumentasi yang Ya
ada terbatas
Bersih-terkontaminasi (membuka/masuk kedalam saluran kemih)
Nefroureterektomi 3 B Dokumentasi buruk Ya
Kontrol dari
bakteriuri dan
faktor resiko lain
sebelum operasi
Bakteriuri/UTI
yang berhubungan
dengan
pemasangan kateter
setelah operasi
Total (radikal) prostatektomi 2a
Perbaikan ureteropelvic 4 C
junction
Reseksi buli-buli parsial 3
Bersih-terkontaminasi/terkontaminasi (pembukaan perut, deviasi urin)
Sistektomi dengan deviasi urin 2a B Resiko infeksi Ya
tinggi

Antibiotik profilaksis dalam urologi telah kontroversial selama beberapa tahun.


Kebanyakan studi penelitian di masa lalu telah dirancang dengan buruk dan kurang
memiliki kekuatan statistik. Telah terdapat inkonsistensi berkenaan dengan
definisi dan assessment faktor resiko. Praktek urologi telah cukup banyak berubah
khususnya dalam dekade terakhir dan studi lama tidak lagi relevan. Beberapa
survei diantara urolog Eropa telah mengungkapkan perbedaan besar dalam regimen
dan pilihan antibiotik untuk profilaksis. Jelasnya, terdapat sebuah kebutuhan untuk
panduan berbasis-bukti.
Bagian ini bertujuan untuk mengklarifikasikan kondisi pengetahuan saat ini dan
untuk mengusulkan rekomendasi praktis berbasis pada review sistematis yang telah ada,
adanya studi klinis, opini ahli, dan konsensus profesional. Bagian ini juga
memperhitungkan rekomendasi dari masyarakat, seperti misalnya Paul Ehrlich Society
for Chemotherapy, kelompok kerja dari German Society of Urology, French Association
or Urology, Swedish Council on Health Technology Assessm ent dan sebuah kelompok
kerja konsensus internasional.
Pedoman dari EAU untuk infeksi urologi lebih jauh dipresentasikan sementara dari
prosedur-prosedur urologi terklasifikasi yang berkaitan dengan tingkat kontaminasi dari
lingkungan pembedahan untuk memfasilitasi pemilihan antibiotik profilaksis dalam hal
ketiadaannya bukti-bukti.
Global prevalence infection in urology study (GPIU) menemukan bahwa sekitar
10% dari pasien-pasien urologi memiliki UTI yang berhubungan dengan pemberi
kesehatan. Terlebih lagi, sebuah ulasan menunjukan perbedaan besar dalam hal
penggunaan antibiotik profilaksis untuk semua tipe prosedur antar negara -negara, dan
rendahnya kepatuhan terhadap pedoman yang ada. Penanda peningkatan bakteri yang
resisten menggaris bawahi dibutuhkannya kebijakan penggunaan antibiotik yang lebih
ketat.
Sebuah survei pan-Eropa baru-baru ini dilakukan oleh EAU Section for
Infection in Urology (ESIU) terhada sejumlah besar negara Eropa, termasuk ≥ 200
layanan atau unit urologi. Survei menemukan bahwa ≥10% pasien memiliki sebuah
UTI terasosiasi-layana kesehatan. Selain itu, sebuah tinjauan menunjukkan adanya
perbedaan besar dalam penggunaan antibiotik profilaksis dalam semua tipe
prosedur dan antar negara, dan kepatuhan yang rendah terhadap panduan. Survei
ini mengilustrasikan perlunya kebijakan antibiotik yang lebih ketat di seluruh
Eropa, dan bahwa rekomendasi untuk antibiotik profilaksis harus dimasukkan
dalam kebijakan antibiotik umum dari tiap rumah sakit.
Perkembangan resistensi mikroba menyajikan sebuah tantangan bagi
komunitas urologi untuk perawatan dan juga profilaksis. Esensial bahwa urolog
harus menyadari pola mikroba dan profil resistensinya dalam komunitasnya
sehingga bisa menilai resiko dari tiap pasien individual dalam memiliki strain yang
resisten.

3N.1.1 Tujuan dari antibiotik profilaksis sebelum operasi


Antibiotik profilaksis dan terapi adalah dua isu yang berbeda. Antibiotik
profilaksis bertujuan untuk mencegah infeksi yang berhubungan dengan pelayanan
kesehatan yang dihasilkan dari prosedur diagnostik dan terapeutik. Antibiotik
profilaksis adalah salah satu dari beberapa langkah untuk mencegah infeksi dan
tidak pernah bisa mengkompensasi untuk operasi dengan higienitas dan tekhnik
yang buruk. Berkebalikan dengan ini, terapi antibiotik adalah perawatan untuk
sebuah infeksi yang diduga secara klinis atau terbukti secara mikrobiologis.
Pusat kontrol kesehatan Amerika telah memberikan definisi yang saat ini
paling komprehensif, dan direkomendasikan untuk evaluasi komplikasi yang
menular. Definisi ini juga telah digunakan dalam studi GPIU. Revisi atas definisi
dan rekomendasi masih berlangsung, lihat Bab 2. Tabel 20 mengilustrasikan
perbedaan tipe komplikasi menular yang ditemui dalam operasi urologi.

Tabel 20: Tipe utama infeksi yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan
yang ditemui dalam praktek urologi

Lokasi infeksi Minor Mayor


Luka operasi Infeksi luka superfisial
Infeksi luka dalam
Luka ruptur (abdominal
dehiscence)
Abses di lokasi operasi
atau abdomen yang
dalam
UTI atau infeksi spesifik Bakteriuri tanpa gejala Demam UTI
organ (kolonisasi bakteri) Pyelonefritis
Termasuk UTI karena UTI bagian bawah Abses renal
pemasangan kateter dengan gejala (sistitis) Abses peri-renal
Aliran darah Bakterimia tanpa tanda- SIRS atau sepsis dengan
tanda respon sistemik tanda-tanda respon
sistemik
MAGI Epididimitis (Orkitis) Prostatitis bakterial akut
(tipe I)
Lokasi lain Embolisme septik
Pneumonia
Infeksi tulang sekunder

Infeksi di lokasi operasi terlihat setelah operasi terbuka dan hingga tingkatan
tertentu setelah operasi laparoskopik. Febrile dan complicated UTI terutama
merupakan komplikasi operasi endoskopik dan penggunaan indwellin catheter
serta stent. Mereka bisa terjadi setelah operasi terbuka dari saluran urinary. Sepsis
bisa terlihat dengan semua tipe prosedur.
Tujuan akhir dari pemberian profilaksis sebelum pembedahan dalam urologi
adalah komplikasi menular yang ditampilkan dalam tabel 20 ketika berhubungan
langsung dengan pembedahan. Hal ini mungkin perpanjangan dari ABU dan mungkin
infeksi luka minor. Bakteriuri tanpa gejala setelah TURP atau prosedur endourologi yang
lain dapat hilang secara sendirinya dan biasanya secara signifikan tidak mengakibatkan
gangguan klinis.
Secara umum telah disepakati bersama bahwa tujuan utamanya adalah untuk
mencegah infeksi febrile urogenital symptomatik seperti misalnya acute
pyelonephritis, prostatitis, epididymitis dan urosepsis, serta infeksi luka serius
yang secara langsung terhubung pada operasi (Tabel 15.2). Hal ini bisa diperluas
pada asymptomatic bacteriuria, dan bahkan infeksi luka minor, yang bisa dengan
mudah diobati dalam basis rawat jalan. Dalam sejumlah kondisi, bahkan infeksi
luka minor bisa memberikan konsekuensi yang serius, seperti dalam operasi
implan. Namun, asymptomatic bacteriuria setelah TURP atau prosedur
endourologi lain bisa menghilang secara spontan dan biasanya tidak memiliki
signifikansi klinis. Pertanyaan lain mengenai apakah profilaksis perioperatif harus
berkenaan dengan pencegahan infeksi non-urologi, misalnya endocarditis dan
postoperative pneumonia. Profilaksis anti bakteri perioperatif dalam urology harus
melampaui tujuan tradisional profilaksis dalam operasi, yang merupakan
pencegahan infeksi luka.

3N.2 Faktor resiko


Faktor resiko (Tabel 21 dan 1) diremehkan dalam sebagian besar percobaan.
Namun, mereka cukup penting dalam penentuan penilaian keadaan pasien sebelum
tindakan operatif. Mereka berhubungan pada:

 Kesehatan umum pasien seperti yang didefinisikan oleh skor P1 -P5 ASA
 Adanya faktor resiko umum seperti usia lanjut, diabetes mellitus, kerusakan
sistem imun, malnutrisi, berat badan ekstrim
 Adanya faktor resiko endogen atau eksogen spesifik seperti misalnya
sejarah UTI atau infeksi urogenital, kateter menetap, resiko bakteri,
tindakan instrumentasi sebelumnya, faktor genetik
 Tipe operasi dan kontaminasi bidang operasi
 Level invasif operasi yang diharapkan, durasi , dan aspek teknis

Klasifikasi tradisional prosedur operasi menurut Cruse dan Foord yaitu bersih,
bersih-terkontaminasi, terkontaminasi dan terinfeksi/kotor berlaku untuk operasi terbuka
tapi tidak untuk intervensi endourologi. Pedoman yang ada mempertimbangkan bahwa
prosedur yang masuk kedalam saluran kemih dan mukosa dianggap sebagai prosedur
bersih-terkontaminasi karena kultur urin tidak selalu sebagai patokan ada tidaknya
bakteri, dan pada saluran kemih bagian bawah terkolonisasi oleh flora mikro, meskipun
pada urin dengan kondisi steril. Adanya bakteriuri pada pasien dengan tanpa gejala,
ditunjukkan oleh kultur sebelum operasi, merupakan indikasi tingkat kontaminasi (tabel
23)
Masih diperdebatkan apakah membuka saluran kemih (misal., operasi kandung
kemih, prostatectomy radikal, atau operasi ke renal pelvis dan ureter) harus
diklasifikasikan ke dalam operasi clean atau clean -contaminated dalam kasus
kultur urin negatif. Hal yang sama juga berlaku untuk operasi endoskopik dan
transurethral. Namun, anggota EAU Expert Group menganggap prosedur ini
sebagai clean-contaminated karena kultur urin tidak selalu menjadi prediktor
adanya bakteri, dan saluran genitourinary yang lebih rendah dikolonisasi oleh
microflora, bahkan dengan adanya urin yang steril.

Tabel 21: Faktor resiko yang diterima secara umum untuk komplikasi
menular

Faktor resiko umum Faktor resiko khusus yang


dihubungkan dengan peningkatan
muatan bakteri
Usia lanjut Masa inap rumah sakit sebelum
pembedahan yang lama atau baru saja
masuk rumah sakit
Status nutrisi defisien Riwayat infeksi urogenital yang
berulang
Respon imun yang buruk Operasi melibatkan segmen perut
Diabetes mellitus Kolonisasi dengan mikroorganisme
Merokok Drainase jangka panjang
Berat badan ekstrim Obstruksi urinari
Infeksi lain pada lokasi yang berbeda Batu urinari
Kurangnya kontrol faktor resiko

Studi nosocomial UTI pan-Eropa telah mengidentifikasikan tiga faktor resiko yang
paling penting untuk komplikasi menular/infectious sebagai:

 Sebuah indwelling catheter


 Infeksi urogenital yang pernah terjadi sebelumnya
 Masa tinggal preoperatif yang lama

Resiko infeksi akan bervariasi tergantung pada tipe intervensi. Spektrum luas dari
inverventi akan semakin memperumit pemberian rekomendasi yang tegas. L ebih jauh
lagi, muatan bakteri, durasi dan sulitnya operasi, skill dokter bedah, dan perdarahan
perioperatif juga bisa mempengaruhi resiko infeksi. Untuk operasi urologi yang elektif,
faktor resiko spesifik dan umum pada saluran kemih harus dikontrol (misal, bakteriuri,
obstruksi).

3N.3 Prinsip antibiotik profilaksis


Antibiotik profilaksis bertujuan untuk melindungi pasien tapi tidak dengan
meningkatkan kemungkinan resistensi. Namun, terdapat bukti bahwa penggunaan
profilaksis yang cerdas akan bisa menurunkan konsumsi antibiotik secara keseluruhan.
Hal tersebut sangat penting untuk mengindividualisasikan pilihan antibiotik profilaksis
menurut faktor resiko kumulatif tiap-tiap pasien. Kultur urin sebelum operasi sangat
direkomendasikan. Antibiotik tidak bisa menggantikan langkah dasar lai n untuk
mengurangi infeksi.
Sayangnya, benefit dari antibiotik profilaksis untuk sebagian besar prosedur
urologi modern masih belum dikembangkan dengan studi intervensi yang
dirancang dengan baik.

3N.3.1 Waktu
Terdapat sebuah kerangka waktu tertentu dimana antibiotik profilaksis harus
diberikan. Meski panduan berikut didasarkan pada riset dalam luka kulit dan operasi
bersih-terkontaminasi dan operasi perut terkontaminasi, terdapat alasan yang bagus untuk
percaya bahwa hasil yang sama juga berlaku untuk operasi urologi. Waktu optimal untuk
antibiotik profilaksis adalah 1-2 jam sebelum instrumentasi. Beberapa studi dalam operasi
perut mengindikasikan hasil yang serupa hingga 3 jam setelah dimulainya intervensi.
Untuk tujuan praktis, antibiotik profilaksis oral harus diberikan kurang lebih 1 jam
sebelum intervensi. Antibiotik profilaksis intravena harus diberikan 30 menit sebelum
insisi, pada saat induksi anestesi. Waktu ini memungkinkan antibiotik profilaksis untuk
mencapai konsentrasi puncak pada saat resiko tertinggi selama prosedur dilakukan, dan
sebuah konsentrasi yang efektif segera setelahnya. Patut diketahui bahwa sebuah infeksi
aliran darah dapat berkembang dalam waktu kurang dari satu jam.

3N.3.2 Rute pemberian


Pemberian oral sama efektifnya seperti rute intravena untuk antibiotik dengan
bioavailabilitas yang memadai. Hal ini direkomendasikan untuk sebagian besar intervensi
ketika pasien bisa dengan mudah meminum obat 1 jam sebelum intervensi. Dalam kasus
lain, pemberian intravena direkomendasikan. Irigasi lokal dari bidang operasi dengan
antibiotik tidak direkomendasikan.

3N.3.3 Durasi dari regimen


Untuk sebagian besar prosedur, durasi antibiotik profilaksis masih belum cukup
ditanggapi dan jarang sebuah regimen yang terdefinisikan direkomendasikan. Pada
prinsipnya, durasi profilaksis perioperatif harus diminimalkan, idealnya pada dosis
antibiotik perioperatif tunggal. Profilaksis perioperatif harus diperpanjang hanya ketika
terdapat faktor resiko yang signifikan.

3N.3.4 Pilihan antibiotik


Tidak ada rekomendasi yang jelas dan tegas yang dapat diberikan, karena terdapat
banyak sekali variasi di Eropa terkait spektrum bakteri dan kerentanannya terhadap
antibiotik yang berbeda. Resistensi antimikroba biasanya lebih tinggi di Mediterania jika
dibandingkan dengan di negara-negara Eropa Utara; resistensi berkorelasi dengan
perbedaan mencapai empat kali lipat dalam penjualan antibiotik. Sehingga, pengetahuan
terhadap profil patogen lokal, kerentanan dan virulensi akan diwajibkan dalam rangka
mengembangkan panduan antibiotik lokal. Juga akan penting untuk mendefinisikan
patogen dominan untuk tiap tipe prosedur. Ketika memilih sebuah agen antimikroba, akan
perlu untuk memperhitungkan faktor resiko spesifik prosedur, muatan kontaminasi, organ
target, dan peranan inflammasi lokal.
Secara umum, banyak antibiotik akan cocok untuk profilaksis antibakteri
perioperatif, misal co-trimoxazole, cephalosporin generasi kedua, aminopenicillin plus
sebuah BLI, aminoglycoside dan fluoroqionolone. Antibiotik dengan spektrum yang lebih
luas seperti fluoroquinolones, cephalosporins generasi ketiga dan karbapenem harus
digunakan dengan bijak dan disiapkan untuk perawatan. Fluoroquinolone harus dihindari
sebisa mungkin untuk profilaksis. Hal ini juga berlaku untuk penggunaan vancomycin.

3N.3.5 Regimen profilaksis dalam prosedur yang telah terdefinisikan


Semua prosedur tidaklah sama. Terdapat sejumlah besar variasi dalam daya
invasinya dan resiko untuk intervensi yang identik. Pedoman yang ada menyarankan
sebuah distribusi dari prosedur urologi untuk diagnostik dan terapeutik dalam
hubunganya dengan kategori kontaminasi lokasi pembedah an setelah diadaptasikan
dengan konteks urologi. Rekomendasi untuk antibiotik profilaksis dalam standard
pembedahan urologi dirangkum dalam tabel 22 dan 23.
Hubungan empiris antara level daya invasi dan resiko untuk komplikasi infektif
diilustrasikan dalam Bagan 15.1. Selain itu, sebuah klasifikasi tentatif dalam prosedur
urologi terkait level kontaminasi bidang operasi diberikan dalam Tabel 15.5a dan 15.5b.

Bagan 15.1: Level daya invasi dan resiko infeksi dalam prosedur urologi
(skema empiris)

Kelompok kerja EAU/ESIU telah menyatakan sebuah distribusi prosedur urologi


diagnostik dan terapeutik yang berbeda dalam kaitannya dengna kategori
kontaminasi lokasi operasi setelah adaptasi ke konteks urologi. Rekomendasi
untuk antibiotik profilaksis dalam operasi urologi standar diringkas dalam Tabel
15.4a dan 15.4b.

3N.4 Antimikroba profilaksis secara prosedur


3N.4.1 Prosedur diagnostik
3N.4.1.1 Transrectal prostate biopsy
Profilaksis antimikroba dalam biopsi inti dari prostat sangat direkomendasikan
(LE:1b, GR:A). Namun pilihan regimen masih diperdebatkan. Kebanyakan regimen yang
digunakan cukup efektif dan studi terkini telah menyatakan bahwa dosis 1 hari dan
bahkan 1 dosis tunggal sudah mencukupi dalam pasien dengan resiko rendah ( LE:1b, GR:
A). Peningkatan dalam resistensi fluoroquinolone dalam flora fekal telah memunculkan
pertanyaan kelayakan rekomendasi ini. Tidak ada alternatif tegas dan jelas lainnya yang
berdasarkan bukti nyata. Dalam tinjauan terbaru, direkomendasikan bahwa pria memiliki
resiko untuk memiliki strain yang resisten fluoroquinolone harus menerima regimen
alternatif berdasarkan pada hasil temuan swab rektal. Selain itu, beberapa bentuk
persiapan perut juga tengah diinvestigasi, meski tidak satupun yang telah menunjukkan
bisa secara signifikan mengurangi tingkat infeksi. Tiap urolog harus menimbang
kebutuhan untuk melakukan biopsi prostat dalam kaitannya dengan resiko yang dapat
terjadi, menilai faktor resiko individual termasuk resiko dalam menampung bakteri yang
resisten (misal ESBL) dan memperhitungkan kebutuhan untuk sebuah swab rektal
sebelum instrumentasi.

3N.4.1.2 Sistoskopi
Frekuensi komplikasi menular setelah sistoskopi, studi urodinamika dan
ureteroskopi diagnostik sederhana termasuk rendah. Penggunaan antibiotik profilaksis
masih diperdebatkan dan hasilnya cukup kontroversial. Dalam sebuah rangkaian one-
centre dari 2,010 kontrol cystokopik untuk kanker kandung kemih, hanya 1.9% yang
mengembangkan febrile UTI. Angka ini mencapai 1.1% untuk pasien tanpa bacteriuria
dan 4.5% dalam pasien terkolonisasi. Dalams alah satu percobaan klinis teracak
terkontrol plasebo, tidak ada perbedaan dalam UTI antara kelompok antibiotik dan
plasebo pada pasien dengan urin steril. Dalam melihat besarnya jumlah pemeriksaan
sitoskopi, rendahnya resiko infeksi dan efek negatif dalam sensitivitas bakteri yang
terjadi, antibiotik profilaksis tidak direkomendasikan (LE:1a, GR:A). Namun, bakteriuri,
kateter menetap, LUTD neurogenik, dan sebuah riwayat infeksi urogenital adalah faktor
resiko yang harus diperhitungkan (LE:1b, GR:A).

3N.4.2 Prosedur penanganan endourologi (masuk kedalam saluran kemih)


3N.4.2.1 TUR-BT
Terdapat sedikit bukti untuk keuntungan dari penggunaan antibiotik profilaksis
dalam TURB. Penelitian ini tidak membedakan antara fulgurasi yang sederhana
(sistoskopi) dan tumor berkuruan besar dan banyak, ada tidaknya nekrosis. Oleh karena
itu, pedoman saat ini merekomendasikan pembedaan dari tipe tumor (tabel 23) dan
pemilihan dari antibiotik profilaksis (LE:2b, GR:C).
3N.4.2.2 TUR-P
Reseksi prostat transuretra adalah intervensi urologi yang paling baik dipelajari.
Paling tidak terdapat dua meta analisa dengan jumlah yang besar secara prospektif, acak,
dan terkontrol, termasuk dalam penelitian itu beberapa ribu pasien, menunjukkan
keuntungan dalam penggunaan antibiotik profilaksis dengan pengurangan resiko relatif
sebesar 65% dan 77% untuk bakteriuri dan septikemia (LE: 1a, GR:A).
Sebuah meta analisa 32 studi terkontrol, teracak dan prospektif, termasuk >4,000
pasien, menunjukkan benefit dari antibiotik profilaksis dengan reduksi resiko relatif
mencapai 65% dan 77% untuk bacteriuria dan septicaemia (LE:1a, GR:A). Sebuah
tinjauan sistemik terbaru mengkonfirmasikan pandangan ini. Terdapat perbedaa antara
resection yang lebih kecil pada pasien sehat dan resection besar pada pasien dengan resiko
(Bagan 15.1).
3N.4.2.3 Ureteroskopi
Terdapat studi percobaan prospektif terkontrol yang terencana dengan baik untuk
ureteroskopi namun terdapat kekurangan. Hal tersebut sangat beralasan, namun, untuk
membedakan prosedur dengan resiko kecil, seperti diagnostik dan terapeutik batu distal
pada individu yang sehat, dari prosedur yang lebih beresiko tingi, seperti terapi dari batu
proksimal dengan obstruksi. Pedoman ini merekomendasikan pembedaan dari derajat
keparahannya, lokasi anatomis batu, serta faktor resiko pasien (tabel 23), dimana
didukung data yang besar untuk URS.
beberapa studi penelitian yang telah mendefinisikan resiko infeksi setelah
ureteroskopi dan penghilangan batu perkutan, dan tidak ada bukti yang tegas eksis dalam
hal ini. Akan logis untuk membedakan prosedur beresiko rendah, seperti misalnya
penanganan distal stone dan diagnostik sederhana, dari prosedur beresiko yang lebih
tinggi, seperti misalnya perawatan/penanganan dalam proximal impacted stones dan
intrarenal intervention. Faktor resiko yang lain (misal., ukuran, panjang, pendarahan dan
pengalaman dokter bedah) juga perlu dipertimbangkan dalam pilihan regimen (LE:2b,
GR:B). Dalam sebuah tinjauan databse besar untuk pasien yang menjalani
nephrolithotomy perkutan, ditemukan bahwa pada pasien dengan kultur urin baseline
negatif, antibiotik profilaksis secara signifikan mengurangi tingkat demam post-operative
dan komplikasi lain. Pemberian dosis tunggal ditemukan sudah memadai.
3N.4.2.4 Nefrolitotripsi perkutan
Resiko infeksi pada PNL sangat tinggi dan penggunaan dari antibiotik profilaksis
secara signifikan telah menunjukkan pengurangan resiko dari komplikasi menular
(LE:1b, GR:A). Sebuah dosis tunggal sudah cukup. Pengobatan batu secara retrograde
intra-renal diduga memiliki profil resiko yang serupa.
3N.4.2.5 Shock-wave lithotripsy
Shockwave lithotripsy adalah salah satu prosedur yang paling umum dilakukan
dalam urologi. Tidak ada profilaksis standar yang direkomendasikan. Namun, profilaksis
direkomendasikan dalam kasus internal stent dan perawatan, karena adanya peningkatan
resiko bakteri (misal, kateter menetap, nephrostomy tube, atau batu infeksi) (LE:1a-1b,
GR:A).
Sebagian besar antibiotik telah dievaluasi, seperti misalnya fluoroquinol one, BLI,
termasuk cephalosporin, dan co-trimoxazole, tapi studi komparatif masih terbatas.
Disarankan untuk langsung memilih antibiotik sesuai gambaran dari kultur urin.
3N.4.3 Operasi laparoskopi
Terdapat kurangnya studi yang memiliki cukup banyak kekuat an dalam operasi
urologi laparoskopik. Namun, tampaknya akan masuk akal untuk mengelola
prosedur operasi laparoskopik dalam cara yang sama seperti prosedur terbuka
(LE:4, GR:C).

14.2.2 Operasi urologi laparoscopic atau terbuka tanpa membuka saluran


urinary (prosedur clean)
Tidak ada antibiotik profilaksis standar yang direkomendasikan dalam operasi
clean (LE:3, GR:C).
14.2.3 Operasi urologi laparoscopic atau terbuka dengan saluran urinary
terbuka (prosedur clean-contaminated)
Pada kasus membuka saluran urinary, sebuah dosis antibiotik parenteral
perioperatif tunggal direkomendasikan (LE:3, GR:C). Hal ini akan bermanfaat
untuk prosedur standar seperti misalnya total (radical) prostatectomy. Dalam
enucleation terbuka dari prostatic adenoma, resiko infeksi postoperative akan
cukup tinggi (LE:2b, GR:B).

14.2.4 Operasi urologi terbuka dengan segmen perut (prosedur clean-


contaminated atau contaminated)
Antibiotik profilaksis direkomendasikan, untuk operasi clean-contaminated
dalam pembedahan umum. Dosis tunggal atau dosis 1 hari direkomendasikan,
meski perpanjangan operasi dan faktor resiko morbiditas lain bisa mendukung
penggunaan perpanjangan regimen, yang haruslah <72 jam. Pilihan antibiotik
harus terfokus pada patogen aerob dan anaerob. Bukti didasarkan pada operasi
colorectal (LE:1a, GR:A), tapi pengalaman masih terb atas terkait intervensi
urologi spesifik (LE:2a, GR:B).

14.2.5 Drainage postoperative dari saluran urinary


Ketika continuous urinary drainage digunakan setelah operasi, perpanjangan
profilaksis antibakteri perioperatif tidaklah direkomendasikan, kecuali sebuah
infeksi complicated yang membutuhkan perawatan diduga terjadi.
Asymptomatic bacteriuria (kolonisasi bakteri) harus ditangani sebelum operasi
atau setelah pelepasan drainage tube (LE:3, GR:B).

14.2.6 Implantasi alat prostetik


Ketika komplikasi yang menular (infectious) terjadi pada operasi implan,
mereka biasanya akan bermasalah dan seringkali mengakibatkan pelepasan alat
prostetik. Diabetes mellitus dianggap sebagai faktor resiko yang spesifik untuk
infeksi. Staphylococci terkait-kulit bertanggungjawab untuk sebagian besar
infeksi yang terjadi. Antibiotik yang digunakan harus dipilih untuk menarget
strain ini (LE:2a, GR:B).

Tabel 15.4a: Kelas-kelas Luka Operasi dimodifikasi dari [13] dan


diadaptasikan ke operasi urologi. Klasifikasi tentatif dari prosedur urologi
dalam kaitannya dengan level kontaminasi bidang operasi yang berbeda.
Resiko infeksi luka atau SSI diekspresikan dalam persen (d engan tanda
kurung di kolom kiri) sebagai infeksi luka klasik tanpa antibiotik
profilaksis dan tidak ada bacteriuria atau UTI klinis dalam operasi urologi
(Dimodifikasi dari Urogenital infections, EAU/ICUD, 2010, p. 674 -75).
Dalam tabel ini beberapa contoh prosedur terbuka (open) dan
laparoskopik diberikan serta prinsip dasar ABP.

Kontaminasi Deskripsi Operasi Antibiotik


operasi terbuka atau profilaksis
laparoskopik
urologi (contoh
prosedur)
Clean (I) (1-4%) Lokasi operasi Nephrectomy Tidak
tidak terinfeksi sederhana
Saluran Operasi scrotal
urogenital tidak terencana
dimasuki Vasektomi
Tidak ada bukti Varicocoele
inflammasi
Tidak ada jeda
dalam teknik
Clean- Saluran Perbaikan Dosis tunggal
contaminated urogenital (UT) pelvio-ureteric sebelum (oral)
(UT) (IIA) dimasuki dengan junction atau pada saat
(tidak banyak sedikit atau tidak Resection tumor operasi (i.v)
dipelajari) ada spillage nephrone-
(terkontrol) sparing
Tidak ada jeda Prostatectomy
dalam teknik total
Operasi kandung
kemih,
cystectomy
parsial
Clean- Saluran Diversi urine Dosis tunggal
contaminated gastrointestinal (usus halus) sebelum (oral)
(perut) (IIB) (4- (GIT) dimasuki Penggantian atau pada saat
10%) dengan sedikit kandung kemih operasi (i.v)
atau tidak ada ortotopik, ileal
spillage conduit
(terkontrol)
Tidak ada jeda
dalam teknik
Contaminated UT dan/atau GIT Diversi urin Kontrol
(IIIA) (10-15%) dimasuki, spillage (usus besar) bacteriuria
konten GI; Spillage (usus sebelum operasi
jaringan halus dan usus Dosis tunggal
inflammatory; besar) pada saat
jeda besar dalam Concomittant GI operasi.
teknik; luka segar disease Perhitungkan
terbuka Trauma operasi perpanjangan
regime
Dirty (IV) (15- Infeksi yang Drainage abscess
40%) sudah ada Trauma operasi
sebelumnya; yang besar dan
viscera kotor/dirty
perforation
Luka traumatis
lama

Tabel 15.4b: Klasifikasi tentatif dari prosedur urologi endoskopik


diagnostik dan terapeutik yang berbeda dalam kaitannya dengan level
kontaminasi bidang operasi. Bacteriuria adalah faktor kunci untuk
memisahkan antara lingkungan operasi clean-contaminated dan
contaminated (dimodifikasi dari Urogenital Infection EAU/ICUD, 2010, p
674-75).

Level Bacteri Prosedu TURB dan URS SWL Prophyola


kontamin uria r TURP PCNL xis
asi bidang diagnost Antibiotik
operasi ik
Clean (I) Tidak Cystosco TURB URS Ginjal Tidak
py kecil/fulguras diagnostik standar
Studi i (serupa (sederhana dari
urodina cystoscopy) , tidak ada ureter
mika sejarah Tidak
UTI) ada
obstruksi
, tidak
ada
sejarah
UT
Clean- Tidak Trans- TURB tumor URS Ginjal Dosis
contamina perineal besar (tidak diagnostik standar tunggal
ted (UT) prostate ada sejarah Uncomplic atau sebelum
(IIA) biopsy UTI) ated stone ureter (oral) atau
TURP (tidak (tidak ada Obstruksi pada saat
ada sejarah obstruksi, menenga operasi
UTI atau RF tidak ada h (i.v)
teridentifikasi stent, dan/atau
lainnya) tidak sejarah
BU terkontrol ‘impacted’ UTI
)
Sejarah
UTI
Contamin Ya Trans- TURB Complicat Stone Kontrol
ated perineal nekrosis/bacte ed stone kompleks bacteriuria
(UT=IIIA prostate riuria (obstruksi Obstruksi sebelum
) biopsy TURP pada moderat, Nephrost operasi
(sejarah pria dengan ‘impacted’ omy atau Dosis
UTI) indwelling ) JJ stent tunggal
Trans- catheter atau eksis pada saat
rectal bacteriuria operasi
prostate Pertimban
biopsy gkan
perpanjan
gan
regimen
Infected/ Ya Prostate UTI klinis Perawatan
Dirty (IV) biopsy Drainage seperti yang diperlukan antibiotik
pada TURB, TURP emergensi
pria
dengan
kateter
atau UTI

Tabel 15.5: Rekomendasi untuk antibiotik profilaksis perioperatif dalam


urologi

Prosedur Patogen Profilaksis Antibiotik Keteranga


(expected) n
Prosedur diagnostik
Transrectal biopsy Enterobacter Semua Fluoroquinolon Dosis
dari prostat iaceae pasien e±SMX tunggal
Anaerobes? Alternatif metronidazole? efektif
tertarget 2 1
dalam
Alternatif pasien
tertarget 2 resiko
rendah
Pertimbang
kan
perpanjang
an
pemberian
pada pasien
beresiko
tinggi
Cystoscopy Enterobacter Tidak TMP±SMX Dipertimba
Pemeriksaan iaceae Cephalosporin ngkan pada
urodinamika Enterococci generasi kedua pasien
Staphylococ beresiko
ci tinggi
Ureteroscopy Enterobacter Tidak TMP±SMX Dipertimba
iaceae Cephalosporin ngkan pada
Enterococci generasi kedua pasien
Staphylococ beresiko
ci tinggi
Operasi endourologi dan SWL
SWL Enterobacter Tidak TMP±SMX
iaceae Cephalosporin
Enterococci generasi kedua
atau ketiga
Aminopenicilli
n/BLIa
SWL dengan stent Enterobacter Semua TMP±SMX Pasien
atau tube iaceae pasien Cephalosporin beresiko
nephrostomy Enterococci generasi kedua
atau ketiga
Aminopenicilli
n/BLI
Fluoroquinolon
e
Ureteroscopy utuk Enterobacter Tidak TMP±SMX Dipertimba
uncomplicated iaceae Cephalosporin ngkan pada
distal stone Enterococci generasi kedua pasien
Staphylococ atau ketiga beresiko
ci Aminopenicilli tinggi
n/BLI
Fluoroquinolon
e
Ureteroscopy Enterobacter Semua TMP±SMX Jalur
proximal atau iaceae pasien Cephalosporin pendek
impacted stone Enterococci generasi kedua Panjangnya
dan ekstraksi batu Staphylococ atau ketiga harus
perkutan ci Aminopenicilli ditentukan
n/BLI Intravena
disarankan
pada saat
operasi
TURP Enterobacter Semua TMP±SMX Pasien
iaceae pasien Cephalosporin beresiko
Enterococci generasi kedua rendah dan
atau ketiga prostat
Aminopenicilli berukuran
n/BLI kecil
mungkin
tidak
membutuhk
an
profilaksis
TUR dari tumor Enterobacter Tidak TMP±SMX Dipertimba
kandung kemih iaceae Cephalosporin ngkan pada
Enterococci generasi kedua pasien
atau ketiga beresiko
Aminopenicilli tinggi dan
n/BLI tumor besar
Operasi urologi laparoskopik atau terbuka
Operasi clean Patogen Tidak Dipertimba
terkait-kulit, ngkan pada
misal pasien
staphylococc beresiko
i tinggi
Uropatogen Kateter
terasosiasi postoperati
kateter ve pendek
diperlukan
untuk
perawatan
Clean- Enterobacter Direkomend TMP±SMX Jalur
contaminated iaceae asikan Cephalosporin perioperatif
(pembukaan Enterococci generasi kedua tunggal
saluran urinary) Staphylococ atau ketiga
ci Aminopenicilli
n/BLI
Clean- Enterobacter Semua Cephalosporin Untuk
contaminated/cont iaceae pasien generasi kedua operasi
aminated Enterococci atau ketiga kolonik
(menggunakan Anaerobes Metronidazole
segmen perut) Bakteri
terkait-kulit
Implan alat Bakteri Semua Cephalosporin
prostetik terkait-kulit, pasien generasi kedua
misal., atau ketiga
staphylococc Penicillin
i (peniccilinase
stable)
1
Tidak ada bukti untuk metronidazole dalam biopsi inti prostat
2
Peningkatan resistensi fluoroquinolone harus dinilai
a
=bakteri gram negatif tidak termasuk Pseudomonas aeruginosa

14.3 Daftar pustaka

15. LAMPIRAN
15.1 Kriteria untuk diagnosis UTI, yang dimodifikasi menurut
IDSA/European Society of Clinical Microbiology and Infectious Disease
Guidelines
Kategori Deskripsi Fitur klinis Investigasi
laboratorium
1 Acute Dysuria, urgensi, >10WBC/mm 3
uncomplicated UTI frekuensi, >10 3 cfu/mL*
pada wanita; acute suprapubic pain,
uncomplicated tidak ada gejala
cystitis pada wanita urinary dalam 4
minggu sebelum
episode ini
2 Acute Demam, menggigil, >10WBC/mm 3
uncomplicated flank pain, diagnosa >10 4 cfu/mL*
pyelonephritis lain dikecualikan,
tidak ada sejarah
atau bukti klinis
abnormalitas urologi
(ultrasonography,
radiography)
3 Complicated UTI Kombinasi apapun >10WBC/mm 3
dari gejala di >10 5 cfu/mL*
kategori 1 dan 2 pada wanita
diatas, satu atau >10 4 cfu/mL*
lebih faktor yang pada pria, atau
diasosiasikan pada urin
dengan sebuah straight catheter
complicated UTI pada wanita
(lihat teks)
4 Asymptomatic Tidak ada gejala >10WBC/mm 3
bacteriuria urinary >10 5 cfu/mL*
dalam dua kultur
MSU berturutan
5 Recurrent UTI Setidaknya tiga >10 3 cfu/mL*
(profilaksis episode infeksi
antimikroba) uncomplicated yang
didokumentasikan
oleh kultur dalam 12
bulan terakhir:
wanita saja, tidak
ada abnormalitas
struktural/fungsional
Semua hitungan pyuria merujuk pada urin tak diputar (unspun urine)
*Uropathogen dalam kultur MSU

16.1.1 Daftar pustaka

15.2 Rekomendasi untuk terapi antimikroba dalam urologi

Diagnosis Patogen/spesie Terapi antimikroba Durasi terapi


s yang paling empiris awal
sering muncul
Cystitis  E.coli  TMP-SMX 1 3 hr
acute,  Klebsiella  Nitrofurantoin 5-7 hr
uncomplicat  Proteus  Fosfomycin 1 hr
ed  Staphylococ trometamol 3-5 hr
ci  Pivmecillinam
Alternatif: 1-3 hr
 Fluoroquinolone 2,3

Pyelonephrit  E.coli  Fluoroquinolone 2 7-10 hr


is acute,  Klebsiella  Cephalosporin (grup
uncomplicat  Proteus 3a)
ed  Staphylococ Alternatif:
ci  Aminopenicillin/BLI
 Aminoglycosida
UTI dengan  E.coli  Fluoroquinolone 2 3-5 hr setelah
faktor  Enterococci  Aminopenicillin/BLI defervescence
komplikasi atau
 Pseudomona  Cephalosporin kontrol/elimin
s (grup 2) asi dari faktor
 Staphylococ  Cephalosporin komplikasi
ci (grup 3a)
Nosocomial  Klebsiella  Aminoglycoside
UTI  Proteus Dalam kasus kegagalan
Pyelonephrit  Enterobacter terapi awal dalam 1-3
is parah,  Enterobacter hari atau dalam kasus
akut, ia lain klinis:
complicated  (Candida) Anti-Pseudomonas aktif:
 Fluoroquinolone, jika
tidak digunakan
diawal
 Acylaminopenicillin/
BLI
 Cephalosporin (grup
3b)
 Carbapenem
 ±Aminoglycoside
Dalam kasus Candida:
 Fluconazole
 Amphotericin B
Prostatitis  E.coli  Fluoroquinolone 2 Akut:
acute, kronis  Enterobacter Alternatif dalam 2-4 minggu
Epididymitis ia lain prostatitis bakteri akut:
Ureaplasma:  Pseudomona  Cephalosporin (grup
Akut s 3a/b)
Urosepsis Kronis Dalam kasus Chlamydia
 Staphylococ atau Ureaplasma: Kronis:
ci  Doxycycline 4-6 minggu
 Chlamydia  Macrolide atau lebih lama
 Ureaplasma
 Cephalosporin 3-5 hari
 E. coli
setelah
 Enterobacter (grup 3a/b)
 Fluoroquinolone 2 defervescence
ia lain
atau
Setelah  Anti-Pseudomonas
kontrol/elimin
intervensi aktif
asi dari faktor
urologi – acylaminopenicillin/B
komplikasi
patogen multi LI
resisten:  Carbapenem
 Pseudomona  ±Aminoglycosida
s
 Proteus
 Serratia
 Enterobacter
1
Hanya di area dengan tingkat resistensi <20% (untuk E. coli)
2
Fluoroquinolone dengan eksresi renal utama (lihat teks)
3
Hindari Fluoroquinolone dalam cystitis uncomplicated kapanpun
memungkinkan

15.3 Rekomendasi untuk preskripsi antimikroba dalam gagal ginjal

Antibiotik GFR (mL/min) Komentar


Ringan Menenga Berat/Parah
50-20 h <10
20-10
*Aciclovir Dosis Dosis 50% dari dosis Diberikan
normal normal normal tiap 24 paska-HD
tiap 12 tiap 24 jam
jam jam
Aciclovir po normal Herpes Herpes simplex: Diberikan
simplex: 200 mg bid paska-HD
normal Herpes zoster:
Herpes 800 mg bd
zoster:
800 mg
Total
Dissolved
Solids
(tds)
Amikacin 5-6 3-4 mg/kg 2 mg/kg 24-48 Diberikan
mg/kg 12 24 jam jam paska-HD
jam HD: 5 Monitor pra-
mg/kg dan 1 jam paska
paska HD level dosis
dan setelah dosis
monitor ketiga dan
level sesuaikan dosis
Amoxicillin po Normal Normal 250 mg 8 jam Diberikan
(normal) paska-HD
Amphotericin Normal Normal Normal
(Liposonal+lipi Amphotericin sangatlah NEPHROTOXIC
d complex) Pertimbangkan menggunakan
liposomal/lipid complex amphotericin
Monitoring harian fungsi renal (GFR)
akan esensial
Ampicillin IV Normal 250-500 250 mg 6 jam Diberikan
mg 6 jam (500 mg 6 jam) paska-HD
Benzylpenicillin Normal 75% 20-50% Diberikan
Max 3.6 g/hari paska-HD
(1.2 g qds)
Rujuk pada
mikrobiologi
untuk dosis
dalam SBE
Caspofungin Normal Normal Normal
Cefotaxime Normal Normal 1 g stat maka Diberikan
50% paska-HD
Cefradine Normal Normal 250 mg 6 jam Diberikan
paska-HD
Ceftazidime 1 g 12 1 g 24 jam 500 mg 24 jam Diberikan
jam (1 g 24 jam) paska-HD
Ceftriaxone Normal Normal Normal
Max 2g/hari
Cefuroxime IV Normal 750 mg- 750 mg 24 jam Diberikan
1.5 g 12 (750 mg 12 jam) paska-HD
jam
Ciproflazin Normal 50% 50%
IV+po
Clarithromycin Normal Normal 50% Diberikan
IV+po paska-HD
Clindamycin Normal Normal Normal
IV+po
Co-amoxiclav Normal 1.2 stat 1.2 stat Diberikan
IV (Augmentin) kemudian kemudian 50% paska-HD
50% 12 24 jam
jam (1.2 g kemudian
(1.2 g 12 600 mg 12 jam)
jam)
Co-amoxiclav Normal 375-625 375 mg 12 jam Diberikan
po (Augmentin) mg 12 jam (375 mg 8 jam) paska-HD
(375 mg 8
jam)
*Co- Normal Normal 50% Diberikan
trimoxazole IV untuk 3/7 paska-HD
kemudian
50%
Doxycycline Normal Normal Normal Tetracycline lain
terkontraindikas
i dalam
kerusakan renal
Erythromycin Normal Normal Normal
IV+po Max 1.5g/hari
(500 mg qds)
*Ethambutol Normal 24-36 jam 48 jam Diberikan
paska-HD
Monitor level jika GFR < 30mL/menit
(kontak Mirco)
Flucloxacillin Normal Normal Normal
IV+po Max 4 g/hari
Fluconazole Normal Normal 50% Diberikan
paska-HD
Tidak ada
penyesuaian
dalam terapi
dosis tunggal
yang diperlukan
*Flucytosine 50 mg/kg 50 mg/kg 50 mg/kg stat Diberikan
12 jam 24 jam kemudian dosis paska-HD
sesuai level Level harus
dimonitor
pradialisis
Fusidic acid Normal Normal Normal
1)Gentamicin GFR 10-40 mL/min GFR<10mL/mi KEDUA
Sekali Sehari 3mg/kg stat (maks n METODE
300 mg) 2 mg/kg (maks Diberikan
Cek level pra-dosis 200 mg) paska-HD
18-24 jam setelah Dosis ulang Monitor level
dosis pertama sesuai level darah
Dosis ulang ketika
level <1 mg/L
2)Gentamicin 80 mg 12 80 mg 48 80 mg 24 jam Sekali sehari:
Konvensional jam jam HD: 1-2 mg/kg pra- saja
Paska-HD: Dosis Konvensional:
ulang sesuai pra dan 1 jam
level paska level yang
diperlukan
Imipenem Normal Normal 200-300 mg 24 Diberikan
jam paska-HD
Isoniazid Normal Normal 200-300 mg 24 Diberikan
jam paska-HD
Itraconazole Normal Normal Normal
Levoflaxacin 500 mg 500 mg 500 mg stat **
stat stat kemudian 125 Diaplikasikan
kemudia kemudian mg od jika dosis penuh
n 250 mg 125 mg adalah 500 mg
bid** bid** bid
Jika dosis penuh
adalah 500 mg
od, dosis
dikurangi lima
tiap hari
Linezolid Normal Normal Normal Diberikan
paska-HD
Meropenem 12 jam 50% 12 50% 24 jam Diberikan
jam paska-HD
Metronidazole Normal Normal 12 jam (normal) Diberikan
paska-HD
Nitrofurantoin Jangan digunakan dalam kerusakan renal
Penicillin V Normal Normal Normal Diberikan
paska-HD
Piperacillin/ 4.5 g 8 4.5 g 12 4.5 g 12 jam Diberikan
Tazobactam jam jam paska-HD
(Tazocin)
Pyrazinamide Normal Normal Normal
Rifampicin Normal Normal 50-100%
*Teicoplanin 100% 48 100% 72 100% 72 jam Reduksi dosis
jam jam setelah hari
ketiga terapi
Tetracycline Lihat Doxycycline
Trimethoprim Normal Normal 50% 24 jam Diberikan
untuk 3/7 paska-HD
kemudian
50% 18
jam
Vancomycin 1 g od 1 g 48 jam 1 g stat (atau 15 Monitor level
Cek level Cek level mg/kg, hingga pra-dosis dan
pra-dosis pra-dosis maks 2 g) sesuaikan dosis
sebelum sebelum Cek ulang level dengan
dosis dosis setelah 4-5 hari kebutuhan
ketiga kedua HANYA berikan
dosis lanjutan
ketika level <12
mg/L
Vorinconazole Normal Normal Normal Diberikan
paska-HD
bid=dua kali sehari, HD=haemodialysis, od=sekali sehari, po=dengan mulut,
qid=empat kali sehari, SBE=subacute bacterial endocarditis, tds=total dissolved
solids (total padatan terlarut), qds=Quantum Dots.

15.4 CPSI
Dari Litwin MS, McNaughton-Collins M, Fowler FJ Jr, Nickel JC, Calhoun MA,
Pontari MA, Alexander RB, Farrar JT, O’Leary MP. The National Institute of
Health chronic prostatitis symptom index: development and validation of new
outcome measure. Chronic Prostatitis Collaborative Research Network. J Urol
1999: 162; 369-375

NIH – Chronic Prostatitis Symptom Index (NIH-CPSI)


Rasa Sakit atau Ketidaknyamanan
1. Dalam minggu terakhir, apakah Anda merasakan sakit atau tidak nyaman di
area berikut? (Ya, Tidak)
a. Area antara rektum dan testikel (perineum)
b. Testikel
c. Ujung penis (tidak terkait urinasi)
d. Dibawah pinggang, di area pubik atau kandung kemih
2. Dalam minggu terakhir, apakah Anda mengalami: (Ya, Tidak)
a. Rasa sakit atau terbakar saat urinasi?
b. Rasa sakit atau tidak nyaman selama atau setelah klimaks seksual
(ejakulasi)?
3. Seberapa sering Anda merasakan sakit atau tidak nyaman dalam area berikut
ini dalam minggu terakhir?
0 Tidak pernah
1 Jarang
2 Kadang-kadang
3 Seringkali
4 Biasanya
5 Selalu
4. Nomer mana yang paling mendeskripsikan rasa sakit atau tidak nyaman RATA -
RATA pada hari ketika Anda merasakannya, dalam minggu terakhir?
012345678910
Tidak ada rasa sakit Sangat sakit sekali

Urinasi
5. Seberapa sering Anda merasakan sensasi tidak mengosongkan kandung kemih
Anda sepenuhnya setelah selesai buang air kecil selama minggu terakhir ?
0 Tidak sama sekali
1 Kurang dari 1 kali dari 5 kali
2 Kurang dari separuhnya
3 Sekitar separuhnya
4 Lebih dari separuh
5 Hampir selalu
6. Seberapa sering Anda harus buang air kecil kembali dalam kurang dari dua jam
setelah Anda buang air kecil, selama minggu lalu?
0 Tidak sama sekali
1 Kurang dari 1 kali dari 5 kali
2 Kurang dari separuhnya
3 Sekitar separuhnya
4 Lebih dari separuh
5 Hampir selalu

Dampak Gejala
7. Seberapa jauh gejala yang Anda alami menghalangi Anda untuk melakukan
berbagai hal yang biasanya Anda lakukan sepanjang minggu lalu?
0 Tidak sama sekali
1 Hanya sedikit
2 Beberapa
3 Seringkali

8. Berapa banyak menurut Anda munculnya gejala Anda sepanjang minggu lalu?
0 Tidak sama sekali
1 Hanya sedikit
2 Beberapa
3 Seringkali

Kualitas Hidup
9. Jika Anda ingin menghabiskan sisa hidup Anda dengan gejala ini, seperti yang
telah Anda alami minggu lalu, bagaimana perasaan Anda mengenai ini?
0 Senang sekali
1 Senang
2 Sangat puas
3 Mixed (seimbang antara puas dan tidak puas)
4 Sangat tidak puas
5 Tidak senang
6 Mengerikan

Skoring NIH-CPSI Prostatitis Syndrome Index Domain


Rasa Sakit:
Total item 1a, 1b, 1c, 1d, 2a, 2b, 3 dan 4 = ___
Gejala urinary:
Total item 5 dan 6 = ___
Dampak kualitas hidup:
Total item 7, 8 dan 9 = ___
15.5 Teknik lokalisasi Meares & Stanney*

1. Kurang lebih 30 menit sebelum mengambil spesimen, pasien harus


meminum 400 ml cairan (dua gelas). Tes akan dimulai ketika pasien ingin
buang air kecil.
2. Tutup dari empat kontainer spesimen yang ditandai VB 1 , VB 2 , EPS dan
VB 3 harus dibuka. Tempatkan kontainer tanpa tutup dalam permukaan
datar dan tetap jaga sterilitas.
3. Cuci tangan
4. Keluarkan penis dan tarik kulit khitan sehingga kelenjar terekspos. Kulit
khitan harus selalu dalam kondisi tertarik.
5. Bersihkan kelenjar dengan larutan sabun, ganti sabun dengan kain steril
atau kapas dan keringkan kelenjar
6. Urinasi 10-15 ml ke dalam kontainer pertama yang diberi label VB 1
7. Urinasi 100-200 ml ke mangkuk toilet atau wadah dan tanpa mengganggu
aliran urin, urinasi 10-15 ml ke dalam kontainer kedua ditandai VB 2
8. Pasien membungkuk ke depan dan memegang kontainer spesimen steril
(EPS) untuk menangkap sekresi prostat
9. Dokter memijat prostat hingga beberapa tetes sekresi prostat (EPS)
diperoleh
10. Jika tidak ada EPS yang bisa diambil selama pemijatan, satu tetes bisa ek sis
di rongga urethra dan tetes ini harus diambil dengan loop terkalibrasi 10µl
dan dikulturkan
11. Segera setelah pemijata prostat, pasien urinasi 10-15 ml ke dalam kontainer
yang ditandai VB 3 .

15.6 Agen antibakteri

Grup Agent
Kombinasi trimethoprim- Trimethoprim, co-trimoxazole, co-
sulphonamide tetroxoprime (trimethoprim plus
sulfametrol)
Fluoroquinolone 1,2
Grup 1 Norfloxacin, pefloxacin
Grup 2 Enoxacin, fleroxacin, lomefloxacin,
ofloxacin, ciprofloxacin
Grup 3 Levofloxacin
Grup 4 Gatifloxacin, moxifloxacin
Macrolides Eryhtromycin, roxithromycin,
clarithromycin, azithromycin
Tetracyclines Doxycycline, minocycline,
tetracycline
Fosfomycin Fosfomycin sodium, fosfomycin
trometamol3
Nitrofuran 4 Nitrofurantoin
Penicillin
Benzylpenicillin Penicillin G
Phenoxypenicillin Penicillin V, propicillin, azidocillin
Isoxazolylpenicillin Oxacillin, cloxacillin, dicloxacillin,
flucloxacillin
Aminobenzylpenicillin 5 Ampicillin, amoxycillin,
bacampicillin
Aminopenicillin/BLI 6 Ampicillin/sulbactam,
amoxycillin/asam clavulanic
Acylaminopenicillin Mezlocillin, piperacillin
±BLI 6 Piperacillin/tazobactam, sulbactam 6
Cephalosporins 1
Grup 1 (oral) Cefalexin, cefadroxil, cefaclor
Grup 2 (oral) Loracarbef, cefuroxime axetile
Grup 3 (oral) Cefpodoxime proxetile, cefetamet
pivoxil, ceftibuten, cefixime
Grup 1 (parenteral) Cefazolin
Grup 2 (parenteral) Cefamandole, cefuroxime, cefotiam
Grup 3a (parenteral) Cefodizime, cefotaxime, ceftriaxone
Grup 3b (parenteral) Cefoperazone, ceftazidime
Grup 4 (parenteral) Cefepime, cefpirome
Grup 5 (parenteral) Cefoxitin
Monobactams Aztreonam
Carbapenems Imipenem, meropenem, ertapenem
Aminoglycosida Gentamicin, netilmicin, tobramycin,
amikacin
Glycopeptida Vancomycin, teicoplanin
Oxazolidone Linezolid
1
Klasifikasi menurut Paul Ehrlich Society for Chemotherapy
2
Hanya pada orang dewasa, kecuali wanita hamil dan menyusui
3
Hanya pada cystitis akut uncomplicated sebagai dosis tunggal
4
Terkontraindikasi dalam gagal ginjal dan pada bayi baru lahir
5
Dalam kasus resistensi, patogen cenderung produsen β-lactamase
6
BLI hanya dapat digunakan dalam kombinasi dengan antibiotik β -lactam
7
Dalam larutan, ketidakstabilan penyimpanan

15.6.1 Penicillin
Penicillin G dan penicillin oral, penicillin V, propicillin, dan azidocillin,
memiliki aktivitas intrinsik tinggi terhadap streptococci dan pneumococci.
Namun, tingkat resistensi pneumococci sangat bervariasi antar negara. Di
Jerman, resistensi penicillin dalam pneumococci masih <1%. Karena spektrum
aktivitas mereka yang rendah, penicillin ini tidak memiliki peranan
apapundalam perawatan/penanganan untuk infeksi urogenital.

15.6.1.1 Aminopenicillin
Aminopenicillin misal ampicillin dan amoxycillin, memiliki spektrum
aktivitas yang lebih luas. Terlepas dari streptococci dan pneumococci,
mereka mencakup enterococci, Haemophilus influenza, Haemophilus
parainfluenza, Listeria sp, E. coli, Pr. mirabilis, d an Salmonella dan
Shigella sp. Namun, resistensi bisa terjadi.
Aminopenicillin termasuk sensitif terhadap β-lactamase. Mereka
karenanya tidak cukup aktif terhadap spesies tertentu, seperti staphylococci,
Moraxella catarrhalis, Bacteroides fragilis, dan b anyak enterobacteria.
Kesenjangan dalam spektrum aktivitas ini dapat ditutup dengan penggunaan
sebuah BLI (clavulanic acid atau sulbactam). Amoxycillin/clavulanic acid
dan ampicillin/sulbactam tersedia di pasar sebagai kombinasi fix. Indikasi
untuk aminopenicillins dan kombinasi mereka dengan BLI adalah infeksi
saluran pernapasan ringan, UTI dan juga infeksi kulit dan jaringan lunak.

15.6.1.2 Acylaminopenicillin
Acylaminopenicillin akan termasuk apalcillin, azlocillin, mezlocillin, dan
piperacillin. Mereka dikarakterisasikan dengan aktivitas tinggi terhadap
enterococci, enterobacteria dan Pseudomonas (aktivitas mezlocillin lebih
lemah). Acylaminopenicillin dihidrolisis oleh β-lactamase dan karenanya
hanya aktif terhadap strain staphylococci penghasil β-lactamase, B. fragilis,
dan jika digunakan berkombinasi dengan BLI, bisa untuk beberapa
enterobacteria. Kombinasi aclyminopenicillin/BLI menyediakan spektrum
aktivitas luas dan bisa digunakan untuk sejumlah besar indikasi, termasuk
complicated UTI dan urosepsis. Sebuah pemilihan kombinasi bebas dengan
sulbactam akan tersedia, atau terdapat kombinasi fix tazobactam dan
piperacillin, yang memiliki kelebihan mudah dalam digunakan dan sebuah
databse yang terdokumentasi baik diambil dari studi klinis berkualifikasi.

15.6.1.3 Isoxazolylpenicillin
Isoxazolylpenicillin tersedia sebagai obat parenteral dengan oxacillin dan
flucloxacillin, dan memiliki spektrum aktivitas sempit.Indikas i mereka
dibatasi pada infeksi yang disebabkan oleh S. aureus. Karena parameter
farmakokinetik suboptimal mereka, isoxazolylpenicillin lebih disukai untuk
digunakan dalam infeksi ringan pada kulit dan jaringan lunak, serta untuk
teling, hidung dan tenggorokan. Mereka tidak memainkan peranan dalam
perawatan untuk UTI, tapi bisa digunakan untuk abscess staphylococcal di
area genital/kelamin.

15.6.2 Cephalosporin parenteral


Menurut Paul Ehrlich Society for Chemotherapy, cephalosporin parenteral
telah diklasifikasikan ke dalam lima kelompok, sesuai dengan spektrum
aktivitas mereka (Tabel 16.7.2).

15.6.2.1 Grup 1 cephalosporin


Cephalosporin grup 1 (cefazolin dan cefazedone) sangatlah aktif terhadap
streptococci dan staphylococci (termasuk strain resisten -penicillin-G).
Mereka hanya memiliki aktivitas lemah terhadap mikroorganisme gram -
negatif. Seperti semua cephalosporin, cefazolin tidaklah aktif terhadap
enterococci dan MRSA dan methicillin-resistant coagulase-negative
staphylococci (MRSE).

15.6.2.2 Grup 2 cephalosporin


Dibandingkan dengan cephalosporin grup 1, grup 2 ini misal cefuroxime,
cefotiame dan cefamandole, menunjukkan peningkatan aktivitas terhadap
patogen gram negatif dan mempertahankan aktivitas tinggi terhadap
staphylococci

15.6.2.3 Grup 3a cephalosporin


Cephalosporin grup 3a memiliki aktivitas tinggi terhadap bakteri gram
negatif dan memiliki lebih sedikit aktivitas terhadap staphylococci. Mereka
berbeda terutama dalam karakteristik farmakokinetiknya.

15.6.2.4 Grup 3b cephalosporin


Cephalosporin grup 3b, misal., ceftazidime dan cefoperazone, telah
menambah aktivitas anti-pseudomonal yang tinggi. Namun aktivitas
cefoperazone terhadap P.aeruginosa masih inferior dibandingkan dengan
senyawa lain dalam grup ini.

15.6.2.5 Grup 4 cephalosporin


Cephalosporin grup 4, misal., cefepime dan cefpirome, memiliki aktivitas
sebanding terhadap bakteri gram negatif, tapi lebih stabil terhadap
perpanjangan spektrum β-lactamase, dan sebuah aktivitas yang lebih baik
terhadap bakteri gram positif.

15.6.2.6 Grup 5 cephalosporin


Cephalosporin grup 5 dikarakterisasikan oleh aktivitas anti anaerob mereka.
Cephalosporin ini memiliki aktivitas superior terhadap bakteri gram negatif
jika dibandingkan dengan grup 1 dan 2, tapi kebanyakan diantara mereka
lebih lemah daripada obat grup 3. Pada saat ini, cefoxitin adalah satu-
satunya obat dari grup ini yang tersedia di pasar beberapa negara.

Tabel 16.6.2: Klasifikasi cephalosporin parenteral


Grup Nama generik Fitur grup
Grup 1 Cefazolin  Aktif terhadap gram
(generasi pertama) Cefazedone positif dan sebagian
terhadap gram
negatif
 Stabil terhadap
staphylococcal
penicillinase
 Tidak stabil
terhadap β-
lactamase bakteri
gram negatif
Grup 2 Cefuroxime  Aktivitas terhadap
(generasi kedua) Cefotiame gram positif cukup
Cefamandole bagus tapi lebih
lemah daripada
grup 1
 Aktivitas terhadap
bakteri gram
negatif lebih unggul
daripada grup 1
 Stabil terhadap
staphylococcal
penicillinase
 Stabilitas terbatas
terhadap β-
lactamase dan
bakteri gram
negatif
Grup 3a Cefotaxime  Aktivitas terhadsap
(Generasi ketiga) Ceftriaxone bakteri gram
Ceftizoxime negatif jelas lebih
Cefmenoxime unggul daripada
Cefodizime grup 1 dan 2
 Stabil terhadap
beragam β-
lactamase dari
bakteri gram
negatif
 Kurang aktif secara
mikrobiologis
terhadap
staphylococci
Grup 3b Ceftazidime  Spektrum aktivitas
(Generasi ketiga) Cefoperazone antibakteri serupa
seperti grup 3a
 Aktivitas tambahan
terhadap
P.aeruginosa
Grup 4 Cefepime  Spektrum aktivitas
(Generasi keempat) Cefpirome antibakteri serupa
dengan grup 3a
 Aktivitas tambahan
terhadap P.
aeruginosa
Grup 5 Cefoxitin  Stabilitas yang
(Generasi kelima) lebih tinggi
terhadap beta-
lactamase
dibandingkan
dengan grup 3b
 Dengan aktivitas
anti anaerob
 Aktivitas unggul
terhadap bakteri
gram negatif
dibandingkan grup
1 dan 2
 Lebih lemah
daripada grup 3
15.6.3 Cephalosporin oral
Cephalosporin oral diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok, berdasarkan atas
spektrum aktivitas mereka, sesuai dengan rekomendasi Paul Ehrlich Society
for Chemotherapy (Tabel 16.7.3).

Tabel 16.7.3: Klasifikasi cephalosporin oral

Cephalosporin oral Nama obat


Grup 1 Cefalexin
Cefadroxil
Cefaclor
Grup 2 Cefprozil
Loracarbef
Cefurexime axetile
Grup 3 Cefpodoxime proxetile
Cefetamet pivoxile
Ceftibuten
Cefixime

15.6.3.1 Grop 1 cephalosporin oral


Cephalosporin oral grup 1 termasuk cefalexin, cefadroxil dan cefaclor.
Mereka khususnya aktif terhadap cocci gram positif dengan aktivitas
terbatas untuk H. influenza (cefaclor). Indikasi utama mereka adalah infeksi
kulit dan jaringan lunak, dan dengan keterbatasan, infeksi saluran
pernapasan. Aktivitas mereka terhadap enterobacteria cukup terbatas,
sehingga, mereka hanya bisa direkomendasikan untuk pengobatan atau
profilaksis uncomplicated UTI pada anak-anak atau wanita hamil, diman
apenggunaan antibiotik lain akan terbatas.

15.6.3.2 Grop 2 cephalosporin oral


Aktivitas cefprozil terhadap S.aureus, Streptococcus pyogenes,
Streptococcus pneumoniae, H.influenza dan Mor. Catarrhalis yang lebih
tinggi daripada cefaclor. Namun, cefprozil kurang aktif dibandingkan
cefaclor terhadap E. coli, Klebsiella pneumoniae, dan Pr. mirabilis.
Loracarbef secara struktural cukup dekat dengan cefaclor.
Berkebalikan dengan cefaclor, obat ini stabil dalam larutan, memiliki
farmakokinetik yang lebih baik dan spektrum antibakteri yang le bih luas.
Namun, aktivitasnya terhadap staphylococci lebih rendah daripada cefaclor.
Indikasi utama adalah infeksi saluran respirasi, kulit dan jaringan lunak
serta uncomplicated UTI.
Cefuroxime axetile memiliki stabilitas β-lactamase yang lebih tinggi
dan juga spektrum yang lebih luas daripada lainnya di dalam kelompok ini.
Obat ini bisa digunakan untuk infeksi bakteri di atas (termasuk media otitis)
dan bawah saluran respirasi, untuk infeksi kulit dan jaringan lunak, serta
UTI.

15.6.3.3 Grop 3 cephalosporin oral


Cephalosporin oral grup 3 memiliki aktivitas yang lebih tinggi dan
spektrum yang lebih luas terhadap enterobacteria dibandingkan dengan
cephalosporin grup 2. Berkebalikan dengan ini, aktivitas mereka terhadap
bakteri gram positif lebih rendah. Terhadap staphylococci, aktivitas
cefpodoxime proxetil termasuk intermediate, dimana cefetamet pivoxil,
ceftibuten dan cefixime termasuk tidak aktif.
Indikasi utama untuk cephalosporin oral grup 3 adalah infeksi
komplikasi di saluran respirasi (mengingat staphylococci dapat
dikesampingkan) dan infeksi yang disebabkan oleh enterobacteria, misal.,
UTI atau infeksi dalam pasien immunocompromised. Cephalosporin oral
grup 3 juga cocok untuk terapi alih oral yakni, ketika terapi parenteral awal
(menggunakan cepahlosporin parenteral grup 3a) perlu dilanjutkan secara
oral. Selain itu, cefixime terlisensi pula untuk pengobatan gonorrhea.

15.6.4 Monobactam
Diantara monobactam, hanya aztreonam yang tersedia. Obat ini aktif hanya
untuk aerob gram negatif. Dalam hal ini, spektrum dan aktivitasnya serupa
dengan cephalosporin parenteral grup 3b.

15.6.5 Carbapenem
Carbapenem adalah antibiotik spektrum luas dengan aktivitas yang bagus
terhadap bakteri gram positif dan gram negatif termasuk anaerob. Mereka
biasanya digunakan dalam pengobatan infeksi campuran dan dalam terapi awal
penyakit yang mengancam keselamatan, termasuk urosepsis.
Imipenem/cilastatin, meropenem, dan doripenem juga aktif terhadap P.
aeruginosa. Namun ertapenem tidak aktif terhadap P. aeruginosa. Ertapenem
memiliki half-life yang lebih panjang daripada imipenem/cilastatin dan
meropenem, dan karenanya cocok untuk dosis sekali sehari.

15.6.6 Fluoroqionolone
Quinolon non-fluorinated tidak lagi direkomendasikan karena aktivitas
antibakteri mereka yang buruk. Menurut Paul Ehrlich Society for
Chemotherapy, fluoroquinolone diklasifikasikan ke dalam empat kelompo k,
berbasis pada spektrum aktivitasnya, farmakokinetiknya dan indikasinya
(Tabel 16.7.4).

Tabel 16.6.4: Klasifikasi fluoroquinolone, seperti yang dimodifikasi


menurut Paul Ehrlich Society for Chemotherapy

Nama generik Nama dagang*/ fitur grup

Grup 1 Indikasi esensialnya terbatas pada


UTI di beberapa negara seperti
Jerman
Norfloxacin
Pefloxacin**
Grup 2 Indikasi luas untuk penggunaan
sistemik
Enoxacin
Fleroxacin***
Lomefloxacin
Ofloxacin
Ciprofloxacin
Grup 3 Perbaikan aktivitas terhadap patogen
gram positif dan atipikal
Levofloxacin

Grup 4 Perbaikan aktivitas terhadap patogen


gram positif dan atipikal serta
anaerob
Gatifloxacin
Moxifloxacin
*Ditulis menurut peningkatan aktivitas in vitro (konsentrasi inhibitory
minimum) terhadap patogen indikatif
**Di Perancis dan negara lain, pefloxacin juga tersedia untuk penggunaan
sistemik
***Diselidiki pada pemburukan akut bronkitis kronis, UTI, gonorrhae dan
infeksi gastrointestinal

15.6.6.1 Grup 1 fluoroquinolone


Indikasi untuk fluoroquinolone grup 1 terbatas pada UTI di beberapa
negara, seperti Jerman. Di Perancis dan beberapa negara lain, pefloxacin
juga digunakan untuk penggunaan oral dan parenteral sistemik. Norfloxacin
tidak tersedia sebagai antibiotik parenteral.

15.6.6.2 Grup 2 fluoroquinolone


Fluoroquinolone grup 2 termasuk fluoroquinolone untuk penggunaan
sistemik dengan spektrum indikasi yang luas. Termasuk infeksi saluran
urinary, saluran respirasi, kulit dan jaringan lunak, tulang dan sendi, serta
infeksi sistemik dan bahkan sepsis. Fluoroquinolone grup 2 menunjukkan
aktivitas yang bagus terhadap enterobacteria dan H. influenzae, dengan
aktivitas yang lebih sedikit terhadap staphylococci, pneumococci,
enterococci, dan patogen atipikal, seperti Chlamydia, Legionella dan
Mycoplasma sp. Aktivitas mereka terhadap P. aeruginosa akan bervariasi,
dengan ciprofloxacin menjadi yang paling aktif in vitro. Selain itu,
ciprofloxacin, ofloxacin dan fleroxacin juga tersedia untuk penggunaan
parenteral.

15.6.6.3 Grup 3 fluoroquinolone


Perbedaan utama dalam spektrum aktivitas fluoroquinolone grup 3
(levofloxacin) dan grup 4 (gatifloxacin dan moxifloxacin) adalah bahwa
yang pertama disebut memiliki aktivitas intrinsik yang lebih tinggi terhadap
patogen gram positif, seperti staphylococci, streptococci , pneumococci dan
enterococci.
Namun, grup 3 dan 4 memiliki aktivitas yang sebanding terhadap
patogen gram negatif. Selain itu, mereka memiliki peningkatan aktivitas
terhadap apa yang disebut sebagai patogen atipikal, seperti Chlamydia,
Mycoplasma dan Legionella sp. Juga grup 4 memiliki peningkatan dalam
aktivitas anti anaerob.
Satu-satunya grup 3 fluoroquinolone untuk digunakan parenteral
adalah levofloxacin, enantiomer kiri dari ofloxacin. Indikasi utama bagi
levofloxacin adalah infeksi saluran respirasi, dan karena tingginya tingkat
eliminasi renalnya, UTI, serta infeksi kulit dan jaringan lunak.
Diantara fluoroquinolone grup 4, gatifloxacin (tidak di pasar Eropa),
motifloxacin dan trovafloxacin telah dilisensi. Namun, di Juni 1999,
trovafloxacin ditarik dari pasar karena memiliki efek samping yang parah.
Sehingga, hingga saat ini, tidak ada fluoroquinolone parenteral dari
kelompok ini yang tersedia di pasar.
Terlepas dari infeksi saluran respirasi, fluoroquinolone spektrum
luas ini akan tepat untuk perawatan kulit, jaringan lunak, dan infeksi intra -
abdominal serta perawatan oral infeksi gynaecolo gis. Namun, penilaian
akhir posisi mereka dalam perawatan penyakit ini masih tidak
memungkinkan. Gatifloxacin memiliki eksresi renal tertinggi (sekitar 84%)
setelah administrasi oral. Oleh karenanya obat ini adalah yang paling sesuai
untuk perawatan uncomplicated UTI dan complicated UTI. Eksresi urinary
dari moxifloxacin setelah pemberian oral hanya berada di kisaran sekitar
20%.

15.6.7 Co-trimoxazole
Perawatan UTI adalah indikasi utama trimethoprim saja atau dalam kombinasi
dengan sulphonamide, yakni sulphamethoxazole. Trimethoprim dengan atau
tanpa sulphamethoxazole juga bisa digunakan untuk profilaksis recurrent
cystitis. Tingkat resistensi terhadap E. coli bisa bervariasi antar negara. Oleh
karenanya obat ini tidak direkomendasikan untuk terapi empiris uncomp licated
cystitis atau pyelonephritis akut, dimana tingkat resistensi dalam area ini
adalah >10-20%. Dalam complicated UTI, co-trimoxazole seharusnya
digunakan sesuai dengan pengujian sensitivitas. Trimethoprim, khususnya
berkombinasi dengan sulphamethoxazole, bisa mengarah pada peristiwa
negatif yang parah meski jarang terjadi, seperti sindrom Lyell, Stevens -
Johnson dan pancytopenia.

15.6.8 Fosfomycin
Fosfomycin termasuk aktif terhadap bakteri gram positif dan gram negatif.
Garam sodium hanyalah untuk digunakan secara parenteral. Fosfomycin
trometamol dilisensi untuk dosis tunggal (3g) dalam perawatan untuk
uncomplicated cystitis pada wanita.
15.6.9 Nitrofurantoin
Aktivitas antibakteri dari nitrofurantoin terbatas pada saluran urinary karena
konsentrasi serumnya yang rendsah. Obat ini termasuk aktif untuk E -coli,
Citrobacter dan sebagian besar strain Klebsiella dan Enterobacter, dimana
Providencia dan Serratia adalah yang paling resisten. Proteus, P. aeruginosa
dan Acinetobacter adalah yang hampir selalu resisten. Antibiotik ini aktif
terhadap cocci gram positif, misal enterococci, dan staphylococci.
Obat ini hanya cocok untuk perawatan atau profilaksis uncomplicated UTI.
Terapi jangka pendek untuk indikasi ini masih belum dibuktikan dalam studi
yang cukup besar. Sedikit perkembangan resistensi telah teramati selama
bertahun-tahun. Perawatan bisa mengarah pada peristiwa negatif yang parah
meski jarang terjadi, seperti misalnya desquamative interstitial pneumonia
kronis dengan fibrosis.

15.6.10 Macrolides
Ertythromycin adalah satu-satunya macrolide yang tersedia untuk digunakan
oral dan parenteral. Macrolides yang lebih baru, roxithromycin,
clarithromycin, dan azithromycin, lebih dapat ditoleransi daripada
erythromycin, tapi obat ini hanya bisa diberikan secara oral. Macrolides
memiliki aktivitas yang bagus terhadap streptococci, pneumococci, Bordetella
pertussis dan Chlamydia, Mycoplasma dan Legionella sp. Macrolides tidaklah
aktif terhadap batang gram negatif, sehingga, penggunaan mereka dalam
perawatan UTI terbatas untuk indikasi khusus, seperti dalam non -gonococcal
urethritis karena C. trachomatis.

15.6.11 Tetracylines
Resistensi terhadap doxycycline dan tetracycline dari pneumococci,
streptococci, H. influenza dan E. coli menunjukkan perbedaan regional yang
nyata. Tetracycline oleh karenanya hanya cocok untuk terapi empiris awal jika
situasi resistensi lokal cukup dikenal dan membenarkan penggunaannya.
Sebagai akibat dari aktivitas tinggi mereka terhadap apa yang disebut sebagai
patogen atipikal (Legionella, Chlamydia dan Mycoplasma sp) mereka dapat
digunakan sebagai antibiotik alternatif pada infeksi yang disebabkan oleh
mikroorganisme ini misal., dalam urethritis non-gonococcal karena C.
trachomatis.

15.6.12 Aminoglycosida
Aminoglycosida adalah untuk digunakan secara parenteral saja. Obat ini
memiliki jendela terapeutik yang sempit. Level aktivitas efektif mereka
mendekati konsentrasi batas toksik, membuat indikasi terapeutik wajib dibuat.
Dengan sedikit pengecualian (misal., perawatan untuk UTI), aminoglycosida
seharusnya hanya digunakan dalam kombinasi dengan antibiotik lain yang
tepat. Partner yang ideal adalah antibiotik β-lactam karena kombinasi ini
memiliki pengaruh sinergistik nyata terhadap spesies bakteri tertentu.
Streptomycin adalah salah satu aminoglycosida tua dan hanya digunakan untuk
perawatan/penanganan untuk tuberculosis.
Aminoglycosida yang lebih baru akan termasuk netilmicin, gentamicin,
tobramycin, dan amikacin. Mereka memiliki aktivitas yang bagus terhad ap
enterobacteria dan Pseudomonas (khususnya tobramycin). Aktivitas mereka
terhadap streptococci, anaerob dan H. influenzae tidaklah memuaskan. Data
resistensi untuk tobramycin, gentamicin dan netilmicin hampir identik,
sementara situasi resistensi lebih positif untuk amikacin terhadap banyak
enterobacteria.

15.6.13 Glycopeptida
Glycopeptida dengan vancomycin dan teicoplanin termasuk aktif terhadap
patogen gram positif, misal staphylococci (termasuk strain resisten oxacillin),
streptococci, enterococci, Clostridium difficile, bakteri difteri, dan aerob gram
positif. Mereka tidak aktif terhadap patogen gram negaif. Penggunaan mereka
diindikasikan:
 Dalam infeksi yang disebabkan oleh patogen yang disebutkan diatas
dalam kasus alergi terhadap semua antibiotik lain yan g sesuai
 Dalam infeksi yang disebabkan oleh enterococci resisten -ampicillin atau
staphylococci resisten oxacillin, atau corynebactera multi -resisten.
 Sebagai alternatif, dalam bentuk oral, dengan metronidazole untuk
perawatan pseudomembranous colitis. Karena resiko seleksi enterococci
dan staphylococci resisten glypeptida, penggunaan glycopeptida haruslah
sangat dibatasi. Serupa dengan aminoglycosida, glycopeptida memiliki
jendela terapeutik yang sempit.

15.6.14 Oxazolidinones
Satu-satunya senyata untuk kelompok ini adalah linezolid, yang bisa diberikan
secara parenteral dan oral. Senyawa ini memiliki aktivitas yang bagus terhadap
cocci gram positif, seperti Staphylococci, termasuk strain methicillin
(oxacillin)-resisten, enterococci, termasuk strain resisten -vancomycin dan
streptococci.

15.6.15 Daftar pustaka


15.7 Bakteri yang relevan untuk infeksi urologi
16. SINGKATAN YANG DIGUNAKAN DALAM TEKS

Konflik Kepentingan
Semua anggota panel kerja Urological Infections Guidelines telah menyediaka pernyataan
disclosure mengenai semua hubungan yang mereka miliki yang mungkin bisa dianggap
sebagai sumber konflik kepentingan yang potensial. Informasi ini dapat diakses secara
publik melalui situs web European Association of Urology. Dokumen panduan ini
dikembangkan dengan dukungan finansial dari European Association of Urology. Tidak
ada sumber dana eksternal yang telah terlibat. EAU adalah sebuah organisasi non profit,
dan pendanaan terbatasi pada bantuan administratif dan pengeluaran perjalanan serta
pertemuan. Tidak ada honoraria atau reimbursement lain yang telah disediakan.

Anda mungkin juga menyukai